Anda di halaman 1dari 21

PENYUSUNAN PEMETAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU

AESESA DAN KAMBANIRU


PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
TAHUN 2023

BAPPELITBANGDA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pengelolaan DAS di Indonesia sebenarnya telah lama diperkenalkan, yaitu sejak


jaman Belanda, khususnya dalam praktek pengelolaan hutan, dimana pembagian-
pembagian daerah hutan diatur berdasarkan satuan DAS. Pada tahun 1961 diadakan
gerakan penghijauan secara massal dalam bentuk Pekan Penghijauan Nasional
Pertama, di Gunung Mas, Puncak, Bogor. Upaya pengelolaan DAS terpadu yang
pertama dilaksanakan di DAS Citanduy pada tahun 1981, dimana berbagai kegiatan
yang bersifat lintas sektoral dan lintas disiplin dilakukan. Selanjutnya
pengelolaan DAS terpadu dikembangkan di DAS Brantas, Jratunseluna. Namun
proyek-proyek pengelolaan DAS saat itu lebih menekankan pada pembangunan
infrastruktur fisik kegiatan konservasi tanah untuk mencegah erosi dan bajir yang
hampir seluruhnya dibiayai oleh dana pemerintah. Baru tahun 1994 konsep
partisipasi mulai diterapkan dalam penyelengaraan Inpres Penghijauan dan
Reboisasi, walaupun dalam tahap perencanaan. Pada tahun 1973 sampai 1981, FAO dan
UNDP telah melakukan berbagai uji coba untuk memperoleh metoda yang tepat dalam
rangka rehabilitasi lahan dan konservasi tanah yang ditinjau dari aspek fisik maupun
sosial ekonomi di DAS Solo. Hasil- hasil pengujian ini antara lain diterapkan dalam
proyek Inpres Penghijauan dan Reboisasi sejak tahun 1976 pada 36 DAS di Indonesia.
Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan luas wilayah 247.349,9 km2; 47.349,9 km2
atau sekitar 4.735.000 ha diantaranya merupakan wilayah daratan yang memiliki kurang
lebih 307 Daerah Aliran Sungai (DAS). Daerah Aliran Sungai sesungguhnya merupakan
konsep dalam pengelolaan sumber daya air yang menurut Undang-undang Nomor 7
Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air didefinisikan sebagai suatu ruang hidup dengan
keragaman sifat dan karakteristik sosial, ekonomi, budaya, biofisik, satuan lahan dan
sumber daya alam di atasnya.
Sebagai sebuah konsep dasar dalam pengelolaan SDA, maka pengelolaan DAS seharusnya
merupakan gambaran dari keterpaduan diantara butir-butir pilar dan aspek
pengelolaannya. Pilar pengelolaan dimaksud adalah fungsi sosial, lingkungan hidup dan
ekonomi. Sedangkan aspek pengelolaan meliputi 4 (empat) aspek penting, yaitu
konservasi, penggunaan, pengendalian dan pengembangan sistim informasi. Kekurang-
paduan diantara pilar-pilar dan aspek-aspek pengelolaan DAS akan mendatangkan
permasalahan serius. Terdapat empat permasalahan mendasar disekitar DAS; Pertama,
laju peningkatan lahan kritis yang kian meluas, dimana saat ini telah mencapai
2.195.756 ha atau 46% dari luas wilayah NTT; Kedua, menurunnya produktivitas lahan
pertanian; Ketiga, menurunnya fungsi DAS sebagai daerah tangkapan air; dan Keempat,
menurunnya fungsi DAS sebagai penahan laju limpasan permukaan (run off) terutama
ketika terjadi curah hujan dengan intensitas tinggi dalam sebulan pada setiap musim
hujan. Kondisi ini telah mengakibatkan sebagian besar tutupan lahan sudah terkuras
atau terbuka yang pada gilirannya akan menimbulkan erosi dan pendangkalan sungai,
sehingga banjir dan tanah longsor tidak dapat dihindari dan menimbulkan kerugian yang
sangat besar bahkan merenggut nyawa manusia. Oleh karena itu, air merupakan
permasalahan serius di Nusa Tenggara Timur.
Wilayah Sungai (WS) Sumba Meliputi antara lain Daerah Aliran Sungai (DAS)
Kambaniru, Palamedo, Kalada, Melolo dan Rendi. Batas Administrasi WS Sumbas yang
berada di Kabupaten Sumba Timur, Sumba Barat, Sumba Barat Daya dan Kabupaten
Sumba Tengah yang dibatasi oleh Samudera Hindia yang merupakan jalur perdagangan
dunia. Wilayah Sungai Sumba secara geoografis terletak pada posisi koordinat
118055’33’’BT-120050’34 BT dan 09015,32’’ LS -10020’35’ LS tepatnya berada di Pulau
Sumba.
DAS Aesesa Flores secara geografis terletak pada posisi 120º56’48” – 121º22’42”
Bujur Timur dan 80 29’01 LS – 8 0 49’41” Lintang Selatan. DAS Aesesa Flores ini masuk
dalam dua wilayah administrasi kabupaten Propinsi Nusa Tenggara Timur. Kabupaten
Ngada yang masuk wilayah DAS Aesesa. Flores meliputi Kecamatan Bajawa, Soa,
sebagian wilayah Kecamatan Bajawa Utara, sebagian wilayah Kecamatan Golewa Barat
dan Golewa, Riung Barat, dan Wolomeze. Kabupaten Nagekeo yang masuk dalam wilayah
DAS Aesesa yaitu Kecamatan Aesesa, Aesesa Selatan, Boawae, sebagian wilayah
Kecamatan Nangaroro dan Wolowae. DAS Aesesa Flores terletak di wilayah Pulau Flores
bagian tengah mencakup wilayah Kabupaten Ngada dan Kabupaten Nagekeo (gambar 1),
serta memiliki panjang sekitar 50 km. DAS Aesesa memiliki luas ± 130.000 ha yaitu
bagian hulu di Kecamatan Bajawa dan sekitarnya wilayah Kabupaten Ngada seluas
46.915 ha dan bagian tengah-hilir berada di wilayah Kabupaten Nagekeo seluas 76.080
ha.

