Anda di halaman 1dari 17

UJI KESESUAIAN TES KECEPATAN LARI DAN KELINCAHAN

BAGAI ANAK SEKOLAH DASAR KELAS LANJUT (USIA 9-12 TAHUN)

TEST TO MEASURE RUNNING SPEED AND AGILITY FOR ELEMENTARY


SCHOOL STUDENTS IN ADVANCED CLASS (AGES 9—12 YEARS)

Widodo
Pusat Penelitian Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Email: wido_wida@yahoo.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan bentuk tes yang tepat untuk mengukur kecepatan
lari dan kelincahan bagi peserta didik sekolah dasar kelas lanjut di (usia 9-12 tahun). Untuk
menemukan bentuk tes tersebut dilakukan ujicoba terhadap peserta didik di satu sekolah
dasar swasta dan satu sekolah dasar negeri di Kota Bekasi. Sampel penelitian ini sebanyak
240 anak yang berasal dari usia 9, 10, 11, dan 12 tahun. Setiap jenjang usia terdiri atas anak
laki-laki 30 orang dan anak perempuan 30 orang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1)
bentuk tes yang paling tepat untuk mengukur kecepatan lari peserta didik SD kelas lanjut
(usia 9-12 tahun) adalah menggunakan tes lari dengan jarak 30 meter; 2) untuk mengukur
kelincahan, yang paling tepat menggunakan bentuk tes lari berkelok-kelok (zig-zag) dengan
penetapan nilai berdasarkan jumlah pancang/rintangan yang dapat dilewati anak selama 20
detik; 3) tes lari ulang-alik (shuttle run) sebanyak 4 kali balikan dalam jarak 5 meter dapat
dijadikan tes kelincahan sekaligus dapat mewakili atau mengukur tingkat kecepatan.
Kata kunci: kecepatan, kelincahan, lari 30 Meter, lari Zig-zag, lari Ulang-alik

ABSTRACT
This study aims to find the right form of tests to measure running speed and agility for
elementary school students in advanced classes (ages 9-12 years). To find a test is carried
out tests to students at a private elementary school and one elementary school in the city of
Jakarta. Samples of this study were 240 children from the age of 9, 10, 11, and 12 years.
Each level of age consists of boys 30 people and girls 30 people. The results of this study
were: 1) form the most appropriate test to measure the speed of the running for elementary
school students in advance classes (ages 9-12 years) is to use a sprint test with a distance of
30 meters; 2) to measure the agility, the most appropriate use of the form winding run test
(zig-zag) with the determination of value based on the number of stakes / obstacles that can
pass the child for 20 seconds; 3) shuttle run test as much as 4 times the reversal within 5
meters can be used as a test agility well as to represent or measure the level of speed.
Keywords: speed, agility, running of 30 Meters, Zig-zag, Shuttle run

1
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Kecepatan dan kelincahan merupakan dua unsur kebugaran jasmani yang saling terkait satu
sama lain. Seorang anak yang cepat larinya biasanya juga lincah dalam bergerak, dan begitu
juga sebaliknya. Kecepatan yang dalam hal ini adalah kecepatan lari mempunyai kesamaan
dalam teknik atau cara melakukannya dengan kelincahan; keduanya sama-sama memerlukan
kekuatan dan kelenturan otot tungkai agar dapat melakukan gerakan lari secara leluasa
sehingga dihasilkan kecepatan lari yang maksimal dan juga keseimbangan. Selain itu,
kecepatan lari dan kelincahan juga sama-sama dilakukan dengan menggunakan system
penyediaan energi secara anerobik; yaitu system yang menyediakan energi di dalam tubuh
tanpa harus melakukan pembakaran kalori dengan oksigen (o2), melainkan cukup
menggunakan cadangan tenaga/glikogen yang ada di dalam sel otot.

Tidak banyak perbedaan antara kecepatan dan kelincahan, jika dalam kecepatan lari pelaku
cukup melakukan gerakan lari secepat mungkin ke arah depan, tetapi untuk kelincahan
pelaku harus melakukan perubahan arah lari, yaitu berbalik arah atau berbelok ke arah kanan
dan kiri berulang-ulang secara cepat.

Dengan uraian di atas, maka tidaklah salah apabila di dalam Tes Kesegaran Jasmani
Indonesia (TKJI) yang berbentuk tes rangkaian di dalamnya tidak terdapat butir tes
kelincahan. Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa TKJI merupakan tes kebugaran
yang terdiri atas lima butir tes yaitu: 1) lari cepat/sprint; 2) baring duduk; 3) gantung siku
tekuk/gantung angkat tubuh; 4) loncat tegak; dan 5) lari jarak sedang (Depdiknas, 2002).

Di dalam praktik pengukuran, sering seorang guru pendidikan jasmani olahraga dan
kesehatan (Penjasorkes) sekolah dasar tidak menggunakan bentuk tes yang berupa rangkaian
yang menuntut dilakukannya seluruh butir dalam satu rangkaian waktu (tidak boleh cicil).
Mereka lebih cenderung untuk mengukur setiap unsur kebugaran satu persatu (dicicil). Ketika
cara yang kedua yang dipilih (dicicil) maka pertimbangan dan perdebatan yang panjang mulai
muncul. Haruskah seluruh unsur kebugaran diukur dengan satu butir tersendiri? Cukupkah
jika hanya diwakili oleh beberapa butir tes saja?

