Anda di halaman 1dari 12

ONTRAKSI OTOT GASTROKNEMUS DAN OTOT JANTUNG

KATAK (Fejervarya cancrivora)

Nama : Anisyah Adhi Nuraini


NIM : B1A018093
Rombongan :1
Kelompok :3
Asisten : Halima Tus Sadiyah

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN I

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2019
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tulang dan sendi membentuk rangka tubuh (skeleton), tetapi tidak dapat
menghasilkan pergerakan. Pergerakan dihasilkan oleh pergantian kontraksi dan
relaksasi otot, dimana terjadi perubahan energi kimia (ATP) menjadi energi
mekanik. Jaringan otot menyusun 40-50% dari berat badan total. Fungsi
jaringan otot secara umum ialah untuk pergerakan, stabilisasi posisi tubuh,
mengatur volume organ dan termogenesis; diperkirakan 85% panas tubuh
dihasilkan oleh kontraksi otot. Sifat jaringan otot ialah eksitabilitas/ iritabilitas,
dapat berkontraksi, dapat diregang tanpa merusak jaringannya pada batas
tertentu, dan elastisitas (Wangko, 2015).
Klasifikasi otot dapat dilakukan atas dasar morfologi atau struktur dan atas
dasar fungsinya. Atas dasar struktur dapat dibedakan menjadi otot polos dan
otot serat lintang. Otot serat lintang dapat dibedakan menjadi otot rangka dan
otot jantung, sedangkan atas dasar fungsinya dapat dibagi menjadi otot sadar
yang berkontraksi di bawah kemauan (termasuk dalam kelompok ini ialah otot
rangka). Otot polos dan otot jantung termasuk dalam kelompok otot tak sadar
(kontraksi tidak di bawah kemauan) (Goenarso & Suripto, 2019). Otot jantung
terbentuk dari serabut-serabut otot yang bersifat khusus dan dilengkapi
jaringan saraf yang secara teratur dan otomatis memberikan rangsangan
berdenyut bagi otot jantung. Denyutan inilah yang menyebabkan jantung
memompa darah yang kaya oksigen dan zat makanan keseluruh tubuh
termasuk arteri coroner, serta memompa darah yang kurang oksigen ke
paru-paru untuk mengambil oksigen (Wahyudi & Hartati, 2017).
Otot rangka dapat memproduksi kekuatan otot yang dikendalikan oleh
perubahan konsentrasi kalsium intraseluler (Ca). Secara umum, ketika Ca2+
naik, otot-otot berkontraksi, dan ketika kalsium berkurang, otot-otot rileks.
Aktivasi normal dari serat otot rangka melibatkan neuron motorik yang
menerima sinyal dari sistem saraf pusat. Sinyal ini menyebabkan depolarisasi
sesuai dengan potensi aksi di tingkat sarcolemma, membran sel serat otot
rangka. Perubahan tegangan menyebabkan Ca2+ dilepaskan dari retikulum
sarkoplasma (SR). Pelepasan Ca2+ ini memungkinkan otot untuk berkontraksi.
Dalam serat otot katak, saluran pelepas Ca2+ terletak di dekat garis Z dari
sarkoma. Sarkomer sendiri terdiri dari banyak myofilaments dan garis Z sesuai
dengan wilayah di mana sarkoma yang berdekatan bersatu (garis gelap tipis bila
dilihat) dengan mikroskop (Liu & Olson, 2015).
B. Tujuan

Tujuan praktikum kali ini adalah untuk:


1. Mengetahui efek perangsangan elektrik terhadap besarnya respon
kontraksi otot gastroknemus.
2. Mengetahui efek perangsangan kimia terhadap kontraksi otot jantung
katak.
II. MATERI DAN CARA KERJA

