Anda di halaman 1dari 18

Syariat Islam Dalam Mengatasi Krisis Keuangan dan Moneter

Mukadimah

Berbagai krisis ekonomi besar terus melanda dunia. Krisis ekonomi yang melanda
Meksiko pada tahun 1994, bangkrutnya perusahaan raksasa Baring-Singapura tahun
1995, keguncangan bursa saham dunia Wall Street, New York pada tahun 1995, kredit
macet ratusan trilyun rupiah pada bisnis properti di Jepang tahun 1996, serta krisis
ekonomi yang diawali krisis moneter di Asia dan berbagai belahan dunia sejak tahun
1997.
Krisis ekonomi yang dialami Indonesia sejak tahun 1997, hingga kini belum
berakhir. Berbagai langkah dan kebijakan ekonomi telah ditempuh pemerintah, mulai
dari mengundang IMF, merevisi berbagai kebijakan ekonomi dan moneter hingga
kebijakan yang berupaya mendorong berputarnya roda ekonomi, seperti penyaluran dana
kepada masyarakat melalui perbankan dengan kredit murah dan lain sebagainya. Namun
berbagai upaya tersebut meskipun sebagiannya memang menunjukkan hasil, tapi secara
keseluruhan belumlah mampu membawa masyarakat keluar dari krisis. Bahkan akhir-
akhir ini kita dikejutkan dengan berbagai skandal pembobolan bank milik pemerintah.
Nilai tukar rupiah yang rendah, belum semua sektor riil pulih, tingginya tingkat
pengangguran dan lain sebagainya. Artinya, semua langkah-langkah perbaikan yang
diambil ternyata tidak secara langsung menunjukkan hasil. Mengapa? Apakah itu berarti
bahwa langkah-langkah penyembuhan itu tidak menyentuh akar persoalan sebenarnya
dari munculnya krisis?
Bila dicermati, krisis ekonomi yang melanda Indonesia, juga belahan dunia lain,
sesungguhnya dipicu oleh krisis keuangan dan moneter. Krisis keuangan dan moneter itu
sendiri terjadi karena dua sebab utama. Pertama, persoalan mata uang, dimana nilai
mata uang suatu negara saat ini pasti terikat kepada mata uang negara lain (misalnya
rupiah terhadap US dollar), tidak pada dirinya sendiri sedemikian sehingga nilainya tidak
pernah stabil, dan bila nilai mata uang tertentu bergejolak, pasti akan mempengaruhi
kestabilan mata uang tersebut. Kedua, kenyataan bahwa uang tidak lagi dijadikan
sebagai alat tukar saja, tapi juga sebagai komoditi yang diperdagangkan (dalam bursa
valuta asing) dan ditarik keuntungan (interest) alias bunga atau riba dari setiap transaksi
peminjaman atau penyimpanan uang.
Krisis yang terjadi disektor keuangan (moneter) ternyata berdampak luas pada
kehidupan ekonomi suatu negara. Krisis mata uang yang luar biasa menyebabkan
menurunnya pendapatan perkapita suatu negara. Lebih jauh lagi sejumlah industri dan
pabrik gulung tikar karena kesulitan likuiditas akibat membayar utang luar negeri yang
jatuh tempo serta tingginya harga bahan baku impor. Rasionalisasi yang dilakukan
berbagai industri berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran dan
akhirnya menambah tingkat pengangguran secara drastis. Kondisi ini akhirnya memicu
berbagai persoalan ekonomi, sosial dan politik baru sebagai dampak dari krisis tersebut.
Karenanya untuk mengatasi krisis ekonomi yang ada, maka terlebih dulu haruslah
diatasi faktor penyebab utama terjadinya krisis, yakni persoalan mata uang dan persoalan
spekulatif di pasar uang masalah bunga uang atau riba. Mata uang negara harus haruslah
stabil dan tidak tergantung dengan mata uang lainnya. Hal ini terjadi jika mata uangnya

1
berbasis emas dan perak. Kegiatan ekonomi tidak boleh lagi didasarkan pada sistem
keuangan dan moneter yang sangat spekulatif dan penuh dengan rente. Kegiatan
ekonomi spekulatif di pasar valas, pasar uang dan pasar modal (sektor non riil) telah
menyebabkan ekonomi suatu negara menjadi sangat tidak stabil dan rentan terhadap
perubahan dunia yang sangat cepat.
Menurut syariat Islam, standar mata uang yang digunakan haruslah berbasis emas
(dinar) dan perak (dirham). Dengan standar dua logam ini, maka nilai nominal uang
tersebut akan selalu sama dengan nilai instrinsiknya. Karenanya nilai mata uang tersebut
lebih terikat pada dirinya sendiri dan buakan pada mata uang lainnya semacam dolar atau
euro. Dengan kondisi ini, maka nilai mata uang menjadi stabil dan kondisi ini pada
kelanjutannya dapat membuat berbagai perencanaan, penilaian dan pelaksanaan kegiatan
ekonomi menjadi lebih baik dan lebih mudah.
Demikian pula Syariat Islam melarang kegiatan spekulatif non produktif
(transaksi derivatif), baik yang terjadi di pasar uang, pasar valas, pasar saham maupun
pasar berjangka komoditi. Transaksi derivatif (sekunder) yang penuh dengan
spekulatiflah yang menjadikan ekonomi suatu negara labil. Demikian juga Islam
melarang terjadinya kegiatan riba, baik di sektor perbankan maupun di sektor lainnya.
Sistem ribawi tidak menghasilkan nilai tambah ekonomi yang berarti, bahkan sebaliknya
menyebabkan ekonomi menjadi stagnan. Dengan adanya larangan kegiatan spekulatif
non produktif serta larangan kegiatan memungut rente (riba) diharapkan ekonomi suatu
negara menjadi lebih stabil. Kondisi ini akan memberikan landasan yang kokoh bagi
pembangunan ekonomi di berbagai sektor.
Hanya yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana caranya Syariat Islam
mengatur sistem mata uang yang berbasis emas dan perak ? Bagaimana Syariat Islam
mencegah terjadinya kegiatan spekulatif di pasar uang, pasar valas dan pasar modal atau
bahkan pasar berjangka komoditi ? Bagaimana Syariat Islam mengatur sistem keuangan
negara tanpa harus terlibat dengan kegiatan spekulatif nonproduktif dan kegiatan rente
(ribawi) ? Bagaimana pula Syariat Islam mengatur sistem keuangan negara tanpa
melibatkan kegiatan spekulatif dan ribawi sehingga kegiatan negara dapat berlangsung ?

