1
Tabel 2.1 Dosis OAT Untuk Anak (Kemenkes RI, 2020)
Nama Obat Dosis harian Dosis Efek Samping
(mg/kbBB/hari) maksimal
(mg/hari)
Isoniazid (H) 10 (7-15) 300 Hepatitis,neuritis perifer,
hipersensitivitas.
Rifampisin (R) 15 (10-20) 600 Gastrointestinal,reaksi kulit,
hepatitis, trombositopenia,
penigkatan enzim hati, cairan
tubuh berwarna oranye
kemerahan
Pirazinamid 35 (30-40) - Toksisitas hepar ,arthralgia,
(Z) gastrointestinal
Etambutol (E) 20 (15-25) - Neuritis otak,ketajaman mata
berkurang,buta warna merah
hijau, hipersensitivitas,
gastrointestinal
Streptomisin 15-40 1000 Ototoksik, nefrotoksik
Tabel 2.2 Panduan OAT Dan Pada Anak (Kemenkes RI, 2020)
Kategori Diagnostik Fase Intensif Fase Lanjutan Prednison
2
yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu paket (Rahajoe, Supriyatno and DB,
2015).
Tabel 2.3 Dosis OAT KDT Pada TB Anak (Rahajoe, Supriyatno and DB, 2015)
Berat Badan (BB) Fase Intensif Fase Lanjutan (4bulan)
(2bulan)RHZ (75/50/150) (RH (75/50)
5-7 1 tablet 1 tablet
8-11 2 tablet 2 tablet
12-16 3 tablet 3 tablet
17-22 4 tablet 4 tablet
23-30 5 tablet 5 tablet
>30 OAT dewasa
Keterangan :
R: Rifamfisin; H:Isoniazid; Z:Pirazinamid
1. Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT diberikan secara terpisah, tidak dalam
bentuk KDT dan sebaiknya dirujuk ke RS.
2. Apabila ada kenaikan BB maka dosis atau jumlah tablet yang diberikan
disesuaikan dengan BB saat itu.
3. Untuk anak dengan keadaan obesitas, dosis KDT disesuaikan dengan BB
ideal (sesuai umur).
4. OAT KDT harus diberikan secara utuh dan tidak boleh di belah dan juga
tidak boleh digerus.
5. Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah.
6. Obat diberikan pada saat perut kosong atau paling cepat 1 jam setelah
makan.
7. Bila INH dikombinasi dengan Rifampisin, dosis INH tidak boleh melebihi
10 mg/kgBB/hari.
A. Respons pengobatan dan pemantauan:
a) Idealnya setiap anak dipantau setidaknya: tiap 2 minggu pada fase intensif
dan setiap 1 bulan pada fase lanjutan sampai terapi selesai.
b) Penilaian meliputi: penilaian gejala, kepatuhan minum obat, efek samping,
dan pengukuran berat badan
c) Dosis obat mengikuti penambahan berat badan
d) Kepatuhan minum obat dicatat menggunakan kartu pemantauan pengobatan.
3
e) Pemantauan sputum harus dilakukan pada anak dengan BTA (+) pada
diagnosis awal, yaitu pada akhir bulan ke-2, ke-5 dan ke-6.
f) Foto toraks tidak rutin dilakukan karena perbaikan radiologis ditemukan
dalam jangka waktu yang lama, kecuali pada TB milier setelah pengobatan 1
bulan dan efusi pleura setelah pengobatan 2 – 4 minggu.
g) Anak yang tidak menunjukkan perbaikan dengan terapi TB harus dirujuk
untuk penilaian dan terapi, anak mungkin mengalami resistensi obat,
komplikasi TB yang tidak biasa, penyebab paru lain atau masalah dengan
keteraturan (adherence) minum obat (Kemenkes RI, 2020).
B. Kortikosteroid
Kortikosteroid dapat digunakan untuk TB dengan komplikasi seperti
meningitis TB, sumbatan jalan napas akibat TB kelenjar, dan perikarditis TB.
