Anda di halaman 1dari 17

LARANGAN PEREMPUAN SAAT BEPERGIAN TANPA MAHRAM

(Studi Ma’anil Hadis)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

dalam Ilmu Hadis

OLEH

MUHAMMAD ARIF

NIM: 1920303019

FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH

PALEMBANG

2022 M/1443 H
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Konsep maẖram bukan hanya sekali atau dua kali dibicarakan dalam dunia pemikiran

Islam. Kata maẖram berasal dari lafal harâm yang berarti haram, terlarang dan merupakan ism

maf’ûl, bentukan dari kata harama (fi’il mâdhi)1, atau bisa juga harima dan haruma, dengan

jama’-nya mahârim dan memiliki makna mâ lâ yahillu intihâkuhâ, yaitu sesuatu yang tidak

boleh dilanggar.

Salah satu problem yang menyangkut tentang gender adalah konsep mahram. Meski

bukan isu baru lagi, akan tetapi konsep ini selalu menjadi tarikan untuk disorot. Karena

perubahan pergaulan di masyarakat membuat perempuan ikut terlibat dalam ranah publik dan

mereka rela untuk tinggal berjauhan dari keluarga atau mahram-nya.

Mahram merupakan ungkapan yang merujuk pada sebuah ikatan antarindividu yang

dapat menghalangi terjadinya sebuah pernikahan. Mahram bisa terjadi karena hubungan darah,

sepersusuan atau perkawinan. Meskipun dalam konteks yang bisa menemani perempuan

perjalanan status mahram-nya harus permanen dan memenuhi standar lainnya. Artinya, tidak

semua orang yang terikat dalam kriteria mahram perempuan bisa serta merta menemani

perempuan tersebut. Ada juga yang memahami hadis tersebut cenderung literalistik atau makna,

sehingga menurut mereka bagaimanapun seorang perempuan ketika akan melakukan perjalanan

jauh yang sifatnya mubah atau sunnah harus didampingi oleh maẖram-nya.

Allah berfirman dalam QS. An-Nisa’ ayat 23

1
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, Januari 2007, Ciputat
Jakarta), hal. 101.

1
ِ ‫حِّرمت علَي ُكم اَُّمهتُ ُكم وبنتُ ُكم واَخوتُ ُكم وع َّمتُ ُكم وخلتُ ُكم وبنت ااْل َ ِخ وبنت ااْل ُخ‬
‫ت‬ ْ ُ ََ ُ ََ ْ َ ْ َ َ ْ َ َ ْ ََ ْ ْ َْ ْ َ ُ

‫هت نِ َساِئ ُك ْم َو َربَاِئبُ ُك ُم اليِت يِف ْ ُح ُج ْو ِر ُك ْم ِّم ْن‬ ِ ‫الرض‬


ُ ‫اعة َواَُّم‬ َ ‫َواَُّمهتُ ُك ُم الّيِت ْ اَْر‬
َ َ َّ ‫ض ْعنَ ُك ْم َواَ َخوتُ ُك ْم ِّم َن‬

‫ َو َحالَ ِئ ُل اَْبنَاِئ ُك ُم الَّ ِذيْ َن ِم ْن‬،‫اح َعلَْي ُك ْم‬ ِ‫هِب‬ ِ ِ‫هِب‬ ‫ن ِئ‬
َ َ‫ فَا ْن مَّلْ تَ ُك ْونُ ْوا َد َخ ْلتُ ْم َّن فَالَ ُجن‬،‫ِّسا ُك ُم اليِت ْ َد َخ ْلتُ ْم َّن‬
َ

‫ اِ َّن اهللَ َكا َن َغ ُف ْو ًرا َّر ِحْي ًما‬،‫ف‬ ِ


َ َ‫ َواَ ْن جَتْ َمعُ ْوا َبنْي َ ااْل ُ ْخَتنْي ِ ااَّل َما قَ ْد َسل‬،‫صالَبِ ُك ْم‬
ْ َ‫ا‬

Artinya: “Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan,

saudara-saudaramu perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibu

yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan

dari saudaramu yang perempuan, ibu-ibu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu

sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam

pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan

istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya), (dan

diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu) dan diharamkan mengumpulkan

(dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa

lampau. Sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.2

Berdasarkan ayat diatas konteks ayat tersebut tertuju pada kaum laki-laki, akan tetapi

dapat kita pahami juga bahwa hukum ayat tersebut bisa juga berlaku pada perempuan, mahram-

mahram bagi perempuan yaitu: kakek, nenek, ayah, ibu, anak laki-laki dan perempuan, saudara

laki-laki dan perempuan, saudara-saudara ayah dan ibu yang laki-laki serta perempuan (paman

2
Syaamil Qur’an, Qur’an Asy-Syifaa’ Hafalan Terjemah dan Tajwid Berwarna Metode Tikrar, (cet. 3,
Maret 2019, Bandung Jawa Barat), hal. 81 ayat 23.

2
dan bibi), anak laki-laki dan perempuan dari saudara laki-laki dan perempuan (keponakan),

saudara-saudara laki-laki dan perempuan sepersusuan, serta ayah dan ibu dari suami (mertua).

Mereka yang tidak termasuk dalam kategori maẖram di anggap sebagai orang asing

yang harus dijaga “jarak aman” nya sehingga mempunyai etika relasi yang berbeda dengan

maẖram. Misalnya boleh menikahi, membatalkan wudhu, tidak berhak mendampingi perempuan

ketika bepergian, tidak boleh berjabat tangan dan tidak boleh berduaan. Salah satu fenomena

yang terjadi di masyarakat adalah pemahaman perlunya maẖram bagi perempuan yang hendak

bepergian.

Pertanyaannya utamanya adalah, kenapa harus bersama maẖram? Abdul Mustaqim

menyatakan, bahwa maksud maẖram dalam al-Qur’ân berkaitan dengan konsep munakahat atau

pernikahan, dimana di situ dilarang menikahi para maẖram dan maksud lainnya adalah

memberikan perlindungan, karena kenyataannya keluarga dekat yaitu maẖram yang memberikan

perlindungan biasanya memiliki jalinan emosional yang cukup kuat, sehingga pengaman dan

perlindungan bisa diberikan. Namun, jika perempuan tersebut tidak memiliki maẖram, lantas
3

siapa yang dapat memberikan perlindungan baginya?

Oleh karenanya, jika hadis tentang harus ada maẖram dalam perjalanan perempuan

dipahami secara tektualis, maka akan menciptakan ketidakseimbangan hak antara perempuan

dan laki-laki. Persoalan ini dapat mendeskriditkan ajaran Islam yang dianggap menghambat

gerak perempuan.

Bagi perempuan yang sudah baligh4 menikah atau belum, mereka seringkali khawatir

pada saat bepergian karena dilihat maraknya kejahatan-kejahatan diluar. Dan banyak terjadi

3
Abdul Mustaqim, “Konsep Mahramdalam Al-Qur’ân (Implikasinya dalam MobilitasKaum Perempuan di
Ranah Publik),” Musawa,Vol. 6, No. 1 (2010), hal. 11.
4
Seseorang yang sudah mencapai usia tertentu dan dianggap dewasa, atau sudah mengalami perubahan
biologis yang menjadi tanda-tandanya seperti sampai 15 tahun umur bagi laki-laki serta telah mengalami mimpi
basah atau keluarnya air sperma dan telah melewati umur 9 tahun serta keluarnya darah (haidh) bagi perempuan.

3
kasus pemerkosaan, perampokan dan pembegalan karena mereka lepas dari pengawasan mahram

nya. Akan tetapi adakah perintah wajib dalam perkara ini atau ada hal tertentu membolehkan

perempuan bepergian sendiri, karena jika situasi bisa dibuat menjadi aman maka perkara

larangan ini bisa dikompromi.

Ada banyak hadis yang Nabi Muhammad Saw sampaikan dalam permasalahan larangan

perempuan saat bepergian tanpa mahram secara literal. Hadis-hadis ini termuat dalam kitab-kitab

para ulama’ yang populer dan menjadi rujukan bagi semua orang, mereka yaitu Al-Bukhari,

Imam Muslim dan Abu Dawud.

