Anda di halaman 1dari 37

KEGIATAN BELAJAR 1

PIDANA PEMBUNUHAN

A. Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan


Peserta dapat menganalisis aturan hukum Islam dan dalil-dalil terkait
dengan pidana pembunuhan.

B. Subcapaian Pembelajaran Mata Kegiatan


1. Menganalisis pengertian pidana pembunuhan;
2. Membedakan macam-macam pidana pembunuhan;
3. Menganalisis dasar hukum larangan membunuh;
4. Menganalisis hukuman pelaku pembunuhan;
5. Menganalisis hikmah larangan pembunuhan;

C. Uraian Materi
1. Pengertian Pidana Pembunuhan
Manusia merupakan mahluk yang paling dimuliakan oleh Allah swt. Ia
diciptakan sendiri dan ditiupkan roh dari-Nya kepadanya. Ia diberikan hak-
hak seperti hak hidup, pemilikan, memelihara kehormatan, kemerdekaan,
persamaan, menuntut ilmu pengetahuan, dan hak-hak lainnya. Semua itu
diberikan kepada seluruh manusia tanpa membedakan warna kulit, agama,
suku, dan bangsa untuk menjamin kelangsungan hidupnya.
Di antara hak-hak yang diberikan kepada manusia itu, hak hidup merupakan
hak yang paling utama dan paling perlu mendapat perhatian. Hak ini tidak
dibenarkan secara hukum untuk dilanggar kemuliaan dan eksistensinya. Oleh
karena itu, Islam memberikan perlindungan terhadap hak hidup ini dengan
menjadikan penghilangan jiwa atau pembunuhan sebagai bentuk kejahatan,
baik dilakukan sendiri maupun orang Islam juga memberikan/menjatuhkan
sanksi penderitaan kepada seseorang atau beberapa orang yang
menghilangkan jiwa orang lain. Penjatuhan/memberikan penderitaan kepada
pelaku kejahatan ini disebut pidana.
Pembunuhan secara bahasa adalah menghilangkan nyawa seseorang.
Sedangkan secara istilah pembunuh adalah pebuatan manusia yang mengaki-
batkan hilangnya nyawa seseorang, baik dengan sengaja maupun tidak
sengaja, baik dengan alat yang mematikan maupun dengan alat yang tidak
mematikan atau dengan kata lain melenyapkan nyawa seseorang dengan
sengaja atau tidak sengaja, dengan menggunakan alat mematikan ataupun
tidak mematikan. Sejalan dengan itu, Wahbah al-Zuhailiy mendefinisikan

1
pembunuhan adalah suatu tindakan yang menghilangkan nyawa atau
mematikan, atau suatu tindakan oleh manusia yang menyebabkan hilangnya
kehidupan, yakni tindakan yang merobohkan formasi bangunan yang disebut
manusia.
Membunuh adalah perbuatan yang dilarang dalam Islam, karena Islam
menghormati dan melindungi hak hidup setiap manusia. Firman Allah swt.
dalam QS al-Isra’/17: 33:

-٣٣- ً‫اّللُ إيالَّ يِبحلَ يهق‬


‫س الَّيِت َحَّرَم ه‬
َ ‫َوالَ تَ ْقتُلُواْ النَّ ْف‬
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan suatu alasan yang benar.
Karena ada ketegasan mengenai larangan pembunuhan, maka jika ada
dua pihak yang saling membunuh tanpa alasan yang dibenarkan oleh syara’,
maka orang yang membunuh maupun yang terbunuh sama-sama akan masuk
neraka. Nabi saw. bersabda:

) ‫قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم ( القاتل واملقتول يف املنار‬
Pembunuh dan yang terbunuh masuk neraka. (HR. Muslim)

2. Macam-macam Pembunuhan
Di dalam Islam, pembunuhan ada dua macam, yaitu: pertama, pembunuh-
an dengan hak, yaitu perbuatan menghilangkan nyawa dengan alasan yang
dibenarkan oleh syarak. Pembunuhan yang masuk dalam jenis ini adalah
pembunuhan oleh eksekutor/algojo terhadap orang yang dikenakan hukuman
mati atau rajam dan pembunuhan yang terjadi dalam situasi peperangan.
Pembunuhan jenis ini tidak termasuk sebagai kejahatan atau tindak pidana.
Kedua, pembunuhan dengan tidak hak, yaitu perbuatan menghilangkan nyawa
seseorang tanpa alasan yang dibenarkan oleh syarak. Pembunuhan jenis inilah
yang termasuk dalam perbuatan kejahatan dan diancam dengan sanksi kisas
atau diat.
Menurut mazhab Malikiyah, pembunuhan terbagi kepada dua macam,
yaitu: pembunuhan sengaja dan pembunuhan tersalah. Sedangkan jumhur
fukaha (Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah) membagi kepada tiga macam,
yaitu: pembunuhan sengaja, pembunuhan seperti sengaja, dan pembunuhan
tersalah.
a. Pembunuhan Sengaja (Qatl al-‘Amd)
Pembunuhan sengaja yaitu pembunuhan yang telah direncanakan dengan
menggunakan alat yang mematikan, baik yang melukai maupun memberatkan
(mutsaqal). Dikatakan pembunuhan sengaja apabila ada niat dari pelaku

2
sebelumnya dengan menggunakan alat atau senjata yang mematikan. Si
pembunuh termasuk orang yang baligh dan yang dibunuh (korban) adalah orang
yang baik.
b. Pembunuhan Seperti Sengaja (Qatl Syibhu al-‘Amd)
Pembunuhan seperti sengaja adalah pembunuhan yang dilakukan seseorang
tanpa niat membunuh dan menggunakan alat yang biasanya tidak mematikan,
namun menyebabkan hilangnya nyawa seseorang.
c. Pembunuhan Tersalah atau Tidak Sengaja (Qatl al-Khata’)
Pembunuhan tersalah yaitu pembunuhan yang terjadi karena salah satu dari
tiga kemungkinan. Pertama, perbuatan tanpa maksud melakukan kejahatan, tetapi
mengakibatkan kematian seseorang. Kedua, perbuatan yang mempunyai niat
membunuh, namun ternyata orang tersebut tidak boleh dibunuh. Ketiga,
perbuatan yang pelakunya tidak bermaksud jahat, tetapi akibat kelalaiannya dapat
menyebabkan kematian seseorang.
Misalnya, seorang menggali parit untuk jalanan air memotong jalan tanpa
memberikan rambu-rambu peringatan. Pada waktu malam, seorang pengendara
motor terperosok ke dalam parit itu dan mengakibatkannya meninggal. Pada contoh
ini, penggali parit sesungguhnya tidak menghendaki terperosoknya pengendara
motor dan tidak menghendaki kematiannya. Akan tetapi, karena ia lalai memberi
tanda peringatan agar orang yang lewat dapat mengetahui adanya parit itu, maka ia
dipandang sebagai pelaku pembunuhan dan karenanya, dimintai pertanggung-
jawaban atas kelalaiannya itu.