Permasalahan di daerah aliran sungai sesungguhnya merupakan implikasi dari


kondisi geografi dan demografi khas NTT. Hampir seluruh wilayah NTT beriklim tropis
yang hanya memiliki 3 sampai 4 bulan hujan dalam setahun, dan satu bulan diantaranya
intensitas dan volume curah hujannya sangat tinggi.
Oleh karena pentingnya data tersebut dalam perencanaan pengelolaan wilayah DAS
Aesesa dan Kambaniru maka diperlukan untuk membuat database DAS Aesesa dan
Kambaniru yang dimasukan ke dalam Aplikasi SIG-DAS Provinsi NTT.

1.2 Dasar Hukum


Adapun Dasar Hukum Penyusunan Buku Potret Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
(DAS) Terpadu Aesesa Dan Kambaniru adalah sebagai berikut :
1. Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah
Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 1649);
2. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah
Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan
Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor
122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1655);
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043 );
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistimnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3839);
6. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3888);
7. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4377);
8. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);
9. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
10. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421);
11. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
12. Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor
108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);
13. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4725);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3445);
15. Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 1 Tahun 2011 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2011 – 2031 ;
16. Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 1 Tahun 2021 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Nusa Tenggara Timur Tahun 2018 –
2023.
1.3 TUJUAN
Tujuan Penyusunan Pemetaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Terpadu Aesesa dan
Kambaniru ini bertujuan:
A. Membuat Database Pemetaan DAS Aesesa Kambaniru
B. Menyusunan Dokumen Pemetaan DAS Aesesa Kambaniru

1.4 SASARAN
Sasaran Penyusunan Dokumen Pemetaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Aesesa Dan
Kambaniru, meliputi :
A. Database Pemetaan DAS Aesesa Kambaniru
B. Dokumen Pemetaan DAS Aesesa Kambaniru

1.5 RUANG LINGKUP


Ruang lingkup Wilayah Penyusunan Dokumen Pemetaan Daerah Aliran Sungai
(DAS) Terpadu Aesesa Dan Kambaniru, antara lain :
A. DAS Aesesa, Kabupaten Nagekeo;dan
B. DAS Kambaniru, Kabupaten Sumba Timur;