Nabi Muhammad Saw bersabda:

ٍ ّ‫ موىل ابن عب‬،‫ عن أيب َمعبَ ٍد‬،‫ عن عم ٍرو‬،‫زيد‬


ٍ ّ‫ عن اب ِن عب‬،‫اس‬
‫اس‬ ٍ ‫حدثَنا مَح اد بن‬ ِ
ُ ُ ّ َّ ،‫ح ّدثنا أبو النُّعمان‬

َّ‫ َوالَ يَ ْد ُخ ُل َعلَْي َها َر ُج ٌل اِال‬،‫النيب (الَ تُساَفُِر الْ َم ْرَأةُ اِالَّ َم َع ِذي حَمَْرٍم‬
ُّ ‫ قال‬:‫ قال‬،‫رضي اهللُ عنه‬
َ

‫ريد‬
ُ ُ‫ وامرأيت ت‬،‫أخر َج يف جيش كذا وكذا‬ ِ ‫رسول‬
ُ ‫ُأريد أن‬
ُ ‫اهلل اين‬ َ ‫ يا‬:‫رجل‬
ٌ ‫َو َم َع َها حَمَْر ٌم) فقال‬

5
)‫ (اُ ْخُر ْج َم َع َها‬:‫ فقال‬،‫احلج‬
َّ

Abu al-Nu’man bercerita kepada kami, Hammad ibn Ziad bercerita keapda kami, dari

‘Amr, dari Abi Ma’bad (pelayan Ibn ‘Abbas), dari ‘Abbas RA, dia berkata “Rasulullah Saw

bersabda, Janganlah seorang perempuan melakukan perjalanan kecuali disertai mahramnya;

janganlah seseorang bersamanya kecuali ditemani mahramnya. (ibn ‘Abbas berkata), “Lalu ada

5
Abu ‘Abdullah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (cet. 1, 1423 H/2002 M, Dar Ibnu
Katsir), Nomor hadis. 1862, hal. 448.

4
seseorang berkata kepada Nabi ‘Wahai Rasulullah, aku ingin ikut sebuah peperangan ini dan itu

sedangkan istriku ingin pergi haji.’ Nabi pun menjawab, Temani istrimu.”6

Dalam hadis diatas terdapat penyebutan kata “suami” pada salah satu bagian teks hadis

tersebut, bukankah suami tidak termasuk dalam mahram? Abu al-Abbas bin Ahmad bin Umar

bin Ibrahim al-Qurtubi, seorang ulama hadis Kordoba, Spanyol. Terkait hadis yang berisikan

perintah Nabi kepada seorang sahabat agar menemani istrinya pergi haji dan mengurungkan

niatnya untuk ikut berangkat berperang, menjelaskan “bahwa menjaga keselamatan dan rasa

aman istri selama perjalanan merupakan bagian yang diprioritaskan”. Menurutnya pada

kenyataannya, para suami lebih bebas dan enak dalam mengurus istrinya ketimbang mahram nya

sendiri. Dalam hal ini bagi Abu al-Abbas hadis nabi tentang wajibnya ada mahram berlaku atas

mereka yang memang tidak mempunyai suami.7

Salah satu komentator Al-Muwatta’ karya monumental Malik, Al-Baji (w. 474 H)

menegaskan bahwa pendapat Malik berkorelasi dengan situasi umum dimasanya yang justru

tidak menguntungkan perempuan, mulai dari minimnya jaminan keselamatan hingga stigma

negatif dari masyarakat. Konteks dari ketentuan ini adalah saat perempuan hanya seorang diri

atau bersama dengan orang lain namun dalam jumlah yang kecil. Jika dalam kafilah besar,

jalanan ramai, aman seperti pasar serta banyaknya para pedagang dan keamanan perempuan bisa

tercapai dengan baik sehingga tidak lagi perlu terikat oleh ketetntuan harus ditemani mahram.8

