Anda di halaman 1dari 54

i

BAB I

1.1 Latar Belakang Masalah

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit akibat infeksi kuman

Mycobacterium tuberculosis (M.Tb) yang bersifat sistemik sehingga dapat

mengenai hampir semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang

merupakan lokasi infeksi primer TB.1 TB paru menjadi penyebab kecacatan

dan kematian baik di negara berkembang maupun negara maju.2

TB merupakan masalah kesehatan di dunia. Indonesia menempati 3

peringkat teratas penderita TB terbanyak di dunia. Pada tahun 2017 jumlah

penderita TB di Indonesia sebesar 6,4 juta sementara pada tahun 2018 dan

2019 sebesar 7,0 juta dan 7,1 juta penderita. 3 Beban kasus TB anak di dunia

tidak diketahui karena kurangnya alat diagnostik yang “child-friendly” dan

tidak adekuatnya sistem pencatatan dan pelaporan kasus TB Anak.4

Gejala TB pada anak tidak khas, adapun gejala pada TB anak seperti

demam, batuk, penurunan berat badan, lemah, letih, dan lesu. Pengobatan TB

anak prinsipnya sama dengan TB dewasa, durasi pengobatan yang lama

meningkatkan risiko ketidakpatuhan pengobatan dan toksisitas obat.1. Kasus

baru TB anak diperkirakan lebih dari 1 juta setiap tahunnya.4

1
2

Kasus TB resisten obat terutama TB MDR mulai meningkat di

Indonesia menyebabkan resiko terjadinya TB resisten obat pada anak. Adapun

faktor resiko terjadinya TB resisten obat pada anak adalah adanya kontak

dengan pasien dewasa yang terbukti TB MDR serta anak dengan riwayat

pengobatan TB berulang.4

WHO memperkirakan setidaknya terdapat 23.000 kasus MDR/RR di

Indonesia. Pada tahun 2017 kasus TB yang tercatat di program sejumlah

442.000 kasus dan diperkirakan terdapat 8.600-15.000 MDR/RR TB, akan

tetapi cakupan pasien yang diobati hanya sekitar 27,36%.4,5 Karena jumlah

kasus MTB yang kian meningkat maka perlu diberikan suatu prophylaxis bagi

anak yang kontak dengam pederita MDR TB. Belum banyak penelitian serta

publikasi terkait prophylaxis MDR TB pada anak, olah karena itu prophylaxis

bagi anak masih menjadi tantangan global. Oleh karena itu, pada penulisan

referat ini penulis memilih judul Prophylaxis TB MDR pada Anak.

1.2 Tujuan

Pembuatan referat ini bertujuan untuk memberikan pemahaman terkait

prohylaxis TB MDR pada penderita tuberkulosis anak.

BAB II

2
3

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis (TB)

Tuberkulosis merupakan suatu penyakit menular yang disebabkan oleh

kuman Mycobacterium tuberculosis complex (MTBC) yang juga dikenal

sebagai bakteri tahan asam (BTA). Secara umum sifat kuman Mycobacterium

tuberculosis antara lain berbentuk batang warna merah, panjang 1-10 mikron,

lebar 0,2 – 0,6 mikron, peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultra

violet, tahan terhadap suhu rendah, serta kuman dapat bersifat dorman.6,7

Sumber penularan TB adalah pasien dengan BTA positif. Daya

penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan

dari parunya. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual

Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko

terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.7,8

Indonesia termasuk negara dengan beban TBC tinggi dimana saat ini

Indonesia menduduki peringkat ketiga di dunia, dengan insiden sebesar

845.000 atau sebesar 320/100.000 penduduk dengan angka kematian sebanyak

98.000 atau sebesar 40/100.000 penduduk dan 3,6/100.000 penduduk TBC-

HIV.9

2.2 Tata laksana TB pada Anak

3
4

Obat TB utama (first line) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid

(INH), pirazinamid (Z), etambutol (E) dan streptomisin (S). Obat TB lain

(second line) adalah para-aminosalisilic acid (PAS), cycloserin terizidone,

ethionamide,prothionamide, ofloxacxin, levofloxacin, movifloxacin,

gatifloxacin, ciprofloaxin, kanamycin, amikasin, dan capreomycin, yang

digunakan jika terjadi MDR (multidrug resistance).10

Adapun obat antituberkulosis (OAT) lini pertama beserta efek

sampingnya dapat dilihat pada Tabel1. Efek samping utama OAT adalah

toksistas pada hepar terutama pada pirazinamid, isoniazid dan rimfamisin.

Sementara etambutol menyebabkan terjadinya neuritis optic, sementara

streptomisin menyebabkan gangguan pendengaran..10

Tabel 1. Obat anti tuberkulosis yang biasa dipakai dan dosisnya


Nama obat Dosis Dosis Efek samping
harian Maksimal
(mg/KgBB/ (mg/hari)
hari)
Isoniazid 10 (7 – 15) 300 Hepatitis, neuritis perifer,
hipersensitivitas
Rimfamisin 15 (10 – 600 Gastrointestinal, gangguan
20) kulit, hepatitis,
trombositipoenia,
peningkatan enzim hati,
cairan tubuh berwarna oranye
kemerahan
Pirazinamid 35 (30-40) - Toksisitas hati, atralgia,
gastrointestinal
Etambutol 20 (15-25) - Neuritis optik, ketajaman
mata berkurang, buta warna
merah-hijau, penyempitan
lapang pandang,
hipersensitivitas,

4
5

gastrointestinal
Streptomisin 15 – 40 1000 Ototoksik, nefrotoksik
(Sumber: Rahajoe dkk, 2018)

Salah satu kendala dalam terapi TB adalah keteraturan pasien dalam

menjalani pengobatan yang relatif lama dengan jumlah obat yang banyak.

Untuk mengatasi hal tersebut, dibuat suatu sediaan obat kombinasi dengan

dosis yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu KDT. Dosis KDT didasarkan

pada berat badan pasien, untuk dosis KDT dapat dilihat pada Tabel 2. Bila BB

> 30 kg, diberikan dosis 6 tablet atau menggunakan KDT dewasa.12

Tabel 2. Dosis kombinasi pada tuberkulosis anak


Berat badan (kg) 2 Bulan RHZ 4 Bulan RH (75/50
(75/50/150 mg) mg)
5–7 1 tablet 1 tablet
8 – 11 2 tablet 2 tablet
12 – 16 3 tablet 3 tablet
17 – 22 4 tablet 4 tablet
23 – 30 5 tablet 5tablet
(Sumber : Rahajoe dkk, 2018)

2.2 Multidrug resistance

Tuberkulosis Multi Drug Resistant (TB MDR) merupakan penyakit

infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang sudah resisten

terhadap isoniazid dan rifampisin. Hal tersebut berhubungan dengan mutasi

5
6

genetik kuman yang terjadi akibat pengobatan yang tidak adekuat. 13,14 Secara

umum resistensi terhadap obat tuberkulosis dibagi menjadi:15,16

a. Resistensi primer ialah apabila penderita sebelumnya tidak pernah

mendapat pengobatan TB

b. Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah

penderitanya sudah pernah ada riwayat pengobatan sebelumnya atau

tidak

c. Resistensi sekunder ialah apabila penderita telah punya riwayat

pengobatan sebelumnya.

Adapun macam-macam resistensi pengobatan TB antara lain:

a. Monoresistan: Bila hasil uji kepekaan mendapatkan resisten terhadap

salah satu OAT, misalnya resistan isoniazid (H) atau rifampisin

b. Multi Drug Resistance (MDR): Bila hasil uji kepekaan mendapatkan

M. tuberkulosis yang resistan terhadap isoniazid dan rifampisin,

dengan atau tanpa OAT lini pertama yang lain, misalnya resistan HR,

HRE, HRES.

c. Extensively Drug Resistance (XDR): TB MDR disertai resistansi

terhadap salah salah satu obat golongan fluorokuinolon dan salah satu

dari OAT injeksi lini kedua (capreomisin,kanamisin dan amikasin).16,17

6
7

d. TB Resistan Rifampisin (TB RR): Resistan terhadap rifampisin

(monoresistan, poliresistan,TB MDR, TB XDR) yang terdeteksi

menggunakan metode fenotip atau genotip dengan atau tanpa resistan

OAT lainnya. 

