Anda di halaman 1dari 40

Diana Alia Sofa

H2A013051P

No. 1 SISTEM SARAF Level SKDI 1


Duchene Muscular Dystrophy (DMD)
suatu penyakit otot herediter yang disebabkan oleh mutasi genetik pada gen dystropin yang diturunkan secara
x-linken resesif mengakibatkan kemerosotan dan hilangnya kekuatan secara progresif.
Etiologi Kelainan genetic x-linked berupa mutasi gen dystrophin. Kondisi ini akan menyebabkan
seorang anak laki-laki mengalami kelumpuhan sebelum mencapai usia 13 tahun,
kardiomiopati dan gangguan kognisi.
Perbandingan Lebih sering laki-laki. Usia < 20 tahun.
jenis kelamin
dan Usia
Faktor Risiko Genetic
Gejala  Pada kondisi awal biasanya berupa kelambatan perkembangan tanpa disertai
(anamnesis) gangguan berjalan, disertai riwayat keluarga dengan kelumpuhan. Pada saat ini sudah
didapatkan peningkatan kadar serum kreatin

 Selanjutnya dapat diikuti oleh kelumpuhan otot proksimal yang lebih nyata berupa
kesulitan memanjat anak tangga, kesulitan bangkit dari posisi duduk, kesulitan
menyisir rambut

 Gangguan jantung (kardiomiopati)

 Prestasi belajar yang menurun

Tanda  Kelumpuhan lower motor neuron


(Pemeriksaan
Fisik)  Atrofi otot terutama bagian proksimal

 Pseudo hypertrofi otot betis (pembengkakan otot betis)

 Gower’s sign

 Waddling gait

 Toe walking.
Pemeriksaan  Laboratorium : CPK, SGOT/PT, LDH
Penunjang
 Pemeriksaan neurofisiologi : NCV dan EMG

 Pemeriksaan PCR untuk mengetahui adanya mutasi gen dystrophyn.

 Biopsi otot : terjadi degenerasi otot tampak internal nuclei bertambah dan
jaringan ikat perimysium dan endomysium meningkat.

 Pemeriksaan EKG

 Pemeriksaan IQ

 Pencitraan : foto polos tulang belakang (untuk melihat adanya komplikasi


scoliosis)

Referensi Panduan Praktik Klinis Neurologi, 2016.

No. 2 SISTEM SARAF Level SKDI 1


Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS)
kelainan neurodegeneratif yang ditandai dengan kelumpuhan otot progresif yang menggambarkan terjadinya
degenerasi Motor Neuron (MN) di korteks motorik primer, batang otak, dan sumsum tulang belakang.
“Amiotrofi” mengacu pada atrofi dari jaringan otot, menyebabkan kelemahan otot dan fasikulasi. "Sklerosis
lateral" mengacu pada pengerasan traktus kortikospinalis anterior dan lateral karena degeneratif MN dan
digantikan oleh gliosis. ALS disebut juga motor neuron disease (MND), Charcot disease, Lou Gehrig
disease.
Etiologi Idiopatik
Perbandingan Lebih sering laki-laki. usia remaja hingga usia 80 tahun, namun usia insiden puncak
jenis kelamin terjadi pada usia 55-75 tahun.
dan Usia
Faktor Risiko  Faktor Genetik

 Eksitotoksisitas

 Stres Oksidatif

 Disfungsi mitokondria

 Gangguan transportasi aksonal

 Agregasi neurofilamen

 Agregasi protein

 Disfungsi inflamasi dan kontribusi sel non-saraf


 Defisit dalam faktor-faktor neurotropik dan disfungsi jalur sinyal

Gejala  Gejala awal (anggota gerak):


(anamnesis) Kesulitan melakukan pergerakan-pergerakan sederhana yang membutuhkan
keterampilan tangan/ kesulitan berjalan atau berlari sering tersandung dari pada
sebelumnya.
 Gejala bulbar :
Masalah dalam berbicara (disatria) atau penurunan volume suara, gangguan menelan
(disfagia), aspirasi atau tersedak keterlibatan nervus kranialis VII,IX,X,XI dan XII.
 Perubahan kognitif ditandai perubahan personalitas, iritabilitas dan defisit fungsi
eksekutif.

Tanda 1. Gejala UMN
(Pemeriksaan  Spastik
Fisik)  Hiperrefleksia
 Refleks patofisiologi (+) : Babinski, caranya menggores dengan ujung tajam palu
reflek pada telapak kaki lateral mulai tumit menuju pangkal jempol, hasil (+)
terjadi dorsofleksi jari-jari kaki.
2. Gejala LMN
 Fasikulasi otot: kontraksi otot yang tidak beraturan
 Kelemahan otot: Pemeriksaan kekuatan, caranya pasien diminta untuk mengangkat
kedua tangan/kaki melawan gravitasi
 Atrofi otot
 Kram otot
Pemeriksaan  Elektrofiologi
Penunjang  Neuroimaging
 Biopsi otot dan neuropatologi
 Pemeriksaan laboratorium : enzim otot (serum kreatinin kinase, ALT, AST, LDH),
serum kreatinin.

Referensi Anurogo, D, 2014, Diagnosis dan Manajemen Amyotrophic Lateral Sclerosis.


Neuroscience Department, Brain Circulation Institute of Indonesia (BCII), Surya
University, Tangerang, Banten.

Steele, J.C, McGeer, P.L.The ALS/PDC syndrome of Guam and the cycad hypothesis.
Neurology. 2008;70(21):1984-90.

Wijesekera, L.C, Nigel P. Amyotrophic Lateral Sclerosis. Orphanet J Rare Dis. 2009;3(4)
:3.

No. 3 SISTEM SARAF Level SKDI 1


Polimiositis
peradangan yang menyebabkan kelemahan otot dan peningkatan kadar enzim otot tulang. Polymyositis dapat
membuat penderitanya sulit untuk menaiki tangga, bangun dari posisi duduk, mengangkat objek, atau
menggapai benda diatas.
Etiologi Idiopatik,
Perbandingan Lebih sering wanita. Usia >20 tahun, terutama usia 45-60 tahun.
jenis kelamin
dan Usia
Faktor Risiko  Penyakit autoimmune
 Infeksi
 Konsumsi obat (hydroksiklorokuin menyebabkan toksik atau metabolik miopati)
Gejala  Gejala berkembang kira kira 3-6 bulan
(anamnesis)  Nyeri ringan
 Disfagia dan aspirasi
 Artralgia
 Kesulitan dalam memanjat atau menaiki tangga, melangkah, mengangkat tangan,
mengankat benda, menyisir rambut, berdiri dari duduk.
 Bila melibatkan jantung: pericarditis atau cardiomiopati
 Gejala konstitusional (kelemahan, anoreksia, demam, bb menurun, kekakuan pada
pagi hari)
Tanda  Kelemahan otot proksimal yang simetris dan sering
(Pemeriksaan  Nyeri saat di palpasi
Fisik)  Kelainan kulit yang kompatibel
Pemeriksaan 1. Laboratorium
Penunjang  CBC (lekositosis, trombositosis)
 Peningkatan erytrosit
 Myoglobinuria
 Autoantibodies
 Rheumatic factors positif
2. Tingkat enzym otot (serum creatine kinase biasanya meningkat)
3. Biopsi otot
4. Elektromiografi
5. MRI
6. Tes fungsi paru
7. ECG, Echocardiogram
Referensi Yonata, Ade. Diagnosis dan Tatalaksana Polymiositis. Jurnal Kedokteran Univ.
Lampung. 2015; 5(9): 69-75.

Polymyositis update 12 Februari 2018 diambil 8 Januari 2020 dari


https://emedicine.medscape.com
No. 1 SISTEM INDRA – Level SKDI 1
Perdarahan Vitreus
ekstravasasi darah ke salah satu dari beberapa ruang potensial yang terbentuk di dalam dan di sekitar korpus
vitreus. Kondisi ini dapat diakibatkan langsung oleh robekan retina atau neovaskularisasi retina.
Etiologi  Pembulu darah retina abnormal: biasanya akibat iskemia padda penyakit seperti
diabetik retinopati, retinopati sel sabit, oklusi vena retina, retinopati prematuritas atau
sindrom iskemik okuler
 Pecahnya pembulu darah normal : biasanya diakibatkan karena kekuatan mekanik
yang tinggi.
 Darah dari sumber lain : keadaan patologi yang berdekatan dengan vitreus juga dapat
menyebabkan perdarahan viterus, seperti pada makroneurisma retina, tumor dan
neurovaskularisasi koroidal.
Perbandingan Terjadi pada semua umur
jenis kelamin
dan Usia
Faktor Risiko  Penyakit degeneratif : diabetes melitus
 Operasi mata
 Penyakit hematologi : anemia sickle sel, leukemia
 Kelainan refraksi : Miopia tinggi
 Trauma tumpul

Gejala  Mata kabur atau berasap


(anamnesis)
 Terdapat helai rambut atau garis ( floaters )
 Fotopsia (kilatan cahaya seperti kedipan lampu neon dilapangan )
 Seperti ada bayangan dan jaring laba- laba
 Penurunan visus mendadak tanpa nyeri jika perdarahan hebat
Tanda Terdapat perdarahan pada vitreous cavity.
(Pemeriksaan
Fisik)
Pemeriksaan  Pemeriksaan oftalmoskopi langsung dengan depresi skleral,
Penunjang
 gonioskopi untuk mengevaluasi neovaskularisasi sudut

 TIO

 B-scan ultrasonografi jika tampilan lengkap segmen posterior tertutup oleh darah

Referensi Sidarta I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-5. Jakarta. Badan Penerbit FK UI. 2015

