Mukadimah
Berbagai krisis ekonomi besar terus melanda dunia. Krisis ekonomi yang melanda
Meksiko pada tahun 1994, bangkrutnya perusahaan raksasa Baring-Singapura tahun
1995, keguncangan bursa saham dunia Wall Street, New York pada tahun 1995, kredit
macet ratusan trilyun rupiah pada bisnis properti di Jepang tahun 1996, serta krisis
ekonomi yang diawali krisis moneter di Asia dan berbagai belahan dunia sejak tahun
1997.
Krisis ekonomi yang dialami Indonesia sejak tahun 1997, hingga kini belum
berakhir. Berbagai langkah dan kebijakan ekonomi telah ditempuh pemerintah, mulai
dari mengundang IMF, merevisi berbagai kebijakan ekonomi dan moneter hingga
kebijakan yang berupaya mendorong berputarnya roda ekonomi, seperti penyaluran dana
kepada masyarakat melalui perbankan dengan kredit murah dan lain sebagainya. Namun
berbagai upaya tersebut meskipun sebagiannya memang menunjukkan hasil, tapi secara
keseluruhan belumlah mampu membawa masyarakat keluar dari krisis. Bahkan akhir-
akhir ini kita dikejutkan dengan berbagai skandal pembobolan bank milik pemerintah.
Nilai tukar rupiah yang rendah, belum semua sektor riil pulih, tingginya tingkat
pengangguran dan lain sebagainya. Artinya, semua langkah-langkah perbaikan yang
diambil ternyata tidak secara langsung menunjukkan hasil. Mengapa? Apakah itu berarti
bahwa langkah-langkah penyembuhan itu tidak menyentuh akar persoalan sebenarnya
dari munculnya krisis?
Bila dicermati, krisis ekonomi yang melanda Indonesia, juga belahan dunia lain,
sesungguhnya dipicu oleh krisis keuangan dan moneter. Krisis keuangan dan moneter itu
sendiri terjadi karena dua sebab utama. Pertama, persoalan mata uang, dimana nilai
mata uang suatu negara saat ini pasti terikat kepada mata uang negara lain (misalnya
rupiah terhadap US dollar), tidak pada dirinya sendiri sedemikian sehingga nilainya tidak
pernah stabil, dan bila nilai mata uang tertentu bergejolak, pasti akan mempengaruhi
kestabilan mata uang tersebut. Kedua, kenyataan bahwa uang tidak lagi dijadikan
sebagai alat tukar saja, tapi juga sebagai komoditi yang diperdagangkan (dalam bursa
valuta asing) dan ditarik keuntungan (interest) alias bunga atau riba dari setiap transaksi
peminjaman atau penyimpanan uang.
Krisis yang terjadi disektor keuangan (moneter) ternyata berdampak luas pada
kehidupan ekonomi suatu negara. Krisis mata uang yang luar biasa menyebabkan
menurunnya pendapatan perkapita suatu negara. Lebih jauh lagi sejumlah industri dan
pabrik gulung tikar karena kesulitan likuiditas akibat membayar utang luar negeri yang
jatuh tempo serta tingginya harga bahan baku impor. Rasionalisasi yang dilakukan
berbagai industri berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran dan
akhirnya menambah tingkat pengangguran secara drastis. Kondisi ini akhirnya memicu
berbagai persoalan ekonomi, sosial dan politik baru sebagai dampak dari krisis tersebut.
Karenanya untuk mengatasi krisis ekonomi yang ada, maka terlebih dulu haruslah
diatasi faktor penyebab utama terjadinya krisis, yakni persoalan mata uang dan persoalan
spekulatif di pasar uang masalah bunga uang atau riba. Mata uang negara harus haruslah
stabil dan tidak tergantung dengan mata uang lainnya. Hal ini terjadi jika mata uangnya
1
berbasis emas dan perak. Kegiatan ekonomi tidak boleh lagi didasarkan pada sistem
keuangan dan moneter yang sangat spekulatif dan penuh dengan rente. Kegiatan
ekonomi spekulatif di pasar valas, pasar uang dan pasar modal (sektor non riil) telah
menyebabkan ekonomi suatu negara menjadi sangat tidak stabil dan rentan terhadap
perubahan dunia yang sangat cepat.