e. Poliresistan (Polyresistance): Resistan terhadap lebih dari satu OAT,

selain kombinasi isoniazid (H) dan rifampisin (R), misalnya resistan

isoniazid dan etambutol (HE), rifampisin –etambutol (RE), isoniazid –

etambutol dan streptomisin (HES), serta rifampisin- etambutol dan

streptomisin (RES).17

Kejadian MDR terus bertambah dan makin meluas, hal ini disebabkan

oleh tatalaksana TB yang tidak adekuat serta adanya penularan dari satu

penderita MDR ke orang disekitarnya. Penderita TB mendapatkan tatalaksana

dengan pengawasan ketat selama 6 bulan. Resistensi OAT dapat disebabkan

oleh penggunaan obat antimikroba serta formula OAT yang tidak efektif

(seperti penggunaan obat tunggal, penyimpanan OAT yang tidak baik atau

kualitas OAT yang kurang baik), ataupun penghentian pengobatan sebelum

protokol selesai.16

Tantangan selanjutnya adalah pengobatan dari TB MDR itu sendiri,

dimana pengobatan terbatas dan harganya mahal, sediaan obat tidak selalu

ada, dan munculnya efek samping yang lebih besar. Pada beberapa kasus

7
8

MDR dapat berkembang menjadi XDR bila tidak mendapatkan tatalaksana

adekuat. Resistensi obat dapat dideteksi dengan menggunakan pemeriksaan

Xpert MTB/RIF.16

2.3 Epidemiologi TB MDR

Berdasarkan laporan global Tuberkulosis oleh WHO tahun 2016,

insidensi Rifampicin-resistance (RR) tuberculosis sebesar 600.000, dengan

490.000 diantaranya mengalami MDR. Negara penyumbang MDR TB

terbesar (47% kasus MDR TB) adalah India, China, dan Rusia. 19 Sementara

pada tahun 2017, dilaporkan insidensi TB RR/MDR sebesar 7,4

kasus/100.000 penduduk dengan 82% menderita TB MDR. Keberhasilan

pengobatan pasien rendah yaitu sebesar 55%. Indonesia termasuk dalam 30

negara dengan beban TB MDR tertinggi di dunia dengan insidensi pada tahun

2017 mencapai 8,8 kasus/ 100.000 penduduk.18

Konversi biakan dahak merupakan alat pemantau indikator keberhasilan

untuk pengobatan TB MDR. Pengurangan waktu konversi penting untuk

pengendalian infeksi dan mengurangi biaya yang berkaitan dengan langkah-

langkah pengendalian infeksi.18

Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan Obat (MTPTRO) telah

dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2009, saat ini layanan TB RO sudah

tersedia di 34 provinsi di Indonesia. Setiap tahunnya terjadi peningkatan

8
9

jumlah kasus TB RO yang ditemukan dan diobati. Namun, seiring dengan

pengembangan layanan, terjadi penurunan angka keberhasilan pengobatan,

yaitu dari 67,9% pada tahun 2010 menjadi 51,1% pada tahun 2013, dan

peningkatan angka loss to follow up (LFU) dari 10,7% (2009) menjadi 28,7%

(2013).19

Faktor-faktor risiko TB MDR pada anak termasuk riwayat pengobatan

sebelumnya, tidak ada perbaikan dengan pengobatan TB lini pertama, adanya

kontak MDR TB yang telah diketahui, kontak dengan pasien yang meninggal

saat pengobatan TB atau pengobatan TB yang gagal. Anak tersangka TB

MDR akan dilakukan pemeriksaan sesuai dengan alur pemeriksaan dewasa

tersangka TB MDR. Algoritme pada Gambar1. menunjukkan strategi

diagnostik untuk menentukan faktor risiko TB MDR pada anak yang

terdiagnosis maupun tersangka TB. Pasien dapat dicurigai dan ditatalaksana

sebagai TB MDR bila ditemukan adanya:17

a. Riwayat pengobatan TB 6-12 bulan sebelumnya

b. Tidak ada perbaikan setelah pengobatan TB lini pertama selama 2-3

bulan

c. Kontak dengan pasien TB RO

d. Kontak dengan pasien TB yang meninggal saat pengobatan TB atau

pengobatan TB yang gagal

9
10

Gambar1. Alur Diagnosis TB RO pada Anak


(Sumber: Petunjuk Teknis Managemen TB Anak)

2.4 Infeksi Tuberkulosis Laten (ILTB)

ILTB didefinisikan sebagai keadaan respons imun yang persisten

terhadap antigen M.tuberkulosis tanpa manifestasi klinis TB. Saat ini belum

10
11

ditemukan pemeriksaan baku untuk mengindetifikasi infeksi TB, sehingga

beban global secara pasti belum diketahui; namun diperkirakan sekitar

seperempat penduduk dunia terinfeksi TB. Sebagian besar tidak memiliki

tanda atau gejala penyakit TB dan berpotensi menjadi penyakit TB aktif serta

menjadi sumber penularan. Beberapa penelitian telah menunjukkan rata-rata

5-10% dari populasi yang terinfeksi TB akan menjadi TB aktif, terutama

dalam 5 tahun pertama setelah infeksi awal.18

Pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah, terutama Orang

dengan HIV/AIDS (ODHA), malnutrisi, orang yang sedang menjalani

pengobatan kanker atau sedang menjalani dialisis berisiko mengalami

penyakit TBC lebih tinggi daripada orang dengan sistem kekebalan tubuh

normal. Risiko penyakit TB pada ODHA, anak kontak serumah dengan pasien

TBC terkonfirmasi bakteriologis dan kelompok berisiko lainnya dapat

dikurangi dengan pemberian TPT.9

Pada pertemuan tingkat tinggi pertama PBB tentang TB pada tahun 2018,

Negara-negara Anggota berkomitmen untuk memberikan pengobatan

pencegahan TB kepada setidaknya 30 juta orang pada tahun 2018–2022: 6

juta orang yang hidup dengan HIV (ODHA), 4 juta anak < 5 tahun yang

adalah kontak serumah dengan penderita TB, dan 20 juta kontak serumah

lainnya.18

ILTB yang berkembang menjadi penyakit TBC diantara 1.7 milyar

penduduk yang terinfeksi TBC akan bertambah setiap tahun Review

11
12

sistematis yang dilakukan terhadap 11 penelitian di Asia Tenggara

menunjukkan 24,4% sampai 69,2% anak umur di bawah 15 tahun berkontak

dengan orang TBC aktif dan 3,3% sampai 5,5% di antaranya akan

berkembang menjadi TBC aktif.19

Pengobatan pencegahan TB (TPT) adalah salah satu intervensi utama

yang direkomendasikan oleh WHO untuk mencapai target strategi untuk

mengakhiri TB, seperti yang ditegaskan oleh Pertemuan Tingkat Tinggi PBB

tentang TB pada bulan September 2018.18

Sebuah review yang dilakukan terhadap paduan pengobatan menemukan

bahwa pengobatan ILTB dapat mengurangi risiko reaktivasi sekitar 60%

sampai 90%. Selain itu uji coba randomisasi terkontrol yang dilakukan

dinegara dengan beban TB tinggi menunjukan bahwa terapi pencegahan pada

ODHA dapat memberikan perlindungan hingga lebih dari 5 tahun. Oleh

karenanya pedoman WHO tahun 2018 merekomendasikan TPT jangka pendek

yang lebih dapat ditoleransi dan memiliki efikasi yang baik sehingga dapat

meningkatkan angka kepatuhan pengobatan.9

Rekomendasi dalam Pedoman konsolidasi WHO tentang TB mencakup

empat pokok bahasan, yakni: Mengidentifikasi populasi untuk tes ILTB dan

pengobatan pencegahan TB, algoritma untuk menyingkirkan penyakit TB

aktif, pengujian untuk ILTB, serta pilihan pengobatan pencegahan TB.18

12
13

2.5 Mengidentikasi Populasi untuk Tes ILTB dan Pengobatan

Pencegahan TB

Dalam perjalanan alamiah TB, 5-10% individu yang terinfeksi

M.tuberkulosis akan berkembang menjadi TB aktif. Risiko ini terutama

meningkat di pada anak di bawah usia 5 tahun dan pada kelompok dengan

imunodefisiensi. Karena pengobatan apa pun mengandung risiko kerugian dan

biaya, maka pengobatan pencegahan TB harus secara selektif ditargetkan pada

kelompok populasi dengan risiko tinggi untuk berkembang menjadi penyakit

TB aktif.

2.5.1 Orang dewasa dan remaja dengan HIV yang tidak menderita TB aktif

harus menerima pengobatan pencegahan TB sebagai bagian dari

perawatan HIV yang komprehensif. Pengobatan harus diberikan

kepada kelompok yang mendapatkan pengobatan antiretroviral,

kepada wanita hamil dan kepada kelompok telah mendapatkan

pengobatan TB sebelumnya. 18

TB merupakan penyebab kematian terkait AIDS tersering,

sekurangnya terdapat 251.000 kematian ODHA (orang dengan

HIV/AIDS) pada tahun 2018, mewakili sekitar sepertiga dari semua

kematian HIV. Data global menunjukkan bahwa ODHA dengan

infeksi TB memiliki potensi 20 kali besar untuk menjadi TB aktif

dibandingkan kelompok yang tidak terinfeksi HIV.. Sebuah tinjauan

sistematis dari 12 uji coba ramdomized control trial (RCT)

13
14

menemukan bahwa terapi pencegahan TB (TPT) mengurangi risiko

keseluruhan untuk TB sebesar 33% (relative risk [RR] 0,67,

confidence interval 95% [CI] 0,51; 0,87) di antara 8.578 ODHA. Bagi

yang tuberculin skin test (TST) positif, penurunannya meningkat

menjadi 64% (RR 0,36, 95% CI 0,22; 0,61). Insiden TB dilaporkan

tinggi pada ODHA yang tidak menerima pengobatan pencegahan

isoniazid, termasuk mereka dengan CD4>350 per cu mm dan yang

TST negatif. Sebuah RCT dari 2.056 ODHA menunjukkan manfaat

tambahan dari pengobatan pencegahan TB ditambah ART dalam

mengurangi insiden TB dan kematian secara keseluruhan. Efek

perlindungan berlangsung selama lebih dari 5 tahun.18

Wanita hamil dengan HIV memiliki risiko terinfeksi TB, yang dapat

memiliki konsekuensi berat bagi ibu dan janin, dengan peningkatan

risiko kematian ibu dan bayi Kelompok ini harus tetap mendapatkan

pengobatan pencegahan dengan obat-obatan yang biasa digunakan

untuk mengobati TB aktif yang aman untuk digunakan dalam

kehamilan, seperti isoniazid dan rifampisin. 18

2.5.2 Bayi dan anak dengan HIV

- Bayi berusia < 12 bulan dengan HIV yang kontak dengan penderita

TB harus menerima pengobatan pencegahan TB.