Sistem Mata Uang Emas dan Perak


Yang dimaksud dengan sistem uang emas dan perak (gold and silver standard)
adalah penggunaan emas dan perak sebagai standar satuan uang. Kedua logam tersebut
dapat digunakan sebagai mata uang tanpa batasan bentuk. Sistem ini telah dikenal sejak
zaman dahulu dan dipergunakan di dalam negara Islam. Dalam pemerintahan Islam,
Rasulullah saw. telah menggunakan mata uang tersebut dalam berbagai muamalah saat
itu. Keduanya beredar di masyarakat meski belum memiliki bentuk baku. Rasulullah saw.
saat itu tidak tidak pernah mencetak uang tertentu dengan ciri khas tertentu. Karena, yang
menjadi standar mata uang ini bukanlah ukuran, ukiran atau bentuknya, tetapi berat
masing-masing satuan uang.
Kondisi semacam ini berlangsung terus sepanjang hayat Rasulullah saw., masa
Khulafaur Rasyidin, awal masa Bani Umayyah hingga masa Abdul Malik bin Marwan.
Abdul Malik kemudian melihat perlunya mengubah emas dan perak — baik yang sudah
diukir atau belum — yang dipergunakan dalam transaksi, ke dalam cetakan dan ukiran
Islam. Kemudian dibentuk dalam bentuk satu timbangan yang tidak berbeda-beda, serta
berbentuk barang yang tidak perlu lagi ditimbang. Lalu beliau mengumpulkan mulai yang

2
besar, kecil dan cetakan ke dalam satu timbangan Mekkah. Setelah itu, Abdul Malik
mencetak dirham dari perak, dan dinar dari emas. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun
ke-75 Hijriyah. Sejak tanggal itulah, dirham dan dinar Islam telah dicetak. Dengan kata
lain, sejak tanggal itulah uang Islam menjadi khas mengikuti satu ciri khas yang tidak
berbeda-beda lagi.
Kedua logam ini dapat digunakan secara bersamaan karena sistem uang emas pada
dasarnya sama seperti sistem uang perak. Negara Islam sejak Rasulullah saw. hijrah telah
mengambil kebijakan berdasarkan standar uang emas dan perak secara bersama-sama,
tanpa adanya pemisahan. Karenanya, kebijakan moneter tetap harus senantiasa berpijak
pada standar emas dan perak tersebut secara bersamaan. Kesimpulannya adalah uang
yang beredar di masyarakat harus berupa emas dan perak, baik diwujudkan dalam bentuk
fisik emas dan perak atau mempergunakan uang kertas dengan jaminan emas dan perak
yang disimpan di tempat tertentu semisal bank sentral.

Keharusan Menggunakan Standar Mata Uang Emas dan Perak


Pada dasarnya, Islam telah memberikan kebebasan kepada manusia untuk
melakukan pertukaran dengan mempergunakan barang apa saja yang dia sukai. Bahkan,
Islam masih mengakui sistem perdagangan barter. Namun, untuk menghilangkan
ketidakjelasan dalam pertukaran komoditas, alat tukar (uang) menjadi penting dilakukan.
Sesuai fungsinya, apapun alat tukar yang dipergunakan harus dapat menghilangkan
perselisihan di antara kedua pihak yang melakukan pertukaran. Dalam hal ini, terkait
dengan masalah uang sebagai alat tukar, Islam telah menetapkan emas dan perak sebagai
standar mata uang.
Menurut An-Nabhaniy (1990) ada keharusan untuk menjadikan emas dan perak
sebagai standar mata uang dalam sistem ekonomi Islam. Beberapa argumentasi yang
mendasari keharusan tersebut adalah :
a. Ketika Islam melarang praktik penimbunan harta (kanzul mal), Islam hanya
mengkhususkan larangan penimbunan harta untuk emas dan perak. Larangan ini
merujuk pada fungsi emas dan perak sebagai uang atau alat tukar (medium of
exchange).

"Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak, serta tidak menafkahkannya
dijalan Allah (untuk jihad), maka beritahukan kepada mereka (bahwa mereka akan
mendapatkan) azab yang pedih." (QS. At-Taubah: 34).

b. Islam mengaitkan emas dan perak dengan hukum-hukum Islam lainnya seperti diyat
dan pencurian. Islam menentukan diyat dengan ukuran tertentu dalam bentuk emas.
Islam juga mengenakan sanksi potong tangan terhadap praktik pencurian dengan
ukuran melebihi emas sebesar ¼ dinar.

“Bahwa di dalam (pembunuhan) jiwa itu terdapat diyat berupa 100 unta dan
terhadap pemilik emas (ada kewajiban) sebanyak 1.000 dinar.” (HR An-Nasa'i dan
Amru bin Hazam).

“Tangan itu wajib dipotong, (apabila mencuri) 1/4 dinar atau lebih.” (HR. Imam
Bukhari, dari Aisyah).

3
c. Zakat uang yang ditentukan Allah SWT berkaitan dengan emas dan perak. Allah
SWT juga telah menentukan nishab zakat tersebut dengan nishab emas dan perak.
d. Rasulullah saw telah menetapkan emas dan perak sebagai uang sekaligus sebagai
standar uang. Setiap standar barang dan tenaga yang ditransaksikan akan senantiasa
dikembalikan kepada standar tersebut.
e. Hukum-hukum tentang pertukaran mata uang (money changer) dalam Islam yang
terjadi dalam transaksi uang hanya selalu merujuk kepada emas dan perak, bukan
dengan yang lain. Hal ini adalah bukti yang tegas bahwa uang tersebut harus berupa
emas dan perak, bukan yang lain.
Nabi saw. bersabda: "Emas dengan mata uang (bisa terjadi) riba, kecuali secara
tunai. " (HR. Imam Bukhari).

Oleh karena itu, ketika syara' menyatakan lafadz-lafadz emas dan perak bisa
diperuntukkan untuk dua hal: Pertama, untuk jenis uang yang dipergunakan dalam
melakukan transaksi, baik berupa tembaga, kertas uang atau lainnya, asalkan mempunyai
penjamin berupa emas dan perak. Kedua, untuk emas dan perak itu sendiri. Dengan
demikian, uang jenis apa pun, baik emas maupun perak, uang kertas, tembaga, maupun
yang lain, dapat digunakan sebagai mata uang selama memungkinkan untuk ditukarkan
menjadi emas dan perak karena emas dan peraklah yang menjadi standar.

Keunggulan dan Keterbatasan Sistem Emas dan Perak


Sebuah keuntungan yang dimiliki oleh sistem uang emas jika dibanding dengan
sistem uang kertas maupun sistem-sistem mata uang lainnya adalah sistem uang emas
bersifat internasional. Hal ini tidak mungkin dimiliki oleh sistem-sistem uang lain. Dunia
secara keseluruhan telah mempraktikkan sistem uang emas dan perak, sejak
ditemukannya uang hingga Perang Dunia I. Keunggulan sistem uang dua macam logam
tersebut menjadi alasan mengapa harga-harga komoditi saat itu tetap terjaga dengan
standar yang tinggi. Akibatnya, laju produksi terdorong dengan kuat karena tidak ada
ketakutan adanya fluktuasi harga. Nilai uang tersebut lebih stabil.
Akan tetapi, ketika imperialisasi ekonomi dan kekayaan mulai dijalankan, para
imperialis mempergunakan uang sebagai salah satu sarana imperialisasi. Mereka
mengubah sistem uang emas ke dalam sistem uang lain. Dengan kuatnya mata uang yang
dimiliki negara imperialis, mereka dapat memaksakan berbagai kebijakan ekonominya
kepada negara lain termasuk negeri Islam. Dari sinilah, muncul sebuah keharusan untuk
kembali kepada sistem emas dan perak dengan beberapa pertimbangan manfaat sistem
uang emas. Menurut An-Nabhaniy (1990) di antara manfaat yang paling penting adalah
sebagai berikut:
a. Sistem uang emas akan mengakibatkan kebebasan pertukaran emas, mengimpor dan
mengekspornya; yakni masalah yang menentukan peranan kekuatan uang, kekayaan
dan perekonomian. Dalam kondisi semacam ini, aktivitas pertukaran mata uang tidak
akan terjadi karena adanya tekanan luar negeri, sehingga bisa mempengaruhi harga-
harga barang dan gaji para pekerja.
b. Sistem uang emas, juga berarti tetapnya kurs pertukaran mata uang antar negara.
Karena tetapnya kurs pertukaran mata uang tersebut, maka akan menyebabkan
meningkatnya perdagangan intemasional. Sebab, para pelaku bisnis dalam