Green RL, Byrne SF. Diagnostic Ophtalmic Ultrasound. In: Ryan SJ, Ed. Retina. Edisi-3.
Missouri; Mosby 2001; 224-306.
Herman D et al. Vitreous Hemorrhage. In: Amercan Academy of Ophalmology: Retina
and Vitrous. 2014

No. 2 SISTEM INDRA – Level SKDI 1


Korioretinitis (Uveitis Posterior)
suatu proses peradangan yang melibatkan traktus uvealis yaitu khoroid
Etiologi  Usia < 3 tahun, disebabkan oleh sindrom masquerade seperti retinoblastoma atau
leukemia
 Usia 4 – 15 tahun penyebab tersering toksoplasmosis dan toksokariasis
 Usia 16 – 50 tahun, diagnosis banding yaitu sifilis, tuberkulosis, sindrom behcet, dan
sindrom nekrosis retina akut

Perbandingan Insidensinya dapat terjadi pada semua usia, dimana kejadian meningkat pada usia 20-50
jenis kelamin tahun dan menurun diatas usia 70 tahun.
dan Usia
Faktor Risiko 1. Infeksi
 Infeksi virus (Herpes simplek virus, Cytomegalovirus, HIV)
 Infeksi bakteri (M. tuberculosis)
 Infeksi parasit (T.gondii)
2. Non infeksi
 Koroiditis multifokal
 Brishot choroidopathy
 Sarkoidosis
 Neoplasma

Gejala  Penglihatan kabur (cepat/akut)


(anamnesis)  Tidak nyeri
 Mata merah
 Fotofobia
 Floaters (seperti ada garis)
Tanda 1. Penurunan visus (+)
(Pemeriksaan 2. Segmen posterior
Fisik)  Vitreous humor keruh
 Retina suram
 Pembuluh darah tidak nyata
 Bercak eksudat kekuningan tampak sepanjang pembuluh darah atau di macula
3. Anterior uveitis
4. TIO meningkat
5. Chorioretinal scar
Pemeriksaan  Tes imunologi: titer IgG dan IgM Toxoplasma
Penunjang  Funduskopi :

Referensi Kartasasmita, Arief. Rapid Resolutiion of Toxoplasma Chorioretinitis Treatment Using


Quadruple Therapy. Clin Ophtalmol. 2017; 11: 2133-2137

No. 3 SISTEM INDRA – Level SKDI 1


Kolesteatoma
suatu kista epitelial yang berisi deskuamasi epitel (keratin). Deskuamasi terbentuk terus
lalu menumpuk sehingga kolesteatoma bertambah besar
Etiologi Idiopatik
Perbandingan Wanita lebih banyak 13:12. Paling banyak pada usia 40-75 tahun.
jenis kelamin
dan Usia
Faktor Risiko  Faktor mekanik (penggunaan alat bantu dengar)
 Iskemik lokal
 Mikrotrauma meatus akustikus eksternus
 Retensi serumen yang keras
 Osteitis
 Penurunan migrasi epitel akibat usia lanjut
Gejala  Kolesteatoma kongenital dan akuisita primer biasanya asimptomatik
(anamnesis)  Nyeri telinga dan atau nyeri kepala
 Keluar cairan dari telinga yang terus menerus
 Rasa penuh ditelinga
 Kurang pendengaran
Tanda 1. Tes penala : Rinne, webber, swabach
(Pemeriksaan Hasil tuli konduktif
Fisik) 2. Pemeriksaan otoskopi : caranya pemeriksa memegang aurikula pasien dengan tangan
kiri dan menariknya kearah posterosuperior, tangan kanan pemeriksa memegang
otoskop (seperti memegang pensil) tempelkan kelingking dipipi pasien sebagai
fiksas, lalu lakukan pemeriksaan mulai dari CAE hingga membran tympani.
a. Kolesteatoma Kongenital
Penonjolan keputih-putihan pada membran tympani (kuadran posterosuperior)

b. Kolesteatoma akuisita primer


 Perforasi pars flacida disertai kerusakan dinding atik lateral
 Kasus lanjutan dapat ditemukan perforasi pars tensa
c. Kolesteatoma akuisita sekunder
 Retraksi membran tympani yang atrofi hingga mengakibatkan kantong berisi
debris keratin disertai destruksi tulang
 Granulasi posterosuperior dilateral anulus

Pemeriksaan 1. Timpanometri
Penunjang Menurun pada perforasi membran tympani
2. Audiometri
 Perforasi menyebabkan tuli konduktif 15-20 Db
 Kerusakan rangakaian tulang pendengaran denganmembran tympani iutuh
menyebabkan tuli konduktif 55-65 Db
 Kelemahan diskriminasi tutr yang rendah, tanpa melihat keadaan hantaran tulang,
menunjukan kerusakan koklea
3. Radiologi
 Foto Rontgen Kepala : tampak massa kistik, translusen dengan tepi sklerotik dan
terdapat erosi tulang
 CT Scan : erosi tulang kolesteatoma
4. MRI
Referensi Djaafar ZA. Kelainan Telinga Tengah dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2001.

Hauptman G, Makishma T. Cholesteatoma. Departement of Otolaringology. University of


Texas Medical Branch. 2006
No. 1 SISTEM RESPIRASI – Level SKDI 1
Displasia Bronkopulmonar
merapakan diagnosis klinis yang ditentukan berdasarkan ketergantungan oksigen dalam periode waktu
tertentu setelah lahir, dan disertai gambaran radiologis tertentu sesuai dengan kelinan anatomi.
Etiologi  Prematuritas
 Infeksi
 PDA
 Arrest development
 Vascular maldevelopment
 Oksigen
 Genetik
 Nutrisi
 Defisiensi surfaktan
 Mechanical ventilation
 In utero environment

Perbandingan terjadi pada 27% bayi hampir aterm yang menderita penyakit paru berat ( misal sindroma
jenis kelamin distres pernafasan. Aspirasi mekonium, pneumonia, sepsis ), 50% pada bayi yang
dan Usia menderita hipoplasi pulmoner

Faktor Risiko Multifaktorial yaitu :


 Derajat penyakit paru yang mendasari (sebagian besar sindrom distress pernapasan)
 Lama pemakaian vetilator
 Lama pemberian oksigen
Gejala  Nafas cepat
(anamnesis)  Retraksi/tarikan dinding dada
 Mengi
 Pucat/sianosis
Tanda  Takipneu sampai apneu
(Pemeriksaan  Bradikardi
Fisik)  Whezzing
 Ventrikel kanan terangkat, S2 tunggal atau P2 prominen mungkin diikuti dengan cor
pulmonal
 Bisa hepatomegali

Pemeriksaan 1. Elektrolit
Penunjang  Serum bikarbonat meningkat
 Hiponatremia, hipokalemia, hipokloremia
 Nitrogen urea dan kreatinin meningkat
2. Analisa Gas Darah
 Retensi CO2
3. Urinalisa
 Adanya sel darah merah, mengindikasikan adanya kemungkinan nefrokalsinosis
sebagai hasil dari pemakaian diuretik jangka lama
4. EKG
 RVH dan elevasi dari tekanan arteri pilmonal dengan deviasi aksis ke kanan
5. Ekokardiografi
 Peningkatan waktu interval sisitolik kanan, penebalan dinding ventrikel kanan dan
abnormalitas dari geometri ventrikel kanan.

Referensi Landia, S. Dan Retno, A.S. 2008. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: IDAI, halaman
483-49
Janet, M.R. and Roberton, N.R.C. 2010. Textbook of Neonatology 3rd Edition. England:
Churcill Livingstone, halaman 608-622
No. 2 SISTEM RESPIRASI – Level SKDI 1
Emboli Paru
peristiwa infark jaringan paru akibat tersumbatnya pembuluh darah arteri pulmonalis oleh peristiwa emboli.

Etiologi Penyebab utama tromboemboli vena (venous thromboembolism), penyebab lain emboli
udara, emboli lemek, cairan amnion, fragmen tumor dan sepsis.
Perbandingan -
jenis kelamin
dan Usia
Faktor Risiko  Jenis kelamin : laki-laki
 Obesitas
 Usia lanjut
 Trauma ; seperti fraktur tulang panjang
 Immobilisasi
 Keganasan
 Kehamilan kontrasepsi oral
 Gagal jantung kongetsif

Gejala  Nafas cepat sampai sesak nafas berat


(anamnesis)  Hilang kesadaran
 Pucat
 Demam
 Batuk darah

Tanda  Takikardi
(Pemeriksaan  Ronki
Fisik)  Mengi
 takipnea
 Distensi vena leher
 S3 gallop
 Pulsasi jantung kanan di dinding dada
 Sianosis
 Suhu 38,50C

Pemeriksaan 1. Foto Thorax : pembesaran arteri pulmonal yang semakin bertambah pada serial foto
Penunjang thorax
2. Analisa Gas Darah : kadar PO2 menurun, PCO2 normal atau sedikit menurun
3. EKG :

 Gel Q yang sempit diikuti T inverted di Lead III, gel S di Lead I menandakan
perubahan posisi jantung yang dikarenakan dilatasi atrium dan ventrikel kanan
 P pulmonal
 Right Bundle Branch Block yang baru
 Right ventricular strain dengan T inverted di Lead V1 – V4
 Aritmia supraventricular takikardi
4. Ekokardiografi
5. ELISA D-dimmer
6. Scanning Ventilasi Perfusi
7. Spiral Pulmonary Computed Tomography Scanning
8. Pulmonary Scintigraphy
9. Angiografi paru
Referensi Goldhaber SZ. Pulmonary Embolism. In : Zipes, Libby, Bonow, Braunwald, editors.
Braunwald’s Heart Disease, A Textbook of Cardiovascular Medicine. Edition 7th.
Philadelphia : Elsvier saunders. 2005;1789-06.

