Anda di halaman 1dari 15

www.mahadalyjakarta.

com

QUO VADIS DINAR DAN DIRHAM


DALAM SISTEM EKONOMI GLOBAL
(PERSPEKTIF SEJARAH MASA LALU, ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN)

Oleh : H. Moh. Riadlul Badi’, MA.

I. PENDAHULUAN
Krisis moneter berupa terdepresiasinya rupiah terhadap dolar hingga lebih dari 300 % yang
berlangsung pada pertengahan tahun 1997 (menjelang untuhnya rezim orde baru) sungguh dahsyat
pengaruhnya. Suku bunga perbankan naik, sejumlah saham anjlok, proyek-proyek infrastruktur terhenti.
Omset perusahaan menurun drastis, usaha macet, pemutusan hubungan kerja terjadi dimana-mana.
Pengangguran meningkat hingga mencapai angka 40 juta orang. Harga sembako dan barang-barang lain naik
tajam. Angka inflasi meroket, proses pemiskinan terjadi. Jumlah orang miskin diperkirakan mencapai lebih
dari 100 juta orang. Ketegangan sosial meningkat. Kriminalitas marak terjadi dimana-mana. Anak-anak putus
sekolah mencapai 5 juta anak. Jutaan lagi lainnya mengalami malnutrisi. Hidup rakyat makin menderita.1
Bila dicermati, krisis ekonomi yang melanda Indonesia juga belahan dunia lain, sesungguhnya dipicu
oleh dua sebab utama. Pertama, persoalan mata uang, dimana nilai mata uang suatu negara saat ini pasti
terikat kepada mata uang negara lain, misalnya rupiah terhadap US dollar, tidak pada dirinya sendiri,
sehingga nilainya tidak pernah stabil, dan bila nilai mata uang tertentu bergejolak, pasti akan mempengaruhi
kestabilan mata uang tersebut. Kedua, kenyataan bahwa uang tidak lagi dijadikan sebagai alat tukar saja, tapi
juga sebagai komoditas yang diperdagangkan (dalam bursa valuta asing) dan ditarik keuntungan (interest)
alias bunga atau riba dari setiap transaksi peminjaman atau penyimpanan uang. 2 Islam secara gamblang
menyatakan keharaman terhadap riba, sebagaimana tersurat dalam surat al-Baqarah, ayat 278.
Depresiai rupiah lebih dari 300 persen terhadap US dollar itu sendiri dipicu oleh berbagai faktor
(ekonomi dan non ekonomi). Secara ekonomi depresiasi ditimbulkan oleh terus naiknya defisit neraca
transaksi berjalan Indonesia dari 1,5% tahun 1993 menjadi 3,0% tahun 1997.3 Defisit neraca transaksi
berjalan ini setidaknya mencerminkan ekspor lebih kecil dari pada impor dan atau aliran pendapatan yang
masuk lebih kecil dari pada aliran pendapatan yang keluar, yang berarti kebutuhan dollar sebagai alat
pembayaran luar negeri lebih besar dari yang diterima. Disamping itu, depresiasi rupiah terhadap dolar juga
dipicu tingginya utang luar negeri sektor swasta pada tahun itu (1997) yang ditaksir berjumlah 60 milyar
dollar AS atau sekitar Rp 780 trilyun (kurs : Rp13.000,-).4 Maka sekalipun mahal, Pihak swasta harus terus
memburu dollar untuk membayar hutang tersebut. Ditambah lagi faktor non ekonomi yang turut menjadi
sebab terjadinya depresiasi rupiah adalah para spekulan. Para spekulan demi meraup untung besar
memborong dollar secara besar-besaran dan melempar mata uang rupiah ke pasar.
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa yang menjadi pemicu terjadinya krisis adalah sektor non riil atau
moneter, yang memang dikenal sebagai sektor penuh spekulasi. Kekacauan di sektor ini menyebabkan
kekacauan di sektor riil (produksi, perdagangan, dan jasa). Harga-harga barang dan jasa naik bukan karena
hukum permintaan dan penawaran (supply and demand), melainkan dipicu oleh suku bunga perbankan naik,
terjadinya depresiasi rupiah atau bahkan karena faktor psikologis seperti yang diakui oleh para pedagang

1
M. Ismail Yusanto, Keunggulan dan Kelemahan Dinar Emas, Makalah seminar Ekonomi Islam di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 22 Januari 2003
2
M. Ismail Yusanto, et. al., Dinar Emas Solusi Krisis Moneter, (Jakarta : PIRAC, SEM, INFID, 2001), Cet. Ke-I, h. 3
3
M. Ismail Yusanto, Keunggulan dan Kelemahan Dinar Emas, Loc. Cit.
4
Ahcyar Ilyas, Peran Sistem Ekonomi dan Keuangan Syariah di Indonesia. Makalah Seminar Ekonomi Islam di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 22 Januari 2003

1
www.mahadalyjakarta.com

kecil yang tidak tahu manahu mengapa harga barang-barang naik, yang akhirnya juga harus ikut menaikan
harga barang dagangannya bila tidak ingin merugi.
Dalam pandangan ahli ekonomi Islam kekacauan semacam ini justru akan memberikan peluang
kepada terbentuknya suatu sistem perekonomian yang dilandasi oleh nilai-nilai ke-Islaman. Sebagai
perbandingan, tampilnya euro diawal tahun 2001 sebagi mata uang Uni Eropa memberikan pengaruh pada
konstelasi perdagangan international. Dengan tampilnya euro, maka poros kekuatan dagang setidaknya ada
tiga, selain euro sendiri, dollar Amerika serikat dan Yen Jepang. Satu hal yang agaknya pasti dalam
konstelasi yang berlangsung saat ini adalah satu blok utama lain di dunia ini akan tetap ketinggalan kereta ;
yaitu negara-negara berkembang, terutama di kawasan Asia dan Afrika. Lebih khusus lagi dalam porsi yang
cukup besar yaitu negara-negara Islam.
Dalam konteks ini sungguh menarik di cermati berkembangnya gagasan membangun blok
perdagangan Islam. Lain dari upaya kerja sama konvensional di kalangan negara-negara Islam yang kurang
efektif dalam perimbangan perdagangan internasional, semacam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Adalah
gagasan membangun blok Islam di era global ini yang dipelopori oleh jaringan lembaga pemerintah dan non
pemerintah. Berkembangnya gagasan ini sendiri mendapat momentum dengan terjadinya krisis moneter di
Asia pada tahun 1997-1998. Sebagai contoh saat itu PM Malaysia Mahathir Mohammad mengambil jalan
lain yang berbeda dari para pemimpin di Asia lainnya yang mengandalkan IMF dan Bank Dunia dengan
resep liberal nya dalam mengatasi krisis moneter. Tidak hanya berhenti hanya sampai menetapkan kurs
ringgit terhadap dolar AS dan menerapkan kontrol atas modal lainnya. Mahathir bahkan bergerak lebih jauh,
ia tampak mempertimbangkan pada gagasan membangun blok Islam, dengan fokus cukup jelas,
mengimbangi kekuatan dolar AS.5
Di sepanjang dekade 1990-an kita juga menyaksikan kelahiran sebuah gerakan kultural di kalangan
warga muslim yang mengupayakan kembalinya kejayaan (perdagangan) Islam. Salah satu bagian yang coba
direalisasikan oleh gerakan non pemerintah ini adalah mengembalikan dan menerapkan sistem moneter
berdasarkan uang nyata, koin emas dan perak dalam bentuk mata uang dinar dan dirham. Saat ini gerakan
tersebut telah sampai pada kenyataan dengan mulai diterimanya dinar dan dirham di pasar valuta asing.
Pemakainya pun telah tersebar di banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Gagasan yang diilhami oleh
pemikiran pasca modern ini pun mendapatkan dukungan luas kalangan ekonom Islam. Imaad al-Deen
Ahmad, ekonom dari Minaret of Freedom Institute, misalnya menyatakan bahwa jalan ini perlu diambil demi
alasan moral sekaligus utilitarian (manfaat kegunaan). Ia menunjukkan bahwa sistem moneter berdasar uang
nyata (dinar dan dirham) telah terbukti mampu menciptakan stabilitas makro yang berkelanjutan. Lebih dari
1500 tahun dinar dan dirham tidak mengalami inflasi, dan tingkat kepercayaannya sebagai mata uang pun
telah teruji. Emas dan perak sebagai alat tukar berbeda dengan uang kertas, ia tak akan pernah kehilangan
kepercayaannya, meski sekalipun kehilangan kegunaan tukarnya, karena pada dirinya sendiri memiliki nilai
komoditas. Lebih dari itu, pemakaian uang nyata akan menciptakan sistem ekonomi yang adil.
Secara perlahan namun pasti, pemakaian dinar dan dirham sejak pertama kali dicetak ulang di
Grenada Spanyol pada tahun 1992, kini makin meluas. Berbagai hambatan teknis, seperti kerepotan
bertransaksi dengan uang nyata ini telah teratasi dengan sistem digital gold currency. Dalam bentuk digital
dengan tetap didukung oleh logam emas yang disimpan di Dubai. Para pemegang account dinar di seluruh
dunia dapat bertransaksi dengan cepat, murah, mudah dan aman. Bukan saja untuk jumlah yang besar, tapi
juga untuk satuan yang jumlahnya jauh lebih kecil dari satu dinar, yang tidak mungkin dilakukan secara fisik
(nilai tukar per keping dinar saat ini adalah kurang lebih sekitar Rp 700 ribu untuk ¼ Dinar (sekitar 1.06
gram) Rp1.350.000,- untuk ½ Dinar (2,13 gram) dan Rp 2.680.000,- untuk 1 Dinar (4,25 gram), maka secara
fisik menjadi tidak praktis menggunakan dinar untuk membayar barang dan jasa yang harganya jauh di
bawah nilai mata uang dinar dan dirham. Dalam bentuk digital satuan nilai transaksi dapat diperkecil sampai
empat desimal. Dinar dan dirham praktis telah menjadi “mata uang swasta” yang efektif, meski masih dalam
skala yang belum signifikan. Maka terciptanya blok perdagangan Islam tinggal menunggu waktu. Mata uang
5
Menyambut lantangnya Mahathir, Loc. Cit.

