SKRIPSI
OLEH
MUHAMMAD ARIF
NIM: 1920303019
PALEMBANG
2022 M/1443 H
BAB 1
PENDAHULUAN
Konsep maẖram bukan hanya sekali atau dua kali dibicarakan dalam dunia pemikiran
Islam. Kata maẖram berasal dari lafal harâm yang berarti haram, terlarang dan merupakan ism
maf’ûl, bentukan dari kata harama (fi’il mâdhi)1, atau bisa juga harima dan haruma, dengan
jama’-nya mahârim dan memiliki makna mâ lâ yahillu intihâkuhâ, yaitu sesuatu yang tidak
boleh dilanggar.
Salah satu problem yang menyangkut tentang gender adalah konsep mahram. Meski
bukan isu baru lagi, akan tetapi konsep ini selalu menjadi tarikan untuk disorot. Karena
perubahan pergaulan di masyarakat membuat perempuan ikut terlibat dalam ranah publik dan
Mahram merupakan ungkapan yang merujuk pada sebuah ikatan antarindividu yang
dapat menghalangi terjadinya sebuah pernikahan. Mahram bisa terjadi karena hubungan darah,
sepersusuan atau perkawinan. Meskipun dalam konteks yang bisa menemani perempuan
perjalanan status mahram-nya harus permanen dan memenuhi standar lainnya. Artinya, tidak
semua orang yang terikat dalam kriteria mahram perempuan bisa serta merta menemani
perempuan tersebut. Ada juga yang memahami hadis tersebut cenderung literalistik atau makna,
sehingga menurut mereka bagaimanapun seorang perempuan ketika akan melakukan perjalanan
jauh yang sifatnya mubah atau sunnah harus didampingi oleh maẖram-nya.
1
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, Januari 2007, Ciputat
Jakarta), hal. 101.
1
ِ حِّرمت علَي ُكم اَُّمهتُ ُكم وبنتُ ُكم واَخوتُ ُكم وع َّمتُ ُكم وخلتُ ُكم وبنت ااْل َ ِخ وبنت ااْل ُخ
ت ْ ُ ََ ُ ََ ْ َ ْ َ َ ْ َ َ ْ ََ ْ ْ َْ ْ َ ُ
َو َحالَ ِئ ُل اَْبنَاِئ ُك ُم الَّ ِذيْ َن ِم ْن،اح َعلَْي ُك ْم ِهِب ِ ِهِب ن ِئ
َ َ فَا ْن مَّلْ تَ ُك ْونُ ْوا َد َخ ْلتُ ْم َّن فَالَ ُجن،ِّسا ُك ُم اليِت ْ َد َخ ْلتُ ْم َّن
َ
yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan
dari saudaramu yang perempuan, ibu-ibu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu
sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam
pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan
istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya), (dan
(dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa
Berdasarkan ayat diatas konteks ayat tersebut tertuju pada kaum laki-laki, akan tetapi
dapat kita pahami juga bahwa hukum ayat tersebut bisa juga berlaku pada perempuan, mahram-
mahram bagi perempuan yaitu: kakek, nenek, ayah, ibu, anak laki-laki dan perempuan, saudara
laki-laki dan perempuan, saudara-saudara ayah dan ibu yang laki-laki serta perempuan (paman
2
Syaamil Qur’an, Qur’an Asy-Syifaa’ Hafalan Terjemah dan Tajwid Berwarna Metode Tikrar, (cet. 3,
Maret 2019, Bandung Jawa Barat), hal. 81 ayat 23.
2
dan bibi), anak laki-laki dan perempuan dari saudara laki-laki dan perempuan (keponakan),
saudara-saudara laki-laki dan perempuan sepersusuan, serta ayah dan ibu dari suami (mertua).
Mereka yang tidak termasuk dalam kategori maẖram di anggap sebagai orang asing
yang harus dijaga “jarak aman” nya sehingga mempunyai etika relasi yang berbeda dengan
maẖram. Misalnya boleh menikahi, membatalkan wudhu, tidak berhak mendampingi perempuan
ketika bepergian, tidak boleh berjabat tangan dan tidak boleh berduaan. Salah satu fenomena
yang terjadi di masyarakat adalah pemahaman perlunya maẖram bagi perempuan yang hendak
bepergian.
