Anda di halaman 1dari 60

MATERI I

PENGELOLAAN PERIKANAN

Pendahuluan
Berdasarkan UUD no 32/2004 pasal i ayat 1 mengenai perikanan yaitu
semua kegiatan yang berhubungan dengan pengolahan dan pemanfaatan
sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari pra produksi, produksi,
pengolahan, sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem
bisnis perikanan. Umumnya, perikanan dimaksudkan untuk kepentingan
penyediaan makanan bagi manusia. Usaha perikanan adalah semua usaha
perorangan atau badan hukum untuk menangkap atau membudidayakan (usaha
penetasan, pembibitan, pembesaran) ikan, termasuk kegiatan menyimpan,
mendinginkan atau mengawetkan ikan dengan tujuan untuk menciptakan nilai
tambah ekonomi bagi pelaku usaha (komersial/bisnis).
Pengelolaan sumberdaya ikan adalah semua upaya termasuk proses yang
terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi,
pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan
hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan
oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan yang bertujuan agar sumberdaya
ikan dapat dimanfaatkan secara optimal dan mencapai kelangsungan produktivitas
sumberdaya hayati perairan yang terus menerus. Penangkapan ikan merupakan
kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam
keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang
menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan,
mengolah atau mengawetkannya. Pembudidayaan ikan adalah kegiatan untuk
memelihara, membesarkan dan/atau membiakkan ikan dan memanen hasilnya
dalam lingkungan yang terkontrol.
Berdasarkan UU No. 31 tahun 2004, pasal 1, ayat 7, UU no 45 tahun 2009
pengelolaan perikanann adalah semua upaya termasuk proses yg terintegrasi dalam
pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan,
alokasi SDI, dan implementasi, serta penegakkan hukum dari peraturan
perundangan di bidang perikanan yg dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain
yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas SDI dan tujuan yg
telah disepakati.

Tujuan Pengelolaan Perikanan


a. Meningkatkan taraf hidup nelayan kecil
b. Meningkatkan penerimaan dan devisa negara
c. Mendorong perluasan dan kesempatan kerja
d. Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan
e. Mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan
f. Meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah, dan daya saing ;
g. Meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan
h. Mencapai pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara optimal
i. Menjamin kelestarian sumberdaya ikan.

Komponen Pengelolaan Sumberdaya Perikanan


a. Rencana Pengelolaan Perikanan
b. Potensi dan alokasi SDI Di WPP RI
c. Jumlah Tangkapan yg diperbolehkan di WPP RI
d. Pengaturan jenis, jumlah dan ukuran alat penangkap ikan.
e. Pengaturan jenis, jumlah, ukuran dan penempatan alat ala bantu penangkapan
ikan.
f. Pengaturan daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan
g. Pengaturan syarat teknis perikanan yg harus dipenuhi kapal perikanan.
h. Pengaturan jumlah, jenis, dan ukuran ikan yg boleh dan tidak boleh ditangkap.
i. Pencegahan pencemaran, kerusakan SDI serta lingkungannya,
j. Rehabilitasi dan peningkatan SDI serta lingkungannya.
k. Suaka Perikanan.
l. Jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan dan dikeluarkan
ke dan dari wilayah RI

Asas Pengelolaan Perikanan


Pengelolaan perikanan dilakukan dengan asas manfaat, keadilan, kemitraan,
pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi dan kelestarian yang
berkelanjutan.
MATERI II
PERMASALAHAN PENGELOLAAN PERIKANAN

Pendahuluan
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki karakteristik
sumberdaya perikanan yang khas di daerah tropis. Kekhasan tersebut berkaitan
dengan kompleksitas ekosistem tropis (tropical ecosystem complexities) yang
menjadi salah satu ciri dari ekosistem tropis. Kompleksitas ekosistem tropis ini
menjadi salah satu tantangan dan hambatan dalam pengelolaan perikanan di
Indonesia.
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar yang dikaruniai dengan
ekosistem perairan tropis memiliki karakterstik dinamika sumberdaya perairan,
termasuk di dalamnya sumberdaya ikan, yang tinggi. Tingginya dinamika
sumberdaya ikan ini tidak terlepas dari kompleksitas ekosistem tropis (tropical
ecosystem complexities) yang telah menjadi salah satu ciri dari ekosistem tropis.
Dalam konteks ini, pengelolaan perikanan yang tujuan ultimatnya adalah memberikan
manfaat sosial ekonomi yang optimal bagi masyarakat tidak dapat dilepaskan dari
dinamika ekosistem yang menjadi media hidup bagi sumberdaya ikan itu sendiri.

Kompenen Dimensi Pengelolaan Perikanan


CCRF menjelaskan fisheries management merupakan pemanfaatan
sumberdaya perikanan yang berkelanjutan. Ada banyak aspek yang diperhatikan
dalam keberlanjutan sumberdaya perikanan diantaranya: informasi dasar biologi dan
ekologi populasi sebagai dasar pendugaan stok ikan, kondisi lingkungan, hukum dan
perundang-undangan. Selanjutnya, Sustainable Fisheries System, mengemukakan
bahwa pembangunan perikanan yang berkelanjutan harus dapat mengakomodasi 4
aspek utama yang mencakup dari hulu hingga hilir, yaitu :
1. Dimensi sumberdaya perikanan dan ekosistemnya;
2. Dimensi pemanfaatan sumberdaya perikanan untuk kepentingan sosial ekonomi
masyarakat; dan
3. Dimensi kebijakan perikanan itu sendiri untuk komunitas dan kelembagaan.

Gambar 1. Interaksi dan Proses Antar Komponen dalam Pengelolaan Perikanan

Terkait dengan tiga dimensi tersebut, pengelolaan perikanan saat ini masih
belum mempertimbangkan keseimbangan dari dimensi tersebut, di mana kepentingan
pemanfaatan untuk kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dirasakan lebih besar
dibanding dengan misalnya kesehatan ekosistemnya. Dengan kata lain, pendekatan
yang dilakukan masih parsial belum terintegrasi dalam sebuah batasan ekosistem
yang menjadi wadah dari sumberdaya ikan sebagai target pengelolaan. Dalam
konteks ini lah, pendekatan terintegrasi melalui pendekatan ekosistem terhadap
pengelolaan perikanan (ecosystem approach to fisheries) menjadi sangat penting.

Permasalahan Pengelolaan Perikanan


Masih lemahnya sistem pengelolaan perikanan merupakan isu strategis dan
permasalahan umum yang pokok dalam mewujudkan sektor perikanan berkelanjutan
di Indonesia. Hal ini telah diindikasikan dengan tidak meratanya tingkat pemanfaatan
sumber daya ikan di wilayah Indonesia. Sebagai contoh untuk perikanan tangkap,
banyak perairan laut di kawasan barat dan tengah Indonesia sudah menunjukkan
gejala padat tangkap (overfishing), seperti Selat Malaka, perairan timur Sumatera,
Laut Jawa, dan Selat Bali. Sementara, di perairan laut kawasan timur Indonesia,
tingkat pemanfaatan sumberdaya ikannya belum optimal atau masih underfishing.
Akibatnya, pada daerah-daerah penangkapan ikan tertentu yang mengalami over-
exploitation, nelayan-nelayannya umumnya menjadi miskin, karena sulit
mendapatkan ikan hasil tangkapan.
Untuk contoh perikanan budidaya, salah satunya adalah memenuhi kebutuhan
nasional akan benih dan pakan seringkali tidak mencukupi, sehingga aktivitas
perikanan budidaya, sebagian masih tergantung dengan negara lain yang tentunya
akan mengancam keberlanjutan usaha para pembudidaya ikan nasional. Kenyataan
seperti tersebut di atas sebagai cerminan bahwa betapa belum kuatnya pengelolaan
perikanan nasional, sehingga pemerintah perlu segera menata dan memperbaiki
kelemahan yang ada sekarang dengan melakukan penguatan kebijakannya.
Permasalahaan pengelolaan perikanan lainnya yang sampai saat ini dialami
Indonesia antara lain yaitu :
1. Belum optimalnya produksi perikanan budi daya nasional (ikan dan rumput laut)
dan produksi perikanan tangkap di ZEEI dan laut lepas sebagai sumber pangan
perikanan;
2. Belum optimalnya pertumbuhan PDB perikanan;
3. Belum terkelolanya pulau-pulau kecil sebagai kekuatan ekonomi;
4. Belum optimalnya industri pengolahan perikanan, khususnya di kawasan
Indonesia Bagian Timur;
5. Ketersediaan BBM untuk nelayan dan pembudidayaan ikan;
6. Belum optimalnya pengawasan UU fishing;
7. Peningkatan kawasan konversi laut nasional;
8. Peningkatan kapasitas SDM kelautan dan perikanan;
9. Peningkatan iptek kelautan dan perikanan serta diseminasi teknologi;
10. Peningkatan tata kelola pembangunan kelautan dan perikanan nasional.
MATERI III
RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN

Rencana Pengelolaan Perikanan


RPP adalah dokumen resmi yang memuat analisis situasi perikanan dan
rencana strategis, yang merupakan kesepakatan antara Pemerintah Pusat dan/atau
Pemerintah Daerah dengan para pemangku kepentingan lainnya, sebagai arah dan
pedoman dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya ikan di bidang penangkapan
ikan untuk Perairan laut maupun perairan Darat. Pedoman Penyusunan RPP di bidang
penangkapan ikan disusun dengan tujuan mencapai manfaat yang optimal,
berkelanjutan, dan menjamin kelestarian sumber daya ikan (Per Men KP 29/2012 dan
2016).
Dalam konstelasi kebijakan pengelolaan perikanan di Indonesia, wilayah
perairan laut Indonesia dibagi menjadi 11 (sebelas) Wilayah Pengelolaan Perikanan
(WPP) yang terbentang dari wilayah Selat Malaka di sebelah barat Indonesia hingga
Laut Arafura di sebelah timur Indonesia. Wilayah Pengelolaan Perikanan ini
merupakan basis bagi tata kelola perikanan (fisheries governance) Indonesia yang
diharapkan dapat menjadi kawasan implementesi pendekatan ekosistem dalam
pengelolaan perikanan. Perikanan dengan pendekatan ekosistem yang mengadopsi
kebutuhan ketiga dimensi untuk keberlanjutan sumberdaya dan kesejahteraan
masyarakat pesisir. Secara alamiah, pengelolaan sistem perikanan tidak dapat
dilepaskan dari tiga dimensi yang tidak terpisahkan satu sama lain yaitu (1) dimensi
sumberdaya perikanan dan ekosistemnya; (2) dimensi pemanfaatan sumberdaya
perikanan untuk kepentingan sosial ekonomi masyarakat; dan (3) dimensi kebijakan
perikanan itu sendiri.
Tujuan RPP di WPPNRI sebagai arah dan pedoman bagi Pemerintah,
pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan dalam pelaksanaan pengelolaan
sumber daya ikan dan lingkungannya di WPPNRI.
Pada dasarnya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dapat
dikelompokkan menjadi lima, yaitu :
1. Input control adalah masukan dari kegiatan perikanan yang dapat dikendalikan.
Masukan yang dapat dikendalikan tersebut berupa jumlah armada penangkapan
yang diperbolehkan untuk beroperasi.
2. Output control adalah keluaran dari kegiatan perikanan yang dapat dikontrol.
Keluaran yang dapat dikontrol tersebut adalah jumlah tangkapan atau kuota
tangkapan yang dipernolehkan.
3. Technical measures adalah ukuran teknis yang diperbolehkan dalam usaha
penangkapan ikan. Sebagai contoh adalah jenis dan ukuran alat tangkap yang
diperbolehkan, musim penangkapan yang diperbolehkan yang dianggap sesuai
dengan sumberdaya ikan yang ada dan agar tetap berjalan berkelanjutan.
4. Ecosystem base management adalah pengelolaan perikanan yang berbasis pada
ekosistem atau dikenal dengan istilah Ecosystem Approach to Fisheries
Management (EAFM). Pengelolaan perikanan harus dilakukan secara
komprehensif dengan melibatkan konektivitas antara ekosistem, hasil tangkapan,
upaya penangkapan, dan permintaan konsumen.
5. Indirect economic instruments adalah alat pengontrol yang tidak secara langsung
dipergunakan namun merupakan hal penting yang sangat berpengaruh pada
kegiatan perikanan, sebagai contoh adalah pajak/retribusi ataupun subsidi.

Status Perikanan (Stok dan Habitat)


Dalam penyusunan RPP perlu disampaikan terkait status perikanan WPP atau
komoditas ikan yang disusun RPPnya yang memuat:
a) Potensi, Komposisi, Distribusi Dan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan.
b) Habitat (ekosistem) dan Lingkungan Sumber Daya Ikan.
c) Teknologi Penangkapan
d) Sosial dan Ekonomi
e) Tata Kelola
f) Pemangku Kepentingan
Rencana Strategis Pengelolaan
Langkah-langkah dalam membentuk rencana strategis pengelolaan perikanan
adalah sebagai berikut:
a) Isu Pengelolaan
b) Tujuan dan Sasaran
c) Indikator dan Tolak Ukur
d) Rencana Aksi Pengelolaan
MATERI IV
DOMAIN SUMBERDAYA IKAN

Pendahuluan
Sumberdaya ikan dan karang di wilayah-wilayah pengelolaan perikanan
Indonesia saat ini telah berada pada kondisi kritis. Berdasarkan hasil kajian terbaru
dari Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Ikan, hampir semua wilayah
pengelolaan perikanan di Indonesia mengalami kondisi tereksploitasi secara penuh
(fully exploited) dan tereksplotasi secara berlebihan (over exploited atau over
fishing). Kondisi ini juga diperparah dengan maraknya praktek penangkapan ikan
secara ilegal (illegal fishing) di beberapa wilayah perairan laut Indonesia.
Dalam menentukan kebijakan bagi pengelolaan perikanan pada masing-
masing wilayah pengelolaan perikanan, diperlukan beberapa pengkajian terkait
dengan kondisi biologi sumberdaya ikan, tropic level, trend penangkapan dan
kondisi lingkungan. Adapun pengkajian terkait dengan biologi sumberdaya ikan
antara lain dapat melalui Length Frequency Analysis, estimasi selektivitas alat
tangkap dan analisis tingkat kematangan gonad (TKG). Untuk mengetahui kondisi
biologis ikan menggunakan Length Frequency Analysis, dibutuhkan data panjang
ikan maksimum, minimum, dan panjang rata-rata dan simpangan baku. Pendekatan
estimasi alat tangkap (dalam hal ini adalah jaring) membutuhkan data Lm, Lc dan
ukuran mata jaring, dengan asumsi d50%, yaitu tinggi ikan (dimana 50% tubuhnya
tertahan di mata jaring) harus proporsional dengan ukuran mata jaring.

