Epilepsi dalam remisi (1/2 tahun) bisa tapp off = kalo epilepsi tidak muncul dalam ½ tahun,
obat nya bisa diturunkan secara perlahan sebelum dihentikan (turun ¼)
4. Sialorrhea = keadaan yang mengacu pada akumulasi saliva yang berlebihan dan
ketika saliva mengalir tidak sengaja dari mulut.pd pasien stroke
6. Ischialgia (D)
ischialgia adalah kondisi tertekannya saraf ischiadicus yang mempersarafi bokong dan
tungkai, sehingga gejala yang muncul adalah nyeri yang menjalar dari pinggang bawah
hingga ke betis. Ischialgia paling sering disebabkan oleh:
1. Herniasi nukleus pulposus atau "saraf terjepit", biasanya disertai rasa kesemutan
dan kaku pada tungkai
2. Cedera otot, akibat overused atau penarikan otot yang berlebihan secara
berulang
3. Stenosis spinal, atau penebalan celah terbuka tulang belakang --> saraf di
sekitarnya tertekan
4. Sindrom piriformis, penekanan saraf skiatik oleh otot piriformis di punggung -->
menimbulkan sekumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri dan hilang
keseimbangan pada pinggul, bokong, dan kaki. Gejala diperberat dengan
berjalan atau jongkok
7. Stroke infark
Cerebrovascular Accident (Stroke)
Merupakan sindrom klinis yang terdiri dari defisit neurologis, baik fokal maupun global, yang
terjadi secara tiba- tiba, dengan progresivitas yang cepat, yang berlangsung 24 jam atau lebih.
terdapat dua jenis stroke iskemik berdasarkan penyebabnya, yaitu:
1. Stroke Thrombosis
2. Stroke emboli
3. Stroke kriptogenik
4. Stroke kriptogenik merupakan stroke akibat oklusi mendadak pembuluh
intrakranium besar tanpa penyebab yang jelas
Terdapat dua jenis faktor risiko yang membuat seseorang rentan terkena stroke, yaitu
faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi.
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi berkaitan dengan usia, jenis kelamin, suku
dan etnis, riwayat keluarga yang terkena stroke, riwayat memiliki sakit kepala migrain
dan penyakit fibromuscular dysplasia.
Sementara itu, faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan dapat dihindari adalah:
● darah tinggi
● diabetes
● penyakit jantung (atrial fibrilasi, penyakit katup jantung, gagal jantung,
pembesaran atrium dan ventrikel, dan sebagainya)
● hiperkolesterolemia
● Transient Ischemic Attack (TIA)
● stenosis arteri karotid
● obesitas
● penggunaan kontrasepsi oral atau terapi hormon post-menopause
gaya hidup: konsumsi alkohol berlebih, merokok, gaya hidup tidak aktif, dan
sebagainya
● dan lain-lain
● Face drooping, saat wajah seseorang lebih ‘turun’ atau terasa mati rasa pada
satu sisi. Gejala ini juga bisa tampak saat tersenyum (senyum tampak
asimetris) atau menjulurkan lidah (lidah miring ke satu sisi saat dijulurkan).
● Arm weakness, kelemahan pada salah satu tangan ditandai dengan rasa
lemas, kesulitan mengangkat tangan, ataupun mati rasa.
● Speech problems, masalah bicara –misalnya pelo atau tidak bisa bicara
dengan jelas.
● Time to call 911, segera hubungi fasilitas kesehatan terdekat atau bawa
penderita ke rumah sakit.
8. Vertigo
Vertigo subtipe dizziness yang secara definitif merupakan ilusi gerakan dan perasaan
atau sensasi tubuh yang berputar terhadap lingkungan atau sebaliknya
Etiologi :
- Abnormalitas organ vestibular, visual ataupun sistem proprioseptif
- Neoplasma
- Infeksi
- Tumor pada cerebello
-pontine
- Iskemia atau infark
- Proses demielinisasi
9. Neuropati DM
Neuropati diabetik adalah gangguan saraf akibat penyakit diabetes yang ditandai dengan kesemutan,
nyeri, atau mati rasa. Meski dapat terjadi pada saraf di bagian tubuh mana pun, neuropati diabetik lebih
sering menyerang saraf di kaki.
National Diabetes Information Clearinghouse tahun 2013 mengelompokkan neuropati diabetik berdasar
letak serabut saraf yang terkena lesi menjadi:
1) Neuropati Perifer Neuropati Perifer merupakan kerusakan saraf pada lengan dan tungkai. Biasanya
terjadi terlebih dahulu pada kaki dan tungkai dibandingkan pada tangan dan lengan. Gejala neuropati
perifer meliputi:
a) Mati rasa atau tidak sensitif terhadap nyeri atau suhu
b) Perasaan kesemutan, terbakar, atau tertusuk-tusuk
c) Nyeri yang tajam atau kram
d) Terlalu sensitif terhadap tekanan bahkan tekanan ringan
e) Kehilangan keseimbangan serta koordinasi
2) Neuropati Autonom
Neuropati autonom adalah kerusakan pada saraf yang mengendalikan fungsi jantung, mengatur tekanan
darah dan kadar gula darah. Selain itu, neuropati autonom juga terjadi pada organ dalam lain sehingga
menyebabkan masalah pencernaan, fungsi pernapasan, berkemih, respon seksual, dan penglihatan.
3) Neuropati Proksimal
Neuropati proksimal dapat menyebabkan rasa nyeri di paha, pinggul, pantat dan dapat menimbulkan
kelemahan pada tungkai.
4) Neuropati Fokal
Neuropati fokal dapat menyebabkan kelemahan mendadak pada satu atau sekelompok saraf, sehingga
akan terjadi kelemahan pada otot atau dapat pula menyebabkan rasa nyeri. Saraf manapun pada bagian
tubuh dapat terkena, contohnya pada mata, otot-otot wajah, telinga, panggul dan pinggang bawah, paha,
tungkai, dan kaki
Diagnosis
11. Bifosfonat
adalah kelompok obat untuk menangani penyakit osteoporosis. Obat ini juga
digunakan dalam pengobatan penyakit Paget dan tingginya kadar kalsium di
dalam darah (hiperkalsemia) akibat kanker yang sudah menyebar ke tulang.
Sel tulang selalu mengalami proses regenerasi oleh sel osteoblas dan osteoklas.
Osteoblas akan membentuk jaringan tulang dengan menggunakan mineral, sedangkan
osteoklas berperan untuk menghancurkan jaringan tulang dan melakukan reabsorpsi
atau penyerapan kembali mineral, sehingga bisa digunakan kembali.
Bisfosfonat bekerja dengan cara menghambat proses resorpsi tulang oleh osteoklas,
sehingga menurunkan risiko hilangnya masa tulang, meningkatkan kepadatan tulang,
memperkuat jaringan tulang, dan menurunkan risiko terjadinya patah tulang.
Efek samping utama yang mungkin muncul setelah mengkonsumsi bifosfonat tablet
adalah sakit perut atau heartburn. Guna mencegah efek samping tersebut, hindari
berbaring atau membungkuk selama 30–60 menit setelah minum obat ini.
Secara umum, efek samping lain yang dapat muncul setelah penggunaan obat
bifosfonat adalah:
12. Hiponatremia
Hiponatremia adalah kelainan elektrolit yang disebabkan oleh kelebihan air tubuh total
dibandingkan natrium tubuh total. Konsentrasi serum natrium tidak bergantung pada total
natrium tubuh tetapi rasio zat terlarut tubuh total (misalnya, total natrium tubuh dan total kalium
tubuh) terhadap total air tubuh. Pada kondisi normal, kadar natrium dalam darah adalah 135–
145 mEq/liter (miliequivalen per liter). Seseorang dengan kadar natrium kurang dari 135
mEq/liter dianggap mengalami hiponatremia. Penurunan kadar natrium ini dapat disebabkan
oleh berbagai macam faktor, antara lain
Penyebab Hypovolemic Hyponatremia (TBW menurun
lebih dari penurunan total sodium tubuh)
· Kehilangan cairan gastrointestinal (diare atau muntah)
· Jarak ketiga cairan (pankreatitis, hipoalbuminemia, obstruksi usus kecil)
· Diuretik
· Diuresis osmotik (glukosa, manitol)
· Nefropati yang membuang garam
· Sindrom pemborosan garam otak (pemborosan garam urin, kemungkinan
disebabkan oleh peningkatan peptida natriuretik otak)
· Defisiensi mineralokortikoid
Penyebab Hiponatremia Hipervolemik (peningkatan TBW lebih besar dari peningkatan total
natrium tubuh)
· Penyebab ginjal (gagal ginjal akut, gagal ginjal kronis, sindrom nefrotik)
· Penyebab ekstrarenal (gagal jantung kongestif, sirosis)
· Iatrogenik
Penyebab Hiponatremia Euvolemik (TBW meningkat dengan total natrium tubuh stabil)
· Pelepasan vasopresin patologis nonosmotik dapat terjadi pada pengaturan status
volume normal, seperti pada hiponatremia euvolemik.
Penyebab hiponatremia euvolemik meliputi:
· Obat-obatan, seperti yang disebutkan di bawah ini.
· Sindrom hormon antidiuretik yang tidak sesuai (SIADH)
· penyakit Addison
· Hipotiroidisme
· Asupan cairan yang tinggi dalam kondisi seperti polidipsia primer; atau potomania,
disebabkan oleh asupan zat terlarut yang rendah dengan asupan cairan yang relatif
tinggi
· Tes medis terkait cairan berlebihan seperti kolonoskopi atau kateterisasi jantung
· Iatrogenik
Banyak obat menyebabkan hiponatremia dan yang paling umum termasuk:
· Analog vasopresin seperti desmopresin dan oksitosin
· Obat-obatan yang merangsang pelepasan vasopresin atau mempotensiasi efek
vasopresin seperti inhibitor reuptake serotonin selektif dan antidepresan lain morfin
dan opioid lainnya
· Obat-obatan yang mengganggu pengenceran urin seperti diuretik thiazide
· Obat yang menyebabkan hiponatremia seperti carbamazepine atau analognya,
vincristine, nikotin, antipsikotik, klorpropamid, siklofosfamid, obat antiinflamasi
nonsteroid
· Obat-obatan terlarang seperti methylenedioxymethamphetamine (MDMA atau
ekstasi
Gejala:
· Nausea and vomiting
· Headache
· Confusion
· Loss of energy, drowsiness and fatigue
· Restlessness and irritability
· Muscle weakness, spasms or cramps
· Seizures
· Coma
Tatalaksana:
1. Hiponatremia Simtomatik Akut
· Hiponatremia bergejala berat: Berikan natrium klorida 3%; 100 mL bolus intravena
(IV) (ulangi hingga dua kali jika gejalanya menetap).
· Hiponatremia simtomatik ringan hingga sedang: Natrium klorida 3%, infus lambat
(gunakan rumus defisit natrium untuk menghitung laju infus tetapi hitung ulang laju
dengan pemantauan natrium yang sering).
2. Hiponatremia asimtomatik kronis
· Hiponatremia hipovolemik: Pemberian cairan isotonik dan menahan diuretik apa pun.
· Hiponatremia hipervolemik: Obati kondisi yang mendasarinya, batasi garam dan
cairan, dan berikan diuretik loop.
