PENGELOLAAN PERIKANAN
Pendahuluan
Berdasarkan UUD no 32/2004 pasal i ayat 1 mengenai perikanan yaitu
semua kegiatan yang berhubungan dengan pengolahan dan pemanfaatan
sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari pra produksi, produksi,
pengolahan, sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem
bisnis perikanan. Umumnya, perikanan dimaksudkan untuk kepentingan
penyediaan makanan bagi manusia. Usaha perikanan adalah semua usaha
perorangan atau badan hukum untuk menangkap atau membudidayakan (usaha
penetasan, pembibitan, pembesaran) ikan, termasuk kegiatan menyimpan,
mendinginkan atau mengawetkan ikan dengan tujuan untuk menciptakan nilai
tambah ekonomi bagi pelaku usaha (komersial/bisnis).
Pengelolaan sumberdaya ikan adalah semua upaya termasuk proses yang
terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi,
pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan
hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan
oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan yang bertujuan agar sumberdaya
ikan dapat dimanfaatkan secara optimal dan mencapai kelangsungan produktivitas
sumberdaya hayati perairan yang terus menerus. Penangkapan ikan merupakan
kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam
keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang
menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan,
mengolah atau mengawetkannya. Pembudidayaan ikan adalah kegiatan untuk
memelihara, membesarkan dan/atau membiakkan ikan dan memanen hasilnya
dalam lingkungan yang terkontrol.
Berdasarkan UU No. 31 tahun 2004, pasal 1, ayat 7, UU no 45 tahun 2009
pengelolaan perikanann adalah semua upaya termasuk proses yg terintegrasi dalam
pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan,
alokasi SDI, dan implementasi, serta penegakkan hukum dari peraturan
perundangan di bidang perikanan yg dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain
yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas SDI dan tujuan yg
telah disepakati.
Pendahuluan
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki karakteristik
sumberdaya perikanan yang khas di daerah tropis. Kekhasan tersebut berkaitan
dengan kompleksitas ekosistem tropis (tropical ecosystem complexities) yang
menjadi salah satu ciri dari ekosistem tropis. Kompleksitas ekosistem tropis ini
menjadi salah satu tantangan dan hambatan dalam pengelolaan perikanan di
Indonesia.
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar yang dikaruniai dengan
ekosistem perairan tropis memiliki karakterstik dinamika sumberdaya perairan,
termasuk di dalamnya sumberdaya ikan, yang tinggi. Tingginya dinamika
sumberdaya ikan ini tidak terlepas dari kompleksitas ekosistem tropis (tropical
ecosystem complexities) yang telah menjadi salah satu ciri dari ekosistem tropis.
Dalam konteks ini, pengelolaan perikanan yang tujuan ultimatnya adalah memberikan
manfaat sosial ekonomi yang optimal bagi masyarakat tidak dapat dilepaskan dari
dinamika ekosistem yang menjadi media hidup bagi sumberdaya ikan itu sendiri.
Terkait dengan tiga dimensi tersebut, pengelolaan perikanan saat ini masih
belum mempertimbangkan keseimbangan dari dimensi tersebut, di mana kepentingan
pemanfaatan untuk kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dirasakan lebih besar
dibanding dengan misalnya kesehatan ekosistemnya. Dengan kata lain, pendekatan
yang dilakukan masih parsial belum terintegrasi dalam sebuah batasan ekosistem
yang menjadi wadah dari sumberdaya ikan sebagai target pengelolaan. Dalam
konteks ini lah, pendekatan terintegrasi melalui pendekatan ekosistem terhadap
pengelolaan perikanan (ecosystem approach to fisheries) menjadi sangat penting.
Pendahuluan
Sumberdaya ikan dan karang di wilayah-wilayah pengelolaan perikanan
Indonesia saat ini telah berada pada kondisi kritis. Berdasarkan hasil kajian terbaru
dari Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Ikan, hampir semua wilayah
pengelolaan perikanan di Indonesia mengalami kondisi tereksploitasi secara penuh
(fully exploited) dan tereksplotasi secara berlebihan (over exploited atau over
fishing). Kondisi ini juga diperparah dengan maraknya praktek penangkapan ikan
secara ilegal (illegal fishing) di beberapa wilayah perairan laut Indonesia.