Pendekatan Ekosistem Dalam Pengelolaan Perikanan


Pengelolaan perikanan tidak dapat dilepaskan dari tiga dimensi yang tidak
terpisahkan satu sama lain yaitu
1) dimensi sumberdaya perikanan dan ekosistemnya;
2) dimensi pemanfaatan sumberdaya perikanan untuk kepentingan sosial
ekonomi masyarakat; dan
3) dimensi kebijakan perikanan itu sendiri
Terkait dengan tiga dimensi tersebut, pengelolaan perikanan saat ini masih belum
mempertimbangkan keseimbangan ketiga dimensi tersebut, di mana kepentingan
pemanfaatan untuk kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dirasakan lebih besar
dibanding dengan misalnya kesehatan ekosistemnya. Dengan kata lain, pendekatan
yang dilakukan masih parsial belum terintegrasi dalam kerangka dinamika
ekosistem yang menjadi wadah dari sumberdaya ikan sebagai target pengelolaan.
Dalam konteks ini lah, pendekatan terintegrasi melalui pendekatan ekosistem
terhadap pengelolaan perikanan (Ecosystem Approach to Fisheries Management,
selanjutnya disingkat EAFM) menjadi sangat penting.
EAFM sebagai sebuah proses penyempurnaan pengelolaan perikanan yang
dimulai dari sudut pandang kesehatan ekosistem (ecosystem health) sebagai media
penting dari proses keberlanjutan sumberdaya ikan sebagai obyek dari pengelolaan
perikanan. Dalam pengertian lebih sederhana, EAFM sesungguhnya
menitikberatkan pada keterkaitan (konektivitas) antara target species sumberdaya
ikan dengan ekosistem perairan dan segenap unsur terkait di dalamnya.
EAFM disusun dari 6 domain, yaitu :
1) Domain Sumber Daya Ikan,
2) Domain Habitat dan Lingkungan,
3) Domain Teknik Penangkapan,
4) Domain Sosial,
5) Domain Ekonomi, dan
6) Domain Kelembagaan.
Keenam domain tersebut saling terkait (conectivity). Penilaian performa EAFM
merupakan agregat dari keenam domain tersebut. EAFM juga berkaitan dengan
RPP dimana RPP dapat dievaluasi dengan EAFM atau EAFM merupakan langkah
dalam penyusunan RPP. Sehingga dalam hal ini EAFM dan RPP saling berkaitan.

Materi Domain Sumber Daya Ikan merupakan salah satu domain dalam
menganalisis dan mengevaluasi performa pengelolaan perikanan dengan
pendekatan ekosistem (EAFM).
Domain Sumberdaya Ikan
Domain SDI terdiri dari 7 parameter yaitu:
1) CPUE,
CPUE sangat penting dalam menganalisis performa EAFM. Karena
sesungguhnya CPUE berkaitan langsung dengan pemanfaatan/ pengelolaan
sumber daya ikan. Catch per unit effort (CPUE) didefinisikan sebagai laju
tangkap perikanan per tahun yang diperoleh dengan menggunakan data time
series, minimal selama lima (5) tahun. Semakin panjang series waktu yang
digunakan semakin tajam prediksi yang diperoleh. Cara perhitungannya adalah
dengan cara membagi total hasil tangkapan dengan total effort standard.
Kuatnya hubungan antara CPUE dengan status biomass stok ikan,
membuat CPUE banyak dipakai sebagai pengganti atau proxy untuk parameter
biomass, manakala data biomass tidak ada. Tujuan menggunakan indikator
perhitungan Catch per unit effort (CPUE) ialah untuk mengetahui trend
perubahan status stok ikan perikanan yang ingin kita amati dari waktu ke
waktu. Trend CPUE yang menunjukkan kecenderung menurun, bisa dijadikan
sebagai indikasi bahwa telah terjadi kecenderungan yang berdampak negatif
terhadap stok ikan yang dimaksud, atau bahkan kecenderungan overfishing.
Kriteria dan perhitungan
CPUE pada domain SDI memiliki bobot 40 (%) dengan nilai
densitas 22. Densitas merupakan jumlah parameter lain yang memiliki
hubungan logis dengan CPUE. Pemberian skor terhadap trend CPUE Baku ini
adalah:
 Nilai 1 = Trend CPUE menurun tajam (rerata turun > 25% per tahun),
 Nilai 2 = Trend CPUE menurun sedikit (rerata turun < 25% per tahun)
 Nilai 3 = Trend CPUE relatif stabil atau bahkan meningkat
Nilai akhir paremeter CPUE adalah Nilai skor × bobot × densitas

2) Ukuran ikan,
Ukuran ikan dalam penilaian performa EAFM adalah dimensi panjang.
Hal ini dikarenakan panjang erat kaitannya dengan dinamika populasi ikan.
Ukuran panjang dapat menentukan tingkat/ model pertumbuhan, ukuran
pertama kali matang gonad. Ukuran panjang juga dapat menduga keberadaan
status stok sumberdaya ikan. Ukuran panjang yang semakin kecil “menduga”
terjadinya penurunan stok di alam.
Kriteria dan Perhitungan
Ukuran ikan pada domain SDI memiliki bobot 20 (%) dengan nilai
densitas 20. Densitas merupakan jumlah parameter lain yang memiliki
hubungan logis dengan ukuran ikan. . Penentuan nilai skor dilakukan dengan
prinsip bahwa semakin kecil trend nilai ukuran, maka nilai skor indikator ini
diberi nilai rendah.
 Nilai skor 1 diberikan untuk trend ukuran rata-rata ikan yang ditangkap
semakin kecil,
 Nilai skor 2 diberikan untuk trend ukuran relatif tetap, dan
 Nilai skor 3 diberikan untuk trend ukuran semakin besar.
Nilai akhir paremeter Ukuran Ikan adalah Nilai skor × bobot × densitas

3) Komposisi ikan yuwana (juvenile) yang tertangkap,


Ikan yuwana (juvenile) merupakan kelompok ikan yang belum mencapai
dewasa (maturity). Kelompok ini penting dalam penegelolaan perikanan
sebagai calon-calon ikan baru yang akan ditangkap. Penangkapan ikan pada
fase ini sangat fatal karena belum mencapai dewasa sehingga belum sempat
untuk melakukan pemijahan. Untuk itu, persentase ikan yang ditangkap
sebelum mencapai umur dewasa (maturity) masuk dalam kategori parameter
EAFM dalam domain SDI.
Kriteria dan perhitungan
Proporsi Ikan yuwana pada domain SDI memiliki bobot 15 (%) dengan nilai
densitas 17. Penentuan kriteria dari proporsi ikan yuwana (juvenile) dari hasil
tangkapan keseluruhan ialah sebagai berikut:
 Nilai 1 = banyak sekali (> 60%)
 Nilai 2 = banyak (30 - 60%)
 Nilai 3 = sedikit (<30%)
4) Kompisis spesies taget dan non target,
Spesies yang dimaksud disini adalah proposi ikan tangkapan utama (ikan
target/ discard) dengan ikan tangkapan sampingan (by catch). Pada kondisi
normal (perikanan yang baik) komposisi/ proporsi ikan-ikan tangkapan utama
akan lebih banyak daripada ikan tangkapan sampingan. Demikian sebaliknya
perikanan yang sudah menurun bisa jadi ikan-ikan tangkapan sampingan akan
lebih banyak dibanding ikan-ikan tangkapan utama.
Kriteria dan perhitungan
Proporsi Ikan yuwana pada domain SDI memiliki bobot 15 (%) dengan nilai
densitas 17. Komposisi dan proporsi ikan target hasil tangkapan dan ikan non-
target dalam X tahun terakhir. Dengan kriteria nilai poin sebagai berikut:
 Nilai 1 = Apabila proporsi ikan target lebih sedikit (< 15% dari total
volume),
 Nilai 2 = Apabila proporsi ikan target sama dengan non-target (16-30%
dari total volume), dan
 Nilai 3 = Apabila proporsi ikan target lebih banyak (>31% dari total
volume).
5) Populasi Endangered, Threatened, dan Protected (ETP) yang tertangkap,
Definisi Endangered species, Threatened species, and Protected Species
berdasarkan kategori IUCN Red List adalah:
a. Endangered (EN) atau Genting species yaitu kategori yang diterapkan
pada takson yang tidak termasuk dalam Critically endangered namun
mengalami resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam dan dimasukkan
ke dalam kategori Extinct in the Wild jika dalam waktu dekat tindakan
perlindungan yang cukup berarti tidak dilakukan.
b. Threatened species yaitu spesies yang tidak termasuk kategori Critically
endangered, endangered, maupun Vulnerable, namun memiliki peluang
yang besar, atau sewaktu-waktu dapat masuk kategori Threatened
species.
c. Sedangkan Protected Species ialah species yang karena keberadaannya
di alam sudah kritis atau hampir punah maka dilindungi oleh undang-
undang dalam hal pemanfaatannya.
Tujuan dari indikator ETP ini ialah untuk melihat dampak yang ditimbulkan
terhadap spesies ETP akibat kegiatan penangkapan dengan alat tertentu di
sebuah wilayah. Interpretasi indikator ETP ini adalah jika sebuah kegiatan
penangkapan memberikan dampak negatif terhadap spesies ETP (yakni: ada
spesies ETP yang tertangkap sebagai by-catch maupun ditangkap sebagai
target), maka kegiatan penangkapan tersebut bersifat tidak sustainable dan
memiliki skor yang rendah.
Metode yang digunakan untuk menganalisis data yang dihasilkan dari
pengamatan biota ETP ialah dengan membandingkan ikan hasil tangkapan
dengan daftar organisme yang masuk IUCN serta Peraturan Pemerintah Nomor
7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Kemudian
dulakukan analisis komposisi hasil tangkapan ikan yang ternmasuk kategori
Endangered species, Threatened species, and Protected Species secara tahunan
agar dapat terlihat trend jumlah populasi spesies ETP yang ditangkap /
tertangkap.
Kriteria dan perhitungan
Populasi ETP pada domain SDI memiliki bobot 5 (%) dengan nilai
densitas 17. Kriteria yang digunakan untuk memberikan penilaian terhadap
penangkapan pada suatu perairan ialah dengan poin sebagai berikut:
 Nilai 1 = terdapat individu ETP yang tertangkap tetapi tidak dilepas (>1
jenis)
 Nilai 2 = tertangkap tetapi dilepas
 Nilai 3 = tidak ada individu ETP yang tertangkap.

6) Range Collapse Sumberdaya Ikan


Range Collapse suatu fenomena yang umum terjadi pada stok ikan jika
stok ikan yang bersangkutan mengalami kondisi overfishing. Untuk
menentukan ada tidak range collapse ini, maka indikator yang paling mudah
adalah melihat apakah terjadi indikasi terhadap semakin sulitnya mencari
lokasi penangkapan ikan (fishing ground). Unit yang digunakan untuk
indikator range collapse sumberdaya ikan ialah dilihat berdasarkan hasil
tangkapan per upaya (CPUE) secara temporal dari tahun ke tahun serta
seberapa jauh jarak tempuh (mil atau km) untuk setiap kali trip penangkapan
ikan dibandingkan jarak pada tahun-tahun sebelumnya.
Tujuan dari pengamatan indikator range collapse sumberdaya ikan ini
adalah untuk melihat dampak yang ditimbulkan terhadap sumberdaya ikan
akibat peningkatan tekanan penangkapan ikan (fishing pressure).

Kriteria dan perhitungan


Range Collapse sumberdaya ikan pada domain SDI memiliki bobot 8
(%) dengan nilai densitas 18. Metode yang digunakan untuk analisis dapat
dilakukan secara kuantitatif berdasarkan hasil pemetaan perubahan spasial dari
lokasi daerah penangkapan ikan secara time-series, diantaranya melalui survei
akustik atau community mapping. Hasil pemetaan bisa dianalisis berdasarkan
perubahan jarak ke lokasi fishing ground dan pemberian skoring melihat
kepada acuan sebagai berikut:
 Nilai 1 = fishing ground menjadi sangat jauh, tergantung spesies target
 Nilai 2= fishing ground jauh, tergantung spesies target
 Nilai 3= fishing ground relatif tetap jaraknya, tergantung spesies target
Adapun hasil wawancara untuk melihat apakah ada indikasi bahwa semakin
sulit/ jauh dalam hal mencari daerah penangkapan ikan (fishing ground)
dipergunakan untuk proses analisis kualitatif, dimana jawaban responden
dikelompokan menjadi tiga kelompok sesuai dengan kriteria skoring:
 Nilai 1 = semakin sulit, tergantung spesies target;
 Nilai 2 = relatif tetap, tergantung spesies target;

 Nilai 3 = semakin mudah, tergantung spesies target.