Dalam memahami hadis perlu adanya ilmu yang mendukungnya yakni ilmu ma’anil

hadis, rijalul hadis, kritik sanad (tersambung atau tidak) dan kritik matan (dapat dipercaya atau

tidak), agar tidak salah dalam memahami sebuah hadis nabi Muhammad Saw. Salah satu hadis
6
Miski, Pengantar Metodologi Penelitian Hadis Tematik, (Cet. 1, Februari 2021, Maknawi, Malang Jawa
Timur), hal. 155-156.
7
Abu al-Abbas bin Ahmad bin Umar bin Ibrahim al-Qurtubi, Al-Mufhim, (cet. 1, 1417 H/1996 M,
Damaskus-Beirut, Dar Ibnu Katsir).
8
Miski, Pengantar Metodologi Penelitian Hadis Tematik, (Cet. 1, Februari 2021, Maknawi, Malang Jawa
Timur), hal. 169.

5
yang sangat perlu dipahami yaitu hadis larangan perempuan saat bepergian tanpa mahram bukan

hanya dipahami secara tekstual tapi dalam kontekstual juga.

Dalam memahami hadis-hadis nabi Muhammad Saw memiliki dua metode yaitu:

Tekstual dan Kontekstual.

1. Kata tekstual berasala dari kata teks yang berarti nash, kata-kata asli dari pengarang,

kutipan dari kitab suci untuk pangkal ajaran (alasan), atau sesuatu yang tertulis

untuk dasar memberikan pelajaran dan berpidato. Selanjutnya, dari kata tekstual

muncul istilah kaum tekstualis yang artinya sekelompok orang yang memahami teks

hadis berdasarkan yang tertulis pada teks, tidak mau menggunakan qiyas, dan tidak

mau menggunakan ra’yu. Dengan kata lain, maksud pemahaman tekstual adalah

pemahaman makna lahiriah nash (zhahir al-nash).

2. Adapun kontekstual berasal dari kata konteks yang berarti sesuatu yang ada di depan

atau di belakang (kata, kalimat, atau ungkapan) yang mampu menentukan makna.

Selanjutnya, dari kata kontekstual muncul istilah kaum kontekstualis yang artinya

sekelonpok orang yang memahami teks dengan memperhatikan sesuatu yang ada di

sekitarnya karena ada indikasi makna-makna lain selain makna tekstual. Dengan

kata lain, pemahaman makna kontekstual adalah pemahaman makan yang

terkandung di dalam nash (bathin al-nash). Sementara itu, kontekstual dibedakan

dua macam, yaitu:

a. Konteks internal seperti mengandung bahasa kiasan, metafora, serta simbol;

b. Konteks eksternal, seperti kondisi audiensi dari segi kultur,s osial, serta asbab

al-wurud.9

9
Abdul Majid Khon, Takhrij Dan Metode Memahami Hadis, (Cet. Pertama, November 2014, Amzah,
Jakarta), hal. 146-147.

6
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, semua data didapatkan dalam bentuk

tulisan, karya-karya dan dokumen-dokumen yang menjadi sumber utama penelitian. Sumber

utama adalah kitab induk hadis yaitu, Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, dan Sunan Abu

Dawud. serta dibantu dengan kitab-kitab syarah nya. Kitab-kitab ini menjadi sumber referensi

utama bagi setiap orang dalam melihat hukum-hukum dan aturan dalam agama islam.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, agar penelitian ini dapat

dilakukan secara terarah dan mendalam, maka rumusan masalah yang akan diteliti dalam

penelitian ini adalah:

1) Bagaimana Makna Dan Kualitas Hadis Larangan Perempuan Saat Bepergian Tanpa
Mahram ?

2) Bagaimana Pemahaman Teks Dan Kontektualisasi Hadis Larangan Perempuan Saat

Bepergian Tanpa Mahram ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

1) Untuk Mengetahui Bagaimana Makna Dan Kualitas Hadis Larangan Perempuan Saat

Bepergian Tanpa Mahram.

2) Untuk Mengetahui Bagaimana Pemahaman Teks Dan Kontektualisasi Hadis Larangan

Perempuan Saat Bepergian Tanpa Mahram.

