Anda di halaman 1dari 20

GENDER DALAM MAJALAH FASHION MUSLIM

(Studi Semiotik tentang Perempuan Muslim pada Tampilan Fashion


dalam Scarf Magazine Volume 11)

Sarah Umi Nur Azizah


Firdastin Ruthnia Yudiningrum

Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik


Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstract
The research wants to know and analyse Muslim women’s image through fashion
that displayed in Scarf Magazine volume 11 year 2014. Type of this research is
descriptive qualitative conducted with semiotic analysis method. Data analytical
techniques that used in this research is analytical techniques Roland Barthes.
This research produces some results of Muslim women’s image on fashion display
in Scarf Magazine, such as: (1) breaking the stereotype of domestification of
women; (2) da’wah media for Muslim women; (3) close to urban life; and (4) the
image of the woman formed are the image of the frame and the image of
association.
Keywords: semiotic, magazine, Muslim women, fashion

Pendahuluan
Cheris Kramarae (dalam Morissan, 2013: 88) berpendapat bahwa pesan
memperlakukan perempuan dan laki-laki atau wanita dan pria secara berbeda.
Dalam agama Islam, perempuan diangap memiliki posisi khusus yang berbeda
dengan laki-laki yang dibuktikan dengan adanya seruan atau ayat perintah dan
larangan khusus bagi perempuan. Salah satu seruan tersebut ialah aturan
berpakaian. Bagi perempuan dewasa, maka tidak baik baginya untuk
menampakkan dirinya kecuali pada wajah dan telapak tangan (diterangkan dalam
Al Hadits Riwayat Abu Dawud). Bagian tubuh selain wajah dan telapak tangan
pada wanita inilah yang disebut dengan aurat. Aurat merujuk pada sesuatu yang
dinilai dapat menimbulkan dampak negatif bagi yang menampakkan maupun

1
2

yang melihat (Shihab, 2004: 52-53). Dengan tujuan menutup aurat, muncul istilah
busana Muslim yang sebenarnya bersifat universal, atau dapat dikenakan oleh
umat Muslim di manapun tanpa memandang suku yang menjadi asal mereka
maupun tempat tinggal mereka (Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia,
2010: 5).
Cara berpakaian menjadi salah satu bentuk komunikasi non verbal. Tiap
orang punya persepsi mengenai penampilan fisik seseorang, baik dari busana
maupun ornamen lain yang dipakainya (Mulyana, 2008: 392). Ungkapan “I speak
through my cloth” mencerminkan bahwa pakaian yang kita kenakan menjadi salah
satu cara membuat pernyataan mengenai siapa diri kita (Barnard, 1996: vi).
Media massa lazim melakukan berbagai tindakan dalam konstruksi realitas
yang berpengaruh atas pembentukan citra maupun makna suatu realitas (Sobur,
2012: 92). Media massa dinilai dapat memperkokoh ketidakadilan terhadap
perempuan di masyarakat (Haryati, 2012: 41). Terkait kajian media dengan
bahasan fashion dan perempuan Muslim, dalam penelitian ini dipilih media cetak
dengan nama Majalah Scarf yang menjadi satu dari rekomendasi majalah Islami
untuk fashion Muslimah (Puspita, http://abiummi.com/rekomendasi-6-majalah-
islami-untuk-fashion-Muslimah/, diakses 6 Maret 2017). Dalam penelitian ini
digunakan obyek penelitian berupa rubrik Fashion Daily dalam Scarf Magazine
volume 11 tahun 2014 yang mengangkat tema “Fashion and Art”. Tema tersebut
dinilai menjadi pilihan tepat untuk bahasan fashion perempuan dalam media.
Rubrik Fashion Daily dipilih karena, sesuai namanya, dinilai mencerminkan
keseharian tampilan perempuan Muslim.
Bahasan kali ini akan ditelaah menggunakan studi semiotik yang melihat
bahwa pesan merupakan konstruksi tanda-tanda yang ketika bersinggungan
dengan penerima, penerima akan memproduksi makna dari pesan tersebut (Sobur,
2012: 122). Lebih lanjut, semiotika yang digunakan ialah semiotika Roland
Barthes. Roland Barthes (dalam Sobur, 2012: 123) mengatakan bahwa semua
objek dapat diolah secara tekstual. Teks yang dimaksud Roland Barthes sendiri
tak sebatas membahas aspek linguistik atau cabang ilmu bahasa, melainkan suatu
3

sistem tempat tanda-tanda terkodifikasi. Sehingga semiotik dapat meneliti


berbagai macam teks semisal berita, film, iklan, fashion, fiksi, puisi, juga drama.

Rumusan Masalah
Bagaimana gambaran perempuan Muslim melalui fashion yang ditampilkan
dalam Scarf Magazine volume 11 tahun 2014?

Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan permasalahan dan untuk kejelasan arah penelitian, maka
ditetapkan tujuan penelitian yakni untuk mengetahui dan menganalisis gambaran
perempuan Muslim melalui fashion yang ditampilkan dalam Scarf Magazine
volume 11 tahun 2014.

Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangsih berupa kajian yang
berkaitan dengan studi media dan gender.
b. Dengan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terkait
penelitian serupa dalam lingkup yang lebih luas dan lebih mendalam
2. Manfaat Praktis
Di luar studi komunikasi, diharapkan melalui penelitian ini dapat lebih
dipahami posisi perempuan dalam Islam berdasarkan gambaran fashion yang
ditampilkan pada media. Dengan memahami hal tersebut diharapkan citra
perempuan Muslim dapat dijauhkan dari kesan diskriminatif terkait fashion
Muslim yang menjadi pilihan berdasarkan ideologi yang dianut.

