Anda di halaman 1dari 9

POLICY BRIEF

April, 2021

Pemerintah Provinsi Pemerintah Kabupaten/Kota

1.69

1.65
1.62

1.60

1.57

1.13
0.82
0.66

0.66

0.60
2016 2017 2018 2019 2020

Gambar 1. Rata-rata Proporsi Anggaran Fungsi Lingkungan Terhadap Total


Anggaran Pemerintah Daerah, 2016 - 2020
(Sumber: Kementerian Keuangan, 2016-2020)

World Bank (2009) menemukan bahwa salah satu isu tata kelola lingkungan
di tingkat daerah adalah terbatasnya keuangan daerah untuk mencapai
target-target lingkungan yang berimbas ke pencapaian target indikator
terkait. Dengan adanya perbedaan kemampuan antar daerah, skema dana
perimbangan daerah (asymmetric transfer) dapat menjadi salah satu solusi
terkait tantangan atau kendala khusus, seperti isu lingkungan (OECD,
2019). Salah satu bentuk transfer fiskal yang menyasar isu lingkungan adalah
Transfer Fiskal Berbasis Ekologis (Ecological Fiscal Transfer, EFT). EFT
merupakan transfer fiskal yang mekanisme alokasinya berdasarkan
indikator lingkungan ataupun peruntukannya dikhususkan untuk aspek
lingkungan hidup. Pemberian EFT dapat meningkatkan kapasitas dan
meningkatkan insentif daerah untuk mencapai/menjaga indikator
lingkungan daerah. Secara internasional, EFT pertama kali dilakukan oleh
Brazil sekitar tahun 1991 melalui program “ICMS Ecológico” yang
menggunakan indikator wilayah konservasi (Grieg-Gran 2000; May et al.
2002; Ring 2008c). Saat ini, di Indonesia skema EFT telah direncanakan dan
diterapkan di beberapa daerah (Putra, 2021), namun belum optimal
sehingga masih memiliki potensi untuk dikembangkan dan diefektifkan.

Analisis Skema EFT di Indonesia

Sejatinya, EFT tidak harus memerlukan penambahan anggaran tambahan


dari pemerintah karena skema EFT bisa dengan hanya merealokasi transfer
pemerintah berdasarkan indikator lingkungan. Kebijakan EFT di Indonesia
telah dilaksanakan oleh pemerintah melalui dua cara, yaitu dengan 1)
menggunakan instrumen fiskal transfer yang sudah ada, seperti Dana

Kualitas Lingkungan Hidup Indonesia melalui Optimalisasi Transfer Fiskal Berbasis Ekologi
POLICY BRIEF
April, 2021

Insentif Daerah, Dana Alokasi Khusus Lingkungan Hidup dan Kehutanan,


Dana Bagi Hasil-Dana Reboisasi, dan Dana Desa, atau 2) mengembangkan
instrumen baru, seperti Transfer Anggaran Provinsi berbasis Ekologi (TAPE)
dan Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologi (TAKE) (Putra et al.
2019). Penjelasan setiap skema EFT yang telah digunakan di Indonesia serta
potensinya akan dijelaskan sebagai berikut:

Dana Insentif Daerah (DID)


DID merupakan dana transfer fiskal dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah sebagai penghargaan atas perbaikan atau pencapaian
kinerja pemerintah daerah dalam bidang tata kelola keuangan daerah,
pelayanan umum pemerintahan, pelayanan dasar publik atau kesejahteraan
masyarakat. Sejak Tahun 2019, isu pengelolaan sampah telah dimasukkan
sebagai kriteria kinerja daerah dalam pengalokasian DID dan telah
disalurkan kepada 10 pemerintah provinsi dan kabupaten/kota pada tahun
2019 dan 14 pemerintah provinsi dan kabupaten/kota pada tahun 2020
(Kementerian Keuangan, 2020). Adanya tambahan kriteria pengelolaan
sampah pada kriteria kinerja DID telah memberikan peluang untuk
menambahkan indikator lingkungan pada kriteria kinerja DID.