14
15

- Anak-anak berusia ≥ 12 bulan dengan HIV tanpa TB aktif harus

dipertimbangkan untuk mendapatkan pengobatan pencegahan TB

jika mereka tinggal di daerah dengan resiko penularan TB yang

tinggi, terlepas dari kontak dengan TB.

- Semua anak dengan HIV yang telah berhasil menyelesaikan

pengobatan penyakit TB dapat menerima pengobatan pencegahan

TB. 18

2.5.3 Kontak erat di rumah dengan penderita TB

- Anak-anak berusia < 5 tahun yang mengalami kontak serumah

dengan orang dengan TB paru yang dikonfirmasi secara

bakteriologis atau yang ditemukan tidak memiliki TB aktif pada

evaluasi klinis harus diberikan pengobatan pencegahan TB

- Anak-anak berusia≥ 5 tahun, remaja dan orang dewasa yang

merupakan kontak serumah dengan orang dengan TB paru yang

dikonfirmasi secara bakteriologis yang ditemukan tidak memiliki

TB aktif dapat diberikan pengobatan pencegahan TB. 18

2.5.4 Kontak dengan penderita MDR TB

Apabila didapatkan dengan penderita TB MDR dapat dipertimbangkan

pemberian pengobatan pencegahan.18

15
16

2.5.5 Orang lain yang beresiko

- Orang yang memulai pengobatan anti-TNF, dialisis, atau

mempersiapkan transplantasi organ atau hematologi, atau yang

menderita silikosis harus diuji dan dirawat secara sistematis untuk

ILTB.

- Tes dan pengobatan ILTB dapat dipertimbangkan untuk

narapidana, petugas kesehatan, imigran dari negara dengan beban

TB tinggi, tunawisma dan pengguna narkoba.

- Pengujian dan pengobatan ITBL tidak dianjurkan untuk penderita

diabetes, pecandu alkohol, perokok, dan orang kurus kecuali

mereka juga termasuk dalam kelompok risiko lain yang termasuk

dalam rekomendasi di atas.18

Dalam memberikan terapi pencegahan TB (TPT) maka langkah pertama

adalah menentukan kelompok risiko yang merupakan prioritas sasaran

pemberian TPT. Adapun kelompok resiko tersebut antara lain sebagai berikut:

a. Orang dengan HIV/AIDS (ODHA)

b. Kontak serumah dengan pasien TB paru yang terkonfirmasi

bakteriologis

i. Anak usia di bawah 5 tahun

16
17

ii. Anak usia 5-14 tahun

iii. Remaja dan dewasa (usia di atas 15 tahun)

c. Kelompok risiko lainnya dengan HIV negatif

i. Pasien immunokompremais lainnya (Pasien yang menjalani

pengobatan kanker, pasien yang mendapatkan perawatan dialisis,

pasien yang mendapat kortikosteroid jangka panjang, pasien yang

sedang persiapan transplantasi organ, dll).

ii. Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), petugas kesehatan,

sekolah berasrama, barak militer, pengguna narkoba suntik.9

Pemeriksaan ILTB dapat dilakukan dengan Tuberculin Skin Test (TST).

Cara pembacaan hasil TST dapat dilihat di tabel 3. Pada ODHA dan kontak

anak usia dibawah 5 tahun pemberian TPT dapat dilakukan dengan skrining

gejala TBC tanpa harus dilakukan pemeriksaan TST atau IGRA maupun

rontgen thorax. Pada kontak usia ≥ 5 tahun perlu dilakukan pemeriksaan

penunjang seperti rontgen thorax untuk menyingkirkan TBC aktif. Algoritma

pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk memastikan apakah ODHA, kontak

serumah dan kelompok berisiko lainnya terinfeksi laten tuberkulosis dan

eligible mendapatkan TPT dapat dilihat pada gambar2. Pengobatan TPT

diberikan pada ODHA tidak bergejala TB kontak serumah serta kelompok

resiko lainnya yang tidak menjadi kontra indikasi pada TPT.9

17
18

Tabel 3. Intepretasi Hasil TST


Indurasi ≥5mm Indurasi ≥10mm di- Indurasi ≥15mm di-
dianggap positif
pada: anggap positif pada: anggap positif pada:
ODHA Imigran (dalam kurun Setiap orang termasuk
waktu kurang dari 5 pada orang-orang yang
tidak diketahui faktor
tahun) dari negara risiko TBC, meskipun
dengan prevalensi demikian pemeriksaan
TBC yang tinggi TST harusnya hanya
dilakukan pada
kelompok berisiko
tinggi.

Baru berkontak Pengguna narkoba


dengan pasien TB suntik

Orang dengan peru- Penduduk atau pekerja


yang tinggal di tempat
Bahan bercak fibrosis khusus dengan risiko
pada rontgen dada tinggi

Staf laboratorium
Pasien dengan
transplantasi organ Mikrobakteriologi

Pasien immunosipre- Orang-orang dengan


san dengan alasan kondisi klinis khusus
apapun yang beresiko tinggi
Anak usia dibawah 5
tahun, atau anak dan
remaja yang terpapar
dengan orang dewasa
yang masuk kedalam
kategori resiko tinggi
(Sumber: Petunjuk Teknis Penanganan Infeksi Laten Tuberkulosis. 2020)

18
19

Gambar2. Algoritma pemeriksaan ILTB dan pemberian TPT untuk orang


yang berisiko
(Sumber: Petunjuk Teknis Penanganan Infeksi Laten Tuberkulosis , 2020)

Keterangan:

1. Jika anak usia < 10 tahun, saat ini ada salah satu gejala seperti batuk

atau demam atau riwayat kontak dengan orang TBC aktif atau

mengalami penurunan berat badan yang dilaporkan atau terkonfirmasi

> 5% sejak kunjungan terakhir atau kurva pertumbuhan datar atau

berat badan untuk usia <-2 Z-skor. Bayi usia < 1 tahun tahun tanpa

19
20

gejala dengan HIV hanya diobati untuk ILTB jika mereka kontak

serumah dengan orang TBC aktif.

2. Adanya batuk atau demam atau keringat di malam hari atau batuk

darah atau nyeri dada atau sesak napas atau lemah dan lesu atau

penurunan berat badan (misal pada anak usia < 5 tahun tahun tidak

terdapat anoreksia/nafsu makan normal meskipun sudah diberikan

perbaikan gizi tetapi berat badan tetap tidak naik/gagal tumbuh). Lesu

atau anak kurang aktif bermain, keringat malam saja bukan merupakan

gejala spesifik TBC pada anak apabila tidak disertai gejala umum

lainnya.

3. Termasuk kelompok risiko lainnya dengan HIV negatif seperti :

a. Pasien immunokompremais lainnya (pasien yang menjalani

pengobatan kanker, pasien yang mendapatkan perawatan dialisis,

pasien yang mendapat kortikosteroid jangka panjang, pasien yang

sedang persiapan transplantasi organ, dll) langsung diperiksa

dengan TST atau IGRA (tanpa harus melihat ada tidaknya gejala

TBC).

b. Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), petugas kesehatan, sekolah

berasrama, barak militer, pengguna narkoba suntik.

4. Kontraindikasi pemberian TPT yaitu adanya hepatitis akut atau kronis,

neuropati perifer (jika menggunakan isoniazid), konsumsi alkohol

20
21

biasa atau berat. Kehamilan atau riwayat TBC sebelumnya bukan

merupakan kontraindikasi.

5. Paduan yang dipilih mempertimbangkan usia, kegawatan (obat rentan

atau lainnya), risiko toksisitas, ketersediaan dan preferensi.

6. Rontgen thorax atau chest X-ray (CXR) dapat dilakukan diawal

sebagai bagian dari penemuan kasus intensif. Jika gambaran rontgen

dada mendukung TBC (abnormal) maka orang tersebut terdiagnosis

klinis.

2.6 Prophylaxis pada MDR TB

Pengobatan pencegahan TB untuk infeksi dengan jenis yang diduga

sensitif terhadap obat dapat dikategorikan menjadi dua jenis: monoterapi

dengan isoniazid selama minimal 6 bulan (atau isoniasiz preventive theraphy,

IPT) dan pengobatan dengan regimen yang mengandung rifamycin (rifampisin

atau rifapentin). IPT merupakan bentuk pengobatan pencegahan TB yang

paling banyak digunakan. Di sisi lain, durasi pengobatan pencegahan dengan

regimen rifamycin lebih pendek. Pengobatan pencegahan untuk MDR-TB

memerlukan pendekatan yang berbeda dengan menggunakan fluoroquinolone

atau agen lini kedua lainnya. Pilihan terapi pencegahan yang dapat digunakan

untuk pengobatan LTBI tanpa memandang status HIV antara lain:

21
22

- Isoniazid setiap hari selama 6 atau 9 bulan, atau regimen rifapentin

mingguan plus isoniazid selama 3 bulan, atau regimen isoniazid

harian plus rifampisin 3 bulan. Regimen 1 bulan rifapentin harian

ditambah isoniazid atau 4 bulan rifampisin harian saja juga dapat

digunakan sebagai terapi alternatif. Pilihan panduan TPT dapat dilihat

pada Tabel 4.

- Pada daerah dengan penularan TB yang tinggi, orang dewasa dan

remaja yang dengan HIV atau memiliki tes LTBI yang tidak diketahui

atau positif dan tidak menderita sakit TB harus menerima terapi

pencegahan IPT setidaknya selama 36 bulan. Terapi pencegahan IRT

harus diberikan tanpa memandang penderita tersebut menggunakan

ART atau tidak, tingkat imunosupresi, riwayat pengobatan TB

sebelumnya dan kehamilan.