Dalam menentukan kebijakan bagi pengelolaan perikanan pada masing-
masing wilayah pengelolaan perikanan, diperlukan beberapa pengkajian terkait
dengan kondisi biologi sumberdaya ikan, tropic level, trend penangkapan dan
kondisi lingkungan. Adapun pengkajian terkait dengan biologi sumberdaya ikan
antara lain dapat melalui Length Frequency Analysis, estimasi selektivitas alat
tangkap dan analisis tingkat kematangan gonad (TKG). Untuk mengetahui kondisi
biologis ikan menggunakan Length Frequency Analysis, dibutuhkan data panjang
ikan maksimum, minimum, dan panjang rata-rata dan simpangan baku. Pendekatan
estimasi alat tangkap (dalam hal ini adalah jaring) membutuhkan data Lm, Lc dan
ukuran mata jaring, dengan asumsi d50%, yaitu tinggi ikan (dimana 50% tubuhnya
tertahan di mata jaring) harus proporsional dengan ukuran mata jaring.
Materi Domain Sumber Daya Ikan merupakan salah satu domain dalam
menganalisis dan mengevaluasi performa pengelolaan perikanan dengan
pendekatan ekosistem (EAFM).
Domain Sumberdaya Ikan
Domain SDI terdiri dari 7 parameter yaitu:
1) CPUE,
CPUE sangat penting dalam menganalisis performa EAFM. Karena
sesungguhnya CPUE berkaitan langsung dengan pemanfaatan/ pengelolaan
sumber daya ikan. Catch per unit effort (CPUE) didefinisikan sebagai laju
tangkap perikanan per tahun yang diperoleh dengan menggunakan data time
series, minimal selama lima (5) tahun. Semakin panjang series waktu yang
digunakan semakin tajam prediksi yang diperoleh. Cara perhitungannya adalah
dengan cara membagi total hasil tangkapan dengan total effort standard.
Kuatnya hubungan antara CPUE dengan status biomass stok ikan,
membuat CPUE banyak dipakai sebagai pengganti atau proxy untuk parameter
biomass, manakala data biomass tidak ada. Tujuan menggunakan indikator
perhitungan Catch per unit effort (CPUE) ialah untuk mengetahui trend
perubahan status stok ikan perikanan yang ingin kita amati dari waktu ke
waktu. Trend CPUE yang menunjukkan kecenderung menurun, bisa dijadikan
sebagai indikasi bahwa telah terjadi kecenderungan yang berdampak negatif
terhadap stok ikan yang dimaksud, atau bahkan kecenderungan overfishing.
Kriteria dan perhitungan
CPUE pada domain SDI memiliki bobot 40 (%) dengan nilai
densitas 22. Densitas merupakan jumlah parameter lain yang memiliki
hubungan logis dengan CPUE. Pemberian skor terhadap trend CPUE Baku ini
adalah:
Nilai 1 = Trend CPUE menurun tajam (rerata turun > 25% per tahun),
Nilai 2 = Trend CPUE menurun sedikit (rerata turun < 25% per tahun)
Nilai 3 = Trend CPUE relatif stabil atau bahkan meningkat
Nilai akhir paremeter CPUE adalah Nilai skor × bobot × densitas
2) Ukuran ikan,
Ukuran ikan dalam penilaian performa EAFM adalah dimensi panjang.
Hal ini dikarenakan panjang erat kaitannya dengan dinamika populasi ikan.
Ukuran panjang dapat menentukan tingkat/ model pertumbuhan, ukuran
pertama kali matang gonad. Ukuran panjang juga dapat menduga keberadaan
status stok sumberdaya ikan. Ukuran panjang yang semakin kecil “menduga”
terjadinya penurunan stok di alam.
Kriteria dan Perhitungan
Ukuran ikan pada domain SDI memiliki bobot 20 (%) dengan nilai
densitas 20. Densitas merupakan jumlah parameter lain yang memiliki
hubungan logis dengan ukuran ikan. . Penentuan nilai skor dilakukan dengan
prinsip bahwa semakin kecil trend nilai ukuran, maka nilai skor indikator ini
diberi nilai rendah.
Nilai skor 1 diberikan untuk trend ukuran rata-rata ikan yang ditangkap
semakin kecil,
Nilai skor 2 diberikan untuk trend ukuran relatif tetap, dan
Nilai skor 3 diberikan untuk trend ukuran semakin besar.
