Anda di halaman 1dari 6

Nama: Bunayya Lembayung Putri Cahyadi

Instansi: SMAN 25 Bandung


Jenis Karya: Cerita Pendek (Cerpen)
Judul Karya: Jam Kuno
Tanggal Pembuatan: Minggu, 4 Juni 2023

Jam Kuno

“Salah satu alasan kita tidak tahu apa yang akan terjadi adalah karena kita tidak akan pernah
siap saat menghadapi kejadian buruk yang akan datang.”

“Apa kalian tidak lapar?” Aletta memandang jendela yang berembun. Ia menatapi hujan yang
kian deras membasahi tanah dan kabut yang menutupi pemandangan luar sehingga keadaan lebih
gelap dari waktu yang seharusnya.

Keadaan sekolah yang sepi dibalut udara dingin membuat Aletta ingin sekalian uji nyali saja.

“Ha, apakah kita sedang simulasi kehidupan di hutan tanpa makanan dan ancaman hantu?”
ucapnya sarkas sembari menghentakkan kaki, sedangkan yang diajak bicara menghiraukannya,
asik sendiri.

Dian, Tiara, Senja, dan Kayla—yang setengah mengantuk—diam di bangku berhadap-hadapan.


Ini adalah ritual hari ketujuh setelah pulang sekolah. Ritual ini mengharuskan mereka berlima
berdiam diri di kelas sampai pukul lima sore. Jika kalian bertanya untuk apa, maka yang kalian
dapatkan hanyalah respon seperti Aletta. Diabaikan.
Rasanya aneh jika suatu sekolah tidak memiliki mitos. Dari bekas kuburan, bekas rumah sakit,
hingga ruangan kelas yang pernah dijadikan lokasi bunuh diri. Menyeramkan? Jelas. Sekolah
mereka pun memiliki mitosnya tersendiri yang diceritakan turun temurun oleh siswa-siswanya.

Mitos mengatakan bahwa jam di salah satu ruangan kelas dimana tempat mereka berlima tengah
berdiam diri dalam nestapa adalah jam kuno yang bisa berbunyi. Jam ini berbunyi untuk
memberikan semacam sinyal atau kode jika ditanyai mengenai hal yang belum diketahui.
Syaratnya adalah diam di kelas dari pukul tiga sampai lima sore selama enam hari berturut-turut,
meski hari libur. Juga, hanya diizinkan membicarakan hal yang baik-baik. Singkatnya, jam ajaib
tersebut bisa berkomunikasi dengan cara tertentu tepat di hari ketujuh. Terdengar mustahil,
bukan?

Maka dari itulah mengapa mereka, kecuali Aletta, sangat antusias untuk mencoba melakukan
ritual ini dengan alibi pembuktian. Padahal, mereka memang kurang kerjaan saja. Dari awal,
Aletta tidak setuju karena bokongnya sangat pegal jika hanya duduk dan berbicara yang manis-
manis. Jika mitosnya memang nyata, sepertinya perempuan itu tidak akan mendapatkan jawaban
menyenangkan dari jam kuno tersebut.

Dalam kategori mematahkan mitos, Aletta memang tergolong sompral, tetapi masih saja dipaksa
untuk ikut karena syarat lainnya adalah anggotanya harus berjumlah ganjil. Jadi, jika perempuan
itu berkata aneh-aneh maka tidak akan dijawab.

“Kalian itu hanya manusia-manusia tidak ada kerjaan yang banyak tanya. Memangnya, apa yang
mau ditanya? Pekerjaan? Jodoh? Anak? Kita, ‘kan, baru kelas dua belas. Lagipula, kenapa
percaya dengan benda mati seperti itu.” Aletta menghampiri keempat temannya dan berbicara
seolah sedang demo di kantor balai desa, rusuh.

“Diamlah, aku yakin kau juga penasaran.” Jawab Tiara dengan ketus.