Selain permasalahan tentang perlu tidaknya kedua unsur tersebut dibuatkan bentuk tes
tersendiri atau masing-masing harus diukur tersendiri, permasalahan yang juga sering
menjadi pertentangan adalah mengenai bentuk tes. Untuk mengukur kecepatan lari jarak
tempuh sering menjadi pertentangan; jarak 20, 30, 40, dan 50 meter merupakan jarak yag

2
sering dipertentangkan. Di dalam rangkaian TKJI misalnya, jarak tempuh yang digunakan
bagi peserta didik SD usia 6-9 tahun menggunakan jarak 30 meter, sedangkan untuk peserta
didik usia 10-12 tahun menggunakan jarak 40 meter. Untuk mengukur kelincahan juga ada
beberapa bentuk tes yang sudah dikenal dan diterapkan oleh para praktisi; yaitu lari zig-zag
dan lari ulang alik. Khusus untuk lari zig-zag ada dua cara pencatatan hasilnya, yaitu ada
yang dengan mencatat waktu tempuh dan ada juga yang mencatat jumlah pancang/rintangan
yang dapat dilalui dalam satuan waktu tertentu.

Penentuan bentuk tes bukanlah hal yang mudah jika dasar-dasar untuk penentuannya tidak
tersedia. Hampir semua bentuk tes yang telah tersedia, oleh penyusunnya telah dinyatakan
valid dan reliabil; yang berarti telah layak sebagai alat ukur. Perdebatan akan muncul dan
akan berlangsung lama ketika di dalam suatu perencanaan tes dan pengukuran melibatkan
banyak pihak dan bentuk tes yang digunakannya merupakan tes tunggal/single test. Lain
halnya ketika bentuk tes yang digunakan merupakan tes rangkaian yang di dalamnya
mengandung unsur kecepatan, maka pengguna tes tinggal menerapkan sesuai dengan apa
yang telah dituangkan di dalam petunjuk penggunaan tes tersebut.

Untuk mengatasi pertentangan di atas dan guna mempermudah para praktisi dalam membuat
keputusan tentang bentuk tes yang dipilih dalam mengukur kecepatan lari dan kelincahan,
maka di dalam penelitian ini dilakukan pengkajian mengenai jarak yang tepat untuk
mengukur kecepatan lari dan jenis tes untuk mengukur kelincahan bagi para peserta didik SD
tingkat lanjut.

Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang akan dikaji di dalam penelitian ini adalah: 1) Berapa jarak tempuh
yang tepat untuk mengukur kecepatan lari peserta didik SD kelas lanjut (usia 9-12 tahun)? 2)
Bentuk tes manakah yang tepat untuk dijadikan alat ukur kelincahan bagi peserta didik SD
kelas lanjut (usia 6-12 tahun)? 3) Haruskah unsur kecepatan dan kelincahan diukur dengan
bentuk tes tersendiri?

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) menentukan jarak tempuh yang tepat dalam mengukur
kecepatan lari peserta didik SD kelas lanjut (usia 9-12 tahun); 2) menentukan bentuk tes
kelincahan yang tepat untuk mengukur kelincahan peserta didik SD kelas lanjut (usia 9-12
tahun); 3) menentukan harus-tidaknya kecepatan dan kelincahan diukur dengan bentuk tes
tersendiri.

3
KAJIAN LITERATUR

Kecepatan (Speed)

Proses terjadinya gerak pada tubuh manusia, termasuk di dalamnya adalah gerakan berlari
merupakan hasil kerja alat gerak tubuh (otot dan rangka) yang digerakkan melalui suatu
sistem di dalam tubuh. Otak bersama jaringan syaraf membentuk sistem syaraf pusat untuk
mendiktekan setiap gerak melalui lima pusat kontrol. Lari sebagai bentuk tes dalam
pengukuran kecepatan, secara sederhana dapat dijelaskan bahwa ketika seorang anak
menerima rangsang untuk melakukan lari secepat-cepatnya, mereka akan melakukannya
dengan secepat-cepatnya pula. Namun, secara otomatis mereka mulai mengurangi
kecepatannya ketika terdapat rangsang lain yang menyebabkan berkurangnya kecepatan
tersebut. Rangsang tersebut berupa rasa lelah yang diakibatkan mulai berkurangnya cadangan
tenaga dari otot dan perlunya oksigen untuk menciptakan tenaga yang baru.

Lari cepat (sprint) merupakan kinerja otot yang dilakukan secara anaerobic, yaitu kinerja otot
yang hanya memanfaatkan tenaga yang ada di dalam otot (glikogen) tanpa melalui proses
pembakaran, bahkan dapat dikatakan bahwa secara ekstrim kerja ini tidak memerlukan
oksigen (anaerobic).

Untuk dapat berlari dengan cepat dipengaruhi oleh beberapa unsur kinerja otot yaitu: tingkat
kekuatan, dayatahan otot, kelentukan, dan power/daya ledak. Kekuatan otot dimaknai sebagai
kemampuan untuk mengerahkan daya semaksimal mungkin untuk mengatasi sebuah tahanan,
Rusli Lutan (2002). Dengan bahasa yang berbeda Malina dan Bouchard (1991) menjelaskan
bahwa kekuatan adalah ekspresi kekuatan otot, atau kapasitas individu untuk menegangkan
otot melawan tahanan/beban dari luar. Daya tahan otot dimaknai sebagai kemampuan
sekelompok otot untuk mengerahkan daya maksimum selama periode waktu yang relatif
lama terhadap sebuah tahanan yang lebih ringan dari pada beban yang bisa digerakkan oleh
seseorang. Power dimaknai sebagai kemampuan sekelompok otot untuk melakukan gerakan
secara kuat dan cepat. Dengan uraian di atas, maka kinerja otot dapat diartikan sebagai
kemampuan otot menghadapi beban dalam suatau gerakan yang parameternya meliputi
kekuatan, daya tahan, kelentukan, dan daya ledak. Malina dan Bouchard (1991) memaknai
sebagai kemampuan dari sebuah sendi dan otot serta tali sendi di sekitarnya untuk bergerak
dengan leluasa dan nyaman dalam ruang gerak maksimal yang diharapkan.