2. Manfaat Penelitian

Jika tujuan tersebut telah dicapai, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

manfaat dalam dua aspek :

1) Manfaat secara Teoritis

7
Secara teoritis penelitian ini sebagai sumbangan pemikiran bagi lembaga pendidikan

tinggi dan berharap dapat bermanfaat bagi khazanah keilmuan dalam ilmu hadis terutama untuk

memberikan pemahaman dalam menilai sebuah hadis dan mampu paham akan hadis bukan

hanya tekstual akan tetapi lebih ke kontekstual. Hasil penelitian ini diharapkan di jadikan seperti

apa adanya, referensi bagi riset selanjutnya apa yang akan datang dalam konteks studi ma’anil

hadis yang terdapat didalam kitab-kitab maupun buku-buku yang dikutip oleh pengarangnya.

2) Manfaat secara Praktis

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi positif kepada pembaca agar

bisa lebih memahami bagaimana makna serta kualitas hadis dan dapat pemahaman terhadap

hadis yang dibahas maupun hadis-hadis lainnya.

A. Kajian Kepustakaan

Pertama, Abd Aziz dan Yuan Martina Dinata dalam jurnalnya “Pelacakan Hadis

Bepergian Wanita Tanpa Mahram”, (Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam Vol. 4,

No. 01, 2021) menyimpulkan bahwa dalam pelaksanaan ibadah haji, wanita dilarang bepergian

tanpa didampingi muhrim bersamanya jika bepergian sehari/semalam ataupun tiga hari atau

lebih. Pelarangan ini juga berlaku pada kondisi perjalanan biasa yang situasi keamanan kurang

terjaga yang berdampak pada keselamatan wanita tersebut. Syarat diperbolehkan wanita

melakukan bepergian, antara lain ada izin suami, tertutup aurat, situasi perjalanan aman, tidak

tabarruj, meskipun waktu yang ditempuh tidak mencapai sehari semalam. Hadis yang diurai di

atas termasuk hadis ahad mashhur, sehingga dapat dijadikan hujjah, dengan pengecualian situasi

negara aman, dan terjaga keselamatan wanita muslim tersebut selama bepergian.10

10
Abd Aziz dan Yuan Martina Dinata, Pelacakan Hadis Bepergian Wanita Tanpa Mahram, (Al Amin:
Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam Vol. 4, No. 01, 2021), hal. 113.

8
Kedua, Ummi Hasanah dan Ahmad Rajafi dalam jurnalnya “Hadis Perempuan

Melakukan Perjalanan Tanpa Mahram Perspektif Hermeneutika Paul Ricouer”

menyimpulkan bahwa Terdapat problem dalam memahami hadits terkait mahram. Dalam hadits

tersebut dikatakan bahwa perempuan yang melakukan perjalanan jauh maka harus disertai oleh

mahramnya, namun permasalahannya mungkinkah mahram akan selalu mendampingi

perempuan dalam melakukan aktivitasnya di luar. Hal ini juga menjadi salah satu latar belakang

muculnya perda syari’at di beberapa daerah. Sementara itu, kejahatan yang terjadi pada

perempuan saat ini semakin marak dan merebak, mulai dari usia muda, dewasa hingga tua,

seperti pemerkosaan, pencabulan dan perampokan. Selain itu, bagaimana sebenarnya peran

maẖram yang tercantum dalam hadits Nabi tersebut. Pemaknaan yang dapat di ambil melalui

pendekatan hermeneutika Paul Ricoeur dari hadits yang melarang perempuan melakukan

perjalanan tanpa disertai mahram adalah tidak hanya berlangsung pada struktur kekeluargaan,

namun juga melalui instrumen-instrumen yang dibentuk oleh negara dalam bentuk perlindungan

dari lembaga berupa sederetan perundang-undangan, aksi pejabat atau kepala pemerintahan serta

masyarakat Selain itu, peran maẖram dalam hadits tesebut adalah bentuk pencegahan secara

konkrit bagi perempuan.11

Ketiga, Miski dalam jurnalnya “Nalar Hermeneutis Ulama Hadis: Larangan

Perempuan Bepergian tanpa Mahram dalam Ruang Sejarah Pemahaman” (DINIKA :

Academic Journal of Islamic Studies, Volume 5, Number 1, January - June 2020) menyimpulkan

bahwa Berpijak pada tiga pertanyaan utama terkait status dan eksistensi hadis larangan

perempuan melakukan perjalanan jika tanpa mahram, pemahaman ulama akan hadis tersebut

serta bagaimana mereka melakukan kontruksi terhadap konsep mahram yang tertera dalam teks

11
Ummi Hasanah dan Ahmad Rajafi, Hadis Perempuan Melakukan Perjalanan Tanpa Mahram Perspektif
Hermeneutika Paul Ricouer, hal. 81-82.

