Anda di halaman 1dari 25

CASE ICM II WEEK 6 Senin

A 21 year old male was brought to ER at 4 o'clock in the morning by his family due to loss of
consciousness. He also looks pale, bluish lips and not responsive to calling. It also can be easily seen
injection pricks at the hand. He was drinking a bottle of alcohol at 10pm. At the time he still awake
but lack with physical control. While in the way to hospital he had tonic clonic seizure once about 30
secs and vomited.

Problems :

 Kehilangan kesadaran dan dibawa ke rs jam 4 pagi


 Pucat
 Central Cyanosis bibir
 Pas dipanggil tidak responsive
 Di tangannya terlihat jelas bekas injeksi jarum suntik
 Sebelumnya minum sebotol alcohol di jam 10 malam dan pada jam itu masih sadar tapi
physicl control berkurang
 Pas dibawa ke rumah sakit ada tonic clonic seizure sekali sealam 30 detik dan muntah

 Pucat -> ada blood loss gak dan takut mengarah ke shock, apalagi dia ada riawayat jarum
suntik di tangan, pasien seperti ini curiga hal lain terkait penurunan kesadaran yang bisa
membuat trauma terjatuh atau injury, dan juga ada minum alcohol sebelumnya yang
membuat tidak dalam keadaan sadar sehingga bisa melakukan hal hal yang membuat dirinya
bahaya, dan pada pasien sepertii ini penting dicurigai niat atau rencana yang melukai diri
atau terkait bunuh diri karena takut selain dating dalam kehilangan kesadaran, driwayat
pengaruh alcohol, Riwayat suntikan di tangan juga dicurigai dalam pengaruh obat obatan
terlarang.
 Central Cyanosis di bibir  blood loss jadi inadequate oxygen di dalam darah, kalau di
pasien ini juga bisa curiga karna certain drugs dan chemicals (Perubahan warna kebiruan
selain inadequate oxygenation, kadang-kadang terlihat karena konsumsi obat, racun, atau
logam. Ini disebut 'Pseudocyanosis.')
Dan beberapa etiologi dari central cyanosis itu -> Hypoventilation due to conditions affecting
the central nervous system, such as intracranial hemorrhage (bisa karna pas gak sadarkan
diri jatuh), tonic-clonic seizures (jelas ada di pasien ini), and heroin overdose (bisa jadi juga
karna riwayat belum lengkap jadi bisa dicurigai).
Khusus berhubungan tonic clonic seizure dan cyanosis -> Seizures can alter the perception of
respiration and fullness of breath (e.g., shortness of breath), respiratory rate and pattern
(e.g., tachypnea, hypopnea, apnea), reflexes (e.g., coughing), quality (e.g., stridor), and
secretions. Neurogenic pulmonary edema may contribute to sudden unexplained death in
epilepsy patients (SUDEP—see section entitled Autonomic Dysfunction and SUDEP). Apnea
and cyanosis are common during tonic–clonic seizures and prolonged tonic seizures
 Selain itu juga Moderate-to-severe poisoning is associated with cyanosis (blueness of the
skin), confusion, loss of consciousness, seizures, abnormal heart rhythms, and death
 Pas di panggil tidak responsive -> GCS rendah

Question 1 : As on duty doctor in Emergency Room, how do you manage this patient ?

 4 core components of care -> history taking, physical examination, investigation,


treatment/management
 Investigasi karna takut life threatening patient jadi lakukan terlebih dahulu Primary survey
Cek ABCDE -> airway, breathing, circulation, disability, and exposure
 Cek TTV -> HR, RR, BP, temperature + Sat O2

Question 2. What are your next management?

History taking

 Collateral history atau Riwayat lengkap ttg pasien dan apa yang terjadi dari keluarga, kerabat
atau saksi lain, termasuk paramedis yang menolong dan yang selama perjalanan menemani
membawa ke rs sambal memonitoring
 Di tanya lebih lanjut untuk Riwayat suntikan di tangan, apa yang disuntikan, sudah sering
sebelumnya atau baru sekali ini, apa yang disuntikkan, steril atau tidak, efek setelah
disuuntikkan bagaimana, dan munculnya berapa lama apakah langsung atau tidak
 Riwayat Keadaan dan kesehatan sekarang, status fungsional, dan riwayat penyakit
sebelumnya
 apakah sudah pernah dibawa atau dirawat ke rumah sakit, Jika iya, rekam medis rumah sakit
sebelumnya harus segera diminta atau tanya ke keluarga dan kerabat
 Apoteker rumah sakit dapat memperoleh riwayat obat dari catatan bersama perawatan
primer
 Riwayat konsumsi obat
 Riwayat konsumsi penggunaan obat obatan terlarang
 Cari petunjuk seperti buungkus obat kosong, alcohol, suicide note, injection sites, etc

