Anda di halaman 1dari 67

SISTEM SARAF

Nama Penyakit: Arteritis Kranial

Definisi

Arteritis kranial atau arteritis temporalis adalah Giant Cell Arteritis (GCA) suatu vaskulitis
sistemik yang paling umum terjadi pada orang yang berusia 50 tahun ke atas (insidensi
3,5/100.000/tahun). Selain mempengaruhi arteri kranial bisa juga aorta dan arteri di tempat
lain misal anggota gerak.

Etiologi
GCA tidak diketahui. Karena kejadian bervariasi secara musiman, dan lebih tinggi di
conurbations besar, telah disarankan bahwa faktor lingkungan dapat menjadi pemicu

Gejala
Gejala khas dari GCA
 Sakit kepala hebat di pelipis dan di belakang kepala
 Pembuluh darah tampak membengkak dan bergelombang
 Nyeri kulit kepala
 Gangguan penglihatan
 Gejala sistemik ( demam dan penurunan berat badan)

Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan laboratorium (tingakat sedimentasi eritrosit, protein C-reaktif)
 Radiologi (sonografi, MRI)
 Biopsi

Diagnosis
GCA didiagnosis berdasarkan kombinasi gejala, temuan klinis, hasil laboraturium dan
gambaran diagnostik. Kriteria diagnosis bisa di tegakan bila terdapat salah satu berikut ini :
Arteri temporalis superfisial yang bengkak dan nyeri tekan, laju endapan darah meningkat,
nyeri kepala menghilang dalam 48jam sejak terapi steroid diberikan.
Referinsi : Deutsches Arzteblatt International, The Diagnosis and Treatment of Giant Cell
Arteritis, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3679627/

Nama penyakit: Gangguan Pergerakan Lainnya

Definisi

Gerak dihasilkan oleh interaksi antara sistem piramidal (sentral dan perifer), sistem
ekstrapiramidal , dan serebelum. Gerak diinisiasi dari sistem pyramidal, diperhalus dengan
proses fasilititasi dan inhibisi oleh sistem ekstrapiramidal, dan koordinasi oleh serebelum.
Dalam kegiatan motorik kita sehari-hari dikenal berbagai macam gerak, yaitu:

1. Gerak otomatik : gerak yang sudah terbiasa yang dilakukan tanpa sadar, misalnya
berjalan, berbicara.

2. Gerak voluntar : gerak yang direncanakan dan diinisiasi sendiri sesua dengan
keinginan, atau dengan pemicu dari luar, misalnya memakai baju, menendang bola.

3. Gerak involuntar : gerak yang tidak dapat ditahan, misalnya tremor, mioklonus.

4. Gerak semivoluntar : gerak yang dicetuskan oleh rangsangan sensori internal, untuk
menekan rasa tak menyenangkan, misalnya tics, akathisia, restless leg
syndrome(RLS).

Gangguan gerak timbul apabila ada kelainan pada salah satu atau beberapa dari sistem yang
mengatur gerak. Yang dimaksud dengan gangguan gerak adalah yang terkait dengan kelainan
pada sistem ekstrapiramidal , yang menimbulkan gerakan involuntar. Gangguan gerak tidak
terkait dengan kelumpuhan atau spastisitas otot.

Klasifikasi

Gangguan gerak akibat dari disfungsi sistem ekstrapiramidal terdiri dari 2 jenis, yaitu
hipokinesia, akibat dari gangguan fungsi fasilitasi gerakan dan hiperkinesia (involuntar
movement), akibat terganggunya fungsi supresi gerak.

Hipokinesia
 Rigiditas (meningkatnya tonus otot pada seluruh arah gerakan, fleksor lebih kaku dari
pada ekstensor, fenomena “lead pipe”/”plastik”)

 Bradikinesia (melambatnya gerakan)

 Freezing (aksi motorik berhenti sepintas, beberapa detik)

Hiperkinesia

 Tremor (ritmik, selang-seling otot agonis dan antagonis, sinusoidal,teratur)

 Chorea “dance” (cepat, bertenaga, setengah bertujuan)

 Ballism (gerakan choreic beramplitudo besar pada bagian proksimal anggota gerak.

 Atetosis (lambat, melintir, terutama pada bagian distl anggota gerak)

 Distonia ( involuntar, kontraksi otot yang bertahan, menyebabkan gerak melintir


berulang dan postur abnormal)

 Mioklonus (gerak involuntar mendadak, singkat, shock like dari kontaksi otot)

 Tics (gerak abnormal , bunyi abnormal, atau keduanya (sindrom tourette), mendadak,
singkat)

 Akathisia (rasa tak tenang di dalam yang menimbulkan gerak stereotip yang akan
mengurangi rasa tersebut)

 Stereotipi (gerak terkoordinasi yang berulang-ulang dan identik, timbul pada tardive
dyskinesia)

 Restless leg syndrome (rasa mendesak untuk menggerakan tungkai dengan rasa tak
nyaman)

Diagnosis

 Anamnesis

Mengidentifikasi pola dan jenis gerakannya

 Pemeriksaan fisik
Mengetahui gerakan tersebut berdiri sendiri (isolated) atau disertai gejal neurologik
lain

 Pemeriksaan penunjang

Darah, cairan otak, neuroimaging, neurofisiologi klinik

Referensi :PERDOSSI. 2013. Buku Panduan Tatalaksana Penyakit Parkinson dan Gangguan
Gerak Lainnya.
Nama Penyakit : Sklerosis multipel

Definisi

Multiple sclerosis adalah penyakit neurodegeneratif kompleks yang kronis, merusak sistem
saraf pusat dan secara luas bersifat autoimun. Lebih banyak terjadi pada perempuan dari pada
laki-laki dan lebih banyak pad usia 20 -40 tahun.

Gejala

Pasien yang menderita MS menunjukkan berbagai gejala neurologis yang berasal dari
susunan saraf pusat. Gejala tersebut bisa sendiri atau kombinasi. Umumnya pasien
mengalami gangguan sensorik, disfungsi kandung kemih, defisit kognitif, kehilangan
pengelihatan yang unilateral tanpa rasa sakit, penglihatan ganda, kelemahan tungkai, ataxia,
kelelahan dan masalah usus.

Diagnosis

 Anamnesis

 Pemeriksaan fisik

 Pemeriksaan penunjang

MRI otak dan tulang belakang menggunakan gadolinium sebagai agen kontras untuk
menyoroti plak aktif

Referensi : huang, wen-juan. Chen, wei-wei. Zhang,xia. Multiple sclerosis : pathology,


diagnosis and treatments. Experimental and therapeutic medicin. 2017
SISTEM INDRA

Nama Penyakit : Perdarahan Vitreous

Definisi

Perdarahan vitreous adalah ekstravasasi darah ke salah satu dari beberapa ruang yang
terbentuk di dalam vitreous.kondisi ini dapat terjadi secara langsung dari robekan retina atau
neouvaskularisasi retina.

Etiologi

Perdarahan vitreus menjadi tiga kategori utama yaitu:

1. Pembulu darah retina abnormal

Biasanya terjadi karena iskemik pad penyakit seperti diabetik retinopati, retinopati sel
sabit. Retina mengalami pemasokan oksigen yang kurang, vascular endotel growth
factor dan faktor kemotaktik. Faktor predopsisi terjadinya perdarahan spontan adalah
terjadi pembentukan pembulu darah baru dan komponen berserat yang sering
menekan pada bembuluh darah baru sehingga mudah rapuh.

2. Pecahnya pembulu darah normal

Pecahnya pembuluh darah normal diakibtkan karena kekuatan mekanik yang tinggi.
Hal ini bisa terjadi dengan robekanya retina atau ablasio.

3. Darah dari sumber lainnya

Keada patologis yang berdekatan dengan vitreus juga dapat menyebabkan perdarahan.
Gejala

Pasien datang dengan keluhan mata kabur atau berasap, ada helai rambut atau garis (floaters),
fotopsia, tidak ada rasa sakit yang terkait dengan perdarahan vitreus.

Diagnosis

Pemeriksaan oftalmoskopi langsung dengan depresi skleral, gonioskopi untuk mengevaluasi


neovaskularisasi sudut, TIO dan B-scan ultrasonografi. Gambaran perdarahan pada vitreus
melalui ultrasonografi beberntuk kecil dan semakin banyak terlihat dan semakin tebal. Pada
slit lamp, sel darah merah dapat terlihat di posterior lensa dengan cahaya set “off-axis” dan
mikroskop pada kekeuatan tertinggi.

Referensi : Herman D et al. Vitreous hemorrhage. In: American Academy of Opthalmology:


Retina and Vitreous. 2014.
Nama Penyakit : kolesteatoma

Definisi

Kolesteatoma adalah suatu kista epitelial yang berisi deskuamasi epitel (keratin). Deskuamasi
terbentuk terus menerus lalu menumpuk sehingga kolesteatoma bertambah besar. Epitel kulit
yang berada pada tempat yang salah. Epitel kulit liang telingan merupakan suatu daerah cul-
de-sac I sehingga apabila terdapat serumen padat di liang telinga dalam waktu yang lama,
maka dari epitel kulit yang berada medial dari serumen tersebut seakan terperangkap
sehingga membentuk kolesteatoma.

Klasifikasi

Kolesteatoma terbagi menajdi 2 menurut etiologinya

1. Kolesteatoma kongenital

Terbentuk akibat skuamosa terperangkap didalam tulang temporal selama


embriogenesis, ditemukan pada telinga dengan membaran timpani yang utuh tanpa
ada tanda-tanda infeksi. Lokasi biasanya berada pada mesotimpanum anterior, daerah
petrosus mastoid. Penderita biasanya tidak memiliki riwayat otitis media supuratif
kronis yang berulang, riwayat pembedahan otologi sebelumnya. Paling sering pada
anak usia dini (6 bulan – 5tahun)

2. Kolesteatoma akuisital

Kolesteatoma akuisital terbagi menajdi 2, yaitu: primer dan sekunder. Kolesteatoma


primer terjadi tanpa didahului oleh perforasi membran tympani. Kolesteatoma timbul
akibat proses invaginasi dari membaran timpani pars flaksida karena adanya tekana
negatif di telinga tengah akibat gangguan tuba. Kloesteatoma sekunder merupakn
kolesteatoma yang terbentuk setelah adanya perforasi membarn tympani.
Kolesteatoma terbentuk sebagai akibat masuknya epitel kulit dar liang telinga atau
dari pinggir perforasi membran tympani ke telinga tengah atau terjadi akibat
metaplasia mukosa kavum tympani karena iritasi infeksi yang berlangsung lama.

Gejala

Gejala khas kolesteatoma adalah otorrhea tanpa rasa nyeri, yang terus meneurs atau
sering berulang. Ketika kolesteatoma terinfeksi, kemungkinan besar infeksi tersebut
sulit dihilangkan. Karena kolesteatoma tidak memiliki pembuluh darah. Gangguan
pendengaran juga merupakan gejala yang umum pada kolesteatoma.

Diagnosis

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan sebuah kanalis akustikus eksternus yang
penuh terisi pus mukopurulen dan jaringan granulasi. Pada pemeriksaan penunjang
yang dilakukan adalah CT-Scan, defek yang dapat dideteksi dengan menggunakan CT
scan adalah :

1. Erosi skutum

2. Fistula labirin

3. Cacat di tegmen

4. Keterlibatan tulang-tulang pendengaran

5. Anomali

Referensi : Rutkowska, Justyna. Ozgirgin,Nuri. Olszewska,Ewa. Cholesteatoma Definition


and Classification : A literature Review. The jurnal of International Advanced Otology.2017

Nama penyakit : Etmoiditis akut


Definisi

Etmoiditis adalah infeksi dar sinus-sinus etmoiditis, yang berbentuk seperti sarang lebah
terdiri dari sel-sel udara yang berkumpul antara kavum nasal dan obirta. Etmoiditis akut
biasanya timbul dari penyebaran infeksi dari sinus-sinus lain.

Eriologi

Etmoiditis sering terjadi karena adanya infeksi saluran nafas atas dan infeksi pada gigi juga.
Sering terjadi pada anak-anak usia 1- 5 tahun dan 10-15 tahun dengan riwayat
rhinopharyngitis.

Gejala

1. Nyeri kepala bagian bawah antara mata dan hidung

2. Sedikit kemerahan, nyeri, dan bengkak di sekitar sudut mata

3. Sulit bernafas melalui mulut

4. Demam

5. Hipomia atau anosmia

6. Hidung tersumbat

7. Keluar sekret dari hidung

Pemeriksaan penunjang

1. Nasal endoskopi, pemeriksaan melalui kavum nasi posterior menggunakan alat yang
kecil untuk melihat keadaan sinus etmoid

2. CT Scan dapat menunjukan berat ringanya kerusakan mukosa sinus dan


penyebarannya ke organ/jaringan lain

3. Kultur dan tes resistensi dari sekret nasal.

4. Pemeriksaan darah : leukosit dan hitung jenis untuk menentukan stadium penyakit.

Referensi : A, Goueta. S, Oubian.et all. Acute Exteeriorized Ethmoiditis of the child:


Diagnosis and Management. Otolaryngology journal.
http://www.alliedacademies.org/articles/acute-exteriorized-ethmoiditis-of-the-child-about-23-
cases-diagnosis-and-management-10992.html
SISTEM RESPIRASI

Nama Penyakit : Displasia bronkopulmonar

Definisi

Displasia bronkopulmoner merupakan diagnosis klinis yang ditentukan berdasarkan


ketergantungan oksigen dalam periode waktu tertentu setelah lahir, dan disertai gambaran
radiologis tertentu sesuai dengan kelainan anatomi.

Etiologi

Displasia bronkopulmoner terjadi pada 27% bayi hampir aterm yang menderita penyakit paru
yang berat misalnya, sindrom distres pernapasan, aspirasi mekonium, pneumonia, sepsis, dan
50 % pada bayi yang menderita hipoplasia pulmoner.

Gejala dan tanda

1. Takipnea

2. Retraksi

3. Mengi

4. Ronki

Pemeriksaan penunjang

1. Gambaran radiologis

Dengan pemeriksaan foto rotgen toraks, gambaran yang ditemukan adalah adanya
kerapatan linear, kasar, tidak beraturan, seperti tali, lucent fokus seperti kista.
2. Gambaran laboraturium

Pemeriksaan darah kadar asam laktat dalam darah meningkat bila kadar lebih dari 45
mg% prognosis memburuk, kadar bilirubin meningkat, kadar PaO2 menurun
disebabkan berkurangnya oksigen didalam paru-paru.

