Anda di halaman 1dari 10

HUBUNGAN KEUANGAN PUSAT

DAN DAERAH
BAB VII HUBUNGAN KEUANGAN PUSAT DAN DAERAH

1. APBD merupakan implementasi dari kebijakan fiskal segaligus operasional pelaksanaan


program-program pemerintah daerah. Dari sisi kebijakan fiskal, APBD berperan sebagai
salah satu instrumen untuk memfasilitasi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat. Dari sisi operasionalisasi pelaksanaan program pemerintah, alokasi belanja
APBD dapat diarahkan untuk penyediaan sarana dan prasarana pelayanan public,
penyediaan barang jasa, dan penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat.
2. Fungsi yang menjadi prioritas pendanaan dari belanja daerah harus didasarkan pada
kebutuhan real yang menjadi kewenangan pemda. Salah satu sumber pendapatan daerah
adalah pajak daerah dan restribusi daerah. Pendapatan jenis pajak tersebut dapat
dipengaruhi oleh tingkat perkembangan ekonomi daerah.

Untuk mengukur tingkat efisiensi penerimaan pajak terhadap potensi pajak yang ada
dapat digunakan rasio total penerimaan pajak terhadap PDRB (Tax Ratio) dan rasio total
penerimaan pajak terhadap jumlah penduduk (tax per capita).

3. Sumber pendapatan tersebut guna mendanai pelaksanaan urusan pemerintahan


sesuaidengan kebutuhan, prioritasdan karakteristik daerah. Pendanaan terhadap urusan
pemerintahan tersebut terutama dituangkan dalam bentuk belanja barang/jasa, belanja
belanja modal, dan belanja pegawai. Alokasi belanja modal terkait dengan kebutuhan
penyediaan pelayanan public, alokasi belanja pegawai terkait dengan kebutuhan untuk
pelaksanaan roda pemerintahan, sedangkan alokasi belanja barang dan jasa terkait dengan
kebutuhan penyediaan pelayanan public dan roda pemerintahan.

4. Transfer Keuangan Pusat dan Daerah

Suparmoko (2012) mencatat terdapat dua sistem, yaitu sentralisasi dan desentralisasi.
Sentralisasi diterapkan era sebelum UU No 32 Tahun 2004. Pembagian keuangan antara
pusat dan daerah didasarkan pada kategori yaitu:
1) pendapatan yang ditunjuk atau diserahkan,
2) subsidi,
3) pembiayaan sektoralm dan
4) pinjaman.

Sistem yang berlaku saat ini adalah sistem desentralisasi. Sistem desentralisasi dikenal
melalui bentuk dana perimbangan dari pusat ke daerah. Sejalan dengan arah tujuan
kebijakan alokasi Transfer ke Daerah untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan
kesinambungan fiskal nasional, selama kurun waktu 2008-2013, alokasi dana transfer ke
daerah terus mengalami peningkatan. Dana Transfer ke Daerah terdiri atas (berdasarkan
Nota Keuangan APBN 2014) yaitu Dana Perimbangan yang berupa yakni DBH, DAU,
dan DAK, serta (2) Dana Otonomi khusus dan Penyesuaian. DAU dialokasikan untuk
meminimumkan ketimpangan fiskal antardaerah dalam mendanai urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah. DAU dialokasikan untuk provinsi dan kabupaten/kota
dalam APBN, yakni sekurang-kurangnya 26 persen dari Pendapatan Dalam Negeri
(PDN) neto. Proporsi DAU untuk provinsi dan kabupaten/kota dihitung berdasarkan
perbandingan antara bobot urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi dan
kabupaten/kota.
Sesuai UU Nomor 33 Tahun 2004, proporsi DAU untuk provinsi dan
kabupaten/kota ditetapkan dengan imbangan 10 persen untuk provinsi dan 90 persen
untuk kabupaten/kota. Sedangkan DAK dialokasikan untuk membantu daerah dalam
mendanai program/ kegiatan yang menjadi kewenangan daerah dan menjadi prioritas
nasional. Tujuannya agar daerah dapat menyediakan infrastruktur sarana dan prasarana
pelayanan publik secara memadai dalam rangka mendorong pencapaian Standar
Pelayanan Minimum masing-masing bidang.

5. Alokasi DAK ke daerah penerima dilakukan berdasarkan tiga kriteria, yakni:


1) Kriteria Umum yang dirumuskan berdasarkan kemampuan keuangan daerah yang
dicerminkan dari penerimaan umum APBD setelah dikurangi belanja Pegawai
Negeri Sipil Daerah;
2) Kriteria Khusus yang dirumuskan berdasarkan peraturan perundang-undangan
dan karakteristik daerah; dan
3) Kriteria Teknis yang disusun berdasarkan indikator-indikator kegiatan khusus
yang akan didanai dari DAK, yang dirumuskan melalui indeks teknis oleh menteri
teknis terkait.