2
www.mahadalyjakarta.com

emas dinar dan dirham akan menjadi pemersatu sekaligus ujung tombak dalam konstelasi perdagangan blok
Islam ini. Bila negara-negara Islam di dunia menerima gagasan ini, khususnya di kawasan Asia dan Afrika
Utara, apalagi bila kemudian didukung oleh Indonesia sebagai Negara Islam terbesar di dunia dan Uni Emirat
Arab yang Bank Islamnya secara resmi telah menerimanya, maka blok ini akan lebih cepat lagi memperoleh
kekuatannya.
Sebuah implikasi strategis dapat dibayangkan. Umat Islam di dunia terdiri atas lebih dari satu milyar
lebih atau sekitar 20 % dari penduduk dunia. Sebagai sebuah blok, ada komoditas strategis yang dapat
menjadi kekuatan bersama, yakni minyak. Bila dinar emas telah disepakati sebagai mata uang blok Islam,
dan semua negara Islam penghasil minyak sepakat meminta pembayaran dengan dinar emas, maka uang
dinar emas ini dapat dipastikan akan segera menandingi kekuatan dollar AS. Dan tak mustahil dinar akan
muncul sebagai standar baru mata uang dunia. Tentu tidak mudah dan tidak sederhana jalan menuju ke arah
sana. Namun dukungan terhadap upaya ini tampaknya akan terus meluas, kombinasi pendekatan kultural dan
struktural, formal dan informal bahkan rasional dan sekaligus emosional akan memberikan sebuah energi
yang tak akan pernah ada habisnya.

II. PEMBAHASAN
UANG DAN KEBIJAKAN MONETER ISLAM

A. Uang Menurut Ulama’ Islam


Untuk lebih memahami konsep uang dalam Islam, berikut sebagian pendapat ulama yang ahli dalam
bidang ekonomi Islam :
1. Imam al-Ghazali.
Pendapat al-Ghazali tentang uang dalam kitab Ihya’ Ulum al-din, menyatakan bahwa, “uang
bagaikan cermin, ia tidak mempunyai warna, namun dapat merefleksikan semua warna”.6 Maksudnya
adalah bahwa uang itu tidak memberikan kegunaan langsung (direct utility function), hanya bila uang itu
digunakan untuk membeli barang, barang itu akan memberikan kegunaan,7 al-Ghazali juga mengatakan
bahwa : “Allah menciptakan dinar dan dirham sebagai dua hakim dan dua penengah diantara benda yang
lainnya, sehingga dapat diperkirakan harta benda itu dengan dinar dan dirham. Maka begitulah mata uang
(dinar dan dirham ) tidak ada maksud untuknya kecuali ia hanya perantara kepada setiap tujuan”.8
Selanjutnya al-Ghazali mengatakan bahwa menimbun uang adalah dosa, dan melebur uang adalah
dosa besar. Menimbun uang pada prinsipnya adalah mengurangi jumlah uang dalam sirkulasi di pasar,
sehingga akan memperlambat transaksi ekonomi. Karena itu tindakan menimbun uang adalah perbuatan yang
tidak bisa dibenarkan, karena uang sejatinya adalah public good atau harta publik. Sehingga menimbun uang
adalah sama saja dengan menghilangkan uang dari sirkulasi.9
2. Ibnu Khaldun.
Tentang masalah uang Ibnu Khaldun dalam kitab nya Mukaddimah menyatakan bahwa “emas dan
perak sebagai ukuran nilai”.10 Percetakan uang harus sesuai dengan kualitasnya dan kemurniannya, artinya
nilai intrinsik menyatu dengan nilai nominalnya dan diberi tanda pada kepingan uang dinar dan dirham tadi
sebagi jaminan atas kemurniannya tersebut.11
3. Umar Chapra
Mengacu pada pemikiran al-Ghazali dan Ibnu Khaldun di atas, Umar Chapra dalam bukunya The
Future of Economic menyimpulkan :

6
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, (Beirut : Dar al-Qutb al-Islamiyahi, t. t.). Juz. IV.
7
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta : Gema Insani Preess, 2001) Cet. Ke-I, h. 53
8
al-Ghazali, Loc. Cit.
9
al-Ghazali, Op. Cit. Juz II, h. 84
10
Ibnu Khaldun, Mukaddimah, (Beirut : Dar al-Hadits, t. t.) Juz I, h. 381
11
Ibid. h. 226

3
www.mahadalyjakarta.com

a. Hanya pemerintah yang dapat menerbitkan uang sebagai alat pembayaran yang sah di negara itu
sendiri.
b. Pemerintah harus menjamin stabilitas nilai mata uang agar dapat berfungsi sebagai ukuran nilai,
alat tukar dan alat penyimpan daya beli melalui (cadangan) harta yang dimiliki oleh pemerintah.
c. Pemerintah harus mengelola permintaan uang melalui instrumen ;
1. Nilai moral
2. Lembaga-lembaga sosial ekonomi dan politik, termasuk mekanisme harga
3. Tingkat keuntungan sebagai ganti dari suku bunga
d. Pemerintah harus mengelola penawaran uang melalui instrumen :
1. Cadangan wajib
2. Rasio likuiditas
3. Pagu kredit
4. Nisbah bagi hasil