Nilai akhir paremeter Ukuran Ikan adalah Nilai skor × bobot × densitas
Pendahuluan
Pada domain ekosistem dan habitatnya ini diuraikan kondisi/karakteristik dari
lingkungan perairan, termasuk status pencemaran perairan pada berbagai WPP. Selain
itu diuraikan juga ekosistem perairan pada masing-masing WPP atau habitat tertentu
sesuai tujuan pembuatan RPP (untuk RPP jenis ikan tertentu). Parameter yang ada
pada domain ekosistem dan habitatnya ini ada 6 parameter yaitu antara lain :
1. Kualitas Perairan,
2. Ekosistem Mangrove,
3. Ekosistem Padang Lamun,
4. Ekosistem Terumbu Karang,
5. Habitat Khusus/ Unik,
6. Perubahan Iklim.
1. Kualitas Perairan
Kualitas perairan merupakan adalah kondisi kalitatif air yang diukur dan atau
di uji berdasarkan parameter-parameter tertentu dan metode tertentu berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 115 tahun 2003). Kualitas air dapat dinyatakan dengan
parameter kualitas air. Kualitas air sangat penting untuk menunjang keberlangsungan
hidup organisme yang hidup dalam perairan. Perubahan kualitas air dapat
mempengaruhi kehidupan organisme, termasuk produktivitas perikanan. Pengelolaan
kualitas air adalah upaya pemaliharaan air sehingga tercapai kualitas air yang
diinginkan sesuai peruntukannya untuk menjamin agar kondisi air tetap dalam
kondisi alamiahnya. Dengan demikian produktivitas perikana tetap berlangsung.
Parameter ini meliputi parameter fisik, kimia, dan mikrobiologis. Kualitas air dapat
diketahui dengan melakukan pengujian tertentu terhadap air tersebut. Pengujian yang
dilakukan adalah uji kimia, fisik, biologi, atau uji kenampakan (bau dan warna).
6. Perubahan Iklim
Perubahan iklim merupakan berubahnya iklim dan cuaca akibat adanya
pemanasan global. saat ini perubahan iklim merupakan salah satu hal yang menjadi
sorotan utama dunia, yakni karena banyaknya dampak yang ditimbulkan oleh
terjadinya perubahan iklim tersebut dalam kehidupan termasuk dunia perikanan/
perairan. Dampak perubahan iklim bagi perikanan/ perairan antara lain:
a. Naiknya muka laut meneggelamkan kawasan pesisir & intrusi laut ke air tanah
b. Naiknya suhu perairan dapat mengganggu pola breeding ikan, sehingga
dapat berpengaruh pada perubahan stok
c. Peningkatan suhu permukaan laut juga berdampak pada pemutihan karang
(coral bleaching)
d. Perubahan suhu perairan dapat mempengaruhi metabolisme, dan tentu saja
laju pertumbuhan, produksi total, musim reproduksi, serta kepekaan
terhadap penyakit dan racun. Pada organisme tertentu (khusus ikan-ikan
endemik / tawar) dapat menyebabkan kepunahan >>> biodiversitas
berkurang
e. Perubahan iklim (terutama variasi suhu) akan berdampak lebih kuat terhadap
distribusi daerah tangkapan ikan di lautan.
Berikut dibawah ini merupakan tabel untuk penilaian dari 6 parameter diatas
Indikator Kriteria
Limbah yang reidentivikasi secara klinis,
audio/visual
1 = tercemar
2 = tercemar sedang
3 = tidak tercemar
Tingkat kekeruhan
1 = > 20 mg/m3 konsentrasi tinggi
2 = 10 – 20 mg/m3 konsentrasi sedang
Kualitas perairan
3 = < 10 mg/m3 konsentrasi rendah
Eutrofikasi
1 = konsentrasi klorofil a > 10 mg/m3 terjadi
eutrofikasi. 2 = konsentrasi klorofil a 1 - 10 mg/m3
potensi terjadi eutrofikasi.
3 = konsentrasi klorofil a < 1 mg/m3tidak terjadi
eutrofikasi
1 = tutupan rendah, ≤ 29,9 %
2 = tutupan sedang, 30–49,9 %.