· Hiponatremia euvolemik: Pembatasan cairan hingga kurang dari 1 liter per hari
16. Ependimoma
Tumor intrakranial
17. PF Rosolimo
18. Faktor resiko stroke recurrent
21. Nistagmus
Kelas 2 Sakit kepala sedang hingga berat, kelumpuhan saraf kranial, kaku
kuduk tetapi tidak ada defisit neurologis lainnya
26. Epilepsi
a. Definisi
Suatu penyakit yg ditandai dgn adanya kecendurungan timbulnya kejang
berkesinambungan dgn konsekuensi neurobiologi, kesadaran psikologi, dan sosial pada
kondisi.
b. Etiologi
- Genetic, structural
- Metabolic, immune
- Infectious, unknown
c. Patofisiologi
- Ketidakseimbangan eksitasi & inhibisi
- Mekanisme sinkronisasi
- epileptogenesis
d. Klasifikasi
PARSIAL
- Kejang parsial simpel
Tidak kehilangan kesadaran, anggota tubuh menyentak, sensasi kesemutan,
pusing, dan kilatan cahaya.
- Kejang parsial kompleks
Kejang focal memengaruhi kesadaran pengidapnya, linglung, pandangan
kosong, gangguan menelan, mengunyah, menggosok-gosokkan tangan.
GENERALIZED
- Kejang tonik
Tubuh kaku selama beberapa detik, otot ekstremitas berkedut
- Kejang atonik
Otot tubuh tiba-tiba relax, pasien bisa jatuh tanpa kendali
- Kejang klonik
Gerakan menyentak ritmis biasanya di leher, wajah, lengan
e. Pemeriksaan
- EEG / elektroensefalogram : liat aktivitas listrik di otak
- PDL : cek tanda infeksi / masalah kesehatan lain
- MRI
f. Obat
- Fenitoin (Na chanel blocker)
- Asam valproat
- Carbamazepine
- lamotrigine
28. Clonus
https://www.youtube.com/watch?v=A67Od2Z_TpQ
31. ICH
Perdarahan intraserebral (ICH) disebabkan oleh pendarahan di dalam jaringan otak itu
sendiri.
Akibat infeksi parasit toxoplasma gondii. MRI dilihat adanya kista parasit pada
otak, pemeriksaan antibodi untuk deteksi kadar antibodi IgG & IgM spesifik toxo.
Kondisi ini paling umum terjadi pada wanita di atas usia 50 tahun dan berisiko lebih tinggi
terkena jika menderita diabetes, hipotiroid, atau artritis reumatoid.
Gejala :
TF dapat berkembang dari ringan hingga parah dan meliputi:
Penyebab :
Tendon adalah tali kuat yang melekatkan otot ke tulang. Setiap tendon dikelilingi oleh selubung
pelindung. Trigger finger terjadi ketika selubung tendon jari yang terkena mengalami iritasi dan
bengkak. Hal ini mempersulit tendon untuk meluncur melalui sarungnya.
Faktor Resiko :
Faktor-faktor yang membuat berisiko terkena TF meliputi:
● Mencengkeram berulang kali. Pekerjaan dan hobi yang melibatkan penggunaan tangan
secara berulang dan mencengkeram dalam waktu lama dapat meningkatkan risiko jari
pelatuk.
● Masalah kesehatan tertentu. Orang yang menderita diabetes atau artritis reumatoid
berisiko lebih tinggi terkena trigger finger.
● Jenis kelamin. TF lebih sering terjadi pada wanita.
Komplikasi :
TF dapat mempersulit mengetik, mengancingkan baju, atau memasukkan kunci ke dalam
gembok. Ini juga dapat memengaruhi kemampuan untuk memegang setir atau memegang alat.
Terapi :
Jika perawatan diperlukan, beberapa opsi tersedia, termasuk:
37. Thalamus
Definisi :
Talamus mengapit ventrikel III dan terbagi menjadi 3 daerah utama oleh lamina medulari interna
yang berbentuk seperti huruf Y yaitu nuklei anterior di bagian sudut bentuk Y, nuklei
ventrolateralis (nukleus lateralis dan medialis) di bagian lateral dan nuklei medialis dibagian
medial.
Fungsi :
● Talamus merupakan titik pertemuan subkortikal terbesar untuk semua impuls sensorik
proprioseptif dan eksteroseptif.
● Talamus merupakan stasiun relay semua impuls reseptor sensorik kutaneus dan viseral,
impuls auditorik dan visual, impuls dari hipotalamus, serebelum dan formasio retikularis
batang otak. Semua impuls ini diproses di talamus sebelum ditransmisikan ke struktur
lainnya yaitu sebagian kecil ke striatum dan sebagian besar ke kortek serebri.
● Talamus merupakan pusat integrasi dan koordinasi keempat impuls aferen berbagai
modalitas dari regio tubuh berbeda diintegrasikan di talamus dan diberikan pewarnaan
afektif.
● Talamus memodulasi fungsi motorik melalui lengkung umpan balik dengan kortek
motorik, basal ganglia dan serebelum.
● Beberapa nuklei talami merupakan komponen ARAS yaitu sistem kewaspadaan spesifik
yang berasal dari nukleus yang secara difus terletak di sepanjang formasio retikularis
batang otak. Impuls pengaktivasi ARAS dihantarkan dari nukleus ventralis anterior,
intralaminaris (terutama sentromedian) dan nukleus retikularis ke seluruh neokortek.
ARAS yang intak penting untuk kesadaran normal.
Indikasi:
sebagai terapi tambahan pada diet untuk mengurangi peningkatan kolesterol total, c-LDL,
apolipoprotein B dan trigliserida pada pasien dengan hiperkolesterolemia primer; kombinasi
hiperlipidemia; hiperkolesteolemia heterozigous dan homozigous familial ketika respon terhadap
diet dan pengukuran non farmakologi lainnya tidak mencukupi.
Kontraindikasi :
Efek Samping :
● Efek samping pada tubuh, seperti pembengkakan wajah, demam, kaki di area leher,
nyeri dada, serta tubuh terasa lelah dan tidak nyaman.
● Efek samping pada organ pencernaan, seperti mual dan muntah, mulut kering,
anoreksia, ulkus lambung, peradangan dinding lambung, diare, feses berwarna gelap,
atau penyakit kuning.
● Efek samping pada sistem pernapasan, seperti bronkitis, pneumonia, asma, keluarnya
darah dari hidung, sesak napas, atau iritasi di dalam lapisan hidung (rhinitis).
● Efek samping pada sistem saraf, seperti pusing, amnesia, penurunan gairah seksual,
depresi, mood swing, insomnia, kesemutan, penurunan kesadaran, gerakan tidak
normal pada tubuh, gangguan koordinasi gerak, atau ketegangan otot.
● Efek samping pada otot, tulang, dan sendi, seperti kram tungkai, peradangan pada
jaringan tulang rawan, peradangan pada bantalan sendi, melemahnya otot tubuh akibat
gangguan saraf, nyeri otot, atau peradangan pada serabut otot.
● Efek samping pada kulit, seperti kulit kering, keringat berlebih, jerawat, eksim kulit, gatal-
gatal, peradangan pada kulit, biduran, atau luka terbuka pada kulit.
● Efek samping pada sistem reproduksi, seperti infeksi saluran kemih, impotensi, batu
ginjal, pembengkakan payudara, kencing darah, adanya protein dalam urine, nyeri saat
berkemih, atau kesulitan buang air kecil.
● Efek samping pada panca indera, seperti mata kering, glaukoma, kehilangan
kemampuan perasa, gangguan perkembangan penglihatan, atau telinga berdenging.
● Efek samping pada sistem peredaran darah, seperti migrain, hipertensi, gangguan detak
jantung, jantung berdebar, pelebaran pembuluh darah, pingsan, darah rendah,
peradangan pembuluh darah, atau nyeri dada akibat jantung koroner.
Mekanisme Obat :
Atorvastatin menurunkan kolesterol dalam plasma dan menurunkan kadar lipoprotein dengan
cara menghambat HMG-CoA reductase dan menghambat sintesis kolesterol di hati, serta
meningkatkan reseptor LDL pada permukaan sel hati, sehingga terjadi peningkatan ambilan
dan katabolisme kolesterol LDL.
Dosis :
Central post stroke pain (CPSP) adalah sebuah sindrom nyeri neuropatik yang mungkin terjadi
setelah serangan stroke. Sindrom nyeri ini ditandai dengan sensasi nyeri dan abnormalitas
sensorik pada bagian tubuh yang sesuai dengan wilayah otak yang mengalami kerusakan
karena lesi serebrovaskular. Kemunculan sensory loss dan tanda hipersensitivitas dalam area
yang terasa nyeri pada pasien dengan CPSP mungkin mengindikasikan adanya kombinasi
deaferensiasi dan hipereksitabilitas neuronal
Faktor Resiko :
Faktor risiko yang diketahui adalah lesi pada tingkat jalur sensorik otak, seperti stroke di area
talamus.
Gejala :
Terapi :
40. Sialorrhea
Definisi :
Sialorrhea, juga dikenal sebagai drooling atau ptyalis, adalah gejala yang melemahkan yang
terjadi ketika ada kelebihan air liur di mulut melebihi batas bibir. Drooling umum terjadi pada
bayi yang berkembang normal tetapi mereda antara usia 15 hingga 36 bulan dengan
terbentuknya kontinensia saliva. Itu dianggap tidak normal setelah usia 4 tahun. Sialorrhea
patologis dapat menjadi fenomena terisolasi karena hipersalivasi atau terjadi bersamaan
dengan beberapa gangguan neurologis seperti amyotrophic lateral sclerosis (ALS), cerebral
palsy (CP), penyakit Parkinson (PD), atau sebagai efek samping obat.
Etiologi :
Sialorrhea dapat disebabkan oleh peningkatan produksi air liur (idiopatik atau obat-induksi) atau
terkait dengan kegagalan mekanisme yang membersihkan dan mengeluarkan air liur dari
rongga mulut. Gangguan koordinasi otot orofasial dan palatum-lingual merupakan salah satu
mekanisme yang dapat menyebabkan pooling saliva di bagian anterior mulut. Pada akhirnya,
inkoordinasi otot menghambat inisiasi refleks menelan, sehingga selanjutnya mengganggu jalur
air liur dari mulut ke orofaring. Sekresi saliva diatur melalui lengkungan refleks yang memiliki
berbagai pengaruh. Cabang aferen terdiri dari kemoreseptor pada kuncup pengecap dan
mekanoreseptor pada ligamen periodontal. Persarafan aferen saraf kranial V, VII, IX dan X juga
berperan dengan membawa impuls ke inti saliva di medula oblongata. Pengaruh eferen
terutama parasimpatis melalui saraf kranial VII yang mengendalikan kelenjar submandibular,
sublingual, dan kelenjar minor lainnya, dan CN IX yang mempengaruhi kelenjar parotid.
Terapi :
Sialorrhea dikenal sulit diobati. Manajemen dapat konservatif atau lebih invasif. Perawatan
konservatif termasuk perubahan pola makan atau kebiasaan, latihan motorik oral, perangkat
intra-oral seperti perangkat pelatihan palatal, dan perawatan medis seperti obat atau suntikan
toksin botulinum. Modifikasi perilaku telah dianjurkan selama beberapa dekade tetapi hasilnya
tidak konsisten dan memakan waktu. Perawatan yang lebih invasif termasuk pembedahan atau
radiasi. Sementara kasus bedah tampaknya menawarkan hasil yang lebih permanen, mereka
invasif dan bukannya tanpa efek samping. Radiasi sekarang jarang diterapkan dan biasanya
diperuntukkan bagi pasien lanjut usia yang bukan kandidat untuk pembedahan dan tidak dapat
mentolerir terapi medis.
Definisi :
Perdarahan intracerebral adalah perdarahan spontan yang bukan disebabkan oleh trauma,
yang darahnya masuk parenkim otak membentuk hematoma. Akibat perdarahan, terjadi
hematoma intracerebral yang mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dan
penekanan pada jaringan otak sekitar yang menyebabkan terjadinya defisit neurologis. Apabila
tidak diatasi dengan cepat, dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan.