Dana Alokasi Khusus-Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DAK-LHK)


Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan dana transfer yang bertujuan untuk
mengurangi kesenjangan antara daerah yang timbul atas keberagamanan
kondisi dan kemampuan daerah imbas pelaksanaan desentralisasi. Alokasi
pemberian DAK ini tidak hanya didasarkan pada formulasi tetapi juga
berdasarkan usulan kegiatan serta review kegiatan pada tahun sebelumnya.
Dalam upaya pencegahan permasalahan lingkungan, pemerintah Indonesia
menetapkan DAK lingkungan hidup pada tahun 2006 dan disusul
penambahan indikator kehutanan pada tahun 2008 (Saputra et al, 2020).
Agar dapat berjalan efektif, pemerintah pusat menetapkan arahan
penggunaan DAK fisik dan non-fisik untuk bidang lingkungan hidup
maupun kehutanan.

Pada tahun 2020, DAK-LH diarahkan untuk mengurangi beban pencemaran


limbah cair, udara, dan sampah yang masuk ke lingkungan serta
memastikan tersedianya data pemantauan parameter data kualitas air dan
udara secara kontinu (Kementerian Lingkugnan Hidup, 2020). Sementara,
DAK kehutanan diarahkan untuk mengurangi lahan kritis termasuk
mangrove, meningkatkan kualitas pengelolaan KPH dan taman hutan raya
(Tahura), serta meningkatkan usaha ekonomi produktif masyarakat
termasuk usaha pengolahan HHBK dan jasa lingkungan melalui kelompok
tani hutan atau kelompok tani usaha Perhutanan Sosial. Sementara DAK
non-fisik lingkungan hidup berupa bantuan biaya layanan pengelolaan
sampah (BLPS) yang diberikan kepada 12 daerah prioritas pembangunan

Kualitas Lingkungan Hidup Indonesia melalui Optimalisasi Transfer Fiskal Berbasis Ekologi
POLICY BRIEF
April, 2021

Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Hal ini membuat pemanfaatan


DAK menjadi terbatas pada kegiatan prioritas nasional yang ditetapkan
dalam arahan penggunaan DAK.

Dana Bagi Hasil - Dana Reboisasi (DBH-DR)


DBH-DR merupakan salah satu bagian dana bagi hasil sumber daya alam
dari sektor kehutanan yang bersumber dari pendapatan APBN dari izin
usaha pemanfaatan hutan (IIUPH), provinsi sumber daya hutan (PSDH) dan
dana reboisasi. Penggunaan dari DBH-DR diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 35 tahun 2002 dengan peruntukan hanya untuk kegiatan
berkaitan dengan reboisasi hutan dan lahan sehingga pemanfaat DBH-DR
oleh pemerintah daerah menjadi terbatas dan realisasinya minim.
Pemerintah merespon permasalahan ini dengan mengeluarkan PMK No.
230/PMK.07/2017 yang memberikan keleluasaan lebih kepada pemerintah
daerah tidak hanya untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan tetapi dapat
digunakan untuk pengelolaan Tahura, pencegahan kebakaran hutan, serta
perlindungan DAS dengan reboisasi. Bertambahnya ruang lingkup
penggunaan DBH-DR, menjadikannya sebagai salah satu instumen EFT
potensial untuk perlindungan ekologi.

Dana Desa
Dana desa merupakan dana transfer fiskal dari pemerintah pusat ke
pemerintahan desa yang dikelola secara mandiri oleh pemerintah desa
sesuai prinsip tata kelola keuangan desa yang tertera pada Undang-undang
no. 6/2014. Dana Desa dapat digunakan sepenuhnya untuk mendanai
kegiatan yang berhubungan dengan kewenangan desa dengan adanya
prioritas-prioritas yang diatur oleh Peraturan Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi setiap tahunnya. Salah
satu prioritas dari penggunaan dana desa tahun 2020 (Permendesa No
11/2019) adalah untuk persiapan dan penanggulangan bencana serta
pelestrian lingkungan hidup dimana kegiatan mitigasi dari REDD+
(reducing emissions from deforestation and forest degradation), adaptasi,
dan program kampung iklim (ProKlim) dapat didukung oleh dana desa.
Prioritas ini menunjukkan bahwa dana desa dapat diperuntukkan untuk
mendukung program-program lingkungan hidup dan berpotensi menjadi
EFT.