Menurut syariat Islam, standar mata uang yang digunakan haruslah berbasis emas
(dinar) dan perak (dirham). Dengan standar dua logam ini, maka nilai nominal uang
tersebut akan selalu sama dengan nilai instrinsiknya. Karenanya nilai mata uang tersebut
lebih terikat pada dirinya sendiri dan buakan pada mata uang lainnya semacam dolar atau
euro. Dengan kondisi ini, maka nilai mata uang menjadi stabil dan kondisi ini pada
kelanjutannya dapat membuat berbagai perencanaan, penilaian dan pelaksanaan kegiatan
ekonomi menjadi lebih baik dan lebih mudah.
Demikian pula Syariat Islam melarang kegiatan spekulatif non produktif
(transaksi derivatif), baik yang terjadi di pasar uang, pasar valas, pasar saham maupun
pasar berjangka komoditi. Transaksi derivatif (sekunder) yang penuh dengan
spekulatiflah yang menjadikan ekonomi suatu negara labil. Demikian juga Islam
melarang terjadinya kegiatan riba, baik di sektor perbankan maupun di sektor lainnya.
Sistem ribawi tidak menghasilkan nilai tambah ekonomi yang berarti, bahkan sebaliknya
menyebabkan ekonomi menjadi stagnan. Dengan adanya larangan kegiatan spekulatif
non produktif serta larangan kegiatan memungut rente (riba) diharapkan ekonomi suatu
negara menjadi lebih stabil. Kondisi ini akan memberikan landasan yang kokoh bagi
pembangunan ekonomi di berbagai sektor.
Hanya yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana caranya Syariat Islam
mengatur sistem mata uang yang berbasis emas dan perak ? Bagaimana Syariat Islam
mencegah terjadinya kegiatan spekulatif di pasar uang, pasar valas dan pasar modal atau
bahkan pasar berjangka komoditi ? Bagaimana Syariat Islam mengatur sistem keuangan
negara tanpa harus terlibat dengan kegiatan spekulatif nonproduktif dan kegiatan rente
(ribawi) ? Bagaimana pula Syariat Islam mengatur sistem keuangan negara tanpa
melibatkan kegiatan spekulatif dan ribawi sehingga kegiatan negara dapat berlangsung ?
2
besar, kecil dan cetakan ke dalam satu timbangan Mekkah. Setelah itu, Abdul Malik
mencetak dirham dari perak, dan dinar dari emas. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun
ke-75 Hijriyah. Sejak tanggal itulah, dirham dan dinar Islam telah dicetak. Dengan kata
lain, sejak tanggal itulah uang Islam menjadi khas mengikuti satu ciri khas yang tidak
berbeda-beda lagi.
Kedua logam ini dapat digunakan secara bersamaan karena sistem uang emas pada
dasarnya sama seperti sistem uang perak. Negara Islam sejak Rasulullah saw. hijrah telah
mengambil kebijakan berdasarkan standar uang emas dan perak secara bersama-sama,
tanpa adanya pemisahan. Karenanya, kebijakan moneter tetap harus senantiasa berpijak
pada standar emas dan perak tersebut secara bersamaan. Kesimpulannya adalah uang
yang beredar di masyarakat harus berupa emas dan perak, baik diwujudkan dalam bentuk
fisik emas dan perak atau mempergunakan uang kertas dengan jaminan emas dan perak
yang disimpan di tempat tertentu semisal bank sentral.
"Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak, serta tidak menafkahkannya
dijalan Allah (untuk jihad), maka beritahukan kepada mereka (bahwa mereka akan
mendapatkan) azab yang pedih." (QS. At-Taubah: 34).
b. Islam mengaitkan emas dan perak dengan hukum-hukum Islam lainnya seperti diyat
dan pencurian. Islam menentukan diyat dengan ukuran tertentu dalam bentuk emas.
Islam juga mengenakan sanksi potong tangan terhadap praktik pencurian dengan
ukuran melebihi emas sebesar ¼ dinar.
“Bahwa di dalam (pembunuhan) jiwa itu terdapat diyat berupa 100 unta dan
terhadap pemilik emas (ada kewajiban) sebanyak 1.000 dinar.” (HR An-Nasa'i dan
Amru bin Hazam).
“Tangan itu wajib dipotong, (apabila mencuri) 1/4 dinar atau lebih.” (HR. Imam
Bukhari, dari Aisyah).
3
c. Zakat uang yang ditentukan Allah SWT berkaitan dengan emas dan perak. Allah
SWT juga telah menentukan nishab zakat tersebut dengan nishab emas dan perak.
d. Rasulullah saw telah menetapkan emas dan perak sebagai uang sekaligus sebagai
standar uang. Setiap standar barang dan tenaga yang ditransaksikan akan senantiasa
dikembalikan kepada standar tersebut.
e. Hukum-hukum tentang pertukaran mata uang (money changer) dalam Islam yang
terjadi dalam transaksi uang hanya selalu merujuk kepada emas dan perak, bukan
dengan yang lain. Hal ini adalah bukti yang tegas bahwa uang tersebut harus berupa
emas dan perak, bukan yang lain.