Terdapat perbedaan kecepatan lari seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan anak. Hal
ini dikarenakan adanya perkembangan dan pertumbuhan ukuran, kekuatan, daya ledak,

4
kelentukan, dan panjang tungkai. Untuk itu diperlukan perbedaan jarak tempuh antar
kelompok umur untuk mengukur kecepatan lari tersebut. Espenschande dan Eckert (1980)
dalam Waharsono (1999) menjelaskan bahwa laki-laki sedikit lebih cepat dari perempuan
hingga usia 13 tahun, dan mulai terdapat perbedaan yang jauh antara laki-laki dengan
perempuan pada usia 13 tahun. Hal tersebut dapat dilihat pada gambar 1 di bawah ini.

8
7
6
5
Laki
4
3 Perempuan
2
1
0
th

h
h

th

th
th

th
9t
7t

15

17
11

13
5

Gambar1. Grafik kemampuan berlari cepat anak usia 5--17 tahun

(Espenschande dan Eckert, 1980, dalam Waharsono, 1999)

Tes kecepatan lari merupakan salah satu bentuk tes yang mengukur kemampuan anaerobik.
Pengukuran kemampuan anerobik dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu: a) Secara singkat
(short term), yaitu dengan melakukan usaha secara maksimal selama 10 detik; b) Secara
moderat (intermediate-term), yaitu dengan melakukan usaha secara maksimal selama 30
detik; dan c) Secara lama (long-term), yaitu dengan melakukan usaha secara maksimal
selama 90 detik.

Dari ketiga cara di atas, cara pertama (short-term) merupakan cara yang dapat menghasilkan
hasil tes yang cenderung akurat dan stabil untuk laki-laki maupun perempuan dari usia 9-19
tahun,(Malina dan Bouchard, 1991).

Jarak tempuh untuk mengukur kecepatan lari hendaknya berupa jarak yang tidak terlalu
pendek sehingga tidak memberikan kesempatan kepada pelari untuk mencapai kecepatan
tertingginya; namun juga tidak terlalu jauh sehingga menyebabkan menurunnya kecepatan
pelari.

Kelincahan (Agility)

Agility is the capacity to change position and direction rapidly with precision and without
loss of balance. Agility depends on strength, speed, balance, and coordination. Agility is
undeniably important in the world of sport, but it is also useful to avoid embarrassment or
5
enjury in recreational activities and in potentially dangerous work situations. Agility can be
improved with practice and experience. (Sharkey, 1990). ... Agility is defined as the ability to
change direction of the body or parts of the body rapidly. Dan selanjutnya dikatakan ….It
should also be abvious that individuals must also posses sufficient strength, endurance,
balance, and flexibility in order to score well on tests of the agility-coordination ability.
(Kirkendall, 1987.

Kelincahan adalah kemampuan seseorang untuk dapat mengubah arah dengan cepat dan
tepat pada waktu bergerak tanpa kehilangan keseimbangan. Kelincahan berkaitan dengan
tingkat kelentukan, tanpa kelentukan yang baik seseorang tidak dapat bergerak dengan lincah.
Selain itu, faktor keseimbangan sangat berpengaruh terhadap kemampuan kelincahan
seseorang.

Peningkatan Kelincahan

Bentuk-bentuk latihan untuk meningkatkan kelincahan antara lain lari ulang-alik (shuttle –
run), lari berkelok-kelok (zig-zag), dan jongkok – berdiri (squat thrust). Lari ulang-alik
(shuttle – run) bertujuan untuk melatih anak dalam mengubah gerak tubuh arah lurus yang
dilakukan dengan cara: 1) lari ulang-alik secepat mungkin sebanyak 6–8 kali dalam jarak 4--
5 meter; 2) setiap kali sampai pada suatu titik sebagai batas, si pelari harus secepatnya
berbalik arah menuju titik awal dan kemudian balik lagi dan begitu seterusnya. Perlu
diperhatikan bahwa jarak antara kedua titik tidak boleh terlalu jauh, dan jumlah ulangan tidak
terlampau banyak sehingga menyebabkan kelelahan bagi si pelari. Dalam latihan ini yang
diperhatikan ialah kemampuan mengubah arah dengan cepat pada waktu bergerak.
(http://pojokpenjas.blogspot.com/2008/08)

Latihan lari berkelok-kelok (zig-zag) bertujuan untuk melatih anak dalam mengubah gerak
tubuh arah yang dilakukan dengan cara lari berkelok-kelok melalui beberapa titik rintangan
(4 -5 titik rintangan) secara cepat.

Latihan mengubah posisi tubuh/jongkok-berdiri (squat-thrust) bertujuan untuk melatih anak


mengubah posisi tubuh dari jongkok menuju berdiri tegak secara berulang-ulang.

Keterkaitan Kecepatan dan Kelincahan

Kecepatan berhubungan dengan kelincahan; keduanya merupakan komponen kebugaran yang


berhubungan erat mengingat keduanya sama-sama ditentukan oleh kemampuan belari dengan

6
cepat. Perbedaannnya, untuk kelincahan memiliki unsur mengubah arah atau berpindah
tempat. Meskipun berhubungan erat, keduanya belum dapat dipastikan akan dapat saling
menggantikan perannya sebagai sebuah bentuk tes. Artinya, jika seorang anak telah diketahui
kelincahannya, bukan berarti tidak perlu diketahui kecepatannya, demikian juga sebaliknya.