A. Materi

Bahan yang digunakan pada praktikum kali ini adalah katak sawah
(Fejervarya cancrivora), larutan Ringer, dan larutan asetilkolin 5%.
Alat yang digunakan pada praktikum kali ini adalah universal kimograf,
pipet tetes, jarum, gunting, hand counter, pinset, alat bedah, kertas millimeter
blok, beaker glass, dan nampan.
B. Cara Kerja

1. Kontraksi otot gastroknemus


a. Disiapkan universal kimograf katak yang telah dilemahkan dengan
menusuk otaknya.
b. Dibuat irisan kulit melingkar pada daerah pergelangan kaki katak.
c. Disingkap kulitnya hingga terbuka sampai bagian lutut.
d. Dipisahkan otot gastroknemus dan otot lainnya pada tungkai bawah.
e. Tendon achilles diikat dengan benang, kemudian digunting bagian tendon
achilles. Otot selalu dibasahkan dengan larutan Ringer.
f. Dipasang sediaan katak pada papan fiksasi yang terdapat pada kimograf.
g. Dicatat skala kimograf setiap rangsangan elektrik dari 0, 5, 10, 15, 20, dan
25 V.
2. Kontraksi otot jantung
a. Katak dimatikan dengan merusak otaknya.
b. Dilakukan pembedahan bagian perut katak.
c. Dilakukan penyobekan bagian pericardium pada katak.
d. Dihitung kontraksi denyut jantung selama 15 detik kemudian dikalikan 4.
e. Diteteskan 2-3 tetes dari larutan asetilkolin dan diamati kontraksinya.
f. Dihitung kontraksi denyut jantung selama 15 detik kemudian dikalikan 4.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Tabel 3.1 Hasil Pengamatan Kontraksi Otot Gastroknemus Katak Sawah


(Fejervarya cancrivora)
Voltase (V) Amplitudo (mm)
0 0
5 0
10 3,3
15 8,3
20 9
25 9,4

Tabel 3.2 Hasil Pengamatan Kontraksi Otot Jantung Katak Sawah


(Fejervarya cancrivora)
Sebelum ditetesi Setelah ditetesi
Kelompok
Asetilkolin pilokarpin Asetilkolin pilokarpin
1 88 - 40 -
2 80 - 24 -
3 92 - 20 -
4 60 - 20 -
5 84 - 72 -