Nabi saw. bersabda: "Emas dengan mata uang (bisa terjadi) riba, kecuali secara
tunai. " (HR. Imam Bukhari).
Oleh karena itu, ketika syara' menyatakan lafadz-lafadz emas dan perak bisa
diperuntukkan untuk dua hal: Pertama, untuk jenis uang yang dipergunakan dalam
melakukan transaksi, baik berupa tembaga, kertas uang atau lainnya, asalkan mempunyai
penjamin berupa emas dan perak. Kedua, untuk emas dan perak itu sendiri. Dengan
demikian, uang jenis apa pun, baik emas maupun perak, uang kertas, tembaga, maupun
yang lain, dapat digunakan sebagai mata uang selama memungkinkan untuk ditukarkan
menjadi emas dan perak karena emas dan peraklah yang menjadi standar.
4
perdagangan luar negeri tidak takut bersaing. Karena kurs uangnya tetap, maka
mereka tidak khawatir dalam mengembangkan bisnisnya.
c. Dalam sistem uang emas, bank-bank pusat dan pemerintah, tidak mungkin
memperluas peredaran kertas uang, karena secara umum kertas uang tersebut bisa
ditukarkan menjadi emas dengan harga tertentu. Sebab, pemerintah-pemerintah
tertentu khawatir jika memperluas peredaran kertas uang tersebut, justru akan
menambah jumlah permintaan akan emas, sementara pemerintah sendiri tidak
sanggup menghadapi permintaan tersebut. Oleh karena itu, untuk melindungi kertas
uang yang dikeluarkan serta sikap hati-hati pemerintah terhadap emas, pemerintah
tersebut akan melakukan penimbunan (uang emas).
d. Tiap mata uang yang dipergunakan di dunia, selalu dibatasi dengan standar tertentu
yang berupa emas. Dan pada saat itu pengiriman barang, kekayaan dan orang dari
satu negara ke negara lain, menjadi sedemikian mudah. Sehingga masalah potongan
serta kelangkaan uang bisa dihilangkan.
e. Tiap negara akan menjaga kekayaan emas, sehingga tidak akan terjadi pelarian emas
dari satu negara ke negara lain. Dan negara pun tidak akan memerlukan kontrol
sekecil-kecilnya untuk melindungi kekayaannya. Sebab, kekayaan tersebut tidak
akan ditransfer dari negara tersebut kecuali karena adanya alasan yang sah menurut
syara', yakni adakalanya untuk membayar barang atau gaji para pekerja.
Sementara itu beberapa kendala yang akan dihadapi dalam menerapkan sistem mata
uang emas dan perak adalah sebagai berikut:
a. Sirkulasi emas akan terpusat di negara-negara yang memiliki kemampuan dan
kekuatan produksi serta negara yang memiliki kemampuan bersaing dalam
perdagangan internasional, atau memiliki keunggulan dalam hal ilmu dan teknologi.
b. Emas telah menjadi devisa beberapa negara sebagai akibat dari neraca keuangannya.
Namun negara tersebut berusaha mencegah berpengaruhnya emas yang masuk dalam
pasar di dalam negeri, serta menaikkan tingkat harga di sana. Caranya, negara yang
bersangkutan melempar sejumlah obligasi di pasar, yang mampu menarik alat tukar
dalam bentuk uang, sebagai pengganti nominal emas yang dinyatakan di dalamnya.
Sehingga emas tersebut tetap berada di beberapa negara tadi, dan tidak bisa keluar
dari sana. Bahkan tidak pernah kembali ke negara yang mengeluarkannya. Dengan
demikian negara yang bersangkutan menjadi terancam, akibat sistem uang emas
tersebut.
c. Tersebarnya sistem uang emas tersebut telah dibarengi dengan konsep
pengistimewaan di antara beberapa negara — dalam beberapa aspek produksi yang
berbeda — serta tidak adanya hambatan-hambatan dalam perdagangan di antara
negara-negara tersebut. Hanya saja, negara-negara tersebut memiliki kecenderungan
yang kuat untuk melindungi industri dan pertaniannya. Dimana negara-negara
tersebut telah menerapkan bea masuk, sehingga masuknya barang-barang ke negara-
negara tersebut, supaya bisa mengeluarkan emas dari sana, menjadi sangat sulit. Oleh
karena itu, negara yang mempraktikkan sistem uang emas tersebut menjadi terancam.