3 = tutupan tinggi ≥ 50 %
Status lamun 1 = keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1)
2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau
1<H’<3);
3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3)
1 = kerapatan rendah, <1000 pohon/ha, tutupan <50%;
2 = kerapatan sedang 1000-1500 pohon/ha, tutupan 50-
75%;
3 = kerapatan tinggi, >1500 pohon/ha, tutupan >75%
keterangan:
i = 1,2,…,m (kelompok jenis alat penangkapan ikan)
j = 1,2,…,n (kelompok ukuran kapal/perahu)
- Menentukan nilai skor indikator fishing capacity dan effort berdasarkan
kriteria yang telah ditetapkan dengan skor Likert berbasis ordinal 1,2,3 (1
= Nilai R < 1; 2 = Nilai R sama dengan 1; dan 3 = Nilai R< 1).
keterangan :
FCm = Fishing capacity tahun dasar
FCn = Fishing capacity tahun terakhir
- Memberikan nilai bobot yang telah ditentukan untuk fishing capacity dan
effort, yakni sebesar 15%
- Menghitung nilai indeks untuk indikator ini, dengan cara mengalikan nilai
skor dengan angka 100 dan nilai bobotnya:
(Nilai Indeks = Nilai Skor * 100 * Nilai Bobot)
Nilai indeks dari indikator ini, nantinya akan dijumlahkan dengan nilai
indeks dari indikator lainnya dalam domain teknis penangkapan ikan menjadi
suatu nilai indeks komposit domain teknis penangkapan ikan. Kemudian, nilai
indeks komposit ini akan dikategorikan menjadi 5 penggolongan kriteria dan
ditampilkan dengan menggunakan bentuk model bendera (flag model).
4. Selektivitas Penangkapan
Pembatasan alat tangkap berkaitan dengan selektivitas alat tangkap. Hal
ini terkait dengan spesifikasi jaring untuk menangkap ikan spesies tertentu atau
meloloskan ikan bukan tujuan tangkap (by catch) serta efek terhadap ekosistem.
Selektifitas alat tangkap terkait dengan ukuran mata jaring dan jumlah pancing
yang digunakan untuk menangkap ikan. Mata jaring yang kecil berpotensi
menangkap ikan-ikan yang berukuran kecil.
Tujuan penggunaan indikator ini adalah untuk mengestimasi tingkat
prosentase penggunaan alat tangkap yang tergolong tidak atau kurang selektif dan
perkiraan dampaknya terhadap kelestarian sumber daya ikan di suatu wilayah
perairan tertentu. Selektivitas penangkapan terkait dengan dengan 3 hal, yakni:
luasan wilayah penangkapan, lama waktu penangkapan dan keragaman hasil
tangkapannya.
Pendahuluan
Materi Sosial-ekonomi merupakan salah satu domain dalam menganalisis dan mengevaluasi
performa pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem (EAFM). EAFM disusun dari
6 domain, yaitu
1) Domain Sumber Daya Ikan,
2) Domain Habitat dan Lingkungan,
3) Domain Teknik Penangkapan,
4) Domain Ekonomi,
5) Domain Sosial, dan
6) Domain Kelembagaan.
Keenam domain tersebut saling terkait (conectivity) dan dibutuhkan untuk menilai
keberhasilan pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem. Penilaian performa
EAFM merupakan agregat dari keenam domain tersebut. Materi ini penting bagi mahasiswa
untuk dapat menganalisa dan mengevaluasi performa pengelolaan perikanan (EAFM) pada
domain ekonomi dan social.
Domain Ekonomi
Dalam domain ekonomi yang telah disepakati berdasarkan workshop di Bogor, 22-25 April
2013 terdapat 3 indikator kunci, yakni:
(1) pendapatan rumah tangga perikanan (RTP) dengan bobot 30%, kemudian
(2) rasio tabungan dengan bobot 25%, dan
(3) kepemilikan aset dengan bobot 45%.
3. Kepemilikan Aset
Kepemilikan aset merupakan perbandingan antara jumlah aset produktif yang
dimiliki rumah tangga perikanan saat ini dengan tahun sebelumnya. Bila aset produktif dari
rumah tangga nelayan bertambah maka diberi nilai tinggi dan sebaliknya. Aset produkstif
merupakan aset rumah tangga yang digunakan untuk kegiatan penangkapan ikan, budidaya
ikan, pengolahan ikan, atau perdagangan ikan, bahkan kegiatan ekonomi lainnya seperti
pertanian. Bertujuan untuk melihat kemampuan rumah tangga nelayan dalam meningkatkan
usaha ekonominya.
Metode Analisis Data Indikator
Data berasal dari wawancara terkait kepemilikan aset produktif saat ini kemudian
dibandingkan dengan kepemilikan aset produktif tahun sebelumnya. Kepemilikan aset tidak
hanya terbatas pada aset produktif perikanan, tetapi juga aset produkstif lainnya, misalnya
lahan pertanian.