3. Hukuman Pelaku Pembunuhan


Pelaku atau orang yang melakukan pembunuhan setidaknya telah melangggar
tiga macam hak, yaitu: hak Allah, hak ahli waris, dan hak orang yang terbunuh.
Artinya, balasan di dunia diserahkan kepada ahli waris korban, apakah pembunuh
akan dikisas atau dimaafkan. Jika pembunuh dimaafkan, maka wajib baginya
membayar diyat kepada ahli waris korban.
Sedangkan mengenai hak Allah, akan diberikan di akhirat nanti, apakah
pembunuh akan dimaafkan oleh Allah swt. karena telah melaksanakan kaffarah
atau akan disiksa di akhirat kelak. Berikut keterangan singkat tentang hukuman
bagi pembunuh sesuai dengan macamnya.
a. Pembunuhan Sengaja (Qatl al-‘Amd)
Hukuman bagi pelaku pembunuhan sengaja adalah kisas yaitu pelaku
harus diberikan sanksi yang berat. Melalui putusan pengadilan, hakim
menetapkan hukuman kisas kepada pelaku pembunuhan, dan keluarga
korban tidak diperbolehkan main hakim sendiri. Jika keluarga korban
memaafkan pelaku pembunuhan, maka hukumannya adalah membayar diyat

3
mughalladzah (denda berat) yang diambilkan dari harta pembunuh dan
dibayarkan secara tunai kepada pihak keluarga. Selain itu, pembunuh juga
harus menunaikan kafarah.
b. Pembunuhan Seperti Sengaja (Qatl Syibhu al-‘Amd)
Pelaku pembunuhan seperti sengaja tidak dikisas. Ia dihukum dengan
membayar diyat mughaladzah (denda berat) yang diambilkan dari harta
keluarganya dan dapat dibayarkan secara bertahap selama tiga tahun kepada
keluarga korban, setiap tahunnya sepertiga. Selain itu, pembunuh juga harus
melaksanakan kaffarah sesuai dengan sabda Rasulullah saw.
‫ال « َم ْن قَتَ َل ُمتَ َع يهمداً ُدفي َع إي ََل أ َْولييَ ياء الْ َقتي ييل فَيإ ْن‬ َ َ‫ ق‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫َِّب‬ َّ ‫ب أ‬
َّ ‫َن الني‬ ٍ ‫َع ْن َع ْم يرو بْ ين ُش َعْي‬

ً‫َخ ُذوا ال هيديَةَ َويه َى ثَالَثُو َن يح َّق ًة َوثَالَثُو َن َج َذ َعةً َوأ َْربَعُو َن َخلي َفة‬
َ ‫َشاءُوا قَتَ لُوهُ َوإي ْن َشاءُوا أ‬
Dari Amru bin Syu’aib bahwasanya Nabi saw. bersabda: Barang siapa membu-
nuh dengan sengaja, ia diserahkan kepada keluarga terbunuh. Jika mereka
(keluarga terbunuh) menghendaki, mereka dapat mengambil kisas. Dan jika
mereka menghendaki (tidak mengambil kisas), mereka dapat mengambil diyat
berupa 30 ekor hiqqah, 30 ekor jazd’ah, dan 40 ekor khilfah. (HR. Ahmad)

Hadis Rasulullah tersebut merupakan dalil diwajibkannya diyat


mughaladzah bagi pelaku tindak pembunuhan sengaja (yang dimaafkan
keluarga korban) dan pelaku tindak pembunuhan seperti sengaja.
c. Pembunuhan Tersalah atau Tidak Sengaja (Qatl al-Khata’)
Hukuman bagi pembunuhan tersalah adalah membayar diyat mukhaffafah
(denda ringan) yang diambilkan dari harta keluarga pembunuh dan dapat
dibayarkan secara bertahap selama tiga tahun kepada keluarga korban, setiap
tahunnya sepertiga. Rasulullah saw. bersabda:
ْ ‫ « يِف يديَية‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫اّلل‬
‫اْلَطَيإ يع ْش ُرو َن يح َّق ًة َو يع ْش ُرو َن‬ ‫ول َّي‬
ُ ‫ال َر ُس‬
َ َ‫ال ق‬ ٍ ‫اّلل ب ين مسع‬
َ َ‫ود ق‬ ‫ي ي‬
ُ ْ َ ْ َّ ‫َع ْن َعْبد‬
ٍ َ‫ون َو يع ْش ُرو َن بَين ََم‬
‫اض ذُ ُكر‬ ٍ ‫اض و يع ْشرو َن بيْنت لَب‬
ُ َ ُ َ ٍ َ‫ت ََم‬
‫ي‬
َ ‫َج َذ َع ًة َوع ْش ُرو َن بيْن‬
Dari Abdullah bin Mas’ud berkata, Bersabda Rasulullah saw. Diyat khata’ itu
terdiri dari 20 ekor unta berumur empat tahun, 20 ekor unta berumur limat
tahun, 20 ekor unta betina berumur 1 tahun, 20 ekor unta betina berumur dua
tahun, dan 20 ekor unta jantan berumur dua tahun. (HR. Abu Dawud)
Selain itu pembunuh juga harus melaksanakan kafarat, sesuai dengan
firman Allah swt. dalam QS al-Nisa’/4: 92:

-٩٢- ‫َوَمن قَتَ َل ُم ْؤيمناً َخطَئاً فَتَ ْح ير ُير َرقَبَ ٍة ُّم ْؤيمنَ ٍة َويديَة ُّم َسلَّ َمة إي ََل أ َْهلي يه‬

4
Dan barang siapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia
harus memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar
diyat yang diserahkan kepada keluarganya (yang terbunuh).
Apabila sekelompok orang secara bersama-sama membunuh seseorang,
maka mereka harus dihukum kisas. Hal ini disandarkan pada pernyataan
Umar bin Khattab terkait praktik pembunuhan secara berkelompok yang
diriwayatkan Imam Bukhari berikut:

‫عن ابن عمر رضي هللا عنهما أن غالما قتل غيلة فقال عمر لو اشرتك فيها أهل صنعاء لقتلتهم‬
Dari Ibnu Umar r.a. Sa’id bin Musayyab bahwa seorang lelaki membunuh
secara zalim, lalu Umar berkata, “Seandainya semua penduduk Sun’a secara
bersama-sama membunuhnya niscaya akan aku bunuh semua. (HR. al-
Bukhari)

4. Hikmah Larangan Pembunuhan


Islam menerapkan hukuman bagi pelaku pembunuhan untuk memelihara
kehormatan dan keselamatan jiwa manusia. Pelaku tindak pembunuhan diancam
dengan hukuman yang setimpal sesuai perbuatannya. Di antara dalil yang
menjelaskan tentang hukuman bagi pembunuh adalah firman Allah Ta’ala dalam
QS al-Nisa’/4: 93

٩٣- ً‫اّللُ َعلَْي يه َولَ َعنَهُ َوأ ََع َّد لَهُ َع َذاِبً َع يظيما‬ ‫ي‬ ‫ي ي‬ ‫ي‬ ‫ي‬
‫ب ه‬ َ ‫َوَمن يَ ْقتُ ْل ُم ْؤمناً ُّمتَ َع همداً فَ َجَز ُآؤهُ َج َهن َُّم َخالداً في َها َو َغض‬
Dan barang siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka
balasannya adalah neraka jahannam, ia kekal di dalamnya, dan Allah murka
kepadanya, mengutuknya, dan menyediakan azab yang besar baginya.
Sabda Rasulullah saw.:
‫َل الْم ْقتُ ي‬
‫ي‬ ‫ي‬ ‫ول َّي‬ ٍ َّ‫َع ين ابْ ين َعب‬
» ‫ول‬ َ ُّ ‫ « الْ َع ْم ُد قَ َود إالَّ أَ ْن يَ ْع ُف َو َو‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫اّلل‬ ُ ‫ال َر ُس‬
َ َ‫ال ق‬
َ َ‫اس ق‬
Dari Ibnu Abbas r.a bersabda. Rasulullah saw. bersabda: Pembunuhan sengaja
(hukumannya) adalah kisas, kecuali jika wali korban memaafkan. (HR.
Daraquthni).
Penerapan hukuman yang berat bagi pembunuh dimaksudkan agar tak
seorang pun melakukan tindakan kejahatan yang menyebabkan hilangnya nyawa
orang lain.