B. Mata Uang Dalam Islam


Pada dasarnya Islam memandang uang hanya sebagai alat tukar, bukan sebagi barang dagangan
(commodity).12 Oleh karena itu motif permintaan akan uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi
(money demand for transaction), dan bukan untuk spekulasi. Uang adalah milik masyarakat sehingga
menimbun uang (dibiarkan tidak produktif) dilarang, karena hal tersebut mengurangi jumlah uang beredar
dalam masyarakat. Dalam perdagangan Islam uang adalah flow concept sehingga harus selalu berputar dalam
perekonomian.13 Sejarah mencatat dinar dan dirham merupakan mata uang yang diadopsi oleh Rasulullah
saw, terbuat dari emas dan perak. Mata uang ini praktis telah digunakan sejak kelahiran Islam hingga
runtuhnya Khalifah Utsmaniyah di Turki pasca perang dunia I. 14 Mata uang dinar dan dirham diperoleh dari
hasil perdagangan yang dilakukan di negara-negara sekitarnya. Para pedagang Arab sekembalinya dari Syam,
mereka membawa dinar emas Romawi (Bizantium), dan dari Irak mereka membawa dirham perak Persia
(Sassanid), juga mereka terkadang membawa dirham himyar dari Yaman.15
Dinar dan dirham yang digunakan oleh orang Arab waktu itu tidak disandarkan pada nilai
nominalnya, melainkan menurut beratnya, disebabkan dinar dan dirham tersebut hanya dianggap sebagi
kepingan emas dan perak saja. Dinar dan dirham tidak dianggap sebagi mata uang yang dicetak, mengingat
bentuk dan timbangannya yang tidak sama dan karena kemungkinan terjadinya penyusutan berat akibat
peredarannya. Untuk mencegah terjadinya penipuan atas perilaku transaksi, maka mereka lebih suka
menggunakan standar timbangan khusus yang telah meraka miliki, yaitu : rith, uqiyah, nasy, nuwat, mitsqal,
dirham, daniq, dan habbah.16
Datangnya Rasulullah saw sebagai tanda kedatangan Islam, maka beliau mengakui berbagai
muamalah yang menggunakan dinar Romawi dan dirham Persia. Beliau juga mengakui standar timbangan
yang berlaku dikalangan kaum Quraisy untuk menimbang berat dinar dan dirham. Kaum muslimin terus
menggunakan dinar Romawi dan dirham Persia dalam bentuk cap dan gambar aslinya sepanjang hidup Rasul
dan dilanjutkan oleh masa Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq ra dan pada awal kekhalifahan Umar bin Khattab
ra. Rasulullah saw telah mengakui berat dinar tersebut serta mengaitkannya dengan hukum-hukum zakat,

12
M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, (Jakarta : Gema Insani Press, 2001), Cet. Ke-I, h. 185
13
Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, (Jakarta : Alfabet, 2001). Cet. Ke-I h. 17
14
Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam, (Jakarta : PT. Salemba Embun Patria, 2002), Cet. Ke-
I, h. 20
15
Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan di Negara Khilafah, (Bogor : PT. Pustaka Thariq al-Izzah, 2002), Cet. Ke-I, h.
212
16
Ibid.

4
www.mahadalyjakarta.com

diyat dan pemotongan tangan bagi pencuri. Dinar inilah yang disebut dengan dinar syar’i. Hukum-hukum
tersebut lebih rincinya sebagai tersebut :17
1. Islam mengharamkan upaya menimbun emas dan perak, sebagaimana firman Allah dalam Surat al-
Baqarah ayat 34 : “Orang-orang yang menimbun emas dan perak serta tidak menafkahkannya
dijalan Allah, maka berilah kabar gembira kepada mereka dengan azab yang pedih.” Larangan
kanzul mal pada ayat di atas ditujukan pada tindakan menimbun emas dan perak sebagai mata uang,
sebab ia merupakan alat tukar umum.
2. Islam mewajibkan zakat pada emas dan perak. Islam telah pula menetapkan adanya nisab tertentu.
3. Islam mewajibkan pembayaran diyat (denda) dengan emas dan perak sebagai pengukur nilai dan
satuan hitung dalam pelaksanaan diyat yang diberlakukan pada saat itu. Diyat berupa emas besarnya
1000 dinar, sedangkan diyat berupa perak besarnya 12.000 dirham. Ini menunjukkan bahwa mata
uang yang diberlakukan oleh Rasulullah adalah dinar dan dirham. Rasulullah saw pernah menulis
surat kepada penduduk Yaman. Dalam surat itu Rasul bersabda : “Dalam jiwa seorang mukmin
(yang terbunuh) ada diyat 100 ekor unta…. Dan bagi yang mempunyai dinar(diyatnya) 1000 dinar.”
(HR. an-Nasa’i).
4. Islam mewajibkan potong tangan dalam kasus pencurian. Islam telah menentukan kadar minimal
nilai harta yang dicuri supaya hukum potong tangan dapat diterapkan, yaitu seperempat dinar atau 3
(tiga) dirham, artinya ada satuan hitung yang dipergunakan, yaitu emas dan perak sebagai mata uang.
Seperti Hadits yang diriwayatkan oleh Sayyidatina Aisyah ra : “tidak dipotong tangan pencuri
kecuali dalam (barang senilai) seperempat dinar atau lebih.” (HR. Muslim)
5. Ketika Islam menetapkan hukum tukar menukar uang (sharf), Islam menetapkan uang dalam bentuk
emas dan perak. Sharf adalah menukarkan atau membeli uang dengan uang, baik dalam jenis yang
sama seperti membeli emas dengan emas atau perak dengan perak, maupun antar jenis yang berbeda
seperti membeli emas dengan perak atau membeli perak dengan emas.
6. Rasulullah saw telah menetapkan emas dan perak sebagai mata uang, dan beliau menjadikan hanya
emas dan perak sajalah sebagai standar uang. Terdapat beberapa jenis standar yang Rasulullah
tetapkan yaitu uqiyah, dirham, daniq, qirqth, mitsqal dan dinar, sedangkan standar barang dan
tenaga dapat dikembalikan kepada standar tersebut.
Hukum-hukum Islam di atas yang dikaitkan dengan emas dan perak menunjukkan bahwa emas dan
perak merupakan satuan mata uang standar, yang telah ditetapkan berdasarkan taqrir (legitimasi) Rasulullah
saw. Untuk menilai berbagai barang dan jasa, dan dapat dikatakan bahwa emas dan perak adalah jenis mata
uang yang direkomendasikan oleh syar’i. Oleh karena itu, jika negara hendak mencetak mata uang tertentu,
negara hendaknya mencetak mata uang emas (dinar) dan perak (dirham).
C. Percetakan Mata Uang Oleh Negara Islam (Khilafah)
Menurut an-Nabbani, negara Khilafah boleh mengeluarkan mata uang non emas dan non perak
sebagai pengganti emas dan perak, dengan syarat dalam kas negara (Bank Central atau Baitul Maal)
tersimpan emas dan perak yang nilainya sama dengan nilai nominal pada mata uang yang dicetak. Dengan
demikian, negara boleh mengeluarkan mata uang tembaga (fulus), mata uang brons (tembaga campuran),
uang kertas, atau yang lainnya, serta mencetaknya sebagai mata uang negara, tetapi disisi lain pemerintah
harus menjaga nilainya dengan mempunyai cadangan emas dan perak yang tersimpan di Bank Central.
Abdul Qadir Zallum kemudian mengusulkan cetakan dinar emas yang akan dikeluarkan negara,
beserta bagian-bagian dan kelipatan-kelipatannya, seperti ditunjukkan dalam tabel sebagaimana berikut
dibawah ini :18
Cetakan Dinar Emas Berat Emas Keterangan

17
Taqiyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, (Surabaya : Risalah Gusti, 1996), Cet.
Ke-7, h. 298
18
Abdul Qadir Zallum, Sistem Keuangan di Negara Khilafah, (Bogor : PT. Pustaka Thariq al-Izzah, 2002), Cet. Ke-I, h.
315

