Anda di halaman 1dari 29

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengelolaan Perikanan dan Perikanan Tangkap

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 31 tahun 2004


tentang Perikanan jo. UU no. 45 tahun 2009, pengelolaan perikanan adalah
semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi,
analisis, perencanaan, konsultasi, pembuat keputusan, alokasi sumber daya ikan,
dan implementasi serta penegakkan hukum dari peraturan perundang-undangan di
bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang
diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati
perairan dan tujuan yang telah disepakati. Pengelolaan perikanan menyangkut
berbagai tugas yang kompleks yang bertujuan untuk menjamin adanya hasil dari
sumber daya alam yang optimal bagi masyarakat setempat, daerah dan negara
yang diperoleh dari memanfaatkan sumber daya ikan secara berkelanjutan.

Berdasarkan definisi diatas, terdapat kata-kata kunci seperti proses,


elemen-elemen, keterkaitan/ketergantungan, dan tujuan. Bila dianalogikan dalam
penangkapan ikan, maka pengelolaan penangkapan ikan mengandung pengertian
suatu proses dalam usaha penangkapan ikan yang terdiri dari elemen-elemen yang
saling terkait yang diarahkan untuk mencapai tujuan dari penangkapan ikan.

Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa


komponen yang saling berkaitan atau berhubungan dan saling mempengaruhi
satu dengan yang lainnya. Komponen-komponen perikanan tangkap, yakni : (1)
sumberdaya manusia; (2) sarana produksi; (3) usaha penangkapan; (4) prasarana
pelabuhan; (5) unit pengolahan; (6) unit pemasaran (Monintja 2001) :

(1) Sumberdaya Manusia


Dalam membangun dan mengembangkan usaha perikanan tangkap sangat
dibutuhkan sumberdaya manusia yang tangguh, handal dan profesional.
Untuk menghasilkan sumberdaya manusia tangguh, handal dan profesional
terutama dalam penguasaan teknologi perikanan tangkap perlu pembinaan
dan pelatihan yang merupakan langkah awal yang perlu diperhatikan agar

13
dalam pelaksanaan kegiatan operasi penangkapan ikan dapat berjalan
optimal.
(2) Sarana Produksi
Indikator utama dan merupakan penunjang kearah berkembangnya usaha
perikanan tangkap sangat bergantung pada fungsi sarana produksi yang
tersedia. Sarana produksi tersebut antara lain penyediaan alat tangkap, pabrik
es, galangan kapal, instalasi air tawar dan listrik serta pendidikan dan
pelatihan tenaga kerja (Dahuri 2003).
(3) Usaha Penangkapan/Proses Produksi
Usaha penangkapan terdiri dari kapal, alat dan nelayan, aspek legal yang
meliputi sistem informasi dan unit sumberdaya terdiri dari spesies, habitat
dan lingkungan fisik.
(4) Prasarana Pelabuhan
Menurut Peraturan Menteri Kelautan Perikanan nomor PER.16/MEN/2006
tentang Pelabuhan Perikanan, yang dimaksud dengan pelabuhan perikanan
adalah tempat yang terdiri dari daratan dan perairan di sekitarnya dengan
batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan
sistem bisnis perikanan yang dipergunakan sebagai tempat kapal perikanan
bersandar, berlabuh dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan
fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan.

Pelabuhan perikanan selain berfungsi sebagai tempat berlabuh kapal


perikanan dan tempat pendaratan ikan hasil perikanan, juga berfungsi sebagai
pusat pengembangan masyarakat nelayan, pusat pemasaran dan distribusi
ikan hasil tangkapan, pusat pelaksanaan pembinaan mutu hasil perikanan
serta pusat pelaksanaan penyuluhan dan pengumpulan data.
(5) Unit Pengolahan
Unit pengolahan terdiri dari handling atau penanganan, processing dan
packaging.
Bertujuan untuk mempertahankan kualitas hasil tangkapan dengan
melakukan penanganan yang tepat dan mengutamakan produksi selalu dalam
keadaan higienis dan terhindar dari sanitasi buruk. Pengolahan tersebut dapat

14
dilakukan secara tradisional misalnya penggaraman, pengeringan dan
pengasapan ataupun dengan cara modern/menggunakan es, atau alat
pendingin lainnya (Moeljanto 1996).
(6) Unit Pemasaran
Hanafiah dan Saefuddin (1986) menyebutkan bahwa pemasaran merupakan
arus pergerakan barang-barang dan jasa dari produsen ke tangan konsumen.

Pengelolaan perikanan menjadi semakin penting oleh sebab perubahan-


perubahan dalam hal ekonomi, teknologi, dan lingkungan, termasuk penggunaan
cara-cara tradisional dalam penanganan sumberdaya perikanan. Contoh pengaruh
perubahan-perubahan tersebut adalah peningkatan pendapatan nelayan semakin
penting sejalan dengan meningkatnya pengeluaran untuk konsumsi dan barang.
Semakin efisien alat penangkapan berarti semakin banyak ikan yang dapat
ditangkap per satuan waktu; juga dengan adanya kemampuan sarana penyimpan
seperti freezer, maka lebih banyak ikan yang dapat disimpan. Semua itu
menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan meliputi berbagai aspek dan sifatnya
dinamis sesuai perkembangan lingkungan.
Keberlanjutan perikanan menurut Charles (2001), diperlukan
keberlanjutan pada aspek ekologi, sosio-ekonomi, komunitas dan institusi, seperti
digambarkan pada Gambar 3 berikut ini.

15
Ecological Sustainability

INSTITUTIONAL
SUSTAINABILITY

Socio-economic Community
Sustainability Sustainability
Gambar 3 Segitiga keberlanjutan perikanan (Charles 2001).

Pengelolaan perikanan menurut pasal 3 UU No. 31 Tahun 2004 tentang


Perikanan jo. UU No. 45 Tahun 2009, dilaksanakan dengan tujuan :

(1) Meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil;

(2) Meningkatkan penerimaan dan devisa negara;

(3) Mendorong perluasan dan kesempatan kerja;

(4) Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan;

(5) Mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan;

(6) Meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing;

(7) Meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan;

(8) Mencapai pemanfaatan sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan


lingkungan sumberdaya ikan secara optimal; dan

(9) Menjamin kelestarian sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan


tata ruang.

16
Menurut Cochrane (2002) tujuan (goal) umum dalam pengelolaan
perikanan meliputi 4 (empat) aspek yaitu biologi, ekologi, ekonomi, dan sosial.
Tujuan sosial meliputi tujuan-tujuan politis dan budaya. Contoh masing-masing
tujuan tersebut yaitu :

(1) Untuk menjaga sumberdaya ikan pada kondisi atau diatas tingkat yang
diperlukan bagi keberlanjutan produktivitas (tujuan biologi);

(2) Untuk meminimalkan dampak penangkapan ikan bagi lingkungan fisik


serta sumberdaya non-target (by-catch), serta sumberdaya lainnya yang
terkait (tujuan ekologi);

(3) Untuk memaksimalkan pendapatan nelayan (tujuan ekonomi);

(4) Untuk memaksimalkan peluang kerja/mata pencaharian nelayan atau


masyarakat yang terlibat (tujuan sosial).