7) Densitas/biomass ikan karang dan invertebrate


Mengukur biomass ikan karang dan invertebarata Biomass ikan karang
biasanya dalam jumlah individu per satuan luas/ volume atau Biomass
persatuan luas/ volume. Sementara invertebrata biasanya diukur dlam densitas
yaitu individu/satuan luas. Metode pengukuran dilakukan dengan metode
akustik dan atau Underwater Visual Census (UVC).
Kriteria dan perhitungan
Densitas/Biomassa untuk ikan karang & invertebrata pada domain SDI
memiliki bobot 2 (%) dengan nilai densitas 17. Pemberian skor sebagai
berikut:
Nilai 1 = Jika jumlah individu <10 ind/m3, UVC <10 ind/m2
Nilai 2 = Jika jumlah individu = 10 ind/m3, UVC 10 ind/m2
Nilai 3 = Jika jumlah individu >10 ind/m3, UVC >10 ind/m2.
Nilai akhir paremeter Densitas/biomass ikan karang dan invertebrate
adalah
Nilai skor × bobot × densitas
MATERI V
PENGELOLAAN PERIKANAN BERBASIS EAFM DOMAIN
EKOSISTEM DAN HABITATNYA

Pendahuluan
Pada domain ekosistem dan habitatnya ini diuraikan kondisi/karakteristik dari
lingkungan perairan, termasuk status pencemaran perairan pada berbagai WPP. Selain
itu diuraikan juga ekosistem perairan pada masing-masing WPP atau habitat tertentu
sesuai tujuan pembuatan RPP (untuk RPP jenis ikan tertentu). Parameter yang ada
pada domain ekosistem dan habitatnya ini ada 6 parameter yaitu antara lain :
1. Kualitas Perairan,
2. Ekosistem Mangrove,
3. Ekosistem Padang Lamun,
4. Ekosistem Terumbu Karang,
5. Habitat Khusus/ Unik,
6. Perubahan Iklim.

1. Kualitas Perairan
Kualitas perairan merupakan adalah kondisi kalitatif air yang diukur dan atau
di uji berdasarkan parameter-parameter tertentu dan metode tertentu berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 115 tahun 2003). Kualitas air dapat dinyatakan dengan
parameter kualitas air. Kualitas air sangat penting untuk menunjang keberlangsungan
hidup organisme yang hidup dalam perairan. Perubahan kualitas air dapat
mempengaruhi kehidupan organisme, termasuk produktivitas perikanan. Pengelolaan
kualitas air adalah upaya pemaliharaan air sehingga tercapai kualitas air yang
diinginkan sesuai peruntukannya untuk menjamin agar kondisi air tetap dalam
kondisi alamiahnya. Dengan demikian produktivitas perikana tetap berlangsung.
Parameter ini meliputi parameter fisik, kimia, dan mikrobiologis. Kualitas air dapat
diketahui dengan melakukan pengujian tertentu terhadap air tersebut. Pengujian yang
dilakukan adalah uji kimia, fisik, biologi, atau uji kenampakan (bau dan warna).

Metode pengukuran dan pengumpulan data


Dalam kajian EAFM karakteristi kualitas air dibagi dalam tiga kategori yaitu :
a. Limbah yang teridentifikasi secara klinis, audio dan atau visual (Contoh :
B3-bahan berbahaya & beracun) atau kualitas air yang dapat diukur/dihitung
berdasarkan parameter fisika, kimia dan bioologi (mikroorganisme).
Penentuan status kualitas air ini dilakukan dengan Metode Storet dan Metode
Indeks Pencemaran yang telah dibakukan dalam Pedoman Penentuan Status
Mutu Air pada Surat Keputusan Menteri.
b. Tingkat kekeruhan (NTU); untuk mengetahui laju sedimentasi perairan.
Pengukuran tingkat kekeruhan dengan citra satelit untuk melihat sebaran
tingkat kekeruhan di perairan.
c. Eutrofikasi merupakan dari adanya pencemaran organik yang mengandung
nutrien (Nitrogen, Posfor, dan termasuk silika). Pengukuran eutrifikasi dapat
dilakukan dengan citra satelit untuk melihat sebaran tingkat eutrifikasi di
perairan. Selain itu, dapat dilakuakn dengan metode pengukuran N dan P di
laboratorium.
2. Ekosistem Mangrove
Mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh dan berkembang di
daerah pasang surut sebagai habitatnya. Mangrove hidup dan berkembang pada
lingkungan pantai yang terlindung, laguna, dan muara sungai yang komunitas
tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Buku ini tidak hanya membicarakan
mangrove sebagai tumbuhan akan tetapi juga membicarakan mangrove sebagai
ekosistem.
Sejauh ini di Indonesia tercatat setidaknya 202 jenis tumbuhan mangrove,
meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44
jenis epifit dan 1 jenis paku. Dari 202 jenis tersebut, 43 jenis (diantaranya 33 jenis
pohon dan beberapa jenis perdu) ditemukan sebagai mangrove sejati (true mangrove),
sementara jenis lain ditemukan disekitar mangrove dan dikenal sebagai jenis
mangrove ikutan (asociate asociate).
Ekosistem mangrove merupakan penyangga dan memiliki multi fungsi.
Secara fisik, mangrove memiliki peranan penting dalam melindungi pantai dari
gelombang, angin dan badai. Secara ekologi, ekosistem mangrove berperan sebagai
sistem penyangga kehidupan bagi berbagai organisme akuatik maupun organisme
teresterial, baik sebagai tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan
(nursery ground) maupun sebagai tempat berkembang biak (spawning ground).
Secara sosial-ekonomi, ekosistem mangrove merupakan sumber mata pencaharian
masyarakat pesisir. Selain itu, ekosistem mangrove berkontribusi sebagai pengendali
iklim global melalui penyerapan karbon

Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data ekosistem mangrove dapat dilakukan dengan cara:
a. Citra satelite dengan resolusi tinggi (minimum 8 m) - minimal satu tahun sekali
dengan diikuti oleh survey lapangan
b. Survey dengan Plot sampling, Pengambilan contoh untuk vegetasi mangrove
dilakukan dengan menggunakan metoda plot transek garis dari arah perairan ke
arah darat di daerah intertidal (Bengen 2004). Jarak antar transek garis sekitar 100
meter. Panjang transek dari pinggir perairan ke arah darat bergantung kepada
ketebalan mangrove pada tiap-tiap stasiun. Transek garis berada pada posisi dari
arah perairan kearah darat dan terdiri atas petak-petak contoh (plot) berbentuk
bujur sangkar.
c. Status mangrove juga dapat dilihat dari hasil kajian lain LIPI, dan Perguruan
Tinggi/ LSM (wetland), dan dokumen lainnya yang relevan (Rencana Zonasi
Pesisir dan Pulau-pulau kecil).

3. Ekosistem Padang Lamun


Lamun (Angiospermae) merupakan tumbuhan berbunga yang hidup dan
berkembang pada lingkungan perairan laut dangkal. Lamun hidup pada subtrat pasir,
pasir berlumpur, lumpur lunak dan karang (Kiswara & Hutomo 1985). Lamun
merupakan produsen primer pada perairan dangkal dan sebagai sumber makanan
penting bagi banyak organisme. Adanya produksi primer yang tinggi ini, maka dapat
dikatakan bahwa salah satu fungsi lamun adalah menjaga atau memelihara
produktivitas dan stabilitas ekosistem pesisir.
Lamun memiliki fungsi ekologis dan nilai ekonomis yang sangat penting bagi
manusia. Fungsi ekologis lamun adalah: (1) sumber utama produktivitas primer, (2)
sumber makanan bagi organisme dalam bentuk detritus, (3) menstabilkan dasar
perairan dengan sistem perakarannya yang dapat menangkap sedimen (trapping
sediment), (4) tempat berlindung bagi biota laut, (5) tempat perkembangbiakan
(spawning ground), pengasuhan (nursery ground), serta sumber makanan (feeding
ground) bagi biota-biota perairan laut, (6) pelindung pantai dengan cara meredam
arus, (7) penghasil oksigen dan mereduksi CO2 di dasar perairan.

Metode pengumpulan Data


Pengumpulan data lamun dapat dilakukan dengan cara:
a. citra satelit (luas tutupan lamun dan penutupan lamun) dan langsung (jenis dan
penutupan)
b. Pengamatan secara langsung terhadap kerapatan lamun menggunakan transek
kuadrat berukuran 50 x 50 cm2 dan transek garis sepanjang 50-100 meter. Metode
pengukuran yang digunakan untuk mengetahui kondisi ekosistem lamun adalah
metode Transek dan Petak Contoh (Transec Plot).
c. Status lamun juga dapat dilihat dari Seagrass watch (www. seagrasswatch.org),
seagrass net (www.seagrassnet.org), dan hasil kajian lainnya (LIPI dan Perguruan
Tinggi/ LSM), dan dan dokumen lainnya yang relevan (Rencana Zonasi Pesisir
dan Pulau-pulau kecil)

4. Ekosistem Terumbu Karang


Terumbu karang adalah sekumpulan hewan karang yang bersimbiosis dengan
sejenis tumbuhan alga yang disebut zooxanhellae. Terumbu karang (coral reefs)
merupakan ekosistem yang terdapat di dasar laut tropis, dibangun oleh biota laut
penghasil kapur (CaCO3).
Terumbu karang memiliki berbagai fungsi penting baik secara ekologis
maupun ekonomis. Fungsi ekologis terumbu karang yaitu sebagai penyedia nutrien
bagi biota perairan, pelindung fisik, tempat pemijahan biota perairan, tempat bermain,
dan asuhan bagi berbagai biota. Selain itu, terumbu karang juga menghasilkan
berbagai produk yang mempunyai nilai ekonomi penting seperti berbagai jenis ikan
karang, udang karang, alga, teripang, dan kerang mutiara. Terumbu karang
memainkan peranan penting dalam perlindungan garis pantai dari abrasi gelombang,
terutama mengurangi dampak gelombang dan gelombang badai tropis.

Metode pengambilan Data


Pengambilan data mangrove dapat dilakukan dengan:
a. Survey : Transek (2 kali dalam setahun). Metode Transek garis (Line Intercept
transect/LIT) merupakan metode yang digunakan untuk mengestimasi penutupan
karang dan penutupan komunitas bentos yang hidup bersama karang. Metode ini
cukup praktis, cepat dan sangat sesuai untuk wilayah terumbu karang di daerah
tropis. Pengambilan data dilakukan pada umumnya di kedalaman 3 meter dan 10
meter.
b. Citra satelite dengan hiper spektral - minimal tiga tahun sekali dengan diikuti oleh
survey lapangan.
c. Status karang juga dapat dilihat dari hasil kajian LIPI, dan Perguruan Tinggi/
LSM (Terangi, dll), dan dokumen lainnya yang relevan (Rencana Zonasi Pesisir
dan Pulau-pulau kecil).

5. Habitat Khusus/ Unik


Habitat khusus/ unik merupakan suatu lingkungan/ habitat/ ekosistem yang
khas (selain mangrove, lamun dan karang) yang tidak (jarang) ditemukan di tempat
lain. Habitat khusus/ unik juga dapat diartikan sebagai habitat organisme tertentu
(endemik), langka dan terancam punah. Seperti P. Komodo di NTT. Habitat khusus
juga berupa bentuk tubir terumbu karang dengan kemiringan 90 derajat, rugousity,
seperti goa-goa, alur-alur , sebagai daerah habitat pemijahan (spawning ground) dan
pengasuhan, (nursery ground) dan mencari makan (feeding ground) selain mangrove,
lamun dan karang. Habitat khusus/ unik juga berupa daerah perairan laut yang
mengalami upwelling sehingga ketersediann nutrien pada musim tertentu menjadi
tinggi, seperti di Selat Bali, Laut Jawa, Selat Lombok, dll.

Metode pengambilan Data


Pengambilan data mangrove dapat dilakukan dengan:
a. Survey : daerah habitat pemijahan (spawning ground) dan pengasuhan, (nursery
ground) dan mencari makan (feeding ground) ikan ekonomis penting, lobster,
tuna, kerapu, udang, dll
b. Citra satelite terkait habitat khusus (luas, pola/bentuk, dll), diikuti oleh survey
lapangan.
c. Wawancara nelayan yang mengetahui keberadaan habitat khusus
d. Habitat khsusu dilihat dari hasil kajian LIPI, dan Perguruan Tinggi/ LSM
(Terangi, dll), dan dokumen lainnya yang relevan (Rencana Zonasi Pesisir dan
Pulau-pulau kecil).

6. Perubahan Iklim
Perubahan iklim merupakan berubahnya iklim dan cuaca akibat adanya
pemanasan global. saat ini perubahan iklim merupakan salah satu hal yang menjadi
sorotan utama dunia, yakni karena banyaknya dampak yang ditimbulkan oleh
terjadinya perubahan iklim tersebut dalam kehidupan termasuk dunia perikanan/
perairan. Dampak perubahan iklim bagi perikanan/ perairan antara lain:
a. Naiknya muka laut meneggelamkan kawasan pesisir & intrusi laut ke air tanah
b. Naiknya suhu perairan dapat mengganggu pola breeding ikan, sehingga
dapat berpengaruh pada perubahan stok
c. Peningkatan suhu permukaan laut juga berdampak pada pemutihan karang
(coral bleaching)
d. Perubahan suhu perairan dapat mempengaruhi metabolisme, dan tentu saja
laju pertumbuhan, produksi total, musim reproduksi, serta kepekaan
terhadap penyakit dan racun. Pada organisme tertentu (khusus ikan-ikan
endemik / tawar) dapat menyebabkan kepunahan >>> biodiversitas
berkurang
e. Perubahan iklim (terutama variasi suhu) akan berdampak lebih kuat terhadap
distribusi daerah tangkapan ikan di lautan.

Metode pengambilan Data


Pengambilan data mangrove dapat dilakukan dengan:
a. Survey: data skunder puluhan bahkan ratusan tahun (sea level rise)
b. Citra satelite naiknya suhu permukaan laut.
c. Perubahan iklim juga dapat dilihat dari hasil kajian LIPI, dan Perguruan
Tinggi/ LSM (Terangi, dll), dan dokumen lainnya yang relevan.