5
www.mahadalyjakarta.com

¼ dinar 1,0625 gram Nishab potong tangan


½ dinar 2,125 gram Kadar zakat untuk setiap 20 dinar
1 dinar 4,25 gram Standar berat dinar
5 dinar 21,25 gram ¼ nishab zakat
10 dinar 42,5 gram ½ nishab zakat
20 dinar 85,gran Nishab zakat

Abdul Qadir Zallum juga mengajukan usulan mengenai cetakan mata uang dirham perak, beserta
bagian-bagian dan kelipatan-kelipatannya, seperti ditunjukkan pada tabel berikut dibawah ini : 19
Cetakan Dirham Perak Berat Perak Keterangan
½ dirham 1,4875 gram --------------
1 dirham 2,975 gram Standar berat dirham
5 dirham 14,675 gram Kadar zakat untuk setiap 200 dirham
10 dirham 29,75 gram --------------
20 dirham 59,5 gram --------------

D. Kebijakan Moneter Islam


Kebijakan moneter Islam pada zaman Rasulullah saw hingga akhir khulafaurrasyidin dilaksanakan
tanpa instrumen bunga sama sekali. Perekonomian Jazirah Arabiyyah pada waktu itu adalah ekonomi
dagang, bukan ekonomi yang berbasis sumber daya alam, karena minyak bumi belum ditemukan dan sumber
daya alam lainnya sangat terbatas. Lalu lintas antara Romawi dan Persia yang melalui Arab dikenal sebagai
jalur Dagang Utara, sedangkan antara Syam dan Yaman disebut sebagai jalur Dagang Utara Selatan.
Perekonomian Arab di zaman Rasulullah bukanlah ekonomi terbelakang yang hanya mengenal barter,
bahkan jauh dari gambaran seperti itu. Valuta asing dari Persia dan Romawi dikenal oleh seluruh lapisan
masyarakat Arab, bahkan menjadi alat bayar resmi, yaitu dinar dan dirham. Sistem devisa bebas diterapkan,
tidak ada halangan sedikitpun untuk mengimpor dan mengekspor dinar atau dirham. Transaksi tidak tunai
diterima luas dikalangan pedagang. Cek dan promissory notes lazim digunakan, misalnya Umar bin Khattab
ra menggunakan instrumen ini untuk mempercepat distribusi barang-barang yang baru di impor dari Mesir ke
Madinah. Instrumen factoring (anjak piutang) yang baru populer tahun 1980-an, telah dikenal dengan nama
al-Hiwalah, tapi tentunya bebas dari unsur bunga.

DINAR DAN DIRHAM DALAM SISTEM STANDARISASI MONETER


A. Dinar dan Dirham pada Periode Kejayaan Islam
Di salah satu museum di Paris, bisa ditemui koleksi empat mata uang peninggalan Khalifah Islam.
Salah satu diantaranya sampai saat ini dianggap satu-satunya di dunia. Mata uang itu dicetak pada masa
pemerintahan Imam Ali bin Abi Thalib. Sementara tiga mata uang lainnya adalah mata uang perak yang
cetak di Damaskus dan Merv sekitar tahun 60-70 H. Sebenarnya di zaman Khalifah Umar bin Khattab dan
Utsman bin Affan, mata uang telah pula dicetak dengan mengikuti gaya dirham Persia, dengan perubahan
pada tulisan yang tercantum pada mata uang tersebut.20 Memang di awal pemerintahan Khalifah Umar ra
pernah timbul pemikiran untuk mencetak uang dari kulit, namun dibatalkan karena tidak disetujui oleh paara
sahabat yang lainnya. Mata uang khalifah Islam yang mempunyai ciri khusus baru dicetak pada masa
pemerintahan Imam Ali ra. Namun sayang peredarannya sangat terbatas karena kondisi politik saat itu yang
tidak stabil. Mata uang dengan gaya Persia dicetak pula di zaman Mu’awiyah dengan mencantumkan gambar
dan pedang. Gubernur Ziad di Irak pada masa pemerintahan Mu’awiyah, juga mengeluarkan dirham dengan
mencantumkan nama Khalifah. Cara yang dilakukan oleh Mu’awiyah dan Ziad ini, berupa pencantuman

19
Ibid. h.235
20
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta : Gema Insani Press, 2001), Cet. Ke-I, h. 58

6
www.mahadalyjakarta.com

gambar dan nama kepala pemerintahan pada mata uang masih dipertahankan sampai saat ini, termasuk di
Indonesia.
Mata uang yang beredar pada saat itu belum berbentuk bulat seperti uang logam sekarang ini. Baru
pada zaman Ibnu Zubair, mata uang dengan bentuk bulat ini dicetak, namun peredarannya terbatas di Hejaz.
Sedangkan Mus’ab Gubernur Kufah, mencetak dengan gaya Persia dan Romawi. Tahun 72 H sampai dengan
tahun 74 H. Bisri bin Marwan mencetak mata uang yang disebut atawiyya. Hingga dengan zaman ini, mata
uang khilafah beredar bersama dengan dinar Romawi, dirham Persia, dan sedikit Himyaret Yaman. Barulah
pada zaman Abdul Malik (76 H) pemerintah mendirikan tempat mencetak mata uang, antara lain di Daar
Idrajd, Suq Ahwaz, Sus, Jay, Manadar, Maysan, Ray, Abarqubadh, dan mata uang khilafah dicetak secara
terorganisasi dengan kontrol pemerintah.

B. Meredupnya Penggunaan Emas (Dinar) di Belahan Dunia


Sejak zaman Rasulullah saw sampai dinasti Utsmaniyah jatuh sekitar tahun 1924, mata uang yang
digunakan adalah mata uang emas dan perak atau dinar dan dirham, uang kertas belum dikenal. Pada kurun
waktu itu Amerika pun menerapkan satu US dollar sama dengan satu dinar emas, tepatnya sejak tahun 1792,
dengan kurs 1 : 15 sampai sekitar tahun 1857 M (Gressham Law), Karena perbedaan kurs dengan Eropa
sekitar 1 : 16, maka emas Amerika ke Eropa dan perak Eropa ke Amerika. 21 Akhirnya Amerika
mendemonetisasi perak pada tahun 1873 M dari bimetal menjadi monometal dan ini ternyata berlaku
universal atau yang disebut sebagai “Gold Currency Standart” (GCS). GCS ini mempunyai tiga variasi :22
1. Gold Coin Standart (GCS), merupakan system moneter dimana koin aktif beredar di masyarakat
sebagai “medium of exchange”
2. Gold Bullion Standart (GBS), merupakan standar moneter dengan ketentuan-ketentuan sebagai
berikut :
a. Mata uang nasional disetarakan dengan emas
b. Emas disimpan oleh pemerintah dalam bentuk batangan bukan koin
c. Emas tidak beredar dalam perekonomian
d. Emas tersedia untuk tujuan industri dan transaksi internasioanal dari Bank
3. Gold Exchange Standart (GES) yang lebih dikenal sebagi Bretton Woods System, merupakan
kesepakatan internasional di bidang moneter, yang mana mata uang merupakan flat money yang
dapat dikonversikan ke dalam emas dengan tingkat harga tertentu.
Ketika standar moneter mengikuti GBS, maka kebijakan moneter tergantung dari banyaknya
persediaan dan produksi emas, padahal nafsu untuk tumbuh tidak terbatas. Seperti yang terjadi sekitar tahun
1870-1880-an ketika produksi emas menurun maka penawaran uang tidak dapat mengimbangi pertumbuhan
ekonomi dunia sehingga terjadi deflasi. Sebaliknya ketika penemuan tambang emas di Alaska dan Afrika
tahun 1890-an,23 maka penawaran uang meningkat dan inflasi meningkat. Akhirnya menurunkan nilai tukar
domestik yang berlangsung terus sampai perang dunia I tahun 1914.
Perang dunia I tahun 1914 telah merubah keadaan. Sejumlah negara berupaya untuk menyelamatkan
aset-aset nasional, termasuk cadangan emas. Akibatnya aliran emas terganggu, dan standar emas mulai
ditinggalkan. Kekacauan ekonomi yang ditimbulkannya melahirkan beberapa blok moneter yang saling
bersaing. Inggris dengan beberapa sekutunya membangun Sterling Blok, Amerika serikat dan sekutunya
membangun Dollar Blok, sementara Perancis membangun Gold Blok. Terjadilah perang ekonomi dalam
bentuk devaluasi dan fluktuasi nilai tukar untuk menyelamatkan ekonomi masing-masing. Atas prakarsa

