Anda di halaman 1dari 8

KONTROVERSI PARTISIPASI WANITA DALAM OLAHRAGA

Ranti Rahayu1 Yanuar Kiram2 Padli3


1
Universitas Negeri Padang, Ilmu Keolahragaan, Padang, Indonesia
2
Universitas Negeri Padang, Ilmu Keolahragaan, Padang, Indonesia
3
Universitas Negeri Padang, Ilmu Keolahragaan, Padang, Indonesia
rantirrrahayu@gmail.com yanuarkiram@fik.unp.ac.id padli85@fik.unp.ac.id

Abstract
The purpose of this research is to reveal various controversial facts about the existence of women
in the world of sports. This is because sports are always associated with masculine cultural
traditions. Locking women into a taboo culture disqualifies them from participating in an
entirely different sport. Visualization in this case is used as a variable that is represented by
different displays including; 1) women's self-reflection in sports activities, 2) public image and 3)
different views of experts and public observers from different literatures. The method used in this
research is descriptive qualitative method. Another qualitative research instrument in this
research is to collect information through observation and by searching the literature on the
subject. Reality shows that women are trapped in ambiguity when they try to describe themselves
in the context of sports. Women are supposed to be equal in sport, but in reality the results show
a different minority behavior that cannot be silenced. On the other hand, society often views
women as strangers to sports. This is also supported by several peer studies which boldly show
that there are still too many unequal opinions about women's participation in sports.
Keywords: Participation, Women, Sports

Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkap berbagai fakta kontroversial tentang
keberadaan wanita dalam dunia olahraga. Hal ini karena olahraga selalu dikaitkan dengan
tradisi budaya maskulin. Mengunci wanita ke dalam budaya tabu mendiskualifikasi mereka dari
berpartisipasi dalam olahraga yang sama sekali berbeda. Visualisasi dalam hal ini digunakan
sebagai variabel yang diwakili oleh tampilan yang berbeda diantaranya; 1) refleksi diri
perempuan dalam kegiatan olahraga, 2) citra masyarakat dan 3) perbedaan pandangan para ahli
dan pemerhati masyarakat dari literatur yang berbeda. Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode deskriptif kualitatif. Instrumen penelitian kualitatif lainnya dalam penelitian
ini adalah mengumpulkan informasi melalui observasi dan dengan mencari literatur tentang
subjek tersebut. Realitas menunjukkan bahwa wanita terjebak dalam ambiguitas ketika mereka
mencoba menggambarkan diri mereka dalam konteks olahraga. Wanita seharusnya setara dalam
olahraga, namun pada kenyataannya hasil menunjukkan perilaku minoritas yang berbeda yang
tidak dapat dibungkam. Di sisi lain, masyarakat seringkali memandang perempuan asing dengan
olahraga. Hal ini juga didukung oleh beberapa peer study yang dengan berani menunjukkan
bahwa masih terlalu banyak pendapat yang timpang tentang partisipasi wanita dalam dunia
olahraga.
Kata Kunci: Partisipasi, Wanita, Olahraga