10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
0 5 10 15 20 25

Grafik hubungan antara amplitudo dengan voltage


Grafik 3.1 Hubungan Antara Voltase dan Amplitudo pada Kontraksi Otot
Jantung

B. Pembahasan

Hasil praktikum pada pengamatan kontraksi otot gastroknemus katak


sawah (Fejervarya cancrivora) didapatkan jumlah amplitudo yang berbeda pada
voltase yang berbeda. Amplitudo 0 mm didapatkan pada voltase 0 V dan 5 V,
amplitudo 3,3 mm didapatkan pada voltase 10 V, amplitudo 8,3 mm didapatkan
pada 15 V, amplitudo 9 mm didapatkan pada 20 V, dan amplitudo 9,4 didapatkan
pada voltase 25 V. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kimball (1991) yang
menyatakan bahwa kekuatan seluruh otot yang berkontraksi meningkat dengan
meningkatnya jumlah serabut individu yang berkontraksi, sehingga pada hewan
yang utuh, kekuatan respon muskularnya dikendalikan oleh jumlah satuan motor
yang dibuktikan oleh sistem saraf pusat. Kejutan yang lemah tidak akan
berpengaruh sama sekali. Ambang yang tercapai, akan menyebabkan otot sedikit
mengejang. Kontraksi baru akan meningkat hingga maksimum ketika kekuatan
rangsang terus ditingkatkan. Semakin tinggi suatu voltase maka amplitude
semakin panjang. Hal ini dipengaruhi oleh beban dan kekuatan otot
gastroknemus (Johnson, 1965).
Hasil yang didapat mengenai kontraksi otot jantung pada katak sebelum
ditetesi asetilkolin pada kelompok 1 adalah jantung berdetak 88 kali dalam satu
menit, setelah ditetesi asetilkolin menjadi 40 kali dalam satu menit. Kelompok 2
sebelum ditetesi asetilkolin mendapat hasil jantung berdetak 80 kali dalam satu
menit, setelah ditetesi asetilkolin menjadi 24 kali dalam satu menit. Kelompok 3
sebelum ditetesi asetilkolin hasil yang didapat adalah jantung berdetak 92 kali
dalam satu menit, setelah ditetesi asetilkolin menjadi berdetak 20 kali dalam satu
menit. Kelompok 4 sebelum ditetesi asetilkolin mendapat hasil jantung berdetak
60 kali dalam satu menit, setelah ditetesi asetilkolin menjadi berdetak 20 kali
dalam satu menit. Kelompok 5 sebelum ditetesi asetilkolin jantung berdetak 84
kali dalam satu menit, setelah ditetesi asetilkolin menjadi 72 kali berdetak dalam
satu menit. Hasil yang didapat menyatakan bahwa setelah ditetesi asetilkolin
jantung berdetak lebih lambat. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Goenarso
& Suripto (2019) bahwa asetilkolin akan berdifusi melalui celah sinaps menuju
ke lempeng akhir motorik dan berikatan dengan reseptor asetilkolin pada
sarkolema otot, terikatnya asetilkolin pada reseptor, membran sel otot
(sarkolema) akan lebih permeabel terhadap ion Na+ sehingga ion-ion Na+ dari
ekstraseluler masuk ke dalam membran sel dan menyebabkan terjadinya
perubahan potensial pada membran sel yang disebut depolarisasi.
Otot adalah sistem biokontraktil di mana sel-sel atau bagian dari sel,
memanjang dan dikhususkan untuk menimbulkan tegangan pada sumbu yang
memanjang. Otot biasanya melekat pada kerangka. Otot yang berkontraksi
(memanjang atau memendek) akan menggerakan kerangka (tulang) tersebut. Otot
dan tulang dilekatkan oleh suatu jaringan ikat dan dapat membentuk tendon yang
berbentuk seperti tali. Kebanyakan sel otot vertebrata merupakan bagian dari
jaringan-jaringan otot polos, otot jantung (kardiak) dan otot kerangka (Ville et
al., 1988). Otot-otot vertebrata dibedakan menjadi tiga jenis yaitu otot rangka,
otot jantung, otot lurik. Otot rangka dijumpai pada sosok otot yang
bersambungan dengan kerangka tubuh dan berkaitan dengan gerakan badan, otot
jantung terlihat dalam pemompaan darah dan otot polos ditemukan sebagai
bagian dari dinding alat visceral gastroknemus pada katak termasuk dalam otot
rangka dengan bentuk silindris, dimana serat-seratnya bersatu dalam kelompok-
kelompok menjadi berkas dengan ukuran yang beraneka ragam (Bavelender &
Ramalay, 1988).
Otot gastroknemus adalah salah satu otot yang terletak pada bagian
ekstremitas posterior katak yang berfungsi bagi katak untuk melompat. Otot
gastroknemus terletak pada bagian tibia. Otot ini merupakan jenis otot rangka
yang berarti otot gastroknemus melekat pada kerangka tubuh dan bergerak secara
sadar. Otot gastroknemus katak memiliki respon yang sangat cepat terhadap
stimulus dan mampu melompat sangan jauh dengan tenaga yang sangat kuat
terutama saat ada pemangsa (Villee et al., 1988). Hal ini sesuai dengan sifat otot
rangka. Otot gastroknemus, yakni otot betis yang paling menonjol yang letaknya