D. Kontekstualisasi Nilai-nilai Moderasi Beragama dalam Materi Pembunuhan


Larangan membunuh merupakan bentuk perlindungan syariat terhadap setiap
jiwa manusia, baik manusia beriman maupun tidak, kecuali terhadap jiwa yang
dibolehkan dalam keadaan tertentu. Pelanggaran atas ketentuan ini diancam

5
dengan kisas, yaitu sanksi yang sama dengan bentuk kejahatannya seperti sanksi
pembunuhan serupa atas Tindakan pembunuhan.
Larangan membunuh mengandung nilai-nilai moderasi beragama berupa
menolak dan anti kekerasan. Tujuan beragama adalah menciptakan kehidupan
yang damai dan harmonis, sehingga segala bentuk kekerasan, apalagi yang
mengakibatkan hilangnya nyawa orang harus dihindari dan dijauhi sebagai sikap
moderasi. Selain itu materi pidana pembunuhan ini mengandung nilai moderasi
beragama berupa menolak dan anti kekerasan. Tujuan beragama adalah
menciptakan kehidupan yang damai dan harmonis, sehingga segala bentuk
kekerasan, apalagi yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang harus dihindari
dan dijauhi sebagai sikap moderasi. Selain itu materi pidana pembunuhan ini
mengandung nilai moderasi beragama berupa sikap i'tidal, tegak lurus yang
menghormati dan melindungi setiap jiwa manusia, dan anti kekerasan. Tujuan
beragama adalah menciptakan kehidupan yang damai dan harmonis, sehingga
segala bentuk kekerasan, apalagi yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang
harus dihindari dan dijauhi sebagai sikap moderasi. Jaminan keamanan diri ini
juga akan memunculkan sikap saling menghargai antarsesama warga dan tidak
mudah untuk berbuat sewenang-wenagn terhadap iandividu atau kelompok
masyarakat yang lain.
Selain nilai moderasi beragama tersebut, nilai moderasi beragama apa saja yang
dapat Saudara peroleh dari materi pembunuhan ini?

E. Latihan
Fakhri seorang arogan dan suka mengintimidasi orang yang yang dianggap
lemah. Suatu hari ia berselisih dengan tetangganya, Hanif karena perkelahian
antaranak-anak mereka. Fakhri menggertak Hanif dengan menembakkan pistol
softgun yang suaranya mirip pistol sungguhan menyebabkan penyakit jantung
Hanif kambuh lalu terjatuh dan meninggal seketika.
Tugas: Baca dan analisis kasus tersebut di atas lalu kemukakan jawaban Saudara
terhadap pertanyaan berikut!
1. Apakah tindakan Fakhri dapat dipandang sebagai bentuk pembunuhan dan
tergolong jenis pembunuhan apa?
2. Apa hukuman terhadap Fakhri akibat perbuatannya dalam pandangan hukum
Islam?
3. Bagaimana pula pandangan Islam apabila keluarga Hanif memaafkan
perbuatan Fakhri tersebut?

F. Daftar pustaka
al-Anshari, Imam Abi Zakaria. Fathu al-Wahab. Surabaya: al-Hidayah

6
Daud, Ali Mahmud. Hukum Islam di Indonesia: Pengantar Hukum Islam dan Tata
Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Grafindo, 1993
Ibn Husain, Imam Ahmad. Fathu al-Qorib al-Mujib. Surabaya: al-Hidayah.
Ibnu Mas’ud & Zainal Abidin. Fiqih Madzhab Syafi’i. Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah. Jld. III, Cet. IV; Beirut: Dar al-Fikr, 1983
Syafii, Imam. Al-Risalah. Alih bahasa Ahmadi Thoha, Cet. I; Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1986.
al-Zuhaily, Wahbah. Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu. Jilid IV, Cet. IV; Beirut: Dar
al-Fikr al-Muashir, 2005.
al-Hafid, Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Beirut: Dar
al-Kutub al-Arabiyyah
al-Dasuqi, Muhammad b. Ahmad b. Arafah, 2022, Hasyiyah al-Dasuqi. Beirut:
Dar al-Shalah
Abd al-Aziz, Amir. 1989. Al-Fiqh al-Jinaiy fi al-Islam, Dar al-Salam
Hasani, Mahmud Najib, 2018, al-Fiqh al-Jinaiy al-Islami al-Jarimah, Mesir
Maktabah al-Qanun al-Muqarin
Hasani, Mahmud Najib, 2021, al-Da'wa al-Jinaiyyah, Iskandariya: Dar al-Nahdhah
al-Arabiyah
Hasani, Mahmud Najib, al-Musahamah al-Jinaiyyah fi al-Tasyri'at al-Arabiyyah,
Iskandariya: Dar al-Nahdhah al-Arabiyah
Hafshi, Abbas, al-Fiqh al-Jinaiy Muqarana bi al-Qawanin al-Wadh'iyyah, German:
al-Markaz al-Dimuqrathi al-Arabi
Susanto, Topo, 2003. Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Gema Insani
Press

7
KEGIATAN BELAJAR 2
KISAS

A. Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan


Peserta dapat menganalisis aturan hukum Islam dan dalil-dalil tentang
kisas.

B. Subcapaian Pembelajaran Mata Kegiatan


1. Menganalisis pengertian dan dasar hukum kisas;
2. Menganalisis syarat-syarat kisas;
3. Membedakan macam-macam kisas dan sanksi kisas;
4. Pembuktian jarimah pelukaan;
5. Menganalisis hikmah hukum kisas.

C. Uraian Materi
1. Pengertian Kisas
Kisas menurut bahasa berasal dari kata al-qishaash dan al-qashash yang
berarti mengikuti jejak. Kata ini digunakan untuk menunjukkan arti hukuman
karena orang yang menuntut kisas mengikuti jejak kejahatan lalu membalas-
nya dengan melukai semisalnya. Menurut syarak, kisas ialah hukuman balasan
yang seimbang bagi pelaku pembunuhan maupun perusakan atau
penghilangan fungsi anggota tubuh orang lain yang dilakukan dengan sengaja.
Hukuman mengenai kisas ini, baik kisas pembunuhan maupun kisas
anggota badan, dijelaskan dalam QS al-Maidah/5: 45:
ۡ ‫َنف و ۡٱۡلُذُ َن بي ۡٱۡلُذُ ين و ي‬ ‫َنف بي ۡٱۡل ي‬ ۡ ۡ ۡ‫ۡ ۡ ي‬
‫وح‬‫ر‬ ‫ٱۡل‬‫و‬ ‫ي‬
‫ن‬
َ ُُ َ ‫ه ه‬
‫ٱلس َّن بي ي‬
‫ٱلس‬ ‫َ ه‬ َ َ ‫ي َو‬
‫ٱۡل‬ ‫ي بٱل َع ي‬ َ ‫س َوٱل َع‬ ‫َن ٱلن َّۡفس بيٱلن َّۡف ي‬
َّ ‫َوَكتَ ۡب نَا َعلَ ۡي يه ۡم في َيهآ أ‬
َ
َّٰ
‫ك ُه ُم ٱلظَّلي ُمو َن‬ ٓ ۡ ۡ ۚ ‫قيص‬
َ ‫ٱّللُ فَأ ُْوَّٰلَئي‬
َّ ‫َنزَل‬ ‫ي‬
َ ‫َّارة لَّهُۥۚ َوَمن ََّّل َي ُكم بَآ أ‬
‫اص فَمن تَصد َ يي‬
َ ‫َّق بهۦ فَ ُه َو َكف‬ َ َ َ
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (al-Taurat)
bahwasannya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan
hidung telinga dengan telinga, gigi dengan gigi dan luka-lukapun ada
qishashnya. Barang siapa melepaskan (hak kisasnya) akan melepaskan hak itu
(menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa yang tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-
orang yang zalim.