4
perdagangan luar negeri tidak takut bersaing. Karena kurs uangnya tetap, maka
mereka tidak khawatir dalam mengembangkan bisnisnya.
c. Dalam sistem uang emas, bank-bank pusat dan pemerintah, tidak mungkin
memperluas peredaran kertas uang, karena secara umum kertas uang tersebut bisa
ditukarkan menjadi emas dengan harga tertentu. Sebab, pemerintah-pemerintah
tertentu khawatir jika memperluas peredaran kertas uang tersebut, justru akan
menambah jumlah permintaan akan emas, sementara pemerintah sendiri tidak
sanggup menghadapi permintaan tersebut. Oleh karena itu, untuk melindungi kertas
uang yang dikeluarkan serta sikap hati-hati pemerintah terhadap emas, pemerintah
tersebut akan melakukan penimbunan (uang emas).
d. Tiap mata uang yang dipergunakan di dunia, selalu dibatasi dengan standar tertentu
yang berupa emas. Dan pada saat itu pengiriman barang, kekayaan dan orang dari
satu negara ke negara lain, menjadi sedemikian mudah. Sehingga masalah potongan
serta kelangkaan uang bisa dihilangkan.
e. Tiap negara akan menjaga kekayaan emas, sehingga tidak akan terjadi pelarian emas
dari satu negara ke negara lain. Dan negara pun tidak akan memerlukan kontrol
sekecil-kecilnya untuk melindungi kekayaannya. Sebab, kekayaan tersebut tidak
akan ditransfer dari negara tersebut kecuali karena adanya alasan yang sah menurut
syara', yakni adakalanya untuk membayar barang atau gaji para pekerja.

Sementara itu beberapa kendala yang akan dihadapi dalam menerapkan sistem mata
uang emas dan perak adalah sebagai berikut:
a. Sirkulasi emas akan terpusat di negara-negara yang memiliki kemampuan dan
kekuatan produksi serta negara yang memiliki kemampuan bersaing dalam
perdagangan internasional, atau memiliki keunggulan dalam hal ilmu dan teknologi.
b. Emas telah menjadi devisa beberapa negara sebagai akibat dari neraca keuangannya.
Namun negara tersebut berusaha mencegah berpengaruhnya emas yang masuk dalam
pasar di dalam negeri, serta menaikkan tingkat harga di sana. Caranya, negara yang
bersangkutan melempar sejumlah obligasi di pasar, yang mampu menarik alat tukar
dalam bentuk uang, sebagai pengganti nominal emas yang dinyatakan di dalamnya.
Sehingga emas tersebut tetap berada di beberapa negara tadi, dan tidak bisa keluar
dari sana. Bahkan tidak pernah kembali ke negara yang mengeluarkannya. Dengan
demikian negara yang bersangkutan menjadi terancam, akibat sistem uang emas
tersebut.
c. Tersebarnya sistem uang emas tersebut telah dibarengi dengan konsep
pengistimewaan di antara beberapa negara — dalam beberapa aspek produksi yang
berbeda — serta tidak adanya hambatan-hambatan dalam perdagangan di antara
negara-negara tersebut. Hanya saja, negara-negara tersebut memiliki kecenderungan
yang kuat untuk melindungi industri dan pertaniannya. Dimana negara-negara
tersebut telah menerapkan bea masuk, sehingga masuknya barang-barang ke negara-
negara tersebut, supaya bisa mengeluarkan emas dari sana, menjadi sangat sulit. Oleh
karena itu, negara yang mempraktikkan sistem uang emas tersebut menjadi terancam.
Sebab, kalau negara tersebut tidak bisa memasukkan komoditi ekspornya ke negara
lain dengan harga biasa, negara tersebut bisa jadi akan terancam menurunkan harga-
harga komoditi ekspornya. Bahkan dengan penurunan harga yang drastis, atau
menembus bea masuk tersebut, atau bisa jadi negara tersebut tidak akan memasukkan

5
komoditi ekspornya. Dan dalam kondisi semacam ini, negara tersebut jelas
mengalami kerugian.
Inilah kesulitan-kesulitan yang paling penting, yang dihadapi oleh sistem uang
emas, apabila sistem uang emas tersebut dipergunakan oleh satu atau sejumlah negara.

Islam dan Pelarangan Riba Dan Bunga


Al-Qur’an menyebut riba untuk bunga yang secara bahasa adalah tambahan,
kelebihan, peningkatan atau surplus. Dalam ilmu ekonomi, bunga merujuk pada
kelebihan pendapatan yang diterima oleh si pemberi pinjaman dari si peminjam,
kelebihan dari jumlah uang pokok yang dipinjamkan, yaitu sebagai upah atas
dicairkannya sebagian harta dalam waktu yang ditentukan.
Dalam Islam, riba secara khusus menunjuk pada kelebihan yang diminta dengan
cara yang khusus. Dengan demikian praktek riba tidak hanya terjadi pada pinjam
meminjam saja, tetapi dapat terjadi dalam jual beli, pinjaman (qardh) dan salam. Secara
definitif, riba adalah perolehan harta dengan harta lain yang sejenis dengan saling
melebihkan – antara satu dengan yang lain.
Islam menganggap riba berbeda dengan perdagangan. Pandangan ini
sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an.

“Mereka berkata (berpendapat) sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah : 275).

Dalam kesimpulannya, Rahman (1996) memberikan lima aspek perbedaan riba


dengan perdagangan, yakni :
a. Dalam perdagangan, pemilik modal selain mengharapkan keuntungan juga masih
menanggung resiko kerugian juga. Sifat ini tidak terdapat dalam riba. Pemilik modal
hanya mau memperoleh keuntungan sedangkan semua resiko kerugian ditanggung
oleh peminjam.
b. Dalam perdagangan, keuntungan diperoleh melalui inisiatif, kerja keras usaha dan,
tentu saja, merupakan hasil dari suatu proses penciptaan nilai yang jelas. Narnun
tidak demikian halnya dengan riba, yang tidak membutuhkan semua itu.
c. Perbedaan lain yang mendasar antara perdagangan dan riba adalah riba merupakan
tambahan yang ditentukan sebelumnya, yang lebih besar dari pinjamannya untuk
jangka waktu yang telah ditetapkan; sedangkan keuntungan dari perdagangan dan
industri berfluktuasi dan tidak dapat ditentukan dengan jelas.
d. Dalam transaksi perdagangan, antara penjual pembeli keduanya memperoleh
keuntungan. Seorang penjual yang menjual selembar pakaian seharga 10 dinar
dengan harga 20 dinar ia akan mendapatkan keuntungan berupa laba 10 dinar. Begitu
pula pembeli mendapatkan keuntungan karena ia memperoleh pakaian yang
menurutnya sangat berharga baginya. Namun dalam hal pinjam meminjam, pemilik
uang tidak pernah memberikan pengorbanan apapun. Jikalah peminjam mendapatkan
keuntungan berupa tenggang waktu pembayaran, itu bukanlah keuntungan yang
nyata. Karenanya pemilik uang tidak boleh menuntut tambahan riba sebagai imbalan
untuk waktu, sebab waktu bukanlah sebuah komoditi yang dapat diperjual-belikan.
e. Pada transaksi perdagangan, penjual hanya akan memperoleh keuntungan sekali saja
ketika komoditi dagangannya terjual. Sedangkan pemilik uang yang membungakan

6
pinjaman dapat meraih keuntungan berulang kali karena perpanjangan tenggang
waktu pembayaran.