Referensi : Lauren M. Davidson. Sara K. Berkelhamer. Bronchopulmonary Dysplasia:


Chronic Lung Disease Of Infancy and Long-Trem Pulmonary outcomes. Journal of Clinical
Medicine

Nama Penyakit : Infrak Paru

Definisi

Infrak adalah kematian suatu jaringan tubuh. Hal ini dapat disebabkan berkurangnya pasokan
darah yang menuju jaringan tubuh tersebut. Infark paru adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan fokus nekrosis lokal pada jaringan parenkim paru yang ddiakibatkanya oleh
penyumbatan vaskular.
Etiologi

Infark paru sering disebabkan oleh adanya embolus pada paru. Emboli dapat terjadi
dikarenakan tromboemboli vena (venous thromboembolism). Hal ini dapat berhubungan
dengan adanya trauma, post operasi dan kelahiran.Tiga faktor predisposisi yang dapat
menimbulkan trombus sesuai trias virchow adalah :

1. Endotel cedera
 
2. Statis aliran darah
 
3. Darah hiperkoagulabilita

Manifestasi Klinis Infark Paru


Gejala infark paru hampir menyerupai gejala emboli paru. Adapun gejala dapat terjadi antara
lain : Sesak napas mendadak Keadaan ini disebabkan bronkokonstriksi dari penyumbatan
arteri paru secara total,
Takipnea,
Batuk-batuk  
Hemoptisis dapat timbul setelah 12 jam terjadinya emboli paru dan sesudah 24 jam daerah
infark menjadi terbatas dikelilingi oleh daerah paru yang sehat serta terbentuknya suatu
perdarahan dan ateletaksis. Lama kelamaan jaringan yang mengalami perdarahan tersebut
akan mengering dan terbentuk jaringan parut.
 Nyeri Pleuritik  Nyeri dirasakan pada dinding dada daerah paru yang terkena serta sering
juga dirasakan pada daerah bahu ipsilateral. Nyeri pleuritik ini disebabkan karena terjadinya
perdarahan pada arteri pulmonalis segmental atau subsegmental yang mengalami obstruksi.
 Cairan pleura akan bercampur dengan darah sehingga akan terjadi gesekan pleura. Nyeri ini
juga dapat dilihat pada pasien dengan ketidaksimetrisan pergerakan dinding dada.
 
Adanya tanda-tanda fisis paru, seperti : peluritis, elevasi diafragma yang terkena dan tanda-
tanda konsolidasi daerah paru yang terkena seperti terjadinya ateletaksis.
Jika terjadi obstruksi pada arteri besar paru, maka akan tampak gejala seperti gagal jantung
kanan (tanda hemodinamika) : tekanan vena jugularis meninggi, sianosis sentral.
Apabila terjadi obstruksi pada ateri kecil, maka akan tampak gangguan respirasi
(bronkokonstriksi).
Diagnosa Infark Paru
Untuk mendiagnosa suatu infark paru dapat dilakukan beberapa pemeriksaan.  Namun, untuk
mengetahui penyebab pasti terjadinya infark paru tetap dapat dilakukan dengan anamnesa
dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik lalu menentukan bagian paru yang terkena infark
dengan pemeriksaan penunjang.

Anamnesis
Dapat dilakukan untuk mengetahui penyebab terjadinya gejala-gejala yang menjurus pada
kasus infark paru. Tanyakan riwayat penyakit yang dapat menerangkan faktor risiko
terjadinya infark paru. Serta tanyakan gejala-gejala yang terjadi yang dapat menunjang
penegakan diagnosis
Pemeriksaan fisik Dari inspeksi lihat tanda-tanda adanya trombosis vena dalam biasanya
pada daerah ekstremitas bawah. Adakah terjadinya fraktur femur, tirah  baring yang lama,
tanda-tanda infark miokard lainnya. Dari auskultasi dapat didengan suara gesekan pleura
pada bagian yang terkena obstruksi.

Pemeriksaan penunjang
Radiologis
Densitas paru yang sesuai dengan infark paru didapatkan sekitar 25-30% kasus, dengan
tampak sebagai kesuraman pada sudut kosto frenik. Atau sebagai densitas bulat dengan batas
tidak jelas diatas
diafragma, yang disebut Hampton’s hump yang berben
tuk kerucut dengan dengan basis pada pleura dan puncak menuju hilus tetapi gambaran ini
jarang ditemukan.
Sidikan Paru Perfusi dan Ventilasi
Pemeriksaan sidikan perfusi paru dengan menggunakan albumin yang ditanda dengan Te
99m. Bahan kontras radioaktif tadi disuntikkan intravena. Beberapa saat kemudian perfusinya
dibaca dengan kamera gamma. Efek sidikan paru (cold nodule) menentukan kemungkinan
letak infark paru. Namun hal ini perlu dikombinasikan dengan sidikan ventilasi paru dengan
gas Xenon yang diinhalasi oleh pasien, hasilnya akan dibaca pada kamera gamma.
 
CT  – Scan
 Jika terdapat sarana penunjang yang tepat seperti
CT – Scan ,dapat dengan mudah menilai adanya infark paru tanpa memberikan intervensi
dengan  pemberian kontras seperti sidikan dan angiografi. Namun, sering terkendala pada
sarana dan harganya yang mahal. Gambaran infark paru  pada CT –Scan

Referensi :

Guyton, Arthur C dan John E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 2007. Jakarta :
EGC. 
Sudoyo, Aru W.2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi V jilid I. Jakarta : Interna
Publishing.

Nama Penyakit : Emboli paru

Definisi
Emboli paru adalah penyumbatan arteri pulmonalis (arteri paru-paru) oleh suatu embolus,
yang terjadi secara tiba-tiba. Emboli bisa merupakan gumpalan darah (trombus), tetapi bisa
juga berupa lemak, cairan ketuban, sumsum tulang, pecahan tumor atau gelembung udara,
yang akan mengikuti aliran darah sampai akhirnya menyumbat pembuluh darah.

Gejala dan tanda

1. Dispnea

2. Nyeri dada pleuritik

3. Batuk dan hemoptisis

4. Diaforesis

5. Takipnea

6. Ronkhi basah

7. Takikardi

8. Demam

Pemeriksaan Penunjang

Chest X-Ray : sering normal, tetapi dapat menunjukan bayangan bekuan, klep pembuluh
darah kasr, peninggian diafragmatik pada sisi yang sakit, efusi pleural, infiltrasi/konsolidasi.

Darah lengkap : Menunjukan peninggian hemokonsentrasi, peningkatan sel darah merah

Refernsi

Guyton, Arthur C dan John E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 2007. Jakarta :
EGC. 
Sudoyo, Aru W.2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi V jilid I. Jakarta : Interna
Publishing
SISTEM KARDIOVASKUlER

Nama Penyakit : Emboli Arteri

Definisi

Arteri emboli terjadi ketika terdapat massa jaringan atau benda asingpada perjalanan melalui
vaskular, pada akhirnya mengendap di arteri distal serta menghalangi aliran darah.Obstruksi
ini menyebabkan iskemia, disfungsi organ dan berpotensi infark. Manifestasi kompleks
penyakit ini termasuk darurat medis dan bedah seperti stroke, iskemia ekstremitas akut,
iskemia mesenterika dan gagal ginjal.

Gejala dan Tanda

Gejala klinis yang terjadi terganting dari target organ yang terkena. seperti pada Iskemia
Mesenterika Akut (AMI) gejala paling umum dari AMI terkait dengan arteripenyakit
tromboemboli adalah serangan tiba-tiba dari perutrasa sakit. Karena kurangnya aliran
kolateral ke organ visceral,penyajian AMI lebih dramatis dan berat, seringdengan deteriorasi
klinis yang cepat. Mual, muntah, diare,mengosongkan gejala, dan distensi juga bisa terjadi.
Secara klasik,rasa sakit tidak sebanding dengan temuan fisikpemeriksaan. Awalnya, suara
usus bersifat hiperaktif sebagaikegagalan untuk mengendurkan otot polos usus menyebabkan
pengosongangejala. Suara usus biasanya berkurang di kemudian haritahapan. Perut perut dan
kelembutan rebound adalahabsen pada tahap awal AMI; Namun, seperti usus iskemia tanda-
tanda ini menjadi lebihjelas. Mereka biasanya terlambat menemukan, jadi merekatidak boleh
menunda diagnosis dan pengobatan AMI. Gejala lain termasuk demam, oliguria, dehidrasi,
kebingungan,takikardia, dan syok. Kelainan metabolik bisatermasuk leukositosis, asidosis
metabolik, hyperamylasemia,peningkatan nilai fungsi hati, dan asidemia laktik.

Bila emboli pada aorta iskemia organ maksimal saat timbulnya gejala. Atheroemboli di
tangan lainnya adalah kristal kolesterol dari inti lipid plak arteri. Mereka adalah partikel yang
lebih kecil yang cenderung dilepaskan dalam “hujan” berulang. "Atheroemboli menyimpang
arteriol yang lebih kecil (biasanya di bawah 200 mikrometer di diameter) dan memicu proses
matory inflamasi itu bisa hadir sebagai demam dan malaise. “Blue Toe Syndrome” adalah
contoh klasik dari fenomena atheroembolic.Secara umum, presentasi tromboemboli
cenderung menjadi mendadak dan sepihak, saat presentasi atheroembolism cenderung
subakut, bilateral dan distal. Entah jenis emboli arteri-arteri dapat terjadi secara spontan;
Namun, kejadian embolik mungkin juga dipicu oleh trauma, operasi atau intravaskular
prosedur.

Referensi

Kronzon I, Tunick PA. Atheromatous disease of the thoracic aorta: Pathologic and clinical
implications. Ann Intern Med 1997;126:629-37.

KronzonI, Tunick PA. Aortic atherosclerotic disease and stroke. Circulation 2006;114:63-75.

Nama penyakit: Aterosklerosis

Definisi

Aterosklerosis adalah penyakit akibat respon peradangan pada pembuluh darah, bersifat
progesif, yang ditandai dengan deposit massa kolagen, lemak, kolesterol, produk buangan sel
dan kalsium, disertai proliferasi miosit yang menimbulkan penebalan dan pengerasan dinding
arteri, sehingga mengakibatkan kekakuan dan keapuhan ateri.

Etiologi

Aterosklerosi bermula ketika sel darah putih yang disebut monosit, pindah dari aliran darh ke
dalam dinding arteri dan diubah menjadi sel-sel yang mengumpulkan bahan-bahan
lemak.pada saatnya, monosit yang terisi lemak ini akan terkumpul, menyebabkan bercak
penebalan di lapisan dalam ateri. Penebalan aterosklerosi di sebut plak. Sehingga arteri yang
terkena akan kehilangan kelenturannya dan ateroma erus tumbuh maka arteri akan
menyempit. Lama- lama menjadi rapuh dan mudah pecah.

Faktor risiko

1. Kadar kolesterol yang tinggi

2. Hipertensi

3. DM

4. Faktor usia
Gejala dan tanda

Manifestasi klinik dari proses aterosklerosis kompleks adalah penyakit jantung


koroner, stroke bahkan kematian. Sebelum terjadinya penyempitan atau penyumbatan
mendadak, aterosklerosis tidak menimbulkan gejala. Gejalanya tergantung dari lokasi
terbentuknya, sehinnga bisa berupa gejala jantung, otak, tungkai atau tempat lainnya. Jika
aterosklerosis menyebabkan penyempitan arteri yang sangat berat, maka bagian tubuh yang
diperdarahinnya tidak akan mendapatkan darah dalam jumlah yang memadai, yang
mengangkut oksigen ke  jaringan

Gejala awal dari penyempitan arteri bisa berupa nyeri atau kram yang terjadi pada
saat aliran darah tidak dapat mencukupi kebutuhan oksigen. Yang khas gejala aterosklerosis
timbul secara perlahan, sejalan dengan terjadinya penyempitan arteri oleh ateroma yang juga
berlangsung secara perlahan.Tetapi jika penyumbatan terjadi secara tiba-tiba (misalnya jika
sebuah bekuan menyumbat arteri ) maka gejalanya akan timbul secara mendadak.

Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya aterosklerosis yaitu
dengan cara:
 
1. ABI (ankle-brachial index), dilakukan pengukuran tekanan darah di pergelangan kaki
dan lengan,
 
2. pemeriksaan doppler di daerah yang terkena ,
 
3. skening ultrasonik duplex,
 
4. CT scan di daerah yang terkena,
 
5. arteriografi resonansi magnetik, arteriografi di daerah yang terkena,
 
6. IVUS (intravascular ultrasound).

Referensi :
Guyton, Arthur C dan John E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 2007. Jakarta :
EGC. 
Sudoyo, Aru W.2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi V jilid I. Jakarta : Interna
Publishing
Nama Penyakit : subclavian steal syndrome

Definisi
Subclavian steal syndrome (SSS) merupakan sindrom yang disebabkan pentempitan atau
penyumbatan arteri subclavia. Penyebab paling sering adalah aterosklerosis.