Tabel 4. Pilihan panduan TPT


No Sasaran Pilihan paduan TPT

3HP 3HR 6H

Kontak serumah usia < 2 tahun


1 *) √ √

Kontak serumah usia 2 – 4


2 tahun √

3 Kontak serumah usia ≥ 5 tahun √

4 ODHA usia < 2 tahun *) √ √

5 ODHA usia ≥ 2 tahun **) √ √

22
23

6 Kelompok risiko lainnya √

(Sumber: Petunjuk Teknis Penanganan Infeksi Laten Tuberkulosis (ILTB),


2020)

Keterangan:

*) Bila 3HR belum tersedia maka dapat menggunakan pilihan paduan TPT

6H, bila 3HR sudah tersedia maka TPT untuk anak usia < 2 tahun

menggunakan paduan 3HR

**) Untuk ODHA yang mendapatkan jenis ARV (dapat melihat pada 4.6

Interaksi Obat) seperti yang memiliki interaksi dengan rifampisin,

kehamilan, ibu menyusui dan malaria berat merupakan kontraindikasi

untuk paduan berbasis rifampisin seperti 3HP atau 3HR maka alternatif

lain dapat menggunakan paduan 6H.9

2.6.1 Monoterapi Isoniazid 6 Bulan

Sebuah tinjauan sistematis RCT pada ODHA menunjukkan monoterapi

isoniazid mengurangi risiko TB secara keseluruhan sebesar 33% (RR 0,67;

95% CI 0,51; 0,87), dan efektivitas pencegahan mencapai 64% untuk orang

dengan TST positif (RR 0,36; 95% CI 0,22; 0,61). Monoterapi isoniazid

selama 6 bulan tidak berbeda secara signifikan dibanding 12 bulan (RR 0,58;

95% CI 0,3; 1,12). Penelitian RCT menunjukkan penurunan yang signifikan

dalam kejadian TB pada peserta yang diberikan monoterapi INH 6 bulan

dibandingkan mereka yang diberi plasebo (Odds ratio [OR] 0,65; 95% CI

0,50; 0,83). Manfaat Isoniazid meningkat secara progresif ketika diberikan

23
24

hingga 9-10 bulan dan stabil setelahnya, oleh karena itu regimen 9H

dipertahankan sebagai rejimen alternatif untuk 6H dalam pilihan pengobatan

pencegahan TB.18

Systematic review dan meta-analisis dari tiga RCT ODHA menunjukkan

bahwa IPT diatas 6 bulan dapat mengurangi risiko TB aktif sebesar 38%.

Efeknya lebih besar pada orang dengan TST positif (49% untuk TB aktif dan

50% untuk kematian). Pada mereka dengan TST negatif, tidak ada efek yang

signifikan, meskipun didapatkan penurunan kejadian TB sebesar 27%. Dalam

dua penelitian yang ditinjau, ART tidak digunakan dan pada penelitian ketiga

cakupan ART dosis rendah pada awal terapi dan ditingkatkan secara

bertahap.18

Adapun paduan TPT dengan menggunakan regimen Isoniazid dosis

tunggal selama 6 bulan:

• Dosis INH usia < 10 tahun 10mg/kg BB/hari (maksimal 300 mg/ hari)

dapat dilihat pada tabel.5 Karakteristik Paduan TPT pada Orang dengan

ILTB.

• Dosis INH usia ≥ 10 tahun 5mg/kg BB/hari (maksimal 300 mg/hari)

dapat dilihat pada tabel.5 Karakteristik Paduan TPT pada Orang dengan

ILTB.

• Dosis obat di sesuaikan dengan kenaikan berat badan setiap bulan.

• Obat di konsumsi satu kali sehari, sebaiknya pada waktu yang sama (pagi,

siang, sore atau malam) saat perut kosong (1 jam sebelum makan atau 2

jam setelah makan).

24
25

• Lama pemberian 6 bulan (1 bulan = 30 hari pengobatan atau diberikan

sebanyak 180 dosis), dengan catatan bila keadaan klinis baik (tidak ada

gejala TBC yang muncul selama pengobatan), obat tetap diberikan

sampai 6 bulan, jika muncul gejala TBC lakukan pemeriksaan untuk

penegakan diagnosis TBC. Jika terbukti sakit TBC, hentikan pemberian

TPT dan diberikan OAT.

• Obat tetap diberikan selama 6 bulan walaupun kasus indeks meninggal,

pindah atau terkonfirmasi bakterilogisnya atau BTA nya sudah menjadi

negatif.

• Pengambilan obat dilakukan pada saat kontrol setiap 1 bulan, dan dapat di

sesuaikan dengan jadwal kontrol kasus indeks

• Pada pasien anak dengan gizi buruk atau infeksi HIV, diberikan vitamin

B6 10mg untuk dosis INH ≤ 200 mg/hari dan 2x10 mg untuk dosis INH

>200 mg/ hari.

• Pada pasien dewasa dengan infeksi HIV, diberikan dosis INH 300

mg/hari dan vitamin B6 25 mg/hari.

• Yang berperan sebagai pengawas minum obat adalah orang tua atau

keluarga pasien.

• Bisa diberikan di semua tingkat layanan termasuk di praktik swasta

(dengan catatan sudah bekerja sama dengan puskesmas dan/atau dinas

kesehatan setempat). 9

25
26

2.6.2 Kombinasi Rifapentin Mingguan dan Isoniazid Harian selama 3

Bulan

Systematic review pada tahun 2018 membandingkan efektivitas regimen

rifapentin mingguan plus isoniazid (3HP) selama 3 bulan dibandingkan

dengan penggunaan monoterapi isoniazid. Tinjauan tersebut mencakup empat

RCT yang dianalisis untuk tiga subkelompok: orang dewasa dengan infeksi

HIV, orang dewasa tanpa infeksi HIV dan anak-anak dan remaja, yang tidak

dapat dikelompokkan menurut HIV status karena studi yang relevan kurang.18

Tidak ada perbedaan signifikan yang ditemukan dalam kejadian TB aktif

antara peserta yang diberikan 3HP dan 6H atau 9H (RR 0,73, 95% CI 0,23;

2,30). Risiko hepatotoksisitas secara signifikan lebih rendah dengan 3HP pada

ODHA dewasa (RR 0,26, 95% CI 0,12; 0,55) dan kelompok non-HIV (RR

0,16, 95% CI 0,10; 0,27). Regimen 3HP juga dikaitkan dengan tingkat

kenyamanan yang paling tinggi diantara semua subkelompok (dewasa dengan

HIV: RR 1,25, 95% CI 1,01; 1,55; orang dewasa tanpa HIV: RR 1,19, 95% CI

1,16; 1.22; anak-anak dan remaja: RR 1,09, 95% CI 1,03; 1.15). Tingkat

infeksi atau kematian TB lebih rendah pada peserta yang diberi isoniazid

berkelanjutan. Dalam sebuah penelitian 3HP pada 112 wanita hamil, tingkat

aborsi spontan dan cacat lahir serupa dengan populasi umum di Amerika

Serikat.18

Adapun anduaan Pengobatan TPT dengan menggunakan regimen

Isoniazoid dan Rifapentin selama 3 bulan:9

26
27

• Dosis INH dan Rifapentine berdasarkan usia dan berat badan (dapat

dilihat pada tabel.6 Karakteristik Paduan TPT pada Orang dengan ILTB).

• Pemberian dosis 3HP dpat dilihat pada table 5 berikut :

Tabel5. Pemberian Dosis 3 HP


Usia 2-14 tahun
Sediaan Obat 10-15 kg 16-23 kg 24-30 kg 31-34 kg >34 kg
INH 100 mg
(tablet) 3 5 6 7 7
Rifapentine 150
mg 2 3 4 5 5
(tablet)
Usia >14 tahun
Sediaan Obat 30-35 kg 36-45 kg 46-55 kg 56-70 kg >70 kg
INH 300 mg
(tablet) 3 3 3 3 3
Rifapentine 150
mg 6 6 6 6 6
(tablet)
(Sumber: Petunjuk Teknis Penanganan Infeksi Laten Tuberkulosis (ILTB),
2020)

• Paduan 3HP hanya dapat digunakan pada usia mulai ≥2 tahun.

• Sebagai catatan, obat ini tidak direkomendasikan penggunaannya pada

anak berusia < 2 tahun dan ibu hamil karena hingga saat ini belum adanya

data atau informasi terkait dengan keamanan serta farmakokinetik dari

rifapentin.

27
28

• Wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal harus disarankan untuk

menggunakan metode kontrasepsi penghalang tambahan seperti kondom,

kap serviks, contraceptive sponge, diafragma untuk mencegah kehamilan.

• Dosis INH maksimal 900 mg/hari.

• Dosis Rifapentine maksimal 900 mg/hari.

• Dosis obat di sesuaikan dengan kenaikan berat badan setiap bulan.

• Obat dikonsumsi satu kali seminggu, sebaiknya pada waktu yang sama

(pagi, siang, sore atau malam) saat perut kosong (1 jam sebelum makan

atau 2 jam setelah makan). Pada anak, rifapentine dapat dikonsumsi

dengan cara dihancurkan dan dicampur dengan sedikit makanan, seperti

bubur, pudding, yogurt, es krim dan makanan lain yang disukai anak, hal

ini untuk mengatasi rasa pahit rifapentine. Namun rifapentine tidak boleh

dikonsumsi bersamaan dengan buah atau makanan yang berbasis buah.