Metode Analisis Data Indikator
Analisis nilai parameter untuk indikator kepemilikan aset, dilakukan dengan
perbandingan antara jumlah aset produktif yang dimiliki rumah tangga perikanan saat ini
dengan tahun sebelumnya, kemudian menggunakan pendekatan skoring yang sederhana.
Tahapan perhitungan sebagai berikut:
Menentukan nilai skor indikator pendapatan rumah tangga perikanan
Skor 1 untuk aset produktif berkurang,
Skor 2 diberikan untuk aset produktif tetap,
Skor 3 diberikan untuk aset produktif bertambah.
Memberikan nilai bobot yang telah ditentukan untuk indikator pendapatan rumah
tangga perikanan, yakni sebesar 35%;
Menghitung nilai indeks untuk indikator ini, dengan cara mengalikan nilai skor
dengan angka 100 dan nilai bobotnya (Nilai Indeks = Nilai Skor x 100 x Nilai
Bobot). Nilai indeks terendah berarti 35 (1 x 100 x 35%) dan nilai indeks tertinggi
berarti 105 (3 x 100 x 35%).
Nilai indeks dari indikator ini, nantinya akan dijumlahkan dengan nilai indeks dari indikator
lainnya dalam domain ekonomi menjadi suatu nilai indeks komposit domain ekonomi.
Kemudian, nilai indeks komposit ini akan dikategorikan menjadi 5 penggolongan kriteria
dan ditampilkan dengan menggunakan bentuk model bendera (flag model).
Domain Sosial
Salah satu domain penting dalam EAFM adalah domain sosial. Seperti yang telah
umum diketahui, salah satu tujuan pengelolaan perikanan adalah tujuan sosial yaitu
bagaimana perikanan dapat menjamin kesejahteraan sosial masyarakat perikanan seperti
minimnya konflik, tingginya partisipasi publik dan lain sebagainya. Parameter kunci dari
domain sosial dalam EAFM disajikan berikut ini.
2. Konflik Perikanan
Konflik perikanan merupakan pertentangan yang terjadi antar nelayan akibat
perebutan fishing ground (resources conflict) dan benturan alat tangkap (fishing gear
conflict). Konflik perikanan juga dapat terjadi akibat pertentangan kebijakan (policy conflict)
pada kawasan yang sama atau pertentangan kegiatan antar sektor. Konflik diukur dengan
frekuensi terjadinya konflik sebagai unit indikator.
Bertujuan untuk melihat potensi kontra prduktif dan tumpang tindih pengelolaan yang
berakibat pada kegagalan implementasi kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan. Semakin
tinggi frekuensi konflik perikanan, semakin sulit pengelolaan sumberdaya perikanan.
Demikian pula sebaliknya, semakin rendah frekuensi terjadinya konflik diharapkan semakin
mudah implementasi pengelolaan sumberdaya perikanan.
Metode Pengumpulan Data Indikator
Data wawancara terkait frekuensi terjadinya konflik pemanfaatan sumberdaya ikan.
Wawancara untuk memperoleh informasi dari responden dilakukan setelah penentuan
responden terpilih dari hasil samplimg. Ciri dari wawancara langsung adalah:
• Pewawancara dan responden tidak saling mengenal,
• Pewawancara bertanya, responden menjawab,
• Pewawancara bersifat netral, tidak mengarahkan responden,
• Pertanyaan yang diajukan mengikuti panduan atau kuesioner.
Latar Belakang
RPP memuat penataan kelembagaan (institutional arrangement), dengan
maksud agar RPP dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya. Prinsip yang dianut
dalam penataan kelembagaan yaitu:
1) Kejelasan kewenangan wilayah pengelolaan;
2) keterlibatan pelaku (stakeholders);
3) struktur yang efisien dengan jenjang pengawasan yang efektif;
4) adanya kelengkapan perangkat yang mengatur sistem;
5) adopsi tata kelola yang dilakukan secara profesional, transparan, dapat
dipertanggungjawabkan dan adil;
6) perwujudan sistem yang mampu mengakomodasikan dan memfasilitasi
norma dan lembaga setempat; dan
7) pengelolaan dilakukan secara legal dan taat hukum
Metode Pengumpulan
Survey dilakukan dengan : analisis dokumen antar lembaga dan analisis
stakeholder melalui wawancara/kuisioner