21
Aries Mufti, Sejarah Dinar dan Dirham dari Masa ke Masa, Makalah Seminar Ekonomi Islam universitas Islam Negeri
Jakarta, 22 Januari 2003
22
Mulya Siregar et. al., Dinar emas Solusi Krisis Moneter, (Jakrta : PIRAC, SE, INFID, 2001), Cet. Ke-1, h. 85
23
Majalah Modal, Berharap Dinar Bersinar, (Jakarta) Edisi 1 Nofember 2002, h. 68

7
www.mahadalyjakarta.com

Amerika Serikat pada tahun 1936 dicapai kesepakatan tripartit, melibatkan Amerika Serikat-Perancis-Inggris
untuk meredakan konflik.24
Puncak dari upaya koordinasi sistem moneter internasional dicapai perundingan Amerika Serikat dan
Inggris, yang masing-masing dipimpin oleh Harry Dexter White dipihak AS dan John Maynard Keynes
dipihak Inggris, yang kemudian disepakati pada tahun 1944, kesepakatan Bretton Woods ini menghasilkan
sistem moneter nilai tukar emas (Gold Exchange Standart). Dalam sistem ini satu mata uang nasional (dollar)
ditetapkan sepenuhnya dapat ditukarkan dengan emas pada harga tetap, yakni setara dengan 35 USD. Nilai
mata uang yang lain di-peg dengan dolar dan hanya boleh dirubah seizin kesepakatan internasional.
Dalam hal ini dibentuklah IMF (International Monetary Fund) yang mengembangkan mandat
mengawasi jalannya sistem moneter internasional yang baru ini dan dan menyediakan pinjaman jangka
pendek bagi negara yang mengalami kesulitan neraca pembayaran.25 Dalam kepengurusan IMF sendiri,
Amerika Serikat memeliki 33 % kekuatan suara sedang Masyarkat Ekonomi Eropa (MEE) hanya memeliki
kira-kira 19 %.26
Dengan sistem ini dolar AS dan bukan lagi emas, menempati posisi sebagai alat tukar perdagangan
internasional dan berlaku sebagai cadangan devisa internasional. Sistem ini telah membawa suatu kekacauan
yang akhirnya runtuh dikemudian hari. Dan pada akhirnya Amerika mengalami defisit anggaran yang terus-
menerus, yang disebabkan oleh banyaknya permintaan dolar ke Eropa dalam rangka pembangunan Eropa
pasca Perang Dunia II. Dengan banyaknya dolar baru yang dicetak, seharusnya cadangan emas di federal
Rederve AS juga meningkat, namun tidak demikian adanya. Apa boleh buat, lama-kelamaan AS tidak
mampu lagi mempertahankan sistem nilai dolar yang dikaitkan dengan emas, hingga presiden kala itu
Richard Nixon memutuskan melepas dollar dari emas, tepatnya tanggal 15 Agustus 1971, dan mulai saat itu
sistem moneter internasional sepenuhnya berbasis bunga, riba yang diharamkan oleh Islam.27

C. Keunggulan dan Kelemahan Dinar Dirham


1. Keunggulan Dinar
a. Selaras Dengan Berbagai Ketentuan Syariah
Secara Syar’i pemanfaatan sistem mata uang dua logam selaras dengan sejumlah perkara
dalam Islam yang menyangkut uang. Seperti yang telah kami sebutkan pada bab sebelumnya, nisab
zakat harta yang 20 dinar emas dan 200 dirham perak, larangan menimbun harta (kanzu al-mal, bukan
ihtikar atau saving) dimana harta yang dimaksud disitu adalah emas dan perak, sebagaimana disebut
dalam surah at-Taubah ayat 34. Juga berkaitan dengan ketetapan besarnya diyat dalam perkara
pembunuhan (sebesar 1000 dinar) atau batas minimal pencurian (1/4 dinar) untuk dapat dijatuhi
hukuman potong tangan. Dari asumsi itu semua menunjukkan bahwa standar keuangan (monetary
standart) dalam sistem keuangan Islam adalah uang emas dan perak. Dengan menggunakan dinar dan
dirham, kegiatan umat langsung selaras dengan semua perhitungan-perhitungan yang telah ditetapkan
oleh syariat Islam dalam berbagai persoalan. Tidak seperti sekarang yang terlebih dulu harus
dikonversikan kepada mata uang lokal. Misalnya nisab zakat 20 dinar harus dibaca dulu dalam rupiah
(84 gram emas dikalikan harga per gram dalam rupiah).28
b. Terhindar Dari Tekanan Gejolak Mata Uang
Dinar yang mengandung 4,25 gram akan membuat nilai nominal dan nilai intrinsiknya
menyatu. Artinya, nilai nominal mata uang yang berlaku akan terjaga oleh nilai instrinsiknya (nilai
uang itu sebagai barang, yaitu emas seberat 4,25 gram emas untuk dinar atau 2,975 gram perak untuk
24
Zaim Saidi, Dinar dan Masa Depan Ekonomi Indonesia, Makalah Seminar Ekonomi Islamn Universitas Islan Negeri
Jakarta, 22 Januari 2003
25
Ibid.
26
M. A Mannan, Ekonomi Islam : Teori dan Praktek, (Jakarta : PT, Intermasa, 1992), Cet. Ke-I, h. 213
27
ibid. h. 7
28
Taqiyuddin an-Nabbani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, (Surabaya : Risalah Gusti, 1996), Cet.
Ke-7, h. 299