Etiologi
Adanya sumbatan (plak atherosclerosis) ?stenosis pada bagian arteri subclavia

Gejala dan tanda


1. Asimtomatis
2. Nyeri pada tangan terutama pada saat beraktivitas
3. Parestesi
4. Pusing, tinnitus, nystagmus
5. Tekana darah yang berbeda pada 2 lengan

Pemeriksaan Penunjang
USG melihat sumbatan pada arteri

Referensi
a. Bayat I. Subclavian steal syndrome. dari :
http://emedicine.medscape.com/article/462036
b. Potter BJ. Pinto DS. Subclavian Steal Syndrome. 2014. Circulation; 129:2320-2323
c. Amini R, Gornik HL. Gilbert L. Whitelaw S. Shishehbor M. Case report : Bilateral
Subclavian Steal Syndrome. 2011. Case reports in cardiology Vol 2011, article DI
146267

SISTEM GASTROINTESTINAL, HEPATOBILLIER dan PANKREAS

Nama penyakit: Ruptur esofagus

Etiologi
Penyebab ruptur esofagus umunya disebabkan oleh trauma tajam/tembus antara lain:

1. Kerusakan iatrogenic dari struktur esofagus atau trauma dari luar


2. Peningkatan tekanan intraesofagus disertai muntah hebat
3. Penyakit esofagus seperti esofagitis korosif

Gejala dan tanda


1. Nyeri dada sedang sampai berat memburuk saat bernafas atau menelan
2. Demam
3. Nafas cepat, dangkal
4. Keringat berlebih
5. Emfisema subkutan
6. Nyeri perut atau punggung
7. Kesulitan menelan
Diagnosis
Diagnosis bergantung pada bukti radiografi. Secara khusus tanda-tanda tidak langsung dari
cedera esofagus dapay dilihat pada foto polos dada postioranterior dan lateral. Tanda-tanda
tersebut termasuk efusi pleura, pneumomediastinum,efisema subkutan,hidrotoraks,
pneumotoraks dan kolapsnya paru-paru. Namun rontgen dada yang menggunakan media
kontras akan memudahkan gambaran kebocoran di esofagus

Referensi :Soreide, Arne Jon. Viste, Asgaut. Esophageal perforation: diagnostic work-up and
clinical decision-making in the first 24 haour.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3219576/

Nama penyakit : sindrom reye

Sindrom reye adalah suatu penyakit yang berhubungan dengan ensefalopati noninflamasi
akut dan gagal hati

Etiologi
Penyebab sindroma reye belum diketahui, sindroma ini sering terjadi setelah infeksi virus,
umunya infeksi saluran nafas atas, varisella, dan berhubungan dengan penggunaan aspirin
selama sakit

Gejala dan tanda


1. Muntah terus menerus dengan atau tanpa dehidrasi
2. Ensefalopati pada pasien yang tidak demam
3. Hepatomegali

Pemeriksaan penunjang
Tes fungsi hati akan didapatkan peningkatan kadar ammonia 1,5 x diatas normal
Ct scan kepala dapata menunjukan edema cerebral tapi dapat juga normal

Referensi: Rusli, Hernowo, Bambang. Sindroma reye. Fakultas Kedokteran Universitas


Kristen Maranatha. https://media.neliti.com/media/publications/150220-ID-sindroma-reye-
dari-etiologi-hingga-penat.pdf

Nama Penyakit: PES

Penyakit infeksi pada manusia dan hewan yang disebabkan oleh bakteri yerisinia pestis . pes
disebut juga penyaki sampar, plague atau black death. Penyakit ini ditularkan dari hewan
pengerat terutama tikus melaluo perantara kutu.

Gejala dan tanda


1. Demam menggigil
2. Lemas
3. Nyeri perut
4. Mual dan muntah
5. syok

Diagnosis
Dalam rangka mendiagnosis wabah idealya konfirmasi melalui identifikasi Y. Pesti.
Onfirmasi infeksi dapat dilakukan dengan memeriksa serum yang diambil tahap awal dan
akhir infeksi

Referensi : plague diagnostic recommendation.


https://www.emerge.rki.eu/Emerge/SharedDocs/Downloads/EMERGE-Plague-
recommendations.pdf?__blob=publicationFile

SISTEM GINJAL dan SALURAN KEMIH

Nama Penyakit: Ginjal Tapal Kuda

Ginjal tapal kuda merupakan jenis yang paling umum dari fusi anomali ginjal. Ginjal tapal
kuda adalah penyatuan kutu-kutb ginjal baiasnya bawah .

Etiologi
Ginjal tapal kuda terbentuk selama organogenesis ketika kutub inferior dari sentuhan ginjal
awa, menggabungkan di garis tengah lebih rendah

Gejala dan tanda


Gejala- gejala klinis yang terjadi disebabkan oleh adanya tekanan pada ureter oleh bagian
yang menghubungkan kedua ginjal (isthmus), yang mengakibatkan obtruksi aliran kemih.
Gejalnya bisa berupa hematuri dan kolik abdomen.

Diagnosis
1. laboratorium
urin dengan kultur urin harus dilakukan. Serum kimia dan kreatin dianjurkan untuk
menetukan fungsi ginjal
2. radiologi
IVP dan CT-Scan

Referensi:
Guyton, Arthur C dan John E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 2007. Jakarta :
EGC. 
Nama Penyakit : Seminoma testis
Etiologi
Penyebab tumor testis belum diketahui dengan pasti, tetapi terdapat beberapa faktor yang erat
kaitannya dengan peningkatan kejadian tumor testis, antara lain maldesensus testis, trauma
testis, atrofi atau infeksi testis dan pengaruh hormon.
Penderita kriptorkismus atau bekas kriptorkismus mempunyai resiko lebih tinggi terjadinya
tumor testis ganas. Walaupun pembedahan kriptorkismus pada usia muda mengurangi
insidens tumor sedikit, resiko terjadinya tumor tetap tinggi. Kriptorkismus merupakan suatu
ekspresi disgenesia gonad yang berhubungan dengan transformasi ganas. Penggunaan
hormon dietilstilbestrol yang terkenal sebagai DES oleh ibu pada kehamilan dini
meningkatkan resiko tumor maligna pada alat kelamin bayi pada usia dewasa muda.

Klasifikasi

Seminoma                    - khas

                                     - spermatositik

                                     - anaplastik

Non seminoma             - karsinoma embrional

- teratokarsinoma

- teratom matur dan imatur

Koriokarsinoma

Gejala dan tanda

Pasien biasanya mengeluh adanya pembesaran testis yang seringkali tidak nyeri, namun 30%
mengeluh nyeri dan terasa berat pada kantung skrotum, sedang 10% mengeluh nyeri akut
pada skrotum. Tidak jarang pasien mengeluh karena merasa ada massa di perut sebelah atas
(10%) karena pembesaran kelenjar para aorta, benjolan pada kelenjar leher dan 5% pasien
mengeluh adanya ginekomastia. Ginekomastia adalah manifestasi dari beredarnya kadar ß
HCG didalam sirkulasi sistemik yang banyak terdapat pada koriokarsinoma.

Pada pemeriksaan fisis testis terdapat benjolan padat keras, tidak nyeri pada palpasi dan tidak
menunjukkan tanda transiluminasi. Diperhatikan adanya infiltrasi tumor pada funikulus atau
epididimis. Perlu dicari kemungkinan adanya massa di abdomen, benjolan kelenjar
supraklavikuler, ataupun ginekomasti.

Simtomatologi dari tumor primer :


 Permulaan akut ( gambaran seperti orkitis, epididimitis, torsio testis ).
 Permulaan yang diskret seperti pembengkakan tanpa nyeri testikal atau pengerasan
lokal atau deformasi testikel.

 Hidrokel simtomatik ( sesudah pungsi palpasi testis ).

 Nyeri lokal, sering menyebar di sisi yang sama ke krista iliaka.

 Kadang-kadang sama sekali tanpa keluhan atau kelainan ; metastasis merupakan


manifestasi pertama penyakitnya.

Diagnosis

Transiluminasi, ultrasonografi dan pemeriksaan endapan kemih sangat berguna untuk


membedakan tumor dari kelainan lain. kadang tumor testis disertai hidrokel, karena itu
ultrasonografi sangat berguna.

Sebaiknya diagnostik laboratorium dikerjakan dulu sebelum menjalankan orkidektomi. Pada


penderita dengan non-seminoma zat-zat penanda tumor spesifik dapat ditunjukkan dalam
serum yaitu Human Chorion Gonadotropin (HCG) dan µ-1-fetoprotein (AFP). Pada
penderita dengan seminoma kadar HCG dapat naik sedikit, sering juga terdapat
kenaikan Placenta Like Alkaline Phosphatase (PLAP). Pada semua penderita tumor sel
embrional Laktat Dehidrogenase (LDH) dapat naik.

Diagnosis ditentukan dengan pemeriksaan histologik sediaan biopsi. Setiap benjolan testis
yang tidak menyurut dan hilang setelah pengobatan adekuat dalam waktu dua minggu harus
dicurigai dan dibiopsi. Biopsi harus dilakukan dari tetis yang didekati melalui sayatan
inguinal. Testis diinspeksi dan dibuat biopsi insisi setelah funikulus ditutup dengan jepitan
klem untuk mencegah penyebaran limfogen atau hematogen. Tidak boleh diadakan biopsi
langsung melalui kulit skrotum karena bahaya pencemaran luka bedah dengan sel tumor
dengan implantasi lokal atau penyebaran ke regio inguinal. Bila ternyata ganas dilakukan
orkidektomi, yang disusuli pemeriksaan luas untuk menentukan jenis tumor, derajat
keganasan dan luasnya penyebaran.

Jika diagnosis tumor sel embrional telah ditetapkan, perlu dilakukan pemeriksaan tambahan
penetapan stadium. Ini berarti di samping pemeriksaan fisik lengkap juga pemeriksaan
pencitraan terdiri atas CT-scan toraks dan abdomen. Pemeriksaan ini tergantung pada
simtomatologinya.

Penanda tumor pada karsinoma testis germinal bermanfaat untuk membantu diagnosis,
penentuan stadium tumor, monitoring respons pengobatan dan sebagai indikator prognosis
tumor testis. Penanda tumor yang paling sering diperiksa pada tumor testis adalah :

o µFP (Alfa Feto Protein) adalah suatu glikoprotein yang diproduksi oleh karsinoma
embrional, teratokarsinoma atau tumor yolk sac, tetapi tidak diproduksi oleh koriokarsinoma
murni dan seminoma murni. Penanda tumor ini mempunyai masa paruh 5-7 hari.
HCG (Human Chorionic Gonadotropin) adalah suatu glikoprotein yang pada keadaan

normal diproduksi oleh jaringan trofoblas. Penanda tumor ini meningkat pada semua pasien
koriokarsioma, pada 40%-60% pasien karsinoma embrional, dan 5%-10% pasien seminoma
murni. HCG mempunyai waktu paruh 24-36 jam.

Pemeriksa ultrasonografi yang berpengalaman dapat membedakan dengan jelas lesi intra atau
ekstratestikuler dan masa padat atau kistik, namun ultrasonografi tidak dapat memperlihatkan
tunika albuginea, sehingga tidak dapat dipakai untuk menentukan penderajatan tumor testis.
Berbeda halnya dengan ultrasonografi, MRI dapat mengenali tunika albuginea secara
terperinci sehingga dapat dipakai untuk menentukan luas ekstensi tumor testis. Pemakaian
CT scan berguna untuk menentukan ada tidaknya metastasis pada retroperitoneum.
Sayangnya pemeriksaan CT tidak mampu mendeteksi mikrometastasis pada kelenjar limfe
retroperitoneal.

Semula stadium perluasan tumor sel embrional didasarkan atas lokalisasi metastasis, jika
tidak dapat ditunjukkan metastasis dan zat-zat penanda tumor HCG dan AFP tidak dapat
ditunjukkan dalam serum atau menjadi normal setelah orkidektomi, maka dikatakan
stadiumnya adalah stadium I. Pada stadium II dapat ditetapkan adanya metastasis kelenjar
limfe retroperitoneal, pada stadium III metastasis kelenjar limfe di atas diafragma, pada
stadium IV metastasis di paru, hepar, otak atau tulang.

Referensi : . Sjamsjulhidayat R., Jong W.D., Buku Ajar Ilmu Bedah, Tumor Ganas Testis,
Edisi Revisi, EGC, Jakarta, 1997.

Nama penyakit : Teratoma testis

Etiologi
Teratoma sebagai tumor atau neoplasma yang tersusun oleh jaringan multipel yang bersifat
asing bagi tempat dimana tumor itu tumbuh. Tumor ini tersusun dari ketiga lapisan
embrionik. Biasanya jinak, tetapi dapat mengandung element ganas.
Penyebabnya belum pasti, tetapi insiden yang terbanyak pada pria berusia 20-40 tahun.

Gejala dan tanda


Sering muncul sebagai benjolan di skrotum yang tidak menibulkan rasa sakit, kecuali pada
teratoma yang mengalami torsi. Hidrokrl sering dikaitan dengan teratoma, pada pemerikasaan
testi mengalami pembesaran difus, bukan nodular.

Pemeriksaan penunjang
1. Laboraturium: peningkatan serum alpha-fetoprotein (AFP) dan beta human chorionic
gonadotropin (HCG)
2. Radiologi : sebagian besar radiografi, dan gambarnya hampir sama
3. Histologi: dinding kista dilapisi oleh epitel bronkial atau gastrointestinal. Reaksi
giant-cell dapat dilihat diberbagai tumor dan mungkin, dalam kasuas teratoma
intraperitoneal, menyebabkan pembentukan adhesi yang luas jika isi tumor pecah.

Referensi : . Sjamsjulhidayat R., Jong W.D., Buku Ajar Ilmu Bedah, Tumor Ganas Testis,
Edisi Revisi, EGC, Jakarta, 1997.
SISTEM REPRODUKSI

Nama penyakit: koriokarsinoma Adenomiosis


Definisi
Adalah invasi endometrium yang jinak ke dalam miometrium, mengakibatkan uterus yang
membesar secara difus yang secara mikroskopis memperlihatkan Kelenjar endometrium dan
stroma non-neoplastik yang dikelilingi oleh miometrium hipertrofi

Gejala dan tanda


Gejala adenomyosis
1. Disminore parah
2. Nyeri pelvik kronis
3. Infertilitas
4. Kram menstruasi
5. Durasi menstruasi lebih lama
6. Nyeri tekan daerah abdomen

Diagnosis
Gold standar untuk mendiagnosis adalah pemeriksaan histologi dapat menetukan keparahan
penyakit dan memperlihatkan organ-organ.

Referensi: Vercellini P, Vigano P, et al. Adenomiosis: epidemiological factors. Best


Practice& Research Clinical Obstetrics and Gynaecology 2006; 20: 465-477.

Bergeron C, Amant F, Ferenczy A. Pathology and physiopathology of


adenomyosis. Best Practice & Research Clinical Obstetrics and Gynaecology
2006; 20: 511-521.