Kecepatan (speed) dan kelincahan (agility) di dalam studi tentang perkembangan motorik
termasuk di dalam satu kelompok, yaitu komponnen motorik yang digunakan dalam fungsi
tingkat (high function). Dari sini terlihat bahwa kedua komponen tersebut digunakan dalam
kondisi yang sama secara bersama-sama, yaitu ketika seseorang dalam kondisi unjuk
performansi motorik tingkat tinggi (lihat gambar 2)
Function Function

Agility
Speed
Intermediate High

Balance
Flexibility Motor
Power Fitness
Cardivascular Endurance
Muscular Endurance Physical
Muscular strength Fitness
Motor response
Perception
Sensory Input
Function

Reflexes Basic Motor


Development
Low

Inborn Neural Character

Gambar 2. komponen performansi motorik (Sumber: Kirkendall: 1987)

Banyaknya persamaan dan sedikitnya perbedaan antara kecepatan dan kelincahan sangat
menarik untuk dikaji, khususnya ketika akan dilakukan pengukuran terhadap keduanya.
Sebagai dua unsur kebugaran jasmani yang memiliki banyak kesamaan tentu keduanya dapat
saling menggantikan atau dapat saling mewakili ketika akan dilakukan pengukuran. Namun
jika dicermati lebih mendalam, ternyata tidak sesederhana itu untuk memutuskan apakah
cukup diwakili oleh satu unsur saja atau harus ada kedua-duanya.
Ketika seorang guru Penjasorkes sekolah dasar hendak membuat deskripsi kebugaran jasmani
peserta didiknya, maka dirinya dituntut untuk menjelaskan keseluruhan unsur kebugaran
jasmani yang jumlahnya 10 sampai dengan 11 unsur.
Untuk mendapatkan gambaran tingkat kebugaran secara utuh harus melakukan pengukuran
kebugaran jasmani secara utuh pula; beberapa butir tes harus diterapkan agar seluruh unsur
kebugaran jasmani yang jumlahnya 10 sampai dengan 11 dapat diukur dan diketahui tingkat

7
performansinya. Haruskah setiap unsur mesti disediakan satu butir tes? Pertanyaan inilah
yang sering muncul dan menjadi permasalahan yang cukup panjang bagi seorang guru
penjasorkes SD. Sebab seorang guru ketika hendak melakukan pengukuran harus
mempertimbangkan ketersediaan waktu dan tenaga.
Terkait dengan dua unsur kebugaran jasmani yang hendak dikaji dan dibahas di dalam
penelitian ini (kecepatan dan kelincahan), haruskah guru menyediakan dua butir tes untuk
mengukur keduanya?
Apabila permasalahan mengenai perlu-tidaknya menggunakan dua jenis tes yang mengukur
kecepatan lari dan kelincahan secara terpisah tersebut sudah terpecahkan, permasalahan
berikutnya yang harus dipecahkan adalah bentuk tes seperti apa yang layak digunakan untuk
mengukur kedua unsur kebugaran jasmani tersebut? Hingga saat ini dapat ditemui lebih dari
satu bentuk tes untuk mengukur kecepatan lari dan kelincahan. Untuk mengukur kecepatan
lari memang hanya satu bentuknya, yaitu dengan lari cepat. Namun berapa jarak tempuh yang
harus ditetapkan dalam lari cepat tersebut? Dari beberapa literatur ditemukan beberapa yang
digunakan yaitu 30 meter, 40 meter, 50 meter, dan bahkan ada yang hingga 60 meter.
Sedangkan untuk mengukur kelincahan ada yang menggunakan bentuk lari zig-zag/berbelok-
belok dan ada juga yang berbentuk lari ulang-alik (shuttle run).

Kerangka Berpikir

Berdasarkan teori bahwa: 1) mulai usia 13 tahun anak laki-laki mulai jauh berbeda
kecepatannya dengan anak perempuan; 2) kerja anerobik secara short term (10 detik) lebih
menunjukkan hasil yang akurat dan stabil; dan 3) jarak tempuh yang banyak digunakan untuk
mengukur kecepatan lari anak SD dan yang sering menjadi perdebatan adalah 20, 30, dan 40
meter; 4) terdapat banyaknya persamaan antara kecepatan dan kelincahan, maka di dalam
penelitian ini: a) perlu adanya kajian dan analisa untuk mendapatkan jarak yang sesuai dan
tepat untuk mengukur kecepatan lari anak sekolah dasar kelas lanjut (9-12 tahun); b) untuk
menentukan jarak yang sesuai dan tepat, perlu mempertimbangkan waktu yang singkat (short
term) namun tetap harus memberi kesempatan kepada pelari untuk menampilkan
kecepatannya yang tertinggi; c) jarak tempuh 10, 20, 30, dan 40 meter merupakan jarak yang
harus dikaji untuk menentukan jarak yang tepat; d) pengujian untuk menentukan jarak yang
tepat dilakukan berdasarkan data waktu tempuh untuk jarak –jarak tersebut; e) untuk
menjawab permasalahan mengenai bentuk tes yang tepat dalam mengukur kelincahan, maka
perlu dilakukan uji korelasi antara hasil tes menggunakan lari ulang-alik dengan lari zig-zag;

8
f) untuk menjawab permasalahan mengenai perlu tidaknya mengukur kecepatan dan
kelincahan secara terpisah dengan masing-masing menggunakan bentuk tes tersendiri, maka
perlu dilakukan uji korelasi antara kecepatan lari dengan hasil kelincahan baik menggunakan
tes lari ulang-alik maupun lari zig-zag.