Berikut dibawah ini merupakan tabel untuk penilaian dari 6 parameter diatas
Indikator Kriteria
Limbah yang reidentivikasi secara klinis,
audio/visual
1 = tercemar
2 = tercemar sedang
3 = tidak tercemar

Tingkat kekeruhan
1 = > 20 mg/m3 konsentrasi tinggi
2 = 10 – 20 mg/m3 konsentrasi sedang
Kualitas perairan
3 = < 10 mg/m3 konsentrasi rendah

Eutrofikasi
1 = konsentrasi klorofil a > 10 mg/m3 terjadi
eutrofikasi. 2 = konsentrasi klorofil a 1 - 10 mg/m3
potensi terjadi eutrofikasi.
3 = konsentrasi klorofil a < 1 mg/m3tidak terjadi
eutrofikasi
1 = tutupan rendah, ≤ 29,9 %
2 = tutupan sedang, 30–49,9 %.
3 = tutupan tinggi ≥ 50 %

Status lamun 1 = keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1)
2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau
1<H’<3);
3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3)
1 = kerapatan rendah, <1000 pohon/ha, tutupan <50%;
2 = kerapatan sedang 1000-1500 pohon/ha, tutupan 50-
75%;
3 = kerapatan tinggi, >1500 pohon/ha, tutupan >75%

1 = keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1)


2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau
1<H’<3);
3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3)
Status Mangrove
Kriteria Luasan :
1= luasan mangrove berkurang dari data awal;
2= luasan mangrove tetap dari data awal;
3= luasan mangrove bertambah dari data awal

1 = INP rendah; 2 = INP sedang; 3 = INP tinggi;


Status
1 = tutupan rendah, < 25 %
2 = tutupan sedang, 25 – 49,9 %.
3 = tutupan tinggi > 50 %
Status Terumbu
Karang 1 = keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1)
2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau
1<H’<3);
3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3)
Habitat unik/khusus 1 = tidak diketahui adanya habitat unik/khusus;
(spawning ground, 2 = diketahui adanya habitat unik/khusus tapi tidak
nursery ground, feeding dikelola dengan baik;
ground, upwelling). 3 = diketahui adanya habitat unik/khusus dan dikelola
dengan baik
Perubahan iklim 1= belum adanya kajian tentang dampak perubahan
terhadap kondisi iklim;
perairan dan habitat 2= diketahui adanya dampak perubahan iklim tapi
tidak diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi;
3 = diketahui adanya dampak perubahan iklim dan
diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi
MATERI VI
PENGELOLAAN PERIKANAN BERBASIS EAFM DOMAIN TEKNIK
PENANGKAPAN

Aspek teknis penangkapan ikan telah dirumuskan 6 (enam) indikator


utama, yakni:
1. Metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau illegal.
2. Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan.
3. Fishing capacity dan effort.
4. Selektivitas penangkapan.
5. Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal.
6. Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan.
Dari 6 (enam) indikator tersebut yang menjadi killer indicator atau
indikator yang paling utama dengan nilai bobot kepentingan yang paling besar
(30%) adalah metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal.
Selanjutnya, berdasarkan besarnya nilai bobot kepentingan yang dimiliki secara
berurutan adalah: modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan
(nilai bobot 25%), fishing capacity dan effort (nilai bobot 15%), selektivitas alat
tangkap penangkapan (nilai bobot 15%), kesesuaian fungsi dan ukuran kapal
penangkapan ikan dengan dokumen legal (nilai bobot 10%), dan sertifikasi awak
kapal perikanan sesuai dengan peraturan (nilai bobot 5%)

1. Penangkapan Ikan yang Bersifat Dekstruktif


Penangkapan ikan yang bersifat destruktif adalah penggunaan alat dan
metode penangkapan yang merusak dan atau tidak sesuai peraturan yang berlaku.
Hal ini penting diperhatikan karena alat tangkap yang bersifat destruktif akan
merusak habitat ikan (terutama lamun dan karang). Penangkapan ikan yang
merusak dan atau ilegal merupakan ancaman yang paling besar bagi kelestarian
ekosistem pesisir dan laut di Indonesia, terutama ekosistem terumbu karang.
Tujuan penggunaan indikator ini adalah untuk mengidentifikasikan
praktek-praktek penangkapan ikan yang bersifat merusak dan atau tidak sesuai
dengan peraturan berlaku yang dapat membahayakan secara langsung kelestarian
sumber daya ikan beserta ekosistemnya di suatu wilayah perairan tertentu
Metode Pengumpulan Data Indikator
Data yang diperlukan untuk indikator metode penangkapan ikan yang
bersifat destruktif dan atau ilegal adalah jumlah kasus pelanggaran penangkapan
ikan yang merusak dan ilegal yang terjadi setiap tahun. Data dapat diperoleh dari
data sekunder (yakni: laporan instansi pengawas perikanan setempat dan/atau
dinas kelautan dan perikanan setempat) dan/atau data primer (yakni: laporan dari
nelayan atau masyarakat pesisir atau Lembaga Swadaya Masyarakat yang
diperkuat dengan bukti dan/atau pengamatan langsung di lapang pada saat survei).
Metode yang digunakan untuk pengumpulan data indikator ini adalah
dengan metode survei yang dilakukan melalui pendekatan purposive sampling.
Frekwensi survei untuk mendapatkan data indikator tersebut sebaiknya dilakukan
sebanyak 2 (dua) kali dalam setahun. Hal ini perlu dilakukan dengan
mempertimbangkan dinamika dari aktivitas penangkapan ikan dan siklus musim
penangkapan ikan.

Metode Analisis Data Indikator


Penentuan nilai parameter untuk indikator metode penangkapan ikan yang
bersifat destruktif dan atau ilegal, dilakukan dengan menggunakan pendekatan
skoring yang sederhana, yakni memakai skor Likert berbasis ordinal 1,2,3.
Penentuan nilai skor dilakukan dengan prinsip bahwa semakin tinggi jumlah
pelanggaran yang terjadi, maka nilai skor indikator ini diberi nilai rendah.
Nilai skor 1 diberikan untuk jumlah frekuensi pelanggaran lebih besar dari
(>) 10 kasus dalam satu tahun, sedangkan nilai skor 2 diberikan untuk jumlah
frekuensi pelanggaran antara 5 sampai 10 kasus dalam satu tahun, dan nilai skor 3
diberikan untuk jumlah frekuensi pelanggaran lebih kecil dari (<) 5 kasus dalam
satu tahun.
Kemudian, analisis data untuk penentuan nilai akhir dari keragaan
indikator metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal
tersebut, dilakukan dengan menggunakan pendekatan nilai indeks dengan tahapan
perhitungan sebagai berikut:
- Menentukan nilai skor indikator metode penangkapan ikan yang bersifat
destruktif dan atau ilegal berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan dengan
skor Likert berbasis ordinal 1,2,3 (1 = jumlah frekuensi pelanggaran > 10
kasus per tahun; 2 = jumlah frekuensi pelanggaran 5 - 10 kasus per tahun;
dan 3 = jumlah frekuensi pelanggaran < 5 kasus per tahun);
- Memberikan nilai bobot yang telah ditentukan untuk indikator metode
penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal, yakni sebesar
30%;
- Menghitung nilai indeks untuk indikator ini, dengan cara mengalikan nilai
skor dengan angka 100 dan nilai bobotnya: (Nilai Indeks = Nilai Skor *
100 * Nilai Bobot).

2. Modifikasi Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan


Modifikasi alat penangkapan didefinisikan sebagai penggunaan alat
tangkap dan alat bantu yang tidak sesuai dengan peraturan. Penyusunan ini
dilakukan untuk mengetahui dampak alat tangkap dan alat bantu penangkapan
terhadap kelestarian SDI. Alat tangkap yang dianggap mengancam merupakan
modifikasi dari alat tangkap yang secara jelas dilarang penggunaannya seperti
trawl.
Untuk mengetahui apakah di suatu perairan terdapat modifikasi alat
penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan yang mengancam kelestarian
sumber daya ikan, dilakukan dengan pendekatan tidak langsung, yakni
mencermati ukuran ikan target (target species) dari hasil tangkapan ikan yang
diperoleh oleh para nelayan setempat. Bila ukuran ikan target yang ditangkap
dalam setiap periode trip didominasi dengan ukuran panjang ikan saat pertama
kali matang gonad (length at first maturity/ Lm), maka dapat diperkirakan ada
modifikasi alat tangkap ikan dan/atau modifikasi alat bantu penangkapan yang
tidak sesuai dengan peraturan.
Tujuan penggunaan indikator ini adalah untuk mengidentifikasikan
dampak modifikasi alat tangkap dan alat bantu penangkapan yang tidak sesuai
dengan peraturan terhadap kelestarian sumber daya ikan di suatu wilayah perairan
tertentu

Metode Pengumpulan Data Indikator


Data yang diperlukan untuk indikator modifikasi alat penangkapan ikan
dan alat bantu penangkapan adalah data panjang ikan target saat pertama kali
matang gonad (length at first maturity atau Lm) dan data panjang ikan target yang
dominan tertangkap dalam satu trip operasi penangkapan ikan (Lc). Data dapat
diperoleh dari data sekunder (yakni: laporan hasil-hasil penelitian terkait dengan
length at first maturity) dan data primer (yakni: melakukan sampling pengukuran
langsung rata-rata panjang cagak ikan target yang dominan tertangkap dalam satu
kali trip operasi penangkapan ikan).
Metode yang digunakan untuk pengumpulan data indikator ini adalah
dengan metode desk study dan survei. Survei dilakukan untuk melakukan
pengukuran ikan target yang dominan tertangkap dan dilakukan dengan
pendekatan purposive sampling. Frekwensi survei untuk mendapatkan data
panjang ikan target yang dominan sebaiknya dilakukan sebanyak 4 (empat) kali
dalam setahun. Hal ini perlu dilakukan dengan mempertimbangkan musim
penangkapan ikan dan juga untuk memperoleh sebaran data ukuran ikan target
yang lebih akurat.

Metode Analisis Data Indikator


Penentuan nilai parameter untuk indikator modifikasi alat penangkapan
ikan dan alat bantu penangkapan, dilakukan dengan menggunakan pendekatan
skoring yang sederhana, yakni memakai skor Likert berbasis ordinal 1,2,3.
Penentuan nilai skor dilakukan dengan prinsip bahwa semakin rendah jumlah
persentase ikan target yang berukuran dibawah nilai Lm (length at first maturity) -
nya, maka nilai skor indikator ini diberi nilai tinggi.
Nilai skor 1 diberikan untuk jumlah prosentase lebih dari 50% ukuran ikan
target yang dihasilkan lebih kecil dari (<) Lm-nya, sedangkan nilai skor 2
diberikan untuk jumlah prosentase antara 25% sampai 50% ukuran ikan target
yang dihasilkan lebih kecil dari (<) Lm-nya, dan nilai skor 3 diberikan untuk
jumlah prosentase kurang dari 25% ukuran ikan target yang dihasilkan lebih kecil
dari (<) Lm-nya.
Kemudian, analisis data untuk penentuan nilai dari keragaan indikator
modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan tersebut, dilakukan
dengan menggunakan pendekatan nilai indeks dengan tahapan perhitungan
sebagai berikut:
- Menentukan nilai Lm (length at first maturity) dari beberapa jenis ikan
target atau target species yang dihasilkan dari wilayah perairan tertentu.
Nilai Lm dapat diperoleh dari laporan hasil-hasil penelitian atau dapat
merujuk website fishbase (http://fishbase.org/Topic/List.php?group=10);
- Menentukan nilai skor indikator modifikasi alat penangkapan ikan dan alat
bantu penangkapan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan dengan skor
Likert berbasis ordinal 1,2,3 (1 = lebih dari 50% ukuran target spesies (<)
Lm ; 2 = 25%-50% ukuran target spesies (<) Lm, dan 3 = kurang dari 25%
ukuran target spesies (<) Lm);
- Memberikan nilai bobot yang telah ditentukan untuk modifikasi alat
penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan, yakni sebesar 25%;
- Menghitung nilai indeks untuk indikator ini, dengan cara mengalikan nilai
skor dengan angka 100 dan nilai bobotnya: (Nilai Indeks = Nilai Skor *
100 * Nilai Bobot)
Nilai indeks dari indikator ini, nantinya akan dijumlahkan dengan nilai indeks
dari indikator lainnya dalam domain teknis penangkapan ikan menjadi suatu nilai
indeks komposit domain teknis penangkapan ikan.

3. Kapasitas Perikanan dan Upaya Penangkapan Ikan (Fishing Capacity and


Effort).
Istilah fishing capacity biasanya berkaitan dengan overcapacity dan
overfishing. Fishing capacity merupakan kemampuan unit kapal perikanan
(dengan segala aspeknya) untuk menangkap ikan. Kemampuan ini bergantung
pada volume stok sumberdaya ikan yang ditangkap (baik musiman maupun
tahunan) dan kemampuan alat tangkap itu sendiri.
Fishing capacity dapat didefinisikan dengan mengacu pada faktor input
penangkapan (yakni: kapal dan upaya) atau pada faktor output penangkapan
(yakni: potensi tangkapan). Satuan unit yang digunakan untuk fishing capacity
adalah ton/tahun. Sementara, effort atau upaya penangkapan ikan didefinisikan
sebagai jumlah waktu yang dihabiskan untuk menangkap ikan di wilayah perairan
tertentu. Satuan yg lebih cocok untuk mengukur effort adalah waktu yang benar-
benar dihabiskan untuk mengoperasikan alat penangkapan ikan atau lamanya
waktu alat penangkapan ikan beroperasi aktif di dalam air).
Tujuan penggunaan indikator ini adalah untuk mengetahui tingkat
intensitas penangkapan ikan dan perkiraan dampaknya terhadap kelestarian
sumber daya ikan di suatu wilayah perairan tertentu.