Landasan Teori

1. Komunikasi
Komunikasi dimaknai Bernard Berelson dan Gary A. Steiner (dalam Mulyana,
2008: 68) sebagai proses penyampaian informasi, emosi, maupun gagasan melalui
penggunaan simbol. Simbol dalam komunikasi disebut juga sebagai kode atau
lambang, yaitu tanda yang digunakan komunikator untuk mengubah pesan abstrak
4

menjadi konkret. Simbol dalam komunikasi berwujud verbal dan non verbal.
Simbol verbal menggunakan bahasa lisan dan tulisan (Vardiansyah, 2004: 61-62),
sementara simbol non verbal secara harfiah adalah komunikasi tanpa kata (Tubbs
& Moss, 2005: 65).

2. Majalah
Dalam penelitian ini, digunakan media berupa majalah yang merupakan
penerbitan berkala (bukan harian), yang terbit secara teratur dengan sifat isi
berupa pembahasan yang menyeluruh dan mendalam (Junaedhie, 1995: xiii).
Lebih spesifik, majalah yang digunakan dalam penelitian ini ialah Scarf
Magazine. Scarf Magazine (dalam situs resmi Scarf Magazine,
http://www.scarfmagz.com, diakses 20 Februari 2015.) merupakan majalah
fashion dwi bulanan yang memiliki segmentasi pembaca Muslimah Urban dengan
karakter smart, active, dynamic, and confident (dalam Media Kit Scarf Magazine).
Scarf Magazine menjadi salah satu dari rekomendasi majalah Islami untuk fashion
Muslimah di antara beberapa nama majalah lain di antara beberapa nama majalah
lain yakni: Alisha, Hijabella, Noor, Muslimah Magazine (Musmagz), dan Majalah
Paras (Puspita, http://abiummi.com/rekomendasi-6-majalah-islami-untuk-fashion-
Muslimah/, diakses 6 Maret 2017). Kusika Budiyatun Aminah (2015: 3)
melakukan penelitian terhadap Scarf Magazine dengan alasan keberragaman
rubrik yang dimiliki Scarf Magazine..

3. Semiotika
Semiotika dimaknai Roland Barthes (dalam Sobur, 2013: 15) sebagai ilmu
atau metode analisis yang mengkaji tanda yang pada dasarnya mempelajari cara
kemanusiaan (humanity) memaknai sesuatu (things). Memaknai mengandung arti
bahwa objek bukan hanya mengemban informasi berkaitan hal yang hendak
dikomunikasikan objek namun juga mengkonstitusi sistem dari tanda.
Roland Barthes (dalam Sobur, 2012: 127-128) membuat sebuah model
sistematis dalam menganalisis makna dari tanda-tanda. Pada signifikansi tahap
pertama terdapat denotasi, yakni makna paling nyata dari tanda. Sementara pada
tahap kedua terdapat konotasi, yang menggambarkan interaksi yang tejadi ketika
5

tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca berikut nilai
kebudayaannya. Pada tahap konotasi, tanda bekerja melalui mitos (myth) atau
produk kelas sosial yang mempunyai suatu dominasi. Dalam masyarakat primitif,
mitos misalnya dapat menyangkut hidup dan mati, manusia dan dewa. Sementara
kini, mitos misalnya menyangkut feminitas, maskulinitas, dan ilmu pengetahuan.

4. Studi Media dan Gender


Gender ialah konstruksi sosial yang didominasi laki-laki dan menindas
perempuan, yang kemudian memunculkan teori feminis yang bertujuan
menentang asumsi-asumsi gender yang berlaku di masyarakat (Daryanto &
Rahardjo, 2016: 307).
Gender ibarat peran yang dimainkan seseorang untuk menampilkan dirinya
feminin atau maskulin dengan perangkat perilaku khusus, meliputi penampilan,
pakaian, sikap, kepribadian, pekerjaan, seksualitas, tanggung jawab keluarga yang
kemudian menjadi satu kesatuan yang melengkapi “peran gender” seseorang
(Mosse, 2004: 3). Dikenal stereotip gender yang menempatkan perempuan sebatas
bekerja di rumah dan tidak di luar rumah, sementara laki-laki adalah pencari
nafkah (Mosse, 2004: 29). Hal tersebut berakibat pada sesuatu yang diistilahkan
sebagai domestifikasi perempuan (domestification of women) yang membatasi
perempuan hanya dalam lingkup rumah tangga (Mosse, 2004: 31).
Media massa mungkin bukan yang melahirkan ketidaksetaraan gender, namun
media massa dinilai dapat memperburuk ketidakadilan terhadap perempuan di
masyarakat (Haryati, 2012: 41).
Tamrin Amal Tamagola (dalam Ummy Hanifah, 2011: 200) menemukan lima
citra perempuan yang digambarkan terutama oleh iklan di media massa. Pertama,
citra pigura, yaitu perempuan dituntut untuk tampil memikat. Kedua, citra pilar,
yakni keharusan bagi perempuan untuk dapat mengelola dunia domestiknya
dengan baik. Ketiga, citra pinggan, yang beranggapan bahwa perempuan tidak
perlu merasa tersiksa dengan pekerjaannya di dapur dan hal tersebut dapat
menyenangkan. Keempat, citra peraduan, yang menganggap wajar bila perempuan
ditempatkan sebagai objek segala jenis pemuasan laki-laki. Lima, citra pergaulan,
6

ialah keharusan bagi perempuan untuk tampil menarik dalam hal fisik agar tak
memalukan jika harus berhubungan sosial dengan individu lainnya.