Kriteria-kriteria tersebut tidak membatasi adanya cakupan bidang yang akan


didanai dari DAK, sehingga dalam perkembangannya bidang-bidang yang didanai DAK
cenderung bertambah/berubah dari tahun ke tahun, yakni dari 11 bidang dalam tahun
2008 menjadi 19 bidang dalam tahun 2013 dialokasikan anggaran Dana Otsus. Alokasi
Dana Otsus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat besarnya adalah setara dengan
2 persen dari pagu DAU Nasional, dengan pembagian 70 persen untuk Provinsi Papua
dan 30 persen untuk Provinsi Papua Barat. Selain Dana Otsus, Provinsi Papua dan
Provinsi Papua Barat juga mendapatkan alokasi Dana Tambahan Otsus Infrastruktur yang
besarnya disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara dan tambahan porsi DBH
SDA Minyak Bumi dan DBH SDA Gas Bumi masing-masing sebesar 55 persen dan 40
persen dari PNBP SDA Minyak Bumi dan Gas Bumi yang berasal dari wilayah provinsi
yang bersangkutan.

6. Dana Otsus Provinsi Aceh berlaku untuk jangka waktu 20 tahun sejak 2008, dan
alokasinya dibedakan menjadi dua, yakni:
1) untuk tahun pertama sampai dengan tahun ke lima belas, besarnya setara dengan 2
persen pagu DAU Nasional, dan

2) untuk tahun keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh, besarnya setara
dengan 1 persen pagu DAU Nasional.

Dalam tahun 2013, Dana Penyesuaian terdiri dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS),
Tunjangan Profesi Guru PNSD, Dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD, Dana Insentif
Daerah (DID), dan Dana Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi (P2D2). Guna
menghadapi dinamika tersebut maka perlu dilakukan revisi Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2004, antara lain dengan menambahkan ketentuan yang terkait dengan reformulasi
cakupan Dana Perimbangan, penyempurnaan DBH berdasarkan prinsip by origin, dan
penguatan peran gubernur dalam pembagian DBH kepada kabupaten/kota di wilayahnya.

PERKEMBANGAN TRANSFER KE DAERAH, TAHUN 2008-2013


2008

2009

2010

2011

2012

APBNP 2013
% % % % % %

URAIAN Thd Thd Thd Thd Thd Thd


BN BN BN BN BN BN

1. Dana Perimbangan 278,7 28,3 287,3 30,6 316,7 30,4 347,2 26,8 411,3 27,6 445,5 25,8

a. Dana bagi hasil 78,4 8,0 76,1 8,1 92,2 8,8 96,9 7,5 111.5 7,5 102,7 5,9

b. Dana alokasi 179,5 18,2 186,4 19,9 203,6 19,5 225,5 17,4 273,8 18,4 311,1 18,0
umum
20,8 2,1 24,7 2,6 21,0 2,0 24,8 1,9 25,9 1,7 31,7 1,8
c. dana alokasi
khusus

2. Dana Otsus 13,7 1,4 21,3 2,3 28,0 2,7 64,1 4,9 69,4 4,7 83,8 4,9

a. Dana otonomi 7,5 0,8 9,5 1,0 9,1 0,9 10,4 0,8 12,0 0,8 13,4 0,8
khusus
6,2 0,6 11,8 1,3 18,9 1,8 53,7 4,1 57,4 3,8 70,4 4,1
b. Dana penyesuaian

TOTAL 292,4 29,7 308,6 32,9 344,7 33,1 411,3 31,8 480,6 32,2 529,4 30,7
7. Pelaksanaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Pemberian kewenangan kepada Kepala Pemerintah Daerah untuk memungut pajak


(taxing power) merupakan instrumen penting dalam pelaksanaan desentralisasai kewenangan
pemungutan pajak tersebut terakhir diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU Nomor 28 Tahun 2009).Dalam undang-
undang tersebut, diatur 16 jenis pajak daerah dan 32 retribusi daerah dan pemerintah dapat
menambah jenis retribusi daerah selain yang di tetapkan dalam undang-undang.

Salah satu wujud nyata komitmen pemerintah untuk memperkuat taxing power adalah
dengan mengalihkan BPHTB dan PBB P2 menjadi pajak daerah. Pengalihan BPHTB telah
dilaksanakan sejak tahun 2011 dan pengalihan PBB-P2 sepenuhnya dilaksanakan pada tahun
2014. Hal ini dilakukan supaya proses pengalihan tersebut benar-benar dipersiapkan oleh
Pemerintah Daerah, baik dari sisi peraturan pelaksanaan yang menjadi payung hukum,
perangkat lunak dan keras, sumber daya manusia yang akan mengelolanya, sehingga
pengalihan PBB P2 tidak menimbulkan permasalahan baru yang membebani Wajib Pajak
dan Pemerintah Daerah.

Tahapan persiapan pengalihan PBB P2 diatur dengan Peraturan Bersama Menteri


Keuangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 213/PMK.07/2010 dan Nomor 58 tahun 2010
tentang Tahapan Persiapan Pengalihan PBB P2 sebagai Pajak Daerah. Dalam UU nomor 28
tahun 2009 dan Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor
213/PMK.07/2010 dan Nomor 58 tahun 2010 memberikan peluang bagi daerah untuk dapat
melaksanakan pemungutan PBB P2 sebelum tahun 2014.

