Anda di halaman 1dari 5

KONSEP BLUE ECONOMY PADA PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR

BERKELANJUTAN

Indonesia sebagai negara kepulauan yang memerlukan kebijakan pembangunan yang


didasarkan pada konsep negara kepulauan, dengan potensi kelautan yang begitu besar
seharusnya Indonesia mampu memanfaatkan sumberdaya kelautan secara optimal sebagai
basis kegiatan ekonomi. Konsep pengelolaan sumberdaya yang perlu diterapkan yaitu konsep
yang mengedepankan daya dukung sumberdaya alam dan lingkungan. Konsep blue economy
pertama kali diperkenalkan pada tahun 2013 pada KTT APEC di Bogor. Konsep ini
merupakan model pembangunan yang mengintegrasi pembangunan di wilayah darat dan laut
dengan memperhitungkan daya dukung sumberdaya alam dan lingkungan. Hal ini kemudian
diatur pada pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang kelautan yang
menjelaskan pemerintah pusat dan daerah dapat melakukan pengelolaan kelautan sebesar-
besar nya dalam upaya kesejateraan masyarakat dengan memanfaatkan sumberdaya kelautan.
Pada konferensi tersebut memaparkan bahwa dalam membangun dan mempercepat
pertumbuhan ekonomi dibutuhkan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia.

Salah satu sumberdaya yang memiliki potensi ekonomi pada sektor kelautan yaitu sektor
perikanan. Ketersediaan sumberdaya alam yang terbatas dan eksploitasi sumberdaya secara
berlebihan dapat mengancam keberlanjutan sumberdaya perikanan. Konsep tersebut dalam
pengelolaan perikanan berkelanjutan terdiri dari tiga dimensi yaitu ekosistem, sosial dan
ekonomi. Ekosistem sebagai wadah sumberdaya belum diperhatikan sehingga masih terjadi
eksploitasi sumberdaya. Pemerintah telah melakukan upaya perlindungan dengan
menerbitkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang mengatur terntang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka menyelamatkan ekologi dan ekonomi
berkelanjutan. Sektor perikanan yang saat ini terus dikembangkan dan menjadi sektor utama
yaitu sektor tangkap pada wilayah pesisi dan luat serta perikanan budidaya dapat dilakukan di
darat, pesisir dan laut.

Pengelolaan perikanan melalui konsep blue economy dalam pengelolaan sumberdaya alam
secara berkelanjutan diharapkan dapat meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan
masyarakat. Pada kebijakan skala nasional dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut yaitu
pemanfaatan sumberdaya perairan berupa air dan daratan dibawah laut harus dimanfaatkan
secara bijaksana dalam upaya kesejahteraan masyarakat. Dalam pemanfaatannya tidak boleh
merusak lingkungan sehingga dilandasi dengan prinsip pembangunan berkelanjutan
(Sustainable development) yaitu pembangunan yang dilandasi prinsip keseimbangan antara
pemanfaatan dan pelestarian sehingga dapat dimanfaatkan dalam jangka panjang. Konsep
pembangunan sumberdaya alam secara berkelanjutan ini di Provinsi Lampung sudah diatur
dalam Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 8 Tahun 2016 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi lampung Tahun 2015-2035 yang mengatur pengelolaan sumberdaya
alam secara berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan pada sektor perikanan yaitu
pembangunan yang menjamin keperluan protein ikan manusia pada saat ini dan yang akan
datang.

Pada Tahun 1987 komis World Comission on Enviroment and Development (WCED)
memberikan rekomendasi dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup manusia saat ini tanpa
mengurangi kemampuan pada generasi mendatang. Prinsip-prinsip pada pembangunan
berkelanjutan terdiri dari beberapa prinsip yaitu: pemerataan dan keadilan sosial, menghargai
keanekaragaman, pendekatan integratif dan perspektif jangka Panjang. Pembangunan
berkelanjutan pada sektor perikanan yaitu keberlanjutan ekosistem dengan memelihara
keberlanjutan biomassa dengan tidak melebihi daya dukung (eksploitasi). Keberlanjutan
sosial dan ekonomi dengan menciptakan kesejahteraan jangka Panjang. Keberlanjutan
komunitas dengan tetap menjaga kesinambungan kearifan lokal dengan pengelolaan dan
pembinaan pada komunitas. Terakhir keberlanjutan kelembagaan yang harus dikelola dengan
sistemik. Konsep ekonomi biru dalam pembangunan berkelanjutan di Provinsi Lampung.

Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi yang memiliki wilayah pesisir yang
berpotensi bagi usaha budidaya ikan air tawar, payau dan laut seperti baik untuk kegiatan
pembesaran maupun pembenihan. Dari 15 Kabupaten/Kota yang terletak di Provinsi
Lampung ada 7 Kabupaten yang memiliki wilayah pesisir yaitu Kota Bandar Lampung,
Lampung Selatan, Pesawaran, Tanggamus, Pesisir Barat, Lampung Timur dan Tulang
Bawang. Kabupaten Tulang Bawang merupakan salah satu daerah di Provinsi Lampung yang
memiliki potensi perikanan yang besar dengan panjang garis pantai 51,9 Km di sepanjang
pantai timur tulang bawang yang dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya udang. Wilayah
pesisir Tulang Bawang di manfaatkan dalam kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan dan
pembudidaya ikan.

Pengembangan sumberdaya perikanan dilakukan pada sektor perikanan budidaya dan


perikanan tangkap. Pada sektor perikanan tangkap sumberdaya perikanan semakin menurun
yang disebabkan oleh Ilegal Fishing. Pada sektor perikanan tangkap dilakukan dengan upaya
konservasi laut agar dapat mengembalikan sumberdaya ikan yang semakin berkurang. Selain
itu presiden joko Widodo mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang
Penangkapan Ikan Terukur sehingga sumberdaya ikan dapat dimanfaatkan secara optimal
dengan memperhatikan daya dukuung dan kelestariannya melalui pengaturan zona
penangkapan ikan terukur dan kuota penangkapan ikan dalam upaya melestarikan
sumberdaya perikanan agar tetap terjaga dan meningkatkan kesejahteraan nelayan yang
diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dengan tetap menjaga
ekosistem laut. Kebijakan ini perlu diterapkan untuk dapat mempertahankan ekologi dan
menjaga lingkungan. Kebijakan ini diterapkan di seluruh wilayah penangkapan ikan yang
diharapkan dapat menghapus pelanggaran hukum di wilayah perikanan seperti illegal fishing.

Sumberdaya Rajungan di Provinsi Lampung terdapat di tiga kabupaten yaitu wilayah pesisir
Lampung Timur, Lampung Tengah dan Tulang Bawang yang terletak di sepanjang pantai
timur lampung. Wilayah pesisir timur lampung yang memiliki potensi pengelolaan rajungan
dengan 5 titik lokasi yaitu desa muara gading mas, marga sari, kuala seputih, kuala teladas
dan sungai burung. kabupaten tulang bawang dikenal sebagai salah satu wilayah di Pesisir
Timur Lampung yang menjadi penghasil rajungan yaitu desa kuala teladas dan sungai
burung.

Rajungan merupakan sumberdaya perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi yang
membawa provinsi Lampung manjadi Provinsi terbesar ketiga pengahsil rajungan di
Indonesia. Potensi ini menyebabkan laju pemanfaatan sumberdaya yang tinggi dibandingkan
dengan laju rekruitmen dalam jangka Panjang akan menurunkan stok bahkan kelangkaan.
Selain tingginya laju penangkapan sumberdaya ini terancam punah karena dalam
penangkapannya nelayan menggunakan alat tangkap yang tidak selektif dan tidak ramah
lingkungan. Pengelolaan rajungan di Indonesia telah diatur dalam Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor 70 Tahun 2016 tentang rencana pengelolaan rajungan di
Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP RI) dan Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor 16 Tahun 2022 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp),
Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) yang mengatur tentang ukuran rajungan
yang tidak diperbolehkan di tangkap yaitu rajungan dengan lebar karapas kurang dari 10 cm
dan berat kurang dari 60 gr dan pelarangan untuk menangkap rajungan dengan kondisi
bertelur. Namun pada implementasinya kebijakan ini tidak diindahkan oleh nelayan karena
sebagian besar nelayan menggunakan alat tangkap yang tidak selektif seperti jarring ingsang
dan arad yang dapat menangkap ikan-ikan lain. Kebijakan ini sulit diterapkan pada
masyarakat nelayan karena laut bersifat open acces.