Menurut Murdiyanto (2004) tujuan umum pengelolaan sumberdaya ikan


yaitu :

(1) Mempertahankan kelestarian sumber daya ikan dan kelanjutan kegiatan


produksi ikan melalui pemanfaatan sumber daya perikanan sebagai mata
pencaharian masyarakat bersangkutan. Tanpa sumber daya ikan maka
tidak diperlukan adanya pengelolaan, karena tersedianya sumber daya ikan
merupakan alasan utama suatu negara untuk membangun perikanannya
(resource based development).

(2) Meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial nelayan.

(3) Memenuhi kebutuhan masyarakat dan industri terhadap sumber makanan


dari sektor perikanan (laut).

Dalam praktek pelaksanaan pengelolaan, pihak pengelola harus dapat


menentukan pilihan terbaik mengenai : tingkat perkembangan perikanan; tingkat
pemanfaatan yang diijinkan, ukuran ikan yang boleh ditangkap; lokasi
penangkapan yang dapat dimanfaatkan; pengaturan alokasi keuangan untuk
menyusun aturan atau regulasi pengelolaan, penegakan hukum (law enforcement),
serta pengembangan produksi.

17
Menurut Mann dan Lazier (1991), tujuan pengelolaan potensi kelautan
dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu yang berorientasi pada aspek
biologi, aspek ekonomi, aspek rekreasi; dan aspek sosial. Dari beberapa tujuan
pengelolaan, mungkin ada satu atau dua yang tidak dapat direalisasikan dengan
segera karena keterbatasan sumberdaya yang ada atau karena kondisi perairan
yang belum memungkinkan.

2.2 Alat Penangkapan Ikan

Secara umum perkembangan metode penangkapan ikan yang didasarkan


kepada sifat atau tingkah laku ikan antara lain (Brandt 1984) :

(1) Menggunakan tangan


(2) Menggunakan bantuan hewan yang terlatih
(3) Menjepit atau melukai obyek misal alat penjepit tombak, dan harpoon
(4) Membuat mabuk atau membius ikan, misalnya pembiusan secara mekanik,
kimiawi, dan elektrik
(5) Memikat ikan dengan mangsanya, misalnya golongan pancing (lines)
(6) Memikat ikan agar masuk ke dalam alat, setelah itu ikan sukar keluar
ataupun tidak dapat lagi keluar, misalnya penghalang, perangkap, dan set
net
(7) Memerangkap ikan yang bergerak loncat ke permukaan, beberapa jenis-
jenis ikan mempunyai kemampuan untuk loncat melewati permukaan air
misalnya untuk menangkap serangga, atau mengatasi rintangan maupun
usaha mereka dalam menghindari predator, misalnya aerial trap
(8) Menyaring kolom air dimana ikan berada dengan menggunakan alat
berkerangka, misalnya seser, stow net, dll.
(9) Melingkupi gerombolan ikan (schooling) dengan kantong, contohnya
payang dan pukat pantai (diseret ke arah pantai), dan trawl (diseret
sepanjang kapal bergerak)
(10) Melingkari gerombolan ikan dan mengurungnya tidak hanya dari arah tepi,
tetapi juga dari bagian bawah, misalnya jaring lingkar (purse-seine) dan
lampara

18
(11) Menggiring ikan ke arah jaring, misalnya muro-ami
(12) Mengkondisikan ikan dengan cahaya atau umpan di atas cakupan jaring
untuk selanjutnya diangkat, contohnya bagan perahu dan bagan tancap
(13) Menebar jaring di atas ikan, misalnya jala
(14) Menghadang ikan dengan jaring sehingga terjerat atau terpuntal, misalnya
jaring insang (gillnet) dan jaring puntal
(15) Mengeluarkan ikan atau biota air lainnya dari suatu perairan dan
memindahkannya ke atas kapal, misalnya fish pump

Statistik perikanan tangkap Indonesia mengelompokkan alat penangkap


ikan menjadi sembilan kelompok sebagaimana diuraikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Klasifikasi alat penangkapan ikan berdasarkan Statistik Perikanan

No. Kelompok Jenis


1. Pukat udang (shrimp trawl)
1 Pukat tarik (trawl) 2. Pukat ikan (fish net)
3. Pukat tarik lainnya (other trawl)
1. Payang ( pelagic danish seine)
2 Pukat kantong (seine net) 2. Dogol (demersal danish seine)
3. Pukat pantai (beach seine)
3 Pukat cincin (purse seine) 1. Pukat cincin (purse seine)
1. Jaring insang hanyut (drift gillnet),
2. Jaring insang lingkar (encircling gillnet)
Jaring insang
4 3. Jaring klitik (shrimp entangling gillnet)
(gillnet)
4. Jaring insang tetap (set gillnet)
5. Jaring tiga lapis (trammel net)
1. Bagan perahu/rakit (boat lift/raft net)
2. Bagan tancap (stationary lift net)
5 Jaring angkat (lift net)
3. Serok dan songko (scoop net)
4. Jaring angkat lainnya (other lift nets)
1. Rawai tuna (tuna long line/ drift long line)
2. Rawai dasar/tetap (set bottom long line)
3. Huhate (pole and line)
6 Pancing (line)
4. Pancing tonda (troll line)
5. Pancing ulur (handline)
6. Pancing cumi (squid jigging)

19
Tabel 1 (lanjutan)

No Kelompok Jenis
1. Sero (guiding barrier)
2. Jermal (stow net)
7 Perangkap (traps)
3. Bubu (portable trap)
4. Perangkap lainnya (other traps)
Pengumpul dan penangkap 1. Alat penangkap kerang (shell fish gears)
8
(collectors and gears) 2. Alat pengumpul rumput laut (seaweed collectors)
3. Alat penangkap teripang (sea cucumber gears)
4. Alat penangkap kepiting (crab gears)
1. Muroami (muro ami)
9 Alat tangkap lainnya 2. Jala lempar/tebar (cast net)
3. Garpu dan tombak (harpoon)
Sumber : DJPT-DKP (2008)

Dalam pemilihan alat penangkap ikan harus disesuaikan dengan kondisi


daerah penangkapan ikan serta memenuhi kesesuaian dengan aspek :

- Technology : mudah dalam proses transfer teknologi

- Biologi : tidak merusak lingkungan dan sumberdaya hayati laut

- Sosial : tidak menimbulkan friksi sosial

- Economy : menghasilkan ikan bernilai ekonomis tinggi

- Culture : menjunjung kearifan lokal

Alat tangkap potensial serta mampu mempertahankan keberlanjutan


perikanan tangkap adalah alat tangkap yang memenuhi kriteria teknologi
penangkapan ikan yang ramah lingkungan (TPIRL), jumlah hasil tangkapannya
tidak melebihi jumlah tangkapan yang diperbolehkan, menguntungkan bagi
nelayan, investasi rendah, penggunaan bahan bakar minyak rendah serta
memenuhi ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku (Monintja
2009). Alat tangkap yang digunakan di perairan Jakarta antara lain adalah
payang, pukat cincin, jaring insang hanyut, bagan perahu, rawai, muroami dan
bubu.