Sebab, kalau negara tersebut tidak bisa memasukkan komoditi ekspornya ke negara
lain dengan harga biasa, negara tersebut bisa jadi akan terancam menurunkan harga-
harga komoditi ekspornya. Bahkan dengan penurunan harga yang drastis, atau
menembus bea masuk tersebut, atau bisa jadi negara tersebut tidak akan memasukkan
5
komoditi ekspornya. Dan dalam kondisi semacam ini, negara tersebut jelas
mengalami kerugian.
Inilah kesulitan-kesulitan yang paling penting, yang dihadapi oleh sistem uang
emas, apabila sistem uang emas tersebut dipergunakan oleh satu atau sejumlah negara.
“Mereka berkata (berpendapat) sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah : 275).
6
pinjaman dapat meraih keuntungan berulang kali karena perpanjangan tenggang
waktu pembayaran.
Inilah kondisi-kondisi nyata yang terjadi pada riba dan perdagangan. Riba dengan
jelas sangat merugikan dan perdagangan mendatangkan keuntungan bagi semua pihak.
Makanya dapatlah difahami mengapa Allah SWT melarang riba namun menghalalkan
jual beli.
"Dan suatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah harta manusia,
maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat
yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian)
itulah orang-orang yang yang melipatgandakan." (QS Ar Ruum : 39).
Ayat ini diturunkan di Mekkah, tetapi ia tidak menunjukkan isyarat apapun mengenai
haramnya riba. Yang ada hanyalah isyarat kebencian Allah SWT terhadap tiba, sekaligus
peringatan supaya berhenti dari aktifitas riba.
Ayat yang kedua tentang riba adalah firman Allah SWT tentang tindakan orang
Yahudi (salah satunya praktek riba mereka) yang menyebabkan kemurkaan Allah SWT.
Bunyi ayat tersebut sebagai berikut :
“Maka lantaran kedzaliman yang dilakukan oleh orang-orang Yuhudi itu, Kami
haramkan atas mereka beberapa jenis makanan yang baik-baik yang sedianya
dihalalkan kepada mereka. Lantaran perbuatan mereka yang menghalangi manusia dari
jalan Allah yang banyak sekali itu serta mereka yang mengambil riba padahal mereka
telah dilarangnya.” (QS. An-Nisa : 160-161)
Ayat yang ketiga yang berkaitan dengan riba adalah firman Allah SWT yang
berbunyi :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan riba dengan berlipat ganda
…” (QS. Ali _imran : 130)
Ayat ini diturunkan di Madinah dan mengandung larangan tegas tentang pengahraman
salah satu jenis praktek riba, yaitu riba Nasi’ah. Namun demikian, larangan dalam ayat
tersebut masih bersifat sebagian, belum menyeluruh. Pengharaman riba pada ayat ini
hanya berlaku bagi praktek-praktek riba yang keji dan jahat, yang bentuknya
membungakan uang dengan berlifat ganda.
Ayat tentang riba yang terakhir diturunkan adalah firman Allah SWT yang
berbunyi :
7
“Hai orang-orang yang beriman takutlah kepada Allah dan tinggalkanlah apa yang
masih tersisa dari riba jika kamu orang-orang yang beriman …” (QS. Al-Baqarah : 278)
Dengan turunnya ayat ini, maka riba telah diharamkan secara menyeluruh, tidak lagi
membedakan banyak maupun sedikit.
“Juallah emas dengan perak sesuka kalian, dengan syarat harus tunai.” (HR. Imam
Tirmidzi dari Ubadah bin Shamit)
Ubadah bin Shamit mengatakan : Aku mendengar Rasulullah saw melarang menjual
emas dengan emas, perak dengan perak, bur dengan bur, Sya’ir deng sya’ir, kurma
dengan kurma, garam dengan garam, selain sama antara barang yang satu dengan
barang yang lain, maka barang siapa yang menambahkan atau meminta tambahan,
maka dia telah melakukan riba.” (HR. Imam Muslim)
“Rasulullah saw melarang menjual emas dengan perak dengan cara dihutangkan.” (HR.
Imam Bukhari)
Dari pengertian hadits di atas dipahami bahwa dalam pertukaran mata uang, maka
ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yakni (1) Jika pertukaran dilakukan antara
mata uang yang sejenis, maka pertukarannya harus senilai, namun jika tidak sejenis boleh
berbeda nilai; (2) Pertukaran atau jual beli tersebut haruslah dilakukan secara tunai dan
tidak boleh dengan cara dihutangkan (kredit); (3) pertukaran antara mata uang tersebut
dilakukan dalam satu majlis (tempat).