Dalam upaya penangkapan ikan terukur perlu dilakukan pengawasan pada setiap wilayah
pesisir sehingga peraturan tersebut dapat di terapkan oleh nelayan dalam upaya
mempertahankan daya dukung dan pelestarian wilayah pesisir dan laut. Pada
implementasinya diperlukan pengawasan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan
kelautan, Kemenetrian Kelautan dan Perikanan (KKP) Direktur Jenderal Pengawasan
Sumberdaya Kelautan dan Perikanan mengesahkan Peraturan Direktur Jenderal Pengawasan
Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Petunjuk Teknis
Kegiatan Dekonsentrasi Bidang Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan yang
membentuk POKMASWAS yaitu pelaksana pengawasan di lapangan yang terdiri dari unsur
tokoh masyarakat, LSM, nalayan, petani ikan dan masyarakat maritim dalam membantu tugas
pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan pada tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota.

Tragedy of the common pada sektor kelautan terjadi pada periode 2019-2020 Menteri
Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Bapak Edhy Prabowo yang menetapkan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 yang memberikan izin
ekspor benih lobster dari wilayah Indonesia yang tidak sesuai dengan konsep pembangunan
berkelanjutan. Hal ini didasarkan pada keberlanjutan lobster karena sebagian besar benih di
peroleh dari hasil tangkapan nelayan di alam. Kebijakan ini disahkan dalam upaya
peningkatan kesejahteraan 13.000 melalui kemudahan pada proses perizinan. Pada praktiknya
harga benih pada tingkat nelayan berkisar antara Rp. 4000 - Rp. 9.000 padahal harga jual
ekspor yang dipatok eksportir mencapai US$ 13. Nelayan mengalami kerugian karena
peningkatan biaya operasional dalam menangkap benih lobster lebih besar dibandingkan
harga jual. Sehingga kebijakan yang awalnya dibuat untuk meningkatkan kesejahteraan
nelayan ternyata tidak dinikmati oleh nelayan melainkan dinikmati oleh para pemangku
kepentingan. Dampak dari kebijakan ini yaitu peningkatan penyelundupan benih lobster dan
terhentinya kegiatan budidaya lobster karena benih mengalami peningkatan harga.
Seharusnya benih-benih lobster yang di ekspor itu dibudidayakan terlebih dahulu sampai
pada ukuran konsumsi baru dilakukan ekspor ke negara-negara tetangga agar harga jual nya
lebih tinggi. Tragedy ini mencerminkan kebijakan yang tidak berorientasi pada pembangunan
berkelanjutan yang mempertahankan ekosistem dan daya dukung lingkungan. Kebijakan
yang diharapkan membawa kesejahteraan bagi nelayan justru merugikan negara, rakyat dan
sektor maritim.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 16 Tahun 2022 tentang Pengelolaan
Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) yang memuat
ketentuan dalam pelaporan hasil benih lobster dilakukan secara elektronik kecuali di wilayah
tidak memiliki akses internet. Peraturan ini diterapkan dalam upaya keberlanjutan dan
ketersediaan sumberdaya perikanan melalui pengelolaan benih lobster secara optimal. Krui
salah satu wilayah di lampung yang menjadi pemasok utama benih lobster di Lampung. Pada
februari 2023 polisi menggagalkan upaya penyelundupan benih lobster di Kecamatan
Bengkunat Kabupaten Pesisir Barat, Lampung yang dilakukan oleh pengepul benih lobster.
Penyelundupan ini bisa merugikan negara mencapai Rp. 1,3 -1,4 miliar. Para pengepul
memiliki dua pilihan dalam penjualan yaitu menjual benih lobster kepada para pembudidaya
dengan harga rendah atau melakukan penyelundupan untuk di ekspor keluar negeri dengan
harga tinggi. Perlu dilakukannya peningkatan pengawasan di daerah pesisir lampung agar
kegiatan penyelundupan tidak terjadi lagi.