8
www.mahadalyjakarta.com

dirham), bukan oleh daya tukar terhadap mata uang lain. Maka, seberapapaun misalnya dolar
Amerika Serikat naik nilai nya, misalnya terhadap rupiah, mata uang dinar akan mengikuti senilai
dolar menghargai 4,25 gram emas yang terkandung dalam 1 dinar. Depresiasi tidak akan terjadi
(sekalipun semua faktor ekonomi dan non ekonomi yang memicunya ada).
Bahkan bila dinar digunakan secara bersama oleh sejumlah negara, maka diantara negara itu
tidak lagi dipusingkan oleh perbedaan kurs. Kenyataan ini tentu akan mempermudah transaksi yang
pada gilirannya akan memeperlancar arus barang dan jasa. Tambahan lagi sebagai mata uang tidak
berbangsa, dinar dapat dipertukarkan secara langsung dengan valas manapun tanpa perlu valas
perantara yang acap kali menimbulkan kerugian akibat perbedaan kurs berjenjang. Dengan semua
kelebihan ini, gejolak ekonomi akibat gejolak kurs seperti sekarang ini Insya Allah tidak akan terjadi,
sehingga semua dampak buruknya pun semestinya dapat dihindari.
c. Terhindar Dari Tekanan Inflasi
Dengan nilai nominal dinar yang ditopang oleh nilai instrinsiknya, membuat dinar terhindar
dari tekanan inflasi. Artinya, ketika terjadi kenaikan harga-harga barang dan jasa (inflasi), harga emas
yang menopang mata uang dinar juga turut naik sehingga daya belinya tetap terjaga. Biaya perjalanan
Haji setelah krisis moneter naik dua kali lipat (sebelumnya sekitar 12.5 juta kemudian menjadi 25
juta, dan hari ini mencapai 35 juta).
Berapa banyak diantara kita yang menyadari bahwa uang kertas yang setiap hari ada
dikantong kita menyimpan sebuah persoalan begitu mendasar. Pemaknaan selembar kertas, yang
pada dirinya nyaris tak bernilai itu, dengan nominal tertentu, katakanlah Rp 100.000,- dengan
sendirinya menciptakan alat tukar bagi suatu transaksi yang tidak riil. Seseorang menukar sebuah
rumah, katakanlah senilai Rp 100 Juta, adakah tukar menukar itu nyata? Setarakah, dalam nilainya
yang instrinsik, antara sebuah rumah-dengan segala bahan bangunan dan tenaga yang digunakan
untuk itu- dengan 1000 potong kertas yang masing-masing dimaknai dengan pecahan Rp 100 ribu?
Bagaimana kalau tiba-tiba lembar-lembar kertas itu dinyatakan tidak lagi bernilai? yang tersisa tentu
hanyalah setumpuk kertas tipis berwarna merah. Bukanlah sangat nyata bahwa transaksi kita sehari-
hari selama ini ternyata terjadi secara sangat illusif ?
Secara historis sebenarnya uang kertas belum lama dikenal, tak lebih dari 300 tahun. 29 Dalam
lebih dari separuh umurnya itu pun, uang kertas tidak pernah lepas dari jaminan secara riil berupa
deposit logam emas. Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa dunia internasional baru melepas
mata uang dari emas pada tahun 1971 yang diprakarsai oleh Richard Nixon. Jadi baru pada awal
1970-an, artinya baru sekitar tiga puluh tahunan, metamorfosis uang kertas, yang semula semata
sebagai alat tukar itu menjadi komoditi yang diperdagangkan mencapai puncaknya.
Dengan menggunakan dinar dan dirham, kekayaan seseorang tersimpan secara riil sampai
kapanpun, bahkan jika pemerintah menyatakan emas yang kita pegang itu sebagai arang. Kekayaan
itu tidak memerlukan dan tidak bergantung pada pengakuan hukum, serta tidak terganggu oleh apa
yang disebut inflasi maupun depresiasi. Pada kenyataannya, seseorang yang memegang emas disaat
kebanyakan orang kehilangan banyak kekayaaannya akibat krisis moneter, justru bertambah kaya.
Sejarah mencatat ketika krisis Peso Meksiko tahun 1995, nilai emas naik 107 % dalam waktu tiga
bulan, ketika krisis rupiah tahun 1997, nilai emas di Indonesia melonjak 375 % dalam kurun waktu
tujuh bulan, dan ketika Rubel Rusia krisis tahun 1998, nilai emas di Rusia naik 307 % dalam waktu
delapan bulan.30 Tidaklah heran beberapa negara dalam mengatasi krisis, salah satu strateginya
adalah menjual emas yang ditarik dari masyarakat sebagai penyelamat. 31
d. Mata Uang Dinar Univesal tidak Mudah Rusak dan Terjaga Nilainya

29
Zaim saidi, et. al., Dinar Emas Solusi Krisis Moneter, (Jakarta : PIRAC, SEM, INFID, 2001), Cet. Ke-I, h. 39
30
Majalah Modal, Sejumlah Kesalahpahaman atas Dinar Dirham, (Jakarta) Edisi 1 Januari 2003
31
Ibid.

9
www.mahadalyjakarta.com

Emas adalah barang universal. Ia diterima dimana pun oleh siapa pun dan sampai kapan pun.
Artinya, bila kita memegang dinar, mata uang itu akan diterima dimana pun, bahkan sampai kapan
pun. Disamping itu mata uang dinar tidak mudah rusak, awet dan nilainya pun tetap terjaga meski
misalnya mata uang dinar pecah. Apabila seseorang dengan sengaja menggemgam sekeping koin
dinar emas atau dirham perak di tangannya, kemudian ia menimbangnya, dan dibawa kemana pun ia
pergi, ke London, ke New York, Paris, Tokyo, atau Jakarta, sekeping dinar tetaplah 4,25 gram emas
22 karat, dan sekeping dirham adalah 3 Gram perak murni. Bahkan bila gambar dan coraknya
dirubah, bertuliskan kalimah syahadah maupun bergambar Joko Widodo-Yusuf Kalla, nilainya akan
tetap tidak berubah. Emas produk Indonesia sama bermutunya dan nilainya dengan emas di Inggris
atau Afrika Selatan. Maka, emas dan perak, dinar dan dirham tidak mungkin bisa dimanipulasi oleh
negara ataupun lembaga keuangan internasional manapun, kecuali dipalsukan.
e. Menghentikan Kolonialisme Ekonomi
Sekali dinar dan dirham kembali dipakai oleh seluruh umat manusia di muka bumi ini
sebagian besar persoalan umat manusia tidak mustahil akan terselesaikan dengan sendirinya. Kalau
saja bangsa-bangsa di dunia saat ini mendukung pemakaian dinar dan dirham dalam perdagangan
internasional posisi tawar negara-negara pengutang akan naik. Kekuatan ekonomi dan finansialnya
akan berangsur pulih. Kurs mata uang tidak lagi jadi persoalan. Pertukaran harta, minyak, kayu,
barang pertanian, barang tambang dan sebagainya dari negeri-negeri ini bahkan akan diperoreh
kembali dalam bentuk harta lain, berupa emas dan perak. Kolonialisme dan imperialisme melalui
politik uang seketika akan dapat kita hapuskan. Pada saat yang sama sebagai mata uang yang tak
mengenal batas negara dan kebangsaan dinar akan mempersatukan umat manusia. Khususnya umat
Islam di seluruh dunia.
2. Kelemahan Dinar
a. Masih Mungkin Mengalami inflasi Emas
Penurunan nilai dinar atau dirham memang masih mungkin terjadi. Yaitu ketika nilai emas
yang menopang nilai nominal dinar itu mengalami penurunan nilai (baca : inflasi emas). Diantara
akibat ditemukannya emas dalam jumlah besar. Tapi keadaan ini kecil sekali kemungkinannya, oleh
karena penemuan emas besar-besaran biasanya memerlukan asaha eksplorasi dan eksploitasi yang
disamping memakan investasi besar, juga waktu yang lama. Tapi, andai pun hal ini terjadi, emas
temuan itu akan disimpan menjadi cadangan devisa negara, tidak langsung dilempar ke pasaran.
Secara demikian, pengaruh penemuan emas terhadap penurunan nilai emas di pasaran bisa ditekan
seminimal mungkin. Disinilah pentingnya ketentuan emas sebagai milik umum harus dikuasai oleh
negara.
b. Diragukan Cadangan Emas Mampu Memenuhi Kebutuhan Transaksi
Cukupkah persediaan emas yang ada di dunia? ini pertanyaan yang tidak mudah untuk
dijawab, karena berarti harus menghitung secara riil jumlah emas yang beredar dan jumlah cadangan
yang terhitung serta cadangan potensial. Tapi, secara imani, kita percaya bila Allah memerintahkan
untuk menggunakan mata uang emas. Ia tentu telah dan akan menyediakan terus kebutuhan emas itu.
Secara rasional dengan peningkatan teknologi eksplorasi dan eksploitasi penambangan (sebagai
contoh di Afrika Selatan eksploitasi emas bisa dilakukan hingga kedalaman 3000 meter di bawah
perut bumi), penemuan emas akan dapat terus dilakukan untuk mencukupi kebutuhan transaksi
tersebut.
c. Kendala Mobilitas
Mengingat bentuknya yang berupa koin, dinar emas bisa mengalami kendala mobilitas.
Misalnya, berapa ton berat uang yang harus anda bawa untuk transaksi 10 milyar? Persoalan ini bisa
diatasi dengan sistem transaksi on-line atau yang baru-baru ini dikembangkan berupa e-dinar untuk
transaksi internasional. Biaya transaksinya pun sangat murah, yakni hanya satu persen per transaksi.
Bandingkan dengan biaya transfer valas uang kertas yang saat ini sekitar 6 dollar AS yang dikenakan