TAPE dan TAKE


Selain instrumen transfer ke daerah yang berasal dari pemerintah pusat atau
Transfer Anggaran Nasional berbasis Ekologi (TANE), ada skema EFT ada
yang berasal dari pemerintah daerah yang ditransfer ke pemerintah daerah
ditingkat lebih rendah, yaitu TAPE dan TAKE (Putra et al., 2019). Skema
TAPE merupakan bentuk EFT yang berasal dari pemerintah provinsi

Kualitas Lingkungan Hidup Indonesia melalui Optimalisasi Transfer Fiskal Berbasis Ekologi
POLICY BRIEF
April, 2021

sementara TAKE berasal pemerintah kabupaten/kota. Kedua transfer ini


bertujuan sebagai pemberian insentif kerja berbasis ekologi kepada
pemerintahan daerah dibawahnya berdasarkan beberapa indikator ekologis
1
yang ditentukan oleh pemberi EFT . Skema TAPE yang saat ini diterapkan
menggunakan anggaran dari dana bantuan keuangan, sedangkan untuk
penerapan alokasi dana TAKE diberikan melalui alokasi dana desa (ADD).
Sejak tahun 2019, skema TAPE telah diterapkan di provinsi Kalimantan
Utara melalui pergub no. 6/2019 dan skema TAKE telah diterapkan
Kabupaten Jayapura melalui perpub no. 11/2019. Hingga saat ini, sudah ada
39 pemerintah daerah yang telah mendapatkan pendampingan untuk
mengembangkan skema TAPE dan TAKE di Indonesia (Putra, 2021).

Meskipun sudah ada beberapa skema EFT potensial, ada beberapa


permasalahan penerapan EFT di Indonesia khususnya untuk skema transfer
dari pemerintah pusat. Permasalahan utamanya adalah dana untuk EFT
masih sangat minim (lihat Tabel 1) dan berbagai tantangan administratif
seperti keterbatasan indikator dan sasaran, tingkat realisasi yang masih
rendah (Saputra et al., 2020). Sejak tahun 2018-2021, pendanaan EFT terus
mengalami tren peningkatan meskipun pada tahun 2020 terjadi krisis
kesehatan akibat COVID-19. Namun, secara presentase masih sangat rendah
sehingga belum dapat memberikan insentif kepada pemerintah daerah
untuk mengatasi permasalahan lingkungan yang ada. Dari sisi
permasalahan administratif, pemanfaatan skema EFT diatas terbentur oleh
aturan syarat penerimaan transfer, pemanfaatan yang diatur oleh undang-
undang terbatas, serta perubahan arah pemanfaatan yang mungkin terjadi.

Tabel 1. Realisasi Jenis Skema Transfer Berbasis Ekologi Pemerintah Pusat


kepada Pemerintah Daerah (dalam Triliun Rupiah)

Jenis Skema Transfer TANE 2018 2019 2020 2021*


Dana Insentif Daerah 8.24 9.69 18.46 13.50
% Terhadap Total Transfer 1.09 1.19 2.42 1.73
Dana Alokasi Khusus - LHK 0.39 0.16 0.01 0.70
% Terhadap Total Transfer 0.05 0.02 0.00 0.09
Dana Bagi Hasil - Dana Reboisasi 0.74 1.21 0.48 0.68
% Terhadap Total Transfer 0.10 0.15 0.06 0.09
Dana Desa 59.88 69.91 71.10 72.00
% Terhadap Total Transfer 7.90 8.62 9.32 9.23
Keterangan: *2021 menggunakan nilai anggaran