Nama penyakit : tumor filoides

Etiologi
Secara nyata berhubungan dengan fibroadenoma dalam bebrap kasus , karena pasien dapat
memiliki kedua lesi dan gambaran histologi kedua lesi sama

Gejala dan tanda


1. Tumor berulang terlihat lebih agresif dibandingkan tumor lain
2. Paru merupakan tempat metastase yang paling sering
3. Mammae yang keras bebatas tegas
4. Jarang melibatkan puting-areola

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan radiologi : pada mammogram akan memiliki tepi yang bebatas tegas dan radio
oppak. Baik mammogram atau USG
Referenis:
Jong de wim. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2.2004. Jakarta : EGC.
Schwartz. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah Edisi 6.
2000. Jakarta : EGC

Nama penyakit : penyakit paget


Mammary paget disease (MPD) atau penyakit Paget pada payudara pertama dikemukakan
oleh Sir James Paget pada 1874 yang ditandai dengan akumulasi sel abnormal (sel Paget)
pada lapisan kulit di sekitar puting susu dan sering dikaitkan dengan karsinoma primer di
payudara
Manifestasi klinis
MPD menyerang khusus pada puting susu dan daerah areola mammae serta meluas ke
kulit sekitarnya. Lapisan kulit akan tampak menebal, eksematous yang difus, kemerahan,
dan terdapat krusta dengan batas yang tak teratur. Pada fase selanjutnya bisa didapatkan
ulkus, atau darah yang keluar dari puting susu (nipple discharge) dan retraksi puting
susu. Pasien sering mengeluh gatal, rasa seperti terbakar, nyeri, hipersensitif dan keluar
cairan terus-menerus dari puting susu
Diagnosis
1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dapat membedakan MPD dengan penyakit kulit yang biasa
menyerang payudara. Pada MPD terdapat penebalan kulit, kemerahan, eksematus,
gatal serta adanya cairan/ darah yang keluar dari puting susu serta retraksi puting
susu. MPD juga dapat disertai adanya massa dan keganasan lain yang menyerang
payudara.
2. Pemeriksaan Penunjang
MPD merupakan keganasan yang dapat ditegakkan diagnosanya hanya dengan
pemeriksaan klinis, tetapi pemeriksaan radiografi maupun histopatologi tetap
diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya keganasan lain yang
mendasari.
a. Mammografi
Diagnosis MPD dapat ditegakkan hanya melalui pemeriksaan fisik. Meskipun
gejalanya telah jelas, mammografi tetap harus dilakukan untuk mengetahui ada
tidaknya keganasan lain yang menyertai MPD. Pemeriksaan ini penting untuk
menentukan manajemen dan pilihan terapi yang tepat. Jika terdapat underlying
carcinoma maka pada mammografi MPD didapatkan gambaran massa atau
proses kalsifikasi secara jelas. Sayangnya, gambaran radiologis ini hanya terdapat
pada pasien dengan DCIS (ductal carcinoma in situ) yang menyertai MPD. Suatu
penelitian menemukan bahwa 15% pasien dengan MPD tidak menunjukkan
gambaran karsinoma pada mammografi. Pada studi yang lain, Morough et al
(2008) menemukan 65% pasien dengan gambaran mammografi negatif ternyata
mempunyai karsinoma unifokal yang menyertai MPD. Sensitivitas mammografi
meningkat secara signifikan pada MPD dengan massa yang palpable.
Mammografi bilateral juga dapat mendeteksi massa yang samar atau
mikrokalsifikasi serta menyingkirkan kemungkinan massa multifokal pada
payudara kontralateral. Mammografi juga berfungsi untuk follow up kondisi
pasien dengan terapi konservatif .

Gambar 2.4 Mammogram pasien MPD yang disertai massa pada payudara. Tampak densitas yang
heterogen, massa yang cukup besar, dan mikrokalsifikasi dengan penebalan kulit.
Tampak pula retraksi puting susu dan pembesaran kelenjar limfe aksila

b. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG dapat dipertimbangkan jika hasil mammografi negatif namun
gejala klinis mendukung adanya underlying carcinoma. Pada USG didapatkan
jaringan parenkim yang tampak heterogen, area hipoekoik, massa diskreta,
penebalan kulit dan pelebaran duktus .

Gambar 2.5 Gambaran USG pada pasien


yang sama dengan gambar 2.4. Tampak dua massa irregular dengan kalsifikasi di
dalamnya

c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI merupakan pemeriksaan dengan sensitivitas tinggi untuk pemeriksaan
karsinoma mammae terlebih pada hasil mammografi dan USG negatif atau
jangkauan karsinoma yang tidak jelas. Gambaran MRI pada MPD ditemukan
peninggian intensitas puting susu, penebalan pada puting susu dan areola dan
hiperintensitas jika terdapat DCIS atau tumor invasif .
d. Skin Biopsi
Pada skin biopsi didapatkan gambaran sel yang besar, bulat, nukleus yang agak
besar, dan sitoplasma yang pucat. Sitoplasma pada sel Paget tampak granular dan
bersifat basofilik, serta nukleolus yang menonjol. Pada beberapa sediaan akan
nampak signet ring cell dan gambaran mitosis yang aktif sebagai ciri suatu
keganasan.

Gambar 2.6 Sel Paget (panah) di antara sel skuamous epidermis. Sel tampak lebih besar dan
nucleus yang hiperkromatik

Sel Paget dapat berdiri sendiri atau berkelompok membentuk struktur seperti
kelenjar. Sel ini dapat menginfiltrasi epidermis, namun sebagian besar sel
terkonsentrasi pada lapisan bawah di sekitar kelenjar pilosebaseus.
Penyebarannya pada kelenjar keringat juga menyebabkan ambiguitas apakah
karsinoma berasal dari epidermis atau merupakan penyebaran dari kelenjar
apokrin
Refernsi :

Aissa, Kaddour, Fatnassi, Chefai, dan Alouini. 2012. Update on Paget Disease of the Breast.
Open Access Scientific Reports (1) : 1-6

Brunicardi, et al. 2003. Schwartz’s Principles of Surgery Fifth Edition.

Cheng, SY. 2003. Paget’s Disease of the Nipple. H.K. Dermatology and Venerology Bulletin
(11) : 26-29.

De Jong, Wim dan Sjamsuhidajat. 2013. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
SISTEM ENDROKIN
Nama penyakit: difesiensi hormon pertumbuhan

Etiologi
Penyebab kongenital berkaitan dengan abnormalitas pada kelenjar hipofisis. Sedangkan GHD
bisa disebebkan oleh adnya trauma, infeksi, radiasi pada kepala dan penyakit lain. Beberapa
kasus GHD tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik.

Gejala tanda
1. Tinggi badan dibawah persentil 3 atau -2SD
2. Kecepatan tumbuh dibawah persentil
3. Bone age terlambat lebih dari 2 tahun
4. Kadar GH<7 ng/ml dengan uji provokasi
5. IGF-I rendah
6. Tidak ada kelainan dismorfik, tulang, dan sindroma tertentu

Pemeriksaan penujang
a. Tes fungsi tiroid
b. IGF-I dan IGFBP

Referinsi: Molina, Patricia E. Chapter 3: Anterior Pituitary Gland.  Endocrine Physiolog 3 rd


Edition. USA. 2010.

Nama penyakit: hiperparatiroid

Etiologi

1. Kira-kira 85% dari kasus hiperparatiroid primer disebabkan oleh adenoma


tunggal.

2. Sedangkan 15% lainnya melibatkan berbagai kelenjar (contoh berbagai


adenoma atau hyperplasia). Biasanya herediter dan frekuensinya berhubungan
dengan kelainan endokrin lainny

3. Sedikit kasus hiperparatiroidisme utama disebabkan oleh paratiroid karsinoma.


Etiologi dari adenoma dan hyperplasia pada kebanyakan kasus tidak diketahui.
Kasus keluarga dapat terjadi baik sebagai bagian dari berbagai sindrom
endrokin neoplasia, syndrome hiperparatiroid tumor atau hiperparatiroidisme
turunan. Familial hypocalcuric dan hypercalcemia dan neonatal severe
hyperparathyroidism juga termasuk kedalam kategori ini.
4. Beberapa ahli bedah dan ahli patologis melaporkan bahwa pembesaran dari
kelenjar yang multiple umumnya jenis adenoma yang ganda. Pada ± 15 %
pasien semua kelenjar hiperfungsi; chief cell parathyroid hyperplasia.

Gejala klinis

Pasien mungkin tidak atau mengalami tanda-tanda dan gejala akibat


terganggunya beberapa sistem organ. Gejala apatis, keluhan mudah lelah,
kelemahan otot, mual, muntah, konstipasi, hipertensi dan aritmia jantung dapat
terjadi; semua ini berkaitan dengan peningkatan kadar kalsium dalam darah.
Manifestasi psikologis dapat bervariasi mulai dari emosi yang mudah tersinggung
dan neurosis hingga keadaan psikosis yang disebabkan oleh efek langsung
kalsium pada otak serta sistem saraf. Peningkatan kadar kalsium akan
menurunkan potensial eksitasi jaringan saraf dan otot.

Pembentukan batu pada salah satu atau kedua ginjal yang berkaitan
dengan peningkatan ekskresi kalsium dan fosfor merupakan salah satu komplikasi
hiperparatiroidisme primer. Kerusakan ginjal terjadi akibat presipitasi kalsium
fosfat dalam pelvis da ginjal parenkim yang mengakibatkan batu ginjal (rena
calculi), obstruksi, pielonefritis serta gagal ginjal.

Gejala muskuloskeletal yang menyertai hiperparatiroidisme dapat


terjadi akibat demineralisasi tulang atau tumor tulang, yang muncul berupa sel-sel
raksasa benigna akibat pertumbuhan osteoklast yang berlebihan. Pasien dapat
mengalami nyeri skeletal dan nyeri tekan, khususnya di daerah punggung dan
persendian; nyeri ketika menyangga tubuh; fraktur patologik; deformitas; dan
pemendekkan badan. Kehilangan tulang yang berkaitan dengan
hiperparatiroidisme merupakan faktor risiko terjadinya fraktur.

Insidens ulkus peptikum dan prankreatis meningkat pada


hiperparatiroidisme dan dapat menyebabkan terjadinya gejala gastroitestinal.

Pemeriksaan Diagnostik

Hiperparatiroidisme didiagnosis ketika tes menunjukkan tingginya level


kalsium dalam darah disebabkan tingginya kadar hormone paratiroid. Penyakit
lain dapat menyebabkan tingginya kadar kalsium dalam darah, tapi hanya
hiperparatiroidisme yang menaikkan kadar kalsium karena terlalu banyak hormon
paratiroid. Pemeriksaan radioimmunoassay untuk parathormon sangat sensitif dan
dapat membedakan hiperparatiroidisme primer dengan penyebab hiperkalasemia
lainnya pada lebih dari 90 % pasien yang mengalami kenaikan kadar kalsium
serum.

Kenaikkan kadar kalsium serum saja merupakan gambaran yang


nonspesifik karena kadar dalam serum ini dapat berubah akibat diet, obat-obatan
dan perubahan pada ginjal serta tulang. Perubahan tulang dapat dideteksi dengan
pemeriksaan sinar-x atau pemindai tulang pada kasus-kasus penyakit yang sudah
lanjut. Penggambaran dengan sinar X pada abdomen bisa mengungkapkan adanya
batu ginjal dan jumlah urin selama 24 jam dapat menyediakan informasi
kerusakan ginjal dan resiko batu ginjal. Pemeriksaan antibodi ganda hormon
paratiroid digunakan untuk membedakan hiperparatiroidisme primer dengan
keganasan, yang dapat menyebabkan hiperkalsemia. Pemeriksaan USG, MRI,
Pemindai thallium serta biopsi jarum halus telah digunakan untuk mengevaluasi
fungsi paratiroid dan untuk menentukan lokasi kista, adenoma serta hiperplasia
pada kelenjar paratiroid.

Tes darah mempermudah diagnosis hiperparatiroidisme karena


menunjukkan penilaian yang akurat berapa jumlah hormon paratiroid. Sekali
diagnosis didirikan, tes yang lain sebaiknya dilakukan untuk melihat adanya
komplikasi. Karena tingginya kadar hormon paratiroid dapat menyebabkan
kerapuhan tulang karena kekurangan kalsium, dan pengukuran kepadatan tulang
sebaiknya dilakukan untuk memastikan keadaan tulang dan resiko fraktura.

Salah satu kelemahan diagnostik adalah terjadinya penurunan bersihan


fragmen akhir karboksil PTH pada pasien gagal ginjal, menyebabkan peningkatan
palsu kadar PTH serum total. Penetuan PTH amino akhir atau PTH utuh
direkomendasikan untuk menilai fungsi paratiroid pasien gagal ginjal.
Laboratorium:

1) Kalsium serum meninggi

2) Fosfat serum rendah

3) Fosfatase alkali meninggi

4) Kalsium dan fosfat dalam urin bertambah

5) Foto Rontgen:
o Tulang menjadi tipis, ada dekalsifikasi
o Cystic-cystic dalam tulang
o Trabeculae di tulang
PA: osteoklas, osteoblast, dan jaringan fibreus bertambah

Referensi : Guyton, Arthur C dan John E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 2007.
Jakarta : EGC. 

Nama Penyakit: Addison’s Disease

Etiologi

Secara umum, penyebab penyakit Addison dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:

1. Insufisiensi adrenocortical primer

Pada insufiensi adrenocortical primer, gangguan terletak pada adrenal sendiri.


Yang disebabkan oleh:

- Imunologi

Disebabkan oleh kerusakan perlahan dari korteks adrenal, lapisan luar dari
kelenjar adrenal oleh sistim imun tubuh sendiri. Sekitar 70 % kasus penyakit
Addison disebabkan oleh kelainan autoimun dengan membuat antibodi yang
menyerang jaringan atau organ tubuh secara perlahan. System imun ini bagian
dari PGA (polyglandular autoimun), yang berkaitan dengan defisiensi
polyendocrine :

o PGA type I

Disebabkan karena defeks pada T cell-mediated yang diturunkan


secara autosomal resesif. Terjadi pada masa anak-anak, biasanya
diikuti oleh hipoparatiroid, distrofi gigi dan kuku, hipogonadism,
anemia pernisiosa, dan hepatitis kronik aktif.

o PGA type II

Disebabkan oleh autoimun yang berhubungan dengan HLA tanpa


hipoparatiroid, berkaitan dengan autoimun dari tiroid. Terjadi pada
dewasa muda yang ditandai dengan hipotiroid, hipogonadism, diabetes
mellitus tipe 1, hipopigmentasi, dan vitiligo. Kombinasi dari penyakit
Addison dan hipotiroidism disebut Schmidt’s syndrome.