METODOLOGI

Penelitian ini dilakukan di Bekasi dengan melibatkan peserta didik di satu SD swasta dan satu
SD Negeri di Bekasi. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive random
simple random sampling, yaitu pengambilan secara random sederhana terhadap peserta didik
di kedua SD dengan usia 9-12 tahun. Setiap jenjang usia ditentukan jumlah sampel sebanyak
30 anak untuk setiap jenis kelamin. Dengan demikian di dalam penelitian ini melibatkan
sampel sebanyak 240 anak yang terdiri atas anak laki-laki 120 orang dan anak perempuan
120 orang.

Penelitian ini berupa penelitian deskriptif ex-post facto dengan rancangan korelasional dan
perbandingan yang bertujuan untuk menyelidiki sejauh mana suatu variabel berkaitan
dengan variabel lain dalam kinerja otot tubuh berdasarkan koefisien korelasi yang dihasilkan.

Untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan tentang berapa jarak yang tepat untuk
mengukur kecepatan lari dilakukan pengumpulan data tentang kecepatan lari para sampel
sejauh 40 meter dengan dilakukan pencatatan waktu tempuh pada 10 meter pertama, 10 meter
kedua, 10 meter ketiga, dan 10 meter keempat. Sedangkan untuk mendapatkan jawaban atas
permasalahan tentang bentuk tes yang tepat untuk mengukur kelincahan dilakukan
pengumpulan data kelincahan dengan menggunakan dua bentuk tes, yaitu lari ulang-alik dan
lari zig-zag.

Analisa data secara deskriptif digunakan untuk mendapatkan gambaran kemampuan sampel
pada setiap variabel. Analisis deskriptif ini meliputi rata-rata, standard deviasi, dan varians
untuk masing-masing variabel pada setiap jenjang umur dan jenis kelamin. Analisa data juga
dilakukan secara inferensial guna menguji tingkat hubungan dan perbedaan. Pengujian
terhadap persyaratan analisis meliputi uji normalitas dengan menggunakan rumus
kolmogorov-smirnov yang telah dikoreksi dengan Liliefors mengingat data yang diolah
adalah data tunggal. Sedangkan homogenitas diuji menggunakan Uji F. Uji korelasi
dilakukan dengan uji korelasi product moment (pearson). Hal ini mengingat data yang
tersedia adalah data interval.

9
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Deskriptif Kecepatan Lari

Deskripsi kecepatan lari dari hasil tes yang dilakukan oleh anak SD kelas lanjut (usia 9--12
tahun) merupakan data awal untuk melakukan pengujian tahap berikutnya. Hasil tersebt dapat
dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Deskriptif Kecepatan Lari Anak SD kelas Lanjut (Usia 9-12 tahun)
Jenis lari (butir tes) n Minimum Maximum Mean Std.
Deviation
Lari 10m I (10 meter) 240 1.89 9.73 2.7802 .60838
Lari 10mII (20 meter) 240 1.20 5.56 2.2034 .42939
Lari 10m III (30 meter) 240 1.29 4.00 2.1763 .47878
Lari 10m IV (40 meter) 180 1.02 5.98 2.3720 .64737
Lari ulang-alik (Shuttle Run) 240 5.00 22.00 10.2309 2.96641
Lari berkelok-kelok (zig-zag) 240 7 29 20.29 4.197

Dari Tabel 1 di atas terlihat bahwa untuk kecepatan lari 10 meter pertama hingga 10 meter ke
empat terjadi perbedaan hasil. Ketika pada 10 meter pertama kecepatan masih rendah (rata-
rata 2,78 detik), hal ini mengingat pelari masih dalam tahap awal memulai lari. Kecepatan
mulai meningkat pada 10 meter ke dua (rata-rata 2,20 detik) dan kecepatan tertinggi pada 10
meter ke tiga (2,17 detik). Pada 10 meter ke empat kecepatan mulai menurun (rata-rata 2,37).

Dilihat dari rata-rata kecepatan dapat disimpulkan sementara bahwa lari dengan jarak 30
meter merupakan jarak yang ideal bagi anak usia 9-12 tahun. Sebab dengan jarak ini mereka
dapat menampilkan kecepatan tertinggi dan sudah mulai menurun ketika jarakya ditambah.
Namun demikian untuk mendapatkan kesimpulan akhir masih memerlukan pengujian lebih
lanjut yaitu uji beda rata-rata; jika terdapat perbedaan rata-rata antara jarak 10 meter ketiga
(30 meter) dengan jarak tempuh yang lainnya, maka dapat disimpulkan jarak 30 meter
merupakan jarak yang tepat.

10
Pengujian Persyaratan Statistik

Untuk dapat melakukan analisis lebih lanjut, yaitu uji beda rata-rata dan juga uji korelasional
perlu dilakukan pengujian lain yang menjadi syarat dilakukannya pengujian tersebut yaitu uji
normalitas dan uji homogenitas. Hasil uji normalitas dan homogenitas dapat dilihat pada
Tabel 2 dan 3 di bawah ini.