Nafiah, A. Hasibuan, P. Emboli Paru. USU Respostory: Departemen Kardiologi dan


Kedokteran Vaskuler Fakultas Kedokteran USU. 2007

No. 3 SISTEM RESPIRASI – Level SKDI 1


Kistik Fibrosis
suatu penyakit keturunan yang menyebabkan kelenjar tertentu menghasilkan sekret abnormal, sehingga
timbul beberapa gejala; yang terpenting adalah yang mempengaruhi saluran pencernaan dan paru-paru.

Etiologi Penyakit autosomal resesif akibat mutasi gen yang terletak pada kromosom 7.
Perbandingan Harapan hidup rata rata lebih tinggi pada perempuan. Gejala dan keluhan terjadi pada
jenis kelamin masa anak tetapi saat ini, penderita bisa bertahan sampai usia 18 tahun.
dan Usia
Faktor Risiko Genetic
Gejala 1. Batuk kronik dan berdahak, sering berulang, menggambarkan infeksi saluran nafas
(anamnesis) yang memburuk
2. Selama fase eksaserbasi, batuk makin parah, dahak makin banyak, purulen kadang
bercampur darah.
3. Anoreksia
4. BB menurun
5. Demam
Tanda  Kurus
(Pemeriksaan  Clubbing finger
Fisik)  Barrel chest (bentuk dada seperti tong)
 Ronkhi bagian apex
 Wheezing
 Otot bantu nafas +
 Sianosis
 Hipertensi paru dan gagal jantung kanan.
Pemeriksaan 1. Laboratorium: uji keringat untuk mencari kandungan CL dalam keringat.
Penunjang 2. Fotothorax: hiperinflasi paru, bronkus menebal, kista penuh pus pada lobus paru atas.
3. Uji faal paru
4. Genotyping
5. Analisa semen: azoosperma
6. Foto sinus: pansinusitis
7. Uji fungsi kelenjar eksokrin
Referensi Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
DalamEdisi V, Jakarta, Interna Publishing; 2014.
No. 1 SISTEM KARDIOVASKULER – Level SKDI 1
Koarktasio aorta
Koarktasio Aorta adalah kelainan yang terjadi pada aorta berupa adanya penyempitan didekat percabangan
arteri subklavia kiri dari arkus aorta dan pangkal duktus arteriousus battoli.
Koartasio aorta adalah suatu keadaan dimana terdapat konstriksi atau penyempitan dari aorta. Darah tidak
secara bebas mengalir keseluruh tubuh, sehingga terjadi penigkatan tekanan darah.

Etiologi Belum diketahui secara pasti


Perbandingan Wanita lebih banyak. Insidensi Pada anak2 dan dewasa <40 tahun
jenis kelamin
dan Usia
Faktor Risiko  Pada saat hamil ibu menderita rubella
 Ibu hamil yang alkoholik
 Usia ibu saat hamil lebih dari 40 tahun
 Penderita DM.
 Genetik

Gejala 1. Gejala dasar :


(anamnesis)  Pusing
 Pingsan
 Kram tungkai pada saat melakukan aktifitas
 Tekanan darah tinggi yang terlokalisir (hanya tubuh bagian atas)
 Kaki atau tungkai teraba dingin
 Kekurangan tenaga
 Sakit kepala berdenyut
 Perdarahan hidung
 Nyeri tungkai selama melakukan aktifitas

Tanda  Tekanan darah tinggi dilengan, dengan perbedaan tekanan yang signifikan antara
(Pemeriksaan lengan dan tungkai
Fisik)  Denyut nadi femoralis (selangkangan) lebih lemah dibandingkan dengan denyut nadi
karotis (leher) atau denyut nadi femoralis sama sekali tak teraba
 Dengan bantuan stetoskop bisa terdengar murmur (bunyi jantung abnormal)
 Mungkin ditemukan tanda-tanda gagal jantung kiri (terutama pada bayi) atau tanda-
tanda dari regurgitasi aorta

Pemeriksaan 1. Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Computed Tomografi :


Penunjang 
Dapat memberikan gambaran seluruh aorta dan merupakan pemeriksaan pilihan non
invasive untuk koarktasio aorta. Dengan MRI dan CT dapat ditentukan lokasi dan
derrajat penyempitan aorta
2. Ekokardiografi
 Tidak terlalu mudah untuk mendeteksi isthmus aorta, pengambilan sudut dari supra
sternal dapat membantu. Dengan ekokardiografi dapat dilihat kelainan akibat
koarktasio atau adanya kelainan intra kardiak yang menyertai.
3. Rontgen dada
 Ukuran jantung pada radiografi toraks biasa normal, dilatasi aorta desenden, kinking
atau gambaran double contour di daerah aorta asenden, sehingga terlihat gambaran
seperti angka tiga dibawah aortic knob (‘figure 3 sign’), serta pelebaran bayangan
jaringan lunak arteri subklavia kiri. Rib notching dari daerah posteroinferior kosta
ketiga dan keempat, terjadi akibat kolateral arteri sela iga, jarang terlihat sebelum
umur 50 tahun
4. EKG (menunjukkan adanya pembesaran ventrikel kiri)
 Dapat memberikan gambaran berbagai derajat beban tekanan pada atrium dan
ventrikel kiri, secara fungsional akibat hipertensi, berupa hipertrofi atrium dan
ventrikel kiri.
5. Kateterisasi jantung
 Merupakan baku emas untuk evaluasi anatomi koarktasio aorta serta pembuluh
supraaortik, dapat ditentukan gradien tekanan yang menggambarkan derajat
koarktasio aorta, fungsi ventrikel kiri dan status arteri coroner.

Referensi Sudoyo, AW. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. 2006. Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

No. 2 SISTEM KARDIOVASKULER – Level SKDI 1


Hipertensi Pulmonal
Hipertensi pulmonal adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah pada pembuluh
darah arteri paru-paru yang menyebabkan sesak nafas, pusing dan pingsan pada saat melakukan aktivitas.
Etiologi  Penyebab tersering dari hipertensi pulmonal adalah gagal jantung kiri.
Hal ini disebabkan karena gangguan pada bilik kiri jantung akibat
gangguan katup jantung seperti regurgitasi (aliran balik) dan stenosis
(penyempitan) katup mitral.
 Penyebab lain hipertensi pulmonal antara lain adalah : HIV, penyakit
autoimun, sirosis hati, anemia sel sabit, penyakit bawaan dan penyakit
tiroid
 Penyakit pada paru yang dapat menurunkan kadar oksigen juga dapat
menjadi penyebab penyakit ini misalnya : Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK), penyakit paru interstitial dan sleep apneu
Perbandingan Lebih banyak terjadi pada wanita. Usia 20-60 tahun
jenis kelamin
dan Usia
Faktor Risiko  Penyakit vaskuler kolagen
 Hipertensi portal
 Infeksi HIV
 Obat-obat penekan nafsu makan
Gejala  Dispnea saat aktifitas 60%
(anamnesis)  Fatique 19%
 Sinkop 13%, yang merefleksikan ketidakmampuan menaikan curah
jantung selama aktifitas.
Tanda  Gejala lebih awal dan atau temuan tunggal hanyalah aksentuasi
(Pemeriksaan komponen pulmonal pada bunyi jantung 2 (P2) hampir 90%
Fisik)
 Gejala lebih lanjut adanya trikuspid regurgitasi
 Pembesaran ventrikel kanan
 Pulsasi vena jugularis meningkat bila terjadi overload cairan dan/atau
 Gagal jantung kanan
 Hepatomegali mungkin timbul, asites dan retensi cairan di perifer
 Edema
Pemeriksaan  Ekokardiografi
Penunjang  Tes Berjalan 6 menit
 Tes Latihan Kardiopulmonal
 Tes Fungsi paru
 Radiografi thorax
 Elektrokardiografi

 CT scan
 Tes vasodilator
 Biopsi paru
 Laboratorium
 Biomarkers  atrial naturetic peptide (ANP), brain naturetic peptide
(BNP), dan katekolamin.
Referensi Sudoyo, AW. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 2006. Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta

No. 3 SISTEM KARDIOVASKULER – Level SKDI 1


Aneurisma Aorta
Dimana terjadi pelebaran atau dilatasi aorta lebih dari 50%. Aneurisma dapat terjadi sebagai kelainan
kongenital atau akuisita.
Etiologi disebabkan oleh adanya aterosklerosis
Perbandingan Lebih banyak terjadi pada laki-laki. usia > 60 tahun
jenis kelamin Laki-laki > wanita
dan Usia
Faktor Risiko  Merokok
 Faktor usia >60 tahun, jenis kelamin laki-laki, ras kulit putih
 Riwayat keluarga
 Genetic
 CKD

Gejala  Bisa Asimptomatik


(anamnesis)  Nyeri hebat pada midabdomen menjalar ke punggung
 Nyeri pada penekanan