menyatakan, bahwa maksud maẖram dalam al-Qur’ân berkaitan dengan konsep munakahat atau
pernikahan, dimana di situ dilarang menikahi para maẖram dan maksud lainnya adalah
memberikan perlindungan, karena kenyataannya keluarga dekat yaitu maẖram yang memberikan
perlindungan biasanya memiliki jalinan emosional yang cukup kuat, sehingga pengaman dan
perlindungan bisa diberikan. Namun, jika perempuan tersebut tidak memiliki maẖram, lantas
3
Oleh karenanya, jika hadis tentang harus ada maẖram dalam perjalanan perempuan
dipahami secara tektualis, maka akan menciptakan ketidakseimbangan hak antara perempuan
dan laki-laki. Persoalan ini dapat mendeskriditkan ajaran Islam yang dianggap menghambat
gerak perempuan.
Bagi perempuan yang sudah baligh4 menikah atau belum, mereka seringkali khawatir
pada saat bepergian karena dilihat maraknya kejahatan-kejahatan diluar. Dan banyak terjadi
3
Abdul Mustaqim, “Konsep Mahramdalam Al-Qur’ân (Implikasinya dalam MobilitasKaum Perempuan di
Ranah Publik),” Musawa,Vol. 6, No. 1 (2010), hal. 11.
4
Seseorang yang sudah mencapai usia tertentu dan dianggap dewasa, atau sudah mengalami perubahan
biologis yang menjadi tanda-tandanya seperti sampai 15 tahun umur bagi laki-laki serta telah mengalami mimpi
basah atau keluarnya air sperma dan telah melewati umur 9 tahun serta keluarnya darah (haidh) bagi perempuan.
3
kasus pemerkosaan, perampokan dan pembegalan karena mereka lepas dari pengawasan mahram
nya. Akan tetapi adakah perintah wajib dalam perkara ini atau ada hal tertentu membolehkan
perempuan bepergian sendiri, karena jika situasi bisa dibuat menjadi aman maka perkara
Ada banyak hadis yang Nabi Muhammad Saw sampaikan dalam permasalahan larangan
perempuan saat bepergian tanpa mahram secara literal. Hadis-hadis ini termuat dalam kitab-kitab
para ulama’ yang populer dan menjadi rujukan bagi semua orang, mereka yaitu Al-Bukhari,
َّ َوالَ يَ ْد ُخ ُل َعلَْي َها َر ُج ٌل اِال،النيب (الَ تُساَفُِر الْ َم ْرَأةُ اِالَّ َم َع ِذي حَمَْرٍم
ُّ قال: قال،رضي اهللُ عنه
َ
ريد
ُ ُ وامرأيت ت،أخر َج يف جيش كذا وكذا ِ رسول
ُ ُأريد أن
ُ اهلل اين َ يا:رجل
ٌ َو َم َع َها حَمَْر ٌم) فقال
5
) (اُ ْخُر ْج َم َع َها: فقال،احلج
َّ
Abu al-Nu’man bercerita kepada kami, Hammad ibn Ziad bercerita keapda kami, dari
‘Amr, dari Abi Ma’bad (pelayan Ibn ‘Abbas), dari ‘Abbas RA, dia berkata “Rasulullah Saw
janganlah seseorang bersamanya kecuali ditemani mahramnya. (ibn ‘Abbas berkata), “Lalu ada
5
Abu ‘Abdullah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (cet. 1, 1423 H/2002 M, Dar Ibnu
Katsir), Nomor hadis. 1862, hal. 448.