5. Fashion: Hubungan Fashion dengan Komunikasi, Perempuan, dan


Perempuan Muslim
Malcolm Barnard (1996: 132-133) membagi fashion sebagai bentuk
komunikasi menjadi fashion visual dan fashion tulisan. Fashion visual merupakan
tampilan fashion dan pakaian yang menjelaskan bagaimana makna dan citra
garmen diungkapkan dalam bentuk visual. Sementara fashion tulisan ialah
misalnya majalah dan artikel mengkomunikasikan setelan dan koleksi pakaian
sebagai sesuatu yang komunikatif melalui tulisan-tulisannya.
Fashion dikatakan bersifat komunikatif karena menjadi cara nonverbal untuk
memproduksi dan mempertukarkan makna dan nilai-nilai (Barnard, 1996: 66).
Terdapat fungsi komunikasi dalam pakaian yang mewakili bentuk komunikasi
artifaktual, yang berlangsung melalui pakaian dan artefak lain semisal dandanan,
perhiasan, dan dekorasi (Barnard, 1996: vi-vii). Sementara wanita, atau feminin,
direpresentasikan dalam masyarakat kontemporer sebagai makhluk yang dekat
dengan hal-hal mengenai kosmetika, diasosiasikan dengan tampilan luar dengan
kepedulian tinggi atau bahkan terobsesi dengan penampilan (Barnard, 1996: 33).
Umat Islam meyakini aturan berpakaian yang harus menutup aurat, yakni
sesuatu dinilai dapat menimbulkan dampak negatif bagi yang menampakkan
maupun yang melihat (Shihab, 2004: 52-53). Kemudian muncul busana Muslim
yang sebenarnya bersifat universal, artinya dapat dikenakan di manapun tanpa
memandang suku atau tempat tinggal seseorang (Asosiasi Perancang Pengusaha
Mode Indonesia, 2010: 5). Ibrahim (2007: 207) berpendapat bahwa sejak akhir
1990-an terjadi fenomena perkembangan Moslem fashion dengan pergeseran
selera dan gaya berbusana Muslimah yang menjadi suatu transformasi sosial yang
menarik dengan “kekayaan semiotik” fashion Muslim mengenai bagaimana cara,
corak, aksesoris, dan gaya Muslimah dalam berpakaian. Terdapat pandangan
bernada kritis yang menanggapi perkembangan busana Muslim di dunia Islam
sebagai suatu wujud kontrol ideologi patriarki (Barnard, 1996: xi).
7

Metodologi Penelitian
Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk
mengetahui dan menganalisis gambaran perempuan Muslim melalui fashion yang
ditampilkan dalam Scarf Magazine. Penelitian menggunakan data primer berupa
artikel dalam rubrik Fashion Daily pada Scarf Magazine volume 11 tahun 2014.
Sementara data sekunder penelitian ini ialah studi kepustakaan berbagai literatur
baik cetak maupun digital berbentuk buku, jurnal, artikel, maupun sumber lain,
semisal company profile, dan media kit yang berkaitan dengan Scarf Magazine.
Penelitian dilakukan terhadap artikel-artikel dalam rubrik Fashion Daily Scarf
Magazine volume 11 tahun 2014, yang terdiri atas empat artikel berjudul
Enchanteur, Blooming Red, Power Suit, dan Minimal dengan menggunakan
analisis semiotika Roland Barthes.
Semiotika mengkaji busana pada tataran fungsi sosial yang kemudian
memandang setiap busana sebagai penanda yang mempunyai petanda, yang
merujuk pada makna tertentu (Noor Hidayati, 2011: 4). Barthes (dalam Pawito,
2007: 163-164) menggunakan istilah denotasi dan konotasi untuk menunjuk
tingkatan-tingkatan makna. Makna denotasi merupakan makna tingkat pertama
(first order) yang bersifat objektif yang dapat diberikan kepada lambang-lambang
dengan secara langsung mengaitkan lambang dengan realitas atau gejala yang
ditunjuk. Sementara makna konotasi menjadi makna-makna pada tingkatan kedua
yang diberikan kepada lambang-lambang dengan mengacu pada nilai-nilai budaya
(second order). Sisi menarik pada semiotika Roland Barthes adalah digunakannya
istilah mitos (myth) sebagai rujukan yang bersifat kultural karena bersumber dari
budaya atau dapat juga sejarah yang ada dan kemudian digunakan untuk
menjelaskan gejala atau realitas yang ditunjuk dengan lambang-lambang.

Penyajian dan Analisis Data


Dalam metode semiotika, merupakan hal memungkinkan bagi peneliti untuk
mengembangkan penafsiran sendiri terhadap objek analisis (Stakes, 2006: 21).
Hal tersebut dilakukan dengan cara memecahkan atau menjabarkan teks menjadi
komponen-komponen unit makna atau seme-seme.
8

Sebagai sebuah metode, semiotika bersifat interpretatif dan, konsekuensinya


sangat subjektif. Karena sangat subjektif, semiotika tidak reliable dalam konteks
pemahaman ilmu pengetahuan sosial tradisional (Stakes, 2006: 78). Peneliti lain
yang mempelajari teks yang sama dapat saja mengeluarkan sebuah makna yang
berbeda tanpa mengurangi nilai semiotika. Hal ini dikarenakan semiotika adalah
tentang memperkaya pemahaman kita terhadap teks. Teks dalam bentuk apapun,
dapat dilihat dalam aktivitas penanda (Sobur, 2013: 15). Aktivitas penanda sendiri
merupakan suatu proses signifikansi yang menggunakan tanda yang
menghubungkan objek dan interpretasi.
Pemaknaan Malcolm Barnard atas fashion sebagai komunikasi, dalam
penelitian ini, akan dihadirkan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes.
Semiotika mengkaji busana pada tataran fungsi sosial yang memandang busana
sebagai penanda yang mempunyai petanda, yang merujuk pada makna tertentu
(Noor Hidayati, 2011: 4). Kaitannya dengan studi fashion sebagai komunikasi,
diterangkan Malcolm Barnard (1996: 105) bahwa terdapat dua macam penjelasan
mengenai pembangkitan makna, yakni: pemaknaan eksternal atas
garmen/setelan/pakaian/citra dapat meliputi perancang atau pemakai; dan
pemaknaan internal atas garmen/setelan/pakaian/citra menempatkan asal mula
makna dari dalam pakaian, meliputi tekstur, warna, bentuk, serta perubahan
tekstur, warna, dan bentuk.
Semiotika Roland Barthes digunakan mulai dari sistem pemaknaan tahap
pertama atau denotasi, dan juga di tahap kedua atau konotasi. Selanjutnya, makna
di tahap konotasi dikaitkan dengan ideologi, sejarah, atau kebudayaan yang
berlaku untuk kemudian ditarik mitos yang berhubungan dengan isu gender yang
menjadi fokus penelitian. Hal ini bertujuan untuk ditemukannya kesimpulan
sebagai akhir dari proses pemaknaan simbol-simbol fashion perempuan Muslim.