Tanda  Nyeri tekan, berdenyut


(Pemeriksaan  Teraba masa berdenyut intraabdomen
Fisik)  Hipotensi

Pemeriksaan  USG
Penunjang

Gambar 1. USG Aorta abdominalis normal


Gambar 2. USG Aneurisma aorta abdominalis
 CT Scan
 MRI

Referensi Aggarwal S, Qamar A, Sharma V, Sharma A. Abdominal Aortic Aneurysm : A


Comprehensive Review. Exp Clin Cardiol. 2011;16(1): 11-5

William Yan S. Skrining Ultrasonografi untuk Deteksi Awal Aneurisma Aorta Abdominalis.
Jakarta : CDK-233, Vol.42 no.10. 2015; 792-4.
No. 1 SISTEM GASTROINTESTINAL, HEPATOBILIER, DAN PANKREAS – Level SKDI 1
Ruptur Esofagus
Sindrom Boerhaave) adalah rupturnya dinding esophagus. Perforasi esofagus adalah iatrogenik, biasanya
karena instrumentasi medis seperti bedah endoskopi atau paraesophageal. Sebaliknya, sindrom Boerhaave
istilah dari perforasi esofagus yang terjadi akibat muntah. Triad Mackler : Vomitus, Nyeri dada, emfisema
subkutan
Etiologi  Trauma langsung : luka tusuk, benturan dada
 Spontan akibat peningkatan tekanan intralumen
 Benda asing
 Perforasi iatrogenik
 Perforasi bahan kimia
Perbandingan Lebih banyak terjadi pada laki-laki
jenis kelamin
dan Usia
Faktor Risiko  Proses pembedahan thorax abdomen
 Pemasangan NGT
 Tindakan endoskopi
 Muntah keras yang disebabkan oleh makanan berat atau alkohol
Gejala  Nyeri dada akut menjalar ke punggung atau bahu
(anamnesis)  Muntah berulang
 Sesak nafas
 Nyeri telan
 Suara serak
 Ketidaknyamanan saat berbaring datar
Tanda  Takikardi
(Pemeriksaan  Takipnea
Fisik)  Febris (suhu > 38,5⁰C)
 Krepitasi kulit daerah leher atau dada (empisema kutis)
 Pembengkakan leher
Pemeriksaan 1. Foto Thorax :
Penunjang  Empisema servikalis, empisema mediastinum
 Pneumothorax
 Mediastinitis
 Aspirasi pnumonia
2. Esofagografi : dengan gastrografin atau water soluble contrast
Menentukan letak rupturberupa ekstravasasi dari kontras
3. CT Scan
 Menunjukan inflamasi jaringan lunak dan abses
 Dapat dilakukan pada pasien dengan kondisi kritis
 MRI
Referensi Taslak S, Durgum Y. Early Diagnosis Saves Lives in Esophageal Perforation. Turk J Med
Sci. 2013;43:939-45

No. 2 SISTEM GASTROINTESTINAL, HEPATOBILIER, DAN PANKREAS – Level SKDI 1


PES
Disebut juga Plague adalah infeksi yang disebabkan bakteri Yersinia pestis (Y. Pestis) dan ditularkan oleh
kutu tikusn (flea), Xenopsylla cheopis. Yesinia pestis penyebab pes berbentuk batang pendek/ gemuk dengan
ujung membulat dengan badan mencembung/ berukuran 1,5 µ x 5,7 µ dan bersifat Gram positif
Etiologi  Enterobakteria Yersinia pestis (kutu tikus), basil gram negatif
 Vektor pes yaitu pinjal (Xenopsylla cheopis, Culex iritans, Neopsylla sondaica, Stivalus
cognatus)

Perbandingan -
jenis kelamin
dan Usia
Faktor Risiko 1) Agent : bakteri Yersinia pestis
2) Host : Manusia
3) Port the entry : kulit disertai transmisi kontak dengan binatang terinfeksi
4) Faktor lingkungan: kotor, kumuh
5) Faktor ekonomi : rendah
Gejala 1. Plague Bubonik
(anamnesis)  Onset gejala muncul beberapa jam sampai 12 hari setelah paparan bakteri
 Mengigil mendadak
 Demam tinggi sampai 41,5⁰C
 Gelisah dan mengigau
2. Plague Pneumonik
 Muncul dalam waktu 2-3 hari pasca terinfeksi
 Demam tinggi
 Menggigil
 Sakit kepala hebat
 Batuk
 Dahak jernih kemudian menjadi berwarna merah muda atau merah terang dan berbusa
3. Plague Pestis Minor
 Gejala seperti Plague Bubonik ringan
 Sakit kepala
 Kelelahan
4. Plague Septikemik
 Mual
 Muntah
 Diare
 Nyeri perut
 Perdarahan dibawah kulit
Tanda 1. Plague Bubonik
(Pemeriksaan  Nadi cepat dan lemah
Fisik)  Tekanan darah dapat turun
 Suhu tinggi
 Pembesaran kelenjar getah bening sebesar buah duku di selangkangan, ketiak, atau
leher. Teraba lunak, tegas, hangat, warna kemerahan, pembengkakan daerah sekitar
2. Plague Pneumonik
 Penurunan kesadaran
 Denyut jantung cepat
 Nafas cepat dan dangkal
3. Plague Septikemik
 Pucat
 Penurunan kesadaran hingga koma
 Ekymosis berkembang menjadi gangrene
Pemeriksaan 1. Leukositosis dengan dominasi neutrofil diteliti, dan tingkat leukositosis sebanding
Penunjang dengan tingkat keparahan dari sakit
2. Hapusan darah perifer menunjukkan granulasi beracun
3. Trombositopenia adalah umum, dan tingkat produk degradasi fibrin mungkin
meningkat
4. Transaminase serum dan kadar bilirubin dapat meningkat
5. Proteinuria mungkin ada, dan temuan tes fungsi ginjal mungkin abnormal
6. Hipoglikemia dapat diamati
Referensi Corwin, Elizabeth. 2009. Buku Saku Patofisiologis. Jakarta: Penerbit Kedokteran EGC

Natadisastra, Djaenuddin. Parasitologi Kedokteran. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran


EGC. 2009
No. 3 SISTEM GASTROINTESTINAL, HEPATOBILIER, DAN PANKREAS – Level SKDI 1
Enterokolitis Nekrotik (NEC)
Kematian jaringan yang luas pada lapisan intestinal, terutama ileus terminalis
Etiologi  Iskemia intestinalis
 Faktor kolonisasi bakteri
 Faktor makanan
Perbandingan Bayi laki-laki lebih banyak . Pada bayi prematur yang lahir < 32 minggu usia kehamilan
jenis kelamin dan BBLSR < 1500gr, terjadi 2 minggu pertama setelah lahir.
dan Usia
Faktor Risiko 1. Faktor ibu:
 Ras negroid
 Infeksi intrauterin
 Pre eklamsia
 Penggunaan kokain
2. Faktor neonatus:
 Prematur
 BBLR
 Iskemia intestinalis
 Macam nutrisi enternal
 Kolonisasi bakteri abnormal
 Penyakit jantung kongenital
 Polisitemia
 Pemasangan kateter umbilikalis dan asfiksia
Gejala  Bayi lahir premature
(anamnesis)  Perut kembung
 Toleransi minum yang buruk
 Muntah kehijauan
 Darah pada feses
Tanda  Distensi perut
(Pemeriksaan  Tanda-tanda gangguan iskemik umum (apnea, terus mengantuk/ tidak sadar, dan
Fisik) demam/ hipotermia)
Pemeriksaan  rontgen : ileus ringan, pneumoperitonium
Penunjang  darah rutin
Referensi Erwidodo. Enterokolitis Nekrotik. 2013. Eprints.undip.ac.id

Shelley CS, Necrotizing Enterocolitis


https://emedicine.medscape.com/article/977956-overview
No. 1 SISTEM GINJAL DAN SALURAN KEMIH – Level SKDI 1
Ginjal Tapal Kuda
Ginjal tapal kuda merupakan jenis yang paling umum dari fusi anomali ginjal. Ginjal tapal kuda adalah
penyatuan kutub – kutub ginjal (biasanya bagian bawah). Mereka saling berhubungan melalui istmus yang
berupa parenkim ginjal atau berupa jaringan fibrous (band).
Etiologi  Teori fusi mekanik:
Kutub inferior dari sentuhan ginjal awal, tergabung di garis tengah lebih rendah. Dengan
syarat terdapat isthmus berserat.
 Peristiwa teratogenik:
Melibatkan migrasi abnormal sel-sel nephrogenic posterior yang bersatu membentuk
isthmus.
Perbandingan Banyak terjadi pada laki-laki
jenis kelamin
dan Usia
Faktor Risiko  Riwayat keluarga dengan ginjal tapal kuda
 Riwayat tumor wilms
 Penderita sindrom turner dan kelainan trysomi 18
Gejala  Kencing berwarna merah seperti darah
(anamnesis)  Nyeri pinggang terutama setelah melakukan aktifitas berat
Tanda 1. Biasanya hanya dapat dideteksi berdasar pemeriksaan penunjang
(Pemeriksaan  Didapatkan hematuria
Fisik)  Kolik abdomen
Pemeriksaan Imaging:
Penunjang a. Pyelograply Intravena (IVP)

b. CT Scan: Untuk menunjukan isthmus dari tapal kuda, keberadaan batu, massa/
hidronefrosis
c.