4
seseorang berkata kepada Nabi ‘Wahai Rasulullah, aku ingin ikut sebuah peperangan ini dan itu
sedangkan istriku ingin pergi haji.’ Nabi pun menjawab, Temani istrimu.”6
Dalam hadis diatas terdapat penyebutan kata “suami” pada salah satu bagian teks hadis
tersebut, bukankah suami tidak termasuk dalam mahram? Abu al-Abbas bin Ahmad bin Umar
bin Ibrahim al-Qurtubi, seorang ulama hadis Kordoba, Spanyol. Terkait hadis yang berisikan
perintah Nabi kepada seorang sahabat agar menemani istrinya pergi haji dan mengurungkan
niatnya untuk ikut berangkat berperang, menjelaskan “bahwa menjaga keselamatan dan rasa
aman istri selama perjalanan merupakan bagian yang diprioritaskan”. Menurutnya pada
kenyataannya, para suami lebih bebas dan enak dalam mengurus istrinya ketimbang mahram nya
sendiri. Dalam hal ini bagi Abu al-Abbas hadis nabi tentang wajibnya ada mahram berlaku atas
Salah satu komentator Al-Muwatta’ karya monumental Malik, Al-Baji (w. 474 H)
menegaskan bahwa pendapat Malik berkorelasi dengan situasi umum dimasanya yang justru
tidak menguntungkan perempuan, mulai dari minimnya jaminan keselamatan hingga stigma
negatif dari masyarakat. Konteks dari ketentuan ini adalah saat perempuan hanya seorang diri
atau bersama dengan orang lain namun dalam jumlah yang kecil. Jika dalam kafilah besar,
jalanan ramai, aman seperti pasar serta banyaknya para pedagang dan keamanan perempuan bisa
tercapai dengan baik sehingga tidak lagi perlu terikat oleh ketetntuan harus ditemani mahram.8
Dalam memahami hadis perlu adanya ilmu yang mendukungnya yakni ilmu ma’anil
hadis, rijalul hadis, kritik sanad (tersambung atau tidak) dan kritik matan (dapat dipercaya atau
tidak), agar tidak salah dalam memahami sebuah hadis nabi Muhammad Saw. Salah satu hadis
6
Miski, Pengantar Metodologi Penelitian Hadis Tematik, (Cet. 1, Februari 2021, Maknawi, Malang Jawa
Timur), hal. 155-156.
7
Abu al-Abbas bin Ahmad bin Umar bin Ibrahim al-Qurtubi, Al-Mufhim, (cet. 1, 1417 H/1996 M,
Damaskus-Beirut, Dar Ibnu Katsir).
8
Miski, Pengantar Metodologi Penelitian Hadis Tematik, (Cet. 1, Februari 2021, Maknawi, Malang Jawa
Timur), hal. 169.
5
yang sangat perlu dipahami yaitu hadis larangan perempuan saat bepergian tanpa mahram bukan
Dalam memahami hadis-hadis nabi Muhammad Saw memiliki dua metode yaitu:
1. Kata tekstual berasala dari kata teks yang berarti nash, kata-kata asli dari pengarang,
kutipan dari kitab suci untuk pangkal ajaran (alasan), atau sesuatu yang tertulis
untuk dasar memberikan pelajaran dan berpidato. Selanjutnya, dari kata tekstual
muncul istilah kaum tekstualis yang artinya sekelompok orang yang memahami teks
hadis berdasarkan yang tertulis pada teks, tidak mau menggunakan qiyas, dan tidak
mau menggunakan ra’yu. Dengan kata lain, maksud pemahaman tekstual adalah
2. Adapun kontekstual berasal dari kata konteks yang berarti sesuatu yang ada di depan
atau di belakang (kata, kalimat, atau ungkapan) yang mampu menentukan makna.
Selanjutnya, dari kata kontekstual muncul istilah kaum kontekstualis yang artinya
sekelonpok orang yang memahami teks dengan memperhatikan sesuatu yang ada di
sekitarnya karena ada indikasi makna-makna lain selain makna tekstual. Dengan
b. Konteks eksternal, seperti kondisi audiensi dari segi kultur,s osial, serta asbab
al-wurud.9
9
Abdul Majid Khon, Takhrij Dan Metode Memahami Hadis, (Cet. Pertama, November 2014, Amzah,
Jakarta), hal. 146-147.
6
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, semua data didapatkan dalam bentuk
tulisan, karya-karya dan dokumen-dokumen yang menjadi sumber utama penelitian. Sumber
utama adalah kitab induk hadis yaitu, Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, dan Sunan Abu
Dawud. serta dibantu dengan kitab-kitab syarah nya. Kitab-kitab ini menjadi sumber referensi
utama bagi setiap orang dalam melihat hukum-hukum dan aturan dalam agama islam.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, agar penelitian ini dapat
dilakukan secara terarah dan mendalam, maka rumusan masalah yang akan diteliti dalam
1) Bagaimana Makna Dan Kualitas Hadis Larangan Perempuan Saat Bepergian Tanpa
Mahram ?
1. Tujuan Penelitian
1) Untuk Mengetahui Bagaimana Makna Dan Kualitas Hadis Larangan Perempuan Saat
2. Manfaat Penelitian
Jika tujuan tersebut telah dicapai, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
7
Secara teoritis penelitian ini sebagai sumbangan pemikiran bagi lembaga pendidikan
tinggi dan berharap dapat bermanfaat bagi khazanah keilmuan dalam ilmu hadis terutama untuk
memberikan pemahaman dalam menilai sebuah hadis dan mampu paham akan hadis bukan
hanya tekstual akan tetapi lebih ke kontekstual. Hasil penelitian ini diharapkan di jadikan seperti
apa adanya, referensi bagi riset selanjutnya apa yang akan datang dalam konteks studi ma’anil
hadis yang terdapat didalam kitab-kitab maupun buku-buku yang dikutip oleh pengarangnya.