 Examination

ABC initial assessment for level of consciousness

 Evaluate and treat the ABCD's (Airway, Breathing, Circulation, Disability) to stabilize the
patient.
o Airway: Gag reflex, patency of airway, careful monitoring even in awake patient as
they can deteriorate quickly. Consider intubation if unable to protect airway.
o Breathing: Evaluate SpO2 and PCO2 if any concern for impaired breathing.
Supplemental oxygen or even intubation/mechanical ventilation may be needed for
significant impairment.
o Circulation: Evaluate blood pressure and heat rate. Obtain peripheral IV access.   EKG
should generally be obtained if suspecting an occult ingestion.
o Disability: Monitor mental status. Check glucose as hypoglycemia is a common cause
of AMS is poisoned patients. Consider naloxone if opioid ingestion is highly
suspected (generally the use of flumazenil for benzodiazapene ingestion is not
recommended due to the risk of precipitating seizures)

o Check for GCS  coma is GCS < 8 or U (Unresponsive) in AVPU scale (Alert,
responsive to voice, responsive to pain, unresponsive)
o A focused neurological exam should be undertaken -> motor can be purposeful ex/
patient pulling away on airway adjuncts, or reflexive, including withdraw, flexion or
extension. Motor response stimuli should be assessed in stepwise approach
 Verbal stimulus -> can you hear me?
 Tactile stimulus -> to hands or face?
 Noxious stimulus -> intense but not causing any injury ex/ pressure on
nailbed or supraorbital ridge 

 Eye movements can’t be fully assessed in unconscious patient. If there’s no concern


regarding a neck injury , the doll’s eyes or oculocephalic reflex can be performed.
 Loss of conjugate movement away from the direction the head is moved,
with the eyes remaining in midorbit position, suggests brain stem
dysfunction 
 Fundoscopy should be performed -> ex/ papilledema in posterior reversible
encephalopathy syndrome (PRES) or subhyaloid haemorrhage in
subarachnoid haemorrhage 

 Pupil exams can aid diagnosis


 Small pupils <2 mm -> opioid toxicity or a pontine lesion 
 Midsize pupils 4-6 mm unresponsive to light -> midbrain lesion
 Maximally dilated pupil >8 mm -> drug toxicity ex/ anticholinergic OD
 Mixed and dilated pupil(s) -> 3 (oculomotor) nerve lesion from uncal
rd

herniation 

 Breath smell
 Musty smell -> hepatic encephalopathy
 Garlic smell -> organophosphate poisoning
 Kusmaul respiration -> deep, laboured breathing, indicative of severe
metabolic acidosis commonly associated with diabetic ketoacidosis
 Opioid overdose -> Shallow (pernaapasan dangkal) with an extremely
depressed RR
 Ataxic breathing (Biot’s respiration) -> groups of quick, shallow inspiration
followed by regular or irregular periods of apnoea, suggesting a lesion in the
lower pons 
 Cheyne-Stokes breathing -> seen with many underlying pathologies and isn’t
helpful in making a firm diagnosis 
 Alcohol consumption -> thorough search of other causes of LoC (Level of
consciousness) should continue 
 Intracranial bleed remains a strong possibility even in the absence of falls or external
injury in elderly patient
 The presence of generalized tremor or myoclonus -> metabolic cause 
 Examine the skin for injection sites as well -> in this patient we can tell there are
sites on the hands and it’s right to assume this person is on some kind of drug

Investigation -> aid diagnosis, assessment of severity and monitoring ongoing care
 Before considering any further investigation, a bedside capillary blood glucose must
be performed to exclude hypoglycaemia 
 Full blood count
 Urea and e-lytes
 Ca and bone profile
 LFT
 Clotting screen
 Tox screen -> including paracetamol, salicylate, and blood alcohol level ECG
 CXR
 ABG -> including CO concentration
 Blood cultures should be taken from patients with fever or suspected sepsis,
preferably before administration of empirical antibiotics
 Other microbiology samples should be taken based on the clinical assessment 
 Urgent imaging of the brain is important and a structural pathology should always
be considered if the cause is not obvious from the initial rapid assessment -> CT is
the choice to exclude common pathologies ex/ intracranial blood, stroke, or space
occupying lesions and if it’s normal then the Dx remains unclear, and further imaging
with MRI may be required 
 If there are no contradictions, lumbar puncture should be considered when the
cause of unconsciousness remains unclear or a CNS infection is suspected 
 EEG should be performed in suspected cases of non-conclusive status epilepticus.
There’s prolonged seizure activity but in the absence of motor signs though it’s more
common in older patients. Clinically patients appear to stare into space with
nystagmus-like eye movements, lip smacking or myoclonic jerks

Treatment and management


 Saat ABC dilakukan, anggota tim harus melakukan tes darah, membuat akses IV,
menghubungkan pasien ke monitor jantung dan probe saturasi o2 dan memulai
terapi o2 yang sesuai jika diperlukan
 Jika ada keraguan, c-spine harus diimobilisasi
 Kematian akan terjadi paling cepat ketika jalan napas dan pernapasan terganggu
intubasi harus dipertimbangkan pada pasien dengan GCS <8 atau kurang, atau
mereka yang tidak dapat melindungi jalan napasnya sendiri atau memiliki dorongan
pernapasan yang tidak efektif dan oksigenasi yang buruk
 Hipotensi awalnya dikelola dengan resusitasi cairan IV, dukungan vasopresor dini
dipertimbangkan ketika TD tidak merespons
 Pada pasien yang secara fisiologis tetap tidak stabil atau di mana penyebab koma
tidak segera jelas atau reversibel, bantuan dari rekan perawatan kritis harus dicari
pada tahap yang sangat awal

From further anamneses revealed that the patient had history of rehabilitation for drugs abuse 1
year ago, patient was using heroin before

