Khutbah Hari Raya Idul Fitri
Khutbah Hari Raya Idul Fitri
Tidak ada yang dapat menjamin bahwa kita akan bertemu lagi dengan
bulan yang penuh dengan berkah itu. Betapa banyak orang-orang yang
kita kasihi dan kita sayangi, orang-orang tua kita, saudara, kerabat dan
para tetangga. Mereka yang dulu pernah bersama-sama dengan kita,
masih terbayang senyuman mereka di pelupuk mata. Tapi kini, mereka
tidak lagi bersama-sama dengan kita. Mereka telah berada di alam baka,
hanya tinggal kenangan yang tak mungkin akan terlupa.
Mari kita bersyukur atas nikmat dan karunia yang telah diberikan Allah
kepada kita. Orang yang bersyukur, sesungguhnya ia bersyukur untuk
dirinya sendiri. Allah berfirman,
َي ْش ُك ُر لِ َن ْفسِ ِه َو َمنْ َك َف َر َفِإنَّ هَّللا َ َغنِيٌّ َحمِي ٌدDر َفِإ َّن َماDْ َو َمنْ َي ْش ُك
م َأَل ِزيدَ َّن ُك ْم َولَِئنْ َك َفرْ ُت ْم ِإنَّ َع َذ ِابي لَ َشدِي ٌدDْ لَِئنْ َش َكرْ ُت
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat)
kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmatKu), maka sesungguhnya azabKu
sangat pedih”. (Qs. Ibrahim [14]: 7).
Selanjutnya mari kita bershalawat kepada nabi besar Muhammad Saw. Untuk apa
kita bershalawat?! Jika di dunia ini kita membutuhkan pertolongan, maka kita bisa
meminta tolong kepada saudara-saudara kita, kerabat dan para sahabat. Akan tetapi
akan ada suatu masa nanti, seperti yang difirman Allah:
“Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya. Dari ibu dan bapaknya. Dari istri
dan anak-anaknya”. (Qs. ‘Abasa [80]: 34-36).
Mengapa semua orang melarikan diri dari orang-orang yang mereka kasihi?!
Padahal di dunia dahulu mereka tidak bisa berpisah walau sedetik pun.
“Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup
menyibukkannya”. (Qs. ‘Abasa [80]: 37).
Saat itu kita sibuk mempertanggung jawabkan semua perbuatan kita; langkah kaki,
hayunan tangan, tatapan mata, pendengaran bahkan gerak hati. Ketika tidak ada
yang dapat menolong, pada saat tidak ada yang bisa membantu. Maka ketika itu
kita mengharapkan pertolongan dan syafaat Rasulullah Saw. Mari kita
memperbanyak shalawat, semoga kita termasuk umat yang mendapatkan
syafaatnya, amin ya Robbal’alamin.
َ ×) الَ اِلَهَ اِالَّ هللاُ َوهللاُ اَ ْكبَرْ هللاُ اَ ْكبَرْ َو هللِ ْا3( ْهللاُ اَكبَر.
لح ْم ُد
Tujuan dari puasa adalah menciptakan manusia yang bertaqwa. Dan kedudukan
manusia di sisi Allah diukur dari ketakwaannya. Allah berfirman :
َ َوقَبَاِئ َل لِتَ َعtيَا َأيُّهَا النَّاسُ ِإنَّا َخلَ ْقنَا ُك ْم ِم ْن َذ َك ٍر َوُأ ْنثَى َو َج َع ْلنَا ُك ْم ُشعُوبًا
ارفُوا ِإ َّن َأ ْك َر َم ُك ْم ِع ْن َد هَّللا ِ َأ ْتقَا ُك ْم ِإ َّن هَّللا َ َعلِي ٌم
َخبِي ٌر
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Qs. al-Hujurat
[49]: 13).