Steroid dapat pula diberikan pada TB milier dengan gangguan napas yang
berat, efusi pleura dan TB abdomen dengan asites. Obat yang sering digunakan
adalah prednison dengan dosis 2 mg/kg/ hari, sampai 4 mg/kg/hari pada kasus
sakit berat, dengan dosis maksimal 60 mg/hari selama 4 minggu, kemudian
tappering off bertahap 12 minggu sebelum dilepas (Kemenkes RI, 2020).
C. Nutrisi
Status gizi pasien sangat penting untuk bertahan terhadap penyakit TB,
dan malnutrisi berat berhubungan dengan mortalitas TB.Penilaian yang terus
menerus dan cermat pada pertumbuhan anak perlu dilakukan. Penilaian
dilakukan dengan mengukur berat, tinggi, lingkar lengan atas atau pengamatan
gejala dan tanda malnutrisi seperti edema atau muscle wasting. Pemberian air
susu ibu tetap diberikan, jika masih dalam periode menyusui. Pemberian
makanan tambahan sebaiknya diberikan dengan makanan yang mudah diterima
anak dan bervariasi. Jika tidak memungkinkan dapat diberikan suplementasi
nutrisi sampai anak stabil dan TB dapat di atasi (Kemenkes RI, 2020).
D. Tata laksana efek samping obat
Efek samping obat TB lebih jarang terjadi pada anak dibandingkan
dewasa. Pemberian etambutol untuk anak yang mengalami TB berat tidak
banyak menimbulkan gejala efek samping selama pemberiannya sesuai dengan
rentang dosis yang direkomendasi. Efek samping yang paling penting adalah
4
hepatotoksisitas, yang dapat disebabkan oleh isoniazid, rifampisin atau
pirazinamid. Enzim hati tidak rutin diperiksa, pada keadaan peningkatan enzim
hati ringan tanpa gejala klinis (kurang dari 5 kali nilai normal) bukan
merupakan indikasi penghentian terapi obat anti TB. Jika timbul gejala
hepatomegali atau ikterus harus segera dilakukan pengukuran kadar enzim hati
dan jika perlu penghentian obat TB. Penapisan ke arah penyebab hepatitis lain
harus dilakukan. Obat TB diberikan kembali jika fungsi hati kembali normal,
diberikan dengan dosis yang lebih kecil dalam rentang terapi, dengan tetap
memonitor kadar enzim hati. Konsultasi ke ahli hepatologi diperlukan untuk
tata laksana lebih lanjut (Kemenkes RI, 2020).
Prognosis Dan Komplikasi
Prognosis penderita TB umumnya baik. Kecuali penderita yang telah
mengalami relaps (kekambuhan), atau diikuti oleh penyakit penyerta lainnya.
Penyakit tuberkulosis paru akan semakin parah dan menimbulkan komplikasi
apabila tidak dilakukan penanganan dengan benar. Komplikasi tuberculosis dapat
diklasifikasikan menjadi dua yaitu komplikasi dini dan komplikasi lanjut.
Gangguan yang termasuk dalam komplikasi dini diantaranya adalah:
pleurutis, efusi pleura, empiema, laringitis. Sedangkan gangguan yang termasuk
dalam komplikasi lanjut diantaranya yaitu: obstruksi jalan napas hingga sindrom
gagal napas akut (ARDS), sindrom obstruksi pasca tuberkulosis, kerusakan
parenkim yang sudah berat, fibrosis paru, kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma
pada paru, dan komplikasi paling pada beberapa organ akibat TBC milier (Sudoyo
et al., 2014). Komplikasi penderita yang termasuk stadium lanjut adalah
hemoptisis berat atau perdarahan dari saluran napas bagian bawah. Dikatakan
stadium lanjut karena dapat berakibat kematian yang disebabkan oleh adanya
syok, kolaps spontan akibat kerusakan jaringan paru, serta penyebaran infeksi ke
organ tubuh lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal, dan lain sebagainya
(Kemenkes RI, 2020).
5
DAFTAR PUSTAKA
Rahajoe, Supriyatno, B. and DB, S. (2015) ‘Buku Ajar Respirologi Anak’, Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.