 Hb: 10.7 -> turun Anemia -> bisa karena riwayat pasien menjadi pecandu alkohol merusak
ikata HB
 Ht: 33 -> decrease
 leucocyte: 7,000 -> normal 
 platelet 310,000 -> normal 
 Random blood glucose 70 -> turun ethanol menghambat gluconeogenesis
 SGOT 140 -> (5-40 U/L) increase-> suspected liver damage cause toxic damage
 SGPT 156 -> (7-56 U/L) increase -> suspected liver damage
 Urea 25 -> (5-20 mg/dL) increase -> suspected some kidney damage
 creatinine 0,88 -> (0.9-1.3 mg/dL) decrease -> suspected some kidney damage
 electrolyte within-> normal
 Blood gas analysis -> Respiratory acidosis uncompensated 
o pH: 7.3 turun
o PaCO2: 60 naik
o PO2: 50 turun
o HCO3 20 turun acidosis
o SpO2 92% -> need o2 therapy hypoxia
o BE -3 acidosis
 Ethanol level 10 mg/dL -> normal (not intoxicated <50 mg/dL or 0.05% concentration)
 blood 6-MAM (monoacetylmorphine) urine level 10 ng/ml -> to check intermediate
metabolite between heroine and morphine
 Chest X-Ray -> normal

Question 3 : What is your diagnosis and further management to the patient?

 Heroin overdose (opioid)


 Intoksisikasi alcohol
 Respiratory acidosis

Manajemen :
 triad: respiratory depression, pupil pin-point, loss of consciousness Treatment
 ABC
 Alloanamnesis
 PF -> IPPA (inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi)
 berikan manajemen yang tepat seperti yang ditekankan dan diberikan penawar naloxone
untuk toksisitas opioid
 Kasih naloxone 0.4-1mg trus dikasih lagi 2-3 min dengan peningkatan dosis sambil di pantau
 Jika 1 hari tidak ada respon setelah max dose 10 mg, diagnosis diperiksa Kembali
 Edema paru -> kasi O2 dan respirator
 Hypotension -> cairan IV adequate, dopamine dosis 2-5 mcg/kgBB/menit
 Jangan kasih anti emesis
 Activated charcoal  PO 240 ml cairan + 30 gr charcoal (max 100 gr)
 Seizure → diazepam IV 5-10 mg
 Monitor BP, depresi napas

Opioid:

1. ABC
2. History : alloanamnesis  riwayat pemakaian, bekas suntikan, pemeriksaan urin
3. Inspeksi : triad  depresi napas, pupil pinpoint, kesadaran menurun
4.  Airway management (head tilt chin lift maneuver and assisted breathing to improve
oxygenation). Berikan o2 100% sesuai kebutuhan
5. Pasang iv dextrose 5% / nacl 0.9%, cairan koloid jika diperlukan
6. Naloxone IV  slow administration untuk mencegah acute withdrawal syndrome,
menetralkan efek opioid, mengembalikan ventilasi dan counteract CNS depression.
Apabila tdk ada hipoventilasi 0.4 mg IV, apabila ada hipoventilasi dosis awal 1-2 mg
IV, apabila tdk ada respon 5 menit, berikan 1-2mg IV atau telah mencapai dosis
maksimal 10 mg. efek naloxone berkurang setelah 20-40 menit. Monitoring
Pertimbangkan pemasangan ett  apabila ada hipoxia berat, acidosis,
cardiovascular instability
a. Edema paru  pemberian o2 & respirator
b. Hypotension  cairan IV adequate, pertimbangkan pemberian dopamine
dosis 2-5 mikrogram/kgBB/min
c. Jangan coba muntah

7. Management of complication  diazepam untuk seizure IV 5-10 mg. dapat diulang


jika diperlukan. Monitor BP & depresi napas, bila ada indikasi dapat dilakukan
intubasi
8. Observasi TTV & puasa 6 jam
9. Naltrezone  after detox untuk prevent relapse

Alcohol
1. Abc
2. Gastric lavage, induksi emesis, karbon aktif  30-60 menit
3. Etanol / fomepizol  á metabolisme alkohol, inhibisi alcohol dehidrogenase
4. Acidosis metabolic  treat sodium bicarbonate IV
5. Suspek metanol  sodium bicarbonate, folinic acid 1mg/kg max 50kg @ 4 jam. Apabila tidak
ada, ganti folic acid dengan dosis sama
6. Suspek ethylene glycole  + 100 mg IV thiamine @ jam dan 50 mg pyridoxine @ 6 jam

2 hour after intubation and administration of naloxone, patient had consciousness improvement,
E3M5Vt. We also checked the BGA, it was normal with FiO2 30%. After 24 hours GCS was 15 and
patient was extubated. Then was transferred to ward and also also had consultation for drug addicts
problem

 2 hour after intubation & naloxone (opioid antidote) -> conscious movement
 GCS (E3M5Vt) = 8+t
 ABG -> FiO2 30%
 After 24h -> GCS = 15 and patient was extubated 
 Transferred to ward and consulted about the drug addiction
DD
Lo :