2. Syarat-syarat Kisas

8
Hukuman kisas wajib dilakukan apabila memenuhi syarat-syarat
sebagaimana berikut:
a. Orang yang terbunuh terpelihara darahnya (orang yang benar-benar baik)
Jika seorang mukmin membunuh orang kafir, orang murtad, pezina
yang sudah menikah, ataupun seorang pembunuh, maka dalam hal ini
hukuman kisas tidak berlaku. Rasulullah saw. bersabda:

‫ال يقتل مسلم بكافر‬


Tidak dibunuh seorang muslim yang membunuh orang kafir. (HR. al-
Bukhari)
Hadis di atas menjelaskan bahwa seorang muslim yang membunuh
orang kafir tidak dihukum kisas. Meskipun demikian, harus dipahami
bahwa orang kafir terbagi menjadi dua, yaitu: kafir harbi dan kafir zimmi.
Kafir harbi adalah kafir yang melakukan tindak kezaliman kepada kalangan
muslimin hingga sampai pada tahapan “memerangi”. Seorang muslim yang
membunuh kafir ini tidak dikisas dan tidak dikenai hukuman apapun. Kafir
zimmi adalah kafir yang berada di bawah kekuasaan penguasa muslim dan
berinteraksi secara damai dengan kalangan muslimin. Penguasa muslim
berhak menghukum seorang muslim yang membunuh kafir zimmi. Semakin
jelas di sini bahwa pada prinsipnya seorang muslim harus menghargai
siapapun, termasuk juga kalangan nonmuslim, selama mereka tidak berniat
menghancurkan agama Islam dan menzalimi kalangan muslimin.
b. Pembunuh sudah baligh dan berakal
Pembunuh yang dapat dijatuhi hukum kisas adalah pembunuh yang
sudah baligh sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
َ ‫ال « ُرفي َع الْ َقلَ ُم َع ْن ثَالَ ٍث َع ين النَّائييم َح ََّّت يَ ْستَ ْي يق‬
‫ظ َو َع ين‬ َ َ‫ ق‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫َِّب‬ ‫ي يي‬ ‫ي‬
‫َع ْن َعائ َش َة َعن الن ه‬
» ‫ون َح ََّّت يَ ْع يق َل‬
‫الصي يِب ح ََّّت َيتَليم وع ين الْمجنُ ي‬
ْ َ َ َ َ ْ َ ‫َّ ه‬
Dari Aisyah ra. bahwa Nabi saw. bersabda, Terangkat hukum (tidak kena
hukum) dari tiga orang yaitu; orang tidur hingga ia bangun, anak-anak
hingga ia dewaasa, dan orang gila hingga ia sembuh dari gilanya. (HR.
Ahmad dan Abu Dawud).
c. Pembunuh bukan bapak (orang tua) dari terbunuh
Jika seorang bapak (orang tua) membunuh anaknya maka ia tidak
dikisas. Rasulullah saw. bersabda:

.» ‫ول « الَ يُ ْقتَ ُل َوايلد بيَولَ يدهي‬


ُ ‫ يَ ُق‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫اّللي‬
َّ ‫ول‬
َ ‫ت َر ُس‬ ‫اْلطَّ ي ي‬
ُ ‫اب ََس ْع‬ َْ ‫عن عُ َمَر بْ ين‬
Tidak dibunuh (dikisas) seorang bapak (orang tua) yang membunuh
anaknya. (HR. Ahmad dan al-Tirmidzi).

9
Umar bin Khattab dalam suatu kesempatan juga berkata:

‫اد الْ َوالي ُد يم ْن َولَ يد يه‬


ُ ‫ول « الَ يُ َق‬
‫ول َّي‬
ُ ‫ يَ ُق‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫اّلل‬ َ ‫ت َر ُس‬ ‫ي‬
ُ ‫عن عُ َمَر ََس ْع‬
Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, Tidak boleh bapak
(orang tua) diqishash karena sebab (membunuh) anaknya. (HR. Tirmidzi)
Dalam hal ini hakim berhak menjatuhkan hukuman takzir kepada
orang tua tersebut, semisal mengasingkannya dalam rentang waktu tertentu
atau hukuman lain yang dapat membuatnya jera. Adapun jika seorang anak
membunuh orang tuanya, maka ia wajib dihukum kisas.
d. Kisas dilakukan dalam hal yang sama
Kisas dilakukan dalam hal yang sama, jiwa dengan jiwa, mata dengan
mata, dan lain sebagainya. Hal ini sesuai firman Allah swt. dalam QS al-
Maidah/5: 45 yang telah kita bahas kandungan umumnya pada halaman
sebelumnya:
‫َنف واۡلُذُ َن يِبۡلُذُ ين و ي ي ي‬
‫لس هين‬
‫الس َّن ِب ه‬
‫َ ه‬
‫ي واۡل َ ي ي‬
َ ‫َنف ِبۡل‬
‫س والْ َع ْ َ ي ي‬
َ ْ ‫ي ِبلْ َع‬ َ ‫س ِبلنَّ ْف ي‬ َّ ‫َوَكتَ ْب نَا َعلَْي يه ْم في َيها أ‬
‫َن النَّ ْف ي‬
َ
-٤٥- ‫ك ُه ُم الظَّالي ُمو َن‬
َ ‫اّللُ فَأ ُْولَئي‬ ‫ي‬
َ ‫َّارة لَّهُ َوَمن ََّّلْ َْي ُكم بَا‬
‫أنزَل ه‬
‫اۡلروح قيصاص فَمن تَصد َ يي‬
َ ‫َّق به فَ ُه َو َكف‬ َ َ َ َ ُُْ ‫َو‬
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (al-Taurat)
bahwasannya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan
hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi dan luka-lukapun ada
kisasnya.
Bila syarat-syarat tersebut di atas sudah terpenuhi, maka kisas harus
dilaksanakan, kecuali bila kisas tersebut gugur. Hal-hal yang dapat menggu-
gurkan kisas ada empat, yaitu: 1) pelaku meninggal dunia, karena ini berarti
objeknya hilang, 2) pemaafan dari wali korban, 3) sulhu (kompromi atau
kesepakatan damai dengan suatu imbalan), dan 4) terwarisinya hak kisas,
yakni orang yang akan dikisas mewarisi hak untuk mengkisas sehingga
yang akan mengkisas dan yang akan dikisas orangnya sama.