Jual beli mata uang tertentu misalnya dolar dengan rupiah adalah aktivitas yang
boleh selama dilakukan secara kontan dan dalam satu majlis. Karena itulah pertukaran
di money changer selama memenuhi ketentuan diatas adalah boleh. Namun
perdagangan mata uang asing di bursa valas secara langsung atau melalui forex advisor
tidak dibolehkan sebab tidak memenuhi dua syarat kontan dan langsung terjadi serah
terima (hand to hand).
8
pembangunan negara-negara kapitalis termasuk Indonesia. Sumber utama pendanaan
pembangunan sekarang menitikberatkan pada pendapatan pajak, juga sangat
mengandalkan pada pendanaan luar negeri yakni dari utang luar negeri yang ribawi.
Sementara Negara Islam justru tidak mengandalkan pajak dan utang luar negeri.
Sumber-sumber pendanaan Negara Islam dapat kita lihat dari adanya institusi yang
menghimpun keuangan Negara sekaligus mempunyai pengaturan pengeluaran tersendiri.
Institusi ini bernama Baitul Mal. Baitul mal adalah lembaga keuangan negara yang yang
mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat baik berupa pendapatan maupun
pengeluaran negara.
Secara garis besar, pendapatan negara yang masuk ke dalam baitul mal di
kelompokkan menjadi tiga sumber, yakni
(b) Bahan tambang yang tidak terbatas (sangat besar). Bahan tambang yang
jumlahnya sedikit dapat dimiliki secara pribadi. Hasil tambang seperti ini akan dikenai
hukum rikaz (barang temuan) sehingga harus dikeluarkan 1/5 bagian (20%) darinya.
Bahan tambang yang jumlahnya sangat besar termasuk milik umum dan tidak boleh
dimiliki secara pribadi; (c) Benda-benda yang sifat pembentukannya menghalangi
untuk dimiliki hanya oleh individu. Ini meliputi jalan, sungai, laut, danau, tanah-tanah
umum, teluk, selat dan sebagainya. Yang juga bisa disetarakan dengan hal-hal tadi adalah
masjid, sekolah milik negara, rumah sakit negara, lapangan, tempat-tempat penampungan
dan sebagainya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw :
“Kota Mina adalah tempat parkir unta bagi orang yang lebih dulu (datang).
(Maksudnya tempat untuk umum).”
9
a. Pemanfaatan secara langsung oleh masyarakat umum. Air, padang rumput, api,
jalan umum, laut, samudra, sungai besar, maka bagi setiap individu berhak menfaatkan
secara langsung atas barang-barang tersebut. b. Pemanfaatan di bawah pengelolaan
Negara. Kekayaan milik umum yang tidak dapat dimanfaatkan secara langsung oleh
setiap individu masyarakat karena membutuhkan keahlian, teknologi tinggi serta biaya
yang besar seperti minyak bumi, gas alam, dan barang tambang lainnya, maka negara
yang berhak mengelolanya untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi bahan tersebut.
Hasilnya dimasukkan ke dalam kas baitul mal. Khalifah adalah pihak yang berwenang di
dalam mendistribusikan hasil tambang dan pendapatannya sesuai dengan ijtihadnya demi
kemashlahatan ummat.
10
Dalam mengelola dan memanfaatkan kekayaan negara yang diperoleh dari berbagai
sumber di atas, negara haruslah memperhatikan dari sumber mana kekayaan tersebut
diperoleh. Pemanfaatan harta negara yang ada di baitul mal ditetapkan berdasarkan enam
kaidah:
(1) Pengeluaran untuk keperluan khusus, yaitu harta zakat. Harta tersebut dikeluarkan
berdasarkan ada dan tidaknya. Apabila harta dari kas zakat tersebut ada pada baitul
mal, maka pembelanjaannya disalurkan pada obyek-obyeknya — yaitu delapan
ashnaf yang disebutkan di dalam Al-Qur'an. Apabila harta tersebut tidak ada, maka
pemilikan orang yang mendapatkan bagian atas harta tersebut telah gugur.
(2) Pengeluaran untuk menutupi terjadinya kekurangan, atau untuk melaksanakan
kewajiban jihad. Contohnya adalah untuk para fakir miskin, ibnu sabil, serta
keperluan jihad. Penggunaan dana baitul mal untuk keperluan ini tidak ditentukan
berdasarkan adanya harta tersebut. Apabila harta tersebut ada, maka seketika itu wajib
diberikan. Apabila tidak ada, lalu dikhawatirkan akan terjadi kerusakan karena
ditangguhkan, maka negara bisa meminjam harta untuk disalurkan seketika itu juga,
berapa pun hasil pengumpulannya dari kaum Muslimin, setelah itu dilunasi. Namun,
bila tidak khawatir akan terjadi kerusakan, maka pembelanjaannya bisa ditunda.