Insufisiensi adrenal terjadi ketika 90 persen dari korteks telah dihancurkan.


Akibatnya, hormon glucocorticoid (cortisol) dan mineralocorticoid
(aldosterone) kekurangan.

- Tuberculosis (TB),

Infeksi ini dapat menghancurkan kelenjar adrenal, bertanggung jawab


terhadap 20 % kasus insufisiensi adrenal primer di negara berkembang.
Insufisiensi adrenal diidentifikasi pertama kali oleh Dr. Thomas Addison pada
tahun 1849, TB ditemukan pada otopsi pada 70 – 90 % dari kasus penyakit
addison.

- Sebab lain

o infeksi kronis, terutama jamur.

o sel-sel kanker yang menyebar dari bagian tubuh lain ke kelenjar


adrenal.
o Amyloidosis, penumpukan protein diberbagai organ.

o pengangkatan kelenjar-kelenjar adrenal secara operasi

2. Insufisiensi adrenocortical sekunder

Pada Insufisiensi adrecocortical sekunder, gangguan terjadi di luar ginjal,


biasanya karena defisiensi ACTH. Tanpa ACTH yang menstimulasi adrenal,
produksi cortisol dari kelenjar adrenal turun, namun bukan aldosterone. Bentuk
sementara dari insufisiensi adrenal sekunder terjadi ketika sedang menerima
hormon glucocorticoid seperti prednisone untuk waktu yang lama, secara tiba-tiba
berhenti atau memotong mengkonsumsi obat. Hormon glucocorticoid yang
terdapat pada prednisone menghalangi pelepasan corticotropin-releasing
hormone (CRH), akibatnya pituitary tidak distimulasi untuk melepaskan ACTH,
dan adrenal gagal mengeluarkan hormon cortisol yang cukup.

Penyebab lain dari insufisiensi adrenal sekunder adalah operasi pengangkatan


dari tumor jinak dari kelenjar pituitary yang memproduksi ACTH, radiasi tumor
pituitary, pengangkatan bagian hypothalamus, dan hipoperfusi pada pituitari.

Gejala klinis

Biasanya perlahan, ditandai dengan kelelahan yang memburuk/kronis, kelemahan


otot, kehilangan nafsu makan, dan kehilangan berat badan. Sebagian besar penderita
juga mengeluh mual, muntah dan diare. Gejala lain yang dapat dialami adalah tekanan
darah rendah (hipotensi postural) dan hiperpigmentasi kulit. Dari segi psikiatri,
defisiensi dari hormon ini dapat menyebabkan ketidakmampuan tubuh dalam
merespon stress yang dapat menyebabkan depresi. Keadaan yang menjadi kegawatan
adalah terjadinya krisis addisonian, yang ditandai oleh:

- Nyeri menembus yang tiba-tiba pada punggung bawah, perut, atau kaki-kaki

- Muntah dan diare yang berat

- Dehidrasi berat

- Tekanan darah rendah


Pemeriksaan dan Diagnosis

Pemeriksaan yang dianjurkan untuk menegakkan diagnosis penyakit Addison melalui


pemeriksaan laboratorium, yaitu:

- Hematologi dapat di jumpai neutropenia, limfositosis, dan hemoglobin turun.

- Pemeriksaan Khusus

o Tes Stimulasi ACTH

Merupakan tes yang paling spesifik untuk mendiagnosis penyakit Addison.


Pada tes ini, cortisol darah, cortisol urin, atau kedua-duanya diukur
sebelum dan setelah bentuk sintetik dari ACTH diberikan dengan suntikan.
Pada tes ACTH yang disebut pendek atau cepat, pengukuran cortisol
dalam darah diulang 30 sampai 60 menit setelah suntikan ACTH secara
intravena. Respon normal setelah suntikan ACTH adalah kenaikan tingkat-
tingkat cortisol dalam darah dan urin. Pasien dengan insufisiensi adrenal
merespon dengan kenaikan plasma kortikoid < 10 Ug/100 ml, sedangkan
pada urine setelah 8 jam tidak terdapat kenaikan 17-hidroksikortikoid atau
kenaikan kurang dari 8 Ug/100 ml.

o Tes Stimulasi CRH

Ketika respon pada tes ACTH adalah abnormal, tes stimulasi CRH
diperlukan untuk menentukan penyebab dari insufisiensi adrenal. Pada tes
ini, CRH sintetik disuntikan secara intravena dan cortisol darah diukur
sebelum dan 30, 60, 90, dan 120 menit setelah suntikan. Pasien dengan
insufisiensi adrenal primer mempunyai ACTH yang tinggi namun tidak
mempunyai respon terhadap produksi cortisol. Pasien dengan insufisiensi
adrenal sekunder mempunyai respon terhadap kekurangan kortisol namun
tidak ada atau terlambatnya ACTH yang menstimulus produksi kortisol.
Tidak adanya respon ACTH menunjukkan pituitary sebagai penyebabnya;
terlambatnya respon ACTH menunjukkan hypothalamus sebagai
penyebabnya.

Pemeriksaan lain
Saat diagnosis insufisiensi adrenal primer telah ditegakkan, pemeriksaan BNO
abdomen dapat dilakukan untuk mengetahui adanya endapan kalsium. Endapan
kalsium mungkin mengindikasikan TB. Tes kulit tuberculin juga mungkin digunakan.

Jika Insufisiensi adrenal sekunder adalah penyebabnya, Dapat dilakukan CT scan


untuk mengetahui keadaan hypothalamus dan pituitary.

Referensi :

1. Stephen JM, Maxine AP, and Lawrence MT. Current Medical Diagnosis and
Treatment, in Chronic Adrenocortical Insufficiency (Addison’s Disease). 47th Ed.
USA: The McGraw-Hill Companies. 2008:1003-1005.

2. Piliang S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4 th Ed. Jakarta: Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fak Kedok Univ Indonesia. 2007:1984-1986.

SISTEM HEMATOLOI dan IMUNOLOGI

Nama penyakit: Timoma

Tumor yang berkembang di kelenjar timus, yaitu organ kecil yang terletak di
belakang tulang dada dan di antara paru-paru. Organ ini mengeluarkan hormon yang bernama
timosin. Hormon tersebut penting dalam mengembangkan T-limfosit atau T-sel yang
merupakan bagian krusial dari sistem kekebalan tubuh. Sel tersebut membantu tubuh
melawan patogen mematikan.

Timoma adalah jenis kanker langka. Biasanya berkembang dengan lambat dan jarang
menyebar ke bagian tubuh lain. Sehingga, timoma bisa dianggap tidak agresif. Prognosis dari
kondisi ini juga baik. Jika terdeteksi dini, kanker ini dapat disembuhkan dengan pengobatan
kanker standar.

Gejala

Pada tahap awal, timoma tidak menimbulkan gejala. Karenanya, banyak kasus tahap awal
ditemukan secara tidak sengaja saat pasien menjalani pemeriksaan dada (rontgen dada) untuk
kondisi medis yang tidak terkait.
Seiring pertumbuhan tumor, gejala akan mulai terlihat. Yang paling umum adalah batuk yang
tidak kunjung hilang. Selain itu, gejala lainnya mencakup masalah pernapasan dan nyeri
dada. Penting untuk dicatat bahwa gejala ini tidak spesifik untuk timoma. Ini berarti bahwa
gejala yang sama juga bisa disebabkan oleh masalah pernapasan lainnya. Seperti, infeksi
asma dan paru-paru. Pasien dengan gejala seperti itu disarankan untuk menemui dokter
mereka untuk diagnosis dan perawatan

Dianognis

Tes yang pertama biasanya adalah pemeriksaan fisik dimana dokter mencari tanda-tanda,
seperti benjolan di daerah dada. Riwayat medis pasien juga ditinjau. Dokter ingin mengetahui
apakah pasien memiliki riwayat penyakit autoimun tertentu.

Jika dokter menemukan adanya kelainan, ia akan meminta pasien menjalani rontgen dada.
Tes ini menghasilkan gambar paru. Ini adalah tes standar yang digunakan pada pasien dengan
nyeri dada, batuk terus-menerus, dan sesak napas.

Jika gambar rontgen menunjukkan benjolan atau tumor, dokter akan memerintahkan tes
pencitraan yang lebih sensitif, seperti MRI, PET, dan CT. Tes tersebut memberikan rincian
lebih lanjut yang tidak dapat diberikan rontgen dada.

Kemudian, dokter akan memastikan apakah tumor itu jinak atau ganas melalui biopsi. Pada
tes ini, sepotong kecil tumor akan diambil untuk penelitian lebih lanjut. Biopsi dapat
dilakukan selama operasi terbuka atau juga bisa dilakukan dengan menggunakan jarum halus.

Biopsi dapat menentukan apakah tumor itu bersifat kanker atau tidak. Ini juga bisa
mengonfirmasi jenis sel yang menyerang dan stadium kanker.

 Stadium I - Semua sel kanker berada di dalam timus.


 Stadium II - Sel kanker telah menyebar ke struktur sekitar kelenjar timus. Sel
tersebut juga mungkin telah menyebar ke lapisan rongga dada.
 Stadium III - Sel kanker telah menyebar ke organ-organ di dekat paru-paru.
 Stadium IVA - Kanker telah menyebar di sekitar jantung dan paru-paru.
 Stadium IVB - Kanker telah menyebar ke sistem getah bening atau darah.

Pengobatan standar untuk timoma tahap awal adalah operasi yang dilakukan dengan teknik
konvensional. Pada teknik ini, dokter bedah perlu membuat sayatan yang membuka tulang
dada. Hal ini dilakukan untuk memungkinkan dokter bedah untuk mengakses rongga dada
anterior. Kemudian, ia akan mengangkat tumor dan jaringan yang mengelilinginya.

Pasien dengan tumor kecil stadium awal mungkin juga memenuhi syarat untuk jenis
pengobatan yang kurang invasif yang menggunakan sayatan kecil dan laparoskop. Prosedur
ini meminimalkan banyak risiko dan komplikasi pembedahan. Pasien juga dapat pulih dengan
lebih cepat.
Timoma stadium lanjut juga diobati dengan operasi. Tujuannya adalah untuk mengangkat
tumor sebanyak mungkin. Hal ini bisa meredakan gejala, tapi tidak menyembuhkan penyakit.
Operasi dilanjutkan dengan radioterapi. Perawatan ini menggunakan sinar-x berenergi tinggi
atau partikel lainnya untuk membunuh sel-sel kanker yang tersisa di dalam tubuh.

Radioterapi juga bisa dikombinasikan dengan kemoterapi. Perawatan ini menggunakan obat
yang dirancang untuk menghancurkan sel kanker. Kedua terapi tersebut bekerja dengan
mencegah sel kanker berkembang dan membelah. Obat ini bisa disuntikkan langsung ke
pembuluh darah atau juga diminum seperti biasa.

Pengobatan lain disebut terapi target. Terapi ini bekerja dengan menargetkan protein spesifik,
gen, atau jaringan jaringan kanker. Ini bisa mencegah pertumbuhan dan penyebaran sel
kanker sekaligus mencegah kerusakan sel sehat.

Setiap metode pengobatan membawa risiko dan komplikasi. Misalnya, operasi yang
menghilangkan tumor membuat pasien berisiko mengalami perdarahan dan infeksi parah.
Sementara, kemoterapi bisa menyebabkan mual, muntah, dan rambut rontok. Sedangkan,
efek samping terapi radiasi adalah kelelahan, buang air besar encer, dan kesulitan menelan.

Risiko ini dijelaskan secara hati-hati oleh dokter kepada pasien sebelum pengobatan dimulai.
Namun, dokter hanya menyarangkan perawatan jika manfaatnya jauh lebih besar daripada
risikonya.

Pasien yang menjalani kemoterapi atau radioterapi dipantau secara hati-hati. Selain itu,
pasien juga menjalani tes pencitraan untuk melihat bagaimana tubuh mereka merespons
pengobatan. Dokter mungkin perlu melakukan penyesuaian dari waktu ke waktu untuk
mencapai hasil pengobatan yang lebih baik.

Tidak ada pengobatan kanker yang bisa memberikan jaminan bahwa kanker tidak akan
muncul lagi. Kanker bisa berkembang agi di tempat asalnya atau di bagian tubuh yang lain.
Dengan demikian, pasien dijadwalkan untuk konsultasi rutin untuk memastikan bahwa tidak
ada tumor baru yang tumbuh di dalam tubuh mereka. Jika ada, melalui konsultasi yang
dijalani diharapkan tumor dapat terdeteksi dini dan dapat diobati dengan mudah.

Referensi:

 Van Geffen WH, Sietsma J, Roelofs PM, Hiltermann TJ. A malignant retroperitoneal
mass–a rare presentation of recurrent thymoma. BMJ Case Rep. 2011 Dec 1;2011. pii:
bcr0920114737
 Mitchell, Richard Sheppard; Kumar, Vinay; Robbins, Stanley L.; Abbas, Abul K.;
Fausto, Nelson (2007). Robbins basic pathology. Saunders/Elsevier.

Nama penyakit : Mieloma multipel

Multiple myeloma adalah jenis kanker yang menyerang sel plasma, yaitu salah satu jenis sel
darah putih, pada sumsum tulang penderita. Secara umum, sel plasma berfungsi untuk
memproduksi antibodi guna mengatasi infeksi dalam tubuh. Namun pada multiple myeloma,
sel plasma justru memproduksi protein yang tidak normal secara berlebihan yang akhirnya
dapat merusak berbagai organ tubuh, seperti ginjal dan tulang.

Gejala Multiple Myeloma

Gejala multiple myeloma yang dirasakan setiap penderita umumnya berbeda. Pada perjalanan
awal penyakit, penderita sering tidak merasakan gejala apa pun. Berikut ini adalah beberapa
gejala umum dari multiple myeloma:

 Mual, kehilangan selera makan, dan penurunan berat badan.


 konstipasi
 Nyeri pada tulang dan tulang menjadi lebih mudah patah.
 Kelelahan dan pucat.
 Mudah terserang infeksi.
 Mudah berdarah dan timbul lebam-lebam.
 Sering merasa haus.
 Kebingungan atau gangguan mental.
 Mati rasa pada kaki.

