Anda di halaman 1dari 18

BAB I.

PENDAHULUAN

Arteritis Temporalis (Giant Cell Arteritis, Arteritis Sel Raksasa) adalah


penyakit peradangan kronis pada arteri-arteri besar. Penyakit ini adalah penyakit kritis
iskemik, bentuk paling umum dari vaskulitis dan harus diperlakukan sebagai darurat
medis. Penyakit ini menyerang sekitar 1 dari 1.000 orang yang berusia diatas 50
tahun dan lebih banyak menyerang wanita. Arteritis temporalis pertama kali
dijelaskan dalam literatur barat oleh Hutchinson pada tahun 1890, dan ahli
histopatologis oleh Horton pada tahun 1932. Kebutaan terkait dengan arteritis
temporalis pertama kali dilaporkan oleh Jennings pada tahun 1938, dan pertama kali
diperkenalkan Birkhead tentang efektivitas terapi kortikosteroid sistemik dalam
mencegah kebutaan.
Gejalanya bertumpang tindih dengan polimialgia rematika. Penyebabnya tidak
diketahui, tetapi diduga merupakan akibat dari respon kekebalan. Gejalanya
bervariasi, tergantung kepada arteri yang terkena. Jika mengenai arteri besar yang
menuju ke kepala, biasanya secara tiba-tiba akan timbul sakit kepala hebat di pelipis
atau di belakang kepala. Pembuluh darah di pelipis bisa teraba membengkak dan
bergelombang.Jika sedang menyisir rambut, kulit kepala bisa terasa nyeri.
Penyakit ini dapat menyebabkab terjadinya penglihatan ganda, penglihatan
kabur, bintik buta yang besar, kebutaan pada salah satu mata atau gangguan
penglihatan lainnya. Kehilangan penglihatan terjadi di hingga seperlima pasien, yang
mungkin dicegah dengan pengobatan yang tepat. Yang paling berbahaya adalah jika
terjadi kebutaan total, yang bisa timbul secara mendadak jika aliran darah ke saraf
1

penglihatan (nervus optikus) tersumbat. Yang khas adalah rahang, otot-otot


pengunyahan dan lidah bisa terluka jika makan atau berbicara. Gejala lainnya bisa
meliputi polimialgia rematika. Diagnosis perlu ditegakkan sedini mungkin agar tidak
terjadi komplikasi berkelanjutan pada penyakit ini. Terapi steroid jangka panjang
sangat penting pula untuk pencegahan pada potensi kerusakan pembuluh darah yang
irreversible.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Arteritis Temporalis (Giant Cell Arteritis/Arteritis Sel Raksasa) adalah
penyakit peradangan kronis pada lapisan pembuluh darah arteri, yaitu pembuluh
darah yang membawa darah kaya oksigen dari jantung ke seluruh tubuh.
Peradangan paling sering mengenai pembuluh darah arteri di kepala, leher, dan
tubuh bagian atas, terutama arteri di bagian pelipis, arteri temporalis (Dasgupta,
2010).

2.2 Epidemiologi
Insiden arteritis temporalis di Jerman prevalensinya adalah 3,5 kasus per
100.000 pada orang yang berusia 50 tahun atau lebih (Ness et al, 2013). Insidensi
arteritis temporalis di Olmsted County, Minnesota rata-rata 17,8 per 100.000 pada
orang yang berusia 50 tahun atau lebih (Mythili, 2014).
Prevalensi sangat tergantung pada jumlah individu yang berusia 50 tahun atau
lebih tua, usia rata-rata onset adalah 75 tahun. Negara-negara dengan harapan
hidup yang lebih rendah memiliki prevalensi yang lebih rendah. Penyakit ini lebih
sering menyerang perempuan dengan rasio perempuan dan laki-laki sekitar 3,7:1
(Mythili, 2014).

2.3 Etiologi
Etiologi pasti dari arteritis temporal masih belum diketahui. Etiologi arteritis
temporal adalah multifaktorial dan ditentukan oleh faktor lingkungan dan genetik.
Data menunjukkan bahwa penyakit ini mungkin disebabkan oleh paparan antigen
eksogen. Banyak virus dan bakteri telah diusulkan berpotensial, termasuk
parvovirus, virus parainfluenza, varicella zoster virus, Chlamydia pneumoniae,
dan Mycoplasma pneumoniae (Tarakad, 2012).