Faktor resiko :
Gejala :
● kelemahan tiba-tiba, kesemutan, atau kelumpuhan di wajah, lengan, atau kaki, terutama
jika hanya terjadi pada satu sisi tubuh Anda
● sakit kepala parah yang terjadi secara tiba-tiba
● kesulitan menelan
● masalah dengan penglihatan di satu atau kedua mata
● kehilangan keseimbangan dan koordinasi, pusing
● kesulitan dengan keterampilan bahasa (membaca, menulis, berbicara, memahami)
● mual, muntah
● apatis, mengantuk, lesu, kehilangan kesadaran
● kebingungan, delirium
Terapi :
42. Afasia
-global
-Motorik
-sensorik
-transkortikal motorik
-transkortikal sensorik
-anomia
Dibaca disini : Referat – Afasia | txt-from-yan
Indikasi :
mengobati penyakit pembuluh darah perifer
Kontraindikasi :
Hipersensitivitas pada Pentoxifylline, xanthine metil lainnya. Perdarahan retina otak dan luas,
serangan jantung akut, aritmia jantung berat.
Efek Samping :
Efek samping mungkin terjadi selama penggunaan trental adalah reaksi alergi berat, angina,
hipotensi sementara, pengurangan perfusi arteri koroner, aritmia, sakit kepala, pusing, tremor,
gugup, kantuk, susah tidur, agitasi, gangguan tidur, takikardia (detak jantung cepat), mual,
muntah, ketidaknyamanan ulu hati, perut kembung, sembelit, diare, pencernaan yang
terganggu, hipersalivasi, bronkospasme (pengetatan otot-otot yang melapisi saluran udara),
peningkatan transaminase, trombositopenia, leukopenia / neutropenia, perdarahan, ruam,
eritema, pruritus, urtikaria.
Mekanisme Obat :
Pentoxifilin dapat mencegah agregasi eritrosit dan platelet, meningkatkan fleksibilitas eritrosit,
mengurangi konsentrasi fibrinogen, dan merangsang fibrinolisis. Sehingga pentoksifilin
bermanfaat untuk menurunkan kekentalan darah dan memperbaiki rheology darah
Dosis :
Dosis umum 400 mg 3 x sehari, dapat dikurangi menjadi 400 mg 2 x sehari sesuai toksisitas.
Definisi :
adalah sindrom nyeri neuropatik dengan karakter berupa nyeri yang menetap dalam hitungan
bulan sampai tahun setelah penyembuhan ruam infeksi herpes zoster (HZ)
Gejala :
● Nyeri
Rasa sakit yang terkait dengan neuralgia postherpetik biasanya digambarkan sebagai
rasa terbakar, tajam, dan menusuk, atau sakit yang mendalam.
● Sensitivitas terhadap sentuhan ringan
Orang yang memiliki neuralgia postherpetik sering tidak tahan terhadap sentuhan ringan
bahkan sentuhan pakaian pada kulit yang terkena.
● Gatal dan mati rasa
Neuralgia postherpetik dapat menyebabkan perasaan gatal atau mati rasa.
● Kelemahan atau kelumpuhan
Dalam kasus yang jarang terjadi, penderita neuralgia postherpetik mungkin juga
mengalami kelemahan otot atau kelumpuhan jika saraf yang terlibat merupakan saraf
yang mengontrol gerakan otot.
Faktor Resiko :
usia lanjut, keadaan imunosupresi, gejala prodromal pada infeksi herpes zoster, neuralgia
herpetik akut yang berat, derajat keparahan herpes zoster , lokasi lesi herpes zoster, penderita
yang tidak mendapat terapi antivirus, status imunokompromais, jenis kelamin wanita.
Terapi :
46. Allodynia
Definisi :
Sensasi rasa sakit tidak biasa pada kulit karena kontak sederhana yang biasanya tidak
menimbulkan rasa sakit. Pada orang biasa, sentuhan seperti kulit menyentuh benda yang ada
di sekitar atau ketika orang lain mengusapnya, namun pada penderita allodynia, kontak ini
menyebabkan sakit luar biasa.
Faktor Resiko :
● Fibromialgia. Kondisi yang menimbulkan nyeri otot dan sendi di sekujur tubuh. Kondisi
ini berhubungan dengan cara otak memproses sinyal rasa sakit dari tubuh. Gejala
lainnya meliputi gelisah, depresi, sulit berkonsentrasi, sulit tidur, dan kelelahan.
● Migrain. Kondisi ini adalah jenis sakit kepala yang menimbulkan nyeri yang intens pada
satu sisi kepala. Gejala lain yang timbul antara lain sangat sensitif terhadap cahaya atau
suara, perubahan dalam penglihatan, dan mual. Perubahan pada sinyal saraf dan
aktivitas kimiawi di otak dapat memicu sakit kepala ini. Dalam beberapa kasus,
perubahan tersebut dapat menyebabkan allodynia.
● Neuropati perifer. Kondisi ini terjadi ketika saraf yang menghubungkan tubuh ke
sumsum tulang belakang dan otak mengalami kerusakan. Neuropati perifer dapat
diakibatkan oleh berbagai kondisi medis serius, contohnya komplikasi diabetes.
● Postherpetic neuralgia. Kondisi ini merupakan komplikasi penyakit herpes zoster, yang
disebabkan oleh virus varicella zoster. Penyakit ini dapat merusak saraf dan
menyebabkan postherpetic neuralgia. Salah satu gejalanya adalah sensitivitas yang
meningkat terhadap sentuhan.
Jenis :
● Allodynia taktil. Rasa sakit yang disebabkan oleh sentuhan. Hal ini dapat mencakup
pakaian yang menekan kulit (seperti pakaian ketat, ikat pinggang, tali bra, atau karet
kaos kaki), pelukan, atau sentuhan ringan di lengan.
● Allodynia mekanis. Rasa sakit pada jenis ini disebabkan oleh adanya gerakan atau
gesekan di kulit. Ini dapat terjadi misalnya saat seseorang mengeringkan tubuhnya
dengan handuk atau bahkan embusan udara di kulit.
● Allodynia termal. Rasa sakit yang disebabkan oleh suhu panas atau dingin yang tidak
cukup ekstrem untuk menyebabkan kerusakan pada jaringan tubuh.
Terapi :
Baca disini : Allodynia - StatPearls - NCBI Bookshelf
Definisi :
Cerebral palsy (CP) adalah sekelompok gangguan yang mempengaruhi kemampuan seseorang
untuk bergerak dan menjaga keseimbangan dan postur tubuh. CP adalah kecacatan motorik
yang paling umum di masa kanak-kanak. Cerebral artinya berhubungan dengan otak. Palsy
berarti kelemahan atau masalah dalam menggunakan otot. CP disebabkan oleh perkembangan
otak yang tidak normal atau kerusakan pada otak yang sedang berkembang yang memengaruhi
kemampuan seseorang untuk mengendalikan ototnya.
Faktor Resiko :
CP disebabkan oleh perkembangan otak yang tidak normal atau kerusakan pada otak yang
sedang berkembang yang memengaruhi kemampuan anak untuk mengendalikan ototnya. Ada
beberapa kemungkinan penyebab perkembangan atau kerusakan yang tidak normal. Dulu
orang mengira bahwa CP terutama disebabkan oleh kekurangan oksigen selama proses
kelahiran. Sekarang, para ilmuwan berpikir bahwa ini hanya menyebabkan sejumlah kecil kasus
CP.
Perkembangan otak yang tidak normal atau kerusakan yang mengarah ke CP dapat terjadi
sebelum kelahiran, selama kelahiran, dalam satu bulan setelah kelahiran, atau selama tahun-
tahun pertama kehidupan seorang anak, saat otak masih berkembang. CP yang berkaitan
dengan perkembangan otak yang tidak normal atau kerusakan yang terjadi sebelum atau
selama kelahiran disebut CP kongenital. Mayoritas CP (85%–90%) adalah bawaan. Dalam
banyak kasus, penyebab spesifiknya tidak diketahui. Sebagian kecil CP disebabkan oleh
perkembangan otak yang tidak normal atau kerusakan yang terjadi lebih dari 28 hari setelah
lahir. Ini disebut CP yang didapat, dan biasanya dikaitkan dengan infeksi (seperti meningitis)
atau cedera kepala.
Gejala :
● Pada Bayi Lebih Muda Dari Usia 6 Bulan
○ Kepalanya tertinggal saat Anda mengangkatnya saat dia berbaring telentang
○ Dia merasa kaku
○ Dia merasa terkulai
○ Saat digendong di lengan Anda, dia tampak meregangkan punggung dan
lehernya, terus-menerus bertindak seolah-olah dia mendorong menjauh dari
Anda
○ Saat Anda mengangkatnya, kakinya menjadi kaku dan menyilang atau
menggunting
○ ibu menggendong anak perempuan
● Pada Bayi Usia Lebih Dari 6 Bulan
○ Dia tidak berguling ke kedua arah
○ Dia tidak bisa menyatukan tangannya
○ Dia mengalami kesulitan membawa tangannya ke mulutnya
○ Dia menjangkau hanya dengan satu tangan sambil mengepalkan tangan lainnya
● Pada Bayi Usia Lebih Dari 10 Bulan
○ Dia merangkak dengan cara miring, mendorong dengan satu tangan dan kaki
sambil menyeret tangan dan kaki yang berlawanan
○ Dia berguling-guling dengan pantatnya atau melompat berlutut, tetapi tidak
merangkak dengan empat kaki
Jenis :
Ada empat jenis utama CP
○ Diplegia / diparesis spastik ― Pada CP jenis ini, kekakuan otot terutama terjadi
pada kaki, dengan lengan kurang terpengaruh atau tidak terpengaruh sama
sekali. Orang dengan diplegia spastik mungkin mengalami kesulitan berjalan
karena otot pinggul dan kaki yang kencang menyebabkan kaki mereka menyatu,
berputar ke dalam, dan menyilang di lutut (juga dikenal sebagai scissoring).
○ Spastic hemiplegia/hemiparesis―Tipe CP ini hanya mempengaruhi satu sisi
tubuh seseorang; biasanya lengan lebih terpengaruh daripada kaki.
○ Quadriplegia spastik/quadriparesis― Quadriplegia spastik adalah bentuk CP
spastik yang paling parah dan memengaruhi keempat tungkai, tubuh, dan wajah.
Orang dengan spastic quadriparesis biasanya tidak dapat berjalan dan seringkali
memiliki cacat perkembangan lainnya seperti cacat intelektual; kejang; atau
masalah dengan penglihatan, pendengaran, atau ucapan.
Terapi :
Tidak ada obat untuk CP, tetapi pengobatan dapat meningkatkan kehidupan mereka yang
memiliki kondisi tersebut. Penting untuk memulai program pengobatan sedini mungkin.
Setelah diagnosis CP dibuat, tim profesional kesehatan bekerja dengan anak dan keluarga
untuk mengembangkan rencana guna membantu anak mencapai potensi penuhnya. Perawatan
umum termasuk obat-obatan; operasi; kawat gigi; dan terapi fisik, okupasi, dan wicara. Tidak
ada pengobatan tunggal yang terbaik untuk semua anak CP. Sebelum memutuskan rencana
perawatan, penting untuk berbicara dengan dokter anak untuk memahami semua risiko dan
manfaatnya.
Etiologi :
a. Gangguan Kompresi
- lesi n.peroneus communis
- Saraf sciatic
- Radikulopati lumbal → L5 biasanya
- Kompresi ekstraforaminal saraf L5-S1
b. Cedera Trauma
- Bisa cedera dislokasi lutut
- Neuropati skiatik karena cedera pinggul
c. Gangguan Neurologi
- ALS (Amyotrophic lateral sclerosis), juga dikenal sebagai penyakit neuron motorik
(MND) atau penyakit Lou Gehrig adalah penyakit neurodegeneratif yang
dimanifestasikan oleh kematian neuron motorik pada sel tanduk anterior yang
menyebabkan kelemahan otot, kesulitan berbicara dan menelan. Presentasi awal
bisa berupa penurunan kaki tanpa rasa sakit.