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi positif kepada pembaca agar
bisa lebih memahami bagaimana makna serta kualitas hadis dan dapat pemahaman terhadap
A. Kajian Kepustakaan
Pertama, Abd Aziz dan Yuan Martina Dinata dalam jurnalnya “Pelacakan Hadis
Bepergian Wanita Tanpa Mahram”, (Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam Vol. 4,
No. 01, 2021) menyimpulkan bahwa dalam pelaksanaan ibadah haji, wanita dilarang bepergian
tanpa didampingi muhrim bersamanya jika bepergian sehari/semalam ataupun tiga hari atau
lebih. Pelarangan ini juga berlaku pada kondisi perjalanan biasa yang situasi keamanan kurang
terjaga yang berdampak pada keselamatan wanita tersebut. Syarat diperbolehkan wanita
melakukan bepergian, antara lain ada izin suami, tertutup aurat, situasi perjalanan aman, tidak
tabarruj, meskipun waktu yang ditempuh tidak mencapai sehari semalam. Hadis yang diurai di
atas termasuk hadis ahad mashhur, sehingga dapat dijadikan hujjah, dengan pengecualian situasi
negara aman, dan terjaga keselamatan wanita muslim tersebut selama bepergian.10
10
Abd Aziz dan Yuan Martina Dinata, Pelacakan Hadis Bepergian Wanita Tanpa Mahram, (Al Amin:
Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam Vol. 4, No. 01, 2021), hal. 113.
8
Kedua, Ummi Hasanah dan Ahmad Rajafi dalam jurnalnya “Hadis Perempuan
menyimpulkan bahwa Terdapat problem dalam memahami hadits terkait mahram. Dalam hadits
tersebut dikatakan bahwa perempuan yang melakukan perjalanan jauh maka harus disertai oleh
perempuan dalam melakukan aktivitasnya di luar. Hal ini juga menjadi salah satu latar belakang
muculnya perda syari’at di beberapa daerah. Sementara itu, kejahatan yang terjadi pada
perempuan saat ini semakin marak dan merebak, mulai dari usia muda, dewasa hingga tua,
seperti pemerkosaan, pencabulan dan perampokan. Selain itu, bagaimana sebenarnya peran
maẖram yang tercantum dalam hadits Nabi tersebut. Pemaknaan yang dapat di ambil melalui
pendekatan hermeneutika Paul Ricoeur dari hadits yang melarang perempuan melakukan
perjalanan tanpa disertai mahram adalah tidak hanya berlangsung pada struktur kekeluargaan,
namun juga melalui instrumen-instrumen yang dibentuk oleh negara dalam bentuk perlindungan
dari lembaga berupa sederetan perundang-undangan, aksi pejabat atau kepala pemerintahan serta
masyarakat Selain itu, peran maẖram dalam hadits tesebut adalah bentuk pencegahan secara
Academic Journal of Islamic Studies, Volume 5, Number 1, January - June 2020) menyimpulkan
bahwa Berpijak pada tiga pertanyaan utama terkait status dan eksistensi hadis larangan
perempuan melakukan perjalanan jika tanpa mahram, pemahaman ulama akan hadis tersebut
serta bagaimana mereka melakukan kontruksi terhadap konsep mahram yang tertera dalam teks
11
Ummi Hasanah dan Ahmad Rajafi, Hadis Perempuan Melakukan Perjalanan Tanpa Mahram Perspektif
Hermeneutika Paul Ricouer, hal. 81-82.