2.4 Faktor Risiko


Menurut Mythili et al (2014), faktor resiko terjadinya arteritis temporalis:

Usia tua

Punya anggota keluarga dengan yang terkena arteritis temporal

Polymyalgia rheumatica

Jenis kelamin perempuan

Namun, terdapat juga kemungkinan bahawa orang-orang yang mempunyai risiko


yang tinggi untuk keadaan ini tidak terjejas oleh sama sekali.

2.5 Anatomi

Gambar 1. Arteri temporalis


Arteritis temporalis menunjukkan predileksi untuk arteri vertebralis, arteri
subklavia, dan cabang-cabang ekstra kranial dari arteri karotid (yaitu, superficial
temporal, oftalmik, oksipital, dan artericiliary posterior).

Gambar

2. Perbedaan
arteritis temporalis dengan arteri normal

2.6 Patofisiologi
Arteritis temporalis merupakan penyakit imunitas seluler. Kerusakan
vaskulitis dimediasi oleh CD4+ yang diaktifkan sel T helper dalam menanggapi
antigen yang disajikan oleh makrofag. Respon inflamasi primer mempengaruhi
lamina elastis internal. Sel raksasa berinti banyak, yang merupakan ciri histologis
arteritis temporalis, mungkin berisi fragmen serat elastis. Antigennya tidak
diketahui, tetapi elastin tetap merupakan suspek yang penting (Tarakad, 2014).
Pada lapisan adventitia, makrofag menghasilkan interleukin-6 (IL-6), yang
selanjutnya menambah kaskade inflamasi. Makrofag pada tunica media
menghasilkan radikal oksigen bebas (ROS) dan metallo proteinase, yang
menghancurkan dinding arteri dan fragmen lamina elastis. Akibat terjadinya
gangguan dari lamina elastis internal, myofibroblasts berproliferasi dan menuju ke
6

matriks ekstraseluler (Tarakad, 2012).


Proses migrasi didorong oleh makrofag pada lapisan intima yang
menghasilkan platelet-derived growth factor (PDGF) dan faktor pertumbuhan
endotel vaskular (VEGF). Efek dari peristiwa ini adalah arteritis dengan
kehancuran vaskular lokal dan hiperplasia intima yang menyebabkan stenosis
luminal dan oklusi (Tarakad, 2012).

Gambar 3. Patofisiologi Proses Inflamasi pada Arteritis Temporalis


Arteri temporal superfisial terlibat dalam sebagian besar pasien. Distribusi
7

topografinya pada arteritis temporalis, yang memiliki lamina elastis internal.


Arteritis temporalis tidak dapat meluas ke serebral intrakranial, karena arteri
intrakranial kurang mempunyai lamina elastis internal.
2.7 Manifestasi Klinis
1. Nyeri kepala yang non spesifik namun terlokalisasi di daerah pelipis.
2. Nyeri tekan kulit kepala yang dapat menjadi jelas ketika pasien menyisir
rambut.
3. Nyeri saat mengunyah dapat terjadi karena gangguan perdarahan pada otototot pengunyah (klaudikasio intermitten pada rahang).
4. Hilangnya penglihatan sementara pada salah satu mata (amaurosis fugax)
merupakan gejala yang mengkhawatirkan karena terdapat resiko kebutaan
monookular permanen atau kebutaan total.
5. Diplopia dapat terjadi akibat keterlibatan nervus kranialis ketiga atau
keenam.
6. Gejala konstitusional meliputi demam yang tidak terlalu tinggi, keringat pada
malam hari, nyeri pada otot bahu/gelang panggul, malaise, anoreksia dan
penurunan berat badan (Dasgupta, 2010).