A. Analisis Artikel Berjudul “Power Suit”


1. Makna Denotasi
Artikel Power Suit menampilkan model dengan wajah bukan keturunan
asli Indonesia. Model berfoto dengan beberapa latar belakang tempat pemotretan
9

yang didominasi dengan lokasi luar ruangan. Terdapat pula lokasi pemotretan di
dalam ruangan yang menampilkan banyak kaca sebagai dinding.
Di bagian awal artikel terdapat pengantar artikel sebagai berikut:
“MUNCULKAN ENERGI YANG KUAT DAN BERKARAKTER DARI
PADANAN FORMAL YANG MODERN. PADUKAN ITEM UTAMA
POWER SUIT BERUPA JAKET, CELANA BERPOTONGAN LONGGAR
ATAU KEMEJA BERKERAH UNTUK HASIL TAMPILAN YANG
KONSERVATIF. BERIKAN SENTUHAN FEMININ PADA ITEM
MASKULIN TERSEBUT DENGAN HIJAB BERMOTIF DALAM WARNA
YANG LEMBUT.”
Secara denotatif, masing-masing halaman dalam artikel didesain berisi
konten berupa foto model yang mengenakan fashion icon dari label iROO,
Novierock @ Muse101, Moshaict by Itang Yunasz, Longchamp, Karen Millen,
Jenahara for Zalora, dan Warehouse.

2. Makna Konotasi
Pada pengantar artikel, terdapat fashion icon yang disebutkan untuk
menghasilkan tampilan feminin, yakni disarankan menggunakan jilbab bermotif
yang menjadi makna internal pakaian.
Ditemukan di semua bagian artikel bahwa jilbab yang digunakan berasal
dari label Moshaict by Itang Yunasz. Moschaict by Itang Yunasz (dalam
http://www.dewimagazine.com/, diakses 23 Agustus 2016) merupakan label
busana muslim wanita dengan ciri khas warna cerah yang segar, yang
diperuntukkan bagi generasi muda (dalam http://lifestyle.liputan6.com, diakses
pada 23 Agustus 2016) dengan rentang usia berkisar antara 25 – 35 tahun (dalam
Situs Resmi PT. Yunasz Astabrata, http://www.itangsz.com, diakses 23 Agustus
2016.). Dapat disimpulkan berdasarkan makna eksternal dari label pakaian berupa
jilbab yang dikenakan model, model merupakan perempuan dengan usia yang
tergolong masih produktif. Model yang memiliki wajah bukan keturunan asli
Indonesia, secara konotatif mengarahkan pemikiran bahwa busana Muslim dapat
dikenakan oleh siapa saja.
Lokasi luar ruangan dan dalam ruangan dengan dinding terbuat dari kaca
yang menjadi latar tempat pemotretan masuk dalam kategori konsep minimalis.
10

Konsep bangunan minimalis memiliki ciri jendela yang lebar, bidang dinding dan
tiang, serta keterbukaan yang digambarkan pada banyaknya bahan kaca
(Abdullah, dalam http://joglosemar.co., diakses 31 Agustus 2016).

3. Mitos
Meskipun menampilkan sisi kuat sebagaimana gambaran umum sifat
maskulin, artikel tidak menyarankan untuk mengubah penampilan menjadi seperti
laki-laki dengan menyarankan penggunaan jilbab motif untuk kesan feminin. Hal
tersebut selaras dengan tuntunan Islam yang menerangkan bahwa Nabi
Muhammad (dalam Al Hadits Riwayat Bukhari dari Ibni Abbas Radhiyallahu
Anhu) melaknat laki-laki yang berdandan seperti perempuan, maupun sebaliknya.
Mitos yang dibangun melalui artikel ini adalah tampilan fashion tidak terlepas
dari misi dakwah yang mengingatkan pada perempuan Muslim untuk mematuhi
aturan berpakaian dalam Islam.
Penggunaan fashion icon berupa jilbab secara konotatif memunculkan
makna internal bahwa jilbab bermotif memberikan nuansa feminin pada tampilan,
serta makna eksternal bahwa model ialah perempuan berusia produktif.
Penggunaan latar tempat yang di luar ruangan kemudian memunculkan kode
sosial yang mematahkan stereotip gender bahwa tempat perempuan ialah di rumah
(dalam Mosse, 2004: 29). Hal tersebut menegaskan bahwa, terutama perempuan
Muslim berusia produktif, memiliki hak untuk aktif di luar rumah. Sementara
untuk lokasi pemotretan di dalam ruangan, terdapat nuansa minimalis yang
menjadi latar pemotretan. Desain minimalis sering mencerminkan gaya hidup
masyarakat perkotaan yang terkenal dengan rutinitas serbacepat (Hanggara,
http://www.koran-sindo.com, diakses pada 31 Agustus 2016). Dari kode tersebut
kemudian muncul kode sosial bahwa perempuan yang digambarkan dalam artikel
ialah mereka yang lekat dengan hal-hal urban.
Sosok model yang bukan merupakan keturunan asli Indonesia,
memunculkan kode sosial bahwa busana Muslim bersifat universal. Sehingga
berkembang mitos yang memperkuat definisi universal busana muslim yang
diterangkan sebagai pakaian yang dapat dikenakan oleh umat muslim di manapun
11

tanpa memandang suku asal mereka maupun tempat tinggal mereka (Asosiasi
Perancang Pengusaha Mode Indonesia, 2010: 5).