Faktor Risiko Multiple Myeloma

Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan seseorang berisiko terkena multiple myeloma,
di antaranya:

 Jenis kelamin. Kasus multiple myeloma lebih banyak ditemukan pada laki-laki
daripada perempuan.
 Usia. Sebagian besar multiple myeloma didiagnosis pada usia pertengahan 60 tahun.
Risiko seseorang menderita penyakit ini meningkat seiring bertambahnya usia.
 Ras. Multiple myeloma lebih sering terjadi pada orang kulit hitam dibandingkan
dengan yang orang kulit putih atau orang asia.
 Menderita MGUS.
 Riwayat kesehatan keluarga. Seseorang lebih berisiko terkena multiple myeloma
jika ada anggota keluarganya yang menderita penyakit ini.
 Mengalami obesitas.

Diagnosis Multiple Myeloma

Mendeteksi multiple myeloma tidak mudah, dikarenakan tidak semua kasusnya


memperlihatkan gejala tertentu. Untuk mengetahui apakah seseorang benar-benar menderita
multiple myeloma, dokter akan melakukan serangkaian tes berdasarkan gejala serta faktor
risiko terkait. Tes dilakukan untuk mendiagnosis multiple myeloma dan mengetahui
stadiumnya. Beberapa jenis tes dan prosedur yang harus dijalani, antara lain adalah:
 Tes darah

Tes darah yang dilakukan seperti pemeriksaan hitung darah lengkap, fungsi ginjal, kadar
kalsium, LDH (lactate dehydrogenase), albumin dan globulin. Hal yang ditemukan adalah
penurunan kadar Hb anemia dan albumin, penurunan jumlah trombosit trombositopenia, serta
peningkatan kadar kalsium dan globulin.

Selain itu untuk mendeteksi protein abnormal dalam darah dapat dilakukan pemeriksaan yang
dinamakan serum protein electrophoresis (SPEP), imunofiksasi, free light chain (FLC) assay,
dan beta-2 microglobulin. LDH dan beta-2 microglobulin digunakan untuk mengetahui
stadium dari multiple myeloma.

 Pemeriksaan urine

Sama dengan darah, sampel urine juga dapat diperiksa untuk mengetahui keberadaaan protein
abnormal. Pemeriksaan yang dilakukan adalah urine protein electrophoresis, imunofiksasi,
dan free light chain (FLC) assay. Selain itu dilakukan pengumpulan urine 24 jam untuk
mendeteksi jumlah protein abnormal yang dinamakan protein Bence Jones.

 Pemeriksaan aspirasi sumsum tulang

Sampel darah dan jaringan dari Aspirasi sumsum tulang belakang yang diambil dari tulang
panggul dekat daerah bokong, dilakukan untuk melihat gambaran pertumbuhan dari sel
plasma. Prosedur ini dilakukan dengan menggunakan jarum yang lebih besar dan panjang,
namun tetap dilakukan dengan bius lokal.

 Pemindaian

Pemindaian seperti foto Rontgen (pemeriksaan bone survey), MRI, CT scan, atau PET scan
(positron emission tomography). Pemindaian berguna untuk mendeteksi kelainan pada tulang
yang berkaitan dengan multiple myeloma. Pemindaian dilakukan pada bagian kepala, tulang
belakang, lengan, panggul, dan tungkai untuk mengetahui adanya kerusakan pada bagian
tersebut.

Dari pemeriksaan yang dilakukan, dokter dapat menentukan stadium dari multiple myeloma.
Multiple myeloma dibagi menjadi tiga stadium, yaitu stadium I, stadium II, dan stadium II.
Stadium ini dibagi berdasarkan agresivitas dari penyakit. Semakin tinggi stadiumnya,
semakin agresif penyakitnya.

Reverensi:

Gerecke, c. et. al. (2016). The Diagnosis and Treatment of Multiple Myeloma. Dtsch Arztebl
Int. 113(27-28), pp. 470-476.
Rajkumar, S. Kumar, S. (2016). Multiple Myeloma : Diagnosis and Treatment. Mayo Clin
Proc. 91(1), pp. 101-119.
Cancer.org (2018). Multiple Myeloma. NHS Choices UK (2015). Health A-Z. Multiple
Myeloma. .
Nama Penyakit: Poliarteritis nodisa

Etiologi CPAN tidak diketahui. Poliarteritis nodosa kulit mungkin dianggap sebagai
penyakit yang dimediasi oleh kompleks kekebalan tubuh. Direct immunofluorescence (DIF)
sering menunjukkan deposit IgM dan C3 mempengaruhi dinding arteri. Prevalensi 77,8%
IgM antiphosphatidylserine–prothrombin complex pada pasien dengan CPAN membentuk
hipotesis bahwa protrombin terikat sel endotel apoptosis menginduksi respon kekebalan,
sehingga mengarah dan berkembang menjadi kompleks antibodi anti-phosphatidylserine–
prothrombin. Imunoglobulin ini mungkin mengaktifkan komplemen jalur klasik
menyebabkan CPAN.

Tanda dan gejala

Gejala Glinis Cutaneous poliarteritis nodosa biasanya muncul tampilan pertama sebagai
livedo reticularis, nodul subkutan atau ulserasi kulit. Temuan lainnya termasuk petechiae,
purpura, kulit nekrosis, autoamputations dan manifestasi extracutaneous lokal. Hal ini paling
sering terjadi pada area kaki. Keterlibatan kaki sekitar 97%, diikuti oleh lengan 33%, leher
8%. Keterlibatan tambahan dari kepala dan leher dijumpai sekitar 9 dari 23 pasien (39%)
dengan CPAN.Tanda khas berupa ''burst'' pola yang tidak teratur berbentuk livedo reticularis
mengelilingi disekitar ulcer diduga kuat merupakan CPAN.

Gambar Pola Livedo reticularis luas kaki pada kasus poliarteritis nodusa kulit, sebagai
berikut dibawah ini:
Nodul kecil lembut lebih mudah teraba daripada divisualisasikan merupakan temuan yang
paling umum. Nodul ini dengan atau tanpa livedo reticularis, biasanya manifestasi pertama
dari penyakit ini dan didahului ulserasi dijumpai sekitar 50% kasus. Contoh gambar beberapa
nodul subkutan yang nyeri pada jari seorang wanita berusia 57 tahun adalah sebagai berikut:

PAN merupakan penyakit multisistem dengan keluhan demam, berkeringat, penurunan berat
badan, nyeri otot yang parah dan sakit sendi. PAN dapat berkembang menjadi subakut,
selama beberapa minggu atau bulan. Pasien mungkin memiliki keluhan spesifik seperti
demam, malaise, penurunan berat badan, anoreksia dan sakit perut. Penyakit ini dapat
mempengaruhi hampir setiap organ dalam tubuh, tetapi memiliki kecenderungan mengenai
organ-organ seperti kulit, ginjal, saraf dan saluran pencernaan. Banyak pasien dengan PAN
memiliki tekanan darah tinggi dan peningkatan laju endap darah (LED). Presentasi dari PAN
juga dapat mencakup kelainan kulit (ruam,nodul) dan neuropati perifer (nyeri, sensasi
terbakar, kesemutan, atau mati rasa, atau kelemahan di tangan atau kaki). Kecendrungan
penyakit ini mengenai organ tertentu dijelaskan di bawah ini:

a) Saraf
1. Neuropati perifer yang sangat umum 50-70%. Termasuk kesemutan, mati rasa dan
/atau nyeri di tangan, lengan, dan kaki.
2. Lesi sistem saraf pusat (SSP) dapat terjadi 2-3 tahun setelah timbulnya PAN dan
dapat menyebabkan disfungsi kognitif, penurunan kesadaran, kejang dan defisit
neurologis.
b) Kulit
1. Kelainan kulit sangat umum ditemui pada penderita PAN dan termasuk kelainannya
berupa purpura, livedo reticularis, bisul, nodul atau gangren.
2. Keterlibatan kulit terjadi paling sering pada kaki dan sangat menyakitkan
c) Ginjal
1. Vaskulitis arteri ginjal dapat menyebabkan protein dalam urin, gangguan fungsi
ginjal, dan hipertensi.
2. Persentase kecil pasien memerlukan dialisis.
d) Traktus Gastrointestinal
1. Nyeri perut, perdarahan gastrointestinal (kadang keliru inflammatory bowel disease)
2. Perdarahan, infark usus, dan perforasi jarang terjadi, tapi sangat serius.
e) Jantung
1. Keterlibatan klinis jantung biasanya tidak menimbulkan gejala.
2. Namun, beberapa pasien berkembang menjadi infark miokard (serangan jantung) atau
gagal jantung kongestif.
f) Mata Scleritis atau peradangan pada sklera.
g) Kelamin Infark testis

Diagnosis

Pada tahun 1990, American College of Rheumatology (ACR) memudahkan kriteria untuk
membedakan PAN dari bentuk-bentuk vaskulitis lain. Dipilih 10 fitur penyakit PAN. PAN
mudah didiagnosis setidaknya terdapat 3 dari 10 kriteria ACR didukung diagnosis vaskulitis
berdasarkan radiografi atau patologis. Adapun kriterianya sebagai berikut:

1) Penurunan berat badan 4 kg atau lebih


2) Livedo Reticularis
3) Nyeri testis
4) Mialgia atau kelemahan kaki
5) Mononeuropati atau polineuropati
6) Tekanan darah diastolik lebih besar dari 90 mm/Hg
7) Blood Urea Nitrogen (BUN) atau tingkat kreatinin tidak terkait dengan dehidrasi atau
obstruksi
8) Adanya HbSAg atau antibodi dalam serum
9) Arteriogram menunjukkan aneurisma atau oklusi arteri visceral
10) Biopsi arteri kecil atau menengah yang mengandung neutrofil polimorfonuklear

Tes laboratorium rutin dapat memberikan petunjuk penting untuk PAN, tetapi tidak ada
pemeriksaan tes darah tunggal yang merupakan diagnostik penyakit ini. Kebanyakan pasien
dengan PAN memiliki ESRs yang tinggi. Proteinuria umum pada orang-orang dengan
keterlibatan ginjal. Jika terdapat keterlibatan kulit atau otot saraf, biopsi kulit atau otot saraf
bisa sangat membantu dalam menegakkan diagnosis pasti dari PAN. Studi konduksi saraf
adalah cara non-invasif untuk mengidentifikasi saraf yang terlibat dengan peradangan. (Saraf
ini kemudian dapat dibiopsi untuk mengkonfirmasikan diagnosis). Diagnosis dikonfirmasi
oleh biopsi menunjukkan perubahan patologis di arteri berukuran sedang. Tempat biopsi
dapat bervariasi. Kebanyakan biopsi yang diambil dari kulit, saraf atau otot. Angiogram dari
pembuluh darah perut mungkin juga sangat membantu dalam mendiagnosis PAN. Aneurisma
paling sering mempengaruhi arteri yang menuju ke ginjal, hati atau saluran pencernaan.

Referensi :

1. Kawakami T, Yamazaki M, Mizoguchi M, et al. High titer of


antiphosphatidylserine–prothrombin complex antibodies in patients with
cutaneous polyarteritis nodosa. Arthritis Rheum 2007; 57: 1507–1513.

2. Daoud MS, Hutton KP, Gibson LE. Cutaneous periarteritis nodosa: a


clinicopathological study of 79 cases. Br J Dermatol 1997; 136: 706–713.

3. Khoo BP, Ng SK. Cutaneous polyarteritis nodosa: a case report and literature
review. Ann Acad Med Singapore 1998; 27: 868–872

SISTEM INTEGENUM

Nama Penyakit: Melonoma maligna

Melanoma maligna atau biasa juga disebut sebagai melanoma adalah keganasan yang
terjadi pada melanosit, sel penghasil melanin, yang biasanya berlokasi di kulit tetapi juga
ditemukan di mata, telinga, traktus GI, leptomeninges, dan oral dan membran mukus
genitalia. Karena sebagian besar sel melanoma masih menghasilakn melanin, maka melanoma
seringkali berwarna coklat atau hitam.

Etiologi

Pada laki-laki, melanoma mengenai 1 dari 53 orang di Amerika Serikat, dan mengenai
1 diantara 78 perempuan. Sedangkan di Dunia, perbandingan antara laki-laki dan perempuan
yang terkena melanoma yaitu 0,97:1. Namun, kematian akibat melanoma lebih banyak terjadi
pada laki-laki dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan yaitu 1,2:1.

Usia juga menentukan epidemiologi dari melanoma. Dikatakan bahwa insiden kanker
kulit, baik melanoma maupun non melanoma, meningkat seiring dengan peningkatan usia.
Emedicine.com menyatakan bahwa diagnosis melanoma ditegakkan rata-rata pada usia 53
tahun. Namun, faktor usia tersebut tidaklah mutlak karena insiden melanoma tergantung juga
pada faktor-faktor lainnya.

Faktor Resiko

1. Tahi lalat

2. Faktor keluarga

3. Fenotip

Diagnosis
Diagnosis melanoma ditegakkan dengan identifikasi klinik dengan konfirmasi
histologi. Identifikasi klinik dimulai dengan riwayat penyakit sekarang pasien, riwayat
penyakit terdahulu, dan pemeriksaan fisik terhadap lesi yang dicurigai. ,

1. Anamnesa
Dari anamnesa yang dilakukan, diharapkan diketahui informasi tentang
keluhan umum pasien, dan riwayat perjalanan keluhan umum tersebut. Perubahan
sifat dari nevus merupakan keluhan umum yang paling sering ditemukan pada pasien
dengan melanoma, dan hal ini merupakan peringatan awal melanoma. Perubahan
tersebut diantaranya peningkatan dalam hal diameter, tinggi atau batas yang asimetris
pada suatu lesi berpigmen memberikan data 80% pada pasien saat melanoma
ditegakkan.Dari perjalanan penyakit tersebut juga ditanyakan awal mulanya lesi pada
kulit tersebut muncul, dan kapan terjadi perubahan pada lesi tersebut. Tentang tanda
dan gejala melanoma, seperti adanya perdarahan, gatal, ulserasi dan nyeri pada lesi.
Pada anamnesa tersebut juga ditanyakan tentang adanya faktor-faktor resiko pada
pasien.,

2. Pemeriksaan fisik
Yang perlu dilakukan saat pemeriksaan fisik ini yaitu memperhatikan lebih
detail dengan inspeksi, palpasi dan bila perlu inspeksi dengan bantuan kaca pembesar.
Hal ini dilakukan untuk mengetahui ukuran, bentuk, warna dan tekstur dari nevus
tersangka dan mencari adanya perdarahan atau ulserasi. Pemeriksaan terhadap
kelenjar limfe yang berada dekat dengan lesi juga perlu dilakukan. Adanya
pembengkakan atau biasa disebut dengan limfadenopati menunjukkan kemungkinan
adanya penyebaran melanoma.