Inilah kondisi-kondisi nyata yang terjadi pada riba dan perdagangan. Riba dengan
jelas sangat merugikan dan perdagangan mendatangkan keuntungan bagi semua pihak.
Makanya dapatlah difahami mengapa Allah SWT melarang riba namun menghalalkan
jual beli.

Pelarangan Riba dalam Al Qur’an


Islam melarang keras sekali perbuatan riba. Pada awal kerasulannya, Rasulullah
saw telah mendapat peringatan Allah SWT supaya membersihkan diri. Allah menjelaskan
dan mengabarkan supaya Rasulullahsaw menahan diri dari materi. Sesudah itu,
Rasulullah berturut-turut mendapatkan keterangan tentang bahayanya riba. Ayat pertama
yang diturunkan tentang riba adalah firman Allah SWT :

"Dan suatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah harta manusia,
maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat
yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian)
itulah orang-orang yang yang melipatgandakan." (QS Ar Ruum : 39).

Ayat ini diturunkan di Mekkah, tetapi ia tidak menunjukkan isyarat apapun mengenai
haramnya riba. Yang ada hanyalah isyarat kebencian Allah SWT terhadap tiba, sekaligus
peringatan supaya berhenti dari aktifitas riba.
Ayat yang kedua tentang riba adalah firman Allah SWT tentang tindakan orang
Yahudi (salah satunya praktek riba mereka) yang menyebabkan kemurkaan Allah SWT.
Bunyi ayat tersebut sebagai berikut :

“Maka lantaran kedzaliman yang dilakukan oleh orang-orang Yuhudi itu, Kami
haramkan atas mereka beberapa jenis makanan yang baik-baik yang sedianya
dihalalkan kepada mereka. Lantaran perbuatan mereka yang menghalangi manusia dari
jalan Allah yang banyak sekali itu serta mereka yang mengambil riba padahal mereka
telah dilarangnya.” (QS. An-Nisa : 160-161)

Ayat yang ketiga yang berkaitan dengan riba adalah firman Allah SWT yang
berbunyi :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan riba dengan berlipat ganda
…” (QS. Ali _imran : 130)

Ayat ini diturunkan di Madinah dan mengandung larangan tegas tentang pengahraman
salah satu jenis praktek riba, yaitu riba Nasi’ah. Namun demikian, larangan dalam ayat
tersebut masih bersifat sebagian, belum menyeluruh. Pengharaman riba pada ayat ini
hanya berlaku bagi praktek-praktek riba yang keji dan jahat, yang bentuknya
membungakan uang dengan berlifat ganda.
Ayat tentang riba yang terakhir diturunkan adalah firman Allah SWT yang
berbunyi :

7
“Hai orang-orang yang beriman takutlah kepada Allah dan tinggalkanlah apa yang
masih tersisa dari riba jika kamu orang-orang yang beriman …” (QS. Al-Baqarah : 278)

Dengan turunnya ayat ini, maka riba telah diharamkan secara menyeluruh, tidak lagi
membedakan banyak maupun sedikit.

Pertukaran Mata Uang


Dalam sistem ekonomi Islam, pertukaran mata uang dengan mata uang yang
sejenis, atau pertukaran dengan mata uang asing adalah termasuk ke dalam aktivitas
Sharf Aktivitas sharf atau pertukaran mata uang menurut hukum Islam adalah boleh,
sebab sharf adalah pertukaran harta dengan harta lainnya yang berupa emas dan perak,
baik sejenis maupun yang tidak sejenis dengan berat dan ukuran yang sama dan boleh
berbeda (Al-Malikiy, 1963).
Dasar kebolehan pertukaran mata uang (sharf) tersebut adalah sabda Rasulullah
saw :

“Juallah emas dengan perak sesuka kalian, dengan syarat harus tunai.” (HR. Imam
Tirmidzi dari Ubadah bin Shamit)

Ubadah bin Shamit mengatakan : Aku mendengar Rasulullah saw melarang menjual
emas dengan emas, perak dengan perak, bur dengan bur, Sya’ir deng sya’ir, kurma
dengan kurma, garam dengan garam, selain sama antara barang yang satu dengan
barang yang lain, maka barang siapa yang menambahkan atau meminta tambahan,
maka dia telah melakukan riba.” (HR. Imam Muslim)

“Rasulullah saw melarang menjual emas dengan perak dengan cara dihutangkan.” (HR.
Imam Bukhari)

Dari pengertian hadits di atas dipahami bahwa dalam pertukaran mata uang, maka
ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yakni (1) Jika pertukaran dilakukan antara
mata uang yang sejenis, maka pertukarannya harus senilai, namun jika tidak sejenis boleh
berbeda nilai; (2) Pertukaran atau jual beli tersebut haruslah dilakukan secara tunai dan
tidak boleh dengan cara dihutangkan (kredit); (3) pertukaran antara mata uang tersebut
dilakukan dalam satu majlis (tempat).
Jual beli mata uang tertentu misalnya dolar dengan rupiah adalah aktivitas yang
boleh selama dilakukan secara kontan dan dalam satu majlis. Karena itulah pertukaran
di money changer selama memenuhi ketentuan diatas adalah boleh. Namun
perdagangan mata uang asing di bursa valas secara langsung atau melalui forex advisor
tidak dibolehkan sebab tidak memenuhi dua syarat kontan dan langsung terjadi serah
terima (hand to hand).

Sistem Keuangan Daulah Khilafah Islam


Sebagai sebuah institusi, Negara Islam (Daulah Khilafah Islamiyah) tentunya
memiliki sumber pendanaan bagi kegiatan pembangunan. Sumber-sumber utama
pendanaan pembangunan negara Islam sangat berbeda dengan sumber pendanaan

8
pembangunan negara-negara kapitalis termasuk Indonesia. Sumber utama pendanaan
pembangunan sekarang menitikberatkan pada pendapatan pajak, juga sangat
mengandalkan pada pendanaan luar negeri yakni dari utang luar negeri yang ribawi.
Sementara Negara Islam justru tidak mengandalkan pajak dan utang luar negeri.
Sumber-sumber pendanaan Negara Islam dapat kita lihat dari adanya institusi yang
menghimpun keuangan Negara sekaligus mempunyai pengaturan pengeluaran tersendiri.
Institusi ini bernama Baitul Mal. Baitul mal adalah lembaga keuangan negara yang yang
mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat baik berupa pendapatan maupun
pengeluaran negara.