9
hadis itu, kajian ini menunjukkan: Pertama, hadis Nabi yang berbicara tentang larangan

perempuan melakukan perjalanan jika tidak disertai mahram merupakan hadis yang banyak

dikenal di kalangan sahabat seperti Abu Sa‘id al-Khudri, Abu Hurairah, Ibn ‘Abbas, Ibn ‘Umar,

Jabir ibn ‘Abd Allah, dan Abu Umamah dan tersebar dalam beberapa karya besar semisal Shahih

al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan al-Tirmidzi, Sunan Ibn Majah. Dalam

hadis-hadis tersebut-secara umum-tidak hanya menekankan keberadaan mahram, melainkan juga

mempertimbangkan persoalan radius jarak atau waktu tempuh perjalanannya dengan ragam

redaksi. Kedua, penjelasan para ulama tentang hadis larangan perempuan melakukan perjalanan

jika tanpa mahram tidak berakhir dengan kesimpulan yang sama. Hal ini mengindikasikan

adanya proses negosiasi di kalangan mereka yaitu bagaimana mereka mendialogkan teks hadis

dengan situasi dan kondisi yang mereka temui di kehidupan nyata. Kesadaran tentang konteks,

mengharuskan ulama hadis menggali lebih jauh esensi hadis melampaui apa yang tersurat dalam

teks tersebut. Dari poin ini, kemudian bisa dijelaskan bahwa sebenarnya nalar hermeneutis sudah

eksis di kalangan ulama hadis meski pun tidak muncul secara definitif. Ketiga, kaitannya dengan

mahram, dari keseluruhan paparan para ulama, ada titik penting yang menjadi patokan utama,

yaitu kemampuan menciptakan suasana dan rasa aman. Keselamatan perempuan menjadi titik

tekan mengapa keberadaaan mahram diperlukan selama perjalanan. Dengan demikian,

mengingat hal yang paling penting adalah keselamatan, maka apa pun yang bisa mendorong

terciptanya hal tersebut dapat diposisikan sebagai mahram, bisa suami atau yang lainnya. Atas

dasar itu, banyak ulama menyebut tidak perlu ada mahram atau siapapun jika kondisi dan

situasinya memang aman dan tidak mengganggu keselamatan, seperti al-Baji dan lain-lain. Lebih

dari itu, temuan dari kajian penulis pada tema ini menunjuk pada kesimpulan akhir bahwa model

10
berpikir hermeneutis yang ditawarkan oleh pengkaji modern sudah dipraktikkan dengan baik

oleh ulama hadis lintas generasi.12

Keempat, Sri Handayana dan Arif Budiman dalam jurnalnya “Pemahaman

Proposional Tentang Mahram Sebagai Pendamping Dalam Perjalanan Perempuan”, (Al-

Fathin Vol. 3, Edisi 1 Januari-Juni 2020) menyimpulkan bahwa Keberadaan mahram sebagai

pendam-ping dalam perjalanan seorang perempuan pada dasarnya merupakan jaminan keamanan

pada saat hadis tersebut disam-paikan. Jika syarat keamanan dan keselamatan telah terjamin

tanpa didam-pingi mahram, maka perempuan bepergian sendirian bukan lagi sebuah masalah.