- Penyakit serebrovaskular (CVA) dapat muncul sebagai hemiplegia. Foot drop
adalah bagian dari presentasi ini.
- Multipleks mononeuritis didefinisikan sebagai keterlibatan satu atau lebih saraf
motorik sensorik dan perifer. Biasanya menyakitkan dan asimetris. Ini dapat
dikaitkan dengan AIDS, kusta, hepatitis, granulomatis dengan poliangiitis
(granulomatosis Wegener), dan artritis reumatoid. Kehilangan sensasi dan gerakan
dapat dikaitkan dengan disfungsi saraf tertentu. Saraf sciatic adalah salah satu
saraf yang sering terkena dalam kondisi ini. Vaskulitis arteri epineuria kecil
menyebabkan kerusakan pada akson yang mengganggu konduksi saraf dan
akhirnya menyebabkan kelemahan otot.
- Polineuropati demielinisasi inflamasi akut (AIDP/Acute Inflammatory demyelinating
polyneuropathy), juga disebut sindrom Guillain-Barré, adalah proses autoimun di
mana kelemahan motorik progresif, kehilangan sensorik, dan areflexia merupakan
presentasi yang khas. Gejala sensorik sering mendahului kelemahan motorik.
Disfungsi otonom adalah iringan umum untuk kondisi ini. Kerusakan pada selubung
mielin menyebabkan demielinasi segmental. Ciri AIDP adalah perlambatan
kecepatan konduksi saraf dan blok konduksi. Foot drop dapat menjadi bagian dari
presentasi klinis.
- Charcot-Marie Tooth (CMT) adalah neuropati perifer demielinasi kongenital primer
dan merupakan salah satu neuropati herediter yang paling umum. Ini
mempengaruhi saraf motorik dan sensorik. Insidensinya adalah 1 dalam 25.000.
Salah satu gejala utama adalah penurunan kaki dan pengecilan otot kaki bagian
bawah, memberikan penampilan khas "kaki bangau".
- Gangguan somatisasi dan reaksi konversi bukanlah penyebab umum dari foot drop.
Dalam hal pemeriksaan yang biasa-biasa saja, evaluasi psikiatri harus
dipertimbangkan. Perlu dicatat bahwa baik EMG jarum dan bagian konduksi saraf
dari studi kedokteran elektrodiagnostik akan tampak normal dalam kasus-kasus
yang buruk atau tidak ada upaya untuk dorsofleksi pergelangan kaki atau kelompok
motorik lainnya.
Patofisiologi :
Untuk memahami patofisiologi dan memperkirakan prognosis cedera saraf perifer, harus paham
klasifikasi cedera saraf. Pada tahun 1943 Seddon dan 1953, Sunderland mengusulkan
klasifikasi berikut: (1) neurapraxia, (2) axonotmesis, dan (3) neurotmesis.
1) Neurapraksia, mielin rusak, tetapi aksonnya tetap utuh. Endonerium, perineurium, dan
epineurium utuh. Konduksi impuls saraf diubah di lokasi cedera. Ini secara klinis
diterjemahkan sebagai kehilangan dan kelemahan sensorik. Dalam EMG, ini
mencerminkan latensi yang berkepanjangan dan kecepatan konduksi saraf yang lambat
melintasi segmen yang terkompresi. Cedera jenis ini pulih paling baik.
2) Aksonotmesis, akson rusak, tetapi epineurium dan perineurium tetap utuh. Saat
dirangsang, saraf ini menunjukkan defisit sensorik dan motorik di bawah lokasi cedera
saraf. Pemulihan dimungkinkan dalam jangka waktu lama tetapi mungkin tidak selalu
lengkap.
3) Neurotmesis adalah jenis cedera saraf yang paling parah. Myelin, akson, dan jaringan ikat
pendukung rusak. Degenerasi Wallerian terjadi di bagian distal dari tempat cedera. Hal ini
secara klinis tercermin sebagai defisit sensorik dan motorik. Pemulihan spontan tidak
mungkin dilakukan. Intervensi bedah, yang mungkin termasuk pencangkokan saraf atau
transfer tendon, terkadang diperlukan.
Terapi :
- Pada kasus trauma → bisa dilakukan operasi rekonstruksi saraf di 72 jam setelah cedera
- Pada kasus kompresi saraf → operasi nekrolisis dan dekompresi saraf
- Terapi konservatif → Tujuan penatalaksanaan konservatif adalah untuk menstabilkan gaya
berjalan, pencegahan jatuh dan kontraktur. Terapi fisik berfokus pada peregangan dan penguatan
otot. Teknik stimulasi listrik fleksor dorsi akhir pekan telah menjanjikan. Program latihan di
rumah harus menjadi bagian integral dari terapi- khususnya untuk menjaga kekuatan dan rentang
gerak kelompok otot yang bekerja dalam pencegahan kontraktur fleksi. Splinting digunakan
untuk meminimalkan kontraktur. Untuk kelumpuhan saraf lengkap dengan pemulihan yang tidak
memadai, ortosis pergelangan kaki (AFO/ankle-foot orthosis) untuk mencegah fleksi plantar lebih
lanjut harus dipesan.
49. Normal pressure hydrocephalus (NPH)
Definisi :
NPH adalah penumpukan abnormal cairan serebrospinal (CSF) di ventrikel otak, atau rongga.
Itu terjadi jika aliran normal CSF di seluruh otak dan sumsum tulang belakang tersumbat
dengan cara tertentu. Hal ini menyebabkan ventrikel membesar, memberi tekanan pada otak.
Hidrosefalus tekanan normal dapat terjadi pada orang dari segala usia, tetapi paling sering
terjadi pada orang tua. Ini mungkin akibat dari perdarahan subarachnoid, trauma kepala, infeksi,
tumor, atau komplikasi pembedahan.
TIK normal → 7-15 mmHg pada dewasa yang berbaring, 3-7 mmHg pada anak-anak, dan 1,5-6
mmHg pada bayi cukup umur. TIK>15 mmHg abnormal.
Patofisologi :
1) NPH idiopatik — Bila tidak ada penyebab jelas yang teridentifikasi, beberapa
kemungkinan mekanisme NPH idiopatik :
- Hidrosefalus kongenital dekompensasi
Pengamatan bahwa ukuran kepala yang lebih besar lebih umum pada pasien
dengan NPH daripada kontrol normal menunjukkan kemungkinan bahwa beberapa
pasien dengan NPH memiliki hidrosefalus kongenital yang menjadi gejala di
kemudian hari. Faktor-faktor yang secara teoritis dapat memperparah hidrosefalus
kronis dan menyebabkannya menjadi gejala termasuk hipertensi sistemik, cedera
kepala baru-baru ini, sleep apnea, gagal jantung, dan penyakit paru-paru (tiga
terakhir dengan meningkatkan tekanan vena jugularis dan tekanan intrakranial).
- Penyakit serebrovaskular
Hipertensi, penyakit arteri koroner, penyakit arteri perifer, dan faktor risiko
vaskular lainnya terjadi dengan frekuensi yang meningkat di antara pasien dengan
NPH idiopatik dibandingkan dengan kontrol yang sesuai usia dengan dan tanpa
demensia. Pasien dengan NPH juga memiliki prevalensi dan keparahan penyakit
materi putih periventrikular yang lebih tinggi dari perkiraan pada pencitraan
resonansi magnetik (MRI). Asosiasi ini telah menyebabkan beberapa orang
mengusulkan bahwa iskemia periventrikular kronis menyebabkan peningkatan
kepatuhan dinding ventrikel dan pembesaran ventrikel bertahap karena fluktuasi
normal TIK. Tekanan nadi intraventrikular dan hipertensi sistolik juga dikaitkan
dengan pembesaran ventrikel. Atau, iskemia periventrikular dapat menyebabkan
peningkatan resistensi vena lokal, yang dapat menyebabkan penurunan
penyerapan CSF dan pembesaran ventrikel.
- Penurunan penyerapan CSF
Beberapa penelitian telah menunjukkan korelasi yang baik antara penurunan
penyerapan CSF dan hasil operasi shunt. Salah satu temuan otopsi pada beberapa
pasien dengan NPH adalah penebalan arachnoid, yang terjadi pada 50 persen
kasus.
- Peningkatan tekanan vena sentral
Satu studi USG pada 20 pasien dengan NPH idiopatik menemukan bahwa
pasien lebih mungkin daripada kontrol (95 berbanding 25 persen) untuk memiliki
bukti aliran retrograde di vena jugularis internal selama Valsava. Temuan ini
menunjukkan ketidakmampuan yang mendasari katup jugularis, yang, secara teori,
dapat menyebabkan peningkatan tekanan vena sentral dan gangguan penyerapan
CSF.
- Presentasi hidrosefalik gangguan neurodegeneratif
Beberapa pasien dengan NPH kemudian didiagnosis menderita demensia
neurodegeneratif, atau memiliki bukti "patologi ganda" pada saat shunting. Kasus-
kasus seperti itu menunjukkan bahwa degenerasi saraf seperti penyakit Alzheimer
(AD) mungkin berperan dalam pembesaran ventrikel
2) Secondary NPH - Gangguan penyerapan CSF adalah mekanisme yang dicurigai dalam
kebanyakan kasus NPH sekunder.
Penyebab dasar yang teridentifikasi paling umum adalah perdarahan
intraventrikular atau subarachnoid (baik dari aneurisma atau trauma) dan meningitis
kronis akut atau berkelanjutan sebelumnya (dari infeksi, kanker, atau penyakit radang).
Penyakit Paget di dasar tengkorak, mucopolysaccharidosis meninges, dan
achondroplasia adalah penyebab lain NPH sekunder yang jarang dilaporkan. Kondisi ini
diketahui menyebabkan inflamasi dan fibrosis lanjutan di dasar otak dan/atau granulasi
arachnoid, sehingga mengganggu resorpsi CSF. Penurunan resorpsi CSF
menyebabkan akumulasi bertahap CSF dalam sistem ventrikel. Sementara peningkatan
tekanan tidak harus diukur pada pungsi lumbal, efek tekanan tetap diyakini terjadi
secara lokal pada saluran materi putih periventrikular, menghasilkan patologi dan gejala
klinis yang diamati.
Clinical features :
NPH secara klasik digambarkan memiliki tiga fitur kardinal: kesulitan berjalan/gait difficulty,
gangguan kognitif, dan inkontinensia urin. Manifestasi ini diyakini timbul dari disfungsi area
motorik tambahan dari lobus frontal dan periventrikular white matter tracts.
● Disfungsi gaya berjalan – Kesulitan berjalan adalah gambaran klinis yang paling
menonjol pada NPH. Hal ini juga diyakini sebagai gambaran klinis yang paling responsif
terhadap shunting.
Kelainan gaya berjalan NPH agak sulit untuk dikarakterisasi oleh pasien dan
dokter; itu secara bervariasi digambarkan sebagai gaya berjalan magnetis atau "lem
kaki", apraksia gaya berjalan, atau ataksia frontal. Dokter tidak boleh terpaku pada
istilah-istilah ini saat membuat diagnosis. Pasien dengan NPH bergerak perlahan dan
mengambil langkah kecil, seringkali dengan dasar yang lebar. Mereka mengalami
kesulitan untuk berbelok (misalnya, mereka mengambil beberapa langkah untuk
berbelok 180 atau 360 derajat) dan paling rentan terjatuh saat berbelok. Ketidakstabilan
postural yang ditunjukkan oleh uji tarik sering terjadi.