1. Indikasi intubasi scr general, indikasi apa yg memenuhi untuk intubasi pd pasien ini

 Indikasi untuk intubasi  untuk mengamankan airway  termasuk respiratory failure


(hipoksia atau hiperkapnia), apnea, penurunan tingkat kesadaran (kadang-kadang
dinyatakan sebagai GCS kurang dari atau sama dengan 8), perubahan status mental yang
cepat, airway injury atau gangguan jalan napas yang akan datang, tinggi risiko aspirasi, atau
'trauma pada kotak (laring),' yang mencakup semua luka tembus pada leher, perut, atau
dada.
 Intubasi endotrakeal  diperlukan ketika gangguan pernapasan atau integritas jalan napas
tidak dapat dicapai atau dipertahankan karena alasan apa pun  intubasi diperlukan saat
mengevaluasi pasien, dan dalam jangka panjang, perlindungan jalan napas akan diperlukan
atau bahwa masalah tidak dapat diselesaikan dengan ventilasi noninvasif melalui alat bantu
dan perangkat jalan napas

Pada pasien ini :

 Diperlukan karena pasiennya tidak sadar + terdapat cyanosis sentral yang mana terjadi bisa
karena kekurangan oksigen di dalam darah jadi diperlukan intubasi untuk dapat memenuhi
asupan oksigennya

Kontraindikasi

 trauma berat atau obstruksi jalan napas yang tidak memungkinkan pemasangan
endotracheal tube secara aman.

 Jika tabung endotrakeal tidak dapat dipasang, tetapi jalan napas perlu diamankan,
surgical airway diindikasikan.

 Pada orang dewasa, krikotirotomi atau krikotirotomi jarum  pilihan yang darurat
 harus diubah menjadi trakeostomi formal segera setelah jalan napas dibuat.

 Trakeostomi darurat (kadang-kadang disebut " slash tracheostomy")  pilihan yang


dapat diterima.

 Untuk pasien anak yang tidak dapat dipasang endotracheal tube  krikotirotomi
tidak sering dilakukan dan trakeostomi darurat lebih sering.

 Satu-satunya kontraindikasi absolut untuk krikotiroidotomi bedah  usia anak.

o Usia pasti di mana mereka dapat dengan aman melakukan bedah


krikotirotomi masih kontroversial dan tidak terdefinisi dengan baik dan
mungkin lebih bergantung pada ukuran dan kebiasaan tubuh pasien,
dibandingkan dengan usia absolut.
o Berbagai sumber mencantumkan batas usia yang lebih rendah mulai dari 5 -
12 tahun, dan Pediatric Advanced Life Support mendefinisikan jalan napas
pediatrik sebagai usia 1 hingga 8 tahun.

o Untuk pasien anak, krikotirotomi jarum dengan ventilasi trans-trakea harus


dilakukan sebagai pengganti incision-based surgical cricothyrotomy 
kemudian harus diubah menjadi trakeostomi formal.

2. Tipe2 gagal napas, apa beda nya, Apakah pasien ini gagal napas? Kl iya, masuk tipe
yg mana?

Classification:

Klasifikasi :

a. Type 1 respiratory failure:

Ciri khas Type 1 respiratory failure  partial pressure of oxygen (PaO2) < 60
mmHg dengan partial pressure of carbon dioxide (PaCO2) normal atau menurun;
Tergantung pada penyebab hipoksemia, alveolar-arterial (A-a) gradient mungkin
normal atau meningkat.

 Rumus persamaan gradien A-a dan gas alveolus di bawah ini  membantu dalam
memahami patofisiologi gagal napas.

 A-a gradien:

o Gradien A-a = PAO2 - PaO2, dimana

o PAO2 = Alveolar partial pressure of oxygen

o PaO2 = Arterial partial pressure of oxygen

Persamaan gas alveolar:

 PAO2 = FiO2 (Patm - Pwater) - PaCO2/0.8, dimana


o PAO2 = Alveolar partial pressure of oxygen
o FiO2 = Fraction of inspired oxygen
o Patm = Atmospheric pressure
o Pwater = Partial pressure of water at body temperature
o PaCO2 = Partial pressure of arterial carbon dioxide
Etiologi gagal napas tipe 1 dengan gradien A-a normal meliputi:

1) Alveolar hypoventilation

 Hipoventilasi alveolar  meningkatkan PaCO2.


 Persamaan gas alveolar menunjukkan  peningkatan PaCO2 menyebabkan
penurunan tekanan PAO2.

 Dalam situasi ini, gradien A-a adalah normal, karena PAO2 dan PaO2 menurun dalam
besaran yang sama.

 Ketika parah, hipoventilasi alveolar dapat berkembang menjadi kegagalan


pernapasan Tipe2

o Etiologi hipoventilasi alveolar meliputi:

 Central nervous system depression (i.e., central sleep apnea, coma,


hypothyroidism, obesity hypoventilation syndrome, and toxic
metabolic encephalopathy)

 Decreased chest wall compliance (i.e., flail chest and kyphoscoliosis)

 Neuromuscular disease (i.e., amyotrophic lateral sclerosis, Guillain-


Barré syndrome, and myasthenia gravis)

2) Tekanan atmosfer rendah/fraksi oksigen inspirasi

 Persamaan gas alveolar menunjukkan bahwa (PAO2) menurun dengan tekanan


atmosfer rendah (Patm) dan dengan rendahnya tingkat oksigen inspirasi (FiO2) 
Dalam kedua situasi tersebut, gradien A-a tetap normal, dan PaCO2 menurun,
karena respons terhadap hipoksia adalah hiperventilasi  penyebab gagal napas ini
hanya terjadi di dataran tinggi.