1Misalnya TAPE oleh pemerintah Provinsi Kalimantan Utara menggunakan 5


kategori indikator, yaitu pencegahan dan pengendalian karhutla di APL, ruang
terbuka hijau, pengelolaan sampah, perlindungan air, dan pencemaran udara
dimana didalamnya terdapat sebanyak 17 indikator kinerja.
Kualitas Lingkungan Hidup Indonesia melalui Optimalisasi Transfer Fiskal Berbasis Ekologi
POLICY BRIEF
April, 2021

(Sumber: Kementerian Keuangan, 2018-2021)

Oleh karena itu, perbaikan penerapan EFT di Indonesia memerlukan


perubahan alokasi anggaran ke EFT dapat meningkatkan kapasitas daerah
untuk mencapai indikator lingkungan yang ingin di sasar. Kemudian,
mengarahkan EFT menjadi berbasis kinerja, seperti pada DID ataupun
transfer dengan memasukkan indikator lingkungan dalam formula alokasi
(Saputra et al., 2020), akan memberikan insentif kepada daerah untuk
mencapai/menjaga indikator lingkungan yang dimasukkan dalam formula
kinerja agar dapat memaksimalkan transfer yang diterima. Proses tersebut
perlu dilakukan sekaligus dengan mengidentifikasi risiko
lingkungan/bencana yang nantinya dipakai sebagai indikator dalam EFT
berbasis kinerja tersebut.

LPEM-FEBUI memiliki beberapa rekomendasi untuk mendukung


implementasi transfer fiskal berbasis ekologi di Indonesia:

REKOMENDASI 1: “MAINSTREAMING INDIKATOR LINGKUNGAN


(SEPERTI IKLH, EMISI GRK, IRBI) SEBAGAI TUJUAN BERSAMA YANG
DIDUKUNG OLEH PENDANAAN DARI TRANFER FISKAL PEMERINTAH”

Untuk bisa mengakomodir isu lingkungan di dalam perencanaan


pembangunan, pertama yang harus dilakukan adalah identifikasi isu
lingkungan dan bencana yang krusial di masing-masing daerah. Hal ini akan
membantu memetakan risiko lingkungan dan bencana apa yang dihadapi
daerah sehingga pemerintah daerah bisa melakukan perencanaan
pembangunan yang sesuai dengan risiko yang dihadapi. Untuk pemerintah
pusat, identifikasi isu lingkungan dan bencana akan membantu
mengidentifkasi indikator atau prioritas penggunaan dana apa saja yang
perlu diakomodir dalam menyusun skema EFT ke depannya.
Agar risiko lingkungan dan bencana tersebut menjadi fokus dalam kinerja
pemerintah, indikator lingkungan dan bencana perlu di-mainstreaming
dalam dokumen perencanaan pembangunan. Hal ini dikarenakan basis
program dan pembiayaan pemerintah berasal dari dokumen perencanaan
pembangunan, seperti RPJMN dan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD). Kemudian, perencanaan menengah tersebut
dapat di turunkan di dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) maupun
Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dengan mengakomodir
indikator-indikator lingkungan dalam kinerja. Indikator lingkungan yang
digunakan diantaranya IKLH, IRBI, dan RAN-GRK. Saat ini, perencanaan
pemerintah pusat sudah memasukkan indikator-indikator lingkungan

Kualitas Lingkungan Hidup Indonesia melalui Optimalisasi Transfer Fiskal Berbasis Ekologi
POLICY BRIEF
April, 2021

seperti IKLH, IRBI, sampah dll., sedangkan beberapa pemerintah daerah


masih perlu didorong untuk mengakomodir indikator-indikator
lingkungan.
Apabila perencanaan pembangunan sudah memprioritaskan indikator
lingkungan, pemerintah dapat mendukung pencapaian indikator
lingkungan melalui pemberian EFT. EFT tesebut akan mendukung
pemerintah daerah yang mengalami financial gap untuk mencapai target-
target lingkungan hidup yang sudah direncanakan.