Tabel 2. Hasil Uji Normalitas Data


Kolmogorov- Shapiro-Wilk
Smirnov
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Lari 10m I (10 meter) .055 171 .200 .945 171 .000
Lari 10m II (20 meter) .119 171 .000 .925 171 .000
Lari 10m III (30 meter) .091 171 .002 .960 171 .000
Lari 10m IV (40 meter) .094 171 .001 .888 171 .000
Lari ulang-alik (shuttle run) .187 171 .000 .889 171 .000
Lari berkelok-kelok (zig-zag) .153 171 .000 .962 171 .000
* This is a lower bound of the true significance.
a Lilliefors Significance Correction

Tabel 3. Hasil Uji Homogenitas Data


Levene df1 df2 Sig.
Statistic
Lari 10m I (10 meter) 2.168 1 238 .142
Lari 10m II (20 meter) .662 1 238 .417
Lari 10m III (30 meter) .654 1 238 .419
Lari 10m IV (40 meter) 4.353 1 178 .038
Lari ulang-alik (Shuttle Run) 1.162 1 238 .282
Lari berkelok-kelok (zig-zag) .155 1 238 .694

11
Transformasi Data

Dari hasil uji normalitas data di atas dapat dilihat bahwa semua butir tes tidak berdistribusi
normal kecuali butir tes lari 10 meter I, yaitu memiliki nilai probabilitas atau siginifikansi
0,20>0,05. Selain itu, dari uji homogenitas menunjukkan bahwa semua data homogen
kecuali lari pada 10 meter ke IV yang siginifikansinya kurang dari 0,05.

Karena data tidak berdistribusi normal dan tidak homogen, maka pengujian hipotesa (uji
korelasi dan uji beda) belum dapat dilakukan. Untuk dapat melakukan pengujian, maka harus
dilakukan transformasi data, yaitu mengubah data ke dalam bentuk tertentu (logaritmik,
reciprocal, square, dan lain-lain). Untuk mengubah data menjadi bentuk tertentu di atas
ditentukan berdasarkan slope dan power yang diperoleh. Singgih Santoso (2000) menjelaskan
bahwa pada prinsipnya banyak kasus data yang variannya tidak sama bisa digunakan
transformasi logaritma atau square (akar). Berdasarkan pendapat tersebut, maka di dalam
penelitian ini data langsung diubah ke dalam logaritma tanpa terlebih dahulu mencari slope
dan power.

Perbedaan Kecepatan Lari pada 10 m Pertama hingga 10 m Keempat

Sebagaimana telah dijelaskan pada deskripsi data di atas bahwa untuk dapat membuat
kesimpulan akhir mengenai jarak yang ideal untuk tes kecepatan lari perlu melakukan uji
beda rata-rata kecepatan lari antar jarak tempuh. Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil Uji Beda Rata-rata Kecepatan Lari pada 10 Meter Pertama hingga 10 meter

Pasangan Paired Differences 95% Confidence t Df Sig.


Butir Tes Mean Std. Std. Interval of (2-tailed)
Deviation Error the Difference
Mean
Lower Upper

Pair 1 Lari I VS II .5767 .70359 .04542 .4873 .6662 12.699 239 .000
Pair 2 Lari I VS III .6039 .74445 .04805 .5092 .6986 12.567 239 .000
Pair 3 Lari I VS IV .3367 .71152 .05303 .2321 .4414 6.349 179 .000
Pair 4 Lari II VS III .0272 .58782 .03794 -.0476 .1019 .716 239 .475
Pair 5 Lari II VS IV -1545 .70150 .05229 -.2577 -.0513 -2.955 179 .004
Pair 6 Lari III VS IV -1913 .75097 .05597 -.3018 -.0809 -3.418 179 .001
Keempat

12
Dari Tabel 4 di atas dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan kecepatan yang bermakna
antara jarak tempuh yang satu dengan jarak tempuh lainnya; nilai t hitung yang didapat
melebihi dari nilai t tabel yang besarnya 1,645. Perbedaan kecepatan yang sangat rendah dan
tidak bermakna y kecepatan pada 10 meter kedua dengan 10 meter ke tiga; artinya pada meter
ke 20 hingga 30 yaitu anak sudah dapat menunjukkan kecepatannya secara maksimal.
Kecepatan anak pada 10 meter ke empat mulai menurun; artinya jarak 40 meter ini kurang
tepat jika harus dijadikan jarak tempuh di dalam mengukur kecepatan lari. Dari hasil ini kita
masih punya pilihan untuk menentukan jarak 20 meter atau 30 meter sebagai jarakj yang
ideal; sebab keduanya tidak terdapat perbedaan yang bermakna. Namun, karena waktu
tempuh yang tercepat dicapai pada jarak 30 meter (lihat Tabel 1), maka jarak 30 meter
merupakan jarak yang ideal sebagai bentuk tes lari cepat bagi anak usia 9-12 tahun.

Dari hasil ini dapat dilakukan koreksi terhadap jarak tempuh yang diberlakukan pada butir tes
lari cepat di dalam Tes Kesegaran Jasmani Indonesia (TKJI). Jarak tempuh pada butir tes lari
cepat di dalam TKJI secara lengkap dapat di lhat pada Tabel 5 di bawah ini:

Tabel 5. Jarak Tempuh pada Butir Tes Lari cepat di Dalam TKJI

Jarak Tempuh
Kelompok Usia
Putera Puteri
6 – 9 tahun 30 meter 30 meter
10 – 12 tahun 40 meter 40 meter
13 – 15 tahun 50 meter 50 meter
16 – 19 tahun 60 meter 60 meter

Dari tabel 5 di atas dapat dilhat bahwa untuk anak usia 10-12 tahun harus menempuh jarak 40
meter di dalam tes lari cepat. Jarak ini ini tentu terlalu jauh dan cukup berat dilakukan oleh
anak-anak usia 10-12 tahun. Alasannya, di dalam TKJI anak harus melakukan lima butir tes
secara berkesinambungan. Jika mereka harus menguras tenaga pada butir pertama (lari 40
meter), maka dapat dipastikan tenaga akan habis ketika hendak melakukan butir-butir tes
berikutnya. Dengan kondisi seperti ini anak tidak dapat menunjukkan performansi secara
maksimal, sehingga salah satu persyaratan tes di mana teste (orang yang dites) harus
mendapat kesempatan untuk unjuk performansi secara maksimal tidak dapat terpebuhi. Selain
alasan di atas, alasan lain adalah bahwa dengan jarak 40 meter, berdasarkan hasil penelitian
ini kecepatan anak sudah mulai menurun sehingga fungsi tes sebagai pengukur kecepatan
menjadi kurang tepat.