9
hadis itu, kajian ini menunjukkan: Pertama, hadis Nabi yang berbicara tentang larangan
perempuan melakukan perjalanan jika tidak disertai mahram merupakan hadis yang banyak
dikenal di kalangan sahabat seperti Abu Sa‘id al-Khudri, Abu Hurairah, Ibn ‘Abbas, Ibn ‘Umar,
Jabir ibn ‘Abd Allah, dan Abu Umamah dan tersebar dalam beberapa karya besar semisal Shahih
al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan al-Tirmidzi, Sunan Ibn Majah. Dalam
mempertimbangkan persoalan radius jarak atau waktu tempuh perjalanannya dengan ragam
redaksi. Kedua, penjelasan para ulama tentang hadis larangan perempuan melakukan perjalanan
jika tanpa mahram tidak berakhir dengan kesimpulan yang sama. Hal ini mengindikasikan
adanya proses negosiasi di kalangan mereka yaitu bagaimana mereka mendialogkan teks hadis
dengan situasi dan kondisi yang mereka temui di kehidupan nyata. Kesadaran tentang konteks,
mengharuskan ulama hadis menggali lebih jauh esensi hadis melampaui apa yang tersurat dalam
teks tersebut. Dari poin ini, kemudian bisa dijelaskan bahwa sebenarnya nalar hermeneutis sudah
eksis di kalangan ulama hadis meski pun tidak muncul secara definitif. Ketiga, kaitannya dengan
mahram, dari keseluruhan paparan para ulama, ada titik penting yang menjadi patokan utama,
yaitu kemampuan menciptakan suasana dan rasa aman. Keselamatan perempuan menjadi titik
mengingat hal yang paling penting adalah keselamatan, maka apa pun yang bisa mendorong
terciptanya hal tersebut dapat diposisikan sebagai mahram, bisa suami atau yang lainnya. Atas
dasar itu, banyak ulama menyebut tidak perlu ada mahram atau siapapun jika kondisi dan
situasinya memang aman dan tidak mengganggu keselamatan, seperti al-Baji dan lain-lain. Lebih
dari itu, temuan dari kajian penulis pada tema ini menunjuk pada kesimpulan akhir bahwa model
10
berpikir hermeneutis yang ditawarkan oleh pengkaji modern sudah dipraktikkan dengan baik
Fathin Vol. 3, Edisi 1 Januari-Juni 2020) menyimpulkan bahwa Keberadaan mahram sebagai
pendam-ping dalam perjalanan seorang perempuan pada dasarnya merupakan jaminan keamanan
pada saat hadis tersebut disam-paikan. Jika syarat keamanan dan keselamatan telah terjamin
tanpa didam-pingi mahram, maka perempuan bepergian sendirian bukan lagi sebuah masalah.
Yang terpenting adalah komunikasi yang baik terjalin di antara perempuan tersebut.13
bahwa Pemahaman hadis (fiqhul hadis) yang kontekstual dengan zaman sangat diperlukan agar
hadis-hadis yang muncul ratusan tahun yang lalu itu tetap akomodatif terhadap perkembangan
zaman. Salah satu upaya untuk melakukan kontekstualisasi hadis itu adalah dengan
menggunakan pendekatan sosio-hitoris dan antropologis, agar kontekstualisasi sebuah hadis tetap
menjaga relasi antar teks dan konteksnya baik pada masa lalu di saat teks-teks hadis itu muncul
maupun saat sekarang dimana hadis itu tetap menjadi sumber hukum kedua setelah al-Qur’an.14
B. Metode Penelitian
1) Jenis Penelitian
12
Miski, Nalar Hermeneutis Ulama Hadis: Larangan Perempuan Bepergian tanpa Mahram dalam Ruang
Sejarah Pemahaman, (DINIKA : Academic Journal of Islamic Studies, Volume 5, Number 1, January - June 2020),
hal. 90-91
13
Sri Handayana dan Arif Budiman, Pemahaman Proposional Tentang Mahram Sebagai Pendamping
Dalam Perjalanan Perempuan, (Al-Fathin Vol. 3, Edisi 1 Januari-Juni 2020), hal. 101.
14
Ghufron Hamzah, Reinterprestasi Hadis Larangan Perempuan Bepergian Tanpa Mahram Dan Larangan
Melukis (Pendekatan Sosio-Historis Dan Antropologis), (JASNA : Journal for Aswaja Studies Volume 1 No 1), hal.
34.