20
2.2.1 Pukat cincin

Pukat cincin atau purse seine adalah alat penangkap ikan dari jaring yang
dioperasikan dengan cara melingkari gerombolan ikan hingga alat berbentuk
seperti mangkuk pada akhir proses penangkapan ikan. Operasi melingkar ini
dilakukan dengan cepat, kemudian secepatnya menarik purse line diantara cincin-
cincin yang ada, sehingga jaring akan membentuk seperti mangkuk. Kecepatan
tinggi diperlukan dalam hal ini agar ikan tidak dapat meloloskan diri. Setelah ikan
berada di dalam mangkuk jaring, lalu dilakukan pengambilan hasil tangkapan
menggunakan alat bantu serok atau scoop net.

Alat tangkap ini digunakan untuk menangkap ikan pelagis yang


bergerombol. Operasi pukat cincin dapat dilakukan pada siang hari maupun
malam hari. Pengoperasian pukat cincin pada siang hari sering menggunakan
rumpon atau payaos sebagai alat bantu pengumpul ikan. Alat bantu pengumpul
ikan yang sering digunakan dalam pengoperasian pukat cincin di malam hari
adalah lampu. Jaring payang dan dogol termasuk dalam kelompok pukat cincin.

2.2.2 Jaring insang

Jaring insang adalah alat penangkap ikan dari jaring, berbentuk empat
persegi panjang dengan ukuran mata jaring yang sama. Berdasarkan kontruksinya,
jaring insang dikelompokkan menjari jaring insang satu lapis, jaring insang dua
lapis, jaring insang tiga lapis atau trammel net. Berdasarkan cara pengoperasian
di perairan, jaring insang dikelompokkan menjadi jaring insang hanyut (drift
gillnet), jaring insang tetap (set gillnet), jaring insang lingkar (encyrcling gillnet)
dan jaring klitik (entangled gillnet). Berdasarkan lokasi pengoperasiannya, jaring
insang dikelompokkan menjadi jaring insang permukaan (surface gillnet), jaring
insang pertengahan (midwater gillnet) dan jaring insang dasar (bottom gillnet).

Jaring insang hanyut (drift gillnet) lebih terinci dijelaskan, dioperasikan


dengan cara dihanyutkan searah pergerakan arus atau pengoperasian alat tangkap
ini dengan cara jaring dibiarkan hanyut di bagian permukaan perairan. Alat
tangkap ini berbentuk empat persegi panjang yang dilengkapi dengan pelampung,
pemberat serta tali ris atas bawah. Jaring insang hanyut cukup selektif karena
memiliki mesh size 5 cm (2 inci). Berdasarkan waktu pengoperasiannya jaring ini

21
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu jaring insang hanyut siang dan jaring insang
hanyut malam. Pengoperasian alat tangkap ini dilakukan dengan menggunakan
kapal motor, dengan lama trip sekitar 3-7 hari. Setting dilakukan 3-5 kali dalam
sehari semalam dan waktu yang dibutuhkan dari setting sampai hauling sekitar 2-
3 jam. Pengoperasian jaring insang biasanya dilakukan secara pasif. Setelah
diturunkan ke perairan, kapal dan alat dibiarkan drifting, umumnya berlangsung
selama 2-3 jam. Selanjutnya dilakukan pengangkatan jaring sambil melepaskan
ikan hasil tangkapan ke palka.

2.2.3 Alat penangkap ikan dengan penggiring

Prinsip pengoperasian alat penangkap ikan kelompok ini adalah


menggiring ikan agar masuk ke dalam alat tangkap yang telah dipasang. Alat
tangkap ini dapat dipasang secara menetap atau alat tangkap digerakkan atau
digeser ke arah perairan yang lebih dangkal. Dalam pengoperasiannya, kelompok
alat tangkap ini dibantu menggunakan alat penggiring yang disebut drive-in-tools
atau scareline. Alat penggiring digunakan unuk menggiring ikan yang sedang
bersembunyi agar keluar dan bergerak ke arah dan masuk ke dalam alat tangkap.
Salah satu jenis alat penangkap ikan yang termasuk kelompok ini adalah muroami
berasal dari Okinawa yang banyak dioperasikan di Kepulauan Seribu.
2.2.4 Perangkap
Pada prinsipnya pengoperasian kelompok alat ini adalah mengusahakan
sedemikian rupa agar ikan tertarik untuk masuk ke dalam alat tangkap atau ke
dalam areal penangkapan dengan sukarela, namun setelah berada di dalamnya
ikan tidak dapat keluar lagi. Salah satu jenis alat tangkap yang termasuk
kelompok ini adalah bubu (fish pots).

2.3 Usaha Perikanan Tangkap

Menurut DKP (2003), potensi dan peluang pengembangan sektor kelautan


dan perikanan meliputi perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri
pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi kelautan dan perikanan,
pengembangan pulau-pulau kecil, pemanfaatan benda berharga asal muatan kapal

22
tenggelam, deep sea water, industri garam rakyat, pengelolaan pasir laut, industri
penunjang, pengembangan kawasan industri perikanan terpadu, dan
keanekaragaman hayati laut. Pemanfaatan potensi tersebut perlu dilakukan
melalui upaya-upaya yang bertanggung jawab dengan mengedepankan prinsip-
prinsip yang berkelanjutan. Salah satu upaya penting yang dilakukan selama ini
adalah dengan mengembangkan usaha perikanan tangkap terpadu, mulai dari
skala kecil (tradisional) hingga skala besar (industri).

Usaha perikanan tangkap baik yang dilakukan secara tradisional maupun


secara modern sangat dipengaruhi oleh banyak faktor dan hal ini sedikit berbeda
usaha produksi pada bidang-bidang lainnya. Usaha perikanan tangkap di laut
relatif lebih sulit diprediksi keberhasilannya karena sangat peka terhadap faktor
eksternal (musim dan iklim) serta faktor internal (teknologi, sarana dan prasarana
penangkapan ikan dan modal). Kerentanan dalam proses produksi akan
mengakibatkan adanya fluktuasi dalam perolehan hasil tangkapannya (Nomura
dan Yamazaki 1975).

Usaha perikanan tangkap di Indonesia memang terlalu banyak dihadapkan


dengan masalah baik yang berasal dari faktor alam, pendanaan, maupun karakter
nelayan. Secara umum dapat diangkat 4 (empat) faktor yang sangat dominan
mempengaruhi keberhasilan upaya pengembangan usaha perikanan tangkap
khususnya skala kecil (tradisional), yaitu: pemasaran, produksi, organisasi,
keuangan dan permodalan. Produk perikanan mudah rusak dan tidak tahan lama
(high perishable), sehingga pelaku usaha perikanan tangkap skala kecil dan
menengah selalu berada pada posisi sulit untuk berkembang akibat harga jual
produk yang diterima sangat rendah dan cenderung tidak sebanding dengan resiko
maupun biaya yang telah dikeluarkannya (Dahuri 2003).

Dalam kaitan dengan kelembagaan usaha perikanan, selama ini


kelembagaan tersebut baik pada usaha perikanan tangkap skala kecil dan
menengah masih berada dalam taraf mencari bentuk kelembagaan yang tepat di
dalam mengelola sumberdaya, baik ditinjau dari aspek aturan main (property
rights) maupun organisasi (Nikijuluw 2002). Hal ini tentu memberikan dampak
pada lemahnya posisi usaha skala kecil ini dalam melakukan negosiasi kepada

23
pihak lain. Berbagai upaya telah dilakukan oleh berbagai pihak dalam rangka
menguatkan aspek organisasi, sehingga timbul adanya pola-pola kemitraan antara
pelaku usaha skala kecil dengan mitranya. Namun kebanyakan program
pengembangan tersebut berjalan relatif tidak lancar (terseok-seok) (Roger 1990).