ada di bagian belakang betis berbentuk seperti intan (diamond) (Guyton, 1995).
Sel otot jantung mamalia memiliki retikulum sarkoplasma yang
berkembang baik dan sistem tubulus T pada umumnya lebih luas daripada yang
terdapat pada otot rangka. Otot jantung Amfibia terorganisasi lebih sederhana
daripada vertebrata yang lebih tinggi, sehingga sangat berguna untuk
mempelajari bagaimana kontraksi diatur oleh aktivitas listrik membran sel. Otot
jantung katak hanya memiliki suatu retikulum dan sistem tubular yang rudimeter.
Jantung katak terdiri-dari 3 ruangan yaitu 2 atrium telah terbagi dengan sempurna
oleh septum inter-uariculum menjadi atrium kiri dan kanan dan 1 ventrikel.
Impuls pada jantung katak mula-mula ditimbulkan oleh sinus venosus kemudian
dirambatkan ke atrium dan akhirnya dirambatkan ke ventrikel. Impuls tersebut
merambat melalui serabut otot atrium dan serabut otot ventrikel dan tidak
merambat melalui sistem konduksi jaringan purkinje seperti yang terjadi pada
mencit. Perambatan impuls tanpa melalui sistem konduksi jaringan purkinje
memengaruhi perambatan impuls relatif lambat sehingga frekuensi denyut
jantung katak lebih rendah daripada mamalia misalnya mencit (Merta et al.,
2016).
Otot memiliki mekanisme khusus untuk berkontraksi. Otot mulai
berkontraksi apabila terkena rangsang. Kontraksi otot dikenal dengan pergerakan
filamen. Kontraksi otot diawali oleh datangnya impuls saraf, kemudia sinapsis
antara saraf dan serabut otot dipenuhi oleh asetil-colin. Asetil-colin ini akan
merembeskan ion kalsium ke serabut otot. Ion kalsium selanjutnya akan
bersenyawa dengan molekul, troponn, dan tropomiosin yang menyebabkan
adanya sisi aktif pada filamen tipis tepat pada sisi aktif. Kepala miosin segera
bergabung dengan filamen tipis membentuk cross bridges. Jembatan tersebut
membebaskan sejumlah energi dan menyampaikan energi tersebut ke arah
filamen titpis sehingga filamen tipis, sarkomer, dan otot menjadi mengerut.
Kepala miosin akan lepas dari filamen tipis dan membutuhkan ATP. Peristiwa
ini diikuti filamen tipis lepas dari filamen tebal dan otot akan relaksasi kembali
(Frimansyah et al., 2010).
Larutan Ringer menurut Merta et al (2019) memiliki fungsi agar hewan
uji tetap hidup ketika dilakukan pengujian. Hal ini tidak jauh berbeda apabila
diterapkan pada konsep penetesan larutan Ringer pada otot gastroknemus yang
telah dipotong dari asalnya agar otot gastroknemus tetap berkontraksi seperti
sebelum ketika dipotong. Asetilkolin merupakan neurotransmiter dalam sistem
saraf otonom yang berfungsi untuk merangsang kontraksi otot. Asetilkolin secara
normal menyebar melintasi celah sinapsis pada neuromuscular junction ke
reseptor pengikat asetilkolin pada motor end plate di sel otot. Pengikatan
asetilkolin pada reseptor tersebut memicu peningkatan dalam pembukaan kanal
ion sodium dan potasium. Hal ini akan menyebabkan depolarisasi motor end
plate dan terjadi kontraksi otot (Hertiana, 2017).
Menurut Frandson (1992), kontraksi otot jantung dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain yang pertama treppe atau staircase effect adalah
meningkatnya kekuatan kontraksi berulang kali pada suatu serabut otot karena
stimulasi berurutan berseling beberapadetik. Pengaruh ini disebabkan karena
konsentrasi ion Ca2+ didalam serabut otot yang meningkatkan aktivitas miofibril.
Kedua yaitu summasi berbeda dengan treppe, pada summasi tiap otot
berkontraksi dengan kekuatan yang berbeda yang merupakan hasil penjumlahan
kontraksi dua jalan (summasi unit motor berganda dan summasi bergelombang).
Faktor ketiga yaitu tetani yaitu peningkatan frekuensi stimulus dengan cepat
sehingga tidak ada peningkatan frekuensi. Faktor keempat yaitu fatique adalah
menurunnya kapasitas bekerja karena pekerjaan itu sendiri. Faktor terakhir yaitu
rigor dan rigor mortis adalah apabila sebagian besar ATP dalam otot telah
dihabiskan, sehingga kalsium tidak ada lagi dapat dikembalikan ke RE
sarkoplasma.
Ada faktor-faktor tertentu yang mempengaruhi kontraksi otot. Kontraksi
otot akan lebih kuat apabila sedang meregang dan terjadi peningkatan suhu.
Kelelahan dan kedinginan akan memperlemah kekuatan kontraksi. Serabut otot
tak bergaris berkontraksi lebih lambat dan tidak bergantung pada rangsangan
saraf, meskipun rangsangan tersebut dapat mengubah kekuatan kontraksinya
(Pearce, 2011).
IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa :


1. Respon otot gastroknemus katak (Fejervarya cancrivora) adalah semakin tinggi
tegangan yang diberikan maka nilai amplitudonya semakin meningkat.
2. Efek perangsangan kimia pada otot jantung katak (Fejervarya cancrivora) adalah
pemberian larutan asetilkolin dan didapatkan hasil bahwa ketika otot jantung
diberi asetilkolin maka detak jantungnya akan semakin melemah.
DAFTAR PUSTAKA

Bavelender, G. & Ramalay, J. A., 1988. Dasar-dasar Histologi. Jakarta: Erlangga.


Firmansyah, R., Mawardi, A. & Riandi, M. U., 2010. Mudah dan Aktif Belajar
Biologi. Bandung : PT. Grafindo Media Pratama.
Frandson, R., D., 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak Edisi ke-4. Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press.
Goenarso, D. & Suripto, 2019. Fisiologi Hewan. 2 ed. Tangerang: Universitas
Terbuka.
Guyton, 1991. Buku teks Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC.
Hertiana, E., 2017. Toksin Botulinum. Jurnal Ilmiah dan Teknologi Kedokteran Gigi
FKG UPDM (B), 13(1), pp. 1–3.
Johnson, A. C., 1965. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Buku Kedokteran
EGC.
Kimball, J. W., 1991. Biologi. Jakarta: Erlangga.
Liu, W. & Olson, S. D., 2015. Compartment Calcium Model of Frog Skeletal Muscle
During Activation. Journal of Theoretical Biology, Volume 364, pp. 139-153.
Merta, I. W., Syachruddin, A. R., Bachtiar, I. & Kusmiyati, 2016. Perbandingan
antara Frekwensi Denyut Jantung Katak (Rana sp.) dengan Frekwensi Denyut
Jantung Mencit (Mus musculus) Berdasarkan Ruang Jantung. Biota, 1(3), pp.
126-131.
Merta, I. W., Bachtiar, I., Syachruddin, & Kusmiyati, 2019. Penyuluhan Tehnik
Pembedahan Hewan Coba Untuk Mengamati Struktur dan Frekwensi Denyut
Jantung Pada Siswa SMP Negeri 7 Mataram. Jurnal Pengabdian Magister
Pendidikan IPA, 2(1), pp. 89–92.
Pearce, E.C., 2011. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : Gramedia
Ville, C., A., Walker, W., F. & Barnes., 1988. Zoologi Umum. Jakarta: Erlangga.
Wahyudi, E. & Hartati, S., 2017. Case-Based Reasoning untuk Diagnosis Penyakit
Jantung. Indonesian Journal of Computing and Cybernetics Systems, 11(1), pp.
1-10.
Wangko, S., 2015. Jaringan Otot Rangka : Sistem Membran dan Struktur Halus Unit
Kontraktil. Jurnal Biomedik, 6(3), pp. 27-32.

Anda mungkin juga menyukai