(3) Pengeluaran rutin untuk gaji pegawai seperti gaji para tentara, pegawai negeri, hakim,
tenaga edukatif, dan sebagainya. Dan hak mendapatkan pembelanjaan untuk
keperluan ini tidak ditentukan berdasarkan adanya harta. Pembelanjaannya
merupakan hak yang bersifat tetap, baik pada saat harta tersebut ada maupun tidak,
yakni baik harta tersebut ada maupun tidak ada di dalam baitul mal. Apabila harta
tersebut ada, maka seketika itu wajib dibelanjakan. Apabila tidak ada, maka negara
wajib mengusahakannya, dengan cara memungut harta yang diwajibkan atas kaum
Muslimin.
(4) Pengeluaran bagi kemaslahatan umum yang vital. Contohnya adalah pembangunan
jalan, air, bangunan masjid, sekolah, rumah sakit, dan masalah-masalah lainnya, yang
adanya dianggap sebagai masalah yang vital, dimana ummat akan mengalami
penderitaan, apabila masalah-masalah tersebut tidak ada. Pengeluaran untuk
keperluan ini tidak ditentukan berdasarkan adanya harta. Apabila di dalam baitul mal
ada harta, maka wajib disalurkan untuk keperluan-keperluan tersebut. Apabila di
dalam baitul mal tidak ada harta, maka kewajibannya berpindah kepada ummat,
sehingga harta tersebut bisa dikumpulkan dari ummat secukupnya untuk memenuhi
pengeluaran-pengeluaran yang bersifat paten tersebut.
(5) Pengeluaran bagi kemashlahatan umum yang tidak vital. Contohnya antara lain
adalah pembuatan jalan biasa, ketika jalan yang lain sudah ada, atau membuka rumah
sakit baru, yang sebenamya sudah cukup dengan adanya rumah sakit yang lain, atau
membangun jalan, sementara orang-orang bisa menemukan jalan lain, hanya lebih
jauh, ataupun yang lain. Pengeluaran untuk keperluan ini ditentukan berdasarkan
adanya harta, bukan pada saat tidak adanya. Apabila, di dalam baitul mal terdapat
harta, maka wajib disalurkan untuk keperluan-keperluan tersebut. Apabila di dalam
baitul mal tidak terdapat harta, maka kewajiban tersebut gugur dari baitul mal. Kaum
Muslimin juga tidak wajib membayar untuk keperluan ini, sebab sejak awal
pembiayaannya tidak wajib bagi kaum Muslimin.
(6) Pengeluaran untuk keperluan darurat seperti paceklik, angin taufan, gempa bumi, atau
serangan musuh, maka hak pembelanjaannya tidak ditentukan berdasarkan adanya
11
harta. Apabila harta tersebut ada, maka wajib disalurkan seketika itu juga. Apabila
harta tersebut tidak ada, maka kewajibannya dipikul oleh kaum Muslimin. Oleh
karena harta tersebut wajib dikumpulkan dari kaum Muslimin seketika itu juga.
Kemudian harta tersebut diletakkan di dalam baitul mal untuk disalurkan kepada yang
berhak. Apabila dikhawatirkan akan terjadi penderitaan, karena pembelanjaannya
ditunda hingga terkumpul semuanya, maka negara wajib berhutang kepada warga
negara terlebih dulu, dan pada saat itu juga disalurkan kepada yang berhak. Mengenai
hutang tersebut akan dibayar dari harta yang dikumpulkan dari kaum Muslimin.
12
Biro-biro yang ada dalam badan pemilikan umum dibentuk berdasarkan jenis harta
pemilikan umum, yaitu :
1. Biro Minyak dan Gas
2. Biro Listrik
3. Biro Barang Tambang
4. Biro Laut, Sungai dan Mata Air
5. Biro Hutan dan Padang Gembalaan
6. Biro Cagar Alam.
c. Badan Sedekah
Badan ini yang menjadi tempat penyimpanan harta-harta zakat yang wajib beserta
catatan-catatannya. Biro-biro dalam badan sedekah ini dibentuk berdasarkan jenis
harta zakat, yaitu :
1. Biro Zakat Uang dan Perdagangan
2. Biro Zakat Pertanian dan Buah-buahan
3. Biro Zakat Onta, Sapi, dan Kambing.
Untuk harta zakat ini dibuatkan tempat khusus di baitul mal dan tidak ber-campur
dengan yang lainnya. Karena Allah SWT telah membatasi orang-orang yang berhak
menerima zakat, yaitu 8 golongan. Sebagaimana firman Allah :
Tidak boleh diambil harta zakat tersebut untuk selain mereka (8 golongan).