Pada masyarakat pedesaan dan pesisir yang tingkat perkembangan


ekonominya masih belum maju dan didominasi oleh sektor perikanan atau
pertanian, transformasi kelompok nelayan sekaligus dapat dipandang sebagai
cerminan dari transformasi masyarakat pedesaannya (Dumont 1971). Dalam
pengertian yang lebih luas, dikaitkan dengan pembinaan kelompok nelayan
sebagai basis kegiatan ekonomi di wilayah pesisir, transformasi kelompok
nelayan dapat dipandang sebagai proses modernisasi atau pembangunan wilayah
pesisir. Dalam konteks pembangunan ini, kelompok nelayan sebagai wadah dari
pelaku bisnis di wilayah pesisir dapat dipandang sebagai penggeraknya. Proses
transformasi budaya ekonomi tradisional menuju ekonomi pasar yang terjadi di
Indonesia disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Transformasi budaya tradisional dan modern

No Penciri (indikator) Tradisional Modern


1 Orientasi ekonomi Subsisten Komersial (profit)
2 Penggerak ekonomi Padat tenaga kerja Padat modal (capital
(labour intensive) intensive)
3 Sumber kapital Tengkulak/rentenir Kredit formal Bank
4 Teknologi Sederhana Tinggi (mutahir)
5 Sumberdaya manusia Unskilled labour Terampil (skilled)
6 Manajemen Keluarga Profesional
(achievement)
7 Spirit usaha Risiko minimum, Motivasi prestasi,
keamanan usaha mandiri, berani
8 Ciri produk Mutu tidak baku, Mutu baku, terus
bersifat musiman menerus
9 Pola hubungan sosial Kontak langsung Tidak langsung
(personal communal) (impersonal contact)
10 Solidaritas sosial Mekanik ditanggung Organik (individual
bersama (collective action) ditanggung
action) individu

24
Tabel 2 (lanjutan)

No Penciri (indikator) Tradisional Modern


11 Cara mengambil Feodalistik Demokratik
keputusan
12 Interdependensi antar Ekstrim Moderat
pelaku ekonomi
13 Kemampuan kompetisi Lemah Kuat
14 Ketegangan sosial Rendah Tinggi
Sumber : Puslitbangkan Deptan (1997)
Dampak positif dari adanya transformasi dalam kegiatan usaha perikanan
tangkap tersebut adalah terjadinya pemberdayaan kelompok nelayan yang
kemudian dapat menjadikan karakteristik usaha menjadi lebih kuat, produk
perikanan dan peranannya dalam perekonomian wilayah pesisir semakin nyata,
serta masyarakat nelayan lebih sejahtera. Perubahan karakteristik usaha
menyangkut karakteristik : sumberdaya manusia (nelayan), organisasi (kelompok)
usaha produktif setempat, kegiatan usaha yang berkaitan dengan pemberdayaan
kelompok nelayan yang menggambarkan penguasaan dan penggunaan teknologi,
penguasaan modal, aset strategis, mutu dan organisasi pengelolaan tenaga kerja
keluarga (secara organik) juga sumber pendapatan keluarga. Untuk perubahan
yang berkaitan dengan produk perikanan akan menggambarkan posisi produk
utama perikanan diantara produk perikanan yang diperdagangkan dan persaingan
usaha sejenis, kemampuan mengelola modal dan perkembangan usaha. Untuk
perubahan yang berhubungan dengan industri pengolahan perikanan yaitu
kemampuan penyerapan modal, penerapan teknologi pasca panen, manajemen
usaha, sumberdaya manusia dan pengembangan (kelembagaan) kerjasama usaha.
Dampak positif dari adanya transformasi tersebut dapat mempercepat perubahan
kebidupan nelayan dan masyarakat pesisir menjadi lebih baik.

2.4 Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap

Permintaan pasar dunia untuk konsumsi ikan akan terus menguat seiring
dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan manfaat positif dari produk
perikanan. Beberapa negara maju diperkirakan menjadi importir bersih produk
perikanan pada tahun 2030 dengan volume impor mencapai 21 juta ton. Pasar

25
ekspor China juga dinilai potensial dengan konsumsi diprediksi naik dari 33 juta
ton pada tahun 1997 menjadi 53 juta ton pada tahun 2020. Untuk mengimbangi
peningkatan permintaan tersebut, pemerintah berupaya meningkatkan produksi
perikanannya. Kenaikan rata-rata total produksi perikanan tangkap dari tahun
2005 2009 sebesar 2,95 persen, berturut-turut total produksi perikanan tangkap
dari tahun 2005 2009 (tahun 2009 angka sementara) adalah sebagai berikut;
4,705 juta ton, 4,806 juta ton, 5,044 juta ton, 5,196 juta ton dan 5,285 juta ton
(KKP 2010). Peningkatan yang cukup rendah pada produksi perikanan tangkap di
laut pada kurun waktu tersebut terjadi karena beberapa upaya pengendalian yang
dilakukan pemerintah seiring dengan jumlah produksi yang sudah mendekati
jumlah tangkap yang diperbolehkan (JTB) yaitu sebesar 80 persen dari nilai
potensi lestari sumber daya ikan atau sebesar 5,12 juta ton/tahun (MMAF 2009a).
Pembatas terbesar pada peningkatan produksi adalah kurangnya
peningkatan teknologi, perluasan pasar dan biaya operasional yang tinggi,
terutama bahan bakar yang mencapai 60% biaya produksi. Untuk itu diperlukan
bantuan dari berbagai pihak untuk menyediakan modal usaha atau modal
operasional yang meringankan nelayan dalam penggunaan bahan bakar sebelum
dan setelah produksi. Mengingat masih banyak lembaga keuangan yang
membatasi kredit atau penyaluran modal bagi usaha bidang perikanan, terutama
perikanan tangkap (Sparre dan Venema 1999).

Salah satu komponen pokok yang sensitif dan selalu menjadi ciri khas
pada usaha perikanan tangkap skala kecil dan menengah adalah permasalahan
permodalan. Permasalahan modal bukan disebabkan oleh tidak adanya lembaga
keuangan dan kurangnya uang beredar, namun disebabkan sebagian besar
lembaga keuangan di Indonesia kurang berminat pada kegiatan usaha perikanan,
karena dianggap beresiko tinggi (high risk) mengingat hasil tangkapan nelayan
tidak pasti. Dalam menyalurkan dana pinjamannya, lembaga keuangan pada
umumnya menetapkan syarat agunan (collateral) yang sulit untuk dapat dipenuhi
oleh para pelaku usaha penangkapan ikan skala kecil.
Dalam proses produksi di bidang perikanan, berbagai hal perlu
dilaksanakan secara sinergi sehingga kegiatan produksi berhasil maksimal.