10
www.mahadalyjakarta.com

kepada pembayar dan penerima. Bahkan bila dibandingkan dengan biaya transaksi kartu kredit
sekalipun, transaksi dengan dinar emas masih lebih murah. Jelas sekali, kendala ini mudah saja
diatasi, sebagaimana suatu transaksi yang berjumlah milyaran rupiah, tentunya akan membingungkan
jika saat itu mengharuskan adanya uang secara kontan.

d. Problem Penjagaan Terhadap Kemurnian (berat dan karat)


Dinar untuk diterima sebagai mata uang harus memenuhi ketentuan mengandung berat 4,25
gram emas 22 karat. Persoalannya, bagaimana semua dinar yang beredar di pasaran dijamain
memenuhi ketentuan itu. Pertama, tentu hanya dinar yang resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah
saja yang boleh dipakai. Kedua, pemerintah juga perlu secara berkala melakukan pengecekan
terhadap dinar yang beredar untuk mencegah beredarnya dinar yang tidak memenuhi ketentuan atau
dipalsukan. Bila ini tidak bisa diatasi, maka akan berlaku apa yang disebut bad gold throw away good
gold, ini jelas merugikan masyarakat.
e. Problem Penyediaan Satuan Yang Lebih Kecil
Satu dinar merupakan satuan nominal yang paling besar. Bagaimana bila dalam transaksi
diperlukan satuan yang lebih kecil? Kendala ini diatasi dengan menyediakan dirham dan mata uang
dari bahan yang bernilai lebih rendah dari pada emas, yakni perunggu (pada zaman kekhalifahan
Islam, mata uang ini dikenal dengan nama mata uang fulus). Sehingga semua kebutuhan satuan
transaksi dapat tercukupi.
D. Kembali ke Dinar dan Dirham
Kesalahan pandangan terhadap kedudukan uang yang tidak hanya sebagai alat tukar tapi juga sebagai
komoditi, serta pembuatan mata uang yang tidak menggunakan basis emas atau perak sehingga nilai nominal
tidak menyatu dengan nilai instrinsiknya, inilah yang menjadi biang dari segala keruwetan ekonomi kapitalis,
termasuk yang selama ini dipraktekkan di Indonesia. Mengatasi krisis ekonomi yang hingga kini masih terus
berlangsung, disamping harus menata sektor riil, yang paling penting adalah meluruskan pandangan yang
keliru tadi. Bila uang dikembalikan pada fungsinya sebagai alat tukar saja, kemudian dibuat dengan basis
emas dan perak, maka ekonomi akan betul-betul digerakkan hanya oleh sektor riil saja. Tidak akan ada sektor
non riil (dalam arti orang berusaha menarik keuntungan dari mengkomoditaskan uang dalam pasar uang,
misal Bank dan sebagainya). Kalaupun ada usaha di sektor keuangan, itu tidaklah lebih sekedar menyediakan
uang untuk modal usaha yang diatur dengan sistem yang benar, misalnya bagi hasil. Dengan cara itu, sistem
ekonomi yang bertumpu pada sektor riil akan berjalan mantap, tidak mudah bergoyang atau digoyang seperti
saat ini.
Disinilah keunggulan sistem ekonomi Islam. Islam dengan pandangan yang bersumber dari Sang
Pencipta Yang Maha Tahu, mengajarkan hanya memfungsikan uang sebagai alat tukar saja. Maka dimana
uang beredar, ia pasti hanya akan bertemu dengan barang dan jasa, bukan dengan sesama uang seperti yang
terjadi pada transaksi perbankan atau pasar modal dalam sistem kapitalis. Semakin banyak uang beredar,
semakin banyak pula barang dan jasa yang diproduksi dan diserap pasar. Akibatnya pertumbuhan ekonomi
akan terus meningkat dan mantap (steady growth), tanpa ada kekhawatiran terjadi collaps seperti
pertumbuhan ekonomi semu (bubble growth) dalam sistem kapitalistik.32
Sebagai sebuah agama Islam memiliki pandangan yang khas mengenai sistem moneter atau
keuangan, yaitu sebuah sistem pengadaan dan pengaturan keuangan dalam suatu negara. Yang paling penting
dalam setiap keuangan adalah penentuan satuan dasar keuangan (al-wahdah al-naqdiyah al-asasiyah) dimana
kepada satuan itu dinisbahkan seluruh nilai-nilai berbagai mata uang lain. Kaum muslimin datang dengan
mengusulkan sistem finansial berdasarkan syariah yang berbasiskan emas dan perak. Penting ditelusuri
bahwa usulan ini bukan semata-mata kembali kepada sistem standar emas klasik atau nilai tukar emas ala
Bretton Woods, melainkan memakai kembali emas dan perak dalam bentuk dinar dan dirham sebagai mata
uang yang berdimensi lokal sekaligus global.
32
M. Ismail Yusanto, et. al., Dinar Emas Solusi Krisis Moneter, (Jakarta : PIRAC, SEM. INFID, 2001), Cet. Ke-I, h. 13

11
www.mahadalyjakarta.com

Pemakaian kembali dinar dan dirham tidak saja akan menghasilkan sistem moneter internasional yang
stabil, tapi juga berkeadilan. Salah satu alternatif yang cocok dalam dunia perbankan adalah wakalah, yakni
keagenan dengan fungsi jual beli dan penyimpanan, pembayaran, serta transfer. Peran sebagai pencipta kredit
dan membungakan uang yang ada pada Bank saat ini tidak ada lagi pada wakalah. Secara teoritis, dinar dan
dirham, sebagaimana yang pernah berlaku pada masa lampau, merupakan mata uang universal dan berlaku
sebagai mata uang internasional.
Tetapi melihat konstelasi dunia sekarang, mengharapkan dinar dan dirham sebagai mata uang
internasional mungkin sebuah angan-angan yang kurang begitu meyakinkan. Peluang yang lebih mungkin,
meskipun viabilitasnya relatif rendah saat ini, adalah mengarahkan dinar dan dirham sebagai uang regional,
mengikuti jejak euro. Kemungkinan ini sudah lebih dekat karena pemerintah Malaysia dan pemerintah Iran
telah bersepakat memakai dinar emas dengan nama resmi Islamic gold Dinar (IGD), sebagai alat tukar
perdagangan bilateral.33
Upaya pengembalian dinar dirham jelas tidak mudah. Institusi negara memiliki peran yang
menentukan dalam percepatan gerakan ini, tetapi memiliki paradoks tersendiri terhadap uang kertasnya. Di
lain pihak, masyarakat merupakan bagian terpenting dari negara yang paling tidak dapat memungkinkan
pemakaian dinar dan dirham sebagai community bassed currency. Dinar dan dirham adalah komoditas dan
mata uang yang memiliki nilai instrinsik, maka penerimaannya tidak harus atas dasar hukum dan keputusan
politik, tapi kesepakatan parsial pun bisa dilakukan. Dengan berlakunya kembali dinar dan dirham, maka
menambah bentuk community currency yang saat ini sekitar 1500 di berbagai belahan dunia. Dalam skala
yang kecil, tapi terus tumbuh, dinar dan dirham telah disepakati oleh komunitas-komunitas muslim di Afrika
Selatan, Malaysia, Inggris dan puluhan negara lainnya, juga tidak luput di Indonesia sendiri.34