Yang terpenting adalah komunikasi yang baik terjalin di antara perempuan tersebut.13

Kelima, Ghufron Hamzah dalam jurnalnya “Reinterprestasi Hadis Larangan

Perempuan Bepergian Tanpa Mahram Dan Larangan Melukis (Pendekatan Sosio-Historis

Dan Antropologis)”, (JASNA : Journal for Aswaja Studies Volume 1 No 1) menyimpulkan

bahwa Pemahaman hadis (fiqhul hadis) yang kontekstual dengan zaman sangat diperlukan agar

hadis-hadis yang muncul ratusan tahun yang lalu itu tetap akomodatif terhadap perkembangan

zaman. Salah satu upaya untuk melakukan kontekstualisasi hadis itu adalah dengan

menggunakan pendekatan sosio-hitoris dan antropologis, agar kontekstualisasi sebuah hadis tetap

menjaga relasi antar teks dan konteksnya baik pada masa lalu di saat teks-teks hadis itu muncul

maupun saat sekarang dimana hadis itu tetap menjadi sumber hukum kedua setelah al-Qur’an.14

B. Metode Penelitian

1) Jenis Penelitian
12
Miski, Nalar Hermeneutis Ulama Hadis: Larangan Perempuan Bepergian tanpa Mahram dalam Ruang
Sejarah Pemahaman, (DINIKA : Academic Journal of Islamic Studies, Volume 5, Number 1, January - June 2020),
hal. 90-91
13
Sri Handayana dan Arif Budiman, Pemahaman Proposional Tentang Mahram Sebagai Pendamping
Dalam Perjalanan Perempuan, (Al-Fathin Vol. 3, Edisi 1 Januari-Juni 2020), hal. 101.
14
Ghufron Hamzah, Reinterprestasi Hadis Larangan Perempuan Bepergian Tanpa Mahram Dan Larangan
Melukis (Pendekatan Sosio-Historis Dan Antropologis), (JASNA : Journal for Aswaja Studies Volume 1 No 1), hal.
34.

11
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang berupa library research (penelitian

kepustakaan), merupakan telaah yang dilaksanakan untuk menyelesaikan sebuah masalah, yang

pada dasarnya bertumpuh pada penelaah kritis dan mendalam terhadap bahan-bahan pustaka

yang relevan, ada dua penggunaan sumber penilitian yaitu sebagai berikut:

a. Sumber Data Primer

Sumber Data Primer berasal dari teks hadis yang ada dalam kitab Shahih Al-Bukhari,

Shahih Muslim dan Sunan Abu Dawud.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber Data Sekunder berasal dari pustaka penunjang yaitu kitab Mu’jam al-Mufaros

Li al-Fadzi al-Hadits an-Nabawi al-Syarif karangan AJ Wensik, kitab-kitab syarah dari Shahih

Bukhari, Shahih Muslim serta Sunan Abu Dawud dan buku-buku yang relevansi dengan

pembahasan serta digunakan kamus-kamus bahasa Arab.

2) Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penilitian ini adalah dengan mecari dan

membaca literature-literatur yang berhubungan dengan pembahasan, baik dari data primer atau

data sekunder. Setelah mencari dan membaca literatur-literatur tersebut maka akan dilakukan

pembatasan terhadap poin-poin penting agar tidak terjadi pelebaran aspek pembahasan dari tema

sentral obyek penelitian. Kemudian sumber data yang diperoleh dikumpulkan, dipelajari dan

dikaji untuk selanjutnya akan dianalisis.

3) Analisis Data

Data yang telah terkumpul lalu dianalisa secara deskriptif yakni menggambarkan,

menguraikan atau menyajikan seluruh permasalahan yang ada pada pokok-pokok permasalahan

secara tegas dan kemudian ditarik kesimpulan dari data-data yang bersifat umum dan khusus,

12
sehingga penyajian hasil penelitian dapat dipahami dan dimengerti dengan mudah dan jelas.

Karena objek penelitian ini berupa hadis tersebar dalam beberapa kitab hadis, maka penelitian ini

menggunakan metode ma’anil hadis.

Analisis Ma’anil Hadis adalah metode untuk menganalisis dan memahami makna-makna

hadis secara teks dan kontekstual serta yang terkandung dalam sejumlah matan hadis yang

dengannya dapat diketahui mana yang bisa diamalkan dan mana hadis yang tidak bisa

diamalkan.

C. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan digunakan untuk mendapat gambaran yang terperinci dan untuk

mempermudah isi dari pada skripsi ini, sehingga penulis membagi sistematika penulisan ke

dalam lima bab, yaitu:

BAB I: Pendahuluan, pada bab ini terdapat latar belakang yang mendasari penelitian,

kemudian diidentifikasi masalah melalui rumusan dan batasan masalah. Termasuk pula

dijelaskan tujuan dan manfaat penelitian, lalu terdapat kajian pustaka serta metode penelitian

yang menjelaskan jenis dan sumber data, teknik pengumpulan data, metode analisis data serta

sistematika penulisan.

BAB II: Landasan teori ma’anil hadis, pada bab ini terdapat pengertian, urgensi,

metode, dan problematika ilmu Ma’anil Hadis.

13
BAB III: Seputar hadis larangan perempuan saat bepergian tanpa mahram, pada bab ini

terdapat tinjauan, kritk sanad dan matan terhadap hadis larangan perempuan saat bepergian tanpa

mahram.

BAB IV : Pemahaman hadis tekstual dan kontekstual, pada bab ini terdapat syarah dari

kitab Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Abu Dawud.

BAB V: Penutup, pada bab ini penulis menyimpulkan pembahasan mengenai penelitian

yang telah dilakukan sekaligus menjadi penutup. Serta hasil dari penelitian tersebut, kemudian

penulis memberikan asumsi terkait permasalahan penelitian dari keseluruhan penelitian ini agar

mudah dipahami bagi para pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

Aziz, Abd dan Yuan Martina Dinata. “Pelacakan Hadis Bepergian Wanita Tanpa Mahram”, (Al

Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam Vol. 4, No. 01, 2021), hal. 113.

14
Al-Bukhari, Abu ‘Abdullah Muhammad bin Isma’il. “Shahih al-Bukhari”, (cet. 1, 1423 H/2002

M, Dar Ibnu Katsir), Nomor hadis. 1862, hal. 448.

Al-Qurtubi, Abu al-Abbas bin Ahmad bin Umar bin Ibrahim. Al-Mufhim, (cet. 1, 1417 H/1996

M, Damaskus-Beirut, Dar Ibnu Katsir).

Hamzah, Ghufron. “Reinterprestasi Hadis Larangan Perempuan Bepergian Tanpa Mahram Dan

Larangan Melukis (Pendekatan Sosio-Historis Dan Antropologis)”, (JASNA : Journal

for Aswaja Studies Volume 1 No 1), hal. 34.

Handayana, Sri dan Arif Budiman. “Pemahaman Proposional Tentang Mahram Sebagai

Pendamping Dalam Perjalanan Perempuan”, (Al-Fathin Vol. 3, Edisi 1 Januari-Juni

2020), hal. 101.

Hasanah, Ummi dan Ahmad Rajafi. “Hadis Perempuan Melakukan Perjalanan Tanpa Mahram

Perspektif Hermeneutika Paul Ricouer”, hal. 81-82.

Majid Khon, Abdul. “Takhrij Dan Metode Memahami Hadis”, (Cet. Pertama, November 2014,

Amzah, Jakarta), hal. 146-147.

Miski. “Pengantar Metodologi Penelitian Hadis Tematik”, (Cet. 1, Februari 2021, Maknawi,

Malang Jawa Timur), hal. 169.

Miski. “Nalar Hermeneutis Ulama Hadis: Larangan Perempuan Bepergian tanpa Mahram

dalam Ruang Sejarah Pemahaman”, (DINIKA : Academic Journal of Islamic Studies,

Volume 5, Number 1, January - June 2020), hal. 90-91.

Mustaqim, Abdul. “Konsep Mahramdalam Al-Qur’ân (Implikasinya dalam MobilitasKaum

Perempuan di Ranah Publik),” Musawa,Vol. 6, No. 1 (2010), hal. 11.

Qur’an, Syaamil. “Qur’an Asy-Syifaa’ Hafalan Terjemah dan Tajwid Berwarna Metode Tikrar”,

(cet. 3, Maret 2019, Bandung Jawa Barat), hal. 81 ayat 23.

15
Yunus, Mahmud. Kamus Arab Indonesia, (PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, Januari 2007, Ciputat

Jakarta), hal. 101.

16

Anda mungkin juga menyukai