26
Terkait dengan ini ada beberapa aspek yang perlu dianalisis dan dipertimbangkan
terkait kegiatan produksi dalam bidang perikanan ini, yaitu :

(1) Analisis aspek pemasaran yang mencakup :


1) Demand masa kini dan lampau (kecenderungan dalam volume penjualan,
harga dan perilaku pembeli)
2) Permintaan dan harga dimasa datang (perubahan konsumsi masyarakat,
perkembangan populasi penduduk, pertumbuhan pendapatan, elastisitas
pendapatan, dan perilaku substitusi)
3) Persaingan pasar baik di tingkat lokal, nasional dan internasional
4) Perencanaan kebijakan pemasaran oleh pelaku usaha.
(2) Analisis sumberdaya ikan yang mencakup :
1) Deskripsi daerah penangkapan ikan (fishing ground)
2) Estimasi potensi lestari (MSY)
3) Hasil tangkapan spesies terkait dalam 10 tahun terakhir
4) Kecenderungan hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE)
5) Distribusi (sebaran) ikan menurut daerah penangkapan dan musim
6) Proyeksi hasil tangkapan selama berlangsung proyek
7) Mobilitas ikan untuk ruaya dan migrasi
8) Karakteristik komersial dari ikan meliputi ukuran dan kualitas fisik
9) Peluang pengembangan produksi ke depan
(3) Analisis aspek teknis menyangkut operasi penangkapan ikan yang mencakup:
1) Kapal perikanan
2) Alat tangkap
3) Anak buah kapal (ABK)
4) Bahan perbekalan
5) Kondisi lingkungan fisik daerah penangkapan ikan
6) Pola operasi (lama berlangsung satu trip, hari navigasi, hari operasi, hari
darat ikan, hari doking, jumlah trip per tahun, perubahan musim, dan
alternatif daerah penangkapan ikan)
7) Hasil tangkapan (komponen spesies, ukuran, kualitas, dan hasil tangkapan
per periode waktu tertentu)
8) Penanganan hasil tangkapan di kapal

27
9) Pengangkutan hasil tangkapan ke pelabuhan
10) Fasilitas pelabuhan yang menjadi tempat pendaratan ikan
(4) Aspek organisasi dan manajemen yang meliputi :
1) Aspek legal perusahaan
2) Aspek legal proyek
3) Struktur organisasi yang ada
4) Struktur manajemen per komponen
5) Uraian tanggung jawab dan kewenangan
6) Uraian tugas setiap personel
7) Rencana struktur organisasi proyek
8) Kaitan dengan perusahaan, instansi dan lembaga lain
9) Kualifikasi dan pengalaman karyawan yang ada
10) Kualifikasi dan sumber personel yang akan direkrut.
11) Pendapatan dan insentif karyawan dan ABK armada penangkapan ikan
12) Fasilitas bagi karyawan dan ABK
(5) Analisis kepekaan yang mencakup :
1) Penurunan produksi (5 25 %) tergantung lama musim pacekelik, kondisi
fisik daerah penangkapan yang tidak mendukung.
2) Peningkatan produksi tergantung lama musim puncak dan peningkatan
hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE).

2.5 Landasan Hukum Pemanfaatan Sumberdaya Ikan

Di dalam Code of Conduct Responsible Fisheries (CCRF), perairan laut


merupakan sumberdaya yang bersifat common property atau milik bersama,
artinya siapa pun dapat memanfaatkan sumberdaya hayati yang terkandung di
dalam suatu perairan laut. Oleh karena itu, agar tidak terjadi konflik di antara
pemanfaat laut, maka dibuat undang-undang dan atau peraturan-peraturan
perikanan, baik yang berlaku secara lokal, nasional, regional maupun
internasional, sekaligus menjadi perangkat hukum pengendali pemanfaatan.
Masyarakat pengguna laut harus mematuhi aturan main yang berlaku. Di

28
Indonesia, perangkat hukum tersebut dapat berupa undang-undang, peraturan
pemerintah, keputusan presiden, surat keputusan menteri, dan peraturan daerah.
Beberapa perangkat hukum terkait dengan pemanfaatan sumberdaya ikan
di Indonesia diantaranya adalah :

(1) Undang-Undang Dasar 1945, pasal 25A dan pasal 33


(2) Undang-Undang No. 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (ZEEI)
(3) Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan jo. UU No. 45
tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 tahun 2004
tentang Perikanan
(4) Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan
Sumberdaya Alam Hayati di ZEEI
(5) Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1990 tentang Usaha Perikanan
(6) Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 39 Tahun 1980 tentang
Pelarangan Penggunaan Pukat Harimau (Trawl)
(7) Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 85 Tahun 1982 tentang
Penggunaan Pukat Udang
(8) Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 607/Kpts/UM/9/1976 tentang
Jalur-jalur Penangkapan Ikan jo. SK Mentan No. 392 tahun 1999
(9) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No.
PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap
(10)Peraturan lain yang telah diterbitkan oleh pemerintah daerah setempat

2.6 Pemanfaatan Ruang untuk Kegiatan Perikanan

Ruang wilayah pesisir dan laut umumnya selalu berubah-berubah seriring


terjadi pasang surut di wilayah pantai. Hal ini terkadang menyulitkan terutama
untuk justifikasi batas wilayah administrasi daerah. Untuk kepentingan
pengelolaan, batas wilayah pesisir dibagi dua macam, yaitu batas wilayah
perencanaan (planning zone) dan batas wilayah pengaturan (regulation zone) atau
pengelolaan keseharian (day-today management). Wilayah perencanaan dapat
meliputi seluruh daratan apabila terdapat aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh

29
manusia yang secara nyata dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan dan
sumberdaya pesisir serta masih memungkinkan untuk dikembangkan. Untuk
wilayah keseharian, pemerintah mempunyai kewenangan yang dapat menetapkan
beberapa peraturan terkait dengan aktivitas ekonomi atau pembangunan yang
dilakukan oleh manusia.
Menurut Dahuri (2001), wilayah pesisir merupakan ruang dimana terjadi
pertemuan antara daratan dan lautan. Ruang ke arah daratan meliputi bagian
daratan baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat
laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin, sedangkan ruang ke
arah lautan terdiri dari bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses
alami yang terjadi di daratan seperti aliran air tawar dan sedimentasi. Ruang ke
arah laut ini didiami oleh berbagai jenis ikan, terumbu karang, rumput laut, dan
biota laut lainnya.

Karakterisktik wilayah pesisir dan laut terutama yang kaya dengan


sumberdaya alamnya tentu membutuhkan perhatian khusus dari pihak-pihak
terkait. Beberapa alasan perlunya pengelolaan wilayah pesisir dan laut dengan
perhatian khusus adalah :

(1) Pemanfaatan ruang pesisir secara monokultur sangat rentan terhadap


perubahan baik yang bersifat internal maupun eksternal, sehingga menjurus
pada kegagalan bila diusahakan. Hal ini karena selain karena pemanfaatan
secara monokultur dapat mengeksploitasi komponen tanah atau air, juga
karena struktural tanah maupun aliran air di wilayah pesisir yang secara
alami lembek atau tidak kuat.

(2) Di wilayah pesisir dan laut yang padat, biasanya kegiatan ekonomi
berkembang dengan pesat baik yang mengarah ke daratan maupun
mengarah ke lautan, seperti transportasi, pasar produk, pariwisata,
pertambakan, budidaya rumput laut, penangkapan ikan dan lainnya.
Akibatnya, tekanan terhadap wilayah pesisir dan laut tersebut semakin
meningkat, apalagi semua limbah kegiatan bermuara ke wilayah sekitar.