1. Kantor Khilafah
2. Kantor Penasihat (Mustasyaarin)
3. Kantor Mu'awin Tafwid (Pembantu Khalifah dalam Urusan Pemerintahan)
4. Kantor Mu'awin Tanfidz (Pembantu Khalifah dalam Urusan Administrasi)
13
c. Badan Pemberi/Bantuan
Badan ini merupakan tempat penyimpanan arsip-arsip dari kelompok masyarakat
tertentu yang menurut pendapat Khalifah berhak untuk memperoleh pemberian dari
negara, yaitu orang-orang fakir, miskin, yang dalam keadaan sangat membutuhkan, yang
berhutang, yang sedang dalam perjalanan, para petani, para pemilik industri dan lain-lain
yang layak diberi subsidi.
Tiga badan ini (a, b dan c) memperoleh subsidi dari badan fai-i dan kharaj.
14
dan belanja riil secara global serta mengikuti fakta pendapatan dan belanja negara
yang tengah berlangsung secara rinci. Badan ini merupakan bagian dari Kantor
Khilafah.
Badan Pengendali Umum adalah badan yang mengendalikan semua harta
negara. Dengan kata lain merupakan badan yang bertugas memeriksa harta negara
dari segi keberadaannya, keperluan-keperluannya, pendapatannya,
pembelanjaannya, realisasinya dan yang berhak menerimanya. Badan Pengawas
adalah badan yang bertugas mengawasi dan meneliti secara mendalam bukti-bukti
hasil pemeriksaan harta negara dan peruntukannya dari Badan Pengendali Umum.
Badan ini harus benar-benar melakukan fungsi pengawasan terhadap harta negara,
yaitu meyakinkan ada tidaknya harta, sah tidaknya harta yang ada, keperluan-
keperluannya, pendapatannya, pembelanjaannya serta memeriksa para
penanggungjawabnya yang berkenaan dengan perolehan, peruntukan dan
pembelanjaan harta tersebut. Badan inipun bertugas memeriksa urusan
administrasi semua badan-badan dan biro-biro negara beserta staf-stafnya.
Inilah badan-badan keuangan negara Khilafah secara global. Adapun dalil
keberadaannya adalah bahwasanya badan-badan ini merupakan salah satu bentuk
dari urusan administrasi dan merupakan sarana yang akan mempermudah
melakukan aktivitas kenegaraan. Rasulullah saw telah mengatur masalah
adminisrasi negara secara langsung oleh beliau sendiri dan juga mengangkat para
penulis untuk urusan tersebut. Hal ini beliau lakukan baik yang berkaitan dengan
urusan harta maupun urusan lainnya. Telah diungkapkan sebelumnya dalam
pembahasan "Bagian-bagian Baitul Mal yang Paling Awal Terbentuk" tentang fakta
Rasulullah saw mengangkat mereka sebagai penulis untuk urusan harta.
Harus diperhatikan, bahwasanya semua ayat dan hadits yang membolehkan harta
anfal, ghanimah, fai-i, jizyah dan kharaj serta menjadikannya sebagai hak kaum muslimin
dari orang-orang kafir; demikian juga semua ayat dan hadits yang menunjukkan wajibnya
zakat (termasuk kepada siapa diberikannya) dan harta pemilikan umum, seluruhnya
menunjukkan --dengan dalalatul-iltizam-- tentang bolehnya menetapkan bentuk
administrasi tertentu yang digunakan untuk pengambilan, penyimpanan, penulisan,
pembelanjaan dan pembagian harta. Hal ini karena bentuk-bentuk administrasi tersebut
merupakan cabang dari permasalahan pokok, sehingga termasuk kedalamnya. Oleh
karena itu, urusan ini merupakan hal yang mubah bagi Khalifah untuk menggunakan dan
mengadopsinya sesuai dengan pendapatnya bahwa hal tersebut adalah berguna untuk
pengaturan cara pendapatan, pengendalian, pemeliharaan, pendistribusian serta
pembelanjaan harta. Faktanya hal ini (penggunaan dan pengadopsian badan-badan Baitul
Mal) telah terjadi pada masa Al-Khulafa Ar-Rasyidin dan seluruhnya berlangsung
sepengetahuan para shahabat tanpa ada penolakan dari seorangpun di antara mereka
(ijma' shahabat).