PENDAHULUAN
Perempuan dalam berbagai hal selalu menjadi perbincangan yang menarik untuk
disimak. Perebutan wacana yang menentang keberadaan perempuan dalam struktur tatanan
sosial tampaknya tidak pernah surut intensitasnya. Ketegangan semakin meningkat karena
begitu banyak orang berpihak pada salah satu pihak yang disebut-sebut dirugikan. Sebut saja
perempuan dalam banyak diskusi dalam struktur budaya yang berkembang. Seperti halnya di
institusi sosial, di mana perjuangan wacana kesetaraan gender selalu hangat dibicarakan, begitu
pula yang mengemuka di dunia olahraga. Perjuangan konsep kesetaraan gender semakin terasa
di dunia olahraga karena selama ini olahraga selalu dimaknai erat dengan tradisi maskulin.
Ketika mencoba melihat lebih jauh, ternyata masalah olahraga dan perempuan masih berlanjut.
Berbagai faktor seperti mitos, etika, struktur budaya hingga interpretasi agama telah
memojokkan perempuan pada posisi yang tidak biasa untuk terjun penuh di dunia olahraga.
Konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas perempuan dalam ruang
sosial adalah memahami perbedaan konsep gender. Konsep gender adalah konsep yang
memisahkan laki-laki dan perempuan atas dasar atribut yang dikonstruksikan secara sosial, tidak
melekat secara permanen dan dapat dipertukarkan. Contohnya adalah sifat feminin (lembut,
emosional, sensitif, cantik, dll) yang secara sosial cenderung dicap sebagai perempuan. Begitu
pula sebaliknya (Mansour Fakih, 7997:7-B). Pada tahap selanjutnya, konsep genderlah yang
dalam perbincangan sosial sering memicu ketimpangan dan ketidakadilan, salah satunya dalam
dunia olahraga. Perubahan paling dramatis dalam dunia olahraga adalah meningkatnya
partisipasi perempuan. Hal ini terjadi di hampir semua negara industri besar. Perubahan juga
terjadi di negara-negara miskin, meski dalam skala yang tidak terlalu besar.
Pada pertengahan 1970-an orang menyadari manfaat olahraga. Kesadaran ini membuat
perempuan mencari kesempatan untuk berlatih dan berolahraga. Banyak publikasi tentang
gerakan perempuan dipengaruhi oleh gagasan tradisional tentang feminisme, yaitu menjadi
langsing dan menarik bagi laki-laki, ada juga yang menekankan pada pengembangan kekuatan
fisik dan kompetensi (Coakley, 2004: 244). Sejak akhir 1970-an, partisipasi olahraga wanita
meningkat secara dramatis. Ini adalah hasil dari peningkatan kesempatan karena hukum
persamaan hak, gerakan wanita, gerakan kesehatan fisik, dan publisitas yang meningkat untuk
atlet wanita. Kesetaraan gender dalam olahraga secara integral terkait dengan isu-isu ideologis
dan budaya. Kesetaraan gender tidak akan pernah tercapai tanpa mengubah cara berpikir
masyarakat tentang maskulinitas-feminitas dan bagaimana olahraga diatur dan dimainkan.
Dengan penerapan ideologi gender dan fakta bahwa olahraga telah dibentuk oleh nilai dan
pengalaman laki-laki, kesetaraan gender yang sebenarnya bergantung pada perubahan definisi
maskulinitas dan feminitas serta cara kita berolahraga (Coakley, 2004:27).
Jika berbicara tentang hubungan antara gender dan olahraga, maka isu yang diangkat
akan terkait dengan kesetaraan dan keadilan serta ideologi dan budaya. Sejarah penggunaan
istilah kesetaraan gender dalam olahraga mulai menguat pada tahun 1999 ketika publikasi
olahraga melalui media memuat daftar teratas atlet abad ke-20. Gender merupakan prinsip
sentral dalam kehidupan sosial sehingga ideologi gender mempengaruhi cara kita berpikir dan
orang lain, bagaimana kita berhubungan dengan orang lain, dan bagaimana kehidupan sosial
diatur di semua tingkatan dari keluarga hingga masyarakat. Kecenderungan untuk mengabaikan
ideologi adalah masalah serius dalam hal keadilan dan kesetaraan dalam olahraga. Ini karena
kesetaraan dan keadilan tidak dapat dicapai kecuali kita mengubah ideologi gender yang
digunakan di masa lalu. Perlu dicatat bahwa munculnya ideologi gender dalam masyarakat
mempengaruhi kehidupan kita dalam kaitannya dengan olahraga dan beberapa strategi untuk
mengubahnya (Coakley, 2004: 263).
Sisi budaya yang hampir tidak pernah dibahas dalam kerangka ketidakadilan dalam
relasi gender adalah olahraga. Padahal, sebagai aktivitas budaya, olahraga memiliki persoalan
akut berupa ketidaksetaraan gender. Berbagai praktik ketidakadilan terwujud dalam dunia
olahraga, namun seringkali diabaikan begitu saja. Untuk itu dalam penelitian ini tujuan yang
ingin dicapai adalah untuk memperoleh gambaran tentang citra seorang wanita dalam dunia
olahraga, baik dari hasil refleksi wanita itu sendiri, masyarakat, maupun pandangan para ahli
yang tertuang dalam berbagai literatur. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi perspektif
baru sebagai dasar pengembangan dunia olahraga dalam perspektif sosial.