(3) Di wilayah pesisir dan laut hidup berbagai jenis biota baik dari jenis
tumbuhan maupun hewan darat dan laut. Biota tersebut mempunyai

30
manfaat banyak bagi kehidupan seperti pelindung terhadap abrasi, bahan
obat-obatan, pengontrol suhu perairan dan daratan sekitar, serta manfaat
lainnya.

(4) Wilayah pesisir dan laut merupakan sumberdaya yang menjadi milik
bersama (common property resources), sehingga banyak yang bergantung
kepada wilayah tersebut. Dengan demikian, kerusakan terhadap wilayah ini
akan memberi dampak luas pada kehidupan masyarakat.

Wilayah pesisir dan laut selama ini banyak dipergunakan untuk berbagai
kegiatan masyarakat seperti untuk kegiatan industri, perdagangan, perkantoran,
pemukiman, pengembangan kegiatan perikanan, rekreasi, sumber energi, kegiatan
militer, perlindungan alam bahkan pembuangan limbah dari aktivitas manusia.
Kondisi ini memang cukup dilematis, dimana aktivitas yang bertolakbelakangpun
dampaknya dapat terjadi di wilayah ini. Hal ini dapat dipahami karena wilayah
pesisir dan laut ini merupakan penghubung aktivitas di darat dan laut, aktivitas
antar pulau, dan secara geografis berada di wilayah ruang yang rendah sehingga
menyebabkan beberapa aliran sungai bermuara di ruang/wilayah pesisir dan laut
tersebut termasuk yang membawa berbagai jenis limbah di daratan. Terkait
dengan ini, maka pemanfaatan wilayah pesisir dan laut terutama untuk kegiatan
perikanan harus diatur dengan baik. Kegiatan perikanan merupakan kegiatan
produksi yang menghasilkan bahan pangan bagi kehidupan manusia, sehingga
perlu diberi ruang aktivitas yang tepat untuk dihasilkannya produk perikanan yang
aman bagi kehidupan manusia.

2.7 Analisis SWOT

Analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats)


merupakan salah satu metode untuk menggambarkan kondisi dan mengevaluasi
suatu masalah, proyek atau konsep bisnis yang berdasarkan faktor internal
(dalam) dan faktor eksternal (luar). Metode ini sering digunakan dalam
mengevaluasi suatu bisnis untuk merumuskan strategi dan kebijakan yang tepat.
Analisis SWOT akan menggambarkan situasi yang sebenarnya, tekniknya

31
sederhana, fleksibel karena dapat disesuaikan dengan tujuan analisis serta mudah
dipahami.
Analisis SWOT juga telah menjadi salah satu alat yang berguna dalam
bidang industri. Namun demikian tidak menutup kemungkinan untuk digunakan
pada bidang-bidang yang lain karena sifatnya yang fleksibel sebagai aplikasi alat
bantu pembuatan keputusan. Proses penggunaan analisis SWOT diperlukan
suatu survei internal tentang strengths (kekuatan) dan weaknesses (kelemahan)
program, serta survei eksternal tentang opportunities (peluang) dan threats
(ancaman).
1) Kekuatan
Merupakan kondisi kekuatan yang terdapat dalam organisasi, proyek atau
konsep bisnis yang ada. Kekuatan yang dianalisis merupakan faktor yang
terdapat dalam tubuh organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri.
2) Kelemahan
Merupakan kondisi kelemahan yang terdapat dalam organisasi, proyek atau
konsep bisnis yang ada. Kelemahan yang dianalisis merupakan faktor yang
terdapat dalam tubuh organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri.
3) Peluang
Merupakan kondisi peluang berkembang di masa datang yang akan terjadi.
Kondisi yang terjadi merupakan peluang dari luar organisasi, proyek atau
konsep bisnis itu sendiri, misalnya kompetitor, kebijakan pemerintah, kondisi
lingkungan sekitar.
4) Ancaman
Merupakan kondisi yang mengancam dari luar. Ancaman ini dapat
mengganggu organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri.
Analisis SWOT dimulai dengan membuat tabel matriks yang berfungsi
sebagai tabel informasi SWOT. Kemudian dilakukan pembandingan antara faktor
internal yang meliputi kekuatan dan kelemahan dengan faktor eksternal yang
meliputi peluang dan ancaman. Proses pengambilan keputusan strategis selalu
berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan perusahaan
(Rangkuti 2008). Strategi yang dipilih merupakan strategi yang paling
menguntungkan dengan resiko dan ancaman yang paling kecil.

32
Selain untuk pemilihan strategi dan kebijakan alternatif, analisis SWOT
dapat digunakan untuk melakukan perbaikan dan improvisasi strategi dan
kebijakan. Dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan dalam kondisi saat ini,
analisis SWOT dapat menghasilkan strategi untuk melakukan perbaikan diri,
antara lain strateginya dengan meningkatkan kekuatan dan peluang atau
melakukan strategi lain yaitu mengurangi kelemahan dan ancaman.

2.8 Linear Goal Programming (LGP)

Menurut Stevenson (1989) bahwa goal programming merupakan variasi


dari model linear programming yang dapat digunakan untuk menangani masalah
yang mempunyai banyak sasaran, untuk menyelesaikan persoalan pengalokasian
sumber-sumber yang terbatas seperti tenaga kerja, bahan baku, jam kerja mesin
dan sebagainya, dengan cara terbaik yang mungkin dilakukan. Menggunakan
metode ini akan diperoleh maksimasi, dapat berupa maksimasi keuntungan atau
maksimasi berupa minimisasi biaya. Cara terbaik yang dimaksud diatas adalah
keputusan yang diambil berdasarkan pilihan dari berbagai alternatif.
Metode Goal Programming telah banyak diterapkan dalam penelitian-
penelitian terdahulu sebagai solusi pemecahan masalah dalam pengambilan
masalah multi sasaran; merupakan metode yang tepat digunakan dalam
pengambilan keputusan untuk mencapai tujuan-tujuan yang bertentangan di dalam
batasan-batasan yang kompleks dalam perencanaan produksi. Metode Goal
Programming juga efektif bila digunakan untuk menentukan kombinasi produk
yang optimal dan sekaligus mencapai sasaran yang diinginkan.

2.9 Sistem Informasi Geografis (SIG)

SIG merupakan salah satu sistem informasi yang menekankan pada


informasi geografis, yang merupakan bagian dari keruangan (spatial).
Penggunaan kata geografis mengandung pengertian suatu persoalan mengenai
bumi secara tiga dimensi yaitu tempat-tempat yang terletak di permukaan bumi,
informasi mengenai posisi dimana suatu obyek terletak dan informasi mengenai