Pemeriksaan ditempat tubuh yang lain dapat dilakukan jika terdapat


kecurigaan atau untuk evaluasi dari pemeriksaan yang lalu pada individu dengan
faktor resiko. Di luar negeri, evaluasi terhadap seluruh tubuh sudah dilakukan, yaitu
dengan cara mendokumentasikan nevus-nevus yang ada di seluruh tubuh. Dengan
demikian, perubahan akan lebih cepat terdeteksi dengan membandingkannya dengan
dokumentasi terdahulu.

Pemeriksaan di tempat yang menjadi predileksi pada macam-macam bentuk


klinis melanoma juga perlu dilakukan. Misalnya pada melanoma superfisial dan
melanoma nodular yang biasanya berada di trunkus tubuh dan tungkai, sedangkan
melanoma maligna bentuk lentigo lebih banyak muncul di telapak tangan, telapak
kaki dan dibawah kuku.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang ini yaitu meliputi pemeriksaan laboratorium,
pemeriksaan histopatologi dan pemeriksaan radiologi. , khir-akhir ini di luar negeri
juga dikembangkan pemeriksaan dengan epiluminescence microscopy. Dengan tehnik
ini, lesi yang berpigmen tersebut diperiksa secara in situ dengan minyak emersi
dengan menggunakan dermatoskop. Pada beberapa penelitian lain melibatkan analisis
dengan bantuan komputer dan klinikal digitalisasi yang kemudian dibandingkan
dengan database.
Gambar 17. Perbandingan gambaran klinik (A) dan dengan menggunakan epiluminescence
microscopy (B)

Namun data terakhir melaporkan bahwa pemeriksaan laboratorium, radiografi


thorak dan radiografi yang lain (MRI, CT Scan, PET, Scanning Tulang) tidak terlalu
bermanfaat untuk melanoma stage I/II (melanoma kutaneus) tanpa tanda-tanda dan
gejala-gejala metastase.

a. Pemeriksaan Laboratorium
Tak ada pemeriksaan tertentu yang khusus untuk melanoma, baik yang belum
bermetastase maupun yang telah bermetastase, tetapi kadangkala tingginya angka
LDH (Lactaet Dehydrogenase) dianggap membantu. Kadar LDH yang tinggi
dalam darah merupakan suatu kemungkinan adanya metastase melanoma pada
hati. Adanya peningkatan LDH ini juga dihubungkan dengan lebih buruknya
kemungkinan untuk hidup pada kelompok tersebut. Pemeriksaan LDH akan
bermakna pada melanoma stage IB/III atau dengan pemeriksaan berkala setiap 3-
12 bulan.

Selain LDH, kadar serum S-100 mungkin juga berguna sebagai penanda tumor
pada pasien dengan melanoma yang telah bermetastase.

b. Pemeriksaan Radiografi
Ultrasound Scan, pemeriksaan ini menggunakan frekuensi gelombang suara untuk
menghasilkan gambaran spesifik dari bagian tubuh. Sebagian besar untuk
memeriksa kelenjar limfe di leher, axilla, dan pelipatan paha. Kadang digunakan
pada biopsy kelenjar limfe agar semakin akurat (Ultrasound guided fine needle
aspiration). Pemeriksaan ini tidak menimbulkan rasa sakit, tidak memakan waktu
yang lama, tidak menimbulkan bahaya radiasi dan aman digunakan pada
kehamilan.
 
Gambar 18. Ultrasound of lymph node

Pemeriksaan X-ray pada thorak dilakukan dengan memperhatikan kemungkinan


adanya metastase melanoma ke paru-paru. Hasil metastase tersebut dapat berupa
gambaran tumor pada paru-paru, yang seringkali harus dibedakan dengan tumor
paru primer, tetapi dapat juga berupa gambaran efusi pleura.

CT-Scan mungkin dapat mendeteksi adanya metastase melanoma pada paru-paru


atau pada hati dengan adanya gambaran pembesaran pada kelenjar limfe.
Sedangkan radiografi dengan MRI merupakan pemeriksaan yang paling baik
untuk melihat adanya metastase melanoma pada otak dan medula spinalis.

PET (Positron Emission Tomography) dilakukan untuk menambah informasi dari


hasil CT Scan dan MRI yang dilakukan. Pada pemeriksaan ini, digunakan
semacam glukosa yang mengandung atom radioaktif. Prinsip cara kerja PET yaitu
dengan adanya sifat sel kanker yang menyerap lebih banyak glukosa karena
metabolismenya yang tinggi.
Gambar19. PET Scan Whole Body staging for Melanoma

Tetapi penelitian yang dilakukan akhir-akhir ini menyatakan bahwa pemeriksaan


radiologi seperti CT Scan, MRI, PET, USG dan Scan tulang memiliki hasil yang
rendah pada pasien asmtomatik dengan melanoma kutaneus primer (Stage I dan II
menurut AJCC) dan umumnya tidak diindikasikan.

c. Pemeriksaan Histopatologi
Kriteria standar untuk diagnosa melanoma maligna adalah dengan pemeriksaan
histopatologi dengan cara biopsi dari lesi kulit tersangka. Macam-macam tehnik
biopsi itu sendiri ada 3 macam, yaitu shave biopsy, punch biopsy dan incisional
and excisional biopsies. Biopsi secara eksisi merupakan pilihan cara biopsi yang
direkomendasikan untuk pemeriksaan melanoma maligna. Pada tehnik ini, tumor
diambil secara keseluruhan untuk kemudian sebagian sampel digunakan untuk
pemeriksaan histologi.

Biopsi secara eksisi dengan batas yang kecil dari batas tumor dipilih untuk
memastikan informasi tentang ketebalan tumor, adanya ulserasi, tahap invasi
tumor secara antomis, adanya mitosis, adanya regresi, adanya invasi terhadap
pembuluh limfe dan pembuluh darah, dan untuk melihat respon host terhadap
tumor itu sendiri. Pada umumnya batas kulit yang diambil yaitu sekitar 1-3 mm
sekitar lesi untuk memperakurat diagnosis dan histologic mikrostaging. Kecuali
pada melanoma jenis lentigo, biopsi lebih mendalam diperlukan untuk
memperkecil terjadinya misdiagnosa.

Gambar20. Excision Biopsy

Hasil yang dapat ditemukan pada pemeriksaan histologi ini bergantung pada jenis
melanoma. Superficial Spreading melanoma memiliki fase pertumbuhan secara
radial atau fase in situ yang digambarkan dengan peningkatan jumlah melanosit
intraepitel yang bersifat (1) atipik dan besar, (2) tersusun tidak teratur di dermal-
epidermal junction, (3) adanya migrasi ke atas (pagetoid), (4) kurang memiliki
potensi biologi sel untuk bermetastasis. Lentigo melanoma dan acral lentiginous
melanoma memiliki gambaran yang mirip, dengan dominasi pertumbuhan secara
in situ pad dermal-epidermal juntion dan dengan tendensi yang kecil untuk
pertumbuhan sel secara pagetoid.

Ketebalan tumor, merupakan determinan prognosis terpenting dan diukur secara


vertikal dalam milimeter dari atas lapisan granular hingga titik terdalam tumor.
Semakin tebal tumor dapat diasosiasikan dengan potensi metastase yang lebih
tinggi dengan prognosa yang lebih jelek.
Referensi :

1. Djuanda A.2007.Dermatitis eritroskuamosa. Dalam Djuanda A., Hamzah M., Aisah S.


Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Jakarta:FKUI. h.229-241
2. Wim de Jong dan R. Sjamsuhidajat. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. EGC:
Jakarta

SISTEM MUSKULO SKELETAL

Nama Penyakit : Osteosarkoma

• Tumor ganas tulang yang paling sering ditemukan


• Berasal dari sel osteoblastik primitif
• Umur 10 – 20 tahun, pria > wanita

• Gejala klinis berupa:


– nyeri yang konstan dan semakin memburuk
– Benjolan
– Fraktur patologis
– Mungkin ditemukan tanda inflamasi
– Gejala sistemik (anemia, penurunan BB)
• Laboratorium
– Peningkatan LED dan alkali fosfatase
• Gambaran radiologis
– Osteolitik
– Osteoblastik
– Mixed feature
– Reaksi periosteum à Codman’s triangle
– Tumor menembus ke jaringan sekitar (sunburst appeareance)
Referensi:

1. Mehlman T. Charles. 2010. Osteosarcoma.


http://emedicine.medscape.com/article/1256857-overview.

2. Patel SR, Benjamin RS. 2008. SOFT Tissue and Bone Sarcomas and Bone
Metastase. Dalam: Kasper DL et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine 17 th
ed. USA : McGRAW-HILL

Nama penyakit : Fibrous dysplasia

Etiologi

Etiologi fibrous dysplasia belumjelas diketahui, namun dari beberapa literatur


menjelaskan bahwa lesi fibrous dysplasia sebagai pertumbuhan yang abnormal dan
merupakan penyakit asimptomatik yang dijumpai secara tidak sengaja pada suatu
pemeriksaan radiologi atau ketika terjadi komplikasi berikutnya.

Eugene Braunwald (1987) menyatakan dasar kelainan fibrous dysplasiatidak


diketahui, penyakit ini tidak tampak seperti penyakit turunan, meskipun telah dilaporkan
mempengaruhi kembar monozygot. Cardona (1998), penyakit dengan etiologi yang tidak
diketahui secara umum didiagnosis pada masa anak-anak dan atau remaja.Joseph dan James
(1989) mengemukakan bahwa fibrous dysplasiadisebabkanadanya suatu reaksi yang
abnormal dari peristiwa traumatik yang terlokalisasi.

Tanda dan gejala

Meskipun pasien dengan fibrous dysplasiadapat terjadi pada semua usia, tetapi
secara khusus adalah pada usia muda dekade 1 dan 2. Tujuhpuluh lima persen dari pasien
muncul sebelum usia 30 tahun. Pasien-pasien dengan Fibrous dysplasiayang kecil dan
monostotik dapat asimptomatik, dengan abnormalitas tulang teridentifikasi indental saat
pemeriksaan radiologis untuk indikasi yang tak berhubungan. Ketika gejala-gejala tampak
maka akan tidak spesifik antara lain nyeri, bengkak yang dapat juga muncul pada beberapa
penyakit tulang yang lainnya

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik diagnostik, dan


pemeriksaan penunjang radiologis.Pemeriksaan radiologi polos merupakan pemeriksaan
pertama yang sering dilakukan.Pemeriksaan histopatologi akan memastikan diagnosis fibrous
dysplasia.Penegakan diagnosis yang benar merupakan tanggung jawab bersama antara klinik
dan spesialis radiologi yang menemukan lesi di dalam tulang dan antara spesialis bedah
orthopedi yang harus mendapatkan jaringan biopsi dengan spesialis patologi yang
menafsirkannya

Referensi

1. Anand, M K N. Fibrous Dysplasia. http://emedicine.medscape.com.

2. Anonymous. Fibrous Dysplasia dalam http://AAOS.com.Accesson.

3. Fizpatrick, K A. Taljanic , M S. Speer, D P. Imaging Findings of Fibrous Dysplasia


withHistopathologic and Intraoperative Correlation. AJR 2004;182:1389-1398.
4. Ganong, W F. Kontrol Hormonal Metabolisme Kalsium dan Fisiologi Tulang dalam
Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 22. Penerbit EGC.2005 halaman 398-410.

5. Guyton, A C. Hormon Paratiroid, Kalsitonin, Metabolisme Kalsium dan Fosfat,


Vitamin D, tulang dan Gigi dalam Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit Edisi
III. Penerbit EGC.1996 halaman 711-727.
Nama penyakit: Akondroplasia

Etiologi

Akondroplasia termasuk dalam kelompok penyakit osteokondrodisplasia (gangguan


pertumbuhan tulang dan kartilago) yang paling sering terjadi, mencakup beragam kelompok
penyakit yang ditandai dengan abnormalitas intrinsik dari kartilago atau tulang atau
keduanya.

Keadaan ini memberikan ciri-ciri berikut :


1. Transmisi genetik
2. Abnormalitas dalam ukuran dan bentuk dari tulang anggota gerak, vertebra dan atau
kranium
Akondroplasia disebabkan oleh mutasi dari gen reseptor faktor 3 pertumbuhan
fibroblast (fibroblast growth factor receptor 3/ FGFR3 gene). Gen FGFR3 menyediakan
perintah untuk membuat protein yang terlibat dalam perkembangan dan pemeliharaan tulang
dan jaringan otak. Protein ini membatasi pembentukan tulang dari kartilago (proses yang
disebut osifikasi), terutama pada tulang-tulang panjang. Dua jenis mutasi spesifik pada gen
FGFR3 bertanggung jawab untuk sekitar 99% kasus akondroplasia. Sisa 1% disebabkan oleh
mutasi yang berbeda pada gen yang sama. Para peneliti yakin bahwa mutasi-mutasi ini
menyebabkan protein menjadi lebih overaktif sehingga mempengaruhi perkembangan tulang
dan terjadi gangguan pertumbuhan tulang seperti yang terlihat pada penyakit ini.
Kerusakan primer adalah proliferasi kondrosit yang abnormal pada lempeng
pertumbuhan tulang yang menyebabkan pemendekan tulang-tulang panjang, tetapi ketebalan
tulang tetap sesuai/tidak berubah. Bagian yang lain dari tulang panjang ini mungkin tidak
dipengaruhi. Manifestasi dari gangguan ini adalah pendeknya anggota gerak (khususnya
bagian proksimal), tulang belakang yang normal, pembesaran kepala, saddle nose/jembatan
hidung rata, dan lordosis lumbal yang berlebihan.Penyakit ini diturunkan secara
genetik.Walaupun demikian, banyak kasus akondroplasia terjadi karena mutasi gen
(perubahan gen).