Referensi Purnomo, Basuki B. 2003. Dasar-dasar Urologi. Edisi Ke-2. Malang: Sagung Seto. 125-
126.
No. 2 SISTEM GINJAL DAN SALURAN KEMIH – Level SKDI 1
Seminoma Testis
Salah satu jenis karsinoma testis yang berasal dari sel germinativum turunan gonadal
dengan gambaran histopatologis yang ditandai oleh bentukan sel besar dengan batas yang
jelas, sitoplasma jernih kaya akan glikogen dan nucleus bulat dengan nucleolus jelas
Etiologi  Testis undesensus
 Penggunaan obat dietistibisterol oleh ibu saat hamil
 Perkembangan testis abnormal
Perbandingan Pada laki-laki. Usia 15-45 tahun atau 80-90 tahun
jenis kelamin
dan Usia
Faktor Risiko  Genetik
 Faktor ibu
 Gonadal dysgenesis
 Androgen insensivity syndrom
 Infertilitas
Gejala  Ada benjolan pada testis tanpa rasa sakit
(anamnesis)  Tidak ada nyeri tekan
Tanda  Nyeri tekan (-)
(Pemeriksaan  Massa berbatas tegas/ keras
Fisik)  Tes transluminasi (-)

Dikatakan seminona jika:


a. Tumor sel germinal yang terdiri secara eksklusif gambarang histopatologis
seminoma, dan
b. AFP serum yang normal. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, AFP hanya
berasal dari sel tumor embrional, tumor sinus endodermal, atau bagian dari
teratoma, dan bila kadar AFP naik (yang tidak disebabkan oleh penyakit liver atau
kaussa lain yang tidak dapat diidentifikas0) meskipun terdapat gambaran
histopatologis seminoma, tumor akan diklasifikasikan sebagai tumor campuran
atau nonseminomatous germ cell tumor (NSGCT)
Pemeriksaan  Laboratorium Suatu glikoprotein yang diproduksi oleh karsinoma embrional,
Penunjang teratokarsinoma, atau tumor yolk sac, tetapi tidak diproduksi oleh koriokarsinoma
murni dan seminoma murni. Penanda tumor ini memiliki masa paruh 5-7 hari
Peningkatan serum alpha-fetoprotein (AFP) dan beta-human chorionic gonadotropin
(HCG) tingkat mungkin menunjukkan keganasan.
 USG

 MRI:
 Histologi:
 proliferasi monoton sel yang besar, dan bentuknya bulat, oleh karenanya disebut
"fried egg" appearance yang tersusun dalam barisan dengan nuclei dan nucleolus
yang bwsar dan berada di sentral

Referensi Jong, W.D. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah.Jakarta : EGC

No. 3 SISTEM GINJAL DAN SALURAN KEMIH – Level SKDI 1


Teratoma Testis
Teratoma biasanya tumor sel benih jinak yang terdiri paling sedikit atas dua, dan kadang-kadang tiga lapis
benih. Teratoma dibagi dalam tiga kategori yaitu teratoma matur (jinak), teratoma imatur, dan teratoma
monodermal dengan diferensiasi khusus.
Etiologi  Testis undesensus
 Penggunaan obat dietistibisterol oleh ibu saat hamil
 Perkembangan testis abnormal
Sindroma Klinefelter
Perbandingan Pada laki-laki. Usia 15-39 tahun
jenis kelamin
dan Usia
Faktor Risiko  Genetik
 Faktor ibu
Gejala  Ada benjolan pada testis tanpa rasa sakit
(anamnesis)  Tidak ada nyeri tekan
Tanda  Nyeri tekan (-)
(Pemeriksaan  Massa berbatas tegas/ keras
Fisik)  Tes transluminasi (-)
Pemeriksaan  Laboratorium:
Penunjang
 Peningkatan serum alpha-fetoprotein (AFP) dan beta-human chorionic gonadotropin
(HCG) tingkat mungkin menunjukkan
 Histologi:
 Prepubertal teratoma, dengan distribusi organoid seperti struktur anatomis
(gambar 1)

Gambar 1. Teratoma prapurbetas


 Postpubertal teratoma, dimana jaringan terdistribusi secara teratur. Terdapat
sitologi atipik disertai mitosis dan 90% keterlibatan dengan ITGCNU (gambar 2)
Gambar 2. Teratoma pasca pubertas

Dalam teratoma, bagian luar dari dinding tumor biasanya dilapisi dengan jaringan
aslinya. Rongga kista sering dilapisi dengan epitel skuamosa keratin dan biasanya
berisi banyak sebasea dan kelenjar keringat. Rambut dan kulit pelengkap lainnya
biasanya muncul. Kadang-kadang, dinding kista dilapisi oleh epitel bronkial atau
gastrointestinal

Referensi Jong, W.D. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah.Jakarta : EGC

McLeod NP, Vallely MP, Mathur MN. Massive Immature Mediastinal Teratoma Extending
into the Left Pleural Cavity. Heart Lung and Circulation 2005;14:45–7
No. 1 SISTEM REPRODUKSI – Level SKDI 1
Kistokel
atau sistokel merupakan keadaan seperti hernia dimana organ-organ panggul (vesika urinaria) menonjol
melalui dinding depan vagina. Kistokel disebabkan akibat lemahnya dinding antara vagina dan kandung
kemih yang menyebabkan prolapse kandung kemih kedalam vagina.
Etiologi  Pasca persalinan lama
 Menopause
 Penegangan berulang-ulang selama pergerakan bowel (mengedan keras saat BAB)
Perbandingan Hanya pada wanita dan meningkat dengan pertambahan usia.
jenis kelamin
dan Usia
Faktor Risiko  Kelainan dalam persalinan.
 Perubahan yang disebabkan oleh menopause, seperti melemah dan hilang tonus jaringan
dan kadar hormon estrogen
 Kelebihan berat badan, yang menciptakan tekanan ekstra di area panggul.
 Operasi panggul sebelumnya, seperti histerektomi atau perbaikan kandung kemih.
 Angkat berat.
 Batuk jangka panjang.
 Sembelit jangka panjang, karena mengejan berlebihan saat pergi ke toilet
Gejala  Perasaan penuh atau tekanan di panggul dan vagina
(anamnesis)  Perasaan buang air kecil tidak puas
 Sulit menahan buang air kecil
 Perasaan seperti ada benjolan yang terduduki saat duduk
 Nyeri saat melakukan hubungan seksual
Tanda  Grade I (ringan) : kandung kemih turun sedikit kejalan vagina
(Pemeriksaan  Grade II (sedang) : kandung kemih masuk kejalan vagina cukup jauh kedaerah pintu
Fisik) vagina
 Grade III (berat) : kandung kemih menonjol keluar pintu vagina

Pemeriksaan  Sistokopi
Penunjang  Sistouretrogafi

Referensi Menefee. Incontinence, Prolapse and Disorder of Pelvic Floor. In: Berek JS. Noval’s
Gynecology. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2002.

Delancey JOL. Pelvic Organ Prolapse. Danforts obstetrics and Gynecology. Ed 9.


Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins Publisher; 2003.
No. 2 SISTEM REPRODUKSI – Level SKDI 1
Penyakit Paget
kelainan metabolic tulang kronik yang secara khas yang mengakibatkan pembesaran, deformitas tulang,
kerusakan formasi jaringan tulang dan irregularitas struktur dalam tulang yang ditandai oleh peningkatan bone
turnover akibat kinerja osteoklas yang berlebihan dan diikuti oleh peningkatan aktivitas osteoblast sehingga
pada akhirnya akan menyebabkan kerapuhan dan kelemahan tulang. Penyakit ini juga dikenal dengan nama
Osteitis Deformans.
Etiologi Belum diketahui secara pasti
Perbandingan Banyak terjadi pada laki-laki. Pada usia >40 tahun
jenis kelamin
dan Usia
Faktor Risiko  Genetik
 Infeksi slow paramyxovirus
Gejala  Nyeri tulang
(anamnesis)  Nyeri kepala
 Hilang pendengaran akibat sclerosis tulang telinga
 Gangguan penglihatan
Tanda  Paralisis n.facialis
(Pemeriksaan  Neuralgia trigeminal
Fisik)  Pembesaran ukuran kepala
 Pembengkokan anggota gerak bawah

Bowing. Deformitas postur tubuh


 Steal syndrome

Pemeriksaan  X ray
Penunjang

 Gambaran tampak osteoporosis circumscripta dan gambaran cotton wool


Gambaran blade of grass pada Paget Gambaran Ivory Vertebra pada paget
 CT scan
 MRI
 Investigasi Biokimia
 Bone scan : terdapat peningkatan uptake yang jelas di proksimal humerus kanan, pelvis,
proksimal femur kanan, dan tibia bilateral yang konsisten dengan gambaran penyakit
paget

Referensi Ralston S, Langston A, Reid I. Pathogenesis and Management of Paget’s Disease of Bone.
The Lancet. 2008; 372 : 155-163

Colina M, La Corte R, Leonardis F, Trotta F. Paget’s Disease of Bone : a


Review.Rheumatol Int. 2008; 28: 1069 – 1075
No. 3 SISTEM REPRODUKSI – Level SKDI 1
Tumor Filoides
Etiologi Berasal dari fibroadenoma
Perbandingan Usia 35-55 tahun
jenis kelamin
dan Usia
Faktor Risiko  Wanita
 Usia 35-55 tahun
 Memiliki riwayat fibroadenoma mamae
Gejala  Terasa benjolan pada payudara semakin lama semakin besar
(anamnesis)  Tidak nyeri

Tanda  Terdapat massa pada payudara lebih besar dari fibro adenoma
(Pemeriksaan  Retraksi puting
Fisik)
Pemeriksaan Biopsi
Penunjang