B. Analisis Artikel Berjudul “Enchanteur”


1. Makna Denotasi
Artikel memiliki 8 tampilan fashion yang didominasi oleh fashion icon
berupa gaun. Gaun atau dress pada artikel ini antara lain memiliki bahan yang
tampak sedikit mengkilap dengan detail ranting dan bebungaan, gaun lebar
dengan ornamen bunga yang ditampilkan model berpose duduk dan
menampakkan lebar gaun yang dikenakan, gaun bernuansa dusty blue dengan
modifikasi jilbab berupa kupluk dan baju atas dengan detail tumpukan kain di
bagian dada, gaun berwarna cokelat pastel dengan motif bunga, gaun putih
transparan yang dilapisi kain batik berwarna hitam, serta gaun berpotongan lebar
dengan jilbab dililitkan di bagian leher yang didaramatisir dengan pose model
yang membentangkan kain di belakang model. Terdapat pula setelan pakaian
berbahan kain songket yang dipadukan dengan bahan brukat dengan nuansa warna
cokelat, serta setelan berbahan mengkilap dengan warna hijau menyala. Berbagai
pakaian tersebut dikenakan oleh model yang berpose di luar ruangan.
Di bagian awal artikel terdapat pengantar artikel sebagai berikut:
“KEINDAHAN EKSPLORASI TEKSTIL LOKAL DIHADIRKAN DALAM
GAUN PANJANG DAN SETELAN YANG ANGGUN OLEH DESAINER
KENAMAAN PILIHAN KAMI. SIMAK SISI ROMANTIS YANG KAMI
ANGKAT DARI KOLEKSI TREND 2015 MEREKA YANG
MEMESONA.”

2. Makna Konotasi
Enchanteur berasal dari bahasa Perancis yang memiliki arti mempesona
(https://translate.google.co.id, diakses 10 Oktober 2016). Diidentifikasi dari
pengantar artikel, artikel bermaksud menunjukkan pesona tekstil lokal dalam
busana dari koleksi trend 2015 karya desainer pilihan. Pesona tekstil lokal antara
lain dihadirkan melalui aksen brukat yang teratur memberi kesan mewah (Zanifah,
2015: 14), serta perpaduan bahan berwarna putih transparan untuk bahan di
bagian luar pakaian dipadukan batik hitam yang menghadirkan kesan pure and
12

classy (Zanifah, 2015: 8). Tak hanya dari gaun, tampilan mempesona juga
ditampilkan melalui fashion icon berupa jilbab yang salah satunya dimodifikasi
dengan penggantian penggunaan kupluk yang diteruskan dengan aksen kain
bertumpuk di bagian dada dari bagian atas yang diidentifikasi menjadi praktik
kelonggaran tampilan jilbab pada umumnya. Namun di bagian lain, tampak
penggunaan jilbab yang minimalis yakni sebatas menutupi bagian leher.

3. Mitos
Muncul kode bahwa digunakan bahasa Perancis yang hadir sebagai judul
artikel “Enchanteur” dalam Scarf Magazine. Hal ini menunjukkan penggunaan
lebih dari dua bahasa, yang biasanya tampak nyata di kota-kota besar atau
masyarakat urban yang salah satunya memiliki ciri terbuka akan pengaruh luar
dan senang mengikuti pola-pola baru dalam kehidupan (Soekanto, 2007: 140).
Pada foto, tampak model diambil gambarnya di luar ruangan. yang
kemudian memunculkan kode sosial yang mematahkan stereotip gender bahwa
tempat perempuan ialah di rumah (dalam Mosse, 2004: 29).
Terdapat panduan berpakaian bagi perempuan Muslim bahwa mereka
harus menurunkan jilbab hingga menutup dada (dalam QS. An-Nur (24):30-3).
Maka berdasarkan ketentuan tersebut penggunaan topi sebagai pengganti jilbab
sebagai penutup aurat bagian kepala yang dilengkapi dengan tumpukan kain di
bagian dada pada pakaian atas yang dikenakan model, menampilkan kode berupa
kelonggaran penggunaan jilbab yang tidak melulu harus terbuat dari selembar
kain yang dililitkan mengelilingi wajah. Kode tersebut memunculkan kode sosial
bahwa walaupun berjilbab, seorang perempuan Muslim boleh tampil memikat
dengan melonggarkan tampilan jilbab pada umumnya namun tidak melanggar
aturan berjilbab sesuai Al Quran. Sehingga melalui artikel ini, kembali dibangun
mitos berupa fashion muslim dapat menjadi media dakwah bagi perempuan
Muslim.
Namun ditemukan aturan tersebut tampak tidak dipenuhi secara konsisten.
Hal tersebut tampak pada bagian terakhir artikel yang menampakkan model hanya
menutupkan jilbabnya dengan melilitkan di bagian leher dan tidak menutupkan
13