E. Aplikasi dan Terapan Dinar dan Dirham Dalam Sistem Perekonomian


Sudah barang tentu kembalinya dunia pada sistem mata uang dwi logam akan membutuhkan kerja
yang berkelanjutan dan menguras energi. Untuk suksesnya program tersebut, pemerintah setidaknya
mengambil langkah-langkah sebagai berikut :35
1. Menerbitkan dan mencetak dinar dan dirham dengan berat dan ukuran yang sesuai dengan standar
internasional. Untuk saat ini, pengawasan dan percetakan dinar dirham berada dalam otoritas World
Islamic Trading Organization (WITO) dan disirkulasikan di Spanyol, Jerman, Afrika Selatan, serta
akan meluas ke negara lainnya. Ketetapan dan ketentuan standar dinar dirham yang diatur oleh
WITO didasarkan pada ukuran dan berat yang sama dengan koin asli Madinah, yaitu dinar
ditetapkan berupa 4,25 gram emas 22 karat, dengan dimensi 23 m/m dan dirham ditetapkan berupa
3,00 gram 25m/m perak asli (sterling silver) atau 0,95 perak murni. Malaysia dalam hal ini telah
merealisasikannya dengan penerbitan satu dinar dan seperempat dinar.36
2. Pembebasan total terhadap pembelian, penjualan, dan kepemilikan berapapun jumlah dinar dirham
sesuai ketentuan hukum Islam
3. Pemberian fasilitas transportasi dan transfer emas bagi perdagangan internasional melalui jaringan
kerja dunia yang terdiri dari agen-agen yang ditunjuk dan berasal dari seluruh dunia.
4. Mengembalikan emas dan perak dalam percetakan uang sebagai standar moneter, yang berupa koin
murni, hingga nilai nominal dan instrinsiknya menyatu.
5. Khusus bagi Indonesia, penerapan dinar dirham diaplikasikan pada beberapa sektor, misalnya
Ongkos Naik Haji (ONH), membayar zakat, infak dan sadaqah (zis).

III. PENUTUP

33
Zaim saidi, Dinar dan Masa Depan Ekonomi Indonesia, Op. Cit.
34
Ibid.
35
Umar Ibrahim Vadillo, et. al., Dinar Emas Solusi Krisis Moneter, (Jakarta : PIRAC, SEM, INFID, 2001), Cet. Ke-I, h. 68
36
Majalah Indo Pos, Mahathir Meluncurkan Dinar Emas, (Jakarta) Edisi Kamis 31 Juli 2003.

12
www.mahadalyjakarta.com

Dari uraian di atas tergambar bagaimana posisi mata uang dinar dan dirham dalam peta pertarungan
sistem perekonomian global, terutama terkait dengan beberapa kebijakan politik ekonomi sebuah negara dan
kawasan. Kemana dan bagaimana dinar dan dirham harus dimobilisasikan untuk bisa menemukan posisi
yang ideal dalam sistem moneter dan ekonomi dunia? Dan dari uraian di atas dapat penulis kemukakan
beberapa hal yang terkait dengan kelebihan, kekuatan dan kelemahan mata uang dinar dan dirham serta
permasalahan dampak pemberlakuan dinar dan dirham terhadap kebijakan moneter sebagaimana berikut :
1. Dalam konsep Islam uang merupakan :
a. Alat tukar (medium of change)
b. Bukan komoditi yang bisa diperdagangkan
d. Pengukur satuan nilai
e. Publik good atau harta publik
2. Sejarah telah mencatat bahwa dunia Islam menggunakan dinar dan dirham sebagai mata uang dan
sekaligus sebagai acuan sistem moneter, disamping motif religius dalam penerapannya.
3. Diantara kelebihan dinar dan dirham :
a. Selaras dengan berbagai ketentuan syariah
b. Terhindar dari tekanan gejolak mata uang
c. Terhindar dari tekanan inflasi
d. Mata uang dinar universal, tidak mudah rusak, dan terjaga nilainya
e. Menghentikan kolonialisme ekonomi
4. Diantara Kelemahan dinar dan dirham
a. Masih mungkin mengalami inflasi emas
b. Diragukan kemampuan cadangan emas mampu memenuhi kebutuhan transaksi
c. Kendala mobilitas karena tidak mudah dibawa dalam jumlah besar
d. Problem penjagaan terhadap kemurnian (berat dan karat)
e. Problem penyediaan satuan uang yang lebih kecil
5. Penerapan Dinar dirham dalam tatanan perekonomian Indonesia khususnya dapat diterapkan pada
sektor-sektor seperti pembayaran Ongkos Naik Haji (ONH), zakat, infaq, sadaqah dan lain-lainnya.
6. Akar permasalahan dari krisis yang berkepanjangan yang menimpa beberapa negara dibelahan dunia
adalah sektor non riil atau moneter, sejak dunia meninggalkan standar emas, sebagai acuan dalam
pencetakan mata uang. Wallohu a’lam bisshawab.

13
www.mahadalyjakarta.com

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim dan terjemahannya, Bandung : CV. Penerbit Diponegoro, 2003, Cetakan Ke- 10.
Al-Gazali, Muhammad, Abi Hamid, Ihya’ Ulum al-Din, Beirut, Dar al-Qutb al-Ilmiyah, tanpa tahun.
Antonio, M. Syafi’i, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Jakarta, Gema Insani Press, 2001, Cetakan ke-I
Chapra, M. Umar, The Future of Economic an Islamic Perspektif, Jakarta, SEBI, 2001, Cetakan ke-I
Ilyas, Achyar, Peran Sistem Ekonomi dan Keuangan Syariah di Indonesia, Makalah Seminar Ekonomi
Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 22 Januari 2003
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Beirut, dar al-Hadits, tanpa tahun
Indo Pos, Mahathir Meluncurkan Dinar Emas, Jakarta, Edisi Kamis 31 Juli 2003
Karim, Adiwarman, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta, Gema Insani Press, Cetakan ke-I
Mannan, Muhammad, Abdul, Ekonomi Islam : Teori dan Praktek, Yogyakarta, PT. Dana Bakti Wakaf,
1995, Cetakan ke-I
Manullang, M, Ekonomi Moneter, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1993, Cetakan ke-13
Modal (Majalah), Sejumlah Kesalahpahaman atas Dinar dan Dirham, Jakarta, edisi 01 November 2002
Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter Dalam Islam, Jakarta, PT. Salemba Embun Patria, 2002,
Cetakan ke-I
Nabbani, Taqiyuddin, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Surabaya, Risalah Gusti,
1996, Cetakan ke-7
Saidi, Zaim, Dinar dan Masa Depan Ekonomi Indonesia, Makalah Seminar Ekonomi Islam, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 22 Januari 2003
_________, et. al., Dinar Emas Solusi Krisis Moneter, Jakarta, PIRAC, SEM Institute, INFID, 2001,
Cetakan ke-I
_________, Mengenali Sistem e-Dinar, www.tazkia.com
Vadillo, Umar Ibrahim,et. al., Dinar Emas Solusi Krisis Moneter, Jakarta, PIRAC, SEM Institute, INFID,
2001, cetakan ke-I

14
www.mahadalyjakarta.com

Yusanto, Ismail, et. al., Dinar Emas Solusi Krisis Moneter, Jakarta, PIRAC, SEM Institute, INFID, 2001,
cetakan ke-I
_________, Keunggulan dan Kelemahan Dinar Emas, Makalah seminar Ekonomi Islam Universitas Islam
Negeri Jakarta, 22 Januari 2003
Zallum, Abdul Qadim, Sistem Keuangan di Negara Khilafah, Bogor, PT. Pustaka Thariqah Izzah, 2002,
cetakan ke-I

15

Anda mungkin juga menyukai