REKOMENDASI 2: “MELAKUKAN EVALUASI KINERJA BERBAGAI JENIS


ANGGARAN KEGIATAN YANG BERBASIS EKOLOGI”

Efektivitas dari penerapan transfer fiskal berbasis ekologis terhadap


ketahanan daerah menghadapi risiko lingkungan dapat ditinjau melalui
penandaan anggaran perubahan iklim di tingkat daerah (Regional Climate
Budget Tagging/RCBT). Melalui RCBT, alokasi anggaran dalam APBD yang
diperuntukkan bagi aksi mitigasi dan adaptasi daerah terhadap risiko
lingkungan dapat diidentifikasi secara jelas dan dipantau capaian indikator
keberhasilan kuncinya. RCBT juga dapat dijadikan indikator perihal
seberapa akurat aksi-aksi mitigasi dan adaptasi yang disokong oleh transfer
fiskal dalam menyasar risiko lingkungan yang terjadi di daerah terkait. Di
samping RCBT, implementasi transfer fiskal berbasis ekologi juga perlu
diperkuat oleh berbagai elemen kelembagaan lainnya, seperti kejelasan
mekanisme pencairan dana, kejelasan formula, ketersediaan basis data
lingkungan hidup, serta proses pengawasan dan evaluasi (monev).
Sementara proses monev menjamin akuntabilitas dari transfer fiskal itu
sendiri, penguatan serta pemutakhiran berkala basis data berbasis
lingkungan hidup di tingkat daerah dapat menjadi cara untuk membangun
kredibilitas pemerintah dalam menjalankan komitmennya untuk
mewujudkan pembangunan berkelajutan di daerahnya masing-masing.

REKOMENDASI 3: “MELAKUKAN REFORMULASI ANGGARAN TRANSFER


KE DAERAH UNTUK MENDUKUNG PEMBANGUNAN BERBASIS EKOLOGI”

Karena transfer fiskal berbasis ekologi ditujukan untuk meningkatkan


kinerja pemerintah daerah dalam pelestarian lingkungan hidup, reformulasi
dari kebijakan EFT saat ini seperti DID, DAK-LHK serta Dana Desa menjadi
relevan untuk diinisiasi. Reformulasi yang dimaksudkan adalah integrasi
indikator lingkungan hidup ke dalam penentuan besaran ketiga transfer
fiskal di atas. Beberapa opsi reformulasi yang dapat diambil antara lain
integrasi IKLH untuk formula DID dan DAK-LH serta luas tutupan hutan

Kualitas Lingkungan Hidup Indonesia melalui Optimalisasi Transfer Fiskal Berbasis Ekologi
POLICY BRIEF
April, 2021

untuk formula Dana Desa. Reformulasi ini juga dibutuhkan untuk


melakukan harmonisasi antara TAPE, TAKE dan TANE.
Integrasi indikator-indikator lingkungan hidup ke dalam dapat mendorong
penerapan anggaran berbasis kinerja di sektor konservasi lingkungan hidup.
Melalui anggaran berbasis kinerja, pemerintah daerah akan menyusun
anggaran berdasarkan target perlindungan lingkungan hidup tertentu.
Implementasi anggaran berbasis kinerja ini nantinya dapat mendorong
pemerintah daerah untuk lebih mempertimbangkan aspek-aspek
perlindungan lingkungan hidup ke dalam rencana pembangunan jangka
menengah atau panjangnya.