Parkinsonism mungkin memiliki kemiripan dengan NPH tetapi dibedakan dengan
dasar yang sempit dan responsif terhadap isyarat visual dan akustik. Gambaran lain dari
penyakit Parkinson juga dapat muncul, termasuk asimetri, tremor saat istirahat,
penurunan ekspresi wajah, dan bradikinesia pada gerakan tangan dan lengan; fitur ini
biasanya tidak ada pada pasien dengan NPH.
Tanda-tanda saluran panjang dapat diamati, dengan kelenturan ekstremitas
bawah, hiperrefleksia, dan respons plantar ekstensor. Pada tahap akhir, tanda frontal
release, akinetic mutism, dan quadriparesis dapat terjadi.
● Gangguan kognitif – Gangguan kognitif NPH berkembang selama berbulan-bulan
hingga bertahun-tahun dan biasanya berkembang setelah timbulnya disfungsi gaya
berjalan. Pasien biasanya memiliki fitur subkortikal dan frontal, termasuk:
○ Perlambatan psikomotor
○ Menurunnya perhatian dan konsentrasi
○ Gangguan fungsi eksekutif
○ Apatis
Pasien mungkin tampak depresi tetapi tidak memiliki isi pikiran yang tertekan.
Fungsi eksekutif, kemampuan untuk mengkonseptualisasikan semua aspek aktivitas
dan menerjemahkannya menjadi perilaku yang tepat dan efektif, terganggu di awal
perjalanan dan mungkin lebih resisten terhadap pengobatan. Fitur kortikal (misalnya,
afasia) kurang menonjol.
Pemeriksaan MMSE dan tes kognitif singkat lainnya mungkin merupakan ukuran
gangguan kognitif yang tidak sensitif pada NPH. Pengukuran kognitif dan tes
neuropsikologi lainnya dapat membantu dalam karakterisasinya.
● Inkontinensia urin – urgensi urin daripada inkontinensia dapat hadir pada tahap awal.
Juga, gangguan gaya berjalan NPH menunda pasien mencapai kamar mandi tepat
waktu. Pada tahap selanjutnya, inkontinensia urin disertai dengan kurangnya perhatian,
mencerminkan kemungkinan penyebabnya pada kerusakan lobus frontal.
● Notable Negatives — Menurut definisi, pasien dengan NPH memiliki tekanan
pembukaan normal pada tangki lumbal. Oleh karena itu, presentasi klinis terkenal
karena tidak adanya tanda dan gejala yang terkait dengan peningkatan tekanan
intrakranial (TIK) difus, seperti:
○ Sakit kepala
○ Mual dan muntah
○ Kehilangan visual
○ Papiledema
Jika dilakukan, temuan selama pungsi lumbal dan analisis cairan serebrospinal
(CSF) seharusnya normal; berikut ini tidak konsisten dengan diagnosis NPH idiopatik:
- Tekanan pembukaan meningkat secara signifikan (>25 cm air) [34].
- Profil CSF abnormal, termasuk pleositosis dan peningkatan protein yang nyata.
Peningkatan ringan protein dalam isolasi adalah temuan nonspesifik yang umum.
Pleositosis membutuhkan evaluasi yang ketat untuk menentukan etiologi yang
mendasarinya.
Pemeriksaan Penunjang :
MRI dan CT scan
1) Ventrikulomegali — Tanda khas NPH pada CT atau MRI adalah ventrikulomegali tanpa
adanya, atau tidak sebanding dengan, pembesaran sulkus, tanpa bukti obstruksi pada
tingkat ventrikel ketiga atau keempat.
Ventrikulomegali dianggap ada jika rasio Evans yang dimodifikasi lebih besar dari 0,31.
Ini dihitung dengan mengukur diameter maksimal tanduk frontal ventrikel lateral (pada irisan di
mana tanduk depan terbesar) hingga lebar maksimum rongga tengkorak yang diukur pada tabel
bagian dalam tengkorak pada tingkat yang sama.
Namun, ventrikulomegali tidak spesifik untuk NPH, dan langkah selanjutnya adalah
memeriksa derajat atrofi kortikal untuk membantu membedakan NPH dari pembesaran ventrikel
terkait usia atau neurodegenerasi (kadang-kadang disebut sebagai hidrosefalus ex vacuo).
Pembesaran ventrikel biasanya terjadi seiring bertambahnya usia sebagai akibat dari atrofi
kortikal progresif; tingkat pembesaran meningkat setelah usia 60 tahun. Secara umum, atrofi
yang terkait dengan usia atau demensia neurodegeneratif menghasilkan pembesaran
proporsional ukuran ventrikel dan sulkus.
(A) Gambar aksial T2-weighted pada tingkat ventrikel lateral pada pasien dengan penyakit
Alzheimer menunjukkan peningkatan ukuran sistem ventrikel sebanding dengan dilatasi sulcal,
konsisten dengan kehilangan volume parenkim otak.
(B) Gambar aksial T2-weighted pada tingkat ventrikel lateral pada pasien dengan NPH
menunjukkan dilatasi ventrikel yang tidak sebanding dengan sulkus.
2) Perubahan periventricular white matter
3) Aqueduct flow void
MRI pada pasien dengan NPH sering menunjukkan hilangnya sinyal di saluran air
Sylvius, sebuah temuan yang disebut kekosongan aliran saluran air dan dianggap mewakili
kecepatan aliran cairan serebrospinal (CSF) yang lebih tinggi dari normal di saluran air.
Treatment :
Ventricular shunting
Types of Hydrocephalus 1
Types of Hydrocephalus 2
Etiopato :
Bell palsy dianggap sebagai kelumpuhan saraf wajah idiopatik (saraf kranial ke-7 perifer).
Namun, kelumpuhan saraf wajah sekarang dianggap sebagai sindrom klinis dengan diagnosis
bandingnya sendiri, dan istilah "Bell palsy" tidak selalu dianggap identik dengan kelumpuhan
saraf wajah idiopatik. Sekitar setengah kasus kelumpuhan saraf wajah adalah idiopatik.
Mekanisme untuk apa yang sebelumnya dianggap sebagai kelumpuhan saraf wajah idiopatik
diduga pembengkakan saraf wajah karena gangguan kekebalan atau virus. Bukti saat ini
menunjukkan bahwa penyebab virus yang umum adalah : Infeksi virus herpes simpleks (paling
umum) dan Herpes zoster (mungkin yang paling umum kedua). Penyebab virus lainnya
termasuk coxsackievirus, cytomegalovirus, adenovirus, dan virus Epstein-Barr, gondok, rubella,
dan influenza B. Saraf yang bengkak dikompres secara maksimal saat melewati bagian labirin
kanal wajah, mengakibatkan iskemia dan paresis.
Berbagai gangguan lain (misalnya diabetes, penyakit Lyme, sarkoidosis) dapat
menyebabkan kelumpuhan saraf wajah. Penyakit Lyme dapat menyebabkan kelumpuhan saraf
wajah yang, tidak seperti Bell palsy, dapat bersifat bilateral. Khususnya pada orang Afrika-
Amerika, sarkoidosis merupakan penyebab umum kelumpuhan saraf wajah dan dapat bersifat
bilateral.
Otot-otot wajah dipersarafi secara perifer (inervasi infranuklear) oleh saraf kranial ke-7
ipsilateral dan secara sentral (inervasi supranuklear) oleh korteks serebral kontralateral.
Persarafan sentral cenderung bilateral untuk wajah bagian atas (misalnya, otot dahi) dan
unilateral untuk wajah bagian bawah. Akibatnya, lesi sentral dan perifer cenderung
melumpuhkan wajah bagian bawah. Namun, lesi perifer (kelumpuhan saraf wajah) cenderung
mempengaruhi wajah bagian atas lebih dari lesi sentral (misalnya, stroke).
Symptoms :
Nyeri di belakang telinga sering mendahului paresis wajah pada kelumpuhan saraf
wajah idiopatik. Paresis, seringkali dengan kelumpuhan total, berkembang dalam beberapa jam
dan biasanya maksimal dalam 48 hingga 72 jam.
Pasien mungkin melaporkan perasaan mati rasa atau berat di wajah. Sisi yang terkena
menjadi datar dan tanpa ekspresi; kemampuan mengerutkan dahi, berkedip, dan meringis
terbatas atau tidak ada. Pada kasus yang parah, fisura palpebra melebar dan mata tidak
menutup, sering mengiritasi konjungtiva dan mengeringkan kornea.
Pemeriksaan sensorik adalah normal, tetapi saluran pendengaran eksternal dan
tambalan kecil di belakang telinga (di atas mastoid) mungkin terasa sakit saat disentuh. Jika lesi
saraf proksimal ganglion geniculate, air liur, rasa, dan lakrimasi mungkin terganggu, dan
hyperacusis mungkin ada.
51. Trigeminal Neuralgia
Definisi :
Trigeminal neuralgia → Rasa nyeri tajam di daerah persarafan n. Trigeminus (N. V), dapat
merupakan suatu kondisi idiopatik ataupun simtomatik .
Etiopato :
N. Trigeminal memiliki tiga divisi utama:
- Opthalmik (V1)
- Maxila (V2)
- Mandibular (V3)
Saraf dimulai pada permukaan midlateral pons, dan ganglion sensoriknya (ganglion gasserian)
berada di Meckel cave di dasar fossa kranial tengah.
Mekanisme — Kompresi akar saraf trigeminal adalah mekanisme utama TN, tetapi lesi batang
otak hanya terjadi pada sebagian kecil kasus.
- Kompresi akar saraf trigeminal
Sebagian besar kasus TN disebabkan oleh kompresi akar saraf trigeminal,
biasanya dalam beberapa milimeter setelah masuk ke pons (zona masuk akar).
Kompresi oleh loop menyimpang dari arteri atau vena diperkirakan mencapai 80 sampai
90 persen kasus.
Penyebab lain dari TN melalui kompresi saraf termasuk schwannoma vestibular
(neuroma akustik), meningioma, kista epidermoid atau lainnya, atau, jarang, aneurisma
sakular atau malformasi arteriovenosa.
Mekanisme dimana kompresi saraf menyebabkan gejala tampaknya terkait
dengan demielinasi di daerah terbatas di sekitar kompresi. Tepatnya bagaimana
demielinasi menyebabkan gejala TN tidak sepenuhnya jelas. Lesi demielinasi dapat
membentuk generasi impuls ektopik, kemungkinan menyebabkan transmisi ephaptik.
Percakapan silang ephaptik antara serat yang memediasi sentuhan ringan dan serat
yang terlibat dalam pembentukan nyeri dapat menjelaskan presipitasi serangan nyeri
dengan stimulasi taktil ringan pada zona pemicu wajah. Selain itu, perubahan input
aferen dapat menghalangi jalur nyeri di nukleus trigeminal tulang belakang.
- Lesi multiple sclerosis dan batang otak
Demielinisasi satu atau lebih jalur saraf trigeminal juga dapat disebabkan oleh
multiple sclerosis, tumor yang terletak di sudut cerebellopontine, atau lesi struktural lain
pada batang otak. Pada multiple sclerosis, plak demielinisasi biasanya terjadi pada root
entry zone saraf trigeminal, meskipun kompresi vaskular juga telah dicatat pada pasien
ini. Tumor dari sistem saraf pusat yang mungkin hadir dengan TN termasuk
meningioma, karsinoma sel skuamosa, limfoma, dan schwannoma.
- Sensitisasi sentral
Bukti peran mekanisme nyeri sentral meliputi adanya periode refraktori setelah
episode yang dipicu, rangkaian sensasi nyeri setelah satu stimulus, dan latensi dari
waktu stimulasi hingga timbulnya nyeri. Selain itu, bukti elektrofisiologi dari sensitisasi
sentral dari proses nosiseptif trigeminal telah diamati pada beberapa pasien dengan TN
yang mengalami nyeri wajah kronis bersamaan.