Potensi perikanan budidaya yang ada di Provinsi Lampung yaitu sumberdaya udang vaname
dan windu. Salah satu kawasan yang memiliki potensi kawasan pertambakan yaitu Bumi
Dipasena yang terletak di Kecamatan Rawajitu Timur. Bumi Dipasena merupakan kawasan
pertambakan udang dengan luas 16.250 Ha dan jumlah patakan 17.760 petak dengan
masyarakat yang bermata pencaharian sebagai pembudidaya sebanyak 6.500 jiwa dari total
keseluruhan penduduk. Bumi Dipasena Kabupaten Tulang Bawang pernah menjadi sentra
budidaya udang terbesar se Asia Tenggara. Pada saat ini kegiatan budidaya yang dilakukan
secara mandiri mengalami beberapa hambatan dalam pengelolaannya. Salah satu hambatan
yang terjadi yaitu udang mengalami kematian pada usia 30-45 hari. Hal ini disebabkan oleh
serangan penyakit seperti AHPND (Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease), virus WSSV
(White Sopt Syndrome Virus) dan bakteri EHP (Enterocytozoon Hepatopenaei). Penyakit ini
timbul dikarenakan kondisi habitat lingkungan yang tidak stabil sehingga kapasitas daya
dukung lingkungan menurun. Daya dukung lingkungan menurun ditandai dengan limbah
budidaya yang tinggi, kualitas air yang buruk sehingga laju pertumbuhan turun dan angka
kematian meningkat. Hal ini terjadi karena penumpukan limbah sisa hasil budidaya.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 75 Tahun 2016 Tentang
Pedoman Umum Pembesaran Udang Windu (Penaus monodon) dan Udang Vaname
(Litopeanus vanamei) terkait pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungan. Akumulasi limbah
dari aktifitas budidaya diduga yang mempengaruhi kondisi lingkungan hidup udang sehingga
kondisi lingkungan menjadi tidak stabil dan daya dukung ekosistem menurun. Pengelolaan
limbah sisa budidaya diperlukan agar dapat menerapkan system budidaya udang yang
berkelanjutan. Sistem pengelolaan limbah dapat dilakukan dengan membangun instalasi
pengelolaan limbah (IPAL).

Pada sektor perikanan budidaya dalam mencapai target produksi udang nasional pada Tahun
2024 sebesar 2 jt Ton. Strategi revitalisasi tambak udang tradisional menjadi tambak semi
intensif dengan penerapan teknologi. Selain itu KKP membangun kawasan tambak yang
modern terintegrasi dan menerapkan good aquaculture practices dari hulu hingga hilir. Pada
tingkat daerah (Kabupaten Tulang Bawang), Untuk dapat meningkatkan produksi udang
perlu dilakukannya revitalisasi tambak saluran kanal-kanal mengalami pendangkalan akibat
para petambak yang membuang sampah pada area kanal yang menyebabkan penumpukan
sehingga proses budidaya menjadi terganggu. Perlu diterbitkannya peraturan daerah tingkat
kabupaten yang mengatur tentang pelarangan membuang sampah pada area budidaya agar
kualitas lingkungan dapat tetap terjaga. Selain itu pada kegiatan budidaya udang perlu
dilakukannya penguatan kelembagaan seperti suplayer benur, suplayer pakan, buyer udang
yang mendukung pelaku usaha untuk dapat meningkatkan produktivitas udang dipasena
dengan system budidaya udang yang berkelanjutan. Pada era otonomi daerah saat ini setiap
daerah memiliki hak penuh dalam mengelola sumberdaya yang ada di wilayahnya yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah.

Kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap dan budidaya harus memperhatikan


keberlanjutan ekosistem dalam pembangunannya. Pada sektor perikanan tangkap peraturan
perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah sudah merujuk pada pembangunan
berkelanjutan. Pada sektor perikanan budidaya dapat dilakukan upaya yang lebih lagi dalam
meningkatkan produksi, peraturan pada sektor budidaya sudah menerapkan pembangunan
berkelanjutan yaitu dengan peraturan kelauatan dan perikanan terkait pengelolaan limbah
sehingga kegiatan budidaya tetap mempertahankan ekosistem sehingga dapat dilakukan
secara berkelanjutan. Sebaiknya pada tingkat daerah (Kabupaten) juga perlu menerbitkan
peraturan tingkat daerah yang mengadopsi peraturan pusat dalam pengelolaan sumberdaya
perikanan secara berkelanjutan. Pemerintah kabupaten harus lebih meningkatkan pengawasan
pada sektor perikanan untuk dapat mengurangi praktik Ilegal Fishing yang merugikan negara
dan merusak ekosistem. Pemerintah selaku perumus dan pengesahan kebijakan seharusnya
dapat lebih selektif dalam menempatkan menteri-menterinya agar kebijakan yang dibuat
berbasis eksosistem berkelanjutan sehingga tidak menimbulkan kerugian atau perusakan
ekosistem.

Anda mungkin juga menyukai