Metode Pengumpulan Data Indikator


Data yang diperlukan untuk indikator fishing capacity dan effort adalah
data jumlah kapal berdasarkan kelompok jenis alat penangkapan ikan dan
kelompok ukuran kapal yang ada, data jumlah trip untuk setiap kelompok jenis
alat penangkapan ikan dan kelompok ukuran kapal yang ada, dan data hasil
tangkapan maksimum dari setiap kelompok jenis alat penangkapan ikan dan
kelompok ukuran kapal yang ada. Data dapat diperoleh dari data sekunder (yakni:
laporan dinas kelautan dan perikanan setempat, statistik perikanan tangkap
setempat, dan log book penangkapan ikan dari nelayan setempat) dan data primer
(yakni: melakukan wawancara dengan nelayan untuk mendapatkan informasi
tentang jumlah tangkapan maksimum untuk kelompok jenis alat penangkapan
ikan dan kelompok ukuran kapal yang ada yang ada).
Metode yang digunakan untuk pengumpulan data indikator ini adalah
dengan metode survei. Survei untuk mendapatkan data atau informasi tentang
jumlah hasil tangkapan maksimum untuk setiap kelompok jenis alat penangkapan
ikan dan kelompok ukuran kapal yang ada, dilakukan dengan pendekatan
purposive sampling. Frekwensi survei untuk mendapatkan data atau informasi
tersebut sebaiknya dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dalam setahun. Hal ini perlu
dilakukan dengan mempertimbangkan musim penangkapan ikan dan juga untuk
memperoleh data atau informasi terkait fishing capacity dan effort yang lengkap

Metode Analisis Data Indikator


Penentuan nilai parameter untuk indikator fishing capacity dan effort
dilakukan dengan menggunakan pendekatan skoring yang sederhana, yakni
memakai skor Likert berbasis ordinal 1,2,3. Penentuan nilai skor dilakukan
dengan prinsip bahwa semakin tinggi nilai ratio (R) antara fishing capacity pada
tahun dasar (tahun sebelumnya) dibandingkan dengan fishing capacity pada tahun
terakhir, maka nilai skor indikator ini juga menjadi tinggi. Nilai skor 1 diberikan
untuk nilai ratio (R) lebih kecil dari (<) 1, sedangkan nilai skor 2 diberikan untuk
nilai ratio (R) sama dengan (=) 1, dan nilai skor 3 diberikan untuk nilai ratio (R)
lebih besar dari (<) 1.
Kemudian, analisis data untuk penentuan nilai dari keragaan indikator
modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan tersebut, dilakukan
dengan menggunakan pendekatan nilai indeks dengan tahapan perhitungan
sebagai berikut:
- Menentukan jumlah kapal untuk setiap kelompok jenis alat penangkapan
ikan dan kelompok ukuran yang ada (Vij)
- Menentukan jumlah effort (trip) untuk kelompok jenis alat penangkapan
ikan dan kelompok ukuran yang ada (Eij)
- Menentukan estimasi jumlah hasil tangkapan maksimum untuk setiap
kelompok jenis alat penangkapan ikan dan kelompok ukuran yang ada
(Cij)
- Menentukan estimasi fishing capacity (FC) dengan cara: menghitung
jumlah total dari perkalian antara jumlah kapal (unit) dengan hasil
tangkapan maksimum (ton/trip) dengan jumlah effort per tahun
(trip/tahun) pada setiap kelompok jenis alat penangkapan ikan dan
kelompok ukuran yang ada.

keterangan:
i = 1,2,…,m (kelompok jenis alat penangkapan ikan)
j = 1,2,…,n (kelompok ukuran kapal/perahu)
- Menentukan nilai skor indikator fishing capacity dan effort berdasarkan
kriteria yang telah ditetapkan dengan skor Likert berbasis ordinal 1,2,3 (1
= Nilai R < 1; 2 = Nilai R sama dengan 1; dan 3 = Nilai R< 1).

keterangan :
FCm = Fishing capacity tahun dasar
FCn = Fishing capacity tahun terakhir
- Memberikan nilai bobot yang telah ditentukan untuk fishing capacity dan
effort, yakni sebesar 15%
- Menghitung nilai indeks untuk indikator ini, dengan cara mengalikan nilai
skor dengan angka 100 dan nilai bobotnya:
(Nilai Indeks = Nilai Skor * 100 * Nilai Bobot)
Nilai indeks dari indikator ini, nantinya akan dijumlahkan dengan nilai
indeks dari indikator lainnya dalam domain teknis penangkapan ikan menjadi
suatu nilai indeks komposit domain teknis penangkapan ikan. Kemudian, nilai
indeks komposit ini akan dikategorikan menjadi 5 penggolongan kriteria dan
ditampilkan dengan menggunakan bentuk model bendera (flag model).

4. Selektivitas Penangkapan
Pembatasan alat tangkap berkaitan dengan selektivitas alat tangkap. Hal
ini terkait dengan spesifikasi jaring untuk menangkap ikan spesies tertentu atau
meloloskan ikan bukan tujuan tangkap (by catch) serta efek terhadap ekosistem.
Selektifitas alat tangkap terkait dengan ukuran mata jaring dan jumlah pancing
yang digunakan untuk menangkap ikan. Mata jaring yang kecil berpotensi
menangkap ikan-ikan yang berukuran kecil.
Tujuan penggunaan indikator ini adalah untuk mengestimasi tingkat
prosentase penggunaan alat tangkap yang tergolong tidak atau kurang selektif dan
perkiraan dampaknya terhadap kelestarian sumber daya ikan di suatu wilayah
perairan tertentu. Selektivitas penangkapan terkait dengan dengan 3 hal, yakni:
luasan wilayah penangkapan, lama waktu penangkapan dan keragaman hasil
tangkapannya.

Metode Pengumpulan Data Indikator


Data yang diperlukan untuk indikator selektivitas penangkapan adalah data
jumlah keseluruhan alat penangkapan ikan yang ada di suatu wilayah perairan
tertentu, dan data jumlah alat penangkapan ikan yang tergolong tidak atau kurang
selektif. Data dapat diperoleh dari data sekunder (yakni: laporan dinas kelautan
dan perikanan setempat dan/atau statistik perikanan tangkap setempat serta log
book penangkapan ikan dari nelayan setempat bila ada) dan data primer (yakni:
melakukan wawancara dengan nelayan untuk mengetahui komposisi jenis hasil
tangkapan ikan, daerah penangkapannya dan lama waktu pengoperasiannya).
Metode yang digunakan untuk pengumpulan data indikator ini adalah
dengan metode survei. Survei untuk mendapatkan data atau informasi tentang
komposisi jenis hasil tangkapan ikan, daerah penangkapannya dan lama waktu
aktivitas operasinya untuk setiap kelompok jenis alat penangkapan ikan,
dilakukan dengan pendekatan purposive sampling. Frekwensi survei untuk
mendapatkan data atau informasi tersebut sebaiknya dilakukan sebanyak 2 (dua)
kali dalam setahun. Hal ini perlu dilakukan dengan memperhatikan musim
penangkapan ikan dan juga untuk memperoleh data atau informasi terkait
selektivitas penangkapan yang lengkap.
Terkait dengan selektivitas penangkapan ini, jenis alat penangkapan ikan
yang ada dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) kelompok, yakni alat tangkap ikan
yang bersifat selektif dan alat tangkap ikan yang bersifat tidak atau kurang
selektif. Penentuan kategori ini dilakukan dengan melihat luasan daerah
penangkapan, lama waktu aktivitas penangkapan, dan keragaman hasil tangkapan
ikan.
Metode Analisis Data Indikator
Penentuan nilai parameter untuk indikator selektivitas penangkapan
dilakukan dengan menggunakan pendekatan skoring yang sederhana, yakni
memakai skor Likert berbasis ordinal 1,2,3. Penentuan nilai skor dilakukan
dengan prinsip bahwa semakin rendah nilai prosentase perbandingan antara
jumlah tangkap yang tergolong tidak atau kurang selektif terhadap jumlah total
alat tangkap yang ada, maka akan diberikan nilai skor indikator yang tinggi.
Nilai skor 1 diberikan untuk prosentase penggunaan alat tangkap yang
tidak atau kurang selektif lebih besar dari (>) 75%, sedangkan nilai skor 2 untuk
prosentase penggunaan alat tangkap yang tidak atau kurang selektif antara 50% -
75%, dan nilai skor 3 diberikan untuk prosentase penggunaan alat tangkap yang
tidak atau kurang selektif lebih kecil dari (<) 50%.
Kemudian, analisis data untuk penentuan nilai dari keragaan selektivitas
penangkapan ini, dilakukan dengan menggunakan pendekatan nilai indeks dengan
tahapan perhitungan sebagai berikut:
- Menentukan jumlah keseluruhan alat penangkapan ikan yang ada disuatu
perairan (T)
- Menentukan jumlah alat penangkapan ikan yang tergolong tidak atau
kurang selektif di perairan tersebut (S’)
- Menghitung prosentase penggunaan alat penangkapan ikan yang tergolong
tidak atau kurang selektif (PS’) dengan cara: membandingkan jumlah alat
penangkapan ikan yang tergolong tidak atau kurang selektif terhadap
jumlah total alat penangkapan ikan yang ada dikalikan dengan 100%.

- Menentukan nilai skor indikator selektivitas penangkapan berdasarkan


kriteria yang telah ditetapkan dengan skor Likert berbasis ordinal 1,2,3 (1
= Nilai PS’ > 75%; 2 = Nilai PS’ antara 50% - 75%; dan 3 = Nilai PS’ <
50 %.
- Memberikan nilai bobot yang telah ditentukan untuk selektivitas
penangkapan, yakni sebesar 15%
- Menghitung nilai indeks untuk indikator ini, dengan cara mengalikan nilai
skor dengan angka 100 dan nilai bobotnya:
(Nilai Indeks = Nilai Skor * 100 * Nilai Bobot)
Nilai indeks dari indikator ini, nantinya akan dijumlahkan dengan nilai
indeks dari indikator lainnya dalam domain teknis penangkapan ikan menjadi
suatu nilai indeks komposit domain teknis penangkapan ikan. Kemudian, nilai
indeks komposit ini akan dikategorikan menjadi 5 penggolongan kriteria dan
ditampilkan dengan menggunakan bentuk model bendera (flag model).

5. Kesesuaian Fungsi dan Ukuran Kapal Penangkapan Ikan Dengan


Dokumen Legal
Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen
legal didefinisikan sebagai perbandingan antara dokumen surat legal yang dimiliki
dengan aktivitas nyata dari fungsi dan dimensi ukuran kapal dalam melakukan
operasi penangkapan ikan. Pemilihan indikator ini dilakukan, karena bila antara
surat ijin yang dikeluarkan berbeda dengan aktivitas kenyataan yang ada, maka
hal ini dapat dikategorikan sebagai tindakan melanggar aturan atau illegal fishing,
dan secara tidak langsung tentunya akan berpotensi mengancam kelestarian
sumber daya ikan.
Tujuan penggunaan indikator ini adalah untuk mengestimasi tingkat
prosentase sampel dokumen legal yang sesuai dengan fakta dan perkiraan
dampaknya terhadap kelestarian sumber daya ikan di suatu wilayah perairan
tertentu.

Metode Pengumpulan Data Indikator


data yang diperlukan untuk indikator kesesuaian fungsi dan ukuran kapal
penangkapan ikan dengan dokumen legal adalah data jumlah sampel dokumen
legal kapal penangkapan ikan yang akan diperiksa di wilayah perairan tertentu,
dan data jumlah dokumen legal kapal penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan
fakta fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan yang diperiksa. Data dapat
diperoleh dari data sekunder (yakni: dari Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap
dan/atau dari Dinas Kelautan dan Perikanan setempat) dan data primer (yakni:
melakukan pemeriksaan sampel di lapang untuk mengetahui tingkat kesesuaian
kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legalnya).
Metode yang digunakan untuk pengumpulan data indikator ini adalah
dengan metode survei. Penentuan jumlah sampel ditentukan sebesar 5 unit kapal
atau 10% (pilih yang paling besar jumlahnya) dari populasi kapal penangkapan
ikan yang memiliki dokumen legal di suatu wilayah perairan. Kemudian
pemilihan sampelnya dilakukan dengan pendekatan purposive sampling. Survei
dilakukan untuk memeriksa tingkat kesesuaian fungsi dan ukuran kapal
penangkapan ikan dengan dokumen legalnya. Frekwensi survei untuk
mendapatkan data atau informasi tersebut cukup dilakukan 1 (satu) kali dalam
setahun. Hal ini mengingat dokumen legal sudah bersifat baku dan relatif tetap
untuk jangka waktu yang lama.

Metode Analisis Data Indikator


Penentuan nilai parameter untuk indikator kesesuaian fungsi dan ukuran
kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal, dilakukan dengan menggunakan
pendekatan skoring yang sederhana, yakni memakai skor Likert berbasis ordinal
1,2,3. Penentuan nilai skor dilakukan dengan prinsip bahwa semakin rendah
tingkat kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan terhadap dokumen
legalnya, maka nilai skor indikator ini diberi nilai rendah pula.
Nilai skor 1 diberikan untuk jumlah prosentase lebih dari (>) 50%
dokumen legal sampel tidak sesuai dengan fungsi dan ukuran kapal penangkapan
ikannya, sedangkan nilai skor 2 diberikan untuk jumlah prosentase antara 30%
sampai 50% dokumen legal sampel tidak sesuai dengan fungsi dan ukuran kapal
penangkapan ikannya, dan nilai skor 3 diberikan untuk jumlah prosentase kurang
dari (<) 30% dokumen legal sampel tidak sesuai dengan fungsi dan ukuran kapal
penangkapan ikannya.
Kemudian, analisis data untuk penentuan nilai dari keragaan indikator
kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan terhadap dokumen
legalnya, dilakukan dengan menggunakan pendekatan nilai indeks dengan tahapan
perhitungan sebagai berikut:
- Menentukan jumlah sampel dokumen legal yang akan diperiksa dengan
kondisi nyata di lapangan (n) sebesar 5 unit kapal atau 10% (pilih yang
paling besar jumlahnya) dari populasi kapal penangkapan ikan yang
memiliki dokumen legal di suatu wilayah perairan.
- Menentukan jumlah sampel dokumen legal dari kapal sampel yang tidak
sesuai dengan fakta fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan yang ada
(p).
- Menghitung prosentase jumlah sampel dokumen legal yang tidak sesuai
dengan fakta di lapangan (K), dengan cara: membandingkan antara jumlah
sampel dokumen legal yang sesuai dengan fakta terhadap jumlah total
dokumen legal yang dijadikan sampel dikalikan dengan 100%.