Sumber : Wagner et al (2013)

Manifestasi neuro ophthalmic menurut Ness et al (2012):


1. Anterior Ischemic Optic Neuropathy
2. Posterior ischemic optic neuropathy
3. Arterial occlusion ( oklusi a. Centralis)
4. Amaurosis Fugax
5. Cotton woll spots
6. Diplopia
7. Ocular ischemic syndrom

2.8 Pemeriksaan Penunjang


1. LED (meningkat >100 mm/jam).

2. Pemeriksaan darah lainnya yang dapat menunjukkan gambaran anemia


normokromik normositik dan tes fungsi hati yang abnormal, terutama
peningkatan alkali fosfatase.
3. Biopsi arteri temporalis
Biopsi arteri temporal harus dilakukan pada pasien yang dicurigai mengalami
arteritis temporalis. Biopsi idealnya dilakukan lebih dari 2 cm, dan biopsi
kontra lateral tidak disarankan. Pada pasien dengan hasil biopsi negatif namun
menunjukkan gambaran klinis yang khas dan melakukan terapi steroid,
diagnosis arteritis temporalis tetap dapat ditegakkan.

Gambar 3-5. Ciri khas histologis arteritis temporalis :penebalan intimal


dengan stenosis luminal, sel inflamasi mononuklear menyusup dengan invasi
media dan nekrosis, dan pembentukan sel raksasa di media
10

2.9 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada
anamnesis biasa didapatkan keluhan gejala prodormal seperti Polymyalgia Rematika
pada sebagian kasus yang biasa terjadi 1 minggu sebelum gejala nyeri kepala
dirasakan. Pasien mengeluh nyeri pada bagian bahu, panggul, dan pinggang. Selain
itu terdapat kriteria diagnosis untuk menegakkan diagnosis menurut American
College of Rheumatology's (Dasgupta, 2010) :
1. Pasien usia 50 tahun pada saat onset penyakit (gejala dimulai pada usia 50
tahun).
2. Nyeri kepala yang baru dirasakan.
3. Abnormalitas dari arteri temporalis (nyeri arteri temporalis pada palpasi atau
penurunan denyut arteri temporalis, yang tidak berhubungan dengan
arteriosklerosis arteri servikal).
4. Peningkatan LED (> 50 mm/jam dengan metode Westergreen).
5. Biopsi abnormal (Biopsi specimen arteri menunjukkan vasculitis yang ditandai
adanya dominasi infiltrasi sel mononuclear atau inflamasi granulomatosa,
biasanya dengan sel-sel raksasa berinti).
Selain dari anamnesis, pemeriksaan fisik yang mendukung diagnosis adalah
sebagai berikut:
1. Tanda inflamasi dari a. Temporalis superfisial:
a. Pada inspeksi ditemukan eritema, tampak nodul dan penebalan dari arteri
temporalis.
b. Pada palpasi didapatkan rasa nyeri dan melemahnya pulsasi arteri
11

temporalis.
2. Parese n. VI yaitu saat pasien di perintahkan untuk melirik ke sisi luar, pasien
kesusahan dalam melakukannya.

2.10

Diagnosis Banding

Herpes zoster

Migrain atau penyebab lain dari sakit kepala

Kelainan patologis intrakranial misalnya lesi dasar tengkorak atau infiltrat


pada retro-orbital

Penyebab lain dari hilangnya penglihatan akut misalnya transient ischaemic


attack

Cluster Headache

Spondilosis servikal

2.11

Terapi
Pasien yang diduga menderita arteritis temporalis harus mulai terapi sedini

mungkin.

Meskipun

rekomendasi

dosis

bervariasi,

peneliti

kebanyakan

merekomendasikan penggunaan prednison diberikan secara oral dalam dosis 4060 mg per hari. Pasien dengan gejala visual sebaiknya memulai pengobatan
dengan dosis lebih tinggi, seperti 250 mg natrium suksinat methylprednisolone
(Solu-Medrol) diberikan secara intravena setiap enam jam selama 3-5 hari,
kemudian berlanjut keterapi kortikosteroid oral.
12