Manusia dianggap mulia bukan karena hartanya, bukan karena jabatannya, bukan
pula karena bentuk dan rupanya. Rasulullah Saw bersabda:
م وأعمالكمtْ ر إلى قُلُوبِكtُ ُ َولَكن ي ْنظ، وال ِإلى ص َُو ِرك ْم، إن هللا ال ي ْنظُ ُر ِإلى أجْ َسا ِم ُك ْم
َّ
Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh kamu dan tidak melihat kepada
bentuk kamu, akan tetapi Allah melihat kepada hati dan perbuatan kamu”.
(HR.Muslim).
Mesti ada empat unsur dalam diri kita, barulah kita layak disebut sebagai orang
yang bertakwa.
Di siang Ramadhan, kita tahan diri kita dari segala sesuatu yang halal, karena takut
kepada Allah.
Maka diharapkan di luar Ramadhan ini kita mampu menahan diri kita dari segala
yang haram, juga karena takut kepada Allah. Kita tumbuhkan rasa takut selama
tiga puluh hari ini, agar ia bersemayam dan kekal abadi di dalam hati kita
sampai Ramadhan yang akan datang.
)46( تَان
ِ ََّولِ َم ْن خَافَ َمقَا َم َربِّ ِه َجن
“Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua syurga."
Yang dimaksud dua syurga di sini adalah, yang satu untuk manusia yang satu lagi
untuk jin. Ada juga ahli tafsir yang berpendapat syurga dunia dan syurga akhirat”.
(Qs. ar-Rahman [55]: 46).
ُع َأ ْهلُهُ َو َمالُهُ َويَ ْبقَى َع َملُهtُ ث فَيَرْ ِج ُع ْاثنَا ِن َويَ ْبقَى َوا ِح ٌد يَ ْتبَ ُعهُ َأ ْهلُهُ َو َمالُهُ َو َع َملُهُ فَيَرْ ِج
ٌ َيَ ْتبَ ُع ْال َميِّتَ ثَال
Yang mengiringi mayat itu ada tiga, yang dua kembali, sedangkan yang kekal
hanya satu. Mayat itu diiringi keluarga, harta dan amalnya. Keluarga dan hartanya
akan kembali, sedangkan yang menetap hanyalah amalnya”. (HR.At-Tirmidzi).
Selama ini kita sibuk mengurus yang dua perkara tersebut ; harta dan keluarga, kita
lalaikan yang satu. Padahal yang satu itulah yang akan menemani kita. Kalau kita
mengaku sebagai orang yang bertakwa, maka mari kita siapkan diri kita
menghadap hari kematian itu.
َ ×) الَ اِلَهَ اِالَّ هللاُ َوهللاُ اَ ْكبَرْ هللاُ اَ ْكبَرْ َو هللِ ْا3( ْهللاُ اَكبَر.
لح ْم ُد
َ) َوالَّ ِذين134( َنِينtاس َوهَّللا ُ ي ُِحبُّ ْال ُمحْ ِس ِ َّظَ َو ْالعَافِينَ َع ِن النtضرَّا ِء َو ْالكَا ِظ ِمينَ ْال َغ ْي َّ الَّ ِذينَ يُ ْنفِقُونَ فِي ال َّسرَّا ِء َوال
رُّ وا َعلَى مَاtُص َ ُذنtُّ t ُر الtِ لِ ُذنُوبِ ِه ْم َو َم ْن يَ ْغفt هَّللا َ فَا ْستَ ْغفَرُواtاح َشةً َأوْ ظَلَ ُموا َأ ْنفُ َسهُ ْم َذ َكرُوا
ِ وب ِإاَّل هَّللا ُ َولَ ْم ي ِ َِإ َذا فَ َعلُوا ف
ِدينَ فِيهَا َونِ ْع َمtِات تَجْ ِري ِم ْن تَحْ تِهَا اَأْل ْنهَا ُر خَال ٌ َّك َج َزاُؤ هُ ْم َم ْغفِ َرةٌ ِم ْن َربِّ ِه ْم َو َجن َ ) ُأولَِئ135( َفَ َعلُوا َوهُ ْم يَ ْعلَ ُمون
ََأجْ ُر ْال َعا ِملِين
“Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. Bagi orang
(miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau
meminta)”. (Qs. Al-Ma’arij [70]: 24).