• Lama pemberian 3 bulan (1 bulan = 4 minggu pengobatan atau diberikan

sebanyak 12 dosis), dengan catatan bila keadaan klinis baik (tidak ada

gejala TBC yang muncul selama pengobatan), obat tetap diberikan

sampai 3 bulan, jika muncul gejala TBC lakukan pemeriksaan untuk

penegakan diagnosis TBC. Jika terbukti sakit TBC, hentikan pemberian

TPT dan diberikan OAT.

• Obat tetap diberikan selama 3 bulan walaupun kasus indeks meninggal,

pindah atau terkonfirmasi bakterilogisnya atau BTA nya sudah menjadi

negatif.

28
29

• Pengambilan obat dilakukan pada saat kontrol setiap 1 bulan, dan dapat di

sesuaikan dengan jadwal kontrol kasus indeks.

• Pada pasien anak dengan gizi buruk atau infeksi HIV, diberikan vitamin

B6 10mg untuk dosis INH ≤ 200 mg/hari dan 2x10 mg untuk dosis INH

>200 mg/ hari.

• Pada pasien dewasa dengan infeksi HIV, diberikan dosis INH 300

mg/hari dan vitamin B6 25 mg/hari untuk dikonsumsi sekali seminggu.

Catatan : jika terdapat tanda neuropati perifer dosis B6 menjadi 50mg/hari

untuk dikonsumsi sekali seminggu.

• 3HP dapat diberikan kepada pasien HIV yang menjalani pengobatan

ARV yang umum digunakan kecuali Nevirapine dan golongan protase

inhibitor. ARV seperti efavirenz atau raltegravir termasuk didalamnya

dolutegravir aman digunakan tanpa adanya perubahan dosis (3).

• Dokter maupun perawat dapat memilih metode directly observed

treatment (DOT) atau Self-administered treatment (SAT) dalam

memberikan 3HP kepada pasien. Pemilihan metode bisa disesuaikan

dengan konteks lokal, preferensi pasien dan atau pertimbangan lain

seperti risiko berkembang menjadi sakit TBC yang parah.

• Suplemen (obat herbal) yang belum diatur dosis pemakaiannya harus

dihindari ketika mengkonsumsi 3HP karena efeknya pada rejimen tidak

dapat diantisipasi atau diukur.

29
30

• Jika selama menjalani TPT dengan paduan 3HP pasien didiagnosis

malaria. Lakukan pengobatan malaria terlebih dahulu dan lanjutkan

setelah pengobatan malaria selesai dan gejala menghilang.

• Yang berperan sebagai pengawas minum obat adalah orang tua atau

keluarga pasien

• Bisa diberikan di semua tingkat layanan termasuk di praktik swasta

(dengan catatan sudah bekerja sama dengan puskesmas dan/atau dinas

kesehatan setempat).9

2.6.3 Kombinasi Isoniazid dan Rifampisin selama 3 Bulan

Systematic review pada tahun 2017 menunjukkan bahwa efikasi dan

keamanan pengguanan rifampisin harian plus isoniazid 3-4 bulan serupa

dengan penggunaan isoniazid dosis tunggal yang diberiksan selama 6 bulan.

Oleh karena itu, rifampisin harian plus isoniazid dapat digunakan sebagai

alternatif isoniazid.18 Adapun panduan untuk TPT 3 HR antara lain sebagai

berikut:9

• Dosis INH usia < 10 tahun 10mg/kg BB/hari (maksimal 300 mg/ hari)

dan dosis R usia < 10 tahun 15kg/mg BB/hari (maksimal 600 mg/hari)

dapat dilihat pada tabel.5 Karakteristik Paduan TPT pada Orang dengan

ILTB.

• Dosis INH usia ≥ 10 tahun 5mg/kg BB/hari (maksimal 300 mg/hari) dan

dosis R usia ≥ 10 tahun 10 mg/kg BB/hari dapat dilihat pada tabel.5

Karakteristik Paduan TPT pada Orang dengan ILTB.

30
31

• Dosis obat di sesuaikan dengan kenaikan berat badan setiap bulan.

• Obat dikonsumsi satu kali sehari, sebaiknya pada waktu yang sama (pagi,

siang, sore atau malam) saat perut kosong (1 jam sebelum makan atau 2

jam setelah makan).

• Lama pemberian 3 bulan (1 bulan = 28 hari pengobatan atau diberikan

sebanyak 84 dosis), dengan catatan bila keadaan klinis baik (tidak ada

gejala TBC yang muncul selama pengobatan), obat tetap diberikan

sampai 3 bulan, jika muncul gejala TBC lakukan pemeriksaan untuk

penegakan diagnosis TBC. Jika terbukti sakit TBC, hentikan pemberian

TPT dan diberikan OAT.

• Obat tetap diberikan selama 3 bulan walaupun kasus indeks meninggal,

pindah atau terkonfirmasi bakterilogisnya atau BTA nya sudah menjadi

negatif.

• Pengambilan obat dilakukan pada saat kontrol setiap 1 bulan, dan dapat di

sesuaikan dengan jadwal kontrol kasus indeks.

• Pada pasien anak dengan gizi buruk atau infeksi HIV, diberikan vitamin

B6 10mg untuk dosis INH ≤ 200 mg/hari dan 2x10 mg untuk dosis INH

>200 mg/ hari.

• Pada pasien dewasa dengan infeksi HIV, diberikan dosis INH 300

mg/hari dan vitamin B6 25 mg/hari untuk dikonsumsi sekali

seminggu.Yang berperan sebagai pengawas minum obat adalah orang tua

atau keluarga pasien.

31
32

• Bisa diberikan di semua tingkat layanan termasuk di praktik swasta

(dengan catatan sudah bekerja sama dengan puskesmas dan/atau dinas

kesehatan setempat).9

2.6.4 Penggunaan Rifapentin Harian selama 1 Bulan

Pada tahun 2019 terdapatr 1 penelitian RCT yang membandingkan efikasi

dan keamanan 1HP dengan isoniazid dosis tunggal selama 9 bulan pada

ODHA yang tinggal di daerah dengan prevalensi tuberkulosis tinggi atau yang

memiliki bukti LTBI. Di antara semua peserta penelitian, perbedaan tingkat

kejadian TB (termasuk kematian karena sebab apa pun) antara 1HP dan 9H

(yaitu kelompok 1HP dikurangi kelompok 9H) adalah 0,02 per 100 orang per

tahun (CI 95%, 0,35 ; +0,30); RR untuk pengobatan 1HP dibandinhg INH

selama 9 bulan adalah 1,04 (95% CI, 0,99; 1,10); RR untuk efek samping

adalah 0,86 (95% CI, 0,58; 1,27); hazard ratio kematian dari penyebab apapun

adalah 0,75 pada 1HP (95% CI, 0,42; 1,31); RR munculnya resistensi

terhadap isoniazid dan rifampisin berturut-turut adalah 1,63 (95% CI, 0,17;

15,99) dan 0,81 (95% CI, 0,06; 11.77)

Tabel 6. Karakteristik Paduan TPT pada Orang dengan ILTB


6H 3HP 3HR 1HP*

Interval pem- Harian Mingguan Harian Harian


berian

Durasi 6 bulan 3 bulan 3 bulan 1 bulan

32
33

180 dosis 12 dosis 84 dosis 28 dosis

<10 tahun: 10 mg/ 2-14 tahun <10 tahun: INH 10 mg/ INH 300 mg
kg BB kg BB, RIF 15 mg/kg RPT 600 mg
10-15 kg INH BB Untuk semua BB
300mg

RPT
300mg

16-23 kg INH
500mg

RPT
450mg

24-30 kg INH
600mg

RPT
600mg

≥ 31 kg INH
700mg

RPT
750mg

≥ 10 tahun: 5 mg/ >14 thn untuk semua BB ≥10 thn: INH 5 mg/kg

kg BB ≥ 30 kg: INH 900 mg, RPT BB, RIF 10 mg/kg BB

Dosis 900 mg

Sediaan 300mg RPT 150 mg RIF 300mg/150mg 150mg


INH 300mg INH 300mg

Pill burden per 1 (180) Lepasan: 9 (108) 3 (252) 5 (140)


dosis (total)a KDT: 3 (36)

Kriteria umur Semua umur; sesuai ≥ 2 tahun Semua umur ≥ 13 tahun


utk anak HIV+ yg
menerima LPV-
RTV,
NVP, DTG

Semua PIs, NVP/NNRTIs, Semua PIs,


Interaksi den- Tidak ada TAF NVP/hampir Semua PIs, NVP/
gan ARV semua NNRTIs hampir semua
NNRTIs

33
34

TDF, EFV (600 mg), DTGb, TDF, EFV (600


Dapat digu- RALb TDF, EFV (600 mg) mg),
nakan DTGb, RALb
Dgn perhatian khusus:
TAF
Penyesuaian dosis:
DTG, RAL

Absorbsi obat Paling baik dalam Baik diberikan bersamaan Absorbsi rifampisin Sama dengan 3HP
dengan makanan;
perut kosong; bioavailability sangat cepat tapi
hindari makanan RPT oral sebesar 70% dapat diperlambat
berlemak – atau menurun dengan
konsentrasi dapat konsumsi makanan
berkurang sampai tinggi lemak
50%

(Sumber: Petunjuk Teknis Penanganan Infeksi Laten Tuberkulosis (ILTB),


2020)

Keterangan: DTG = dolutegravir, EFV = efavirenz, H = isoniazid, LPV-RTV

= lopinavirritonavir, NNRTI = non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors,

NVP = nevirapine, PIs = protease inhibitors, P = rifapentine, R = rifampicin,

RAL = raltegravir, TAF = tenofir alafenamide, TDF = renofovir disporoxil

fumarate a. Rata-rata perhitungan pill burden pada orang dewasa dengan

bentuk obat: H=300 mg; RIF= 300 mg/150 mg; RPT = 150 mg b. Studi

interaksi antar obat telah dilakukan pada kelompok dewasa saja, belum

termasuk anak-anak; berlaku untuk orang dewasa yang menggunakan DTG

atau RAL. * Belum disediakan oleh Program TB Nasional.9

34
35

2.7 Evaluasi dan Pemantauan TPT Saat Kontrol

Pemantauan secara rutin perlu dilakukan selama pasien menjalani TPT.