Referensi Mishra SP, Tiwary SK, Mishra M, Khanna AK. Phyllodes tumor of breast: a review
article. ISRN Surg. 2013;2013:361469.
No. 1 SISTEM ENDOKRIN METABOLIK DAN NUTRISI – Level SKDI 1
Akromegali, Gigantisme
Gigantisme merujuk kepada keadaan tinggi badan berdiri lebih dari 2 standart deviasi dari rata- rata sesuai
dengan jenis kelamin, usia dan stadium Tanner. Pertumbuhan linear yang abnormal karena aksi Insulin-like
Growth Factor-I (IGF-I)/GH menyebabkan gigantisme ketika lempeng pertumbuhan epifiseal terbuka saat
masa kanak-kanak, ketika pubertas muncul akan diikuti dengan perubahan akromegalik yang progresif
menyebabkan akromegalik gigantisme.
Akromegali merpakan gangguan pertumbuhan somatik dan proporsi, dimana terjadi pembesaran tangan dan
kaki.
Etiologi  Adenoma somatotrop, dan dapat juga disebabkan oleh lesi ekstrapituitary tetapi cukup
jarang
 Tumor mammosomatotrop dan adenoma acidophilic stem-cell yang mensekresi GH dan
Prolaktin
Perbandingan Akromegali terjadi sama pada laki- laki dan perempuan, dengan usia rerata pasien yang
jenis kelamin terdiagnosis akromegali adalah 40-45 tahun.
dan Usia
Faktor Risiko  Genetik
 Adanya tumor
 Genetik
 Osteoartritis
 Diabetes Melitus
 Hipertensi
Gejala  Pertumbuhan tidak sesuai dengan anak-anak seusia nya
(anamnesis)  Pembesaran akral, pembengkakan jaringan lunak, hingga terjadinya osteoartritis,
diabetes melitus dan hipertensi
Pemeriksaan
Penunjang

Referensi Melmed S. Acromegaly Pathogenesis and treatment. J Clin Invent. 2009. P 3189-202
Cahyanur R, Soewondo P. Akromegali. Majalah Kedokteran Indonesia Volume 6. Nomer:
6. Jakarta. 2010. P 279-83
Akin F, Yerlikaya E. Acromegaly and Gigantism. Pamukkale university Faculty of
Medicine Devision of Endocrinology and Metabolism, Turkey.2011. p 53-74
No. 2 SISTEM ENDOKRIN METABOLIK DAN NUTRISI – Level SKDI 1
Prolaktinemia
Peningkatan kadar prolaktin yang terjadi pada wanita yang tidak hamil dan dapat menyebabkan amenorrhoea
atau galactorroea atau keduanya.
Etiologi Gangguan dari hipofisis anterior, seperti mikroadenoma dan idiopatik.
Perbandingan Banyak terjadi pada wanita masa subur
jenis kelamin
dan Usia
Faktor Risiko  Kehamilan
 Hipotiroidisme
 Pemakaian obat antagonis dopamin
 Sindrom ovarium polikistik
Gejala  Menars terlambat
(anamnesis)  Gangguan siklus haid
 Libido menurun
 Vagina kering
 Nyeri kepala
 Gangguan visus
Tanda  Atrofi payudara
(Pemeriksaan  Galaktorea unilateral / bilateral, konsistensi encer / kental
Fisik)  Tidak ditemukan tanda-tanda kehamilan
Pemeriksaan 1. Pemeriksaan kadar prolaktin serum (normal : 10 - 28µg/L)
Penunjang  Peningkatan kadar prolactin tinggi (>100µg/L) : sering terkait dengan
hipogonadisme, galaktorea dan amenorrhea
 Peningkatan kadar prolactin sedang (51 - 75µg/L)
 Peningkatan kadar prolaktin ringan (31 - 50µg/L) : Sering terkait dengan fase luteal
pendek, penurunan libido dan infertilitas
2. Pemeriksaan kadar TSH untuk mendeteksi adanya hipotiroid sebagai penyebab
terjadinya peningkatan sekresi prolactin
3. Pemeriksaan kehamilan kecuali pada wanita menopause atau pernah melakukan
histerektomi
4. Pemeriksaan fungsi ginjal untuk mendeteksi gagal ginjal
5. Pemeriksaan MRI (gold standard untuk mendeteksi adenoma)

Gambaran pemeriksaan MRI menunjukkan mikroadenoma danmakroadenoma


Referensi Davis J.R.E. Prolactin and Reproductive Medicine. In: Current opinion in obstetrics and
gynecology. Manchaster: Lippincott; 2004
No. 3 SISTEM ENDOKRIN METABOLIK DAN NUTRISI – Level SKDI 1
Addison’s Disease
merupakan suatu kondisi berkurangnya sintesis hormon kortisol yang diakibatkan oleh gangguan fungsi pada
korteks adrenal, pada beberapa kasus sintesis hormon aldosteron juga terganggu.
Etiologi  Insufiensi adrenokortikal primer (kerusakan/disfungsi korteks adrenal): Destruksi
autoimun kortek adrenal, penyakit granulomatous
 Insufiensi adrenokortikal sekunder (defisiensi sekresi ACTH hipofisis) : Terjadi ketika
dosis besar terapi glukortikoid antiinflamasi dan imunosupresan penggunaan 4-5
minggu, penghentian terapi secara mendadak
Perbandingan
jenis kelamin
dan Usia
Faktor Risiko  Riwayat penggunaan obat golongan glukortikoid antiinflamasi dosis tinggi jangka
panjang
 Riwayat penyakit tuberkulosis adrenal
 Riwayat keganasan mengakibatkan metastase adrenal
 HIV AIDS
Gejala 1. Primer dan sekunder insufisiensi adrenal :
(anamnesis)  Mudah lelah
 Berat badan menurun
 Mual, muntah
 Kram perut
 Diare
2. Primer insufisiensi adrenal :
 Perubahan kulit
 Mukosa menghitam
3. Sekunder insufisiensi adrenal :
 Pucat
 Menstruasi tidak teratur
 Penurunan hasrat seksual
 Gangguan visual
 Pertumbuhan rambut ketiak dan pubis sedikit/hampir tidak ada

Tanda  Pucat
(Pemeriksaan  Hipotensi ortostatik
Fisik)  Kulit hiperpigmentasi
 Pubertas terlambat
Pemeriksaan 1) Laboratorium :
Penunjang  Hiponatremia
 Hipoglikemia
 Limfositosis eosinofilia
 Anemia normositik
 Hiperkalemia
 Growth hormon menurun
2) Tes ACTH stimulation (tes spesifik)
3) Tes CRH stimulation : adrenal insuff primer mempunyai ACTH tinggi tetapi tidak
menghasilkan kortisol, adrenal insuff sekunder menghasilkan defisit respon kortisol
tetapi tidak ada/lambat terhadap respon ACTH

Referensi Michels A, Nicole M. Addison Diesease : Early Detection and Treatment Principles.
Americian Family Physician. Indian Journal of Clinical Practice, Vol.26, No.8. 2014 Nov
No. 1 SISTEM HEMATOLOGI DAN IMUNOLOGI – Level SKDI 1
Limfoma Hodgkin dan Non Hodgkin
Limfoma adalah sekumpulan keganasan primer pada kelenjar getah bening dan jaringan limfoid. Berdasarkan
tipe histologiknya, limfoma dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu Limfoma Non Hodgkin dan
Hodgkin.
Limfoma Non Hodgkin (LNH) merupakan sekumpulan besar keganasan primer kelenjar getah bening dan
jaringan limfoid ekstra nodal, yang dapat berasal dari limfosit B, limfosit T, dan sel NK ”natural killer”.
Limfoma Non Hodgkin yang pertumbuhannya lambat disebut indolent/ low grade dan untuk yang
pertumbuhannya cepat disebut aggresive/ high-grade.
Limfoma Hodgkins ( LH ) terjadi karena mutasi sel β pada sistem limfatik, dengan hasil deteksi yaitu
adanya sel abnormal reed-stenberg dalam sel kanker. Limfoma hodgkins memiliki 5 subtipe. Limfoma
hodgkin sendiri merupaka jenis yang paling bisa disembuhkan dan biasanya menyerang kelenjar getah bening
yang terletak dileher dan kepala.
Etiologi Idiopatik
Perbandingan Perbandingan laki laki dan perempuan= 1,3-1,4 : 1. Limfoma Non Hodgkin lebih sering
jenis kelamin terjadi pada usia > 60 tahun. Limfoma Hodgkins ( LH ) Umumnya pasien didiagnosa pada
dan Usia saat usia 20-30 tahun dan >60 tahun
Faktor Risiko  Usia
 Factor genetic
 Infeksi : virus Epstein – Barr atau EBV, itomegalovirus, HIV, Human Herpes VIRUS-
6/HHV-6.
 Sistem kekebalan tubuh yang lemah
 Jenis kelamin
 Keluarga pasien Hodgkins (adik kakak)
 Paparan kimia beracun
Gejala  Demam tinggi 38⁰C selama 1 minggu tanpa sebab yang jelas
(anamnesis)  Keringat berlebih saat malam
 Penurunan berat badan >10% dalam waktu 3 bulan
 Hilang nafsu makan
 Kulit gatal yang terus menerus
 Mudah lelah
 Pembesaran kelenjar getah bening leher, ketiak, atau lipat paha
 Sakit kepala
Tanda  Pembesaran kelenjar getah bening
(Pemeriksaan  Tumor padat, kenyal, terfiksir, tidak nyeri, tidak ada tanda inflamasi
Fisik)

Pemeriksaan  Laboratorium : darah rutin mengetahui eritrosit, leukosit, trombosit


Penunjang  Bone marrow test : mengetahui ada atau tidaknya limfoma hodgkin limfoma
sumsum tulang

sel Reed Sternberg


 Biopsi : histologi starry sky
 CT Scan, MRI, Tomografi
 Pungsi lumbal : memriksa cairan otak/serebrospinal
Referensi Leyse Kementerian Kesehatan RI. Data dan Kondisi Penyakit Limfoma di Indonesia dalam
InfoDATIN. Departemen Kementerian Kesehatan RI. ISSN 2442-7659; 1-3.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
DalamEdisi V, Jakarta, Interna Publishing; 2014.