Secara garis besar, pendapatan negara yang masuk ke dalam baitul mal di
kelompokkan menjadi tiga sumber, yakni

1. Pendapatan dari Pengelolaan Negara atas Kepemilikan Umum.


Benda-benda yang termasuk dalam kepemilikan umum dapat dikelompokkan
menjadi tiga kelompok (a) Fasilitas Umum. Yang merupakan fasilitas umum adalah apa
saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum. Apabila barang tersebut
tidak ada di dalam suatu negeri atau suatu komunitas akan menyebabkan kesulitan dan
dapat menimbulkan persengketaan dalam mencarinya. Rasulullah saw telah menjelaskan
dalam sebuah hadits bagaimana sifat kebutuhan umum tersebut. Dari Ibnu Abbas, bahwa
Nabi saw bersabda :
»
«
“Manusia berserikat (punya andil) dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api”.
(HR Abu Daud)

(b) Bahan tambang yang tidak terbatas (sangat besar). Bahan tambang yang
jumlahnya sedikit dapat dimiliki secara pribadi. Hasil tambang seperti ini akan dikenai
hukum rikaz (barang temuan) sehingga harus dikeluarkan 1/5 bagian (20%) darinya.
Bahan tambang yang jumlahnya sangat besar termasuk milik umum dan tidak boleh
dimiliki secara pribadi; (c) Benda-benda yang sifat pembentukannya menghalangi
untuk dimiliki hanya oleh individu. Ini meliputi jalan, sungai, laut, danau, tanah-tanah
umum, teluk, selat dan sebagainya. Yang juga bisa disetarakan dengan hal-hal tadi adalah
masjid, sekolah milik negara, rumah sakit negara, lapangan, tempat-tempat penampungan
dan sebagainya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw :

“Kota Mina adalah tempat parkir unta bagi orang yang lebih dulu (datang).
(Maksudnya tempat untuk umum).”

Barang-barang tambang seperti minyak bumi beserta turunannya seperti bensin,


gas, dan lain-lain, termasuk juga listrik, hutan, air, padang rumput, api, jalan umum
,sungai dan laut semuanya telah ditetapkan syara’ sebagai kepemilikan umum. Negara
mengelolanya dengan mengatur produksi, memperoleh pendapatan dari penjualan hasil
produksinya, serta mendistribusikan aset-aset tersebut untuk rakyat. Pengelolaan
kepemilikan umum oleh negara dapat dilakukan dengan dua cara, yakni :

9
a. Pemanfaatan secara langsung oleh masyarakat umum. Air, padang rumput, api,
jalan umum, laut, samudra, sungai besar, maka bagi setiap individu berhak menfaatkan
secara langsung atas barang-barang tersebut. b. Pemanfaatan di bawah pengelolaan
Negara. Kekayaan milik umum yang tidak dapat dimanfaatkan secara langsung oleh
setiap individu masyarakat karena membutuhkan keahlian, teknologi tinggi serta biaya
yang besar seperti minyak bumi, gas alam, dan barang tambang lainnya, maka negara
yang berhak mengelolanya untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi bahan tersebut.
Hasilnya dimasukkan ke dalam kas baitul mal. Khalifah adalah pihak yang berwenang di
dalam mendistribusikan hasil tambang dan pendapatannya sesuai dengan ijtihadnya demi
kemashlahatan ummat.

2. Pendapatan dari Ghanimah, Kharaj, Fai’i, Jizyah, Dlaribah (Pajak)


Ghanimah adalah harta rampasan perang. Setelah dibagikan kepada pasukan
yang ikut berperang, maka sisanya dimasukan ke dalam baitul mal sebagai sumber
pemasukan bagi negara. Jizyah adalah hak yang diberikan Allah SWT. kepada kaum
Muslimin dari orang-orang Kafir, karena adanya ketundukan mereka kepada
pemerintahan Islam. Jizyah adalah kewajiban bagi orang kafir dzimmi sehingga dengan
sendirinya jizyah menjadi tidak wajib apabila mereka telah memeluk Islam. Jizyah hanya
diambil dari kaum prianya dan tidak wajib bagi kaum wanita, anak-anak serta orang gila.
Kharaj berkaitan dengan kewajiban atas tanah kharajiyah. Sebagaimana
pembahasan tentang pertanahan, tanah kharajiyah merupakan lahan tanah yang dirampas
dari kaum Kafir secara paksa, setelah perang diumumkan kepada mereka. Status tanah ini
bersifat tetap sehingga tidak berubah meskipun pemilik tanah ini telah memeluk Islam.
Kharaj merupakan kewajiban kaum kafir yang dibayarkan apabila mereka menyepakati
bahwa tanah tersebut adalah milik kaum muslimin dan mereka mengakuinya dengan
membayar kharaj.
Adapun Dharibah (Pajak) adalah harta yang difardhukan oleh Allah SWT kepada
kaum Muslimin dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka. Pada saat kas baitul mal
kosong, sedangkan pengeluaran wajib baitul mal harus di ditunaikan, maka negara dapat
memberlakukan pajak kepada kaum muslimin. Kaum muslimin dalam hal ini harus
tunduk kepada kebijakan khalifah mengenai pemungutan pajak dan penafkahkannya
sesuai dengan obyek-obyek tertentu.

3. Pendapatan dari Sedekah (Zakat).


Sumber pendapatan lainnya yang ada pada baitul mal adalah dari sumber zakat,
infak, sedekah, wakaf, hadiah dan harta yang semisalnya. Badan ini yang menjadi
tempat penyimpanan harta-harta zakat yang wajib beserta catatan-catatannya. Sekaligus
juga mengatur harta-harta lainnya yang masuk pada badan ini. Untuk harta zakat ini
dibuatkan tempat khusus di baitul mal dan tidak bercampur dengan yang lainnya. Karena
Allah SWT telah membatasi orang-orang yang berhak menerima zakat, yaitu 8 golongan.
Yang termasuk dalam katagori sumber pemasukan yang diletakkan di dalam baitul
mat dan dibelanjakan untuk kepentingan rakyat, adalah harta yang diperoleh oleh tebusan
tawanan perang dari Kafir harbi dan mu'ahid serta harta-harta yang diperoleh dari hak
milik negara, dan harta-harta waris dari orang yang tidak mempunyai ahli waris.