Kadar iman kita ditentukan sejauh mana kepedulian kita terhadap saudara-
saudara kita, Rasulullah SAW bersabda:
ِهDDا ُيحِبُّ لِ َن ْف ِسDD ِه َمDD ُد ُك ْم َح َّتى ُيحِبَّ َألخِيDDْؤ مِنُ َأ َحDDُ ال ي:ا َلDDلم – َقDDه وسDDلى هللا عليDD ص- ِّس َع ِن ال َّن ِبى
ٍ َعنْ َأ َن.
Dari Anas bin Malik, Rasulullah Saw bersabda: “Salah seorang kamu
belum beriman, hingga ia mengasihi saudaranya seperti ia mengasihi
dirinya sendiri”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
“Orang yang kuat bukanlah orang yang menang bergulat, akan tetapi orang
yang kuat adalah orang yang mampu menguasai dirinya ketika ia marah”.
(HR. al-Bukhari).
Ada orang yang mampu menahan amarah, tapi sulit untuk memaafkan
kesalahan orang lain. Orang yang bertakwa memiliki kedua sifat ini;
mampu menahan amarah, sekaligus memaafkan kesalahan orang lain. Tak
ada manusia yang tidak bersalah,
ِ َقا َل « ُك ُّل اب-صلى هللا عليه وسلم- َّس َأنَّ ال َّن ِبى
َ ر ْال َخ َّطDُ ْن آدَ َم َخ َّطا ٌء َو َخ ْي
َ اِئين ال َّتوَّ اب
ُون ٍ » َعنْ َأ َن.
Dengan menahan amarah yang diiringi pemberian maaf maka kita dapat
menjalin silaturahim yang tulus. Menjalin silaturahim berarti kita telah
menjalin hubungan baik dengan Allah Swt, Rasulullah SAW bersabda
dalam sebuah hadits Qudsi:
Allah berfirman, “Aku adalah Allah, Aku adalah Yang Maha Penyayang.
Aku ciptakan rahim dan aku ambil dari nama-Ku. Siapa yang
menyambungkan tali silaturahim, maka aku jalin hubungan dengannya dan
orang yang memutuskan tali silaturahim, maka Aku putuskan hubungan
dengannya”. (HR.Al-Hakim).
Apakah taubat Nashuha itu?! Menurut Ibnu Abbas, setidaknya mesti ada
tiga unsur di dalamnya:
ر َأنْ اَل َيعُودَ إلَ ْي ِه َأ َب ًداDُ ان َواِإْلضْ َما ِ ال َّن َد ُم ِب ْال َق ْل
ِ ب َوااِل سْ ت ِْغ َفا ُر ِباللِّ َس
• Penyesalan di dalam hati.
• Beristighfar memohon ampun dengan lisan.
• Bertekad untuk tidak mengulanginya untuk selama-lamanya.
)ان ِإي َما ًنا َواحْ ت َِسابًا ُغف َِر لَ ُه َما َت َق َّد َم مِنْ َذ ْن ِب ِه (البخاري ومسلم
َ ض َ ْ َمن.
َ صا َم َر َم
Jika kita mampu menjadi orang-orang yang bertakwa, maka Allah berjanji
akan membukakan pintu-pintu keberkahan dari langit dan bumi:
Jika kita mampu menjadi orang yang bertakwa, maka Allah akan berikan
solusi terhadap permasalahan yang kita hadapi dan Ia berikan rezeki
dengan cara yang tidak terduga:
Jika kita mampu menjadi orang yang bertakwa, maka Allah akan ampuni
dosa-dosa kita, bahkan akan melipatgandakan amal shaleh yang kita
lakukan:
Semua kembali kepada kita, mari kita jadikan puasa yang telah kita
laksanakan itu sebagai ibadah yang dapat membentuk diri kita,
mengampuni dosa-dosa kita, melipatgandakan balasan amal ibadah kita
dan balasan kebaikan untuk kita. Semoga kita termasuk orang-orang yang
bertakwa, orang-orang yang mendapatkan ampunan dari Allah SWT, amin
ya Robbal’alamin.