3. Macam-macam Kisas
Kisas dibedakan menjadi dua yaitu: kisas pembunuhan atau kisas jiwa
dan kisas anggota badan. Kisas jiwa dikenakan kepada pembunuh sengaja
yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan di atas. Sedang-
kan kisas anggota badan adalah kisas yang dikenakan kepada pelaku tindak
pidana melukai, merusak, atau menghilangkan fungsi anggota badan.
Jarimah pelukaan (jinayah ‘ala ma duna al-nafs) adalah “Perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang dengan sengaja atau tidak sengaja untuk melukai
atau menciderai orang lain atau setiap penganiayaan terhadap badan

10
seseorang dengan memotong anggota tubuh atau melukai atau memukul
sedangkan nyawa dan hidupnya masih eksis.
Jarimah pelukaan terbagi kepada 2 macam: pelukaan sengaja (jarh al-
’amd) dan pelukaan kesalahan (jarh al-khata’).
a. Pelukaan Sengaja
Pelukaan sengaja adalah perbuatan apa saja yang disengaja dilakukan
oleh seseorang dengan maksud melawan hukum seperti melempar seseo-
rang dengan batu dengan maksud mengenainya. Bentuk bentuk pelukaan
sengaja adalah:
1) Penghilangan anggota badan (al-’athraf)
Sanksi atas penghilangan anggota badan (al-’athraf) meliputi: tangan,
kaki, jari-jari, hidung, mata, telinga, bibir, gigi, rambut, alis, dan
semacamnya. Sanksi atas penghilangan al-’athraf adalah kisas sebagai
sanksi pokok dan diat serta takzir sebagai sanksi pengganti. Kisas
diberlakukan bila telah memenuhi syarat umum kisas dan syarat khusus
kisas pelukaan yaitu: tamasul, yakni adanya kesetaraan antara pelaku dan
korban, baik perbuatan dan tempat (seperti tangan) maupun manfaat
(kesehatan dan kesempurnaan) bagian badan yang dihilangkan. Apabila
kisas gugur, dikenakan sanksi pengganti yaitu diat atau irsy.
Diat digunakan untuk sanksi diat penuh (kamilah), yaitu 100 ekor
unta pada pelukaan yang menghilangkan fungsi suatu anggota badan
seluruhnya seperti dua tangan. Irsy (ganti rugi) digunakan untuk diat
tidak penuh (gair kamilah) pada pelukaan yang menghilangkan sebagian
fungsi suatu anggota tubuh seperti menghilangkan satu tangan atau satu
jari.
Anggota badan (al-’athraf) yang dikenakan diat kamilah adalah:
a) Anggota yang tidak berpasangan yaitu: hidung, lubang dubur, lidah,
tulang belakang, zakar (kemaluan), lubang kencing, kulit, rambut, dan
jenggot.
b) Anggota yang berpasangan (dua) yaitu: tangan, kaki, mata, telinga,
bibir. Alis, payudara, testis pria, pinggul, tulang rahang, dan bibir vagina.
c) Anggota yang terdiri dari dua pasang yaitu kelopak mata dan bulu
mata.
d) Anggota yang terdiri dari lima pasang atau lebih, yaitu: jari tangan, jari
kaki, dan gigi.
2) Penghilangan fungsi anggota badan
Sanksi atas penghilangan fungsi suatu anggota badan meskipun
anggota badan itu masih ada seperti hilangnya fungsi penglihatan,
pendengar-an, penciuman, dan sebagainya adalah kisas bila

11
memungkinkan. Bila kisas tidak dapat dikenakan, ia diwajibkan
membayar diat atau irsy.
Manfaat anggota badan menurut Imam Malik adalah akal, pende-
ngaran, penglihatan, penciuman, pembicaraan, suara, rasa (zauq),
perubahan warna kulit, jima’, berdiri, dan duduk.
3) Melukai badan selain kepala (al-jirah)
Sanksi atas jarimah pelukaan atas seluruh badan selain muka dan
kepala (al-jirah) adalah:
a) Ja’ifah, pelukaan yang sampai ke organ dalam pada bagian dada, perut,
punggung, dubur, tenggorokan dan lainnya. Sanksinya: diat
b) Gair ja’ifah, pelukaan yang tidak sampai ke bagian dalam seperti pada
tangan, lutut, kaki. Sanksi pada pelukaan gair ja’ifah, Hanafiyah
berpendapat tidak dikisas dan Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah
berpendapat dikisas. Bila tidak dapat dikisas, sanksinya diganti
dengan sanksi irsy (ganti rugi). 4) Melukai kepala dan muka (al-syajjaj)
Sanksi terhadap jarimah pelukaan muka dan kepala (al-syijjaj)
adalah sebagian kisas dan sebagian irsy, baik muqaddar maupun gair
muqaddar. Pelukaan yang dikenakan sanksi kisas adalah pelukaan dalam
yang merobek daging hingga kelihatan sampai tulang (mudihah).
Sedangkan pelukaan ringan dikenakan irsy.
b. Pelukan Karena Kesalahan
Pelukaan karena kesalahan adalah perbuatan apa saja yang sengaja
dilakukan oleh sese-orang tanpa bermaksud melawan hukum seperti
seseorang membuang batu dari jendela untuk menyingkirkannya lalu
mengenai seseorang yang lewat.
Sanksi terhadap pelaku jarimah pelukaan karena kesalahan adalah diat
atau irsy (ganti rugi). Penerapan diat atau irsy disesuaikan dengan bentuk-
bentuk pelukaan sebagaimana dijelaskan pada sanksi pelukaan sengaja, baik
al-’athraf dan al-jirah maupun al-syajjaj.

4. Pembuktian Jarimah Pelukaan


a. Menurut jumhur fukaha, pembuktian jarimah pelukaan adalah pengakuan,
persaksian, dan sumpah.
b. Menurut Ibnu Qayyim (Hanabilah) pembuktian jarimah pelukaan adalah
pengakuan, persaksian, sumpah, dan karinah atau indikasi.
Bentuk-bentuk persaksian ini juga digunakan dalam jarimah hudud yang lain.

5. Pemulihan Hak Terpidana

12
Terpidana yang telah menjalankan kisas dalam Islam memiliki hak yang
harus dipulihkan sebagaimana manusia pada umumnya. Pemulihan hak
terpidana dilakukan karena penjatuhan hukuman kepadanya adalah dalam
rangka bersangkutan merasakan penderitaan yang dirasakan pihak korban.
Bentuk sanksi apaun yang telah dijatuhkan kepada pelaku/terpidana pada
pangkal ujungnya adalah supaya masing-masing pihak dari pelaku dan
korban dapat saling memaafkan. Jika terpidana dijatuhi hukuman mati maka
nama baiknya dan keluarga harus dipulihkan. Begitupun terpidana yang
telah dijatuhi hukuman jarimah pelukaan, apabila ia mengingkan
dikembalikan bagian anggota tubuhnya yang terkena kisas, maka haknya
untuk dapat hidup normal juga boleh dipenuhi.
Hal ini seperti dikemukakan Wahbah Zuhaily dalam kitab berjudul
Majallah Majma' al-Fiqh al-Islami/6: 1518. Menurutnya, dalam kasus pelaku
kejahatan yang dijatuhi hukuman potong tangan maka setelah dijatuhi
hukuman yang bersangkutan boleh mengembalikan fungsi tangannya
dengan penyambungan kembali.