33
keterangan-keterangan (atribut) yang terdapat dipermukaan bumi dimana
posisinya diketahui (Prahasta 2001). SIG pada dasarnya adalah suatu sistem
informasi yang bereferensi dan berbasis komputer, yang mampu menampung,
menyimpan, mengolah dan mensimulasi data spasial, sehingga menghasilkan
output sesuai tujuan.
SIG bermanfaat untuk melakukan perencanaan agar karakteristik potensi
suatu wilayah dapat digambarkan dengan baik, karena SIG mampu
mengintegrasikan beberapa data/peta dan mempunyai kemampuan sebagai
pangkalan data yang selalu dapat diperbaharui dan ditambah isinya sedemikian
rupa, sehingga data tersebut dapat dipilih dan dipergunakan bagi berbagai
kepentingan dalam suatu perencanaan dan pengambilan keputusan. Dalam SIG
data disimpan dalam dua bentuk, yaitu data spasial dan data atribut. Untuk
keperluan analisis data spasial, data atribut disimpan secara terpisah yang
selanjutnya diintegrasikan (Maguire et al. 1991, diacu dalam Soebagio 2004).
Dengan menggunakan data yang diperoleh dari fasilitas citra satelit dan foto udara
yang dapat dihubungkan secara langsung, maka data diperoleh dari periode
tertentu pada area yang sama, dipakai untuk mengetahui perubahan yang terjadi di
rona muka bumi.
SIG berperan dalam penyusunan data dasar dan model analisis spasial
sehingga akan didapatkan model dasar. Model dasar dan data dasar yang dibuat
digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk menyusun skenario perencanaan dan
identifikasi kegiatan-kegiatan pembangunan dengan menentukan kriteria-kriteria
setiap kegiatan. Selanjutnya dengan SIG dapat diperoleh suatu kesesuaian
pemanfaatan ruang yang terkoordinasi yang melibatkan sejumlah data dan
informasi yang bervariasi.

2.10 Analisis Location Quotient (LQ)

Menurut Hood (1998), Location Quotient adalah suatu alat pengembangan


ekonomi yang lebih sederhana dengan segala kelebihan dan keterbatasannya.
Teknik LQ merupakan salah satu pendekatan yang umum digunakan dalam model

34
ekonomi basis sebagai langkah awal untuk memahami sektor kegiatan yang
menjadi pemicu pertumbuhan.
Menurut Moineddin et al. (2002), analisis Location Quotient (LQ) banyak
digunakan sebagai metode utama dalam menganalisis ekonomi basis suatu
wilayah (Isserman 1977 diacu dalam Moineddin et al. 2002). Dalam penelitian
ini analisis LQ digunakan untuk menentukan wilayah yang dapat dijadikan basis
pengembangan alat tangkap potensial di perairan Jakarta sehingga dapat memacu
ekonomi wilayah tersebut dalam skala kecamatan.

2.11 Analytical Hierarchy Process (AHP)

Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) digunakan dalam proses


pengambilan keputusan atau pemilihan alternatif kebijakan dalam suatu proses
pengembangan. AHP merupakan suatu teori umum tentang pengukuran yang
digunakan untuk menentukan skala ratio baik pembandingan pasangan yang
diskrit maupun kontinyu (Mulyono 1991).
AHP merupakan suatu metode yang sederhana dan fleksibel yang
menampung kreativitas dalam rancangannya terhadap suatu masalah (Saaty
1991). Metode menstruktur masalah dalam bentuk hierarki dan memasukkan
pertimbangan-pertimbangan untuk menghasilkan skala prioritas relatif. AHP
dapat berfungsi dengan baik selama pemakai memiliki pemahaman yang baik
mengenai masalah yang dihadapi.
Selanjutnya dinyatakan bahwa, kekuatan AHP terletak pada struktur
hierarki yang memungkinkan dimasukkannya semua faktor penting dan
mengaturnya sampai ketingkat alternatif. Setiap masalah dapat dirumuskan
sebagai keputusan berbentuk hierarki, kadang-kadang dengan ketergantungan
untuk menunjukkan bahwa beberapa elemen bergantung pada yang lain dan pada
saat yang sama elemen yang lain tergantung padanya. Elemen pada setiap tingkat
digunakan sebagai sifat bersama untuk membandingkan elemen-elemen yang
berada setingkat dibawahnya.
AHP memberikan kerangka yang memungkinkan untuk mengambil
keputusan yang efektif untuk persoalan yang kompleks dengan jalan

35
menyederhanakan dan mempercepat pengambilan keputusan. Pada dasarnya
metode AHP memecah suatu situasi yang kompleks dan tidak terstruktur ke dalam
bagian komponennya, menata bagian atau variabel ini dalam suatu susunan
hierarki, memberi pertimbangan numerik pada pertimbangan subyektif tentang
relatif pentingnya setiap variabel dan mensintesa berbagai pertimbangan untuk
menetapkan variabel yang memiliki prioritas relatif yang lebih tinggi (Saaty
1991).
Penetapan prioritas berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif
dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat diatasnya
(Mulyono 1991). Langkah pertama untuk menyusun prioritas adalah
membandingkan kepentingan relatif dari masing-masing unsur dan menduga
prioritas untuk sub faktornya. Sintesis prioritas dilakukan untuk mendapatkan
prioritas menyeluruh subsektor dan langkah berikutnya.

2.12 Penelitian Terdahulu di Perairan Jakarta

Telah banyak penelitian terdahulu di bidang perikanan yang menjadikan


perairan Jakarta sebagai obyek maupun wilayah studi, sebagai gambaran
penelitian terdahulu, dalam Tabel 3 dapat dilihat masing-masing tujuan dari setiap
penelitian serta gasir besar hasil penelitian.

36
Tabel 3 Matriks penelitian terdahulu di perairan Jakarta
Peneliti/Tahun/Judul Tujuan Penelitian Hasil Penelitian
Anna. 2003. Model Membangun model Model paling fit untuk
Embedded Dinamik embedded dinamik ekonomi interaksi perikanan-
Ekonomi Interaksi interaksi perikanan- pencemaran adalah model
Perikanan Pencemaran Gompertz
pencemaran

Menghitung pengaruh Perairan Teluk Jakarta


aktivitas produksi terhadap mengalami overfishing untuk
nilai biomass, produksi dan perikanan demersal baik
secara biologi maupun
rente sumberdaya perikanan
ekonomi
pada kondisi aktual, lestari
dan optimum.

Menghitung depresiasiTelah terjadi depresiasi SDI


sumberdaya ikan (SDI) di perairan Teluk Jakarta yang
akibat kegiatan produksi dan cukup signifikan, yaitu
dengan nilai Rp 1,903 milyar
non-produksi (pencemaran).
per tahun untuk kondisi
baseline dan Rp 4,605 milyar
per tahun untuk kondisi
pencemaran
Menghitung besar dampak Kondisi pencemaran
kegiatan non-produksi menyebabkan penurunan total
(pencemaran) terhadap total benefit sekitar Rp 691,46 juta
per tahun
benefit (kesejahteraan) yang
dirasakan masyarakat.

Menghitung laju degradasi / Terjadi degradasi ikan


depresiasi sumberdaya ikan. demersal sebesar 18 % per
tahun untuk kondisi baseline
dan 21 % per tahun untuk
kondisi pencemaran
Menganalisis efisiensi dari Potensi perbaikan dari
perbaikan kerusakan efisiensi Decision Making
sumberdaya ikan terhadap Unit menunjukkan tidak ada
peningkatan upaya (effort) ruang untuk peningkatan
pemanfaatan dari tahun ke effort dari tahun ke tahun
tahun
Menganalisis implikasi Diperlukan kebijakan
kebijakan pengelolaan lingkungan terpadu dengan
sumberdaya perikanan yang perikanan (envo-fishery) yang
ditunjang oleh institutional
optimal berkaitan dengan
policy dan green fishery
tangkap lebih dan pencemaran policy.
perairan.