Etiologi gagal napas tipe 1 dengan peningkatan gradien A-a meliputi:

1) Diffusion defect

 Pertukaran gas antara lingkungan dan tubuh terjadi pada alveolar-capillary interface
 Perubahan struktural pada komponen alveolar dari alveolar-capillary interface,
seperti penurunan luas permukaan atau peningkatan ketebalan  menyebabkan
cacat difusi melintasi membran.

 Selain itu, mengurangi waktu transit kapiler paru melalui antarmuka alveolar-kapiler
 menyebabkan cacat difusi melintasi membran.

 Dalam kedua situasi, hiperkapnia tidak terjadi, karena karbon dioksida berdifusi lebih
mudah melintasi membran kapiler-alveolar daripada oksigen.

o Etiologi defek difusi meliputi:

 Empisema, Latihan, Penyakit paru interstisial

2) Ventilasi/perfusi (V/Q) mismatch:

 Komposisi gas alveolar tergantung pada keseimbangan ventilasi alveolar dan aliran
darah kapiler paru yang terjadi pada antarmuka alveolar-kapiler.
 Ketika sangat cocok, rasio V/Q sama dengan satu.

 Ketika ventilasi berlebihan terhadap perfusi, rasio V/Q lebih besar dari satu; Dead
space ventilation terjadi ketika rasio V/Q mencapai tak terhingga.

 Ketika perfusi berlebihan terhadap ventilasi, rasio V/Q kurang dari satu; Shunt terjadi
ketika rasio V/Q mencapai nol.

 Namun, pada orang sehat, rasio V/Q kira-kira 0,8, karena keseimbangan antara
ventilasi dan perfusi berbeda dari puncak hingga dasar paru-paru.

 Ketidakcocokan V/Q adalah penyebab paling umum dari kegagalan pernapasan Tipe
1

o Etiologi V/Q mismatch meliputi:

 Acute respiratory distress syndrome


 Atelectasis
 Chronic obstructive pulmonary disease
 Congestive heart failure
 Pneumonia
 Pulmonary embolism
3) Right-to-left shunt , shunt terjadi ketika rasio V/Q mencapai nol.

 Tidak adanya pertukaran gas pada antarmuka alveolar-kapiler menunjukkan shunt


yang sebenarnya dan analog dengan right-to-left shunting  intrakardiak yang terlihat
pada defek septum atrium dan foramen ovale paten.

 Tidak seperti V/Q mismatch, true shunt tidak membaik dengan terapi oksigen
tambahan.

o Etiologi pulmonary right-to-left shunts :

 Arteriovenous malformation

 Complete atelectasis

 Severe pneumonia

 Severe pulmonary edema

b. Type 2 respiratory failure: (biasanya terjadi karena peningkatan kerja nafas karena
obstruksi aliran udara atau penurunan respiratory system compliance, dengan
penurunan kekuatan otot pernapasan karena penyakit neuromuskular, atau dengan
kegagalan pernapasan sentral dan penurunan dorongan pernapasan)

 Ciri yang membedakan gagal napas tipe 2  (PaCO2) > 45 mmHg dengan pH < 7,35;
Tergantung pada penyebab gagal napas, (PaO2) mungkin normal atau menurun.
 Ketidakmampuan untuk berventilasi dapat diakibatkan oleh kegagalan pompa
pernapasan atau peningkatan produksi (CO2).
 Sementara kegagalan pompa pernapasan lebih umum daripada peningkatan
produksi (CO2),
Etiologi :
 Respiratory pump failure
o Pompa pernapasan terdiri dari dinding dada, parenkim paru, otot-otot
pernapasan, serta sistem saraf pusat dan perifer.
o Ketidakmampuan untuk berventilasi dapat terjadi jika salah satu komponen
pompa pernapasan yang disebutkan di atas gagal.
o Perubahan transmisi saraf dan neuromuskular  seperti amyotrophic lateral
sclerosis, botulism, Guillain-Barre syndrome, myasthenia graves,
organophosphate poisoning, poliomyelitis, spinal cord trauma, tetanus, and
transverse myelitis may impair the function of the respiratory pump,
resulting in hypoventilation.
o Chest wall dan pleural disorders: Flail chest, kyphoscoliosis, hyperinflation,
large pleural effusions, obesity, and thoracoplasty may impair the function of
the respiratory pump, resulting in hypoventilation.
o Dead space ventilation  Kondisi yang meningkatkan rasio V/Q  seperti
acute respiratory distress syndrome, bronkitis, bronkiektasis, emfisema, dan
emboli paru,  mengakibatkan hipoventilasi.
 Hipoventilasi biasanya terjadi setelah ventilasi ruang mati melebihi
50% dari total ventilasi.
o Decreased central dive  Obat penenang (yaitu, alkohol, benzodiazepin, dan
opiat) dan penyakit pada sistem saraf pusat (yaitu, ensefalitis, stroke, tumor,
dan trauma) dapat mengganggu pernapasan, mengakibatkan hipoventilasi.
Note : kayaknya pasien ini tipe 2 karena dia intoksikasi
o Abnormalitas otot: Paralisis diafragma, atrofi difus, distrofi otot, dan ruptur
diafragma dapat mengganggu fungsi pompa pernapasan, mengakibatkan
hipoventilasi.
 Peningkatan produksi (CO2):
o (CO2)  produk sampingan dari metabolisme oksidatif, dan peningkatan
produksi (CO2) dapat terjadi karena demam, olahraga, hiperalimentasi,
sepsis, dan tirotoksikosis.
o Peningkatan produksi (CO2) menjadi patologis jika peningkatan kompensasi
mekanisme ventilasi menit gagal.

c. Type 3 (Peri-operative)  umumnya merupakan bagian dari kegagalan tipe 1 tetapi kadang-
kadang dianggap terpisah karena sangat umum.
 acute respiratory failure  sering terjadi pada periode post-operative dengan
atelektasis  menjadi penyebab paling sering.