13
Dengan hasil di atas, jarak tempuh yang lain di dalam TKJI juga perlu diwaspadai dan
dipikirkan kembali. Bisa jadi jara-jarak yang diberlakukan pada kelompok usia lainnya juga
kurang tepat.

Hubungan Antara Kecepatan Lari 30 Meter dengan Kelincahan Menggunakan Lari


Ulang-alik (shuttle run) dan Lari Berkelok-kelok (zig-zag)
Dengan telah didapatkannya hasil mengenai jarak tempuh yang tepat dan ideal untuk
mengukur kecepatan lari, yaitu 30 meter, maka untuk selanjutnya perlu melakukan uji
korelasi antara kecepatan lari 30 meter dengan lari ulang-alik (shuttle run) dan lari berbelok-
belok (zig-zag). Langkah ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan apakah perlu menerapkan
tes kelincahan jika sudah melakukan tes kecepatan; seandainya perlu, mana yang lebih tepat
antara tes shutte run dengan zig-zag. Hasil Analisis korelasi antara ketiga tes tersebut dapat
dilihat pada Tabel 6.

Gambar 3: Hasil Korelasi Antara Kecepatan Lari 30 meter dengan Lari Ulang-alik
(shuttle run) dan Lari Berbelok-belok (Zig-zag)
Interkorelasi kecepatan dan kelincahan

bolak-balik 4
x 5 meter lari zig-zag Lari30m
bolak-balik 4 x 5 meter Pearson Correlation 1 -.292** .467**
Sig. (1-tailed) . .000 .000
N 240 240 240
lari zig-zag Pearson Correlation -.292** 1 -.361**
Sig. (1-tailed) .000 . .000
N 240 240 240
Lari30m Pearson Correlation .467** -.361** 1
Sig. (1-tailed) .000 .000 .
N 240 240 240
**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).

Dari Tabel 6 di atas dapat dilihat bahwa hubungan dari ketiga tes tersebut tidak terlalu erat;
artinya masing-masing bentuk tes tersebut tidak saling mewakili. Namun jika diterapkan
secara khusus antara lari 30 meter dengan shuttle run, koefisien korelasi diantara keduanya
cenderung lebih tinggi. Artinya antara tes lari 30 meter dengan lari shuttle run dapat saling
mewakili. Dengan keterangan di atas dapat memperjelas realita dari gerakan yang terjadi
pada ketiga jenis bentuk tes tersebut, yaitu bahwa gerakan lari di dalam shuttle run sejenis
dengan gerakan lari di dalam lari 30 meter, yaitu sama-sama berlari lurus ke depan meskipun
di dalam shuttle run memerlukan gerakan berbalik arah. Sedangkan untuk lari zig-zag,
mengingat gerakannya harus berbelok-belok (zig-zag) maka berbeda dengan kedua tes
sebelumnya, dan karenanya wajar jika lari zig-zag memiliki korelasi yang rendah dengan

14
kedua tes lainnya. Dengan data tersebut juga dapat dikatakan bahwa shuttle run, meskipun
kedudukannya sebagai tes kelincahan, namun di dalamnya banyak mengandung unsur
kecepatan sperti halnya di dalam lari cepat lintasan lurus.

Berdasarkan hasil di atas, maka keputusan untuk penerapan tes pengukuran yang
berhubungan dengan kecepatan dan kelincahan dapat memilih alternatif sebagai berikut: a)
Jika kecepatan dan kelincahan kedua-duanya dikehendaki untuk dites/diukur, maka kecepatan
diukur dengan lari 30 meter dan kelincahan diukur dengan lari zig-zag; b) Jika dikarenakan
keterbatasan fasilitas, waktu, tenaga dimana guru tidak dapat melakukan tes secara rinci
(meliput berbagai bentuk tes), maka sudah cukup jika guru hanya menerapkan tes kelincahan
dengan shuttle run. Alasannya shuttle run hanya memerlukan lahan yang tidak terlalu luas
dibandingkan lari 30 meter, sehingga lebih mungkin diterapkan oleh banyak guru yang
notabene memiliki lahan yang sempit; dan c) Jika hanya unsur kelincahan yang dikehendaki
untuk diketahui prestasinya, maka lari zig-zag merupakan pilihat yang tepat. Sebab lari zig-
zag lebih menggambarkan kelincahan sedangkan lari shuttle run disamping kelincahan juga
mengandung unsur kecepatan lebih banyak.