No. 2 SISTEM HEMATOLOGI DAN IMUNOLOGI – Level SKDI 1


Mieloma Multipel
keganasan sel plasma yang termasuk golongan Malignant Small Round Cell Tumor ditandai oleh ekspansi
Immuniglobulin monoclonal dan akumulasi abnormal sel plasma di dalam kompartemen sumsum tulang.
Etiologi Tidak diketahui secara pasti. Kemungkinan perubahan dalam DNA
Perbandingan  Laki-laki > wanita. Rata-rata usia 70 tahun. Insidensi meningkat dengan pertambahan
jenis kelamin usia
dan Usia
Faktor Risiko  Ras Afrika-Amerika
 Radiasi
 Genetik
 Obesitas
 Mengalami sel kanker lainnya
 Monoclonal Gammopathy of Undetermined Significance (MGUS)
 Rangsangan imun kronik
 Paparan radiasi
 Paparan dari pekerjaan yang berhubungan dengan pestisida, industri cat, metal, kayu,
kulit, tekstil, asbestos, bensin dan pelarut
Gejala  Asimptomatik
(anamnesis)  Anemia
 Infeksi berulang
 Nyeri tulang
 Kelelahan
 Penurunan berat badan
 Gangguan fungsi ginjal
 Fraktur patologik
 Demam
 Nefropati
 Kecenderungan perdarahan
 Kadang-kadang terdapat makroglossia, carpal tunnel syndrome dan diare yang
disebabkan penyakit amiloid.
 Sindrom hiperviskositas
 Neuropati
Tanda  Tanda-tanda anemia
(Pemeriksaan  Fraktur patologik
Fisik)  Parestesia
 Demam
Pemeriksaan  Pemeriksaan darah : anemia, trombositopenia, leukopenia
Penunjang  Urin sample 24 jam
Bone marrow biopsy plasmacytosis Skeletal radiography

 MRI

Referensi Christian Gerecke. The Diagnosis and Treatment of Multiple Myeloma. Dtsch Arztebl Int.
2016 Jul; 113(27-28): 470–476. Published online 2016 Jul 11.
doi: 10.3238/arztebl.2016.0470

Konrad. Multiple Myeloma: Diagnosis and Treatment. West Virginia University


Departement of Family Medicine Division. Harpers Ferry, West Virginia. 2008
No. 3 SISTEM HEMATOLOGI DAN IMUNOLOGI – Level SKDI 1
Poliarteritis Nodusa / PAN
Merupaka inflamasi nekrosis pada arteri kecil atau sedang yang tidak melibatkan arteriol atau kapiler dan
tidak berhubungan dengan Glomerulonefritis. PAN paling sering mengenai kulit, sendi, saraf perifer, usus dan
ginjal.
Etiologi  Hepatitis B dan PAN
 Berhubungan dengan penyakit lain: HIV
Perbandingan Lebih sering laki-laki dan lebih sering usia 45-65
jenis kelamin
dan Usia
Faktor Risiko Genetik
Gejala 1. Abdominal: nyeri karena keterlibatan arteri mesenterica, infark liver dan spleen,
(anamnesis) bleding. Peritonitis.
2. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, myalgia, kelemahan
Tanda  Demam, BB menurun
(Pemeriksaan  Skin: purpura, nodul, bulla, vesicel erupsi, edem
Fisik)  Cardiovaskuler: crdiac iskemi, cardiomiopati, hipertensi
 Renal: vasculitis arteri renal
 Saraf: encephalopati, stroke, kejang

Pemeriksaan 1. Laboratorium: anemia, fungsi hepar, fungsi ginjal, HIV.


Penunjang 2. Imaging: Angiogram, MR/CT Angiografi, dopler ultrasound

Gambaran angiografi yang khas : tampak aneurisma multiple dengan penyempitan


segmental arter
Referensi Travis Howard et al., Polyarteritis Nodosa., HHSPublic Access., available in PMC 1
Desember 2015 diambil 11 Januari 2020 dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4363102/
No. 1 SISTEM MUSKULOSKELETAL – Level SKDI 1
Spondilolistesis
pergeseran korpus vertebrae (biasanya kedepan) terhadap korpus vertebra yang terletak dibawahnya.
Umumnya terjadi pada pertemuan lumbosacral (lumbosacral joints) dimana L5 bergeser (slip) diatas S1, akan
tetapi hal tersebut dapat terjadi pula pada tingkat vertebra yang lebih tinggi.
Etiologi Etiologi spondilolistesis adalah multifaktoral. Predisposisi kongenital tampak pada
spondilolistesis tipe 1 dan tipe 2, dan postur, gravitasi, tekanan rotasional dan stres/tekanan
kosentrasi tinggi pada sumbu tubuh berperan penting dalam terjadinya pergeseran tersebut.
Terdapat lima tipe utama spondilolistesis:
 Tipe I disebut dengan spondilolistesis displastik dan terjadi sekunder akibat
kelainankongenital pada permukaan sacral superior dan permukaan L5 inferior atau
keduanya dengan pergeseran vertebra L5
 Tipe II, isthmic atau spondilolitik, dimana lesi terletak pada bagian isthmus atau
parsinterartikularis, mempunyai angka kepentingan klinis yang bermakna pada
individu dibawah 50 tahun. Jika defeknya pada pars interartikularis tanpa adanya
pergeseran tulang, keadaan ini disebut dengan spondilolisis. Jika satu vertebra
mengalami pergeseran kedepan dari vertebra yang lain, kelainan ini disebut dengan
spondilolistesis.Tipe II dapat dibagi kedalam tiga subkategori
1. Tipe IIA yang kadang-kadang disebut dengan lytic atau stress spondilolisthesis
dan umumnya diakibatkan oleh mikro-fraktiur rekuren yang disebabkan oleh
hiperketensi. Juga disebut dengan stress fracture pars interarticularis dan
paling sering terjadi pada pria
2. Tipe IIB umumnya juga terjadi akibat mikro-fraktur pada pars
interartikularis.Meskipun demikian, berlawanan dengan tipe IIA, pars
interartikularis masih tetapintak akan tetapi meregang dimana fraktur
mengisinya dengan tulang baru
3. Tipe IIC sangat jarang terjadi dan disebabkan oleh fraktur akut pada bagian
parsinterartikularis. Pencitraan radioisotope diperlukan dalam menegakkan
diagnosis kelainan ini

 Tipe III, merupakan spondilolistesis degeneratif, dan terjadi sebagai akibat


degenerasi permukaan sendi lumbal. Perubahan pada permukaan sendi tersebut
akan mengakibatkan pergeseran vertebra ke depan atau ke belakang. Tipe
spondilolistesis ini sering dijumpai pada orang tua. Pada tipe III, spondilolistesis
degeneratif tidak terdapatnya defek dan pergeseran vertebra tidak melebihi 30%
 Tipe IV, spondilolistesis traumatik, berhubungan dengan fraktur akut pada
elemenposterior (pedikel, lamina atau permukaan/facet) dibandingkan dengan
fraktur padabagian pars interartikularis
 Tipe V, spondilolistesis patologik, terjadi karena kelemahan struktur tulang
sekunder akibat proses penyakit seperti tumor atau penyakit tulang lainnya

Perbandingan Terjadi lebih banyak pada wanita. usia > 50 tahun


jenis kelamin
dan Usia
Faktor Risiko  Usia tua
 Jenis kelamin perempuan
Gejala  Sakit punggung bawah dan kaki (ringan-berat)
(anamnesis)  nyeri kaki atau kelemahan bila berdiri lama. Disertai mati rasa, kesemutan dan/atau
nyeri yang dipengaruhi postur
 nyeri siatik, nyeri disalah satu atau kedua kaki, atau perasaan lelah saat berdiri lama
atau berjalan.
 Nyeri punggung yang menghilang dalam posisi membungkuk
Tanda  Low back pain, menjalar ke paha bagian dalam
(Pemeriksaan  Nyeri terutama setelah aktivitas
Fisik)  Terbatasnya pergerakan tulang belakang
 Tidak dapat memfleksikan panggul dengan lutut yang berekstensi penuh
 Hiperlordosis lumbal dan thorakolumbal
 Hiperkifosis lumbosacral junction
 Kesulitan berjalan
 Pemendekan badan pada pergeseran komplit (spondiloptosis)
 Spasme otot
 Radikulopati
 Nyeri radikuler

Pemeriksaan  X-Foto Lumbo-sacral posisi AP, lateral, oblique


Penunjang

 MRI
 CT Scan
Referensi Sjamsuhidajat R, Jong WD. Sistem Muskuloskeletal. In : Buku Ajar Ilmu Bedah. 2nd ed.
Jakarta : EGC; 2005. p. 835.