 Jadi tindakan untuk membalikkan atelektasis adalah yang terpenting.


 Secara umum, efek anestesi residual, nyeri pasca operasi, dan mekanika abdomen
yang abnormal berkontribusi pada penurunan FRC dan kolaps progresif unit paru
dependen.

 Penyebab atelektasis pasca operasi meliputi:

o penurunan FRC, Supine/ obese/ ascites, anesthesia, upper abdominal


incision, airway secretions.

 Terapi diarahkan untuk membalikkan atelektasis.

o Turn pasien q1-2h

o Chest physiotherapy

o Incentive spirometry

o Mengobati nyeri insisional (mungkin termasuk anestesi epidural atau


analgesia yang dikontrol pasien)

o Ventilasi pada 45 derajat tegak

o Drain ascites

o Re-expansion of lobar collapse

o Avoid overhydration

d. Type 4 (Shock)  secondary akibat cardiovascular instability.


 Hipoperfusi dapat menyebabkan gagal napas.

 Terapi ventilator sering dilakukan untuk meminimalkan pencurian cardiac output


yang terbatas oleh otot-otot pernapasan yang bekerja berlebihan sampai etiologi
keadaan hipoperfusi diidentifikasi dan dikoreksi

o Kardiogenik

o Hipovolemik

o septik

WEEK 6

1. Opioid overdose
Opiate merupakan derivate dari opium poppy plant sementara opioid adalah substansi yang bekerja
pada reseptor dari opiate tersebut, contoh obat dari golongan opiate adalah morfin & kodein.
Opioids merupakan turunan semisintetik dari opium yang bekerja pada sistem opiod endogen
sebagai potent agonist terhadap receptor mu untuk membentuk complex cascade dari signal
intracellular yang bisa release dopamine + block signal nyeri + menimbulkan sensasi euphoria,
contoh obat dari golongan opioid adalah metadon; oksikodon; & buprenorfin. Reseptor opioid
terletak pada otak; spinal cord; serta usus sehingga pada kasus overdosis bisa timbul efek
berlebihan pada pusat pengaturan pernapasan di otak yang memicu terjadinya depresi pernapasan
– kematian. Reseptor dari opioid,

 Reseptor Mu -> mediasi analgesia, euphoria, sedasi, depresi pernafasan, dismotilitas GI,
physical dependence
 Reseptor Kappa -> mediasi analgesia, diuresis, miosis, dysphoria
 Reseptor Delta -> mediasi analgesia, inhibisi release dopamine, cough suppression
 Reseptor Sigma -> mediasi halusinasi, dysphoria, psychosis | udah ga diconsider reseptor
opioid soalnya naloxone ga bisa antagonist reseptor ini

Pembagian kategori opioid berdasarkan efeknya,

o Agonis opioid kuat -> morfin, heroin, meperidine, metadon, alfentanil, fentanyl,
remifentanil, sufentanil
o Agonis opioid rendah-sedang -> kodein, oksikodon, propoksifen
o Agonis partial opioid -> buprenofrin, butorfanol, nalbufin, pentazosin
o Antagonist opiod -> nalokson, naltrekson

Etiologi terjadinya overdosis opioid dapat dibedakan sebagai overdosis akibat komplikasi
penyalahgunaan obat, overdosis secara tidak disengaja, overdosis secara disengaja, dan karena
therapeutic drug error. Faktor yang meningkatkan resiko overdosis opioid adalah penggunaan
dengan escalating doses + kembali gunakan setelah berhasil kurangi + kondisi psikiatrik/medis
tertentu (depresi; HIV) + pengguna kombinasi opioid-sedative + pria + usia muda + white non-
hispanic race. Gejala yang ditunjukan oleh pasien dengan overdosis opioid dianggap memiliki triad
berupa pinpoint pupils, depresi pernafasan, dan penurunan kesadaran. Opioid dapat digunakan via
IV (peak effect 5-10 menit), topically, inhalasi, dermal, sublingual, IM, ataupun oral (efeknya 90
menit + mostly absorb di small intestine tapi kalau dosisnya berlebih bisa terjadi gastric
aperistalsis/delayed emptying). Setelah masuk dalam tubuh maka opiate akan dipecah oleh liver
untuk menjadi senyawa inaktif untuk dieksresi ginjal tetapi opiate seperti buprenorphine & fentanyl
yang high lipid soluble memiliki kecenderungan untuk mengalami re-distribusi ke jaringan lemak.