Pasien harus dipantau sebulan sekali saat kontrol sebagai berikut:

1. Evaluasi munculnya gejala TBC

a. Pada anak usia 0-14 tahun

 ODHA

- Tanyakan ada tidaknya keluhan terkait gejala TB,

seperti : batuk, demam, penurunan berat badan, atau

berkeringat di malam hari.

- Untuk anak usia < 10 tahun, pantau berat badan anak,

apakah mengalami penurunan > 5% sejak kunjungan

terakhir atau kurva pertumbuhan datar atau berat badan

sesuai usia sebesar < -2 Z-Skor.

 Kontak serumah dan/atau kelompok risiko lainnya

- Tanyakan ada tidaknya keluhan terkait gejala TBC,

seperti : batuk, demam, berat badan menurun atau tidak

naik dalam atau terjadi gagal tumbuh meskipun telah

diberikan upaya perbaikan gizi, lesu atau anak kurang

aktif bermain, keringat malam saja bukan merupakan

35
36

gejala spesifik TBC pada anak apabila tidak disertai

gejala umum lainnya.

- Pada anak usia dibawah 5 tahun, tanyakan juga apakah

anak mengalami anoreksia, tidak nafsu makan.

 Secara umum, pantau berat badan anak sesuai grafik.

Waspadai arah garis pertumbuhan berat badan pada grafik

tumbuh kembang anak dalam KMS (tidak ada kenaikan,

ada penurunan, atau naik tidak sesuai arah garis).

 Secara umum, periksa apakah ada pembesaran kelenjar

getah bening di leher, ketiak dan inguinal, serta gejala TBC

di organ lain.

 Jika terdapat gejala TBC seperti di atas, maka dilakukan

pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis TBC. Tata

laksana selanjutnya tergantung dari hasil

b. Pemeriksaan pada remaja dan dewasa usia ≥ 15 tahun

 ODHA

- Tanyakan ada tidaknya keluhan terkait gejala TBC,

seperti : batuk, demam, penurunan berat badan, atau

berkeringat di malam hari.

 Kontak serumah dan/atau kelompok risiko lainnya

Tanyakan ada tidaknya keluhan terkait gejala TBC,

seperti : batuk, demam, keringat di malam hari, hemoptisis,

36
37

penurunan berat badan, nyeri dada, sesak napas, atau

kelelahan.

 Jika terdapat gejala TBC seperti di atas, maka dilakukan

pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis TBC. Tata

laksana selanjutnya tergantung dari hasil.9

2. Efek samping9

- Pemantauan efek samping TPT dilakukan pada semua individu

yang mendapatkan TPT

- Konseling kepatuhan untuk memastikan kepatuhan minum obat jika

diperlukan untuk memantau efek samping:

 Tanyakan apakah ada keluhan terkait efek samping obat

seperti mual muntah, tampak kuning, dan gatal gatal, dll.

 Periksa apakah ada tanda tanda efek samping seperti ikterik,

pembesaran hepar, ruam di kulit. Gambaran efek samping

obat secara lengkap dan tatalaksananya berdasarkan jenis

obat yang diberikan dapat dilihat pada Tabel7.9

Tabel 7. Efek Samping Obat dan Tatalaksana


Obat Efek samping Tatalaksana

Isoniazid (H) Berikan atau tingkatkan dosis


Neuropati perifer • piridok-
(Sekitar kurang dari 0,2% sin (B6).

37
38

orang yang menjalani TPT


6H • Jika menetap atau berat, hentikan
mengalaminya)* INH.

Hentikan minum obat, tes fungsi


Hepatotoksisitas • hati;
(Sekitar 2-6% orang yang tunggu sampai fungsi hati normal.
menjalani TPT 6H Obat diberikan sekuensial satu
mengala- • demi
satu setiap 2 hari sebelum
minya)* menambah
obat.

Verifikasi dosis obat, hentikan


Gangguan neuropsikiatri • obat
yng diduga menjadi penyebab.
• Jika gejala menetap, hentikan obat
yang paling mungkin jadi
penyebab.
• Jika gejala berat atau menetap
hentikan obat yang paling
mungkin
menjadi penyebab atau
mengurangi
dosis.

Rifampisin (R) Reaksi seperti flu (flu-like • Hentikan obat.


dan
Rifapentine (P) Pertimbangkan pemberian obat
syndrome) berupa demam • anti-
histamin (diphenhydramine,
disertai lemas, lelah, sakit loratadine
kepala, nyeri otot,
takikardi dll)
atau palpitasi, berkeringat • Antiemetik, antidiare.
atau gejala lainnya • Bronkodilator

• Steroid

Hepatotoksisitas • Tunggu sampai gejala klinis


membaik
(Sekitar 1% orang yang

38
39

men-
jalani 3HP
mengalaminya)*

Ruam kulit

Gejala gangguan
pencernaan
seperti mual, muntah, atau
sakit perut

Perubahan warna cairan Berikan konseling agar pasien tahu


tubuh seperti urin,
keringat bahwa perubahan warna cairan tubuh
atau air mata merupakan hal yang normal karena
hasil ekskresi dari pengobatan dan
tidak
berbahaya.

Hipersensitivitas seperti • Hentikan minum obat


hipotensi, pingsan,
takikardi, • Berikan perawatan dukungan pada
anapilaksis atau
bronkoplas- kondisi mendesak
ma. Reaksi ini sangat
jarang • Melakukan rujukan untuk pemer-
terjadi (Sekitar 4% orang iksaan dan tatalaksana lanjut yang
yang menjalani 3HP
mengal- dibutuhkan.
aminya)*

(Sumber: Petunjuk Teknis Penanganan Infeksi Laten Tuberkulosis (ILTB),


2020)

o Bila terdapat gejala efek samping seperti di atas, maka

obat sementara dihentikan dan lakukan tatalaksana efek

samping.

39
40

o jika reaksi obat berat segera diberikan perawatan

suportif dan lakukan rujukan.

o jika reaksi obat sedang/ringan – pastikan oleh tenaga

kesehatan bahwa reaksi yang timbul akibat TPT,

berikan perawatan suportif dan observasi hingga reaksi

obat menghilang, jika reaksi akibat obat terus muncul

lakukan pemeriksaan lebih lanjut.9

3. Lakukan penilaian terhadap kepatuhan dan keteraturan pasien minum

obat. Jika terdapat ketidakteraturan minum obat, harus dicari

permasalahannya dan didiskusikan pemecahannya. Selain itu untuk

memastikan keteraturan minum obat, tenaga terlatih dapat memberikan

Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) kepada pasien dan anggota

keluarga terdekat yang berperan sebagai pengawas minum obat.

Konseling kepatuhan dianggap penting karena orang dengan ILTB

pada umumnya tidak bergejala walaupun sebetulnya telah terinfeksi

kuman TBC. Obat paduan TPT diberikan untuk mencegah sakit TBC.

Informasi ini penting disampaikan agar orang dengan ILTB mau

menyelesasaikan pengobatan dan tidak menolak/ menghentikan TPT

sebelum selesai. Keteraturan minum obat dipantau melalui formulir

TBC.01P.9

40
41

2.8 Evaluasi Bulanan

Bila saat kontrol tidak ada masalah, maka pemberian TPT dapat

dilanjutkan untuk bulan berikutnya. Namn apabila ada pengobatan yang

terlewatkan maka tatalaksana yang dapat diberikan adalah seperti yang

djelaskan dalam Tabel8.

Tabel 8. Tatalaksana TPT yang Terlewat


Rejimen Durasi terapi Langkah selanjutnya Saran tinda-
TPT tertunda kan
3HR, 6H Kurang dari 2 Lanjutkan TPT segera dan tambahkan jumlah Menyamapaikan
minggu hari berdasarkan dosis yang terlewat dari total
durasi pengobatan. lasan tertundanya
TPT
Jangan mengubah tanggal yang dijadwalkan untuk
kunjungan berikutnya, tetapi kunjungan terakhir
akan ditunda sesuai tambahan jumlah hari untuk
mengganti dosis yang terlewatkan (misal: jika Memberikan
seorang anak dengan 3HR melewatkan 3 hari, nasihat kepada
lanjutkan TPT untuk durasi 3 bulan + 3 hari dari orang dengan TPT
tanggalmemulai) dan pendamping
Lebih dari 2 Jika berhentinya TPT terjadi setelah lebih dari ten tang pentingnya
80% TPT dan kepatuhan
Minggu selesai pengobatan.
dosis yang diharapkan pada rejimen terpilih, tidak
Peninjauan dan
perlu ada tindakan. Lanjutkan dan selesaikan persetujuan
sisa dengan orang
perawatan sesuai rencana awal. dengan TPT dan
pendamping
Jika berhentinya TPT kurang dari 80% dari mengenai cara
dosis terbaik untuk
meningkatkan
yang diharapkan pada rejimen terpilih, TPT kepatuhan,
masih
dapat diselesaikan sesuai waktu yang diharapkan,
yaitu durasi pengobatan + 33% waktu
tambahan,
tidak perlu ada tindakan. Lanjutkan dan selesaikan
sisa perawatan sesuai rencana awal.
Jika pasien tetap tidak dapat menyelesaikan min-
imal 80% dari total dosis yang diharapkan
setelah
diberikan perpanjangan waktu, pertimbangkan

41
42

memulai TPT kembali secara lengkap.