Spondylolisthesis, updated 3 Februari 2017, diambil 11 januari 2020 dari


https://emedicine.medscape.com/article/1266860-overview
No. 2 SISTEM MUSKULOSKELETAL – Level SKDI 1
Ricketsia dan Osteomalasia
Ricketsia adalah penyakit metabolisme tulang yang dikarakteristikkan oleh kurangnya mineral dari tulang
(pada orang dewasa, Ricketsia berlangsung kronis dan terjadi deformitas skeletal) terjadi tidak separah
dengan yang menyerang anak-anak karena pada orang dewasa pertumbuhan tulang sudah lengkap (komplit). 
Osteomalasia adalah penyakit metabolisme tulang yang dikarakteristik oleh kurangnya mineral dari tulang
pada orang dewasa, osteomalasia berlangsung kronis dan terjadi deformitas skeletal, terjadi tidak separah
dengan yang menyerang anak-anak karena pada orang dewasa pertumbuhan tulang sudah lengkap (komplit)
Etiologi 1. Ricketsia
 Defisiensi vitamin D
 Insufisiensi ginjal kronik
 Insufisiensi tubulus renalis
Kegagalan garam-garam calsium diendapkan secara tepat dalam matriks tulang
organik (osteoid) dan diendapkan dalam tulang rawan pra tulang (pre-osseous) dan
lempeng epiphysis dalam zona tulang rawan yang mengalami kalsifikasi
2. Osteomalasia
Berkurangnya kadar kalsium fosfat sampai tingkat di bawah kadar yang diperlukan
untuk mineralisasi matriks tulang normal, hasil akhirnya ialah rasio antara mineral
tulang dengan matriks tulang berkurang

Perbandingan  Ricketsia : anak-anak


jenis kelamin  Osteomalaisa : Dewasa
dan Usia
Faktor Risiko 1. Ricketsia
 vitamin D, hormon parathyroid, dan calsitonin.
2. Osteomalasia
 Kekurangan kalsium dan vitamin D terutama di masa kecil dan remaja
 Ganguan pada sindroma malabsorbsi usus, penyakit hati, gagal ginjal kronis
Gejala  Rocketsia : Kaki membengkok, ujung-ujung tulang panjang membesar (lutut dan
(anamnesis) pergelangan), tulang rusuk membengkok, pembesaran kepala karena penutupan
fontanel terhambat, gigi terlambat keluar, bentuk gigi tidak teratur dan mudah rusak
 Osteomalaisa : Biasanya terjadi pada wanita yang konsumsi kalsiumnya rendah, tidak
banyak mendapat paparan sinar matahari dan mengalami banyak kehamilan dan
menyusui
Tanda  merasa rasa sakit seperti rematik dan lemah dan kadang menggamit (twitching)
(Pemeriksaan  tulang membengkok (bentuk O atau X) dan dapat menyebabkan fraktur
Fisik)  kifosis
Pemeriksaan 1. Pada foto X-ray jelas terlihat demineralisasi tulang secara umum. Pemeriksaan vertebra
Penunjang memperlihatkan adanya patah tulang kompresi tanpa batas vertebra yang jelas.
Sedangkan pada
2. pemeriksaan laboratorium memperlihatkan kadar kalsium fosfor yang rendah dan
peningkatan moderat kadar alkali fosfatase
3. Kalsium urine dan ekskresi kreatinin rendah. Sementara pada
4. biopsi tulang menunjukkan peningkatan jumlah osteoid

Referensi John M Pettifor (2004). Nutritional rickets: deficiency of vitamin D, calcium, or both?
American Journal of Clinical Nutrition, Vol. 80, No. 6, 1725S-1729S, December 2004

Rasjad Chairuddin prof. MD. Ph.D, Pengantar ilmu bedah Ortopedi, Bintang Lamumpatue,
2003
Sjamsuhidayat, R, Wim de Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2, EGC: Jakarta, 2005

No. 3 SISTEM MUSKULOSKELETAL – Level SKDI 1


Rhabdomiosarkoma
Kanker ganas yang paling sering ditemukan pada anak-anak. Daerah yang paling umum diserang antara lain
kepala, leher, saluran urogenital, lengan atau kaki
Etiologi Penyebabnya belum jelas
Perbandingan Insidensi tertinggi pada usia rata-rata 6 tahun, dapat ditemukan sejak masa bayi baru lahir
jenis kelamin sampai dewasa
dan Usia
Faktor Risiko 1. Sindroma genetik :
 Neurofibromatosis
 Li-fraumeni syndrome
 Rubinstein-taybi syndrome
2. Faktor lingkungan
Gejala  Tumor pada leher, dada, punggung dan lengan dan selakangan (termasuk pada bagian
(anamnesis) testis) dapat menimbulkan gejala pertama berupa benjolan atau pembengkakan.
Seringkali gejala disertai dengan rasa nyeri, kemerahan dan keluhan lain.
 Tumor pada sekitar mata menyebabkan mata terdorong ke depan. Penglihatan dapat
terganggu
 Tumor pada telinga atau sinus nasalis dapat penyebaban nyeri telinga, sakit kepala atau
kongesti sinus
 Tumor pada kandung kemih atau prostat dapat menyebabkan adanya darah pada urin,
sedangkan tumor pada vagina dapat menyebabkan perdarahan vagina. Tumor dapat
membesar dan menyebabkan rasa nyeri atau kesulitan buang air besar.
 Tumor pada abdomen dan pelvis dapat menyebabkan rasa mual, nyeri perut atau
konstipasi
 Rhabdomyosarcoma jarang ditemukan di saluran empedu. Tetapi tumor pada bagian ini
dapat menyebabkan warna kuning pada mata dan kulit (jaundice)
 Tumor rhabdomyosarcoma yang lebih progresif, dapat menyebabkan adanya benjolan
pada kulit (pada leher, di bawah lengan, di selakangan), nyeri tulang, batuk terus-
menerus dan penurunan berat badan.
Tanda  Teraba adanya massa yangg tidak nyeri.
(Pemeriksaan  Temuannya tergantung pada letak tumor primer dan metastasisnya. Bisa ditemukan
Fisik) adanya proptosis mata, poliposis (telinga, hidung, vagina), hidung selalu berdarah,
gangguan saraf otak, rangsang meningen positif, sesak nafas, retensi urine, anemia, dan
perdarahan
Pemeriksaan 1. Laboratorium : anemia akibat proses inflamsi/pansitopenia
Penunjang 2. USG
3. Foto polos : Pada rontgen dada sangat membantu mengetahui adanya kalsifikasi dan
keterlibatan tulang dan untuk mengetahui apakah terdapat metastasis pada paru paru
4. Biopsi :
 Tumor > 3 cm dilakukan biopsi insisi
 Tumor < 3cm dilakukan biopsi eksisional
5. CT Scan
6. MRI : MRI dapat meningkatan kejelasan mengenai gambaran invasi tumor pada organ
tubuh
Referensi Crist WM. Sarkoma Jaringan Lunak. Dalam : Nelson WE (eds). Ilmu Kesehatan Anak Edisi
ke-15. Jakarta : EGC. 2004; 1786-9.

Fletcher CDM, Unni KK, Mertens F (2006).Pathology and genetics of tumor soft tissue
and bone. Lyon : International Agency for Research on Cancer, pp:147-148
No. SISTEM INTEGUMEN – Level SKDI 1
1 Melanoma Maligna
keganasan yang terjadi pada melanosit, sel penghasil melamin, yang biasanya berlokasi dikulit tetapi
juga ditemukan di mata, telinga, traktus GI, leptomeninges, oral dan membran mukus genital.
Etiologi  Sel-sel pigmen kulit berkembang secara tidak normal
 Paparan sinar UV
Perbandingan Lebih banyak terjadi pada wanita < 40 tahun. Laki-laki >40 tahun
jenis kelamin
dan Usia
Faktor Risiko  Pajanan sinar ultraviolet berlebihan
 Melanocynotic nevi atau tahi lalat
 Karakteristik Fenotipe ( pigmentasi kulit terang)
 Riwayat keluarga menderita Melanoma Maligna
 Riwayat Melanoma Maligna sebelumnya
 Imunosupresi
 Genetik
Gejala  Benjolan coklat kehitaman dada dan punggung (laki laki), tungkai bawah (wanita).
(anamnesis) Sering juga di wajah dan leher
 Muncul tahi lalat baru/ adanya perubahanpada tahi lalat yang sudah ada
 Tahi lalat terasa gatal dan bisa mengalami perdarahan
 Kulit menjadi lebih terang karena ketidakmampuan menjadi kecoklatanMata menjadi
biru/ hijau
 Rambut menjadi merah/ pirangRiwayat melanoma sebelumnya atau ada riwayat
melanoma di keluarga
Tanda  A(Asymmetry/bentuk tumor tidak simetris)
(Pemeriksaan  B(Border irregularity/garis batas tidak teratur)
Fisik)  C(Color variation/dari tidak berwarna sampai hitam pekat dalam satu lesi)
 D(Diameter/tumor berdiameter 6mm)
 E(Evolution/perubahan lesi yang dapat diperhatikan sendiri oleh penderita dan
keluarga)
Kriteria diagnosis
1. Mayor
 Perubahan ukuran lesi
 Bentuk lesi tidak beraturan
 Perubahan warna lesi
2. Minor
 Lesi berdiameter > 7 mm
 Terdapat proses inflamasi
 Berkrusta atau berdarah
 Ada perubahan sensasi seperti gatal

Pemeriksaan pembesaran kelenjar getah bening

Pemeriksaan 1. Histopatologi
Penunjang 2. Sentinel Lymph Node Biopsi
3. Dermoskopi: Umumnya pola asimetris dengan warna yang bermacam-macam.
Dicurigai melanoma bila didapatkan paling sedikit 1 gambaran berikut:
 Blue white veil
 Broadened Netwoek

 Irregular streaks/ radial streaming

 Pseudopods
 Scar like depigmentation/ regression structures
 Atypical vessels
 Peripheral black dots and globules
 Multiple brown dots
 Multiple blue gray dots

Referensi Meiling. Malignant Melanoma, melanoma journal articles for August 2017, diambil 9
januari 2020 dari https://melanomaresearchvic.com.au/melanoma-journal-articles-
august-2017

Krathen, M. 2012. Malignant Melanoma: advances in Diagnosis, Prognosis, and


Treatment. Seminars in Cutaneous Medicini and Surgery, 31(1), pp. 45-49.

Anda mungkin juga menyukai