METODELOGI PENELITIAN
Desain dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Seperti halnya penelitian
kualitatif lainnya, dalam penelitian ini instrumen yang digunakan dalam proses penelitian adalah
mengumpulkan data observasi partisipasi perempuan dalam kegiatan olahraga, baik dalam
bentuk pertandingan maupun dalam latihan rutin. Selanjutnya dilakukan pencarian pendapat
dan analisis oleh para ahli yang tertuang dalam dokumen berupa buku, jurnal, dan surat kabar.
Analisis data dilakukan berturut-turut sebagai berikut: 1) reduksi data, yaitu langkah
pembersihan data dari hal-hal yang tidak sesuai atau hanya akan mengganggu kerangka
penelitian; 2) Klasifikasi Data, yaitu pengelompokan data berdasarkan kecenderungannya untuk
memudahkan pembacaan data; 3) Interpretasi Data, yaitu langkah menafsirkan sejumlah data
yang disajikan sehingga kemudian dapat ditemukan hipotesis kerja yang akan menjadi pedoman
pembahasan; dan 4) Penyajian hasil.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Wanita terjebak dalam retorika yang ambigu
Pada zaman dahulu, partisipasi wanita dalam olahraga masih sangat terbatas. Banyak
faktor yang menyebabkan hal tersebut, antara lain: Adat istiadat, budaya, agama dan norma
yang berlaku di masyarakat. Selain itu, persepsi bahwa olahraga dapat merusak kualitas
kewanitaan perempuan juga nampaknya membatasi partisipasi perempuan dalam olahraga.
Dalam kondisi sosiologis dan psikologis masyarakat seperti itu, muncul persepsi bahwa olahraga
adalah milik laki-laki, bukan milik perempuan. Keadaan tersebut berlangsung lama, terutama di
pedesaan yang masih hidup secara adat dan melestarikan nilai-nilai adat, budaya dan agama. Di
sisi lain, kami juga mengamati bahwa partisipasi perempuan dalam olahraga meningkat di
berbagai cabang olahraga. Banyak faktor yang melatarbelakangi meningkatnya partisipasi
wanita dalam olahraga, antara lain: Semakin meningkatnya pendidikan wanita, semakin terbuka
pemahaman dan pengetahuan, sehingga pemikiran semakin terbuka terhadap berbagai bidang
kehidupan, termasuk olahraga. Di sisi demokratisasi, terutama terkait emansipasi perempuan
atau kesetaraan gender dalam olahraga. Sebagaimana dalam UU-RI 3 Tahun 2005 tentang
sistem keolahragaan nasional disebutkan bahwa setiap warga negara berhak berolahraga. Setiap
warga negara berhak untuk mengakses olahraga tanpa diskriminasi.
Pada tahun 1978, United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization
(UNESCO) mengadopsi piagam internasional tentang pendidikan jasmani dan olahraga, yang
disebut Piagam UNESCO. Sesuai dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Piagam
UNESCO mempromosikan olahraga sebagai promotor pendidikan seumur hidup dan sebagai
sarana untuk memenuhi kebutuhan sosial melalui pengembangan program, pelatih, dan fasilitas
olahraga. Regulator nasional dan internasional didorong untuk mempromosikan partisipasi
publik dalam olah raga dan olah raga, percaya bahwa olah raga sebagai perhatian publik
memiliki potensi untuk memajukan perdamaian, rasa hormat dan persahabatan.
Singkatnya, Piagam UNESCO adalah salah satu dokumen pertama yang secara eksplisit
mendefinisikan olahraga sebagai upaya untuk menghasilkan manusia yang baik. Artinya, akses
berolahraga dan olah raga harus dijamin dan dijamin untuk semua. Namun, secara historis,
perempuan di seluruh dunia memiliki akses dan kesempatan terbatas untuk berpartisipasi dalam
olahraga. Ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam olahraga dan aktivitas fisik cenderung
memperlambat perkembangan dan melemahkan status sosial, politik, ekonomi, hukum,
pendidikan, dan fisik perempuan dan anak perempuan. Menyadari ketidakseimbangan
partisipasi perempuan dalam olahraga, Kelompok Kerja Internasional untuk Perempuan dan
Olahraga menyambut 280 delegasi dari 82 negara pada Konferensi Olahraga Perempuan
pertama (1994) dan mengadopsi Deklarasi Brighton. Tujuan dari pernyataan tersebut adalah: a)
memastikan bahwa semua wanita memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam olahraga
sembari mempromosikan lingkungan yang aman dan mendukung; b) meningkatkan partisipasi
wanita dalam olahraga di semua tingkatan dan di semua posisi; c) untuk memvalidasi
pengetahuan, pengalaman dan nilai-nilai perempuan dan kontribusi mereka terhadap
pengembangan olahraga; d) Mengenali perempuan secara terbuka dalam olahraga untuk
memberikan teladan membangun bangsa yang sehat; dan e) untuk mempromosikan nilai
intrinsik olahraga dan perannya dalam pengembangan pribadi.
Selain itu, Deklarasi Brighton mensyaratkan agar regulator dan otoritas yang
bertanggung jawab atas organisasi olahraga mematuhi ketentuan Piagam UNESCO, Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia dan Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi. Wanita Seperti dalam Piagam UNESCO, Deklarasi Brighton secara eksplisit
mendukung penggunaan olahraga sebagai alat yang memungkinkan untuk realisasi hak asasi
manusia, dengan penekanan khusus pada anak perempuan dan akses perempuan ke olahraga,
dan kesetaraan didalamnya.