jilbabnya ke bagian dada, ataupun menutupkan bagian dada dengan fashion icon
tambahan seperti jaket maupun baju luar. Sehingga muncul kode sosial bahwa
dalam berjilbab, tidaklah saklek harus mengikuti peraturan dalam Al Quran dan
Al Hadits. Dan pada beberapa bagian, lebih diutamakan tampilan fisik semata
agar perempuan dapat tampil memikat.
Jika dihubungkan dengan citra perempuan menurut Tamrin Amal
Tamagola (dalam Ummy Hanifah, 2011: 200), maka artikel bermaksud
menggambarkan perempuan dengan citra pergaulan, yakni keharusan bagi
perempuan untuk tampil menarik dalam hal fisik agar tak memalukan jika harus
berhubungan sosial dengan individu lainnya. Selain itu, dramatisasi untuk
mendukung tampilan dress mulai dari pose, pencahayaan, maupun sudut
pengambilan gambar tertentu memunculkan kode sosial yaitu seorang perempuan
Muslim dapat mengenakan pakaian yang mempesona untuk tampil memikat, atau
menggambarkan perempuan dengan citra pigura, yaitu tuntutan untuk tampil
memikat.

C. Analisis Artikel Berjudul “Minimal”


1. Makna Denotasi
Artikel berisi 6 tampilan fashion yang ditampilkan pada halaman berlatar
warna putih berisi beberapa macam fashion icon. Masing-masing halaman pada
artikel memuat sub artikel yang memiliki judul, yaitu: Sporty Plaid, Chic Off
White, Into The Woods, Comfy Knit, Wrap With Tweed, dan Yellow Blush.
Secara denotatif, artikel menampilkan fashion icon berupa sweatshirt,
kemeja, celana, dan tweed jacket. Serta aksesoris berupa tas, topi, kacamata,
kalung, jam tangan, shawl, dan sepatu, gelang, cincin, dan pouch. Berbagai
fashion icon yang ditampilkan berasal dari label asal luar negeri, yakni: Zara,
Guess Accessories, Charriol Geneve, Le Specs @The Goods Dept. Terdapat pula
fashion icon dengan label asli Indonesia, yakni: Alex(a)lexa @ The Goods
Dept.,Cotton Ink @ The Goods Dept., Avanava @The Goods Dept., dan Antyk
Butyk @The Goods Dept.
14

Di bagian awal artikel tertulis pengantar artikel sebagai berikut:


“LESS IS MORE ADALAH UNGKAPAN YANG TEPAT UNTUK TAMPIL
CHIC DAN CASUAL. BAHKAN AKSESORI PUN MENGAMBIL PERAN
UNTUK MEMAKSIMALKAN PENAMPILAN. CUKUP TAMBAHKAN
AKSESORI MINIMALIS SEPERTI JEWEL ATAU TIME PIECES, YOU
WILL STANDING OUT FROM THE CROWD!”

2. Makna Konotasi
Diidentifikasi melalui pengantar, artikel bermaksud menunjukkan pilihan
tampilan yang casual atau non formal, dan chic yang berarti serasi dan penuh
gaya (Hadisurya, Pambudy & Jusuf, 2011: 50) dengan pilihan aksesori minimalis.
Artikel menampilkan fotografi benda yang obyeknya tidak bergerak atau umum
disebut sebagai fotografi still life (http://www.infofotografi.com, diakses 24
Oktober 2016). Di setiap bagian sub artikel digunakan background putih yang
lekat akan kesan ketepatan (Wibowo, 2015: 150).
Artikel dilengkapi dengan fashion icon dari brand dengan reputasi
internasional atau telah dikenal dalam skala global, sehingga tidak diragukan
kualitasnya yang terdiri atas label dari luar negeri maupun label dari Indonesia.
Secara konotatif, melalui makna eksternal pakaian dari label yang ditampilkan
bermaksud menunjukkan tampilan dengan kualitas tinggi.

3. Mitos
Variasi pilihan tampilan bertema yang diwakili oleh sub judul
memunculkan kode sosial bahwa perempuan Muslim dimanapun tempat harus
dapat membawa dirinya dengan mengutamakan tampilan fisik. Jika dihubungkan
dengan citra perempuan menurut Tamrin Amal Tamagola (dalam Ummy Hanifah,
2011: 200), maka artikel bermaksud menggambarkan perempuan dengan citra
pergaulan, yakni keharusan bagi perempuan untuk tampil menarik dalam hal fisik
agar tak memalukan jika harus berhubungan sosial dengan individu lainnya.
Tampilan fisik menarik tidaklah cukup dan harus ditunjang dengan item berupa
perhiasan dari label ternama, yang menggambarkan perempuan Muslim dengan
citra pigura, yaitu tuntutan untuk tampil memikat.
15

D. Analisis Artikel Berjudul “Blooming Red”


1. Makna Denotasi
Artikel berjudul Blooming Red yang berarti “Merah yang Mekar”
memiliki 5 tampilan fashion. Di bagian awal artikel terdapat pengantar sebagai
berikut:
“DENTUMAN WARNA MERAH YANG HANGAT PATUT MENJADI
PILIHAN FAVORIT ANDA DI MUSIM INI. INTENSITASNYA BEGITU
MEREKAH DIPADU DENGAN WARNA NETRAL. RIASAN YANG
NATURAL ADALAH PASANGAN YANG TEPAT SAAT ANDA
MENGAPLIKASIKAN WARNA PRIMER INI.”