Pengelolaan dan Pemanfaatan Kekayaan Negara

10
Dalam mengelola dan memanfaatkan kekayaan negara yang diperoleh dari berbagai
sumber di atas, negara haruslah memperhatikan dari sumber mana kekayaan tersebut
diperoleh. Pemanfaatan harta negara yang ada di baitul mal ditetapkan berdasarkan enam
kaidah:
(1) Pengeluaran untuk keperluan khusus, yaitu harta zakat. Harta tersebut dikeluarkan
berdasarkan ada dan tidaknya. Apabila harta dari kas zakat tersebut ada pada baitul
mal, maka pembelanjaannya disalurkan pada obyek-obyeknya — yaitu delapan
ashnaf yang disebutkan di dalam Al-Qur'an. Apabila harta tersebut tidak ada, maka
pemilikan orang yang mendapatkan bagian atas harta tersebut telah gugur.
(2) Pengeluaran untuk menutupi terjadinya kekurangan, atau untuk melaksanakan
kewajiban jihad. Contohnya adalah untuk para fakir miskin, ibnu sabil, serta
keperluan jihad. Penggunaan dana baitul mal untuk keperluan ini tidak ditentukan
berdasarkan adanya harta tersebut. Apabila harta tersebut ada, maka seketika itu wajib
diberikan. Apabila tidak ada, lalu dikhawatirkan akan terjadi kerusakan karena
ditangguhkan, maka negara bisa meminjam harta untuk disalurkan seketika itu juga,
berapa pun hasil pengumpulannya dari kaum Muslimin, setelah itu dilunasi. Namun,
bila tidak khawatir akan terjadi kerusakan, maka pembelanjaannya bisa ditunda.
(3) Pengeluaran rutin untuk gaji pegawai seperti gaji para tentara, pegawai negeri, hakim,
tenaga edukatif, dan sebagainya. Dan hak mendapatkan pembelanjaan untuk
keperluan ini tidak ditentukan berdasarkan adanya harta. Pembelanjaannya
merupakan hak yang bersifat tetap, baik pada saat harta tersebut ada maupun tidak,
yakni baik harta tersebut ada maupun tidak ada di dalam baitul mal. Apabila harta
tersebut ada, maka seketika itu wajib dibelanjakan. Apabila tidak ada, maka negara
wajib mengusahakannya, dengan cara memungut harta yang diwajibkan atas kaum
Muslimin.
(4) Pengeluaran bagi kemaslahatan umum yang vital. Contohnya adalah pembangunan
jalan, air, bangunan masjid, sekolah, rumah sakit, dan masalah-masalah lainnya, yang
adanya dianggap sebagai masalah yang vital, dimana ummat akan mengalami
penderitaan, apabila masalah-masalah tersebut tidak ada. Pengeluaran untuk
keperluan ini tidak ditentukan berdasarkan adanya harta. Apabila di dalam baitul mal
ada harta, maka wajib disalurkan untuk keperluan-keperluan tersebut. Apabila di
dalam baitul mal tidak ada harta, maka kewajibannya berpindah kepada ummat,
sehingga harta tersebut bisa dikumpulkan dari ummat secukupnya untuk memenuhi
pengeluaran-pengeluaran yang bersifat paten tersebut.
(5) Pengeluaran bagi kemashlahatan umum yang tidak vital. Contohnya antara lain
adalah pembuatan jalan biasa, ketika jalan yang lain sudah ada, atau membuka rumah
sakit baru, yang sebenamya sudah cukup dengan adanya rumah sakit yang lain, atau
membangun jalan, sementara orang-orang bisa menemukan jalan lain, hanya lebih
jauh, ataupun yang lain. Pengeluaran untuk keperluan ini ditentukan berdasarkan
adanya harta, bukan pada saat tidak adanya. Apabila, di dalam baitul mal terdapat
harta, maka wajib disalurkan untuk keperluan-keperluan tersebut. Apabila di dalam
baitul mal tidak terdapat harta, maka kewajiban tersebut gugur dari baitul mal. Kaum
Muslimin juga tidak wajib membayar untuk keperluan ini, sebab sejak awal
pembiayaannya tidak wajib bagi kaum Muslimin.
(6) Pengeluaran untuk keperluan darurat seperti paceklik, angin taufan, gempa bumi, atau
serangan musuh, maka hak pembelanjaannya tidak ditentukan berdasarkan adanya

11
harta. Apabila harta tersebut ada, maka wajib disalurkan seketika itu juga. Apabila
harta tersebut tidak ada, maka kewajibannya dipikul oleh kaum Muslimin. Oleh
karena harta tersebut wajib dikumpulkan dari kaum Muslimin seketika itu juga.
Kemudian harta tersebut diletakkan di dalam baitul mal untuk disalurkan kepada yang
berhak. Apabila dikhawatirkan akan terjadi penderitaan, karena pembelanjaannya
ditunda hingga terkumpul semuanya, maka negara wajib berhutang kepada warga
negara terlebih dulu, dan pada saat itu juga disalurkan kepada yang berhak. Mengenai
hutang tersebut akan dibayar dari harta yang dikumpulkan dari kaum Muslimin.

Untuk mengatur bagaimana pemasukan dan pengeluaran negara, maka di dalam


Baitul Mal telah dibuat departemen-departemen dan biro-biro dengan fungsi dan
tanggungjawab tertentu agar pengaturan keuangan negara dapat berjalan dengan baik.
Secara operasional untuk menjalankan kegiatan keuangan tersebut, maka dalam negara
khilafah dibuat badan-badan, biro-biro yang menangani hal tersebut.

1. Unit Pendapatan Negara


Unit ini dibagi menjadi tiga badan :
a. Badan Fai dan Kharaj.
Badan ini menjadi tempat penyimpanan dan pengaturan arsip-arsip pendapatan
negara, baik harta-harta yang dianggap fai bagi seluruh kaum muslimin, maupun pajak
yang wajib atas kaum muslimin pada saat tidak cukupnya sumber-sumber pemasukan
Baitul Mal untuk mendukung pembelanjaan yang wajib atasnya baik dalam keadaan
krisis maupun tidak. Untuk keperluan ini dikhususkan suatu tempat di dalam Baitul Mal
dan tidak dicampur dengan harta lainnya. Hal ini karena harta harta tersebut digunakan
khusus untuk mengatur kepentingan kaum muslimin serta kemaslahatan mereka sesuai
dengan pendapat dan ijtihad Khalifah.
Biro-biro yang ada pada badan fai-i dan kharaj dibentuk sesuai dengan harta yang
masuk kedalamnya serta jenis-jenis harta tersebut, yaitu :
1. Biro Ghanimah, mencakup ghanimah, anfal, fai-i dan khumus
2. Biro Khoroj.
3. Biro Status Tanah, mencakup tanah-tanah yang ditaklukkan secara paksa (unwah),
tanah 'usyriyah, asswafi, tanah-tanah yang di-miliki negara, tanah-tanah milik umum
dan tanah-tanah terlarang (cagar).
4. Biro Jizyah
5. Biro Fai yang meliputi surat-surat berharga tentang sawafi, 'usyur, 1/5 rikaz dan
barang tambang, tanah yang dijual dan harta warisan yang tidak ada pe-warisnya.
6. Biro pajak

b. Badan Pemilikan Umum


Badan ini menjadi tempat penyimpanan dan catatan harta-harta milik umum. Selain
itu badan ini juga sebagai pencari, penyelidik, yang membelanjakan dan menerima harta-
harta milik umum. Untuk harta benda badan ini dibuat tempat khusus di baitul mal dan
tidak dicampur dengan harta benda badan-badan yang lainnya. Karena harta ini milik
seluruh kaum muslimin. Khalifah membelanjakan harta ini untuk kepentingan kaum
muslimin. Hal ini berdasarkan keputusan dan ijtihad khalifah.

12
Biro-biro yang ada dalam badan pemilikan umum dibentuk berdasarkan jenis harta
pemilikan umum, yaitu :
1. Biro Minyak dan Gas
2. Biro Listrik
3. Biro Barang Tambang
4. Biro Laut, Sungai dan Mata Air
5. Biro Hutan dan Padang Gembalaan
6. Biro Cagar Alam.

c. Badan Sedekah
Badan ini yang menjadi tempat penyimpanan harta-harta zakat yang wajib beserta
catatan-catatannya. Biro-biro dalam badan sedekah ini dibentuk berdasarkan jenis
harta zakat, yaitu :
1. Biro Zakat Uang dan Perdagangan
2. Biro Zakat Pertanian dan Buah-buahan
3. Biro Zakat Onta, Sapi, dan Kambing.
Untuk harta zakat ini dibuatkan tempat khusus di baitul mal dan tidak ber-campur
dengan yang lainnya. Karena Allah SWT telah membatasi orang-orang yang berhak
menerima zakat, yaitu 8 golongan. Sebagaimana firman Allah :

"Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang mis-kin,


pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan)
budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang
dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang di-wajibkan Allah; dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana (Q.S. At-Taubah : 60).