Jika dosis yang terlewat adalah 2 hari ke depan,

orang tersebut dapat segera melanjutkan minum

obat. Lanjutkan jadwal sesuai rencana semula

(misal, terus minum obat sesuai dosis yang tersisa

mengikuti jadwal yang sama).

Jika dosis yang terlewatkan lebih dari 2 hari kemu-

dian, orang tersebut dapat segera mengambil

dosis yang terlewat dan mengubah jadwal asupan

mingguan menjadi hari dosis yang dilewatkan

itu diambil sampai pengobatan selesai. Ini akan

menghindari dua dosis mingguan yang diambil

kurang dari 4 hari

Jika antara 1-3 dosis mingguan terlewatkan, terapi

dilanjutkan sampai semua 12 dosis diminum,

sehingga memperpanjang durasi terapi hingga


Satu dosis
maksimum 16 minggu.
Terlewat
Namun, jika 4 atau lebih dosis mingguan terlewat,
dalam jadwal

mingguan pertimbangkan untuk memulai kembali TPT

Lebih dari lengkap.

satu minggu Jika kepatuhan terhadap rutinitas mingguan tidak

dosis 3HP memungkinkan, pertimbangkan menghentikan

3HP yang terlewat 3HP dan menawarkan rejimen alternatif (harian).

1HP* Kurang dari 1 Jika lebih dari 80% dosis yang diharapkan dalam

minggu rejimen itu diminum tidak diperlukan tindakan,

cukup lengkapi dosis yang tersisa.

Jika kurang dari 80% dari dosis yang diharapkan

dalam rejimen diambil, segera melanjutkan terapi

segera setelah kembali dan menambahkan dosis

yang terlewat pada total durasi terapi untuk

menyelesaikan rangkaian terapi dalam waktu

42
43

maksimal 6 minggu.

Lebih dari 1 Jika lebih dari 7 dosis berturut-turut terlewatkan,

minggu pertimbangkan untuk memulai kembali rangkaian

lengkap rejimen 1HP.

Jika lebih dari 7 dosis terlewat tidak berturut-turut,

lanjutkan TPT segera setelah kembali dan tambah-

kan dosis yang terlewat ke total durasi terapi un-

tuk menyelesaikan rangkaian terapi dalam waktu

maksimum 8 minggu.

Jika kepatuhan terhadap 1HP tidak memungkink-

an, pertimbangkan untuk menghentikannya dan

menawarkan rejimen harian alternatif atau 3HP

(Sumber: Petunjuk Teknis Penanganan Infeksi Laten Tuberkulosis (ILTB),


2020)

2.9 Hasil Akhir Pemberian TPT

Berikut kategori hasil akhir dari pemberian TPT:

a. Pengobatan lengkap Dewasa maupun anak yang telah menyelesaikan

minimal 80% rangkaian pengobatan pencegahan sesuai dengan durasi

dari paduan TPT yang dipilih:

b. Putus berobat Jika dewasa maupun anak tidak minum obat TPT selama

1 bulan atau lebih secara berturut-turut.

c. Gagal selama pemberian TPT Dewasa maupun anak yang sedang

dalam pemberian TPT menjadi sakit TBC.

d. Meninggal Dewasa maupun anak yang meninggal sebelum

menyelesaikan TPT dengan sebab apapun.

43
44

e. Tidak dievaluasi Dewasa maupun anak yang tidak diketahui hasil

akhir terapi, termasuk dalam kriteria ini adalah pasien pindah ke

fasyankes lain dimana hasil terapi tidak diinformasikan ke fasyankes

pengirim.9

2.10 Interaksi Obat (terutana untuk ODHA)

Rifapentine (RPT) harian dan rifampisin (R) harian merupakan

penginduksi kuat enzim sitokrom P450, oleh karena itu dapat mengganggu

penyerapan obat-obatan yang metabolismenya menggunakan enzim sitokrom

P450. Obat-obatan ini termasuk ART dan juga banyak obat lain seperti

antikonvulsan, antiaritmia, kina, antikoagulan oral, antijamur, kontrasepsi oral

atau injeksi, kortikosteroid, siklosporin, fluoroquinolon dan antimikroba

lainnya, agen hipoglikemik oral, metadon, dan antiseptiklik. Induksi dan

peningkatan aktivitas enzim sitokorom P450 ini mengakibatkan terjadinya

percepatan eliminasi obat dalam tubuh, sehingga kadar obat-obatan ini dalam

tubuh cepat berkurang, dan karenanya dapat menjadi tidak efektif. Oleh

karena itu jika obat-obatan tersebut diberikan bersamaan dengan regimen

yang mengandung rifampisin atau rifapentine, maka obat-obatan tersebut

perlu dihindari atau dilakukan penyesuaian dosis. 9

Regimen yang mengandung rifampisin harus diresepkan dengan hati-hati

untuk ODHA yang memakai ART karena potensi terjadinya interaksi antar

44
45

obat. Regimen ini tidak boleh diberikan kepada orang yang menerima

protease inhibitor atau regimen berbasis nevirapine, karena dapat menurunkan

konsentrasi obat tersebut. ART yang tergolong protease inhibitor antara lain:

atazanavir, darunavir, fosamprenavir, lopinavir, saquinavir, ritonavir dan

tipranavir. 9

Tidak diperlukan penyesuaian dosis ketika rifampisin diberikan bersama

dengan efavirenz. Namun, dosis dolutegravir perlu ditingkatkan menjadi 50

mg dua kali sehari bila diberikan bersama dengan rifampisin, dosis ini

ditoleransi dengan baik dan memberikan efikasi yang setara dalam penekanan

jumlah virus dan pemulihan jumlah CD4 dibandingkan dengan efavirenz. 9

Penelitian menunjukkan tidak adanya interaksi obat yang signifikan antara

rifapentine dengan rejimen ARV berbasis NNRTI efavirenz dan INSTI

raltegravir. Tidak ada interaksi obat yang signifikan antara rifapentine dan

regimen ART yang mengandung abacavir (ABC), emtricitabine (FTC),

tenofovir-disoproxil fumarate (TDF), lamivudine (3TC), or zidovudine (AZT).

Efavirenz atau regimen berbasis raltegravir yang digunakan dengan kombinasi

dengan ABC/3TC atau TDF/FTC dapat digunakan bersamaan dengan 3HP.9

Dalam penelitian awal, 3HP yang diberikan bersamaan dengan

dolutegravir (DTG) menyebabkan efek samping serius pada 2 dari 4 subyek

penelitian yang sehat. Pada fase penelitian berikutnya, dilakukan pemberian

3HP dan DTG pada pasien dewasa dengan HIV. Penelitian ini melaporkan

toleransi obat yang baik, penekanan viral load, tidak terjadinya efek samping

berat (adverse event Grade> 3) yang terkait dengan HP, dan tidak

45
46

menunjukkan bahwa rifapentine mengurangi tingkat dolutegravir sehingga

tidak memerlukan penyesuaian dosis.9

2.11 Kondisi dalam Pertimbangan Khusus

a. TPT harus diberikan termasuk pada perempuan hamil dengan infeksi

laten untuk melindungi dari risiko sakit TBC aktif. Pemantauan rutin

selama masa kunjungan antenatal dan pospartum dapat meminimalisir

terjadi efek samping. Pemeriksaan baseline fungsi hati (SGOT dan

SGPT) sangat disarankan untuk dilakukan sebelum memulai TPT,

meskipun demikian pemeriksaan ini bukan suatu keharusan, termasuk

pemeriksaan fungsi hati secara rutin, kecuali ada risiko atau indikasi

gangguan fungsi hati muncul. Vitamin B6 sebaiknya diberikan selama

masa pemberian TPT. Pada umumnya penggunaan rifampisin dapat

dikategorikan aman selama masa kehamilan. Meskipun demikian,

untuk paduan rifapentine masih belum tersedia bukti farmakokinetik

dan keamanan yang cukup untuk dapat digunakan pada perempuan

hamil.

b. Pemeriksaan baseline fungsi hati tidak wajib, namun jika tersedia

dianjurkan dilakukan untuk kelompok yang berisiko berikut: memiliki

riwayat penyakit hati, konsumsi alkohol rutin, penyakit hati kronis,

HIV+, berusia >35 tahun, sedang hamil atau masa postpartum (3 bulan

setelah melahirkan). Penilaian klinis harus dilakukan pada individu

dengan hasil pemeriksaan yang abnormal untuk memastikan manfaat

46
47

dari TPT melebihi risiko yang mungkin terjadi. Selain itu,

pemeriksaan fungsi hati harus rutin dilakukan selama masa

pengobatan.

c. Pemeriksaan fungsi hati (SGOT/SGPT) pada ODHA tidak menjadi

prasyarat untuk memulai TPT. Pemeriksaan fungsi hati dapat

dilakukan sejalan dengan pemberian obat TPT.

d. Pemberian TPT pada ODHA harus dihentikan apabila hasil

pemeriksaan menunjukkan transaminase menngkat ≥3 kali batas atas

normal disertai gejala awal hepatitis (lemah, lesu, hilang nafsu makan,

mual, muntah) atau meningkat 5 kali dari batas normal.

e. Obat golongan Rifamisin (Rifampisin dan Rifapentine) dapat

berinteraksi dengan kina untuk pengobatan malaria pada orang

dewasa. Termasuk pula dengan mefloquine, artemether,

dihydroartemisinin dan lumefantrine. Menimbang hal tersebut maka:

- Pengobatan malaria harus menjadi prioritas dan diselesaikan

terlebih dahulu pada individu terdiagnosis malaria dan

memiliki infeksi laten TB namun belum memulai TPT;

- Individu yang terdiagnosis malaria pada saat TPT harus segera

memulai perawatan malaria secara bersamaan serta dipantau

secara klinis sesuai pedoman yang berlaku untuk memastikan

individu telah sembuh dari malaria. Belum tersedia bukti yang

47
48

cukup terkait perlunya penyesuaian dosis TPT maupun ACT

(artemisinin-based combination therapies).