Sesuai judul, artikel menampilkan padanan pakaian yang di setiap


tampilannya terdapat fashion icon dengan warna merah, yang terdiri atas baju
atas, jilbab, dan baju luar. Di beberapa bagian artikel terdapat pula fashion icon
berupa aksesoris penunjang semisal tas dan sepatu. Di salah satu halaman tampak
model memegang mawar merah yang mekar sebagai properti. Tampilan
diperlihatkan melalui model yang didandani dengan riasan pucat atau natural
yang tidak mencolok.
2. Makna Konotasi
Pada pengantar diterangkan bahwa pada artikel akan ditunjukkan paduan
warna merah dengan warna netral untuk intensitas yang merekah. Secara
konotatif, terdapat pesan bahwa riasan natural menjadi paduan tepat untuk
tampilan pakaian dengan nuansa warna merah.
3. Mitos
Seluruh tampilan dalam artikel menampilkan model dalam riasan pucat
yang menjadi penyeimbang warna merah merekah dari tema pakaian model.
Pakaian bertema merah juga dipadukan dengan warna netral yang memunculkan
kode sosial bahwa perempuan Muslim hendaklah tidak berlebihan dalam tampilan
keseharian. Kode sosial yang ditampilkan artikel senada dengan ajakan Felix
Siauw (2015: 104) untuk menghindari tabarruj atau berlaku sombong bagi
perempuan Muslim yang salah satunya dapat terjadi karena dandanan. Maka mitos
yang dibangun majalah Scarf mengandung misi dakwah, atau mengajak kebaikan
pada perempuan Muslim, berupa ajakan untuk tidak melakukan tabarruj.
16

Kesimpulan
Berdasarkan pengamatan dan analisis yang dilakukan peneliti, diperoleh
kesimpulan gambaran perempuan Muslim melalui fashion dalam Scarf Magazine
sebagai berikut:
1. Mematahkan Stereotip Domestifikasi Perempuan
Domestifikasi perempuan adalah batasan bagi kehidupan perempuan yang
hanya berada di lingkup rumah tangga. Scarf Magazine menampilkan perempuan
Muslim tidak selalu berada di lingkungan domestik dengan pekerjaan yang juga
seputar hal domestik yang menyoal urusan rumah tangga.
2. Media Dakwah bagi Perempuan Muslim
Fashion dapat menjadi media dakwah atau ajakan menaati aturan Islam.
Ditemukan misi dakwah dimuat di dalam konten-konten fashion baik fashion
visual maupun fashion tulisan. Dakwah yang ditunjukkan antara lain meliputi
anjuran untuk menampilkan sisi feminin dalam pakaian, karena Islam melarang
perempuan berdandan atau berpenampilan seperti laki-laki maupun sebaliknya.
Ajakan lain yang ditampilkan adalah menghindari tabarruj atau berlaku sombong
yang salah satunya disebabkan melalui dandanan. Karenanya ditampilkan
dandanan natural pada model. Terdapat pula pengingat bagi perempuan Muslim
untuk tidak ragu mengenakan busana Muslim dimanapun dan tanpa memandang
suku yang menjadi asal maupun tempat tinggal mereka, sejalan dengan definisi
busana Muslim.
Namun misi dakwah tidak konsisten ditampilkan dalam Scarf Magazine
karena ditemukan pula pelanggaran teradap salah satu aturan berjilbab, yakni
menutupkan jilbab hingga bagian dada. Misi dakwah yang tidak konsisten
ditampilkan ini diidentifikasi karena lebih diutamakannya tampilan fisik.
3. Dekat dengan Kehidupan Urban
Ciri khas masyarakat urban adalah berpikiran terbuka dan mudah
menerima hal-hal baru. Hal baru tersebut salah satunya tampak pada penggunaan
hijab atau jilbab yang dimodifikasi dengan melonggarkan tampilan jilbab yang
monoton atau tampilan pada umumnya. Selain konten tersebut, Scarf Magazine
secara konsisten menampilkan kehidupan yang lekat dengan gaya hidup kekotaan
17

atau urban antara lain melalui variasi pilihan pakaian dengan barang-barang dari
label premium dengan reputasi internasional, pengggunaan latar belakang yang
digunakan dalam pemotretan, dan penggunaan bahasa asing dalam konten-konten
yang ditampilkan. Kedekatan dengan kehidupan urban tersebut diidentifikasi
karena tagline yang diusung Scarf Magazine yang tak lain adalah “Muslimah
Urban Fashion Magazine”.
4. Citra Perempuan dalam Media
Citra perempuan yang terbentuk pada rubrik Fashion Daily Scarf
Magazine volume 11 tahun 2014 adalah citra pergaulan dan citra pigura. Citra
pergaulan ialah keharusan bagi perempuan untuk tampil menarik dalam hal fisik
agar tak memalukan jika harus berhubungan sosial dengan individu lainnya.
Sementara citra pigura adalah tuntutan untuk tampil memikat. Tampilan memikat
ditunjukkan antara lain melalui pilihan busana dengan model yang berragam,
ditunjang dengan pilihan aksesoris dan pose yang mendukung.

Saran
Setelah melakukan penelitian rubrik Fashion Daily dalam Scarf Magazine
volume 11 tahun 2014, peneliti menyampaikan beberapa saran:
1. Media massa turut berperan dalam membangun citra perempuan. Tampilan
perempuan yang tertindas dan memiliki pilihan terbatas ditepis oleh tampilan
konten dalam Scarf Magazine. Gambaran perempuan Muslim sebagai sosok yang
bebas dari batasan dunia domestik, peduli akan tampilan fisik dan boleh tampil
menarik dengan batasan tertentu membuat perempuan Muslim jauh dari kesan
diskriminatif melalui tampilan nilai-nilai Islam yang longgar dan universal dalam
hal fashion Muslim. Diharapkan di masa mendatang akan bermunculan media
penyebaran nilai-nilai Islam yang selain universal juga tidak lengah akan
keterbukaan dan kebebasan berekspresi dengan melanggar batasan-batasan yang
telah ditentukan dalam Al Quran maupun Al Hadits.
2. Penulis berharap kajian penelitian ini dapat menjadi acuan bagi penelitian
sejenis di masa mendatang untuk didapatkannya hasil yang lebih detail dan
sempurna.
18

Daftar Pustaka

Abdulla, Ahmad Yasin. (Oktober 2013). Karakteristik Bangunan Minimalis dan


Modern. Website: http://joglosemar.co/2013/10/karakteristik-bangunan-
minimalis-dan-modern.html, diakses pada 31 Agustus 2016.