6. Hikmah Hukuman Kisas


Hikmah yang dapat dipetik bahwa Islam menerapkan hukuman yang
sangat menjaga serta menjaga kehormatan dan keselamatan jiwa manusia.
Pelaku perbuatan pembunuhan diancam dengan kisas baik yang terkait pada
jinayat ‘alan nafsi (tindak pidana pembunuhan) ataupun al-jinayah ‘ala ma
dunan nafsi (tindak pidana yang berupa merusak anggota badan ataupun
menghilangkan fungsinya) akan menimbulkan banyak efek positif. Yang
terpenting di antaranya adalah:
a. Dapat memberikan pelajaran bagi kita bahwa keadilan harus ditegakkan.
Betapa tinggi nilai jiwa dan badan manusia, jiwa diganti dengan jiwa,
anggota badan juga diganti dengan anggota badan. Di sini, penting
kiranya, pihak bank merekrut para bankir atau karyawan yang benar-
benar memahami prinsip bank syariah. Karena, ketika bankir atau
karyawan tidak memiliki pemahaman ekonomi syariah, potensi
penyalahgunaan atau kekeliruan semakin besar terjadi.
b. Dapat memelihara keamanan dan ketertiban. Karena dengan adanya
kisas orang akan berpikir lebih jauh jika akan melakukan tindak pidana
pembunuhan ataupun penganiayaan. Di sinilah kisas memiliki peran
penting dalam menjauhkan manusia dari nafsu membunuh ataupun
menganiaya orang lain, hingga akhirnya manusia akan merasakan
atmosfer kehidupan yang penuh dengan keamanan, kedamaian dan
ketertiban;

13
c. Dapat mencegah pertentangan dan permusuhan yang mengundang
terjadinya pertumpahan darah. Dalam konteks ini kisas memiliki andil
besar membantu program negara dalam usaha memberantas berbagai
macam praktik kejahatan, sehingga ketentraman dan keamanan
masyarakat terjamin. Hal ini Allah tegaskan dalam QS al-Baqarah/2:
179:
‫ُوِل اۡلَلْب ي‬ ‫ي‬
-١٧٩- ‫اب لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّ ُقو َن‬َ ْ ‫اص َحيَاة ََيْ أ ي‬
‫ص ي‬َ ‫َولَ ُك ْم ييف الْق‬
Dan dalam kisas itu ada jaminan (kelangsungan hidup bagimu), hai
orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa.

D. Kontekstualisasi Nilai-nilai Moderasi Beragama dalam Materi Kisas


Kisas merupakan bentuk sanksi atas tidak kejahatan pembunuhan dan
penginayaan berupa pemberian sanksi yang sama dengan tindak kejahatannya.
Keberadaan kisas dalam syariat Islam ini merupakan sikap tawassut, berada di
tengah-tengah kecenderungan dua syariat agama samawi: Nasrani dan Yahudi.
Dalam syariat agama Nasrani ditonjolkan ajaran kasih sehingga seseorang yang
pipi kanannya ditampar akan memberikan pipi kiri untuk ditampar pula,
sementara dalam agama Yahudi ditonjolkan ajaran yang sangat tegas seperti kain
yang terkena Najis dihilangkan dengan memotong kain yang terkena najis.
Syariat Islam datang dengan posisi di antara dua kecenderungan tersebut
sehingga kisas diberlakukan dengan memberikan sanksi yang sama dengan
bentuk kejahatannya.
Keberadaan pengadilan sebelum menjatuhkan sanksi kisas juga mengandung
nilai moderasi yaitu i'tidal, menjaga ketidakberpihakan kepada salah satu di
antara dua orang yang bersengketa sehingga hak-hak keduanya dapat diberikan.
Sebelum penjatuhan sanksi kisas juga dilakuakn mediasi, penawaran sekiranya
pelaku pembunuhan atau penganiayaan dapat dimaafkan oleh wali kisas melalui
musyawarah. Hal ini juga mengandung nilai syura, musyawarah sebagai bentuk
sikap moderasi beragama.
Selain nilai moderasi beragama tersebut, nilai moderasi beragama apa saja
yang dapat Saudara peroleh dari materi kisas ini?

E. Latihan
Rudi seorang pemain bela diri yang tangguh, apalagi mempunyai keahlian
menggunakan tongkat. Suatu hari ia berseteru dengan geng motor karena
bersenggolan ketika berpapasan di jalan yang sempit. Meskipun Rudi dikeroyok
oleh geng tersebut, ia dapat mengalahkan mereka bahkan salah seorang

14
meninggal terkena hantaman tongkat besi yang selalu dibawanya dan seorang
lagi tangannya patah yang juga dihantam tongkat besinya.
Tugas: Baca dan analisis kasus tersebut di atas lalu kemukakan jawaban
Saudara terhadap pertanyaan berikut!
1. Akibat perkelahian tersebut Rudi dikenakan hukuman? Hukuman apa yang
akan dijatuhkan kepada Rudi atas kematian salah seorang anggota geng
motor dan hukuman apa atas patahnya tangan anggota yang lain?
2. Apakah kedua hukuman tersebut dijatuhkan kepada Rudi dan mana yang
didahulukan atau salah satunya saja?
3. Apa hikmah yang dapat ditarik dari pemberlakuan hukuman kepada Rudi
dalam kasus ini?

F. Daftar pustaka
Abd. Rahman, dkk. Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana, 2010
al-Anshari, Imam Abi Zakaria. Fathu al-Wahab. Surabaya: al-Hidayah
Daud, Ali Mahmud. Hukum Islam di Indonesia: Pengantar Hukum Islam dan Tata
Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Grafindo, 1993
Ibn Husain, Imam Ahmad. Fathu al-Qorib al-Mujib. Surabaya: al-Hidayah.
Ibnu Mas’ud & Zainal Abidin. Fiqih Madzhab Syafi’i. Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah. Jld. III, Cet. IV; Beirut: Dar al-Fikr, 1983
Syafii, Imam. Al-Risalah. Alih bahasa Ahmadi Thoha, Cet. I; Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1986
al-Zuhaily, Wahbah. Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu. Jilid IV, Cet. IV; Beirut: Dar al-
Fikr al- Muashir, 2005
Abd al-Aziz, Amir. 1989. Al-Fiqh al-Jinaiy fi al-Islam, Dar al-Salam
Hasani, Mahmud Najib, 2018, al-Fiqh al-Jinaiy al-Islami al-Jarimah, Mesir Maktabah
al-Qanun al-Muqarin
Hasani, Mahmud Najib, 2021, al-Da'wa al-Jinaiyyah, Iskandariya: Dar al-Nahdhah
al-Arabiyah
Hasani, Mahmud Najib, al-Musahamah al-Jinaiyyah fi al-Tasyri'at al-Arabiyyah,
Iskandariya: Dar al-Nahdhah al-Arabiyah
Hafshi, Abbas, al-Fiqh al-Jinaiy Muqarana bi al-Qawanin al-Wadh'iyyah, German:
al-Markaz al-Dimuqrathi al-Arabi
Susanto, Topo, 2003. Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Gema Insani Pres
Audah, Abd al-Qadir, al-Tasyri' al-Jinaiy al-Islamy Muqarana bi al-Qanun al-
Wadh'iy, Beirut: dar al-Kitab al-arabi

15
KEGIATAN BELAJAR 3
JARIMAH TAKZIR

A. Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan


Peserta dapat menganalisis aturan hukum Islam dan dalil-dalil terkait dengan
jarimah takzir.

B. Subcapaian Pembelajaran Mata Kegiatan


1. Menganalisis pengertian jarimah takzir;
2. Menganalisis dasar hukum jarimah takzir;
3. Membedakan macam-macam jarimah takzir;
4. Menganalisis hukuman pelaku jarimah takzir;
5. Menganalisis hikmah pelaksanaan jarimah takzir.