- Menentukan nilai skor indikator kesesuaian fungsi dan ukuran kapal


penangkapan ikan terhadap dokumen legal berdasarkan kriteria yang telah
ditetapkan dengan skor Likert berbasis ordinal 1,2,3 (1 = Nilai K > 50%; 2
= Nilai K antara 30% - 50%; dan 3 = Nilai K < 30%).
- Memberikan nilai bobot yang telah ditentukan untuk kesesuaian fungsi
dan ukuran kapal penangkapan ikan terhadap dokumen legalnya, yakni
sebesar 10%.
- Menghitung nilai indeks untuk indikator ini, dengan cara mengalikan nilai
skor dengan angka 100 dan nilai bobotnya:
(Nilai Indeks = Nilai Skor * 100 * Nilai Bobot)
Nilai indeks dari indikator ini, nantinya akan dijumlahkan dengan nilai
indeks dari indikator lainnya dalam domain teknis penangkapan ikan menjadi
suatu nilai indeks komposit domain teknis penangkapan ikan. Kemudian, nilai
indeks komposit ini akan dikategorikan menjadi 5 penggolongan kriteria dan
ditampilkan dengan menggunakan bentuk model bendera (flag model).

6. Sertifikasi Awak Kapal Perikanan Sesuai Dengan Peraturan


Sertifikasi ini didefinisikan sebagai pengembangan kualifikasi kecakapan
awak kapal perikanan. Sertifikasi awak kapal dilakukan dengan manfaat untuk
penerapan kegiatan penangkapan ikan yang bertanggung jawab oleh awak kapal
perikanan. Indikator ini didekati dengan mengukur tingkat kepemilikan awak
kapal terhadap sertifikat ANKAPIN dan ATKAPIN. Sertifikasi ini diatur dalam
Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 2000 tentang Kepelautan pasal 2-6 meliputi
sertifikat keahlian pelaut dan sertifikat keterampilan pelaut.
Tujuan penggunaan indikator ini adalah untuk mengestimasi tingkat
prosentase sampel kapal penangkapan ikan yang dioperasikan oleh awak kapal
yang bersertifikat sesuai dengan peraturan dan perkiraan penerapan kegiatan
penangkapan ikan yang bertanggung jawab di suatu wilayah perairan tertentu.

Metode Pengumpulan Data Indikator


Data yang diperlukan untuk indikator sertifikasi awak kapal perikanan
sesuai dengan peraturan adalah data jumlah sampel kapal penangkapan ikan yang
akan diperiksa di wilayah perairan tertentu, dan data jumlah sampel kapal
penangkapan ikan yang dioperasikan oleh awak kapal bersertifikat sesuai dengan
peraturan. Data dapat diperoleh dari data sekunder (yakni: dari Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap dan/atau dari Dinas Kelautan dan Perikanan setempat) dan
data primer (yakni: melakukan pemeriksaan sampel di lapang untuk mengetahui
jumlah kapal penangkapan ikan yang dioperasikan oleh awak kapal bersertifikat
sesuai dengan peraturan).
Metode yang digunakan untuk pengumpulan data indikator ini adalah
dengan metode survei. Penentuan jumlah sampel ditentukan sebesar 5 unit kapal
atau 10% (pilih yang paling besar jumlahnya) dari populasi kapal penangkapan
ikan di suatu wilayah perairan. Kemudian pemilihan sampelnya dilakukan dengan
pendekatan purposive sampling. Survei dilakukan untuk memeriksa jumlah kapal
penangkapan ikan yang dioperasikan oleh awak kapal bersertifikat sesuai dengan
peraturan. Frekwensi survei untuk mendapatkan data atau informasi tersebut
cukup dilakukan 1 (satu) kali dalam setahun.

Metode Analisis Data Indikator


Penentuan nilai parameter untuk indikator sertifikasi awak kapal perikanan
sesuai dengan peraturan, dilakukan dengan menggunakan pendekatan skoring
yang sederhana, yakni memakai skor Likert berbasis ordinal 1,2,3. Penentuan nilai
skor dilakukan dengan prinsip bahwa semakin rendah prosentase kapal
penangkapan ikan yang dioperasikan oleh awak kapal bersertifikat sesuai dengan
peraturan, maka nilai skor indikator ini diberi nilai rendah pula.
Nilai skor 1 diberikan untuk jumlah prosentase kurang dari (<) 50% kapal
penangkapan ikan sampel yang dioperasikan oleh awak kapal yang bersertifikat
sesuai dengan peraturan, sedangkan nilai skor 2 diberikan untuk jumlah
prosentase antara 50% sampai 75% kapal penangkapan ikan sampel yang
dioperasikan oleh awak kapal yang bersertifikat sesuai dengan peraturan, dan nilai
skor 3 diberikan untuk jumlah prosentase lebih dari (>) ) 75% kapal penangkapan
ikan sampel yang dioperasikan oleh awak kapal yang bersertifikat sesuai dengan
peraturan.
Kemudian, analisis data untuk penentuan nilai dari keragaan indikator
sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan, dilakukan dengan
menggunakan pendekatan nilai indeks dengan tahapan perhitungan sebagai
berikut:
- Menentukan jumlah total sampel kapal penangkapan ikan berukuran diatas
5 GT (berdasarkan UU No.45 yahun 2009) yang akan diperiksa sertifikasi
awak kapalnya (v) sebesar 5 unit kapal atau 10% (pilih yang paling besar
jumlahnya) dari populasi kapal penangkapan ikan di suatu wilayah
perairan.
- Menentukan jumlah kapal penangkapan ikan dari kapal sampel yang
dioperasikan oleh awak kapal yang bersertifikat sesuai dengan peraturan
(q).
- Menghitung prosentase jumlah sampel kapal penangkapan ikan yang
dioperasikan oleh awak kapal yang bersertifikat sesuai dengan peraturan
(A), dengan cara: membandingkan antara jumlah kapal penangkapan ikan
yang dioperasikan oleh awak kapal bersertifikat terhadap jumlah total
kapal penangkapan ikan yang dijadikan sampel dikalikan dengan 100%.

- Menentukan nilai skor indikator sertifikasi awak kapal perikanan sesuai


dengan peraturan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan dengan skor
Likert berbasis ordinal 1,2,3 (1 = Nilai A < 50%; 2 = Nilai A antara 50% -
75%; dan 3 = Nilai A > 75%).
- Memberikan nilai bobot yang telah ditentukan untuk sertifikasi awak kapal
perikanan sesuai dengan peraturan, yakni sebesar 5%.
- Menghitung nilai indeks untuk indikator ini, dengan cara mengalikan nilai
skor dengan angka 100 dan nilai bobotnya:
(Nilai Indeks = Nilai Skor * 100 * Nilai Bobot)
Nilai indeks dari indikator ini, nantinya akan dijumlahkan dengan nilai
indeks dari indikator lainnya dalam domain teknis penangkapan ikan menjadi
suatu nilai indeks komposit domain teknis penangkapan ikan. Kemudian, nilai
indeks komposit ini akan dikategorikan menjadi 5 penggolongan kriteria dan
ditampilkan dengan menggunakan bentuk model bendera (flag model).
Indikator Kriteria
Metode Penangkapan Ikan yang 1 = frekuensi pelanggaran > 10 kasus per tahun
Bersifat Destruktif dan atau Ilegal 2 = frekuensi pelanggaran 5-10 kasus per tahun
3 = frekuensi pelanggaran <5 kasus per tahun
Modifikasi Alat Penangkapan Ikan dan 1 = lebih dari 50% ukuran target spesies < Lm
Alat Bantu Penangkapan. 2 = 25-50% ukuran target spesies < Lm
3 = <25% ukuran target spesies < Lm
Fishing capacity dan Effort 1 = R kecil dari 1
2 = R sama dengan 1;
3 = R besar dari 1
Selektivitas Penangkapan 1 = rendah (> 75%) ;
2 = sedang (50-75%) ;
3 = tinggi (kurang dari 50%) penggunaan alat
tangkap yang tidak selektif)
Kesesuaian Fungsi dan Ukuran Kapal 1 = kesesuaiannya rendah (lebih dari 50% sampel
Penangkapan Ikan dengan Dokumen tidak sesuai dengan dokumen legal);
Legal 2 = kesesuaiannya sedang (30-50% sampel tdk
sesuai dgn dokumen legal);
3 = kesesuaiannya tinggi (kurang dari 30%) sampel
tidak sesuai dgn dokumen legal
Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai 1= Kepemilikan sertifikat <50%;
dengan peraturan. 2= Kepemilikan sertifikat 50-75%;
3 = Kepemilikan sertifikat >75%
MATERI VII
DOMAIN EKONOMI & SOSIAL

Pendahuluan
Materi Sosial-ekonomi merupakan salah satu domain dalam menganalisis dan mengevaluasi
performa pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem (EAFM). EAFM disusun dari
6 domain, yaitu
1) Domain Sumber Daya Ikan,
2) Domain Habitat dan Lingkungan,
3) Domain Teknik Penangkapan,
4) Domain Ekonomi,
5) Domain Sosial, dan
6) Domain Kelembagaan.
Keenam domain tersebut saling terkait (conectivity) dan dibutuhkan untuk menilai
keberhasilan pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem. Penilaian performa
EAFM merupakan agregat dari keenam domain tersebut. Materi ini penting bagi mahasiswa
untuk dapat menganalisa dan mengevaluasi performa pengelolaan perikanan (EAFM) pada
domain ekonomi dan social.

Domain Ekonomi
Dalam domain ekonomi yang telah disepakati berdasarkan workshop di Bogor, 22-25 April
2013 terdapat 3 indikator kunci, yakni:
(1) pendapatan rumah tangga perikanan (RTP) dengan bobot 30%, kemudian
(2) rasio tabungan dengan bobot 25%, dan
(3) kepemilikan aset dengan bobot 45%.

1. Pendapatan Rumah Tangga Perikanan


Pendapatan rumah tangga perikanan merupakan seluruh pendapatan yang diterima
rumah tangga nelayan, yang bersumber dari pendapatan kepala rumah tangga serta anggota
rumah tangga, baik yang berasal dari bidang perikanan maupun di luar bidang perikanan.
Ukuran pendapatan adalah rupiah/kepala keluarga/bulan. Indikator pendapatan rumah tangga
menggunakan upah minimum regional (UMR) sehingga bila pendapatan rumah tangga sama
dengan UMR maka rumah tangga perikanan tersebut dapat dikatakan tidak miskin.
Tujuannya untuk melihat ketergantungan rumah tangga terhadap sumberdaya
perikanan serta ketergantungan rumah tangga terhadap kepala keluarga. Bila sumber
pendapatan sebuah rumah tangga perikanan sebanyak sama atau lebih dari 75% berasal dari
perikanan maka rumah tangga tersebut dapat dikatakan sangat bergantung pada sumberdaya
perikanan. Demikian pula bila 75% sumber pendapatan dihasilkan dari usaha kepala rumah
tangga berarti rumah tangga tersebut sangat bergantung pada kepala rumah tangga.
Metode pengumpulan data
 Arahan frekuensi survey (atau penggunaan note/catatan yang ada di lapangan, mis:
pengumpul ikan) dan
 Pengumpulan data pendapatan RTP adalah menurut musim tangkapan ikan (data
primer/kuisioner)

Metode Analisis Data Indikator


Analisis nilai parameter dilakukan dengan perbandingan terhadap upah minimum regional
(UMR), kemudian menggunakan pendekatan skoring yang sederhana, yakni memakai skala
Likert berbasis ordinal 3. Penentuan nilai skor dilakukan dengan prinsip bahwa semakin
tinggi perbandingan pendapatan rumah tangga perikanan terhadap UMR, maka nilai skor
indikator ini diberi nilai besar.
Tahap perhitungan :
 Menentukan nilai skor indikator pendapatan rumah tangga perikanan berdasarkan
kriteria yang telah ditetapkan dengan skala Likert berbasis 3
 1 = pendapatan rumah tangga yang lebih kecil dari UMR;
 2 = pendapatan rumah tangga yang sama dengan UMR; dan
 3 = pendapatan rumah tangga yang lebih tinggi dari UMR
 Memberikan nilai bobot yang telah ditentukan untuk indikator pendapatan rumah
tangga perikanan, yakni sebesar 20%;
 Menghitung nilai indeks untuk indikator ini, dengan cara mengalikan nilai skor
dengan angka 100 dan nilai bobotnya (Nilai Indeks = Nilai Skor x 100 x Nilai
Bobot).
Nilai indeks terendah berarti 20 (1 x 100 x 20%) dan nilai indeks tertinggi berarti 60
(3 x 100 x 20%).