Perempuan dalam Perspektif Dua Aliran Besar Sosiologi


Membicarakan perempuan dalam konsep sosiologis tidak lepas dari berbagai teori
tentangnya. Dalam tradisi keilmuan sosiologi, terdapat dua aliran klasik yang berulang kali
dijadikan acuan. Yang pertama adalah aliran struktur fungsional. Menurut aliran ini, proses
perubahan sosial terjadi karena pematangan fungsi-fungsi struktur sosial yang ada. Teori ini
lebih menekankan keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan dalam masyarakat.
Konsep utamanya adalah fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi semu dan keseimbangan.
Menurut teori ini, masyarakat adalah suatu sistem sosial yang tersusun dari bagian-
bagian/elemen-elemen yang saling berhubungan dan seimbang. Perubahan pada satu bagian
akan mengakibatkan perubahan pada bagian lainnya. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap
struktur sistem sosial berfungsi dalam kaitannya dengan yang lain. Sebaliknya, jika tidak
fungsional, strukturnya tidak ada atau hilang dengan sendirinya. Salah satu tokohnya adalah
Robert K. Merton yang berpendapat bahwa yang menjadi pokok bahasan analisis sosiologi
adalah fakta sosial seperti peran sosial, pola kelembagaan, proses sosial, organisasi kelompok,
kontrol sosial, dll.
Faktanya, pengikut teori fungsional ini menganggap semua institusi sosial yang ada
dalam masyarakat tertentu berfungsi penuh, baik secara positif maupun negatif. Satu hal yang
bisa dikatakan masyarakat selalu dalam keadaan perubahan bertahap dengan tetap menjaga
keseimbangan. Setiap peristiwa dan setiap struktur yang ada berfungsi untuk sistem sosial ini.
Bahwa pembagian peran laki-laki dan perempuan terkait dengan laki-laki dan perempuan sangat
erat kaitannya dengan fungsi biologisnya masing-masing. Perempuan dilabeli dengan feminisme,
yang didefinisikan sebagai halus, sensitif, emosional, peduli, bukan hanya konstruksi sosial yang
menyudutkan mereka. Namun merujuk pada fungsi kodratinya sebagai ibu (Ratna Megawangi,
1999). Meskipun aliran klasik sosiologi lainnya selalu dikenal sebagai teori konflik. Menurut arus
ini, proses perubahan sosial terjadi karena konflik antar kelas sosial. Teori ini dibangun
bertentangan langsung dengan teori fungsionalisme struktural di mana Ralph Dahrendorf adalah
protagonisnya. Teori ini bertentangan dengan fungsionalisme struktural, yaitu bahwa
masyarakat selalu berada dalam proses perubahan yang ditandai dengan konflik terus-menerus
antar elemennya. Teori ini menyatakan bahwa tatanan masyarakat hanya disebabkan oleh
paksaan/tekanan dari atas oleh kelompok dominan. Konsep teori ini adalah otoritas dan status.
Keduanya adalah fakta sosial. Dahrendorf berpendapat bahwa konsep-konsep seperti
kepentingan murni dan kepentingan laten, kelompok kepentingan dan kelompok semu, status
dan otoritas merupakan elemen mendasar dalam menjelaskan bentuk-bentuk konflik. Pada saat
yang sama, Berghe mengusulkan empat fungsi konflik, yaitu: sebagai alat untuk menjaga
solidaritas, membentuk aliansi dengan kelompok lain dan mengaktifkan peran individu yang
awalnya terisolasi.
Fungsi komunikasi sebelum terjadinya konflik kelompok tertentu tidak serta merta
mengetahui posisi lawan, tetapi dengan adanya konflik maka posisi dan batas antar kelompok
menjadi lebih jelas. Kesimpulan dari teori konflik adalah bahwa ia mengabaikan keteraturan dan
stabilitas dalam masyarakat terlepas dari konflik itu sendiri. (George Riztzer). Menurut Ratna
Megawang (1999), sehubungan dengan perkembangan analisis gender, maka muncul sekolah
khusus baru dari sekolah ini yang mencoba menjelaskan munculnya isu gender yaitu sekolah
keperawatan. Jadi itu adalah sesuatu untuk diubah dan sesuatu untuk dilawan. Penempatan
perempuan pada peran feminis yang lemah terlihat sebagai akibat dari konsep sosial yang
melanggengkan budaya patriarki.

