NARASI :
Alkisah zaman dahulu adalah sebuah kerajaan bernama Seri Bunga Tanjung. Kerajaan
ini dipimpin seorang ratu bernama Cik Sima. Cik Sima mempunyai tujuh orang putri yang
cantik jelita. Yang tercantik dari putri-putri ini adalah yang bungsu yang bernama Puteri
Mayang Mengurai.
Suatu saat pergilah ketujuh puteri ini mandi-mandi ke pemandian yang bernama
Sungai Umai. Tanpa dinyana lewat di dekat pemandian itu seorang pangeran dari Kerajaan
Empang Kuala. Pangeran Empang Kuala jatuh hati pada Puteri Mayang Mengurai. Ia
menyebut puteri yang dicintainya itu putri yang ada di umai.
Maka datanglah utusan raja Empang Kuala melamar Puteri Mayang Mengurai. Cik Sima
sebagai orang tua dan Ratu menolak dengan halus lamaran ini. hal ini menimbulkan
kemarahan dari Kerajaan Empang Kuala. Datanglah Pangeran Empang Kuala membawa
pasukannya memerangi kerajaan Seri Bunga Tanjung. Terjadilah peperangan yang dahsyat.
Untuk menjaga keselamatan ketujuh puteri, Ratu menyembunyikan mereka di sebuah
lubang tanah/gua yang sangat rahasia. Kepada mereka Ratu meninggalkan perbekalan
untuk tiga bulan.
Ternyata peperangan berlangsung lama, melebihi masa tiga bulan. Tinggallah ketujuh putri
di dalam gua itu dalam kesengsaraan.
*
Sesosok tubuh tertutup kain putih. Sesosok tubuh yang telah menjadi mayat. Dialah
Putri Awan Pelangi, anak keempat dari Ratu Cik Sima yang memerintah di Kerajaan Seri
bunga Tanjung. Mayat Putri Awan Pelangi dikelilingi keenam saudaranya di goa
persembunyian mereka. Suasana duka bertumpuk-tumpuk di hati dan wajah mereka.
BM : ”Ya kamu…!”
BM : ”Jangan pura-pura bodoh. Kamulah pangkal bala ini. Kamulah yang menyebabkan
kehancuran
Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Kamu yang membuat kita semua dikurung dalam lubang
tanah
yang busuk, pengap, dan sekarang dalam kelaparan menanti kematian.”
BM : (Mendorong Mayang Mengurai sehingga Mayang Mengurai jatuh terjungkang. Mayang
Mengurai menangis ditemani saudaranya yang lain.)
”Mengapa kamu tolak lamaran Pangeran Empang Kuala? Apa yang kurang pada pangeran
itu. Ia gagah, kaya, keturunan orang terhormat. Ia calon raja. Apa lagi yang kauinginkan….”
CM : ”Jangan menyesali apa yang telah terjadi. Itu tidak boleh. Apa yang telah terjadi adalah
takdir yang telah ditulis di lauh mahfuz lima puluh ribu tahun sebelum langit dan bumi
diciptakan.
Mayang, jangan bersedih. Kamu tidak salah. Kakakmu Bunga Melati sedang galau. Pikiran
sehatnya tidak berfungsi.”
MM : ”Ini memang salahku. Kak Bunga Melati benar. Seharusnya aku tidak menolak lamaran
Pangeran Empang Kuala. Aku benci diriku. Karena aku rakyat Kerajaan Seri Bunga
Tanjung binasa. Karena aku, kita semua akan mati di gua ini.”
EP : “Sudahlah, Dek. Kami merasa tidak menderita. Bukankah hidup ini memang selalu
begini. Susah senang, suka duka, bahagia, derita. Kalau dalam hari-hari ini kita dalam
penderitaan, maka ini adalah jalan pasti kehidupan yang tidak hanya kita yang merasakan.”
MJ : ”Kita tidak boleh berputus asa. Berputus asa adalah sifat orang kafir. Kita masih punya
Allah yang Maha mengetahui apa yang terjadi pada kita. Allahhussomad, Allah tempat
meminta tempat bergantung. Allah pasti menolong kita.”
CM : Kalau begitu engkau tinggal saja. Istirahatlah. Mayang, engkau temani Embun
Pagi.
Jenazah Awan Pelangi diangkat untuk dikebumikan. Embun Pagi dan Mayang Mengurai
tertinggal.
MM : “Bertahanlah, Kak.”
(Mayang mengambil segelas air putih. Membacakan alfatihah, lalu memberikannya kepada
Embun)
Embun menjangkau gelas yang disodorkan Mayang. Baru saja gelas tersentuh olehnya,
langsung lepas lagi. Gelas pecah, air tumpah semua. Embun menjelang sakaratul maut.