Terdapat hal lain yang perlu dipertimbangkan ketika hendak memilih tes kelincahan secara
khusus. Tes kelincahan menggunakan shuttle run yang jaraknya hanya 4 x 5 meter
memerlukan waktu yang sangat singkat, sehingga perlu keterampilan khusus bagi petugas
tes/guru untuk mengoperasikan stopwatch. Bagi yang sudah terampilpun belum tentu dapat
menjalankan dan menghentikan stopwatch secara ajeg dari waktu ke waktu (reliabil).
Artinya, tes shuttle run ini memiliki kemungkinan kesalahan pengambilan waktu lebih besar.
Untuk tes lari zig-zag akan lebih tepat jika penentuan nilainya berdasarkan jumlah
pancang/rintangan yang dapat dilalui anak dalam satuan waktu tertentu (misalkan 20 detik);
dengan cara ini kemungkinan salah lebih kecil dibandingkan dengan menilai berdasarkan
waktu tempuh.

Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini hanya menggunakan sampel sekolah dasar yang berada di perkotaan yang dari
segi fisik kurang terlatih. Selain itu anak seusia SD ini kemungkinan belum memahami betul
makna dari setiap butir tes yang mereka lakukan, meskipun telah diberikan penjelasan
sebelum tes dilakukan. Dengan kemungkinan tersebut, maka juga ada kemungkinan
munculnya data yang kurang sesuai dengan kemampuan maksimal.

15
SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan temuan penelitian disimpulkan agar: 1) Kecepatan lari tertinggi bagi anak usia
9-12 mulai diraih pada meter ke 20 dan terus semakin cepat hingga meter ke 30. Setelah
melewati jarak 30 meter kecepatannya mulai menurun. Oleh karena itu, jarak yang tepat
untuk mengukur kecepatan lari bagi anak SD kelas lanjut (usia 9-12 tahun) adalah 30 meter;
2) Tidak terjadi korelasi yang signifikan antara kecepatan lari 30 meter dengan zig-zag,
sehingga keduanya tidak dapat saling mewakili. Jika unsur kecepatan dan kelincahan akan
diukur secara terpisah, maka kecepatan diukur dengan lari 30 meter dan kelincahan diukur
dengan lari zig-zag; 3) Korelasi antara lari 30 meter dengan lari shuttle run lebih erat
dibandingkan korelasi antara lari 30 meter dengan lari zig-zag. Artinya Lari shuttle run tidak
dapat disandingkan atau digunakan bersama-sama dengan lari 30 meter; dan 4) Tidak terjadi
korelasi yang signifikan antara lari shuttle run dengan lari zig-zag. Artinya di antara
keduanya tidak dapat saling menggantikan atau merupakan bentuk tes yang berbeda.
Meskipun secara teori keduanya dikategorikan sebagai tes kelincahan, namun di antara
keduanya memiliki perbedaan, yaitu lari shuttle mengandung unsur kecepatan lebih banyak
dibandingkan lari zig-zag. Artinya lari dengan shuttle run dapat mewakili kecepatan ketika
seorang guru tidak sempat melakukan tes lari 30 meter.

Saran

Berdasarkan simpulan disarankan: 1) Dengan terbatasnya sampel yang hanya melibatkan


siswa SD di perkotaan, maka sangat disarankan untuk melakukan kaji ulang dengan
melibatkan sampel yang lebih besar dan representatif mewakili Indonesia. Dengan demikian,
hasilnya dapat diterapkan dalam skala nasional; 2) Tes dan pengukuran kecepatan lari
terhadap peserta didik SD kelas lanjut (usia 9-12 tahun) disarankan untuk menggunakan jarak
30 meter; 3) Tes Kesegaran Jasmani Indonesia (TKJI) yang selama ini digunakan untuk
mengukur kebugaran jasmani peserta didik SD, khususnya yang diperuntukkan bagi anak
usia 10-12 (SD kelas IV-VI) agar segera dikaji ulang atau jarak tempuh pada butir tes lari
cepatnya diganti dengan jarak 30 meter; 4) Untuk melakukan tes dan pengukuran terhadap
unsur kelincahan disarankan untuk menggunakan lari zig-zag yang cara pemberian nilainya
didasarkan pada jumlah rintangan/pancang yang berhasil dilewati peserta didik; 5) Apabila
sekolah tidak dapat melakukan tes kecepatan lari karena alasan keterbatasan lahan, guru

16
dapat melakukan tes kelincahan dengan menggunakan shuttle run mengingat shuttle run
cukup mengandung unsur kecepatan.

PUSTAKA ACUAN
Brian J. Sharkey, 1990, Physiology of Fitness Third Edition, Human Kinetics Books
Champaign, Illinois.
Depdiknas. 2002. Tes Kesegaran Jasmani Indonesia Untuk Usia 10-12 Tahun, Pusat
Pengembangan Kualitas Jasmani, Jakarta.
Espenschande dan Eckert (1980) dalam Waharsono (1999).
Kirkendall, D.R, Grubbe,r J.J., and Johnson, R.E., 1987, Measurement and Evaluation for
Physical Educators, Second Edition, Hman Kinetics Publishers, Inc. Champaign,
Illinois.
http://pojokpenjas.blogspot.com/2008/08/kebugaran-jasmani.html
Lutan, R. 2002. Menuju Sehat Bugar. Depdiknas,Jakarta:Proyek Peningkatan Mutu
Pendidikan Jasmani Pendidikan Dasar
Malina, R.M. and Bouchard, C. 1991. Growth, Maturation, and Physical Activity,
Champaign, Illinois: Human Kinetics books. h .188
Santoso, S.2000. Buku Latihan SPSS Statistik Parametrik. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo. H. 115.Waharsono, 1999, Perkembangan dan Belajar Gerak, dalam
Buku II Materi Pelatihan Guru Penjaskes SD/Pelatih Klub Olahraga Usia Dini,
Jakarta: Bagian Proyek Olahraga Usia Dini SD.

17

Anda mungkin juga menyukai