C. Uraian Materi
1. Pengertian Takzir
Takzir disyariatkan oleh Islam sebagai salah satu bentuk perkara pidana
atau jarimah. Penetapan syariat Islam terhadap sanksi takzir berfungsi sebagai
tindakan edukatif atau bentuk sanksi pendidikan terhadap orang-orang yang
melakkan perbuatan maksiat atau orang-orang yang melakukan pelanggaran
terhadap aturan-aturan. Tujuan pemberlakuan sanksi takzir sama dengan
tujuan pemberlakuan jarimah hudud, yaitu agar orang yang melakukan tindak
pidana atau jarimah jera serta tidak mau mengualnginya dan orang lain tidak
mau meniru atau mengikuti perbuatan jarimah orang itu.
Kata takzir berasal dari bahasa Arab ‫ تعزير‬, kata dasarnya - ‫عزر – يعزر‬
‫عزرا‬. Menurut Ibnu Faris, kata tersebut terdiri dari tiga huruf ‫ العين والزاء والراء‬yang
mempunyai dua pengertian. Yang pertama berarti ‫( التَّعظيم والنَّصر‬pengagungan
dan pertolongan), dan yang kedua berarti ‫جنس من الضَّرب‬ ٌ (salah satu jenis
pukulan). Sedangkan menurut Ibrahim Mustafa, dkk. berarti ‫المه وأعانه‬
(mencegah dari kejahatan dan menolongnya), dan juga berarti ‫وعن الشيء منعه ورده‬
(melarang dari sesuatu dan mengembalikannya). Selanjutnya di dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia dikemukanan bahwa takzir adalah hukuman yang
dijatuhkan atas dasar kebijaksanaan hakim terhadap pelanggaran yang tidak
ada ketentuan sanksinya di dalam al-Qur'an dan hadis.
Makna-makna kebahasaan tersebut dapat dilihat pemakaiannya di
beberapa ayat, misalnya dalam QS al-Fath/48: 9 berbunyi:

16
Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan
(agama)Nya, membesarkan-Nya. dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan
petang.
Menurut istilah, takzir adalah tindak pidana yang tidak ditentukan
sanksinya oleh al-Qur'an maupun oleh hadis, misalnya tidak melaksanakan
amanah, merampas harta, menghina orang, menghina agama, menjadi saksi
palsu, dan suap.
Dr. Wahbah al-Zuhailiy memberi definisi takzir sebagai balasan (hukum-
an) syar’i atas perbuatan maksiat atau kejahatan yang tidak ada hadnya dan
tidak ada kafarat, baik kejahatan/pelanggaran terhadap hak Allah seperti
berbuka pada siang hari bulan Ramadan tanpa uzur yang dibolehkan,
meninggalkan salat, dan riba, maupun pelanggaran terhadap hak-hak manusia
seperti menggauli wanita pada selain faraj (vagina), mencuri yang tidak
sampai nisabnya, menghianati amanat, memanggil orang lain dengan
panggilan tuduhan berbuat jahat seperti memanggil dengan kata-kata ’Hai
pencuri, Hai pezina, Hai penjahat’, dan lain-lain. Senada dengan al-Zuhailiy,
Sayyid Sabiq memberi definisi takzir sebagai tindakan edukatif terhadap
prilaku perbuatan dosa yang tidak ada sanksi had atau kafarat.
Dari pengertian yang dikemukakan oleh para pakar di atas dapat
dirumuskan bahwa takzir adalah hukuman yang bersifat edukatif yang
dijatuhkan pada seseorang yang melakukan suatu tindak kejahatan yang
bentuk hukumannya belum ditentukan secara tegas di dalam al-Qur'an dan
sunah, baik kejahatan itu berupa pelanggaran terhadap hak-hak Allah maupun
pelanggaran terhadap hak-hak manusia sebagai hamba Allah.
Takzir juga dapat dipahami sebagai jarimah yang terdiri atas perbuatan-
perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had atau kaffarat.
Hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa atau hakim. Hukum-
an dalam jarimah takzir tidak ditentukan ukurannya atau kadarnya. Artinya
untuk menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya
kepada hakim (penguasa). Dengan demikian, syari’ah mendelegasi kan kepada
hakim untuk menentukan bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku
jarimah.
Selain hukuman takzir dijatuhkan terhadap pelaku tindak kejahatan yang
tidak ditentukan bentuk hukumannya oleh syarak (al-Qur'an dan sunah),
takzir juga dapat dijatuhkan terhadap pelaku tindak kejahatan atau
pelanggaran terhadap undang-undang atau peraturan-peraturan yang dibuat
oleh negara/pemerintah selama undang-undang atau peraturan-peraturan
tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan tujuan
syariah. Di antara peraturan-peraturaan yang dilanggar dan dapat dijatuhi

17
hukuman takzir adalah peraturan lalu-lintas, pemeliharaan lingkungan hidup,
aparat pemerintah yang tidak disiplin dan sebagainya.
Hukuman takzir juga dijatuhkan terhadap tindak kejahatan yang sudah
ditentukan hukumannya di dalam al-Qur'an atau sunah, baik berupa had,
qisas, maupun kafarat, namun tidak memenuhi syarat untuk menjatuhkan
hukuman tersebut atas pelakunya karena adanya syubhat. Tindakan yang
tidak boleh dihukum itu baik syubhat dalam kaitannya dengan pelaku,
perbuatan, ataupun dalam kaitannya dengan tempat. Hal ini dimaksudkan
agar seseorang tidak dijatuhi hukuman atas dasar dzan atau dugaan saja karena
sanksi hukum hanya boleh dijatuhkan setelah hakim betul-betul dapat
membuktikan kesalahan seseorang secara meyakinkan.
Pemberlakuan hukuman takzir ditetapkan oleh pemerintah atau hakim
yang bertindak sebagai wakil pemerintah di bidang penegakan hukum dengan
mempertimbangkan beberapa hal. Di antara hal-hal yang dapat dijadikan
sebagai bahan pertimbangan oleh hakim adalah besar kecilnya pelanggaran,
adanya unsur sengaja atau kelalaian, baru pertama dilakukan atau sudah
berkali-kali dan sebagainya.
Penetapan jarimah takzir al-Qur'an dan hadis tidak dijelaskan secara
detail, baik dari segi bentuk jarimah maupun hukuman. Landasan hukum
sanksi bagi pelaku jarimah takzir adalah at-ta'zir yaduru ma'a mashlahah,
yaitu hukum takzir berlandaskan pertimbangan manfaat dengan tetap
berpedoman pada asas keadilan. dalam masyarakat.
Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan sebgai dasar jarimah takzir adalah QS
al-Fath/48: 8-9:
‫ ليتُ ْؤيمنُوا يِب َّّللي ورسولييه وتُع يزروه وتُوقيهروه وتُسبيحوه بكْرًة وأ ي‬. ً‫اهداً ومب يهشراً ونَ يذيرا‬
ً‫َصيال‬ ‫إي ََّّن أَرس ْلن َ ي‬
َ َ ُ ُ ُ ‫َ َ ُ َ َهُ ُ َ َ ُ ُ َ َ ه‬ َ َُ َ ‫اك َش‬ ََْ
Sungguh, kami telah mengirimmu sebagai saksi, pembawa kabar gembira dan
pemberi peringatan. Agar kalian semua beriman kepada Allah swt. dan Rasul-
Nya, perkuat (agama)-Nya, muliakan-Nya, dan muliakan-Nya di pagi dan sore
hari.
Adapun salah satu hadis yang dijadikan dasar jarimah takzir adalah hadis
Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Burdah sebagai berikut:
‫َس َوا ٍط‬ ‫ي‬ ‫ى قَ َ ي‬
ْ ‫ول « الَ ََْتل ُدوا فَ ْو َق َع ْشَرةي أ‬ َّ ‫ت الني‬
ُ ‫ يَ ُق‬- ‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ‫َِّب‬ ُ ‫ال ََس ْع‬ َّ ‫صا ير‬
َ ْ‫عن أيب بردة اۡلَن‬
‫ود َّي‬
‫اّلل‬ ‫إيالَّ يِف ح هٍد يمن ح ُد ي‬
ُ ْ َ
Dari Abi Burdah al-Anshari ra. bahwa dia mendengar Nabi saw. bersabda:
Tidak diperbolehkan seseorang dicambuk lebih dari sepuluh kecuali dalam
hukuman yang telah ditentukan oleh Allah ta'ala (Muttafaqun Alaih) ".
Secara umum hadis tersebut menjelaskan keberadaan takzir dalam
hukum Islam. Hadis tersebut menjelaskan tentang perbuatan Nabi yang