“Wow, aku jadi merinding, sobat. Kalian biasanya cerewet seperti kaleng rom—”

Suara barang yang jatuh dan gemuruh petir secara bersamaan membuat semuanya terkejut. Tepat
pukul 16.30, di hari ketujuh, inilah hal yang ditunggu-tunggu. Kayla yang tadinya setengah
mengantuk pun langsung merasa segar seraya bersembunyi di balik punggung Tiara.
“Apa mitos ini nyata?” Kayla mendadak gemetar. Pandangan Dian berpendar ketika lampu kelas
tiba-tiba saja menyala. Ia langsung tersenyum dan memegang jam kuno tersebut.

Aletta yang memandang Dian hanya merutuk kata sinting karena di saat yang lain merasa takut
dan gemetar, hanya Dian yang antusias sambil tersenyum.

“Baiklah, kita mulai dengan pertanyaan pertama. Jam kuno, apakah aku akan mendapatkan nilai
ujian kelulusan yang baik?” Dian bertanya.

Jam tersebut berbunyi. Ada kepuasaan dalam hatinya karena dapat memenuhi syarat dan
keuntungan melakukan hal menantang seperti ini. Senja yang terkejut langsung meraih jam
tersebut, mengecek apakah ini hasil kejahilan temannya atau memang betulan ajaib.

“Secara logika, kau memang selalu mendapatkan nilai bagus, kenapa harus memberi pertanyaan
basic seperti itu? Kita saja bisa menjawab kalau soal itu,” tutur Tiara yang membuat Senja
merasa mendapatkan ide brilian.

“Begini saja. Jam kuno, aku tahu kamu ajaib, bisakah kamu memperlihatkan jodoh masa depan
Dian? Tolong buat seolah-olah ia sedang lewat di depan kelas.”

Keempatnya tentu terkejut dengan pertanyaan Senja. Ah, perempuan yang suka berpikir aneh itu
melakukan aksinya ditengah situasi seperti ini. Namun, bagaimanapun, ini pertanyaan yang
menguntungkan bagi Dian.

Angin rebah perlahan menerbangkan tirai jendela, walaupun keadaan luar yang sedikit gelap
karena kabut, namun kemunculan sosok lelaki bertubuh tinggi melintasi kelas masih dapat
terlihat. Laki-laki tersebut sangat tampan dengan buku di tangannya. Mungkin usianya tiga tahun
lebih tua. Dian yang mengetahui hal itu langsung berteriak kegirangan.

Kayla yang melihatnya langsung mengambil jam tersebut.

“Jam kuno, apakah aku akan lolos ujian masuk universitas?”

Sesaat hening, tidak ada tanda-tanda apapun. Bahkan jarum jam ajaib itu berhenti sepenuhnya.

“Apakah itu tandanya, ya?” tanyanya tetap optimis.

Tiara berdeham seraya mengambil jam tersebut. “Jam kuno, aku sudah lama mencintai laki-laki,
tetapi laki-laki itu punya pacar. Apakah mungkin dia menyukaiku kembali?”
Papan tulis di depan berbunyi sebentar. Spidol yang ada di sampingnya perlahan bergerak untuk
menuliskan sesuatu. Ini adalah pemandangan luar biasa, rasanya seperti sebuah sihir melihat
benda bergerak sendiri. Jam kuno tersebut juga tampak hidup lagi.

“Selalu ada kemungkinan. Namun, kemungkinan itu tidak selalu jadi pembenaran.”

“Dunia juga menyuruhmu untuk bahagia, Tia.” Kayla menepuk pundak Tiara. Meski tulisan itu
tidak menyangkal maupun membenarkan, sepertinya itu cukup sebagai jawaban.

“Kalau begitu, jam kuno, apakah aku akan bahagia?” tanya Tiara lagi. Jam tersebut berbunyi.
Spidol papan itu kembali menyapukan tubuhnya, menuliskan sebuah kalimat. “Tentu saja.”

“Apa kau mau bertanya juga, Aletta? Sebelum aku memberikan pertanyaan lebih aneh lagi. Aku
tidak mau bertanya soal cinta, berhubung aku sudah memiliki pasangan.” Senja mengangkat jam
tersebut. Aletta hanya menggeleng malas.

“Aku tahu jawaban yang aku dapatkan tidak akan baik.” kata Aletta.