Terapi pada kasus overdosis opioid dilakukan sesuai kondisi pasien tetapi harus pastikan ABC dalam
kondisi aman, apabila pasien tidak bisa protect airway maka bisa berikan intubasi endotracheal &
berikan naloxone (bisa bikin agitasi & aggression) IM untuk reverse respiratory depression sambil
dirujuk ke RS, setelah pasien tiba di RS maka tatalaksananya:

ü ABCDE
ü Naloxone (antagonist opiate receptors) 0.4-1mg pada adults via endotracheal/IV dengan
dosis keduanya diberikan setiap 2-3 menit secara perlahan untuk cegah withdrawal
syndrome| pada kasus overdosis diphenoxylate; methadone; butorphanol; nalbuphine;
pentazocine diperlukan dosis naloxone yang lebih tinggi
ü Activated charcoal pada pasien yang alert dalam 2-3 jam untuk dekontaminasi isi gaster tapi
kalau unstable bisa lakukan intubasi juga untuk cegah aspirasi
ü Irigasi bowel

Algoritma,
Naloxone
Naloxone adalah obat yang dirancang untuk membalikkan overdosis opioid dengan cepat. Ini adalah
antagonis opioid — artinya mengikat reseptor opioid dan dapat membalikkan dan memblokir efek
opioid lain, seperti heroin, morfin, dan oksikodon.
Diberikan ketika pasien menunjukkan tanda-tanda overdosis opioid, nalokson adalah pengobatan
sementara dan efeknya tidak bertahan lama. Oleh karena itu, sangat penting untuk mendapatkan
intervensi medis sesegera mungkin setelah pemberian/penerimaan nalokson.
 Bisa diberikan multiple times

 Adults and children—At first, 2 or 4 milligrams (mg) (1 spray into one nostril). Another spray
may be given into the other nostril every 2 to 3 minutes until the patient responds or until
emergency medical assistance becomes available

 There's no limit or maximum number of Narcan doses that can be given to someone.
Narcan begins working within 2 to 3 minutes after it's given. If the person who receives
Narcan doesn't start to breathe normally within that period of time, you should give them
another dose of the drug.

Candidates for naloxone are those who:

• Konsumsi opioid dosis tinggi untuk manajemen jangka panjang nyeri kronis
• Menerima rejimen pengobatan opioid bergilir
• Telah dipulangkan dari perawatan medis darurat setelah keracunan atau keracunan
opioid
• Minum obat opioid jangka panjang atau jangka panjang tertentu
• Mereka yang telah menjalani masa pantang termasuk mereka yang baru saja
dibebaskan dari penahanan.
Side Effect
Use of naloxone causes symptoms of opioid withdrawal. Medical assistance must be obtained as
soon as possible after administering/receiving naloxone.

Opioid withdrawal symptoms include:


 Feeling nervous, restless, or irritable

 Body aches

 Dizziness or weakness

 Diarrhea, stomach pain, or nausea

 Fever, chills, or goose bumps

 Sneezing or runny nose in the absence of a cold


Mechanism
 Nalokson adalah senyawa lipofilik yang bertindak sebagai antagonis reseptor opioid non-
selektif dan kompetitif. Isomer nalokson yang aktif secara farmakologi adalah (−)-nalokson.
Afinitas pengikatan nalokson paling tinggi untuk reseptor -opioid (MOR), kemudian reseptor
-opioid (DOR), dan terendah untuk reseptor -opioid (KOR); nalokson memiliki afinitas yang
dapat diabaikan untuk reseptor nosiseptin.

 Mekanisme kerjanya tidak sepenuhnya dipahami, tetapi penelitian menunjukkan bahwa ia


berfungsi untuk menghasilkan gejala penarikan dengan bersaing untuk reseptor opioid di
dalam otak (antagonis kompetitif, bukan agonis langsung), sehingga mencegah aksi opioid
endogen dan xenobiotik pada reseptor ini. tanpa secara langsung menghasilkan efek itu
sendiri.

 Pemberian tunggal nalokson dengan dosis yang relatif tinggi 2 mg melalui injeksi intravena
telah ditemukan menghasilkan blokade MOR otak sebesar 80% pada 5 menit, 47% pada 2
jam, 44% pada 4 jam, dan 8% pada 8 jam. Dosis rendah (2 g/kg) menghasilkan blokade MOR
otak sebesar 42% pada 5 menit, 6% pada 2 jam, 33% pada 4 jam, dan 10% pada 8 jam.

 Pemberian nalokson intranasal melalui semprotan hidung juga telah ditemukan dengan
cepat menempati MOR otak, dengan okupansi puncak terjadi pada 20 menit, okupansi
puncak 67% pada dosis 2 mg dan 85% dengan 4 mg, dan perkiraan waktu paruh nalokson.
hilangnya hunian sekitar 100 menit (1,67 jam).
Pharmacokinetics
Ketika diberikan secara parenteral (non-oral atau non-rektal, misalnya intravena atau injeksi), seperti
yang paling umum, nalokson memiliki distribusi yang cepat ke seluruh tubuh. Rata-rata waktu paruh
serum telah terbukti berkisar antara 30 hingga 81 menit, lebih pendek dari waktu paruh rata-rata
beberapa opiat, yang memerlukan pemberian dosis berulang jika reseptor opioid harus dihentikan
pemicunya untuk waktu yang lama. Nalokson terutama dimetabolisme oleh hati. Metabolit
utamanya adalah nalokson-3-glukuronida, yang diekskresikan dalam urin.