Pada kebanyakan pasien dengan arteritis temporalis, gejala klinis membaik


dan LED kembali normal dalam waktu 2-4 minggu. Pada titik ini, dosis
kortikosteroid diturunkan perlahan, dengan pengurangan tidak lebih dari 10% dari
dosis harian total setiap 2 minggu. Selama penurunan dosis, penderita harus
dimonitor gejala klinis atau peningkatan LED. Jika salah satu terjadi, penurunan
dosis dihentikan dan dosis saat ini dipertahankan. Setelah gejala teratasi dan LED
tidak lagi meningkat, penurunan dosis di ulang dengan pengurangan dosis lebih
kecil pada interval lebih lama. Proses pengobatan mungkin "stabil" dengan dosis
10-20 mg per hari, yang dipertahankan selama beberapa bulan sebelum
pengurangan dosis lebih lanjut dapat dilakukan.
Relaps paling mungkin terjadi dalam 18 bulan pertama terapi atau dalam
waktu 12 bulan setelah penghentian pengobatan kortikosteroid. Tingkat
kekambuhan mungkin sebesar 25%. Saat ini tidak ada cara untuk memprediksi
pasien untuk beresiko kembali. Pasien harus disarankan untuk kontrol ke dokter
segera jika gejala kambuh, gejala khususnya cranial atau visual. Terdapat
alternatif agen imunosupresan yaitu pada percobaan agen imunosupresan lainnya,
termasuk azathioprine, methotrexate, dapson, dan cyclophosphamide, telah dicoba
untuk sedikit efek steroid. Azathioprine tidak memiliki efek akut, dan efek
steroidnya mungkin tidak terlihat selama setahun.
Aspirin dosis rendah dapat digunakan sebagai tindakan pencegahan untuk
mencegah stroke karena stroke mungkin terjadi meskipun diberikan dosis tinggi
pada terapi kortikosteroid dan karena hampir semua pasien dengan arteritis
temporalis memiliki trombositosis.
13

Tablet steroid
Obat steroid seperti prednisolon adalah pengobatan utama yang biasa. Steroid
bekerja dengan cara mengurangi pembengkakan (inflamasi). Setelah pengobatan,
gejala berkurang dalam beberapa hari.
Pemberian awal steroid dosis tinggi, biasanya sekitar 60 mg per hari.
Kemudian dikurangi secara perlahan selama beberapa bulan. Dosis pemeliharaan
diperlukan untuk menjaga gejala tidak kambuh dan mencegah komplikasi.
Biasanya sekitar 10 mg per hari.
Pemberian prednison harus dosis tinggi karena komplikasi dari arteritis
temporalis adalah kebutaan oleh karena arteri oftalmika terganggu (Bahrudin,
2013).
Pada beberapa orang gejala hilang setelah 2-3 tahun, sehingga pengobatan
steroid dihentikan secara perlahan. Pengobatan harus dilakukan di bawah
pengawasan dokter. Namun, pada beberapa pasien membutuhkan pengobatan
selama beberapa tahun, bahkan sampai seumur hidup. Dan obat steroid tidak
boleh dihentikan tiba-tiba.
Penggunaan obat penghilang rasa sakit bersamaan dengan obat steroid tanpa
pengawasan dokter tidak dibolehkan. Konsumsi obat-obatan tersebut secara
bersamaan dapat meningkatkan resiko ulkus lambung.

Efek samping
Efek samping dari steroid meningkat dengan dosis yang lebih tinggi. Inilah
alasan dosis yang digunakan adalah dosis yang terendah. Kemungkinan efek
14

samping dari steroid adalah 'Penipisan tulang' (osteoporosis). Misalnya, jika


berusia 65 atau lebih tua, atau memiliki riwayat patah tulang, dapat dilakukan
hal-hal berikut selama perawatan :

Vitamin D dan kalsium tambahan.

Berhenti merokok.

Senam untuk menurunkan berat badan.

Rutin memeriksa kepadatan tulang.

Aspirin dosis rendah


Selain tablet steroid, dosis harian rendah aspirin juga disarankan. Dosis yang
digunakan adalah 75 mg/hari. Dosis rendah aspirin membantu mencegah
serangan jantung dan stroke.
Inhibitor Pompa Proton
Penggunaan steroid dan aspirin dapat meningkatkan resiko terkena ulkus
lambung. Jika pasien menggunakan kombinasi obat-obatan yang disarankan, perlu
ditambahkan obat untuk mengurangi asam lambung. Tujuannya adalah untuk
mencegah komplikasi serius dari ulkus lambung dan pendarahan lambung. Proton
pump inhibitor (PPI) adalah kelompok dari obat-obatan yang bekerja pada sel-sel
yang melapisi lambung, mengurangi produksi asam. Antara lain esomeprazole,
lansoprazole, omeprazole, pantoprazole dan rabeprazole.