- Pengobatan malaria harus dilakukan pada individu yang

mengalami malaria kambuh selama masa TPT. Penghentian

TPT dapat dihentikan apabila obat malaria yang diberikan

memiliki interaksi dengan rifamisin. TPT dapat kembali

dilanjutkan apabila pengobatan malaria telah selesai.

- TPT harus dihentikan pada individu dengan gejala malaria

berat (gangguan kesadaran, kadar gula darah rendah, mata

kuning dan tubuh kuning, pendarahan, anemia, gagal ginjal dan

parasitemia >10%) untuk segera diberikan perawatan malaria

lebih lanjut.9

48
49

RINGKASAN

Tuberkulosis Multi Drug Resistant (TB MDR) merupakan penyakit

infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang sudah resisten

terhadap isoniazid dan rifampisin. Secara umum resistensi terhadap obat

tuberkulosis dibagi menjadi resistensi primer, resistensi inisial, resistensi

sekunder. Penggolongan lain resistensi pengobatan TB antara lain:

monoresistan , multi drug resistance, extensively drug resistance, TB resistan

rifampisin, serta poliresistan.

Kejadian MDR terus bertambah dan makin meluas, hal ini disebabkan

oleh tatalaksana TB yang tidak adekuat serta adanya penularan dari satu

penderita MDR ke orang disekitarnya. Indonesia menempati urutan ke-10 di

dunia dengan estimasi 6.800 kasus MDR TB/tahun. Indonesia termasuk dalam

30 negara dengan beban TB MDR tertinggi di dunia dengan insidensi pada

49
50

tahun 2017 mencapai 8,8 kasus/ 100.000 penduduk.. Risiko penyakit TB pada

ODHA, anak kontak serumah dengan pasien TBC terkonfirmasi bakteriologis

dan kelompok berisiko lainnya dapat dikurangi dengan pemberian TPT.

Rekomendasi dalam Pedoman konsolidasi WHO tentang TB mencakup

empat pokok bahasan, yakni: Mengidentifikasi populasi untuk tes ILTB dan

pengobatan pencegahan TB, algoritma untuk menyingkirkan penyakit TB

aktif, pengujian untuk ILTB, serta pilihan pengobatan pencegahan TB.

Dalam memberikan terapi pencegahan TB (TPT) maka langkah pertama

adalah menentukan kelompok risiko yang merupakan prioritas sasaran

pemberian TPT. Adapun kelompok resiko tersebut antara lain: ODHA, kontak

serumah dengan pasien TB paru yang terkonfirmasi bakteriologis , kelompok

risiko lainnya dengan HIV negatif.9 Pengobatan TPT diberikan pada ODHA

tidak bergejala TB kontak serumah serta kelompok resiko lainnya yang tidak

menjadi kontra indikasi pada TPT.

Pengobatan TPT yang dapat digunakan adalah monoterapi Isoniazid 6

bulan, kombinasi rifapentin mingguan dan isoniazid harian selama 3 bulan,

kombinasi isoniazid dan rifampisin selama 3 bulan, serta regimen rifapentin

harian selama 1 bulan. Isoniazid monoterapi selama 6 bulan diberikan dengan

dosis 10mg/kg BB/hari < 10 tahun, 5mg/kg BB/hari untuk usia ≥ 10 tahun

(maksimal 300 mg/hari). Paduan 3HP hanya dapat digunakan pada usia mulai

≥2 tahun, dengan dosis INH maksimal 900 mg/hari sedangkan dosis

50
51

Rifapentine maksimal 900 mg/hari. Rifapentin dosis tunggal hanya dapat

diberikan pada anak ≥ 13 tahun.

Monoterapi isoniazid selama 6 bulan tidak berbeda secara signifikan

dibanding 12 bulan. Tidak ada perbedaan signifikan yang ditemukan dalam

kejadian TB aktif antara peserta yang diberikan 3HP dan 6H atau 9H. Risiko

hepatotoksisitas secara signifikan lebih rendah dengan 3HP pada ODHA

dewasa dan kelompok non-HIV. Regimen 3HP juga dikaitkan dengan tingkat

kenyamanan yang paling tinggi diantara semua subkelompok. Efikasi dan

keamanan pengguanan rifampisin harian plus isoniazid 3-4 bulan serupa

dengan penggunaan isoniazid dosis tunggal yang diberiksan selama 6 bulan.

Efek samping pengobatan yang mungkin terjadi antara lain neuropati

perifer, hepatotoksisitas, gangguan neuropsikiatri pada penggunaan INH.

Sedangkan rimfamisin dan rifapentin membrikan efek samping berupa flu like

syndrome, hepatotoksisitas, ruam kulit, gangguan pencernaan, perubahan

warna cairan tubuh, hipersensitivitas sepeti hipotensi, pimgsan, takikardi,

anapilaksis atau bronkospasme.

Bila terdapat gejala efek samping seperti di atas, maka obat sementara

dihentikan dan lakukan tatalaksana efek samping. Jika reaksi obat

sedang/ringan, berikan perawatan suportif dan observasi hingga reaksi obat

menghilang, jika reaksi akibat obat terus muncul lakukan pemeriksaan lebih

lanjut. Jika reaksi obat berat segera diberikan perawatan suportif dan lakukan

rujukan.9

51
52

/DAFTAR PUSTAKA

1. Budi S. Darmawan, Utomo S. Adi, Setiawati Landia, Triasih Rina, Fitry


Y. Finny. Tuberkulosis dalam Pedoman pelayanan medis Ikatan Dokter
Anak Indonesia Jilid 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2010
2. Kartasasmita, Cissy B, Basir Darfioes. Tuberkulosis dalam Buku ajar
respirologi anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2018:150-4.
3. Global Tuberculosis Report : Executive Sumary 2020. Geneva: World
Health Organization. 2020. Diunduh dari :
https://www.who.int/tb/publications/global_report/TB20_Exec_Sum_20
201014.pdf pada 9 Mei 2021
4. TB Anak 2021. Kementrian Republik Indonesia. Diunduh dari:
https://tbindonesia.or.id/pustaka-tbc/informasi/teknis/tb-anak
5. Situasi TBC di Indonesia. Kementrian Republik Indonesia. Diunduh
dari: https://tbindonesia.or.id/pustaka-tbc/informasi/tentang-tbc/situasi-
tbc-di-indonesia-2/
6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 67 Tahun 2016
tentang Penganggulangan Tuberkulosis. 2016.
7. Susilawati, Tri N., Larasati Riska. A recent update of the diagnostic
methods for tuberculosis and their applicability in Indonesia: a narrative
review. Med J Indones. 2019;28:284–91
8. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 364 Tahun 2009
tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB). 2009
9. Pambudi I., Widada S., Lukitosari E., penyunting. Petunjuk Teknis
Penanganan Infeksi Laten Tuberkulosis (ILTB). Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia 2020. Jakarta, 2020: 5-36
10. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2018, ISBN
978 92 4 156564 6. 2018.
11. Rahajoe Nastiti N., Setyanto Darmawan B. Diagnosis Tuberkulosis pada
anak dalam Buku ajar respirologi anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI,
2018:179-94

52
53

12. Ahmed Amina, Feng Pei-jean, Gaensbauer James T., Reves Randall,
Khurana Renuka, Saldeco Katya, et all . Interferon-g Release Assays in
children ,15 Years of Age. Pediatrics. 2020;145:e20191930.
13. Ainiyah S.N, Soedarsono, Umiastuti P. Hubungan Peran Keluarga dan
Kepatuhan Pasien TB MDR di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Jurnal
Respirasi (JR), No. 1 Januari 2019: 1-4
14. Caminero JA. Guidelines for Clinical and Operational Management of
Drug-Resistant Tuberculosis, ISBN 979-10- 91287-03-6. International
Union Against Tuberculosis and Lung Disease 2013.
15. Danusantoso H. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. 2nd ed, Jakarta: ECG;
2011.
16. Petunjuk teknis pengobatan pasien TB resisten obat dengan panduan
standar jangka pendek di fayankes TB resisten obat. Pedoman diagnosis
dan penatalaksanaan TB di Indonesia 2016. Hal 43-5.
17. Tuberculosis: Multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB). World
Health Organisation, 2018. Diakses dari https://www.who.int/news-
room/q-a-detail/tuberculosis-multidrug-resistant-tuberculosis-(mdr-tb)
18.  WHO operational handbook on tuberculosis (Module 1 – Prevention): 
Tuberculosis preventive treatment . Geneva, World Health
Organization.
2020. https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/331525/9789240
002906-eng.pdf
19. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri
Kesehatan no.67 Tahun 2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2016.

53

Anda mungkin juga menyukai