8. Kebijakan Pajak Rokok

Dalam UU nomor 28 tahun 2009 diatur juga kebijakan penambahan jenis pajak
daerah baru yaitu Pajak Rokok. Pajak Rokok dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2014,
Mengingat tax base Pajak rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap
rokok, maka pemungutan pajak rokok dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Hasil penerimaan pajak rokok akan disetorkan ke Rekening Kas Umum Provinsi secara
proporsional berdasarkan jumlah penduduk. Maka dari itu, pemerintah provinsi harus
menyusun dan menetapkan peraturan daerah mengenai pajak rokok.

Penerimaan Pajak Rokok, baik proinsi maupun kabupaten/kota, dialokasikan paling


sedikit 50% yang dipergunakan untuk:

a) Mendanai pelayanan kesehatan masyakarat. Antara lain seperti


pembangunan/pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana unit pelayanan
kesehatan, penyediaan sarana bagi perokok (smoking area), kegiatan
memasyarakatkan tentang bahaya merokok dan iklan masyarakat mengenai bahaya
rokok.
b) Penegakan hukum oleh aparat yang berwenang. Antara lain seperti pemberantasan
peredaran rokok ilegal dan penegakan aturan mengenai larangan merokok sesuai
peraturan perundang-undangan. Dalam UU nomor 28 tahun 2009, juga diatur ahwa
hasil penerimaan pajak rokok diserahkan kepada kabupaten/kota sebesar 70% yang
dialokasikan dalam aspek pemerataan dan/atau potensi antar kabupaten/kota.

9. Kebijakan Pinjaman Daerah, Hibah ke Daerah, dan Investasi Daerah


Kebijakan Pinjaman Daerah

Secara nasional, sebagian besar daerah masih menghadapi kondisi ketergantungan


sumber keuangan terhadap dana perimbangan, karena sumber PAD masih terbatas.
Sebagian besar pendapatan daerah tersebut digunakan untuk mendanai belanja pegawai
serta belanja barang dan jasa.

Salah satu alternatif sumber pembiayaan adalah melalui pinjaman daerah. Pemerintah
daerah dapat melakukan pinjaman daerah yang bersumber dari Pemerintah, pemerintah
daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, dan masyarakat
melalui penerbitan Obligasi Daerah.

Dari segi regulasi telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor


111/PMK.07/2012 tentang Tata Cara Penerbitan dan Pertanggungjawaban Obligasi
Daerah. Untuk menjamin kepentingan Pemerintah Daerah selaku obligor, maupun
masyarakat selaku investor, penerbitan obligasi daerah harus mengacu pada beberapa
persyaratan antara lain:

1. Mendapatkan persetujuan DPRD dan ditetapkan dengan Perda tentang Obligasi Daerah,
guna menjamin adanya komitmen Pemerintah Daerah dan DPRD dalam memenuhi
kewajiban pembayaran obligasi;

2. Membentuk dana cadangan bagi pelunasan obligasi daerah untuk mengurangi resiko
terjadinya gagal bayar (default);

3. Mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atau Wajar Dengan Pengecualian
(WDP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD).

10. Kebijakan Hibah ke Daerah

Hibah ke Daerah adalah pemberian dengan pengalihan hak atas sesuatu dari
Pemerintah atau pihak lain kepada Pemerintah Daerah atau sebaliknya yang secara
spesifik telah ditetapkan peruntukannya dan dilakukan melalui perjanjian.

Sejak efektif dilaksanakan dalam tahun 2009, hibah ke daerah telah menjadi alternatif
pendanaan pembangunan infrastruktur bagi pemerintah daerah. Perkembangan kebijakan
hibah ke daerah ini sejalan dengan amanat UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003 dan
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, selain berkewajiban mengalokasikan dana
perimbangan, Pemerintah dapat memberikan pinjaman dan/atau hibah kepada Pemerintah
Daerah sebagai salah satu sumber pendanaan pembangunan di daerah.
Kerangka Hubungan Fungsi Pelaksanaan Hibah ke Daerah

Kementrian Keuangan
KPA - HPD

Verifikasi
Kementrian Teknis

11.Kebijakan Investasi Daerah

Investasi daerah yaitu penempatan sejumlah dana/barang dalam jangka panjang


(12 bulan atau lebih) oleh pemda untuk memperoleh manfaat lainnya (PP No1 tahun
2008 tentang investasi pemerintah). Penempatan dana dan/atau barang tersebut dalam
bentuk penyertaan modal pemda dan pemberian pinjaman daerah pada sisi pengeluaran
pembiayaan dalam APBD (below the line)

Penyertaan modal pemda dimaksud dapat dilaksanakan apabila jumlah yang akan
disertakan dalam tahun anggaran yang bersangkutan telah ditetapkan dalam perda tentang
pernyataan modal tersebut. Penyertaan modal dan pemberian pinjaman dapat dilakukan
pemda dengan BUMN, BUMD, dan/atau badan usaha swasta (KPS) atau non KPS,
Khusus untuk KPS dananya dapat digunakan untuk pengelolaan asset daerah dan
penyediaan infrastruktur di daerah

Anda mungkin juga menyukai