Clinical features :
● Distribusi trigeminal – Nyeri TN sangat terbatas pada distribusi saraf trigeminal. Nyeri
paling sering melibatkan subdivisi V2 dan/atau V3 dari saraf trigeminal. Namun,
keterlibatan terisolasi dari subdivisi V1 terjadi pada <5 persen pasien dengan TN.
● Nyeri paroksismal - Nyeri TN cenderung terjadi pada paroksismal dan maksimal pada
atau dekat onset. Kejang otot wajah dapat dilihat dengan rasa sakit yang parah. Temuan
ini memunculkan istilah yang lebih tua untuk gangguan ini, tic douloureux. Rasa sakitnya
sering digambarkan sebagai sengatan listrik, seperti sengatan, atau menusuk. Biasanya
berlangsung dari satu hingga beberapa detik, tetapi dapat terjadi berulang-ulang, mulai
dari 0 hingga lebih dari 50 kali sehari. Sebuah periode refraktori beberapa menit di mana
paroxysm tidak dapat diprovokasi adalah hal biasa. Beberapa pasien dengan TN jangka
panjang mungkin mengalami nyeri tumpul terus-menerus yang muncul di antara nyeri
paroksismal. Tidak seperti beberapa sindrom nyeri wajah lainnya, TN biasanya tidak
membangunkan pasien di malam hari.
● Unilateral – TN biasanya unilateral. Kadang-kadang rasa sakitnya bilateral dari waktu ke
waktu, meski jarang di kedua sisi secara bersamaan. Dalam review dari 439 pasien
dengan TN, gejala unilateral pada 81 persen. Keterlibatan bilateral dapat terjadi pada
pasien dengan TN yang disebabkan oleh multiple sclerosis dan gangguan jaringan ikat
seperti sindrom Sjögren, sarkoidosis, dan lupus eritematosus sistemik.
● Zona pemicu – Hampir semua pasien dengan TN mengalami nyeri pemicu. Zona
pemicu dalam distribusi saraf yang terkena sering terjadi dan sering terletak di dekat
garis tengah. Sentuhan ringan pada zona ini sering memicu serangan, mengarahkan
pasien untuk melindungi area ini. Zona pemicu terkadang dapat ditunjukkan pada
pemeriksaan fisik. Pemicu lain dari TN paroxysms termasuk mengunyah, berbicara,
menyikat gigi, udara dingin, tersenyum, dan/atau meringis.
● Gejala otonom – Gejala otonom, biasanya ringan atau sedang, dapat terjadi bersamaan
dengan serangan TN pada distribusi trigeminal V1, termasuk lakrimasi, injeksi
konjungtiva, dan rinore. Kehadiran fitur otonom, terutama ketika menonjol atau parah,
menunjukkan sindrom serangan sakit kepala neuralgiform unilateral jangka pendek
dengan injeksi dan robekan konjungtiva (SUNCT) dan serangan sakit kepala
neuralgiform unilateral jangka pendek dengan gejala otonom (SUNA). (Lihat 'Diagnosis
diferensial' di bawah dan "Serangan sakit kepala neuralgiform unilateral jangka pendek:
Gambaran klinis dan diagnosis".)
● Nyeri terus menerus – Nyeri terus menerus di antara serangan terjadi pada banyak
pasien TN. Biasanya lebih ringan daripada serangan paroksismal dan biasanya ditandai
dengan tumpul atau kesemutan, meskipun intensitas dan kualitasnya dapat berfluktuasi
[26]. Dalam kohort yang terdiri dari 158 pasien dengan TN dari pusat sakit kepala
tersier, nyeri persisten bersamaan hadir di sekitar setengah dari pasien.
Beberapa laporan menggambarkan pasien dengan riwayat "neuralgia pretrigeminal", rasa sakit
yang tumpul, terus menerus, dan sakit di rahang yang berkembang seiring waktu menjadi TN.
Rasa sakit yang singkat dan ringan ini terkadang diduga berasal dari gigi, dan prosedur gigi
yang tidak perlu telah dilakukan pada beberapa kasus. Di sisi lain, TN dapat dicetuskan oleh
prosedur gigi (misalnya, pencabutan gigi), sehingga meningkatkan kebingungan tentang etiologi
yang tepat dari masalah ini.
Dari anamnesis :
- Serangan nyeri paroksismal berlangsung beberapa detik sampai kurang dari 2 menit.
- Nyeri dirasakan sepanjang inervasi satu atau lebih cabang n. V
Awitan nyeri yang tiba-tiba, berat, tajam seperti ditikam, panas atau kesetrum dan
superfisial.
- Alodinia (rangsangan antara lain: menggosok gigi, makan , mengunyah, mencukur, atau
mencuci wajah dan tiupan angin, bicara)
- Diantara dua serangan tidak ada rasa nyeri, jika ada hanya berupa nyeri ringan atau
tumpul.
Kriteria Diagnosis :
Untuk menegakkan diagnosis neuralgia trigeminal, IHS (International Headache Society) tahun
2005 menetapkan kriteria diagnostik untuk neuralgia trigeminal sebagai berikut :
1) Serangan nyeri paroksismal yang bertahan selama beberapa detik sampai 2 menit,
mengenai satu atau lebih daerah persarafan cabang saraf trigeminal.
2) Nyeri harus memenuhi satu dari dua kriteria berikut:
a) Intensitas tinggi, tajam, terasa di permukaan, atau seperti ditusuk- tusuk.
b) Berawal dari trigger zone atau karena sentuhan pemicu.
3) Pola serangan sama terus.
4) Tidak ada defisit neurologis.
5) Tidak ada penyakit terkait lain yang dapat ditemukan
Neuralgia trigeminal hendaknya memenuhi seluruh tersebut; minimal kriteria 1, 2, dan 3.
Tatalaksana :
52. Rhabdomiolisis
Definisi :
Rhabdomyolysis → sindrom yang ditandai dengan nekrosis otot dan pelepasan konstituen otot
intraseluler ke dalam sirkulasi.
Patofisiologi :
Jalur umum terakhir untuk cedera adalah peningkatan kalsium sitoplasma dan
mitokondria terionisasi bebas intraseluler. Hal ini mungkin disebabkan oleh penipisan adenosine
triphosphate (ATP), sumber energi seluler, dan/atau cedera langsung dan pecahnya membran
plasma. Jalur cedera yang terakhir juga menyebabkan penipisan ATP.
Peningkatan kalsium intraseluler menyebabkan aktivasi protease, peningkatan
kontraktilitas sel otot rangka, disfungsi mitokondria, dan produksi spesies oksigen reaktif, yang
mengakibatkan kematian sel otot rangka. Penipisan ATP menyebabkan disfungsi pompa
Na+/K+-ATPase dan Ca2+-ATPase yang penting untuk mempertahankan integritas miosit.
Penipisan ATP menyebabkan cedera miosit dan pelepasan konstituen otot intraseluler,
termasuk kreatin kinase (CK) dan enzim otot lainnya, mioglobin, dan berbagai elektrolit.
Mioglobin mengandung heme, yang bersifat nefrotoksik.
Klasifikasi :
Ada beberapa kemungkinan penyebab rhabdomyolysis; ini secara luas dapat dibagi menjadi
tiga kategori terkait dengan mekanisme cedera:
- Traumatik atau kompresi otot (misalnya, sindrom himpitan atau imobilisasi
berkepanjangan)
- Pengerahan tenaga nontraumatik (misalnya, pengerahan tenaga yang nyata pada
individu yang tidak terlatih, latihan eksentrik, hipertermia, atau metabolik dan miopati
lainnya)
- Non-traumatic nonexertional (misalnya, obat-obatan atau racun, infeksi, atau gangguan
elektrolit)
Rhabdomyolysis juga dapat diklasifikasikan sebagai didapat (misalnya, trauma, obat-obatan,
aktivitas fisik) atau diturunkan (misalnya, distrofi otot, gangguan metabolisme dan mitokondria,
sifat sel sabit).
Penyebab spesifik sering terbukti dari riwayat atau dari keadaan langsung sebelum
gangguan, seperti cedera remuk, keadaan koma atau postictal, trauma bedah pasca operasi,
atau aktivitas fisik yang luar biasa, seperti pada status epileptikus misalnya. Dalam kasus lain,
pencetus mungkin tidak segera terlihat tetapi diidentifikasi melalui anamnesis yang cermat,
pemeriksaan fisik, dan evaluasi laboratorium.
Clinical manifestations :
Gejala dan tanda Rhabdomyolysis ditandai secara klinis oleh tiga serangkai mialgia, kelemahan
otot, dan urin berwarna merah hingga coklat akibat mioglobinuria. Secara biokimia, beberapa
enzim otot serum meningkat, termasuk Creatinin Kinase. Tingkat nyeri otot dan gejala lainnya
sangat bervariasi. Sebagian besar gejala rhabdomyolysis tidak spesifik.
- Trias klasik — Trias karakteristik keluhan pada rhabdomyolysis adalah nyeri otot,
kelemahan, dan urine berwarna gelap. Namun, triad penuh diamati hanya pada 1
sampai 10 persen kasus.
- Otot – Jika ada, gejala otot rhabdomyolysis dapat berkembang selama berjam-jam
hingga berhari-hari.
- Nyeri – Pada pasien rawat inap dengan rhabdomyolysis, nyeri otot mempengaruhi 23
sampai 80 persen pasien. Nyeri otot, bila ada, biasanya paling menonjol pada kelompok
otot proksimal, seperti paha dan bahu, serta di punggung bawah dan betis. Gejala otot
lainnya termasuk kekakuan dan kram.
- Kelemahan – Kelemahan otot dapat terjadi tergantung pada tingkat keparahan cedera
otot dan mempengaruhi 12 sampai 70 persen pasien rawat inap dengan
rhabdomyolysis. Kelemahan biasanya terjadi pada kelompok otot yang sama yang
terkena nyeri atau bengkak, dengan tungkai proksimal paling sering terkena.
- Pembengkakan – Pembengkakan otot mempengaruhi 8 sampai 52 persen pasien
dengan rhabdomyolysis. Ketika itu terjadi, pembengkakan yang terdeteksi pada
ekstremitas umumnya berkembang dengan kelebihan cairan. Pembengkakan lebih
jarang terjadi saat masuk rumah sakit. Pembengkakan mungkin disebabkan oleh:
- Myoedema, yang non pitting dan jelas pada presentasi atau berkembang setelah
rehidrasi
- Edema perifer, yang pitting dan terjadi dengan rehidrasi (terutama pada pasien
dengan AKI)
Indurasi ekstremitas kadang-kadang ada.
- Urin — Urin berwarna gelap (merah ke coklat, "berwarna teh", "berwarna cola") adalah salah
satu tanda klasik rhabdomyolysis tetapi terjadi pada ≤10 persen kasus. Urinalisis diperlukan
untuk membedakan mioglobinuria (dari rhabdomyolysis) dari hematuria.
Patofisio :
- Pengobatan statin meningkatkan kebocoran SR Ca2+ pada otot rangka yang intak.
Kebocoran SR Ca2+ dalam bentuk percikan Ca2+ (peristiwa pelepasan Ca2+
dasar dari kelompok RyR1) adalah mekanisme miopati yang umum terjadi pada banyak
penyakit otot rangka, termasuk distrofi otot dan hipertermia maligna. Meskipun
kebocoran SR Ca2+ yang dimediasi percikan adalah penyebab yang menarik untuk
miopati yang diinduksi statin, tidak ada perubahan nyata pada karakteristik percikan
Ca2+ dengan pengobatan statin (in vivo) yang telah didokumentasikan hingga saat ini.