1.6 TIM PENYUSUN


Penyusunan Pemetaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Terpadu Aesesa dan Kambaniru
Provinsi Nusa Tenggara Timur membutuhkan jasa konsultan dengan tenaga ahli yang
merupakan tenaga ahli/profesional dibidangnya dan ditunjang pula oleh tim pendukung
untuk menjamin terlaksananya pekerjaan dengan baik.
Tenaga Ahli/Professional yang dibutuhkan untuk mendukung aktivitas pekerjaan ini
berdasarkan cakupan kegiatan yang harus ditangani adalah sbb:
Tenaga Ahli
Pengalaman
No Tenaga Ahli Jumlah
1 Ahli Perencanaan Wilayah / Planologi 1 orang Minimal 5 tahun
dibuktikan dengan
referensi Kerja dan SKA
2 Ahli Pemetaan / Geodesi / GIS 1 orang Minimal 5 tahun
dibuktikan dengan
referensi Kerja dan SKA
1.7 METODOLOGI
A. Metodologi Pendekatan
Metodologi yang akan digunakan dalam kegiatan ini adalah:
1) Melakukan pertemuan dengan sektor-sektor terkait;
2) Melakukan identifikasi dan Pengumpulan data sekunder;
3) Pelaksanaan diskusi dalam rangka pengumpulan data dan pemaparan hasil
pekerjaan; pelaksanaan diskusi dilakukan dua kali yakni pada tahap
pengumpulan data dan pemaparan hasil pekerjaan.
B. Metodologi Pelaksanaan
Lingkup kegiatan yang dilakukan secara garis besar terdiri dari 6 (enam) tahapan.
Tahap-tahap tersebut adalah :
1. Persiapan;
2. Pengumpulan Data
 Karakteristik Wilayah DAS
 Dokumen RPJPD Provinsi
 Dokumen RPJMD Provinsi
 Dokumen RTRWN
 Dokumen RTRWP dan RTR KSP
 Data Potensi dan Pembangunan Wilayah
3. Kompilasi Data
4. Pembuatan Aplikasi menggunakan GIS
5. Diskusi penyusunan Pemetaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Terpadu Aesesa dan
Kambaniru
1.8 KELUARAN
Keluaran yang dihasilkan dalam pelaksanaan kegiatan ini berupa Data base Potensi
dan Pembangunan Wilayah dan Sistem Informasi dan Manual Book dengan rincian:
1. Buku Manual sebanyak 5 buku
2. Sofcopy Data base sebanyak 5 CD
3. SOP Aplikasi sebanyak 5 rangkap
4. Laporan Pemetaan Daerah Aliran Sungai (DAS) 5 rangkap

1.9 SUMBER DANA


Sumber dana yang diperlukan untuk pelaksanaan pekerjaan ini berasal Dokumen
Pelaksanaan Perubahan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPPA – SKPD)
Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian Dan Pengembangan Daerah Tahun
Anggaran 2023 dengan total perkiraan biaya yang diperlukan sejumlah Rp.
66.000.000,00 (Enam Puluh Enam Juta Rupiah) .

1.10 WAKTU PELAKSANAAN


Waktu Pelaksanaan selama 150 (seratus lima puluh ) hari kerja

No Kegiatan Bulan (Februari – Mei) 2023


Februari Maret April Mei
II III IV I II III IV I II III IV I
1 Persiapan (Rapat                        
Awal)
2 Pengumpulan Data                        
3 Kompilasi Data                        
4 Pembuatan aplikasi                        
menggunakan GIS
5 Diskusi                        
6 penyusunan                        
Pemetaan Daerah
Aliran Sungai (DAS)
Terpadu Aesesa dan
Kambaniru
                           

Demikian Kerangka Acuan ini penyusunan Pemetaan Daerah Aliran Sungai (DAS)
Terpadu Aesesa dan Kambaniru Provinsi Nusa Tenggara Timur di buat untuk dijadikan
acuan dalam pelaksanaannya.
BAB II
DATA DAN PETA
DAS KAMBANIRU

2.1 KARAKTERISTIK WILAYAH

Pulau Sumba memiliki satu Wilayah Sungai (WS), yaitu WS Pulau Sumba seluas 11,194 km2
dengan debit andalan 80% sebesar 5,79 juta m3/tahun (Puslitbang SDA,2014). Berdasarkan
Permen PU No.11A Tahun 2006, Wilayah Sungai (WS) Sumba terdiri dari DAS Kambaniru,
Baing, Mamboro, Polopare dan Wanokaka. Letak Geografis Dan Batas Administratif Wilayah
Sungai Noelmina
2.1.1 Letak Geografis