Masyarakat Dengan Ketidaksetaraan Gender


Di antara banyak detail yang mengenali karakter wanita dari keterlibatannya dalam
dunia olahraga. Alasan etis dan beberapa aspek agama muncul sebagai argumen untuk menuntut
perempuan yang berpartisipasi dalam kegiatan olahraga publik. Seperti dalam renang, dalam
atletik dan juga dalam lompat tinggi. Dengan pakaian yang lentur, yang pada dasarnya membuat
orang lebih leluasa dan tidak menghambat gerak tubuh. Namun, bila kondisi ini dikaitkan
dengan nilai-nilai etika berbusana, tentu saja menuai kritik. Pada saat yang sama, fakta lain
menunjukkan distorsi terhadap pentingnya olahraga perempuan. Seperti ekspresi para
penggemar yang menonton pertandingan voli pantai, mereka berpakaian relatif minim dan
terlihat sangat mencolok, sehingga banyak ekspresi wajah dengan nada vulgar yang diwarnai
selama pertandingan berlangsung. Dari sini jelas bahwa telah terjadi perubahan nilai yang cukup
dramatis. Bahwa tontonan olahraga yang seharusnya menjadi tontonan yang membutuhkan
keterampilan teknis dan taktis untuk dikagumi, telah berubah menjadi tontonan yang penuh
dengan sensualitas.
Filsuf Italia Antonic Gramsci yang mempresentasikan teori hegemoni budaya.
Menurutnya, hegemoni adalah sesuatu yang muncul dari keperawanan kelas sosial, membentuk
dan mempengaruhi pemikiran masyarakat. Inilah hegemoni, hegemoni adalah seperangkat
gagasan sebagai alat yang digunakan oleh kelompok dominan untuk memperjuangkan
kepentingan kelompok bawahan dalam kepemimpinannya (Yolagani, 2007:2). Teori ini
menjelaskan apa yang melatarbelakangi munculnya kisruh perdebatan gender, salah satunya di
dunia olahraga. Aliran nurture melihat dengan jelas bahwa label feminis bagi perempuan
merupakan upaya untuk memperlemah posisi perempuan dalam kelas sosial. Dan statusnya
selalu berulang dan dihegemoni dalam berbagai hal, salah satunya berasal dari gimnasium.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana dengan konsep kesetaraan gender? Dalam hal
ini, penulis memang menghadirkan gagasan kesetaraan gender sebagai wacana tandingan
terhadap beberapa moto dan semboyan “kesetaraan”, yang sering disalahartikan sebagai
terjemahan. Moto atau semboyan kesetaraan selalu berarti bahwa perempuan dan laki-laki
benar-benar dapat memainkan peran yang sama dalam masyarakat. Tentu saja, dapat
diasumsikan bahwa ini merujuk pada aliran nufture, di mana peran gender hanyalah hasil
konstruksi sosial, yang sangat mungkin diubah dan diperjuangkan. Kajian ini tidak berusaha
menunjukkan mana dari dua arus yang berkembang dalam wacana gender yang lebih tepat.
Karena, tentu saja, kebenaran suatu fakta sosial tidak dapat ditentukan sepenuhnya. Lantas dari
mana kata “keadilan gender” bisa diterjemahkan ke dalam konsep sosial?
Walaupun sering terdengar kata adil tidak harus sama, namun dalam prakteknya sangat
sulit untuk diterapkan. Pola pikir kuantitatif mendominasi tren konseptual secara umum.
Ungkapan adil karena itu selalu dikaitkan dengan interpretasi kesetaraan. Untuk mengatasi hal
tersebut, ketika tidak ada teori yang diyakini sebagai kebenaran mutlak tentang hal tersebut,
maka kata tersebut harus lebih dekat dengan interpretasi kebebasan. Kebebasan mensyaratkan
pentingnya menghormati pilihan. Mengenai konsep gender, keadilan harus dimaknai melalui
model konsep gender yang apresiatif dan toleran penuh yang mengakui dan meyakini
sepenuhnya pribadi. Fakta bahwa seseorang memilih menjadi perempuan atau laki-laki adalah
kebebasan individu yang tidak dapat dipertanyakan. Penerapannya dalam dunia olahraga adalah
kita harus menanggalkan semua predikat olahraga dan segala aktivitas terkait dari berbagai label
gender yang melingkupinya. Setiap orang harus memiliki kebebasan untuk mengambil
keputusan bagi dirinya sendiri, dengan segala konsekuensinya. Sepak bola, misalnya, selalu
dikaitkan dengan peran laki-laki dalam wacana publik. Hal itu dilepaskan untuk menghilangkan
pandangan perempuan yang menyimpang tentang memilih atau menghindari perempuan
berdasarkan pemahaman ideologis mereka tentang gender.