EP : ”Asyha…..dualaa..ilaa ha illallaaa……”
Mayang menangis dengan hati hacur berkeping. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia
terus menangis dengan tak berhenti memanggil-manggil nama Embun Pagi dengan suara
yang pelan.
Embun menghembuskan napas terakhirnya di pangkuan Mayang.
MM : “Embuun……..”
(suara Mayang panjang menggema membelah alam. Pasti didengar semua yang bisa
mendengar. Lolongan kesedihan dan kepedihan yang teramat dalam)
(Siapa pun yang melihat dan mendengar Mayang pasti akan terperangkap dalam duka dan
air mata. Kesedihan dari hati yang sangat berduka)
”Bangun.. embun
Bangun..
Embuun…”
Bukan hanya Embun yang diratapi Mayang. Ia meratapi semua. Kata tak cukup lagi
mengungkap duka. Air mata bertahta dalam jiwa.
”Huaaa……………….aaaaaaaaa…aaaaaaaaaaaa…!!!!!!!!!!!!!!!!!”
MM : ”Bunga Melati benar. Akulah manusia terkutuk yang telah membawa malapetaka ini.
karena aku Seri Bunga Tanjung banjir darah.
Aduhai, mengapa aku tak mati saja sebelum musibah ini.
Andai aku tak pernah dilahirkan.
Andai aku debu.
Wahai Robb langit dan bumi. Jika laknat ini untukku, biarlah kutanggungkan semua.
Jangan timpakan lanknat ini pada ibuku, saudara-saudaraku, rakyatku.
Mengapa mereka yang mesti menaggungkan azab ini…
Mengapa tidak aku saja yang menanggungkannya..
Banjir darah di mana-mana.
Air mata tumpah menggenangi negeriku.
Tawa dan senyum telah hilang, berganti tangisan, tak tahu kapan akan berhenti.
Anak-anak kehilangan masa indah mereka.
Para wanita kehilangan kehormatan dan tempat bergantung.
Masa depan mereka menjadi gelap, segelap malam saat bulan bintang menghilang.
Ya Allah..
Aku tahu engkau akan murka
Aku tahu jahanam telah menantiku
Tapi,
Aku tak sanggup menanggungkan lagi”
(Mayang bermaksud bunuh diri. Ia telah memegang sebilah belati di tangan kanannya.
Dengan cepat belati itu ia tancapkan ke perutnya.)
MJ : ”Apa yang kaulakukan mayang. Ini perbuatan hina. Tempatnya di kerak neraka.”
MM : ”Biarkan, biarkan aku mati. Aku pantas masuk neraka. Aku sumber petaka.
Lepaskan..
Lepaskan…
Lepaskan….
Lepaskan…..
Aku mau mati…”
Plak ..
Cahya Mentari menampar Mayang Mengurai. Keras. Mayang tersungkur, tengkurap
mencium bumi.
CM : ”Kamu jangan membuat malu sejarah nenek moyang kita dengan kelemahanmu plus
kebodohanmu itu. Ratu Cik Sima, ibu kita, saat sekarang sedang bertungkus lumus
mempertaruhkan kepalanya dan kepala kestria Kerajaan Seri Bunga Tanjung untuk
menegakkan muruah negeri kita. Tindakan dan ucapanmu sebagai salah seorang puteri
kerajaan bertolak belakang dengan kegagahberanian yang terkenal pada penduduk negeri
kita. Laki-laki perempuan orang Seri Bunga Tanung berdarah pahlawan. Ingat itu dan
hentikan ucapanmu yang tak bernilai itu!!
Setiap orang pasti mati. Perang hanya alat bagi pemilik kehidupan mendatangkan
kematian. Bukan perang yang membuat orang mati. Tidak ajal berpantang mati. Kalau ajal
belum sampai, tak ada apa pun yang bisa merenggut nyawa orang.
Kuatkan hati. Istighfar. Sebut nama-Nya sebanyak-banyaknya.”
Yaa ayyatuhannafsul muthmainnah. Irji’I ila robbiki rodiyyatam mardhiyyah. Fadkuli fii
‘ibadi, wadkuli jannati.”
NARASI:
Setelah perang usai barulah ibu mereka, Cik Sima, datang menjemput. Dan dia harus
menelan kenyataan pahit bahwa ketujuh puterinya telah meninggal dalam keadaan
sengsaran dan kelaparan.
Terkenallah tempat putri cantik itu sekarang dengan nama Dumai (= berasal dari
ucapan Pangeran Empang Kuala yang menyatakan puteri diumai, untuk menyebut puteri
Mayang Mengurai). Legenda mereka terkenal dengan Legenda Puteri Tujuh.
****