REKOMENDASI 4: “MELAKUKAN STANDARISASI MEKANISME


PENGALOKASIAN TRANSFER FISKAL DARI PEMERINTAH DAERAH DI
TINGKAT ADMINISTRATIF YANG LEBIH TINGGI KE TINGKATAN YANG
LEBIH RENDAH”

Tiga bentuk transfer fiskal berbasis ekologis yang perlu diusung di tingkat
daerah, yakni TAPE, TAKE, dan TANE, pada hakikatnya berada di bawah
mata anggaran bantuan keuangan atau bankeu. Karena pelaksanaan bankeu
didasarkan atas Peraturan Menteri, Gubernur, maupun Bupati, maka
diperlukan suatu standar yang mengatur pengalokasian ketiga bentuk
transfer fiskal. Hal tersebut penting agar dana yang tersalurkan benar-benar
mampu mengisi kesenjangan anggaran yang dihadapi pemerintah daerah
dalam mengimplemetasikan upaya-upaya konservasi di wilayah
yurisdiksinya. Standar yang dibutuhkan antara lain: pemilihan indikator
lingkungan yang konsisten antar kawasan administratif, frekuensi
pencairan dana, serta alokasi besaran transfer fiskal.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2019. Low Carbon


Development: A Paradigm Shift Toward a Green Economy in Indonesia.
Jakarta. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Grieg-Gran, M. 2000. “Fiscal Incentives for Biodiversity Conservation: The
ICMS Ecológico in Brazil.” EEP Discussion Paper 00–01, International
Institute for Environment and Development, London.
Kementerian Keuangan. 2020. Peraturan Kementerian Keuangan No. 35
Tahun 2020 tentang Pengelolaan Transfer Ke Daerah Dan Dana Desa
Tahun Anggaran 2020 Dalam Rangka Penanganan Pandemi Corona Virus
Disease 2019 (COVID 19) Dan/Atau Menghadapi Ancaman Yang
Membahayakan Perekonomian Nasional.
Kualitas Lingkungan Hidup Indonesia melalui Optimalisasi Transfer Fiskal Berbasis Ekologi
POLICY BRIEF
April, 2021

Kementerian Lingkugnan Hidup. 2020. Peraturan Kementerian Lingkungan


Hidup Nomor P.7/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2020 tentang
Penggunaan Dana Alokasi Khusus Fisik Penugasan Bidang
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun Anggaran 2020.

May, P. H., F. Viega Neto, V. Denardin, and W. Loureiro. 2002. “Using


Fiscal Instruments to Encourage Conservation: Municipal Responses
to the ‘Ecological’ Value-Added Tax in Paraná and Minas Gerais,
Brazil.” In Selling Forest Environmental Services: Market-Based
Mechanisms for Conservation and Development, edited by S. Pagiola,
J. Bishop, and N. Landell-Mills, 173–199. Earthscan.
OECD. (2019). Asymmetric decentralisation: Policy implications in
Colombia OECD Multi-Level Governance Studies. OECD Multi-LLevel
Governance Studies.
http://www.oecd.org/countries/colombia/Asymmetric_decentralisatio
n_Colombia.pdf
Putra, R.A.S. 2021. Membangun dari Pinggiran: Mengembangkan EFT di
Indonesia Melalui Skema TAKE, TAPE, dan TANE. Dipaparkan pada
tanggal 15 April 2021 pada acara Rembuk Nasional: Mendorong Transfer
Anggaran Berbasis Ekologi ke Daerah untuk Pembangunan
Berkelanjutan di Indonesia.
Putra, R.A.S, Muluk, S., Salam R., Untung, B., Rahman, E. 2019.
Mengenalkan Skema Insentif Fiskal Berbais Ekologi di Indonesia:
TAKE, TAPE dan Tane. Jakarta: The Asia Foundation & UKCCU.
Ring, I. 2008c. “Integrating Local Ecological Services Into
Intergovernmental Transfers: The Case of the Ecological ICMS in Brazil.”
Land Use Policy 25 (4): 485–497
Saputra W, Halimahtusadiah A, Haryanto JT. 2020. Designing Policy of
Ecological Fiskal Transfer in Indonesia. Jakarta: USAID & Kemitraan.
World Bank. (2009). Tata Kelola Lingkungan.

Kualitas Lingkungan Hidup Indonesia melalui Optimalisasi Transfer Fiskal Berbasis Ekologi

Anda mungkin juga menyukai