Al Hadits Riwayat Abu Dawud

Al Hadits Riwayat Bukhari dari Ibni Abbas Radhiyallahu Anhu.

Al Quran QS. An-Nur (24):30-31.

Aminah, Kusika Budiyatun dan Sofiah. (2015). “Majalah Hijab Scarf dan
Perilaku Imitasi Pelanggan Majalah Hijab Scarf (Studi Pengaruh
Terpaan Media Massa Majalah Hijab Scarf dan Interaksi Sosial Terhadap
Perilaku Imitasi Pelanggan Majalah Hijab Scarf di Agen Koran dan
Majalah ABC Solo”, Jurnal Kommas. Website:
http://www.jurnalkommas.com/docs/jurnal%20sika.pdf, diakses 23
Februari 2017 pukul 08:30.

Asosiasi Perancang Busana Mode Indonesia. (2010). Modifikasi Busana Muslim.


Jakarta: Gramedia.

Barnard, Malcolm. (1996). Fashion sebagai Komunikasi: Cara


Mengkomunikasikan Identitas Sosial, Seksual, Kelas, dan Gender.
Yogyakarta & Bandung: Jalasutra.

Daryanto & Mulyo Rahardjo. (2016). Teori Komunikasi. Yogyakarta: Gava


Media.

Hadisurya, Irma, Ninuk Mardiana Pambudy dan Herman Jusuf. (2011). Kamus
Mode Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Hanggara, Rendra. (Agustus 2006). Kesan Elegan Desain Minimalis. Website:


http://www.koran-sindo.com/news.php?r=4&n=2&date=2016-08-03,
diakses pada 31 Agustus 2016
.
Hanifah, Ummy. (Juli – Desember 2011). “Konstruksi Ideologi Gender pada
Majalah Wanita (Analisis Wacana Kritis Majalah Ummi)”, Komunika:
Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 5 (2). Website:
http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/komunika/article/view/
170/14, diakses pada 8 Mei 2017.

Haryati. (2012). “Konstruktivisme Bias Gender dalam Media Massa”, Observasi:


Citra Perempuan dalam Media, Vol. 10 (1). Website:
19

https://jurnal.kominfo.go.id/index.php/observasi/article/download/76/69,
diakses pada 12 Mei 2017.

Hidayati, Noor. (2011). Skripsi. Analisis Semiotika Terhadap Rubrik Mode Pada
Majalah Ummi. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

http://lifestyle.liputan6.com/read/2226472/itang-yunasz-rancang-baju-untuk-
semua-kalangan, diakses pada 23 Agustus 2016.

http://www.dewimagazine.com/news/sambut-ramadhan-desainer-busana-muslim-
itang-yunasz-luncurkan-label-moshaict?m=1, diakses pada 23 Agustus
2016.

http://www.infofotografi.com/blog/2015/07/belajar-foto-still-life/, diakses pada 25


Oktober 2016.

https://translate.google.co.id/#fr/id/enchanteur, diakses pada 10 Oktober 2016.

Junaedhie, Kurniawan. (1995). Rahasia Dapur Majalah Indonesia. Jakarta:


Gramedia.

Media kit Scarf Magazine.

Morissan. (2013). Teori Komunikasi: Individu Hingga Massa. Jakarta: Kencana.


Mosse, Julia Cleves. (2004). Gender & Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Mulyana, Deddy. (2008). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung:


Rosdakarya.

Pawito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta.

Puspita, Eka. (2015). Rekomendasi 6 Majalah Islami Untuk Fashion Muslimah.


Website: http://abiummi.com/rekomendasi-6-majalah-islami-untuk-
fashion-muslimah/. Diakses pada 6 Maret 2017.

Shihab, M. Quraish. (2004). Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan


Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer. Jakarta: Lentera Hati.

Siauw, Felix. Y. (2015). Yuk Berhijab!. Jakarta: Al-Fatih Press.

Situs Resmi PT. Yunasz Astabrata. http://www.itangsz.com/news-top/sejarah-


perusahaan, diakses pada 23 Agustus 2016.
20

Situs Resmi Scarf Magazine. http://www.scarfmagz.com, diakses pada 20


Februari 2015.

Sobur, Alex. (2003). Semiotika Komunikasi. Bandung: Rosdakarya.

Sobur, Alex. (2012). Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis
Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Rosdakarya.

Soekanto, Soerjono. (2007). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajagrafindo


Persada.

Stakes, Jane. (2006). How to Do Media and Cultural Studies: Panduan untuk
Melaksanakan Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya. Yogyakarta:
Bentang.

Subandi, Ibrahim I. (2007). Budaya Populer sebagai Komunikasi. Yogyakarta:


Jalasutra.

Tubs, Stewart L. dan Sylvia Moss. (2005). Human Communication: Prinsip-


Prinsip Dasar. Bandung: Rosda.

Vardiansyah, Dani. (2004). Pengantar Ilmu Komunikasi: Pendekatan Taksonomi


Konseptual. Bogor Selatan: Ghalia Indonesia.
Wibowo, Ibnu Teguh. (2015). Belajar Desain Grafis: Cara Cepat dan Mudah
Belajar Desain Grafis untuk Pemula. Yogyakarta: Notebook.

Zanifah, Imawati. (2015). Panduan Desain Baju dari Pola hingga Jadi. Jakarta:
Prima.

Anda mungkin juga menyukai