11
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang berupa library research (penelitian
kepustakaan), merupakan telaah yang dilaksanakan untuk menyelesaikan sebuah masalah, yang
pada dasarnya bertumpuh pada penelaah kritis dan mendalam terhadap bahan-bahan pustaka
yang relevan, ada dua penggunaan sumber penilitian yaitu sebagai berikut:
Sumber Data Primer berasal dari teks hadis yang ada dalam kitab Shahih Al-Bukhari,
Sumber Data Sekunder berasal dari pustaka penunjang yaitu kitab Mu’jam al-Mufaros
Li al-Fadzi al-Hadits an-Nabawi al-Syarif karangan AJ Wensik, kitab-kitab syarah dari Shahih
Bukhari, Shahih Muslim serta Sunan Abu Dawud dan buku-buku yang relevansi dengan
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penilitian ini adalah dengan mecari dan
membaca literature-literatur yang berhubungan dengan pembahasan, baik dari data primer atau
data sekunder. Setelah mencari dan membaca literatur-literatur tersebut maka akan dilakukan
pembatasan terhadap poin-poin penting agar tidak terjadi pelebaran aspek pembahasan dari tema
sentral obyek penelitian. Kemudian sumber data yang diperoleh dikumpulkan, dipelajari dan
3) Analisis Data
Data yang telah terkumpul lalu dianalisa secara deskriptif yakni menggambarkan,
menguraikan atau menyajikan seluruh permasalahan yang ada pada pokok-pokok permasalahan
secara tegas dan kemudian ditarik kesimpulan dari data-data yang bersifat umum dan khusus,
12
sehingga penyajian hasil penelitian dapat dipahami dan dimengerti dengan mudah dan jelas.
Karena objek penelitian ini berupa hadis tersebar dalam beberapa kitab hadis, maka penelitian ini
Analisis Ma’anil Hadis adalah metode untuk menganalisis dan memahami makna-makna
hadis secara teks dan kontekstual serta yang terkandung dalam sejumlah matan hadis yang
dengannya dapat diketahui mana yang bisa diamalkan dan mana hadis yang tidak bisa
diamalkan.
C. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan digunakan untuk mendapat gambaran yang terperinci dan untuk
mempermudah isi dari pada skripsi ini, sehingga penulis membagi sistematika penulisan ke
BAB I: Pendahuluan, pada bab ini terdapat latar belakang yang mendasari penelitian,
kemudian diidentifikasi masalah melalui rumusan dan batasan masalah. Termasuk pula
dijelaskan tujuan dan manfaat penelitian, lalu terdapat kajian pustaka serta metode penelitian
yang menjelaskan jenis dan sumber data, teknik pengumpulan data, metode analisis data serta
sistematika penulisan.
BAB II: Landasan teori ma’anil hadis, pada bab ini terdapat pengertian, urgensi,
13
BAB III: Seputar hadis larangan perempuan saat bepergian tanpa mahram, pada bab ini
terdapat tinjauan, kritk sanad dan matan terhadap hadis larangan perempuan saat bepergian tanpa
mahram.
BAB IV : Pemahaman hadis tekstual dan kontekstual, pada bab ini terdapat syarah dari
BAB V: Penutup, pada bab ini penulis menyimpulkan pembahasan mengenai penelitian
yang telah dilakukan sekaligus menjadi penutup. Serta hasil dari penelitian tersebut, kemudian
penulis memberikan asumsi terkait permasalahan penelitian dari keseluruhan penelitian ini agar
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, Abd dan Yuan Martina Dinata. “Pelacakan Hadis Bepergian Wanita Tanpa Mahram”, (Al
Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam Vol. 4, No. 01, 2021), hal. 113.
14
Al-Bukhari, Abu ‘Abdullah Muhammad bin Isma’il. “Shahih al-Bukhari”, (cet. 1, 1423 H/2002
Al-Qurtubi, Abu al-Abbas bin Ahmad bin Umar bin Ibrahim. Al-Mufhim, (cet. 1, 1417 H/1996
Hamzah, Ghufron. “Reinterprestasi Hadis Larangan Perempuan Bepergian Tanpa Mahram Dan
Handayana, Sri dan Arif Budiman. “Pemahaman Proposional Tentang Mahram Sebagai
Hasanah, Ummi dan Ahmad Rajafi. “Hadis Perempuan Melakukan Perjalanan Tanpa Mahram
Majid Khon, Abdul. “Takhrij Dan Metode Memahami Hadis”, (Cet. Pertama, November 2014,
Miski. “Pengantar Metodologi Penelitian Hadis Tematik”, (Cet. 1, Februari 2021, Maknawi,
Miski. “Nalar Hermeneutis Ulama Hadis: Larangan Perempuan Bepergian tanpa Mahram
Qur’an, Syaamil. “Qur’an Asy-Syifaa’ Hafalan Terjemah dan Tajwid Berwarna Metode Tikrar”,
15
Yunus, Mahmud. Kamus Arab Indonesia, (PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, Januari 2007, Ciputat
16