Tidak boleh diambil harta zakat tersebut untuk selain mereka (8 golongan).

2. Unit Pembelanjaan Negara


Adapun unit pembelanjaan negara dan harta yang harus dibelanjakan oleh Baitul
Mal untuk berbagai keperluan yang meliputi pembiayaan bagian-bagian Baitul Mal itu
sendiri, biro-biro, administrasi negara dan hal-hal lain yaitu :

a. Badan Rumah Khilafah, yang mencakup :

1. Kantor Khilafah
2. Kantor Penasihat (Mustasyaarin)
3. Kantor Mu'awin Tafwid (Pembantu Khalifah dalam Urusan Pemerintahan)
4. Kantor Mu'awin Tanfidz (Pembantu Khalifah dalam Urusan Administrasi)

b. Badan yang Mengurus Departemen-Departemen Negara (Masholih Daulah),


mencakup :
1. Biro Amir Jihad (Direktur Jenderal)
2. Biro para Wali
3. Biro para Qodi
4. Biro Departemen Negara, Biro-biro lain, Administrasi Negara dan Fasilitas Umum.

13
c. Badan Pemberi/Bantuan
Badan ini merupakan tempat penyimpanan arsip-arsip dari kelompok masyarakat
tertentu yang menurut pendapat Khalifah berhak untuk memperoleh pemberian dari
negara, yaitu orang-orang fakir, miskin, yang dalam keadaan sangat membutuhkan, yang
berhutang, yang sedang dalam perjalanan, para petani, para pemilik industri dan lain-lain
yang layak diberi subsidi.
Tiga badan ini (a, b dan c) memperoleh subsidi dari badan fai-i dan kharaj.

d. Badan Jihad, meliputi :


1. Badan Pasukan yang mengurus pengadaan, pembentukan, penyiapan dan pelatihan
pasukan.
2. Badan Persenjataan (Amunisi)
3. Badan Industri Senjata
Badan-badan ini dibiayai dari pendapatan yang diperoleh seluruh badan-badan pada
unit pertama dari Baitul Mal (Badan Fai-i dan Kharaj, Badan Pemilikan Umum, dan
Badan Zakat). Demikian pula badan ini dibiayai dari harta pemilikan umum yang
dikuasai negara dan juga dari pendapatan Badan Zakat, karena termasuk ke dalam salah
satu golongan (fii sabiilillah) dari 8 golongan yang terdapat dalam Surat At-Taubah ayat
60 :

"Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang mis-kin,


pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (me-
merdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-
orang yang sedang dalam perjalanan"

e. Badan Penyimpanan Harta Zakat


Badan ini dibiayai dari pendapatan Badan Zakat dalam kondisi ada
harta.
f. Badan Penyimpanan Harta Pemilikan Umum
Badan ini bibiayai dari pendapatan Badan Pemilikan Umum
berdasarkan pendapat khalifah (hukum syara').
g. Badan Urusan Bencana Alam (Ath-Thawaari)
Badan ini membiayai setiap bencana alam mendadak yang menimpa kaum
muslimin, seperti gempa bumi, angin topan, kelaparan dan sebagainya. Biaya
yang dikeluarkan oleh badan ini diperoleh dari pendapatan Badan Fai-i dan Kharaj,
serta dari Badan Pemilikan Umum. Apabila tidak terdapat harta dalam kedua
badan tersebut, maka kebutuhannya dibiayai dari harta kaum muslimin
(sumbangan sukarela atau pajak).
h. Badan Neraca Umum Negara (Al-Muwaazanah Al-Ammah), Pengendali
Umum (Al-Muhaasabah Al-Ammah) dan Badan Pengawas (Al-
Muraaqabah)
Badan Neraca Umum Negara adalah badan yang mempersiapkan neraca
pendapatan dan belanja negara yang akan datang --sesuai dengan pendapat
Khalifah--, berkaitan dengan besar kecilnya pendapatan dan pembelanjaan harta
yang dimiliki negara. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan pendapatan

14
dan belanja riil secara global serta mengikuti fakta pendapatan dan belanja negara
yang tengah berlangsung secara rinci. Badan ini merupakan bagian dari Kantor
Khilafah.
Badan Pengendali Umum adalah badan yang mengendalikan semua harta
negara. Dengan kata lain merupakan badan yang bertugas memeriksa harta negara
dari segi keberadaannya, keperluan-keperluannya, pendapatannya,
pembelanjaannya, realisasinya dan yang berhak menerimanya. Badan Pengawas
adalah badan yang bertugas mengawasi dan meneliti secara mendalam bukti-bukti
hasil pemeriksaan harta negara dan peruntukannya dari Badan Pengendali Umum.
Badan ini harus benar-benar melakukan fungsi pengawasan terhadap harta negara,
yaitu meyakinkan ada tidaknya harta, sah tidaknya harta yang ada, keperluan-
keperluannya, pendapatannya, pembelanjaannya serta memeriksa para
penanggungjawabnya yang berkenaan dengan perolehan, peruntukan dan
pembelanjaan harta tersebut. Badan inipun bertugas memeriksa urusan
administrasi semua badan-badan dan biro-biro negara beserta staf-stafnya.
Inilah badan-badan keuangan negara Khilafah secara global. Adapun dalil
keberadaannya adalah bahwasanya badan-badan ini merupakan salah satu bentuk
dari urusan administrasi dan merupakan sarana yang akan mempermudah
melakukan aktivitas kenegaraan. Rasulullah saw telah mengatur masalah
adminisrasi negara secara langsung oleh beliau sendiri dan juga mengangkat para
penulis untuk urusan tersebut. Hal ini beliau lakukan baik yang berkaitan dengan
urusan harta maupun urusan lainnya. Telah diungkapkan sebelumnya dalam
pembahasan "Bagian-bagian Baitul Mal yang Paling Awal Terbentuk" tentang fakta
Rasulullah saw mengangkat mereka sebagai penulis untuk urusan harta.
Harus diperhatikan, bahwasanya semua ayat dan hadits yang membolehkan harta
anfal, ghanimah, fai-i, jizyah dan kharaj serta menjadikannya sebagai hak kaum muslimin
dari orang-orang kafir; demikian juga semua ayat dan hadits yang menunjukkan wajibnya
zakat (termasuk kepada siapa diberikannya) dan harta pemilikan umum, seluruhnya
menunjukkan --dengan dalalatul-iltizam-- tentang bolehnya menetapkan bentuk
administrasi tertentu yang digunakan untuk pengambilan, penyimpanan, penulisan,
pembelanjaan dan pembagian harta. Hal ini karena bentuk-bentuk administrasi tersebut
merupakan cabang dari permasalahan pokok, sehingga termasuk kedalamnya. Oleh
karena itu, urusan ini merupakan hal yang mubah bagi Khalifah untuk menggunakan dan
mengadopsinya sesuai dengan pendapatnya bahwa hal tersebut adalah berguna untuk
pengaturan cara pendapatan, pengendalian, pemeliharaan, pendistribusian serta
pembelanjaan harta. Faktanya hal ini (penggunaan dan pengadopsian badan-badan Baitul
Mal) telah terjadi pada masa Al-Khulafa Ar-Rasyidin dan seluruhnya berlangsung
sepengetahuan para shahabat tanpa ada penolakan dari seorangpun di antara mereka
(ijma' shahabat).