2. Rasio Tabungan (Saving Ratio)


Rasio tabungan atau saving ratio (SR) merupakan rasio perbandingan antara selisih
pendapatan dan pengeluaran rumah tangga nelayan dengan pendapatannya. Pendapatan
rumah tangga nelayan yaitu seluruh pendapatan yang diterima rumah tangga nelayan, yang
bersumber dari pendapatan kepala rumah tangga serta anggota rumah tangga, baik yang
berasal dari bidang perikanan maupun di luar bidang perikanan. Demikian pula pengeluaran
rumah tangga merupakan seluruh pengeluaran rumah tangga, yang terdiri dari pengeluaran
pangan dan pengeluaran non pangan
Tujuannya untuk melihat potensi rumah tangga nelayan dalam menyimpan kelebihan
pendapatannya. SR merupakan persentase perbandingan antara pendapatan rumah tangga
perikanan dan pengeluarannya dengan pendapatannya. Bila SR positif maka terdapat potensi
tabungan, demikian pula sebaliknya jika SR negatih maka terdapat potensi hutang. Nilai ini
dapat dimodifikasi lebih lanjut dengan membandingkan SR yang positif terhadap tingkat
bunga, yaitu jika SR lebih besar dari tingkat bunga maka tingkat kesejahteraan nelayan
tergolong baik, begitu pula sebaliknya.

Metode Pengumpulan Data Indikator


Data berasal dari wawancara dengan responden rumah tangga perikanan.
Pewawancara dapat menanyakan langsung kepada kepala rumah tangga perikanan tentang
selisih pendapatan dan pengeluaran keluarganya, kemudian dibandingkan dengan hasil
wawancara indikator pertama (pendapatan rumah tangga perikanan). Pertanyaan tentang
selisih pendapatan dan pengeluaran rumah tangga nelayan dapat dilakukan secara langsung
per satuan waktu (misalnya hari, mingu, bulan, musim atau tahun) atau dengan pendekatan
dari indikator pertama dan kedua.
Metode Analisis Data Indikator
Analisis nilai parameter untuk indikator Saving Rate (SR), dilakukan dengan selisih
pendapatan dan pengeluaran kemudian dibandingkan terhadap pendaptan. Selanjutnya
digunakan pendekatan skoring yang sederhana. Pada indikator SR ini, pengeluaran dipisah
menjadi pengeluaran pangan dan non pangan, yang dimasukkan sebagai catatan dalam
metode analisis karena pengeluaran pangan yang lebih besar dari 60% cenderung rendah
kesejahteraannya.
 Skor 1 diberikan untuk SR lebih kecil atau sama dengan tingkat bunga,
 Skor 2 diberikan untuk SR lebih besar sampai sama dengan dua kali tingkat bunga,
 Skor 3 diberikan untuk SR lebih besar dari dua kali sampai sama dengan tiga kali
tingkat bunga
Kemudian, analisis data untuk penentuan nilai akhir dari keragaan indikator SR, dilakukan
dengan menggunakan pendekatan nilai indeks dengan tahapan perhitungan sebagai berikut:
 Menentukan nilai skor indikator pendapatan rumah tangga perikanan berdasarkan
kriteria yang telah ditetapkan.
 Memberikan nilai bobot yang telah ditentukan untuk indikator pendapatan rumah
tangga perikanan, yakni sebesar 15%;
 Menghitung nilai indeks untuk indikator ini, dengan cara mengalikan nilai skor
dengan angka 100 dan nilai bobotnya (Nilai Indeks = Nilai Skor x 100 x Nilai
Bobot).
Nilai indeks dari indikator ini, nantinya akan dijumlahkan dengan nilai indeks dari indikator
lainnya dalam domain ekonomi menjadi suatu nilai indeks komposit domain ekonomi.

3. Kepemilikan Aset
Kepemilikan aset merupakan perbandingan antara jumlah aset produktif yang
dimiliki rumah tangga perikanan saat ini dengan tahun sebelumnya. Bila aset produktif dari
rumah tangga nelayan bertambah maka diberi nilai tinggi dan sebaliknya. Aset produkstif
merupakan aset rumah tangga yang digunakan untuk kegiatan penangkapan ikan, budidaya
ikan, pengolahan ikan, atau perdagangan ikan, bahkan kegiatan ekonomi lainnya seperti
pertanian. Bertujuan untuk melihat kemampuan rumah tangga nelayan dalam meningkatkan
usaha ekonominya.
Metode Analisis Data Indikator
Data berasal dari wawancara terkait kepemilikan aset produktif saat ini kemudian
dibandingkan dengan kepemilikan aset produktif tahun sebelumnya. Kepemilikan aset tidak
hanya terbatas pada aset produktif perikanan, tetapi juga aset produkstif lainnya, misalnya
lahan pertanian.
Metode Analisis Data Indikator
Analisis nilai parameter untuk indikator kepemilikan aset, dilakukan dengan
perbandingan antara jumlah aset produktif yang dimiliki rumah tangga perikanan saat ini
dengan tahun sebelumnya, kemudian menggunakan pendekatan skoring yang sederhana.
Tahapan perhitungan sebagai berikut:
 Menentukan nilai skor indikator pendapatan rumah tangga perikanan
 Skor 1 untuk aset produktif berkurang,
 Skor 2 diberikan untuk aset produktif tetap,
 Skor 3 diberikan untuk aset produktif bertambah.
 Memberikan nilai bobot yang telah ditentukan untuk indikator pendapatan rumah
tangga perikanan, yakni sebesar 35%;
 Menghitung nilai indeks untuk indikator ini, dengan cara mengalikan nilai skor
dengan angka 100 dan nilai bobotnya (Nilai Indeks = Nilai Skor x 100 x Nilai
Bobot). Nilai indeks terendah berarti 35 (1 x 100 x 35%) dan nilai indeks tertinggi
berarti 105 (3 x 100 x 35%).
Nilai indeks dari indikator ini, nantinya akan dijumlahkan dengan nilai indeks dari indikator
lainnya dalam domain ekonomi menjadi suatu nilai indeks komposit domain ekonomi.
Kemudian, nilai indeks komposit ini akan dikategorikan menjadi 5 penggolongan kriteria
dan ditampilkan dengan menggunakan bentuk model bendera (flag model).
Domain Sosial
Salah satu domain penting dalam EAFM adalah domain sosial. Seperti yang telah
umum diketahui, salah satu tujuan pengelolaan perikanan adalah tujuan sosial yaitu
bagaimana perikanan dapat menjamin kesejahteraan sosial masyarakat perikanan seperti
minimnya konflik, tingginya partisipasi publik dan lain sebagainya. Parameter kunci dari
domain sosial dalam EAFM disajikan berikut ini.

1. Partisipasi Pemangku Kepentingan


Partisipasi pemangku kepentingan merupakan frekuensi keiikut sertaan pemangku
kepentingan dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan. Jumlah kegiatan pengelolaan
sumberdaya ikan yang diikuti oleh pemangku kepentingan dihitung kemudian dibandingkan
dengan seluruh kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan yang pernah dilakukan di lokasi yang
diteliti. Bertujuan untuk melihat keaktifan pemangku kepentingan dalam seluruh kegiatan
pengelolaan sumberdaya ikan. Tingkat keaktifan pemangku kepentingan sangat menentukan
keberhasilan kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan. Oleh karena itu, semakin aktif
pemangku kepentingan dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan, semakin tinggi tingkat
keberhasilan pengelolaan sumberdaya ikan.
Metode Pengumpulan Data Indikator
Data wawancara dengan responden pemangku kepentingan (rumah tangga perikanan,
pedagang ikan, pengolah ikan, pegawai dinas perikanan, LSM, kepala desa, tokoh
masyarakat). Pewawancara dapat menanyakan langsung kepada kepala rumah tangga
perikanan tentang frekuensi keikut sertaan pemangku kepentingan dalam kegiatan
pengelolaan sumberdaya ikan kemudian dibandingkan dengan jumlah seluruh kegiatan
pengelolaan sumberdaya ikan (bulanan, tahunan) yang dilakukan di lokasi penelitian.
Metode Analisis Data Indikator
Analisis nilai parameter untuk partisipasi pemangku kepentingan, dilakukan dengan
mengukur frekuensi keiikut sertaan pemangku kepentingan dalam kegiatan pengelolaan
sumberdaya ikan kemudian menggunakan pendekatan skoring
Tahapan perhitungan sebagai berikut:
o Menentukan nilai skor indikator
 Skor 1 untuk frekuensi yang rendah < 50%,
 Skor 2 untuk frekuensi sedang 50 – 75%, dan
 Skor 3 untuk frekuensi tinggi > 75%,
o Memberikan nilai bobot yang telah ditentukan untuk indikator pendapatan rumah
tangga perikanan, yakni sebesar 40%;
o Menghitung nilai indeks untuk indikator ini, dengan cara mengalikan nilai skor
dengan angka 100 dan nilai bobotnya (Nilai Indeks = Nilai Skor x 100 x Nilai Bobot).
Nilai indeks terendah berarti 40 (1 x 100 x 40%) dan nilai indeks tertinggi berarti 120
(3 x 100 x 40%).
Nilai indeks dari indikator ini, nantinya akan dijumlahkan dengan nilai indeks dari indikator
lainnya dalam domain sosial menjadi suatu nilai indeks komposit domain sosial.

2. Konflik Perikanan
Konflik perikanan merupakan pertentangan yang terjadi antar nelayan akibat
perebutan fishing ground (resources conflict) dan benturan alat tangkap (fishing gear
conflict). Konflik perikanan juga dapat terjadi akibat pertentangan kebijakan (policy conflict)
pada kawasan yang sama atau pertentangan kegiatan antar sektor. Konflik diukur dengan
frekuensi terjadinya konflik sebagai unit indikator.
Bertujuan untuk melihat potensi kontra prduktif dan tumpang tindih pengelolaan yang
berakibat pada kegagalan implementasi kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan. Semakin
tinggi frekuensi konflik perikanan, semakin sulit pengelolaan sumberdaya perikanan.
Demikian pula sebaliknya, semakin rendah frekuensi terjadinya konflik diharapkan semakin
mudah implementasi pengelolaan sumberdaya perikanan.
Metode Pengumpulan Data Indikator
Data wawancara terkait frekuensi terjadinya konflik pemanfaatan sumberdaya ikan.
Wawancara untuk memperoleh informasi dari responden dilakukan setelah penentuan
responden terpilih dari hasil samplimg. Ciri dari wawancara langsung adalah:
• Pewawancara dan responden tidak saling mengenal,
• Pewawancara bertanya, responden menjawab,
• Pewawancara bersifat netral, tidak mengarahkan responden,
• Pertanyaan yang diajukan mengikuti panduan atau kuesioner.

Metode Analisis Data Indikator


Analisis nilai parameter untuk konflik kepentingan, dilakukan dengan mengukur
frekuensi terjadinya konflik dalam pemanfaatan sumberdaya ikan kemudian menggunakan
pendekatan skoring
Tahapan perhitungan sebagai berikut:
Menentukan nilai skor indikator 3 untuk
 Skor 1 kali kejadian,
 Skor 2 untuk 2 – 3 kali kejadian, dan
 Skor 3 untuk > 3 kali kejadian konflik perikanan,
Memberikan nilai bobot yang telah ditentukan untuk indikator konflik perikanan yakni
sebesar 35%;
Menghitung nilai indeks untuk indikator ini, dengan cara mengalikan nilai skor dengan
angka 100 dan nilai bobotnya (Nilai Indeks = Nilai Skor x 100 x Nilai Bobot). Nilai
indeks terendah berarti 35 (1 x 100 x 35%) dan nilai indeks tertinggi berarti 105 (3 x 100
x 35%).

3. Pemanfaatan Pengetahuan Lokal Dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan


Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan merupakan
ukuran dari keberadaan serta keefektifan pengetahuan lokal dalam kegiatan pengelolaan
sumberdaya ikan. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya sangat penting,
karena mereka juga mempunyai pengetahuan ekologi local (LEK = local ecological
knowlegde) yang berperan dalam usaha pengelolaan sumberdaya alam.
Bertujuan untuk melihat keberadaan dan keefektifan penerapan pengetahuan lokal
dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan. Tingkat keefektifan penerapan pengetahuan
lokal sangat menentukan keberhasilan kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan. Oleh karena
itu, semakin efektif penerapan pengetahuan lokal dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya
ikan, semakin tinggi tingkat keberhasilan pengelolaan sumberdaya ikan.
Metode Pengumpulan Data Indikator
Pewawancara dapat menanyakan langsung tentang keberadaan dan keefektifan
penerapan pengetahuan lokal dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan kemudian
dibandingkan dengan hasil observasi lapang mengenai keefektifan penerapan pengetahuan
lokal dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan (bulanan, tahunan) yang dilakukan di
lokasi penelitian.
Metode Analisis Data Indikator
Analisis nilai parameter untuk pemanfaatan pengetahuan lokal, dilakukan dengan
mengukur frekuensi hasil wawancara mengenai keberadaan dan keefektifan pengetahuan
lokal dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan kemudian menggunakan pendekatan
skoring
Tahapan perhitungan sebagai berikut:
Menentukan nilai skor
 Skor 1 untuk ketiadaan pengetahuan lokal,
 Skor 2 untuk ketidak efektifan penerapan pengetahuan lokal, dan
 Skor 3 untuk penerapan pengetahuan lokal yang efektif,
Memberikan nilai bobot yang telah ditentukan untuk indikator pengetahuan lokal
dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan, yakni sebesar 25%;
Menghitung nilai indeks untuk indikator ini, dengan cara mengalikan nilai skor
dengan angka 100 dan nilai bobotnya (Nilai Indeks = Nilai Skor x 100 x Nilai Bobot).
Nilai indeks terendah berarti 25 (1 x 100 x 25%) dan nilai indeks tertinggi berarti 75
(3 x 100 x 25%).
Nilai indeks dari indikator ini, nantinya akan dijumlahkan dengan nilai indeks dari indikator
lainnya dalam domain sosial menjadi suatu nilai indeks komposit domain sosial.
MATERI VIII

PENGELOLAAN PERIKANAN BERBASIS EAFM


DOMAIN KELEMBAGAAN

Latar Belakang
RPP memuat penataan kelembagaan (institutional arrangement), dengan
maksud agar RPP dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya. Prinsip yang dianut
dalam penataan kelembagaan yaitu:
1) Kejelasan kewenangan wilayah pengelolaan;
2) keterlibatan pelaku (stakeholders);
3) struktur yang efisien dengan jenjang pengawasan yang efektif;
4) adanya kelengkapan perangkat yang mengatur sistem;
5) adopsi tata kelola yang dilakukan secara profesional, transparan, dapat
dipertanggungjawabkan dan adil;
6) perwujudan sistem yang mampu mengakomodasikan dan memfasilitasi
norma dan lembaga setempat; dan
7) pengelolaan dilakukan secara legal dan taat hukum

1. Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab


dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal
maupun non formal
Tingkat kepatuhan (compliance) seluruh pemangku kepentingan WPP
terhadap aturan main baik formal maupun tidak formal. Mengetahui tingkat
partisipasi, rasa memiliki dan kepedulian dalam pengelolaan perikanan.