Gejala dan tanda

Akondroplasia dapat didiagnosis berdasarkan karakteristik klinis dan


gambaran radiologi. Pada bayi, dimana diagnosis mungkin sulit dilakukan, dan pada
seseorang dengan gejala yang tidak khas, tes molekul genetik dapat digunakan
untuk mendeteksi mutasi dari gen FGFR3 (lokus 4p16.3).
Manifestasi klinik dari akondroplasia dapat dirangkum sebagai berikut :
 Pemendekan anggota gerak (terutama lengan dan tungkai bagian proksimal) atau
rhizomelia yang dapat dikenali pada saat lahir
 Pembesaran kepala dengan penonjolan dahi (frontal bossing)
 Hipoplasi bagian tengah wajah/bentuk wajah kurang berkembang, saddle nose
(jembatan hidung menjadi rata/hidung berbentuk seperti pelana)
 Tangan berbentuk trident, dimana antara jari tengah dan jari manis terdapat jarak
sehingga tangan seperti garpu bersusuk tiga
 Pembatasan ekstensi siku, tetapi tidak mempengaruhi penderita akondroplasia untuk
dapat beraktivitas secara normal
 Gibus di regio torakolumbal pada bayi. Tulang belakang membengkok dengan
penonjolan bokong pada anak dan orang dewasa, waddling gait.
 Genu varum.

Gambaran Radiologi
Gambaran radiologik menunjang diagnosis yaitu ditemukannya basis kranium yang
kecil, kepala relatif lebih lebar dari wajah dengan penonjolan frontal dan hipoplasia
mandibula, pemendekan tulang-tulang panjang dan pelvis yang sempit. Riwayat adanya
akondroplasia dalam keluarga semakin memperkuat diagnosis ini.
1. Foto Polos X-Ray
a. Vertebra
Roentgenogram menampakkan diameter anteroposterior dari korpus vertebra pendek,
tetapi tinggi dari tulang vertebra tidak berkurang secara signifikan.Pada regio torakolumbal
(vertebra torakalis bawah atau vertebra lumbalis atas), satu atau dua dari korpus vertebra
dapat tampak seperti baji anterior atau menonjol seperti moncong peluru (bullet-
nosed).Korpus vertebra torakolumbal mungkin mirip seperti yang ditemukan pada sindrom
Hurler. Lekuk-lekuk dari bagian posterior tulang vertebra dapat terlihat, utamanya vertebra
lumbalis.
Gambar 1.Stenosis
spinalis.Korpus
vertebra posterior
berlekuk-lekuk di
antara daerah distal, di
atas teka yang opak.

Gambar 2
Penyempitan progresif
dari kanalis vertebralis
daerah lumbal, bullet-
nose vertebra, dan
lordosis lumbalis.
Gambar 1Gambar 2

Kanalis spinalis pada daerah lumbal meruncing ke arah kaudal sehingga jarak
interpedinkulus berkurang dari L1 sampai L5 (pedikel tampak pendek), berlawanan dengan
pelebaran kaudal pada normalnya. Ini merupakan tanda yang membedakan akondroplasia,
walaupun tidak tampak pada bayi baru lahir. Ruang diskus bertambah karena pada
penampakan lateral akan menunjukkan pengecilan dari kanalis spinalis. Gejala yang berat
dari protrusi diskus intervertebralis kemungkinan besar akan berkembang pada masa
mendatang. Stenosis spinalis pada regio lumbosakral merupakan faktor predisposisi yang
penting dan dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan radikulografi, CT atau MRI.

b. Pelvis
Pelvis menjadi pendek, kecil dan diameternya berkurang. Sayap iliaka menjadi lebih
lebar dan sedikit memberikan gambaran batu nisan (tombstone appereance). Asetabulum
letak posterior dan atap asetebulum menjadi horizontal.L5 letak lebih dalam dan kemiringan
pelvis berlebihan menyebabkan penonjolan dari gluteus dan bentuk punggung
lordosis.Lekukan sakroiskiadika yang sempit dan dalam (champagne glass appereance).

Gambar 3.

Sayap iliaka melebar dengan atap


asetabulum menjadi
horizontal.Penyempitan jarak
interpedikel pada daerah
lumbosakral dan kerusakan pada
metafisis femur bagian distal.
Gambar 4.

Penyempitan progresif jarak


interpedikel dengan gambaran
pelvis champagne-glass.Kedua
tungkai lurus pada bayi.

c. Tulang-tulang Panjang
Tulang panjang, panjangnya berkurang, terutama pada segmen tungkai proksimal,
tampak agak lebar dan pendek gemuk.Pemendekan paling besar pada falang.Tubulus tulang
memendek, tampak melebar dan memiliki insersi otot yang jelas.Humerus dan femur lebih
dipengaruhi dibandingkan dengan tulang-tulang distal (rhizomelia).Fibula memanjang dan
membengkok.Celah sendi mengalami pelebaran ke arah proksimal epifisis dan metafisis dan
dapat tampak berbentuk V (tanda sirkumfleksi). Keterlambatan proses osifikasi dan
pengurangan diameter anteroposterior menyebabkan ujung tulang femur, misalnya pada bayi
menampakkan densitas radiolusen. Defek yang terjadi pada anak yang lebih tua berada di
epifisis dari tuberkulum tibia karena kelebihan kartilago yang tidak terkalsifikasi pada usia
ini.
Gambar 5. Gambar 6

Gambar 5.Humerus membengkok ke posterior, menyebabkan ekstensi lengan


berkurang.Dislokasi kaput radius ke arah posterior juga dapat menjadi salah
satu penyebab.

Gambar 6. Tanda sirkumfleksi (inverted V configuration), yang


mengakibatkan gaya berjalan waddling gait.

d. Perubahan Tulang Tengkorak


Perubahan-perubahan ini penting untuk diagnosis dari akondroplasia.Tulang kalvaria
(atap tengkorak) relatif membesar dibandingkan dengan wajah disertai dengan penonjolan
frontal dan hipoplasia maksila, tetapi basis krani memendek.Sela tursika dapat
mengecil.Foramen magnum mengecil dan berbentuk corong (funnel-shapped) yang tidak
teratur.
Hidrosefalus dapat terjadi dan telah dihubungkan oleh penyebab mekanik ini.
Gambar 7.

Pembesaran kalvaria kranii (atap


tengkorak).Perhatikan adanya
pembesaran mandibula dan
penonjolan frontal (frontal

e. Dada
Diameter anteroposterior dada berkurang disertai pemendekan iga anterior.Gambaran
radiologis akondroplasia serupa dengan pseudoakondroplasia, tapi pada pseudoakondroplasia
kelainannya di epifisis, sedangkan akondroplasia terletak di metafisis. Dengan foto lateral
tulang belakang pada pseudoakondroplasia terlihat penonjolan di pusat vertebra yang berasal
dari permukaan depan, sedang pada akondroplasia kelainan pada arkus bagian belakang.
Tulang-tulang iga menjadi pendek, ujung anterior costa melebar, sternum pendek dan
lebar/besar. Skapula memiliki bentuk ganjil/aneh, di mana skapula akan
Gambar 8

Pemendekan tulang-tulang iga.

kehilangan sudutnya yang tajam. Fossa glenoid kecil dalam hubungannya dengan kaput
humerus.

f. Tangan dan Kaki


Tubulus tulang dari tangan dan kaki terlihat pendek dan melebar, tetapi tulang-tulang
karpal dan tarsal sedikit dipengaruhi.Pemendekan paling besar pada falang. Tangan
berbentuk trident sering ditemukan, di mana semua jari hampir memiliki panjang yang sama,
berpasangan ditambah dengan ibu jari dan menjauh satu dengan yang lain.

Gambar 9.

Tangan berbentuk trident (Trident


hands). Jari-jari melebar dengan panjang
yang hampir sama.
2. CT-Scan
CT-Scan menunjukkan bahwa anak-anak dengan akondroplasia memiliki
beberapa derajat penekanan foramen magnum.Sekitar 96% anak-anak, foramen
magnum kurang dari 3 standar deviasi.CT-Scan dan atau MRI dapat
menggambarkan perubahan ini.
Kanalis spinalis yang kecil terjadi pada servikal sejak lahir, tetapi gejala dari
stenosis kanalis servikalis secara umum tidak timbul sampai usia pertengahan atau
lebih. Pencitraan preoperatif dengan CT, CT mielografi dan atau MRI penting untuk
suatu operasi.
Sensitivitas CT mielografi lebih besar daripada mielografi konvensional.CT
menggambarkan tulang lebih mendetail daripada MRI.MRI memiliki keuntungan
bebas dari radiasi, tetapi banyak klinikus yang menganggap bahwa derajat stenosis
biasanya paling baik dilihat dengan menggunakan mielografi.
Fossa posterior dari otak dan sumsum tulang lebih baik terlihat pada MRI
daripada CT. Edema sumsum tulang dan perubahan-perubahan yang menyertai
myelomalacia biasanya tidak dapat dilihat dengan CT. CT-Scan juga hanya
memberikan kelainan yang menyertai secara tidak langsung, seperti syringomyelia,
sedangkan MRI menunjukkan karakteristik secara langsung dan lebih jelas.

3. MRI
Pada kanalis spinalis, kelainan yang menyertai akondroplasia seperti
syringomyelia dan perubahan myelomalacia dapat dicitrakan dengan baik oleh MRI.
Pada syringomyelia, MRI akan memperlihatkan cairan sentral yang mengisi kavitas.
Pada stenosis spinalis, MRI juga dapat mendemonstrasikan protrusi diskus
intervertebralis dan osteofit yang menyebabkan penekanan tulang belakang serta
hidrosefalus.MRI merupakan teknik nonivasif yang ideal untuk anak-anak karena
tidak menggunakan radiasi ionisasi. MRI memiliki keuntungan lebih daripada CT-
scan untuk menampilkan secara mendetail mengenai sumsum tulang bagian fossa
kranialis posterior.
Pemeriksaan klinis dan MRI yang lebih dini perlu dilakukan untuk menentukan
apakah bayi dengan akondroplasia mengalami kompresi medula bagian servikal.
Dengan diagnosis yang lebih cepat, dekompresi sedang pun dapat ditangani dengan
baik untuk menghindari komplikasi serius yang sering menyertai kompresi ini,
termasuk kematian mendadak.
CT menggambarkan secara mendetail tentang tulang dan tingkatan stenosis
spinalis lebih baik dibandingkan dengan MRI.

Gambar 10.

Potongan sagital vertebra bagian


servikal. MRI menunjukkan
penyempitan foramen magnum pada
level C1, ruang subarachnoid tidak
terlihat jelas. Pasien berumur 6 tahun
dengan tanda defisit neurologi.
4. Ultrasonografi
Ultrasonografi dapat dilakukan pada pemeriksaan antenatal terhadap wanita
yang memiliki risiko akondroplasia. Ultrasonografi merupakan suatu modalitas yang
noninvasif dan baik untuk menilai keadaan ventrikel pada bayi sebelum fontanela
menutup. USG mungkin dapat ditambah dengan CT dan atau MRI kepala untuk
memonitor kompresi dari foramen magnum.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Patel dan Filly pada 15 fetus
dengan risiko akondroplasia tipe homozigot, disimpulkan bahwa pembentukan
lengkung pertumbuhan femoral pada trimester kedua dengan sonogram serial
memungkinkan kita untuk membedakan tipe homozigot, heterozigot dan fetus
normal dari kedua orang tua yang menderita akondroplasia tipe heterozigot.

A. Tes Molekul Genetik


Tes molekul genetik dapat digunakan untuk mendeteksi mutasi gen FGFR3. Beberapa
tes 99% sensitif dan tersedia pada laboratorium klinik.Seorang dokter dapat mendiagnosis
penyakit ini sejak neonatus berdasarkan gejala-gejala fisik yang didapatkan.Untuk
mengkonfirmasi dwarfisme yang disebabkan oleh akondroplasia ini dapat digunakan foto
polos X-ray.

Referensi :

1. Hartiono, V dan Satriono, R. Sub.Bagian Endokrinologi BIKA FK - Unhas RSUP Dr.


Wahidin Sudirohusodo. Akondroplasia. [online]. Available from:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15_Akonroplasia.pdf/15_Akonroplasia.html
2. Best, M.A, MD, MPH, MBA, FCAP,FASCP.Achondroplasia.[online].
Availablefrom:http://www.accessdna.com/condition/Achondroplasia/15?gclid =
COXav5fRiqACFdRR6wodJ2bFcA URL : www.freemedicaljournals.com
3. Hall, B.D. Akondroplasia. Gangguan Tulang dan Sendi. In: Nelson Ilmu Kesehatan
Anak (Nelson Textbook of Pediatrics) Edisi 15 Vol.3. Nelson, MD et.al. Trans:
Wahab, Prof.DR.dr.SpA. EGC. Jakarta. 2000; 2397-2398
4. Favus, M.J and Vokes, T.J. Achondroplasia. Paget Disease and Other Dysplasias of
The Bone.In : Harrison’s Principles of Internal Medicine. 15th Ed. Braunwald et.al.
Mc.Graw Hill. India. 2003; 2244
5. Reiter, E.O and Rosenfeld, R.G. Achondroplasia. Normal and Aberrant Growth. In :
Williams Textbook of Endocrinology. 10th Ed. Larsen, et.al. Saunders. Philadelphia.
2003; 1034-1035
6. Renton, P and Green, R. Achondroplasia. Congenital Skeletal Anomalies : Skeletal
Dysplasias, Chromosomal Disorders. In :Textbook of Radiology and Imaging.
Volume II. 7th Edition. Sutton D. (Editor). Elsevier Churchill Livingstone.
Philadelphia. 2003; 1062, 1138-1141
7. Patel, P.R. Siringomielia. Neuroradiologi. In: Lecture Notes Radiologi Ed.2. Patel,
P.R. Trans: Umami, V, dr. Erlangga. Jakarta; 286

Anda mungkin juga menyukai