37
Tabel 3 (lanjutan)

Peneliti/Tahun/Judul Tujuan Penelitian Hasil Penelitian


Rudianto. 2004. Mengkaji konflik pemanfaatan Konflik pemanfaatan lahan
Analisis Konflik lahan antara squatter (pemukim yang ada mencakup
Pemanfaatan Lahan liar) dan pemilik lahan penyerobotan lahan secara
Wilayah Pesisir (studi berdasarkan pendekatan lokasi illegal dengan cara (a)
Kasus Pantai Utara pemukiman squatter pembayar preman, (b)
Jakarta) membayar kepada pemilik
lama, (c) mendirikan
bangunan tanpa ijin.
Berdasarkan tempatnya,
konflik terjadi dalam bentuk
pemanfaatan lahan di sungai,
rawa, pemanfaatan yang
belum termanfaatkan,
pemanfataan lahan reklamasi,
lahan konservasi,
pemanfaatan lahan sepanjang
jalan kereta api, dan lahn
sepanjang jetty.
Mengkaji tipologi konflik Hasil kajian secara sosial
pemanfaatan lahan antara ekonomi menunjukkan bahwa
squatter dan pemilik lahan ada konflik yang
secara sosial ekonomi menyebabkan lahan harus
dipertahankan, harus
dikurangi, dan perlu
ditambah squatternya. Lahan
yang perlu dikurangi
squatternya mencakup Kapuk
Muara, Penjaringan, Pluit I,
Ancol, Tanjung Priok, dan
Tugu Selatan. Lahan yang
perlu ditambah squatternya
mencakup Pluit II, Kalibaru,
Marunda, Kamal Muara, dan
Cilincing.
Memformulasikan resolusi Formula/program resolusi
konflik pemanfaatan lahan yang diperoleh mencakup
berdasarkan optimasi lahan program pulang kampung,
program pemberdayaan
squatter, program konsolidasi
lahan, dan program
pembangunan rumah susun

38
Tabel 3 (lanjutan)

Peneliti/Tahun/Judul Tujuan Penelitian Hasil Penelitian


Saksono. 2008. Kajian Menguji dan menganalisis Beberapa komponen utama
Pembangunan interaksi antarfaktor yang saling berinteraksi dan
Kabupaten pembangunan perikanan dalam berkorelasi secara signifikan
Administrasi pembangunan kabupaten positif dalam pembangunan
Kepulauan Seribu dan/atau kota yang berbasis Kabupaten Administrasi
Berbasis Industri industri perikanan Kepulauan Seribu, yaitu:
Perikanan. antara implementasi
kewenangan bagi Pemerintah
(KBP) dan kewenangan bagi
Pemerintah Daerah Otonom
(KBO) dengan lingkup usaha
perikanan (LUP) maupun
terhadap kegiatan usaha
perikanan yang berkembang
berupa kegiatan perikanan
tangkap (TKP), perikanan
budidaya (BDY), dan
pengolahan hasil perikanan
(PROS). Keadaan ini
memberikan efek ganda
terhadap tujuan pembangunan
perikanan dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat di
Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu.
Merancang suatu model Secara umum, model
pembangunan bagi Kabupaten pembangunan Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu Administrasi Kepulauan
berbasis industri perikanan. Seribu mencakup dua aksi
penting, yaitu (1) Perlu segera
mengkaji kembali berbagai
kebijakan pembangunannya
agar lebih berorientasi pada
pemanfaatan potensi laut yang
berbasis industri perikanan,
terutama pada wilayah yang
juga berfungsi sebagai
kawasan konservasi, sehingga
terwujud sinkronisasi dan
harmoninasi antara kegiatan
pembangunan wilayah dengan
terjaminnya kelestarian fungsi
lindung wilayah.

39
Tabel 3 (lanjutan)

Peneliti/Tahun/Judul Tujuan Penelitian Hasil Penelitian


(2) Pelaku bisnis perikanan
dalam pengembangan
kegiatan industri perikanan
perlu mengembangkan
rencana bisnisnya yang
bertanggung jawab baik
dalam penerapan fungsi
lindung dan penerapan
prinsip kehati-hatian dalam
pemanfaatannya. Hal ini
penting supaya pengelolaan
wilayah pesisir dan lautan
dapat bermanfaat secara
optimal dan berkelanjutan,
demi peningkatan
kesejahteraan masyarakat
tanpa menimbulkan kerusakan
lingkungan dan terjaminnya
kelangsungan hidup generasi
yang akan datang.
Sumber : Anna (2003), Rudianto (2004) dan Saksono (2008)

Bila hasil penelitian-penelitian tersebut dibandingkan dengan apa yang


diteliti dalam disertasi ini, maka aspek yang diteliti dalam disertasi ini merupakan
hal baru dan belum pernah diteliti pada kegiatan penelitian terdahulu di perairan
Jakarta, yang mencakup Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu. Secara umum,
penelitian dalam disertasi ini bertujuan untuk menyusun strategi kebijakan
pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di perairan Jakarta, Provinsi DKI
Jakarta. Tujuan umum ini sangat bersesuaian dan mendukung penelitian
sebelumnya yang pernah ada terutama penelitian Anna (2003) dalam pengelolaan
perikanan tangkap berkelanjutan menganggap perlunya kebijakan envo-fishery
yaitu kebijakan yang memadukan lingkungan dan perikanan, yang salah satu
penunjangnya adalah green fishery policy yaitu kebijakan yang mengarah kepada
pengendalian output dengan pengendalian eksternalitas antara lain pencemaran
perairan.
Tujuan khusus penelitian dalam disertasi ini adalah (1) mengevaluasi
tingkat keberlanjutan pengelolaan perikanan tangkap di perairan Jakarta, (2)
menentukan alokasi optimum dari berbagai jenis alat tangkap potensial di perairan
Jakarta dan wilayah basis pengembangannya, (3) Menganalisis kesesuaian ruang

40
untuk aktivitas perikanan di perairan Jakarta berdasarkan rencana tata ruang
wilayah, dan (4) menganalisis faktor internal dan eksternal dalam rangka
menyusun strategi pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di perairan
Jakarta. Keempat tujuan secara khusus tersebut diatas belum pernah dilakukan
sebelumnya. Tujuan pertama dan kedua dari penelitian ini dapat melengkapi
penelitian tentang tangkap lebih (overfishing) dan efisiensi dari perbaikan
kerusakan sumberdaya ikan terhadap peningkatan upaya pemanfaatan potensi
perikanan yang dilakukan Anna (2003).
Tujuan ketiga dari penelitian ini membantu mempertegas upaya
pemecahan konflik pemanfaatan lahan/wilayah dalam penelitian Rudianto (2004)
dan potensi perikanan yang mengundang ketertarikan masyarakat termasuk
squatter yang terlibat pada kegiatan perikanan. Tujuan ketiga ini pula
menyempurnakan penelitian Saksono (2008) tentang pembangunan daerah
Kepulauan Seribu yang berbasis industri perikanan, yaitu sebagai tambahan
rujukan pengembangan daerah berdasarkan kesesuaian ruang dan penentuan
wilayah basis alat tangkap potensial.
Tujuan keempat penelitian ini merumuskan lebih aplikatif tentang
strategi pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di perairan Jakarta dan
sebelumnya belum pernah dilakukan di lokasi. Namun tujuan keempat ini dapat
menjadi rujukan implementatif bagi model pembangunan berbasis industri
perikanan yang dilakukan Saksono (2008).

41

Anda mungkin juga menyukai