Metode pengumpulan data Monitoring ketaatan:


 Laporan/catatan terhadap pelanggaran formal dari pengawas,
 Wawancara/kuisioner (key person) terhadap pelanggaran non formal
termasuk ketaaatan terhadap peraturan sendiri maupun peraturan
diatasnya
 Perlu tambahan informasi mengenai kualitas kasus dengan contohnya
Kriteria dan perhitungan Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang
bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik
secara formal maupun non-formal
pada domain kelembagaan memiliki bobot 25 (%) dengan nilai densitas
31. Densitas merupakan jumlah parameter lain yang memiliki hubungan logis
dengan Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab
dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun
non-formal
Kriteria Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab
dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun
non-formal pada domain kelembagaan (Formal) adalah (Skor) (Adrianto et al.
2014):
 Bernilai 1, jika lebih dari 5 kali terjadi pelanggaran hukum dalam pengelolaan
perikanan
 Bernilai 2, jika 2-4 kali terjadi pelanggaran hukum ;
 Bernilai 3, jika kurang dari 2 kali pelanggaran hukum
Kriteria Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab
dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun
non-formal pada domain kelembagaan (Non formal) adalah (Skor):
 Bernilai 1, jika lebih dari 5 informasi pelanggaran
 Bernilai 2, jika lebih dari 3 informasi pelanggaran;
 Bernilai 3, jika tidak ada informasi pelanggaran

2. Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan


Kelembagaan merupakan satu konsepsi yang kompleks yang mengkaitkan
antar elemen-elemen secara komprehensif. Sebagai sebuah konsepsi, kelembagaan
menggambarkan adanya interaksi antar individu dalam mencapai tujuan bersama
serta usaha-usaha untuk menjamin bahwa harapan-harapan atau kepentingan
mereka tetap terpenuhi. Jadi ada usaha kolaboratif menggabungkan beberapa
kepentingan serta representasi dari nilai-nilai yang disepakati antar anggotanya.
Sehingga secara sederhana, kelembagaan dapat berupa organisasi atau wadah
(players of the game) dan aturan main (rules of the game) yang mengatur
kelangsungan organisasi maupun kerjasama antara anggotanya untuk mencapai
tujuan bersama (Taryono 2009). Dengan demikian dalam penilaian EAFM
kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan menjadi sangat penting,
terutama berhubungan dengan:
1. Sejauh mana kelengkapan regulasi dalam pengelolaan perikanan
2. Ada atau tidak penegakan aturan main dan efektivitasnya.

Metode pengumpulan data


1) Benchmark sesuai dengan Peraturan nasional, pemda seharusnya juga membuat
peraturan turunannya (poin 1)
2) membandingkan situasi sekarang dengan yang sebelumnya (poin 1)
3) replikasi kearifan lokal (poin 1)
4) ketersediaan alat pengawasan, orang (poin 2)
5) bentuk dan intensitas penindakan (teguran, hukuman) (poin 2)

Kriteria dan perhitungan


Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan pada domain
kelembagaan memiliki bobot 26 (%) dengan nilai densitas 31. Densitas
merupakan jumlah parameter lain yang memiliki hubungan logis dengan
Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan
Kriteria Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan pada domain
kelembagaan adalah (Skor) (Poin 1) (Adrianto et al. 2014):
 Bernilai 1, jika tidak ada;
 Bernilai 2, jika ada tapi tidak lengkap;
 Bernilai 3, jika ada dan lengkap
Kriteria Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan pada domain
kelembagaan adalah (Skor) (Poin 1):
 Bernilai 1, jika tidak ada;
 Bernilai 2, jika ada tapi tidak lengkap;
 Bernilai 3, jika ada dan jumlahnya bertambah
Kriteria Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan pada domain
kelembagaan adalah (Skor) (Poin 2):
 Bernilai 1, jika tidak ada penegakan aturan main;
 Bernilai 2, jika ada penegakan aturan main namun tidak efektif;
 Bernilai 3, jika ada penegakan aturan main dan efektif
Kriteria Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan pada domain
kelembagaan adalah (Skor) (Poin 2):
 Bernilai 1, jika tidak ada alat dan orang;
 Bernilai 2, jika ada alat dan orang tapi tidak ada tindakan;
 Bernilai 3, jika ada alat dan orang serta ada tindakan
Kriteria Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan pada domain
kelembagaan adalah (Skor) (Poin 2):
 Bernilai 1, jika tidak ada teguran maupun hukuman;
 Bernilai 2, jika ada teguran atau hukuman;
 Bernilai 3, jika ada teguran dan hukuman

3. Mekanisme pengambilan keputusan


Ada atau tidaknya mekanisme pengambilan keputusan (SOP) dalam
pengelolaan perikanan

Metode Pengumpulan
 Survey dilakukan dengan : analisis dokumen antar lembaga dan analisis
stakeholder melalui wawancara/kuisioner

Kriteria dan perhitungan


Mekanisme pengambilan keputusan pada domain kelembagaan memiliki
bobot 18 (%) dengan nilai densitas 12. Densitas merupakan jumlah parameter lain
yang memiliki hubungan logis dengan Mekanisme pengambilan keputusan

Kriteria Mekanisme pengambilan keputusan pada domain kelembagaan adalah


(Skor) (Adrianto et al. 2014):
 Bernilai 1, jika tidak ada mekanisme pengambilan keputusan;
 Bernilai 2, jika ada mekanisme tapi tidak berjalan efektif;
 Bernilai 3, jika ada mekanisme dan berjalan efektif
Kriteria Mekanisme pengambilan keputusan pada domain kelembagaan adalah
(Skor):
 Bernilai 1, jika ada keputusan tapi tidak dijalankan;
 Bernilai 2, jika ada keputusan tidak sepenuhnya dijalankan;
 Bernilai 3, jika ada keputusan dijalankan sepenuhnya

4. Rencana pengelolaan perikanan


Ada atau tidaknya RPP untuk wilayah pengelolaan perikanan yang akan di
evaluasi. Rencana Pengelolaan Perikanan, yang selanjutnya disingkat RPP adalah
dokumen resmi yang memuat analisis situasi perikanan dan rencana strategis,
yang merupakan kesepakatan antara Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah
Daerah dengan para pemangku kepentingan lainnya, sebagai arah dan pedoman
dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya ikan di bidang penangkapan ikan
untuk Perairan laut maupun perairan Darat. Pedoman Penyusunan RPP di bidang
penangkapan ikan disusun dengan tujuan mencapai manfaat yang optimal,
berkelanjutan, dan menjamin kelestarian sumber daya ikan (Per Men KP 29/2012
dan 2016).

Metode pengumpulan data


Survey dilakukan dengan wawancara/kuisioner:
 Adakah atau tidak RPP disuatu daerah
 Dilaksanakan atau tidak RPP yang telah dibuat

Kriteria dan perhitungan


Rencana pengelolaan perikanan pada domain kelembagaan memiliki bobot
15 (%) dengan nilai densitas 30. Densitas merupakan jumlah parameter lain yang
memiliki hubungan logis dengan Rencana pengelolaan perikanan.
Kriteria Rencana pengelolaan perikanan pada domain kelembagaan adalah (Skor)
(Adrianto et al. 2014):
 Bernilai 1, jika belum ada RPP;
 Bernilai 2, jika ada RPP namun belum sepenuhnya dijalankan;
 Bernilai 3, jika ada RPP dan telah dijalankan sepenuhnya

5. Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan


1) Semakin tinggi tingkat sinergi antar lembaga (span of control nya rendah)
maka tingkat efektivitas pengelolaan perikanan akan semakin baik
Survey dilakukan dengan : analisis dokumen antar lembaga dan analisis
stakeholder melalui wawancara/kuisioner
2) Semakin tinggi tingkat sinergi antar kebijakan maka tingkat efektivitas
pengelolaan perikanan akan semakin baik
Survey dilakukan dengan : analisis dokumen antar lembaga dan analisis
stakeholder melalui wawancara/kuisioner

Kriteria dan perhitungan


Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan
pada domain kelembagaan memiliki bobot 11 (%) dengan nilai densitas 18.
Densitas merupakan jumlah parameter lain yang memiliki hubungan logis dengan
Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan
Kriteria Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan
pada domain kelembagaan adalah (Skor) (Adrianto et al. 2014):
 Bernilai 1, jika konflik antar lembaga (kebijakan antar lembaga berbeda
kepentingan);  Bernilai 2, jika komunikasi antar lembaga tidak efektif;
 Bernilai 3, jika sinergi antar lembaga berjalan baik
Kriteria Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan
pada domain kelembagaan adalah (Skor):
 Bernilai 1, jika tidak ada kebijakan;
 Bernilai 2, jika kebijakan tidak saling mendukung ;
 Bernilai 3, jika kebijakan saling mendukung

6. Kapasitas pemangku kepentingan


Seberapa besar frekuensi peningkatan kapasitas pemangku kepentingan
dalam pengelolaan perikanan berbasis ekosistem
Metode pengumpulan data
Survey dilakukan dengan wawancara/kuisioner terhadap:
1) Ada atau tidak, berapa kali
2) Materi

Kriteria dan perhitungan


Kapasitas pemangku kepentingan pada domain kelembagaa memiliki
bobot 5 (%) dengan nilai densitas 31. Densitas merupakan jumlah parameter lain
yang memiliki hubungan logis dengan kelembagaan
Kriteria Kapasitas pemangku kepentingan pada domain kelembagaan adalah
(Skor) (Adrianto et al. 2014):
 Bernilai 1, jika tidak ada peningkatan;
 Bernilai 2, jika ada tapi tidak difungsikan (keahlian yang didapat tidak sesuai
dengan fungsi pekerjaannya);
 Bernilai 3, jika ada dan difungsikan (keahlian yang didapat sesuai dengan
fungsi pekerjaannya

Domain kelembagaan terdiri dari 6 parameter yaitu:


1) Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam
pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-
formal
2) Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan
3) Mekanisme pengambilan keputusan
4) Rencana pengelolaan perikanan
5) Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan
6) Kapasitas pemangku kepentingan
Masing-masing parameter memiliki kriteria tersendiri untuk menentukan
nilai skor (nilai 1-3) (Adrianto et al. 2014).
Nilai parameter = nilai skor x bobot x densitas
Nilai akhir Domain Kelembagaan = ∑nilai masing-masing parameter
Unsur pembentuk struktur kelembagaan pengelolaan WPPNRI terdiri atas
beberapa unsur, yang merupakan pelaku (stakeholder) perikanan, yaitu meliputi
kelompok
(1) pengusaha atau industri (bussiness),
(2) pemerintah (goverment),
(3) akademisi/peneliti (academic),
(4) pemodal (financing), dan
(5) masyarakat (community).
Fungsi Kelembagaan pengelolaan Perikanan WPPNRI adalah:
a. Unit Pelaksana Pengelolaan Perikanan (Fisheries Management Implementation
Unit/FMIU) Mandat diberikan oleh Pejabat Terkkait. Secara nasional mandat
diberikan oleh Direktur Jenderal Perikanan Tangkap sebagai Pejabat yang
memiliki otoritas untuk melakukan pengelolaan perikanan nasional. Pemberian
mandat ini dilakukan seijin Menteri Kelautan dan Perikanan RI. Unit
Pengelolaan Perikanan ini bekerja untuk menyusun program dan kegiatan
kerja, pengusulan anggaran, pengelolaan kegiatan, pemantauan dan evaluasi,
penyelesaian permasalahan, dan penyampaian informasi terkait perikanan.
b. Komite Teknis (Technical Committee) Komite Teknis memiliki fungsi utama
untuk melakukan evaluasi, mengorganisir isu-isu atau permasalahan, dan
membuat laporan tahunan perikanan. Komisi Teknis diharuskan untuk dapat
menghasilkan rekomendasi riset dan data yang diperlukan bagi penelitian dan
evaluasi alternatif-alternatif kebijakan pengelolaan perikanan
c. Komite Ilmiah (Scientific Committee) Komite Ilmiah memiliki fungsi utama
untuk menindaklanjuti rekomendasi riset dan data yang diperlukan bagi
penelitian dan evaluasi alternatif-alternatif kebijakan pengelolaan perikanan
yang diberikan oleh Komisi Teknis
d. Komite Kepatuhan (Compliance Committee) Komite Kepatuhan berperan untuk
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tindakan manajemen yang telah
direkomendasikan untuk dilaksanakan dalam RPP. Komite Kepatuhan akan
berkoordinasi dengan UPT Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya
Kelautan dan Perikanan
e. Forum Koordinasi Pengelolaan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan (FKPPS)
FKPPS merupakan forum komunikasi dan konsultasi dalam rangka
pengelolaan perikanan
f. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan (Komnas Kajiskan)
Komnas Kajiskan berperan untuk memberikan masukan dan/atau rekomendasi
melalui penghimpunan dan penelaahan hasil penelitian/pengkajian mengenai
sumber daya ikan dari berbagai sumber termasuk bukti ilmiah yang tersedia
(best scientific evidence available), dalam penetapan potensi dan jumlah
tangkapan yang diperbolehkan sebagai bahan kebijakan dalam pengelolaan
perikanan yang bertanggung jawab (responsible fisheries)

Anda mungkin juga menyukai