2.12

Komplikasi

15

1. Komplikasi tanpa pengobatan antara lain :

Kehilangan penglihatan. Jika penyakit ini mempengaruhi pembuluh darah


mata, merupakan keadaan darurat.

Keterlibatan pembuluh darah jantung.

Stroke.

Sedikitnya sirkulasi darah di lengan dan kaki.

2. Komplikasi dengan terapi kortikosteroid adalah osteoporosis, patah tulang dan


infeksi. Studi menunjukkan bahwa terapi etidronat intermiten mencegah
keropos tulang pada pasien yang menerima terapi kortikosteroid kronis. Selain
itu, American College of Rheumatology telah merekomendasikan alendronate
untuk pencegahan glukokortikoid yang menginduksi osteoporosis.

2.13

Prognosis
Sebelum dilakukan terapi kortikosteroid, kebanyakan pasien yang menderita

arteritis temporal kehilangan penglihatan mereka. Dengan terapi yang memadai


saat ini dan diagnosis yang cepat, kejadian kebutaan telah diturunkan menjadi 925%. Setelah kebutaan terjadi, tidak dapat dikembalikan dengan terapi
kortikosteroid (Tarakad, 2012).
Meskipun sebagian besar pasien bebas gejala setelah 3 tahun terapi, setengah
dari mereka akan memerlukan pengelolaan yang berkelanjutan dengan
kortikosteroid. Terapi kortikosteroid berkepanjangan dikaitkan dengan morbiditas
yang signifikan, termasuk pengembangan penyakit katarak, hipertensi, miopati,

16

dan osteopenia (Tarakad, 2012).

BAB III. PENUTUP

Kesimpulan
1. Arteritis Temporalis (Giant Cell Arteritis/Arteritis Sel Raksasa) adalah penyakit
peradangan kronis pada arteri-arteri besar.
2. Arteritis temporalis merupakan yang paling sering terkena.
3. Gejala klinis : nyeri kepala, nyeri tekan kulit kepala ketika pasien menyisir
rambut, nyeri saat mengunyah, hilangnya penglihatan sementara pada salah satu
mata (amaurosis fugax) atau kebutaan total, diplopia, gejala konstitusional
meliputi demam yang tidak terlalu tinggi, keringat pada malam hari, nyeri pada
otot bahu/gelang panggul, malaise, anoreksia dan penurunan berat badan.
4. Pemeriksaan penunjang : LED (meningkat >100 mm/jam), anemia normokromik
normositik dan tes fungsi hati yang abnormal, terutama peningkatan alkali
fosfatase, dan dilakukan biopsi arteri temporalis.
17

5. Kriteria Diagnosis : Pasien usia 50 tahun pada saat onset penyakit (gejala
dimulai pada usia 50 tahun), nyeri kepala yang baru dirasakan, abnormalitas dari
arteri temporalis, peningkatan LED, biopsi abnormal.
6. Pengobatan : kortikosteroid yang diberikan dalam dosis tinggi (jika menunjukkan
perbaikan, dosisnya diturunkan secara perlahan)

DAFTAR PUSTAKA
Bahrudin, M. 2013. Neurologi Klinis. Edisi I. Malang: UMM Press
Dasgupta B. Diagnosis and Management of Giant Cell Arteritis. Royal College of
Physicians. 2010. p. 1-3.
Mythili S. Emedicine : Giant Cell Arteritis Clinical Presentation. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/332483-clinical. Accessed on September
27, 2012.
Ness et al,. The diagnosis and Treatment of Giant Cell Arteritis. Deutsches Arzte
International. 2013. P. 14
Tarakad S. Emedicine :Temporal/Giant Cell Arteritis Follow-up. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/1147184-followup#a2651. Accessed on
September 27, 2012.
Ted et al,. American Family Phsycian : Polymialgia Reumatica and Temporal
Arteritis. Available at http://www.aafp.org/afp/2000/0815/p789.html. Accessed on
September 28, 2012.
Trevor A. Emedicine :Temporal Arteritis Pathology . Available at
http://emedicine.medscape.com/article/1612591-overview#a30.Accessed
on
September 27, 2012.

18

Anda mungkin juga menyukai