Pengelolaan Keuangan Negara


Berdasarkan uraian di atas, negara Islam ternyata mempunyai cara mekanisme
tersendiri dalam mengatur sistem mata uang, sistem keuangan dan moneter. Cara-cara
tersebut sangat berbeda dengan cara-cara negara kapitalis dalam mengelola keuangan
negara. Dengan sistem mata uang dua logam akan membuat mata uang negara khilafah
menjadi kuat dan stabil. Dampak selanjutnya adalah akan memudahkan dalam

15
merencanakan berbagai kegiatan pembangunan. Demikian juga dengan larangan
kegiatan spekulatif non produktif maka sektor ril akan tumbuh pesat. Hal yang sama juga
terjadi jika riba atau bunga uang dilarang, sektor riil akan tumbuh dengan pesat. Dana
yang ada tidak boleh dibiarkan diam namun harus berputar.Dana-dana yang disalurkan ke
sektor ril dan ini pada gilirannya akan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat.
Sumber-sumber pendapatan yang telah ditetapkan oleh syara' untuk baitul mal
sebenarnya sudah cukup untuk mengatur urusan rakyat dan melayani kepentingan
mereka. Dalam hal ini tidak perlu lagi mewajibkan pajak untuk seluruh masyarakat.
Namun demikian, dalam kondisi untuk memenuhi kebutuhan vital dan mendesak
sementara kas negara sedang kosong, negara dapat memungut harta masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan tersebut. Sebenarnya merupakan harta yang difardhukan oleh Allah
SWT kepada kaum Muslimin dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka. Harta yang
dikumpulkan ini boleh disebut pajak (dharibah), atau harta yang diwajibkan, maupun
sebutan-sebutan yang lain.
Pajak hanya dipungut dalam rangka : (a) memenuhi pengeluaran wajib bagi baitul
mal, semisal untuk para fakir miskin, ibnu sabil, serta melaksanakan kewajiban jihad; (b)
memenuhi pengeluaran rutin yang wajib bagi baitul mal untuk gaji para pegawai negeri,
gaji tentara dan sebagainya; (c) memenuhi pengeluaran wajib bagi baitul mal untuk
keperluan sarana vital; (d) memenuhi pengeluaran wajib bagi baitul mal dalam kondisi
darurat semisal ada paceklik, angin taufan, gempa bumi, serangan musuh, atau apa saja
yang menimpa kaum Muslimin; (e) melunasi hutang-hutang negara dalam rangka
melaksanakan kewajiban negara terhadap kaum Muslimin.
Dengan demikian pajak yang dikenakan oleh negara Islam sangat berbeda dengan
sistem pajak dalam sistem kapitalis. Di dalam Islam ia hanya digunakan sebagai
penyangga jika kondisi keuangan negara tidak mencukupi untuk memenuhi kepentingan
masyarakat. Sementara dalam sistem kapitalis pajak merupakan sumber utama
pendanaan negara.
Demikian pula dengan sumber pendanaan luar negeri yang berasal dari utang.
Negara Islam sedapat mungkin menghindarkan diri berutang ke negara manapun. Hal ini
karena bahaya yang diperoleh dari utang luar negeri begitu besar. Kalaupun berhutang
maka akan diprioritaskan kepada warga negara (utang dalam negeri) dengan syarat tidak
boleh mengandung unsur riba.
Hal ini karena bahaya yang tersembunyi di balik utang-utang luar negeri dari
negara-negara kapitalis adalah sangat besar. Dengan cara itu, amat mudah bagi negara
kapitalis untuk menghancurkan sebuah negara yang telah berada dalam genggaman
utang-utangnya. Dalam hal ini Islam melarang kaum muslimin melakukan berbagai
aktivitas yang dapat mejadikan orang-orang kafir berkuasa atas mereka (QS. An-Nissa :
141). Islam juga melarang kaum muslimin menimbulkan kerusakan dan membayakan diri
sendiri. Rasulullah saw bersabda : “Tidak boleh membayakan diri sendiri dan tidak
boleh membayakan orang lain di dalam Islam.”
Namun demikian meskipun utang luar negeri dapat membahayakan, bukan berarti
bahwa Islam mengharamkan sama sekali bantuan luar negeri (utang). Boleh saja bagi
kaum Muslimin (Negara Islam) menerima bantuan luar negeri (utang) dari negara lain
selama tidak terkait dengan sistem ribawi, juga selama persyaratan-persyaratannya tidak
mengikat serta dapat dipastikan bahwa dibalik bantuan tersebut (utang) tidak tersembunyi
bahaya-bahaya seperti yang sebagiannya telah diuraikan diatas. Namun perlu

16
disampaikan bahwa dalam Islam bantuan luar negeri (utang) bukan priotitas utama untuk
mendapatkan dana bagi keperluan negara. Wallhu a’lam bishawwab.

17
Pos Pengeluaran

Pos Pemasukan a. Badan Rumah Khilafah, yang mencakup :


1. Kantor Khilafah
2. Kantor Penasihat (Mustasyaarin)
a. Badan Fai-i dan Kharaj 3. Kantor Mu'awin Tafwid
4. Kantor Mu'awin Tanfidz
1. Biro Ghanimah
2. Biro Khoroj. b. Badan (Masholih Daulah), :
3. Biro Status Tanah 1. Biro Amir Jihad (Direktur Jenderal)
4. Biro Jizyah 2. Biro para Wali
5. Biro Fai-i 3. Biro para Qodi
6. Biro pajak 4. Biro Departemen Negara, Administrasi
Negara dan Fasilitas Umum, dll.
b. Badan Pemilikan Umum
c. Badan Pemberi/Bantuan
1. Biro Minyak dan Gas
2. Biro Listrik
3. Biro Barang Tambang d. Badan Jihad, meliputi :
4. Biro Laut, Sungai dan Mata 1. Badan Pasukan
Air 2. Badan Persenjataan (Amunisi)
5. Biro Hutan dan Padang Baitul 3. Badan Industri Senjata
Gembalaan Mal
6. Biro Cagar Alam. e. Badan Penyimpanan Harta Zakat
c. Badan Sedekah
f. Badan Penyimpanan Harta Pemilikan
1. Biro Zakat Uang dan Umum
Perdagangan
2. Biro Zakat Pertanian dan
g. Badan Urusan Bencana Alam (Ath-
Buah-buahan
Thawaari)
3. Biro Zakat Onta, Sapi, dan
Kambing.
h. Badan Neraca Umum Negara (Al-
Muwaazanah Al-Ammah), Pengendali
Umum (Al-Muhaasabah Al-Ammah)
dan Badan Pengawas (Al-Muraaqabah

18

Anda mungkin juga menyukai