KESIMPULAN
Banyaknya kebijakan yang mendukung perempuan untuk berpartisipasi dalam
berolahraga adalah langkah maju dalam pencarian kesetaraan gender global dan pencapaian
berbagai Tujuan Pembangunan Milenium. Perserikatan Bangsa-Bangsa, Deklarasi Brighton, dan
segudang organisasi nasional dan internasional lainnya mengembangkan program yang
dirancang untuk memberdayakan perempuan dan mempromosikan kesehatan, pendidikan dan
kesetaraan gender.
Hegemoni budaya yang menafsirkan kata emansipasi dalam pemahaman persamaan
seringkali memicu sebuah permasalahan dalam disukursus gender. Apalagi dalam dunia
olahraga dimana lebih dilekatkan dengan kebudayaan maskulin. Jeias-jelas penafsiran yang
selama ini berjalan cenderung berat sebelah berparadigmakan nurture. Nampak dengan jelas
dalam penelitian kali ini kacamata timpang gender ternyata masih sangat kuat dalam konstruksi
sosial kita. Perempuan yang senantiasa diidentikan dengan sosok feminism menjadi persoalan
yang senantiasa menarik untuk dicermati. Untuk itu, satu hal yang memungkinkan untuk bisa
diambil langkah sebagai sebuah sintesa dari dialektika yang tidak pernah berakhir itu adalah
mereposisi makna "adil" dalam pemahaman gender yang berkembang saat ini. Dengan
memahami kata adil sebagai sebuah bentuk kebebasan memilih dan meyakini sebuah ideology
tertentu, niscaya keberadaan perdebatan mengenai perempuan dalam konteks sosial khususnya
dalam dunia olahraga akan mereda.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, M. H., & Saryono, M. (2007). Kontroversi Citra Perempuan Dalam
Olahraga. Kontroversi Citra Perempuan Dalam Olahraga, 67(6), 14-21.

Astuti, S., & Parulian, T. (2018). Gender Dan Feminisme Dalam Olahraga.

Bimbingan Ferry Hidayat, S. T., & Fil, S. Filsafat-Filsafat yang Merespon Diskriminasi Gender.

Coakley, J. J., & Pike, E. (2009). Sports in society: Issues and controversies.

Dermawan, D. F., Dlis, F., & Mahardhika, D. B. (2019). Analisis Perkembangan Wanita dalam
Olahraga. Jurnal Speed (Sport, Physical Education, Empowerment), 2(1), 24-29.

Divinubun, S. (2016). KEBERPIHAKAN PENDIDKAN JASMANI, OLAH RAGA DALAM


PERSPEKTIF GENDER. Publikasi Pendidikan, 6(3).

Hancock, M., Lyras, A. L. E. X. I. S., & Ha, J. P. (2013). Sport for development programs for
girls and women: A global assessment. Journal of Sport for Development, 1(1), 15-24.

Kiram, H. Y. (2020). Revolusi Olahraga.

Mansour, F. (1996). Analisis gender dan transformasi sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 7-8.

Triono, S. D., & Laksono, A. (2017). Ketersediaan Infrastruktur Olahraga dan Dukungan
Pimpinan terhadap Frekuensi Partisipasi Olahraga. Jurnal Olahraga, 3(2), 51-60.

Anda mungkin juga menyukai