Daerah Aliran Sungai (DAS) Kambaniru merupakan salah satu DAS terbesar di Kabupaten
Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Secara astronomis Kabupaten Sumba
Timur terletak pada koordinat 119 ̊45’-120 ̊52’ Bujur Timur (BT) dan 9 ̊16’-10 ̊20’ Lintang
Selatan (LS). Adapun secara administrasi Kabupaten Sumba Timur berbatasan dengan :
• Utara : Selat Sumba
• Timur : Laut Sawu
• Selatan : Samudra Hindia
• Barat : Kabupaten Sumba Tengah
2.1.2 Batas Administratif DAS Kambaniru
DAS Kambaniru secara administrasi pemerintahan masuk dalam 10 wilayah kecamatan
yang terdiri dari 36 desa dan 8 kelurahan.
2.2 DATA FISIK
2.2.1 Kelerengan

Luas total DAS Kambaniru adalah 1158,583 Km² dengan rata-rata kemiringan DAS yaitu
24,438%. Luas sub DAS terbesar pada DAS Kambaniru adalah pada sub DAS W810 dengan
luas sebesar 275,255 Km². Luas sub DAS terkecil terdapat pada sub DAS W660 dengan luas
sebesar 15,001 Km². Selain itu dari dapat diketahui juga total panjang sungai adalah
207,255 Km. Sungai terpanjang terdapat pada R70 dengan panjang 38,840 Km dan sungai
terpendek ada pada R230 dengan panjang 4,162 Km dengan kemiringan sungai rata-rata
0,009 m/m.
2.2.2 Bentuk dan Pola DAS pada Wilayah Sungai Sumba

Pulau Sumba memiliki satu Wilayah Sungai (WS), yaitu WS Pulau Sumba seluas 11,194 km2
dengan debit andalan 80% sebesar 5,79 juta m3/tahun (Puslitbang SDA,2014). Berdasarkan
Permen PU No.11A Tahun 2006, Wilayah Sungai (WS)DAS Kambaniru secara administrasi
pemerintahan masuk dalam 10 wilayah kecamatan yang terdiri dari 36 desa dan 8
kelurahan. Sumba terdiri dari DAS Kambaniru, Baing, Mamboro, Polopare dan Wanokaka.
DAS dapat dibedakan berdasarkan bentuk dan pola alirannya.

2.2.3 Klasifikasi Hydrologic Soil Grup (HSG) DAS Kambaniru

Penentuan jenis tanah hidrologi dapat dianalisis menggunakan Peta Hidrogeologi Pulau
Sumba yang diterbitkan oleh Direktorat Pusat Tata Lingkungan Geologi dengan skala
1:250.000. Dalam peta hidrogeologi ini berisi komposisi litologi dan produktifitas
akuifernya. Analisis dilakukan dengan mendigitasi peta hidrogeologi Pulau Sumba untuk
mendapatkan peta hidrogeologi DAS Kambaniru.
2.3 TUTUPAN LAHAN

Tutupan lahan merupakan jenis kenampakan yang ada pada permukaan bumi, dan kegiatan
manusia pada lahan tersebut dikatakan penggunaan lahan. Tutupan lahan suatu kawasan
mempengaruhi kondisi hidrologi.
DAS Kambaniru terdapat 11 jenis tutupan lahan, dan didominasi dengan tutupan lahan
Savana dimana luasnya adalah 922,79 Km² (79,65% dari luas DAS). Jenis tutupan lahan yang
paling kecil di DAS Kambaniru adalah Hutan Mangrove Sekunder, luasnya adalah 0,97 Km²
(0,08% dari luas DAS). Pulau Sumba bagian timur ini memang umumnya berupa padang
rumput savana dengan ciri-ciri berupa padang rumput yang tumbuh pada bukit-bukit yang
juga diselingi oleh pepohonan

2.4 PEMANFAATAN RUANG


BAB III
DATA DAN PETA
DAS AESESA

3.1 KARAKTERISTIK WILAYAH


3.1.1 Kondisi Wilayah

DAS AF secara administrasi masuk dalam dua wilayah administrasi kabupaten di tengah
Pulau Flores Provinsi NTT yaitu Kabupaten Ngada dan Kabupaten Nagekeo. DAS AF seluas
129.005 ha, dimana Kabupaten Ngada berada pada wilayah hulu dan sebagian kecil wilayah
tengah seluas 49.313 ha dan pada wilayah bagian tengah dan hilir berada di Kabupaten
Nagekeo seluas 79.692 ha.