Dosis dan Aturan Pakai Naloxone


Dosis naloxone suntik yang diberikan dokter biasanya berupa naloxone hydrochloride. Berikut
adalah dosis naloxone suntik berdasarkan tujuan penggunaannya:
Tujuan: Mengatasi overdosis obat opioid

 Dewasa: 0,4–2 mg, dosis dapat diulang tiap 2–3 menit jika diperlukan. Dosis maksimal 10
mg.
 Anak-anak: 10 mcg/kgBB, dilanjutkan dengan 100 mcg/kgBB jika diperlukan.
Interaksi Naloxone dengan Obat Lain
Naloxone dapat meningkatkan risiko terjadinya gangguan fungsi jantung yang fatal jika digunakan
bersama obat-obatan yang menyebabkan kerusakan jantung, seperti chloroquine, doxorubicin,
atau cyclophosphamide
Efek Samping dan Bahaya Naloxone
Mengingat naloxone bekerja dengan melawan efek opioid, penggunaan obat ini berpotensi
menyebabkan gejala putus zat. Kondisi ini bisa ditandai dengan gejala seperti:

 Mual, muntah, sakit perut, diare


 Demam, menggigil, merinding, keringat dingin, nyeri otot, lemas
 Tremor, jantung berdebar, gugup, gelisah, mudah murah
 Sering menguap, hidung meler, bersin-bersin

Gejala putus obat lebih berisiko terjadi pada orang yang kecanduan opioid atau
menggunakan painkiller  opioid dalam jangka lama. Sebagai antisipasi, pastikan pasien bisa segera
mendapatkan pemeriksaan dari dokter setelah menerima naloxone meskipun efek samping belum
terjadi.
Physical Exam
- Clinical management
o Lihat ada Pucat, perubahan pernapasan, mengorong, airway terganggu, muntah
o Lihat ada tanda komplikasi dari intoksikasi  trauma, perubahan persepsi,
penurunan kesadaran, emosi, confused  panggiil bantuan
o Monitor awalnya setiap setengah jam, kemudian per jam
o Medical emergency apabila  cardiac arrest, LOC

 Pasien dengan toksisitas opioid secara khas hadir dengan tingkat kesadaran yang tertekan.
Toksisitas opiat harus dicurigai ketika trias klinis depresi sistem saraf pusat (SSP), depresi
pernapasan, dan miosis pupil hadir. Penting bagi klinisi untuk menyadari bahwa paparan
opioid tidak selalu mengakibatkan miosis (konstriksi pupil) dan bahwa depresi pernapasan
adalah tanda yang paling spesifik. Mengantuk, injeksi konjungtiva, dan euforia sering
terlihat.

 Jejak jarum diamati sesekali, tergantung pada rute penyalahgunaan. Pengguna jalanan
biasanya menggunakan heroin dan morfin melalui suntikan subkutan ("skin popping") dan
intravena ("mainlining"). Opium mentah biasanya dimakan atau dihisap, dan terkadang
bubuknya dihirup ("didengus"). Patch opioid transdermal, seperti fentanil, juga dapat
menghasilkan toksisitas.

 Tanda-tanda penting lainnya adalah aritmia ventrikel, perubahan status mental akut, dan
kejang. Ketergantungan pada miosis pupil untuk mendiagnosis intoksikasi opioid dapat
menyesatkan. Jika cukup parah, hipertensi dan dilatasi pupil dapat terjadi karena hipoksia
SSP. Morfin, meperidine, pentazocine, diphenoxylate/atropine (Lomotil), dan propoxyphene
kadang-kadang dikaitkan dengan midriasis atau pupil titik tengah.

 Upaya pernapasan sering terganggu pada intoksikasi opiat. Baik bradipnea dan hipopnea
diamati. Tingkat selambat 4-6 napas per menit sering diamati dengan keracunan sedang
hingga berat. Tubuh mempertahankan dorongan hipoksia untuk bernapas tetapi ini dapat
ditimpa oleh efek sedatif SSP dari overdosis yang parah.

 Vasodilatasi perifer ringan dapat terjadi dan menyebabkan hipotensi ortostatik. Namun,
hipotensi persisten atau berat harus meningkatkan kecurigaan co-ingestan dan evaluasi
ulang segera. Opioid memperpanjang waktu transit GI, mungkin menyebabkan penyerapan
tertunda dan berkepanjangan. Kecenderungan awal untuk mual dan muntah bersifat
sementara. Sputum berbusa merah muda, kekakuan otot, dispnea, hipoksia, dan
bronkospasme sangat menunjukkan cedera paru akut.

 Mimpi buruk, kecemasan, agitasi, euforia, disforia, depresi, paranoia, dan halusinasi jarang
ditemui, terutama dengan dosis tinggi. Pruritus, kulit memerah, dan urtikaria dapat timbul
karena pelepasan histamin. Kejang umum jarang terjadi; mereka terjadi paling sering pada
bayi dan anak-anak karena eksitasi SSP awal. Sebaliknya, aktivitas kejang pada orang dewasa
menunjukkan konsumsi meperidine atau propoxyphene; tramadol dapat menurunkan
ambang kejang, sehingga jarang menyebabkan kejang pada dosis terapeutik maupun
overdosis. Gangguan pendengaran telah dikaitkan dengan heroin dan alkohol tetapi
umumnya dianggap dapat dipulihkan.

Anda mungkin juga menyukai