15
merencanakan berbagai kegiatan pembangunan. Demikian juga dengan larangan
kegiatan spekulatif non produktif maka sektor ril akan tumbuh pesat. Hal yang sama juga
terjadi jika riba atau bunga uang dilarang, sektor riil akan tumbuh dengan pesat. Dana
yang ada tidak boleh dibiarkan diam namun harus berputar.Dana-dana yang disalurkan ke
sektor ril dan ini pada gilirannya akan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat.
Sumber-sumber pendapatan yang telah ditetapkan oleh syara' untuk baitul mal
sebenarnya sudah cukup untuk mengatur urusan rakyat dan melayani kepentingan
mereka. Dalam hal ini tidak perlu lagi mewajibkan pajak untuk seluruh masyarakat.
Namun demikian, dalam kondisi untuk memenuhi kebutuhan vital dan mendesak
sementara kas negara sedang kosong, negara dapat memungut harta masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan tersebut. Sebenarnya merupakan harta yang difardhukan oleh Allah
SWT kepada kaum Muslimin dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka. Harta yang
dikumpulkan ini boleh disebut pajak (dharibah), atau harta yang diwajibkan, maupun
sebutan-sebutan yang lain.
Pajak hanya dipungut dalam rangka : (a) memenuhi pengeluaran wajib bagi baitul
mal, semisal untuk para fakir miskin, ibnu sabil, serta melaksanakan kewajiban jihad; (b)
memenuhi pengeluaran rutin yang wajib bagi baitul mal untuk gaji para pegawai negeri,
gaji tentara dan sebagainya; (c) memenuhi pengeluaran wajib bagi baitul mal untuk
keperluan sarana vital; (d) memenuhi pengeluaran wajib bagi baitul mal dalam kondisi
darurat semisal ada paceklik, angin taufan, gempa bumi, serangan musuh, atau apa saja
yang menimpa kaum Muslimin; (e) melunasi hutang-hutang negara dalam rangka
melaksanakan kewajiban negara terhadap kaum Muslimin.
Dengan demikian pajak yang dikenakan oleh negara Islam sangat berbeda dengan
sistem pajak dalam sistem kapitalis. Di dalam Islam ia hanya digunakan sebagai
penyangga jika kondisi keuangan negara tidak mencukupi untuk memenuhi kepentingan
masyarakat. Sementara dalam sistem kapitalis pajak merupakan sumber utama
pendanaan negara.
Demikian pula dengan sumber pendanaan luar negeri yang berasal dari utang.
Negara Islam sedapat mungkin menghindarkan diri berutang ke negara manapun. Hal ini
karena bahaya yang diperoleh dari utang luar negeri begitu besar. Kalaupun berhutang
maka akan diprioritaskan kepada warga negara (utang dalam negeri) dengan syarat tidak
boleh mengandung unsur riba.
Hal ini karena bahaya yang tersembunyi di balik utang-utang luar negeri dari
negara-negara kapitalis adalah sangat besar. Dengan cara itu, amat mudah bagi negara
kapitalis untuk menghancurkan sebuah negara yang telah berada dalam genggaman
utang-utangnya. Dalam hal ini Islam melarang kaum muslimin melakukan berbagai
aktivitas yang dapat mejadikan orang-orang kafir berkuasa atas mereka (QS. An-Nissa :
141). Islam juga melarang kaum muslimin menimbulkan kerusakan dan membayakan diri
sendiri. Rasulullah saw bersabda : “Tidak boleh membayakan diri sendiri dan tidak
boleh membayakan orang lain di dalam Islam.”
Namun demikian meskipun utang luar negeri dapat membahayakan, bukan berarti
bahwa Islam mengharamkan sama sekali bantuan luar negeri (utang). Boleh saja bagi
kaum Muslimin (Negara Islam) menerima bantuan luar negeri (utang) dari negara lain
selama tidak terkait dengan sistem ribawi, juga selama persyaratan-persyaratannya tidak
mengikat serta dapat dipastikan bahwa dibalik bantuan tersebut (utang) tidak tersembunyi
bahaya-bahaya seperti yang sebagiannya telah diuraikan diatas. Namun perlu
16
disampaikan bahwa dalam Islam bantuan luar negeri (utang) bukan priotitas utama untuk
mendapatkan dana bagi keperluan negara. Wallhu a’lam bishawwab.
17
Pos Pengeluaran
18