DAS AF terdiri dari tiga bagian (region/zona/ekosistem) yakni: 1) bagian hulu yang meliputi
sebagian wilayah Kecamatan Bajawa, Golewa Selatan, Golewa, Bajawa Utara, Wolomeze dan
Kecamatan Soa di Kabupaten Ngada; 2) bagian tengah yang meliputi sebagian wilayah
Kecamatan Wolomeze di Kabupaten Ngada, Kecamatan Boawae dan sebagian wilayah
Kecamatan Nangaroro di Kabupaten Nagekeo; dan 3) bagian hilir yang meliputi wilayah
Kecamatan Aesesa, Aesesa Selatan dan satu desa di Kecamatan Wolowae Kabupaten
Nagekeo. Pewilayahan DAS AF selain didasarkan pada bentuk dan fungsi DAS secara
hidrologis, juga didasarkan pada homogenitas dari aspek penggunaan lahan dan tutupan
vegetasi, curah hujan, elevasi dan penduduk (Asdak, 2010). Bagian hulu berada pada elevasi
antara 600-1600 mdpl dengan luas sebesar 43.052 ha. Bagian tengah berada pada elevasi
antara 300-850 mdpl dengan seluas 52.520 ha. Sedangkan bagian hilir berada pada elevasi
antara 0-300 mdpl, dengan luas sebesar 33.433 ha. Pewilayahan DAS AF ke dalam tiga
bagian disajikan dalam Gambar.
Secara umum DAS dibagi ke dalam tiga bagian yakni ekosistem bagian hulu merupakan
daerah tangkapan air utama dan pengatur aliran. Ekosistem bagian tengah sebagai daerah
distributor dan pengatur air, dan ekosistem hilir merupakan daerah pemakai air. Fungsi
bagian atau ekosistem DAS ini berbeda dengan kondisi DAS AF saat ini terutama peruntukan
ruang sebagaimana di atur dalam RTRW Kabupaten Ngada dan RTRW Kabupaten Nagekeo,
di mana di bagian hulu ada kota Bajawa sebagai ibukota Kabupaten Ngada dan terdapat
hutan lindung serta CA. Watuata, juga beberapa ibukota kecamatan. Pada bagian tengah
terdapat beberapa ibukota kecamatan dan lahan pertanian, sedangkan di hilir ada kota
Mbay sebagai ibukota Kabupaten Nagekeo dan ada area persawahan serta kawasan pesisir
yang menuntut akan ketersediaan terutama kebutuhan lahan budidaya untuk permukiman
dan usaha non pertanian.
3.1.2 Kelerengan
DAS AF memiliki kondisi topografi yang sangat bervariasi mulai dari datar sampai tingkat
kemiringan yang terjal. Bagian wilayah dengan kemiringan agak curam (15% - 25%)
menempati luasan terbesar yaitu seluas 41.158 ha dan terutama terdapat pada bagian hulu
dan tengah dalam wilayah DAS AF. Disusul bagian wilayah yang memiliki tingkat kemiringan
25 - 40% menempati areal yang terbesar kedua yaitu seluas 37.248 ha. Sebagian besar
wilayah DAS AF yang mempunyai kelerengan datar sampai landai terdapat di semua bagian
terutama pada bagian hilir dan tengah sedangkan wilayah yang memiliki kelerengan agak
curam sampai curam sebagian besar berada di bagian hulu.