Namun, semua pekerjaan sebelumnya telah dilakukan pada serat otot permeabilisasi, di
mana penghambatan konstitutif RyR1 oleh magnesium dan reseptor dihydropyridine
berkurang, yang dapat menutupi efek statin. Oleh karena itu, kami mengevaluasi efek
pengobatan statin pada kebocoran SR Ca2+ pada serat otot utuh. Percikan Ca2+
dicatat dalam serat FDB bermuatan 4 fluo nonpermeabilisasi dari tikus. Seperti yang
diperkirakan, frekuensi percikan rendah pada serat utuh dari hewan kontrol. Sebaliknya,
dalam serat dari tikus yang diberi statin, percikan jauh lebih sering, dengan durasi yang
lebih lama, dan amplitudo yang lebih besar, yang menghasilkan peningkatan massa
percikan dan kebocoran Ca2+ yang dimediasi oleh percikan. Menariknya, efek statin
yang kuat pada karakteristik percikan hilang setelah permeabilisasi serat, yang
menjelaskan perbedaan dengan pekerjaan sebelumnya dan menunjukkan bahwa efek
statin dalam sel utuh bergantung pada regulasi normal RyR1 dan/atau efek dari
mediator terlarut.
- NOS dan spesies oksigen reaktif meningkatkan kebocoran SR Ca2+ dengan
pengobatan statin
Spesies nitrogen reaktif dan spesies oksigen reaktif (RNS/ROS) dapat
menjelaskan kebocoran SR Ca2+ yang diinduksi oleh statin; keduanya dapat
ditingkatkan dengan pengobatan statin, menargetkan RyR dan protein terkaitnya secara
langsung dan tidak langsung, dan memengaruhi aktivitas RyR. Penghambatan isoform
NOS dengan N(ω)-nitro-L-arginine methyl ester (L-NAME) memiliki dampak yang lebih
besar pada NO (diindeks dengan DAF-2) dalam serat FDB dari tikus yang diberi statin
daripada tikus kontrol, yang mana konsisten dengan aktivitas NOS yang lebih tinggi
pada kelompok statin. Hal ini dapat dijelaskan dengan peningkatan ekspresi NOS
endotel dan penurunan ekspresi isoform caveolin penghambat NOS Cav1. Pengamatan
ini konsisten dengan statin yang bertindak sebagai penghambat reduktase HMG CoA
dan jalur yang ditetapkan di mana produk kaskade reduktase HMG CoA mengatur
ekspresi NOS (isoprenoid) dan caveolin (kolesterol). Peningkatan aktivitas NOS secara
langsung terkait dengan kebocoran Ca2+ karena, dengan adanya L-NAME, tidak ada
lagi perbedaan (p > 0,05) dalam frekuensi atau durasi percikan Ca2+ antara serat dari
tikus kontrol dan tikus yang diberi statin. L-NAME menghambat produksi NO dan
superoksida dari NOS, yang menunjukkan peran NO, superoksida, dan/atau peroksinitrit
dalam kebocoran yang dimediasi percikan.
Pengobatan statin telah terbukti meningkatkan produksi ROS pada otot rangka.
Kami menunjukkan bahwa ROS ini berperan dalam kebocoran SR Ca2+, karena
pemulung superoksida dismutase (SOD) dan peroksinitrit Mn(III)tetrakis(1-metil-4-
piridil)porfirin (MnTMPyP) dan mimetik SOD yang ditargetkan mitokondria(2-(2,2,6,6-
Tetramethylpiperidin-1-oxyl-4-ylamino)-2-oxoethyl)triphenylphosphonium chloride
(mitoTEMPO) menghilangkan perbedaan (p > 0,05) dalam frekuensi dan durasi percikan
Ca2+ antara serat dari kontrol dan tikus yang diberi statin.
Fluks Ca2+ dua arah antara SR dan mitokondria memengaruhi fungsi SR dan
mitokondria. Mitokondria terakumulasi dekat dengan tempat pelepasan SR Ca2+ selama
maturasi otot rangka postnatal, yang memfasilitasi penyerapan Ca2+ mitokondria dan
berhubungan dengan penurunan kerentanan terhadap aktivasi percikan Ca2+.
Sebaliknya, serapan Ca2+ mitokondria yang berlebihan dapat meningkatkan percikan
Ca2+ dengan meningkatkan produksi ROS dari kompleks I dan III. Untuk mendukung
mekanisme terakhir ini, perbedaan dalam frekuensi percikan Ca2+ dan durasi antara
serat dari kontrol dan tikus yang diberi statin tidak lagi ada setelah menghambat
masuknya Ca2+ ke dalam mitokondria melalui uniporter Ca2+ mitokondria dengan
Ru360. Secara bersama-sama, dampak penghambatan NOS dengan L-NAME,
pemulung ROS, dan penghambatan uniporter Ca2+ mitokondria menunjukkan bahwa
penyerapan Ca2+ mitokondria merangsang produksi RNS/ROS, yang, pada gilirannya,
bekerja pada RyR1 untuk mempertahankan dan/atau memperburuk kebocoran SR
Ca2+.
Patofisiologi :
ANTIBODI RESEPTOR ASETILKOLIN
Delapan puluh hingga 90 persen pasien dengan myasthenia gravis memiliki autoantibodi
terhadap reseptor asetilkolin (AChR) yang dapat dideteksi dalam serum, dan antibodi ini
diyakini memainkan peran sentral dalam patomekanisme penyakit.
Tatalaksana :
- Pyridostigmine — Terapi awal untuk sebagian besar pasien dengan MG ringan sampai
sedang adalah inhibitor asetilkolinesterase oral (yaitu, antikolinesterase), biasanya
piridostigmin.
Mekanisme dan respon — Inhibitor asetilkolinesterase memperlambat degradasi asetilkolin
(ACh) yang terjadi melalui hidrolisis enzimatik pada sambungan neuromuskuler. Akibatnya,
efek ACh berkepanjangan, menyebabkan peningkatan variabel kekuatan pada pasien
dengan MG.
- Pasien dengan penyakit parah, atau penyakit yang memburuk dengan cepat, harus
diperlakukan seperti pasien dalam krisis myasthenic menggunakan terapi cepat (yaitu
intravenous immune globuline [IVIG]) diikuti dengan glukokortikoid dan imunoterapi lainnya.
FAKTOR RISIKO
● Panjang pengulangan CAG pada gen HTT,
● ketidakstabilan CAG,
● Faktor Genetik
PATOFISIOLOGI
Ada banyak teori dalam patogenesis HD, dan lebih dari satu proses dapat terjadi pada waktu
yang sama:
● Agregat neuron: Inklusi intrasitoplasma dan intranuklear yang mengandung HTT mutan
adalah komponen jalur proteolitik pada HD. Akumulasi agregat protein mutan ini dapat
menyebabkan gangguan jalur ubiquitin-proteosome.
● Disregulasi transkripsi.
● Eksitotoksisitas: Hal ini disebabkan oleh kombinasi peningkatan glutamat serta
pelepasan agonis glutamat dari aferen kortikal.
● Disfungsi mitokondria dan perubahan metabolisme energi.
● Perubahan transpor aksonal dan disfungsi sinaptik
Ajitkumar A, De Jesus O. Huntington Disease. [Updated 2022 Oct 7]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan
62. Spondilolisthesis
63. Spondilitis TB nama lainnya Pott Disease
64. Encephalitis TB
65. Giant Arachnoid Cyst
Kista arachnoid adalah kantung berisi cairan serebrospinal intrakranial yang ditutupi oleh
membran arachnoid dan ditemukan pada 1,4% orang yang menjalani MRI otak. Hanya sekitar
5% pasien dengan kista arachnoid yang memiliki gejala neurologis terkait kista. Dikatakan
bahwa pembesaran kista arachnoid meningkat volumenya dengan mekanisme katup unilateral.
umumnya dianggap formasi statis karena cenderung tidak tumbuh.
Kista arachnoid terjadi pada sekitar 1% dari semua lesi yang menempati ruang intrakranial dan
tidak memerlukan tingkat intervensi bedah yang sangat tinggi.
Klasifikasi Galassi digunakan untuk mengklasifikasikan kista arachnoid di fossa kranial tengah:
● Kista tipe I biasanya kecil dan tanpa gejala, terletak di fossa kranial tengah anterior.
● Kista tipe II meregang secara superior di sepanjang celah Sylvian dan dapat
menggantikan lobus temporal.
● Kista tipe III sangat besar, menempati seluruh fossa kranial tengah, menggantikan lobus
temporal, parietal, dan frontal. Kista dalam hal ini dapat diklasifikasikan sebagai tipe III.
TATALAKSANA
Pengobatan tergantung pada apakah pasien menunjukkan gejala. Perawatan konservatif
melibatkan pencitraan serial, sementara opsi bedah termasuk kraniotomi, penempatan shunt
cystoperitoneal, fenestrasi endoskopik, atau aspirasi stereotaktik.
https://mnj.ub.ac.id/index.php/mnj/article/view/636/561
Soonwoong Hong. 2020. A giant arachnoid cyst: Is it an innocent bystander?. Department of
Internal Medicine, YaleNew Haven Health/Bridgeport Hospital
66. Acetazolamide
Penghambat enzim karbonik anhidrase (asetazolamid) merupakan diuretika yang lemah dan
jarang digunakan untuk efek diuretikanya. Asetazolamid dan tetes mata dorzolamid
menghambat pembentukan cairan bola mata dan digunakan untuk glaukoma. Pada anak-anak,
asetazolamid juga digunakan untuk pengobatan epilepsi dan meningkatkan tekanan
intrakranial.
Bentuk Sediaan:
Tablet
Kekuatan:
250 mg
Golongan Obat:
K
Monografi:
ASETAZOLAMID
Referensi Kelas Terapi:
Simpatomimetik
Indikasi:
penurunan tekanan intraokuler dalam glaukoma sudut lebar, glaukoma sekunder, dan
perioperatif pada glaukoma sudut sempit; diuresis.
Peringatan:
obstruksi pulmoner (risiko asidosis); lansia; kehamilan; tidak dianjurkan untuk penggunaan
jangka panjang tetapi bila diberikan juga diperlukan pemantauan hitung jenis darah dan kadar
elektrolit plasma; hindari ekstravasasi pada tempat injeksi (risiko nekrosis).
Interaksi:
Kontraindikasi:
hipokalemia, hiponatremia, hyperchloraemic acidosis; gangguan fungsi hati hati berat;
gangguan fungsi ginjal (lihat Lampiran 3); hipersensitifitas terhadap sulfonamid.
Efek Samping:
mual, muntah, diare, gangguan indra pengecap; kehilangan nafsu makan, paraestesia, flushing,
sakit kepala, pusing, kelelahan, perasaan menjadi sensitif, depresi; haus, poliuria; penurunan
libido; asidosis metabolik dan gangguan keseimbangan elektrolit pada pengobatan jangka
panjang; kadang-kadang mengantuk, kebingungan, gangguan pendengaran, urtikaria, melena,
glikosuria, hematuria, gangguan fungsi hati, gangguan pada darah diantaranya agranulositosis
dan trombositopenia, ruam diantaranya sindrom Steven Johnson dan nekrolisis epidermal
toksik; jarang fotosensitifitas, kerusakan hati, flaccid paralysis, kejang; dilaporkan juga miopati
yang tidak menetap.
Dosis:
oral atau injeksi intravena 0,25-1 g/ hari dalam dosis terbagi.
Cara injeksi intramuskular seperti pada injeksi intravena tetapi lebih baik dihindari karena pH
alkalis.
67. Amlodipine+Telmistran
68. CDL <=70 -> High Risk
69. Stroke occipital
Stroke di lobus oksipital sering menyebabkan masalah penglihatan karena area otak ini
memproses masukan visual dari mata. Stroke dapat diisolasi ke lobus oksipital, atau mungkin
lebih luas, memengaruhi struktur otak terdekat seperti otak kecil, batang otak, talamus, atau
lobus temporal.