“Hei, aku juga dapat jawaban yang tidak menyenangkan. Tapi dengan sensasi seperti ini rasanya
sangat menyenangkan,” ucap Kayla dengan percaya diri.

Senja langsung menyahut, “Bukan tidak menyenangkan. Tapi sebetulnya kau bertanya sesuatu
yang sudah kau ketahui apa jawabannya. Bertanyalah seperti pertanyaanku, pasti ada
jawabannya. Tia, mau bertanya juga seperti Dian tadi?”

Tiara menggeleng, “Soal itu, biar waktu saja yang menjawab, aku suka kejutan daripada bocoran
detail seperti ini.”

Dian mengambil jam tersebut dengan semangat. “Sudahlah, kita hanya bersenang-senang. Tidak
ada resiko atau efek samping, kok. Justru dengan ritual yang sudah kita penuhi, kita dapat
bertanya pada jam ini kapan saja asal sedang berlima dan sore hari.” Ia sedikit mengangkat jam
itu, “Bolehkah kami melihat jodoh Aletta seperti apa? Dia tidak pernah bercerita. Juga, dia yang
paling tua, kami tidak mau melihatnya terus sendirian.”

Kayla, Tiara, dan Senja sedikit tertawa ketika mendengar itu. Baiklah, pada akhirnya sifat iseng
mereka keluar juga setelah menjadi seperti patung selama dua jam. Tidak lama, ada sosok yang
kembali lewat di depan kelas, tetapi herannya, sosok tersebut adalah seseorang yang sama saat
tadi Senja memberikan pertanyaan untuk Dian.

“Lho, kok laki-laki itu lagi? Maksudnya, dia akan selingkuh? Poligami? Atau kesalahan teknis?”
heran Senja.

Lampu kelas tiba-tiba padam dengan diiringi decitan pintu terbuka lebar. Laki-laki itu mendadak
menghilang. Sebuah angin yang lebih dingin masuk. Spidol tersebut kembali bergerak untuk
menuliskan sesuatu.

“Tidak, dia akan bersama temanmu yang paling tua untuk beberapa tahun sebelum beralih pada
temanmu yang bertanya tadi karena kematian merenggutnya.”

Suasana menjadi hening. Tidak ada percakapan apapun. Begitupun dengan Dian yang
memandang terkejut ke arah temannya yang terdiam memandangi tulisan itu. Mungkin, memang
sebenarnya ada efek buruk dalam ritual ini.

“Jika kita mau membuka hal baik, hal buruk juga tidak akan menutup. Itulah konsekuensinya,”

Perkataan Kayla membuat Dian semakin merasa bersalah. Apakah ini dampak sifat sompral
Aletta selama enam hari atau kenyataan pahitnya memang seperti itu?

Semoga ini hanyalah sebuah hukuman.

“Salah satu alasan kita tidak tahu apa yang akan terjadi adalah karena kita tidak akan pernah siap
saat menghadapi kejadian buruk yang akan datang.” tambah Tiara.

Dian gelagapan sembari mencoba semangat. “Ah tidak, ini hanya permainan ‘kan? Anggap saja
itu sebagai hukuman karena kau bicara sembarangan selama enam hari ini. Lebih baik kita tanya
ulang saja, bukan begitu?”

Aletta yang masih menatap papan tulis mengembuskan napasnya. “Tidak usah. Ini memang
konsekuensi mendahului takdir. Seharusnya kau merasa senang karena memiliki masa depan
yang cerah.”

Dian menghampiri Aletta dan merangkul bahunya, “Tidak, tidak. Jam kuno itu berbohong.
Bagaimana kau begitu yakin, bukankah kau juga tidak percaya? Aku juga berjanji tidak akan
percaya.”
Aletta menoleh, ekspresinya sangat datar. “Sejak pertanyaan Senja yang aneh itu, aku percaya.”

“Tapi, bagaimana? Itu semua belum terbukti.”

“Tidak. Laki-laki yang tadi melintas adalah kekasihku satu tahun terakhir.”

Anda mungkin juga menyukai