3.2 DATA AIR


3.2.1 Pola Aliran
Bentuk DAS mempunyai pengaruh pada pola aliran sungai dan ketajaman puncak discharge
banjir. BPDAS BN (2013) menyajikan bahwa berdasarkan analisis bentuk DAS AF melalui
citra dapat disimpulkan bahwa DAS Aesesa Flores memiliki luas 129.005 Ha dengan bentuk
membulat. Berdasarkan bentuk daerah aliran, diketahui bahwa Sub DAS-Sub DAS yang ada
di wilayah DAS AF sebagian besar menunjukkan bentuk seperti daun. Bentuk daerah yang
membulat menyebabkan bagian hujan yang menjadi limpasan akan terkumpul secara cepat
dan dapat mencapai outlet dalam waktu yang relatif cepat pula dan berakibat hidrograf
aliran naik dan turun dengan cepat. Bentuk DAS yang membulat akan memberikan debit
puncak yang tinggi dan mengakibatkan meningkatnya volume sedimen yang terbawa aliran
tersebut.
Pola aliran sungai berkaitan dengan bentuk percabangan sungai, baik sungai permanen
maupun sungai musiman. Tingkat kepadatan percabangan sungai pada suatu wilayah DAS
dan atau Sub DAS menggambarkan tingkat kontribusi DAS dan atau Sub-DAS yang
bersangkutan terhadap ancaman banjir yang mungkin terjadi, bilamana keseimbangan
wilayah tersebut terganggu. Daerah sepanjang hulu di wilayah selatan DAS Aesesa Flores
memiliki tingkat percabangan sungai yang cukup rendah. Kepadatan percabangan sungai
semakin bertambah kearah hilir di bagian utara DAS yang ada di dalam kabupaten Nagekeo.
Kepadatan aliran pada wilayah DAS Aesesa Flores sangat berhubungan dengan keadaan
topografinya Di mana pada daerah yang lebih curam jumlah percabangan sungai juga
semakin banyak
3.2.2 Sub DAS Aesesa
DAS Aesesa Flores memiliki 10 (sepuluh) Sub DAS sebagaimana disajikan pada Gambar
yakni Sub DAS Wae Woki, Wulabhara, Ae lia (Nagerawe), Gako, Aemau, Lowomeli (ae go),
Dhawe, Alorawe, Towak dan Mbay. Kesepuluh Sub DAS tersebut terdapat dua Sub DAS pada
bagian hulu, bagian tengah 4 Sub DAS, dan bagian hilir ada 4 Sub DAS. Terdapat dua Sub DAS
yang memiliki luas dan debit terbesar yakni Sub DAS Waewoki dan Sub DAS Wulabhara.
Gambaran Sub DAS yang ada pada DAS AF, disajikan dalam Tabel. Dari kesepuluh Sub DAS
yang ada juga terdapat 4 Sub DAS yang kering atau tidak memiliki mata air yakni sub DAS
Mbay, Sub DAS Dhawe, Sub DAS Towak dan Sub DAS Alorawe.
3.2.3 Debit Aliran

Kesepuluh Sub DAS memiliki kisaran debit aliran sebesar 0 m³/detik hingga 40,04 m³/detik.
Hasil pengukuran debit aliran pada outlet pengamatan di DAS AF (Bendungan Sutami)
memiliki debit sebesar 79,57 m³/detik. Pada bulan April di DAS AF menandai berakhirnya
musim hujan dan memasuki musim kemarau. Data debit aliran pada DAS Aesesa Flores
belum ada atau tersedia banyak dalam kurun waktu yang lama dan kontinyu untuk
kepentingan penelitian maupun perencanaan pengelolaan sumberdaya air. Salah satu
penyebabnya adalah karena DAS AF ini belum masuk dalam prioritas nasional, sehingga
sarana prasarana yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya air di DAS AF belum
tersedia seperti SPAS dan stasiun meteorologi.
3.1.3 TUTUPAN LAHAN

Tutupan lahan merupakan jenis kenampakan yang ada pada permukaan bumi, dan kegiatan
manusia pada lahan tersebut dikatakan penggunaan lahan. Tutupan lahan suatu kawasan
mempengaruhi kondisi hidrologi.

Jenis penutupan lahan seperti pada Gambar juga menunjukkan aktivitas yang ada pada DAS
AF. Dengan mengkombinasikan teknik interpretasi visual citra satelit, analisis digital, dan
kunjungan lapangan, diketahui bahwa terdapat 12 (dua belas) tipe penggunaan atau
penutupan lahan pada wilayah DAS AF, yakni: bandara, hutan, hutan bakau, industri garam,
kawasan permukiman, ladang, padang ilalang, sawah, sepadan danau, sepadan pantai,
sepadan sungai dan sungai.
Data luasan serta prosentase masing-masing tipe penggunaan lahan dalam wilayah DAS
Aesesa Flores disajikan pada Tabel. Data tersebut juga menunjukkan bahwa penutupan
lahan berupa ladang menempati areal terluas yaitu sebesar 48.767 ha. Diurutan kedua dan
ketiga masing-masing ditempati oleh tipe penggunaan lahan berupa hutan seluas 28.188
dan padang ilalang selauas 27.030 ha yang dijumpai pada semua bagian DAS AF. BPDAS BN
(2012) juga menyebutkan bahwa sebagian besar wilayah DAS AF (78,11%) didominasi oleh
fungsi areal penggunaan lain (APL) atau bukan kawasan hutan, sisanya 21,99 % terdiri atas
cagar alam, hutan lindung, dan hutan produksi.

3.1.4 PEMANFAATAN RUANG

Anda mungkin juga menyukai