Banyak penderita stroke lobus oksipital mengalami hemianopia, atau kebutaan sebagian. Ini
dapat diperbaiki, setidaknya sampai taraf tertentu, melalui terapi pemulihan penglihatan.
Faktanya, sebuah studi baru tahun 2021 yang berfokus pada penyintas stroke lobus oksipital
menunjukkan bahwa pelatihan penglihatan yang ketat dapat membantu meningkatkan
hemianopia, bahkan berbulan-bulan setelah stroke terjadi.
CAUSE
Penyebab Stroke Lobus Oksipital Stroke terjadi ketika suplai darah di otak menjadi terganggu,
menghilangkan oksigen jaringan otak terkait. Ada dua jenis stroke. Stroke iskemik adalah yang
paling umum, mencapai 87% dari semua stroke. Stroke iskemik disebabkan oleh gumpalan
darah yang menyumbat arteri di otak. Ketika stroke iskemik terjadi di lobus oksipital, secara
formal disebut infark oksipital. Sebaliknya, stroke hemoragik disebabkan oleh pecahnya atau
pecahnya arteri di otak. Ketika arteri yang memasok darah ke lobus oksipital, yang terletak di
bagian belakang otak, terganggu, stroke oksipital terjadi. Lobus oksipital terletak di dekat otak
kecil, batang otak, lobus temporal, dan talamus. Karena berbagi arteri pemasok darah yang
sama, stroke di salah satu area ini dapat berdampak pada yang lain.
COMMON SYMPTOMS
Gejala umum stroke termasuk kelemahan pada separuh tubuh, wajah terkulai, dan bicara cadel.
Stroke lobus oksipital, bagaimanapun, mungkin tidak menyebabkan gejala-gejala ini dan
sebaliknya dapat menyebabkan gangguan penglihatan seperti penglihatan kabur, halusinasi,
atau bahkan kebutaan. Stroke khususnya di lobus oksipital jarang terjadi karena arteri di area
ini memiliki mekanisme pengaman aliran darah yang disebut "Circle of Willis". Seperti namanya,
Circle of Willis mengacu pada arteri di otak yang terhubung dalam lingkaran, memungkinkan
darah mengalir maju atau mundur untuk mengkompensasi arteri yang menyempit atau rusak.
Bahkan dengan mekanisme keamanan ini, stroke di lobus oksipital masih mungkin terjadi.
Ketika bagian otak ini atau bagian mana pun kekurangan darah yang kaya oksigen, sel-sel otak
mulai mati. Ini dapat menimbulkan komplikasi serius, menjadikan stroke sebagai keadaan
darurat medis yang memerlukan perawatan segera dan cepat.
TREATMENT
Perawatan untuk Stroke Lobus Oksipital Perawatan stroke lobus oksipital akut tergantung pada
penyebab stroke. Ketika individu datang ke rumah sakit dengan stroke iskemik, dokter dapat
menggunakan berbagai obat penghancur bekuan darah, seperti tPA atau aspirin, untuk
memulihkan aliran darah di otak. Stroke hemoragik seringkali memerlukan perawatan yang
lebih invasif seperti pembedahan (sering kali kraniotomi) untuk menghentikan pendarahan dan
mengurangi tekanan di dalam tengkorak. Mendiagnosis stroke dengan benar sangat penting
untuk perawatan yang tepat. Dokter sering memesan pemindaian CT atau MRI untuk
mengidentifikasi jenis stroke dan lokasinya sehingga dapat dilanjutkan dengan tepat. Misalnya,
sementara aspirin dapat digunakan sebagai pengobatan stroke darurat karena efek pengencer
darahnya, aspirin hanya efektif untuk stroke iskemik. Setelah stroke di lobus oksipital telah
diobati dan aliran darah normal telah pulih di otak, jalan menuju pemulihan dimulai. Para
penyintas akan berpartisipasi dalam rehabilitasi untuk mengatasi dampak sekunder yang terjadi
akibat stroke.
Efek Sekunder Stroke Lobus Oksipital Banyak stroke menghasilkan beragam efek sekunder
seperti kesulitan motorik atau kesulitan berbicara. Namun, stroke lobus oksipital cenderung
hanya memengaruhi satu fungsi spesifik: penglihatan. Karena fungsi utama lobus oksipital
adalah memproses masukan visual, stroke pada lobus oksipital dapat menyebabkan berbagai
masalah penglihatan. Penting untuk dicatat bahwa stroke lobus oksipital tidak secara langsung
memengaruhi mata, melainkan menghambat kemampuan otak untuk memproses apa yang
dilihat mata. Berikut adalah berbagai jenis masalah penglihatan yang dapat terjadi setelah
stroke lobus oksipital: Hemianopia homonim
70. Hemianopia
Homonymous hemianopia atau hemianopia homonim adalah kehilangan penglihatan pada satu
sisi lapang pandang yang sama di kedua mata.
Berdasarkan luas dan bentuk defek lapang pandangnya, terminologi yang digunakan dalam
diagnosis homonymous hemianopia adalah sebagai berikut:
● Homonymous hemianopia komplit: defek lapang pandang terjadi lengkap pada seluruh
area di separuh sisi penglihatan (seluruh hemifield)
● Homonymous hemianopia inkomplit: defek lapang pandang tidak memenuhi seluruh
area di separuh sisi penglihatan
● Quadrantanopia: defek didapatkan pada 1 kuadran lapang pandang, baik pada regio
superior maupun inferior
● Hemianopia dengan macular sparing: defek lapang pandang secara spesifik
menyisakan atau tidak melibatkan area penglihatan makula (area sentral)
Penyebab homonymous hemianopia:
Etiologi tersering pada 95% kasus adalah trauma kepala, tumor otak, serta stroke
(cerebrovascular disease). Penyebab lain yang lebih jarang adalah infeksi, malformasi
arteriovenosa, demielinasi, migrain, malformasi kongenital, cedera hipoksik atau hemoragik
perinatal, leukoensefalopati, bedah otak, eklampsia, epilepsi, toksisitas obat, dan hiperglikemia
nonketotic.
Faktor Pencetus
1. Mengunyah, bicara, atau tersenyum
2. Minum air dingin atau hangat
3. Menyentuh wajah, mencukur, menyikat gigi, atau mendengus
4. Terkena hembusan angin dingin dari jendela mobil yang terbuka
Kriteria Diagnosis
Menurut International Headache Society, trigeminal neuralgia dapat didiagnosis jika:
● A – ada serangan nyeri paroksismal yang berlangsung beberapa detik hingga 2 menit,
memengaruhi ≥1 cabang trigeminal dan memenuhi kriteria B dan C
● B – nyeri memenuhi setidaknya 1 dari karakteristik berikut: (1) bersifat intens, tajam,
superfisial, atau menusuk; (2) dipresipitasi dari area pencetus atau oleh faktor pencetus
● C – serangan nyeri bersifat stereotipikal pada masing-masing pasien
● D – tidak ada bukti klinis defisit neurologi
● E – tidak berkaitan dengan kondisi medis lain
Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan neurologi pada pasien dengan trigeminal neuralgia klasik biasanya normal.
Temuan trigger zone tipikal dapat mengonfirmasi diagnosis. Jika pemeriksa menemukan
abnormalitas sensorik pada area trigeminal, hilangnya refleks kornea, atau kelemahan pada
otot wajah, pikirkan kemungkinan trigeminal neuralgia simtomatik atau penyebab nyeri wajah
lainnya.
73. Pneumocephalus
Pneumocephalus, juga dikenal sebagai pneumatocele atau aerocele intrakranial, adalah
adanya udara di ruang intrakranial. Pneumocephalus dapat terjadi setelah trauma, pembedahan
kranial, atau secara spontan. Ini diklasifikasikan sebagai pneumocephalus sederhana atau
tegang dan juga dapat diklasifikasikan sebagai akut, atau kurang dari 72 jam, tertunda, atau
lebih dari 72 jam. Pneumocephalus adalah diagnosis yang sulit secara klinis. Jarang, beberapa
pasien mungkin menggambarkan suara cipratan pada gerakan kepala (dikenal sebagai bruit
hydro-aerique), yang juga dapat diauskultasi. TP dapat menyebabkan kerusakan pada
sensorium dan papilledema. Gambaran yang sama pada fosa posterior dapat menyebabkan
tanda-tanda batang otak, gangguan pernapasan, dan henti jantung. Bahkan paraplegia dan
hemiplegia telah dilaporkan mengikuti TP.
Gambaran klinis:
● Kebocoran CSF dari hidung, telinga, atau tempat bedah
● Sakit kepala persisten setelah operasi kranial atau tulang belakang
● Kejang setelah operasi
● Meningitis pasca operasi
● Sindrom lobus frontal
● Tanda kulit kepala mengepak
● kelumpuhan saraf okulomotor
● Tinnitus
75. CPSP
Central post stroke pain (CPSP) menurut American Academy of Neurology (AAN) adalah
kondisi neurologis yang disebabkan oleh kerusakan atau disfungsi dari sistem saraf pusat
(SSP), yang meliputi otak, batang otak, dan sumsum tulang belakang. CPSP ini dapat
disebabkan oleh stroke, multiple sclerosis, tumor atau trauma SSP. Rasa sakit yang terkait
dengan sindrom ini berbeda antara individu. CPSP dapat mempengaruhi sebagian besar tubuh
atau mungkin lebih terbatas ke daerah-daerah tertentu. Nyeri biasanya konstan, mungkin
sedang sampai berat, sering diperburuk oleh sentuhan, gerakan, emosi, dan perubahan suhu,
terutama dingin. Individu mengalami satu atau lebih jenis sensasi nyeri, yang paling menonjol
rasa terbakar, mungkin juga sensasi kesemutan, rasa sakit yang tajam. CPSP sering dimulai
tak lama setelah cedera penyebab atau kerusakan, tetapi mungkin tertunda bulan atau bahkan
bertahun-tahun, terutama jika hal itu berkaitan dengan nyeri pasca-stroke.
Central post stroke pain (CPSP) terkait dengan lesi stroke pada traktus spinotalamikus, terlepas
dari jenis strokenya. Tatalaksana nonfarmakologi untuk CPSP termasuk Repetitive transcranial
magnetic stimulation (rTMS), deep brain stimulation (DBS) dan motor cortex stimulation (MCS)
telah dilaporkan. Dalam beberapa penelitian, rekomendasi untuk MCS dan DBS adalah tidak
meyakinkan dalam pengobatan CPSP. Penggunaan rTMS pada kelainan neurologi didasarkan
pada kemampuan rTMS untuk memberikan efek stimulasi pada otak. Mekanisme kerja TMS
pada saraf otak dengan cara menimbulkan cetusan potensial aksi yang selanjutnya akan
meneruskan aliran listrik dari otak dan diteruskan ke satu neuron dan interkoneksi neuron lain
sampai pada efektor yang dituju. Sesampainya stimulasi magnet pada permukaan otak,
stimulasi diteruskan pada lapisan korteks otak menuju talamus, sesampainya di talamus akan
diteruskan lagi ke hipokampus untuk mengalami proses long term potentiation (TLP) atau long
term depression (LTD). Hal inilah yang menjadi dasar penggunaan rTMS pada beberapa
kelainan neurologi. Sesi tunggal rTMS dapat memberikan bebas nyeri jangka pendek pada
pasien dengan CPSP. Ada indikasi bahwa pengulangan rTMS dapat memberikan efek anti
nyeri lebih lama.
76. OPLL
LENGKAP HALAMAN 208
http://erepo.unud.ac.id/id/eprint/27328/1/d5ffca7720094a304b5deb6e47fec426.pdf
80. Scoliosis