18
menahan atau tidak menjatuhkan hukuman kepada seseorang lebih dari
sepuluh cambukan kecuali atas elanggaran jarimah hudud. Seseorang yang
diduga melakukan tindak pidana dengan tujuan memudahkan bisa lebih dari
sepuluh cambukan untuk dibedakan dengan jarimah hudud. Dengan batasan
hukuman tersebut maka dapat diketahui mana yang termasuk hudud jarimah
dan mana yang termasuk jarimah takzir.
Adapun perbuatan para sahabat yang dapat dijadikan landasan hukum
bagi jarimah dan hukuman takzir antara lain perbuatan Sayyidina Umar ibn
Khattab yang melihat orang-orang meletakkan seekor kambing kemudian ia
mengasah pisaunya. Khalifah Umar memukul pria itu dengan cambuk dan dia
berkata: "Asah pisaunya dulu".

2. Macam-macam Jarimah Takzir


Jarimah takzir dapat dibagi berdasarkan pada beberapa segi. Dilihat dari
segi hak yang dilanggar, terbagi kepada jarimah takzir yang melanggar hak
Allah dan jarimah takzir yang melanggar hak hamba. Jarimah yang berkaitan
dengan hak Allah adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kemaslahatan
umum. Misalnya membuat kerusakan di bumi, pemberontakan, perampokan
dan sebagainya. Sedangkan jarimah yang berkaitan dengan hak hamba (adami)
adalah segala sesuatu yang mengancam kemaslahatan bagi diri seorang
manusia seperti penghinaan.
Sesungguhnya tidak ada perbuatan maksiat yang benar-benar hanya
berkaitan dengan hak Allah atau hak hamba. Dalam suatu kejahatan, kedua
hak itu pasti terganggu, tetapi dapat dibedakan hak apa yang lebih banyak
terganggu. Berkenaan dengan itu, sebahagian fukaha membagi lagi kepada
dua, yakni: percampuran antara hak Allah dan hak hamba dengan dominasi
hak Allah seperti menuduh zina dan percampuran antara hak Allah dan hak
hamba dengan dominasi hak hamba seperti jarimah pelukaan. Oleh karena itu,
dapat dipahami penegasan al-Mawardi bahwa meskipun penghinaan dan
pemukulan itu adalah hak hamba (adami) dan telah dimaafkan oleh korban
setelah mengajukan gugatan, pemerintah tetap dapat mengenakan sanksi
takzir kalau dilihatnya dapat mendatangkan maslahat bagi pelaku atau bagi
masyarakat.
Takzir yang berkaitan dengan hak hamba harus ada gugatan dan
pemerintah atau hakim tidak dapat memaafkan. Dalam takzir yang berkaitan
dengan hak Allah, tidak perlu ada gugatan dan ada kemungkinan bagi
pemerintah untuk memberikan pemaafan bila dipandangnya akan membawa
kebaikan. Begitu pula dalam jarimah yang berkaitan dengan hak hamba, teori
tadakhul (sanksi pelanggaran terserap dalam sanksi pelanggaran lainnya) tidak

19
dapat diberlakukan sehingga sanksinya disesuaikan dengan jumlah
kejahatannya sedangkan dalam jarimah yang berkaitan dengan hak Allah
dapat diberlakukan. Misalnya, seorang menghina A, B, dan C, maka orang itu
ditakzir sebanyak tiga kali karena berkaitan dengan pelanggaran atas hak
individu hamba, sedangkan orang yang tidak salat Zuhur, Asar, Magrib, Isya,
dan Subuh berkali-kali cukup ditakzir sekali.
Pada saat jarimah takzir yang berkaitan dengan hak Allah sedang terjadi,
semua orang wajib menghalanginya sebagai bentuk pelaksanaan amar makruf
nahi mungkar. Misalnya, bila sedang terjadi percobaan pencurian, orang yang
melihatnya wajib mencegah. Sedangkan terhadap peristiwa jarimah yang
berkaitan dengan hak hamba, boleh dengan hanya menasihati nya. Selain itu,
gugatan dalam jarimah yang berkaitan dengan hak hamba dapat diwariskan
sedangkan pada hak Allah, tidak dapat diwariskan.
Dilihat dari segi sifatnya, jarimah takzir terbagi kepada jarimah takzir
karena melakukan perbuatan maksiat, jarimah takzir karena melakukan
perbuatan yang membahayakan kepentingan umum, dan jarimah takzir karena
melakukan pelanggaran (mukhalafah), yaitu meninggalkan yang sunnat dan
melakukan yang makruh. Jarimah takzir karena melakukan perbuatan maksiat
dapat berbentuk pelanggaran terhadap hal-hal yang dilarang oleh syarak
seperti bersumpah palsu, atau dapat berupa perbuatan meninggalkan hal-hal
yang diperintahkan oleh syarak seperti tidak berpuasa pada bulan Ramadan
tanpa uzur yang dibolehkan oleh syarak.
Perbuatan yang dapat membahayakan kepentingan umum juga
dikenakan sanksi takzir meskipun asal perbuatan itu adalah mubah, bukan
sebuah maksiat. Perbuatan yang termasuk kelompok ini tidak dapat ditetapkan
karena pelarangan bukan pada zatnya, tetapi pada sifatnya yakni
membahayakan kepentingan umum. Apabila dalam suatu perbuatan yang
pada dasarnya mubah lalu mengandung unsur yang membahayakan atau
merugikan kepentingan umum, perbuatan itu dipandang jarimah dan dapat
dikenakan sanksi takzir. Misalnya anak kecil yang memburu layang-layang
lepas di jalan raya. Memburu layang-layang pada dasarnya boleh dilakukan
lagi pula anak-anak belum mukalaf sehingga tidak dapat dikenakan sanksi.
Akan tetapi, karena perbuatannya itu dapat membahayakan dirinya dan
pengguna jalan yang lain, maka perbuatan anak-anak itu dapat golongkan
perbuatan jarimah dan dapat dikenakan sanksi takzir.
Telah dikemukakan bahwa melakukan larangan (haram) dan mening-
galkan perintah (kewajiban) adalah perbuatan maksiat yang digolongkan
jarimah takzir. Mengerjakan yang makruh dan meninggalkan yang sunah tidak
termasuk perbuatan maksiat, tetapi fukaha menyebutnya sebagai perbuatan
menyimpang atau pelanggaran (mukhalafah) dan tindakan tidak patuh (ghair

20
mumtasil). Perbutan ini diperselisihkan oleh fukaha apakah termasuk jarimah
atau tidak. Sebagian fukaha memandang bahwa mengerjakan yang makruh
dan meninggalkan yang sunah tidak dapat digolongkan jarimah karena tidak
ada taklif atasnya sedangkan perbuatan dapat dianggap jarimah bila ada taklif
atasnya. Sebahagian fukaha berpedapat bahwa mengerjakan yang makruh dan
meninggalkan yang sunah termasuk jarimah takzir yang dapat diancam sanksi
karena mengandung penyimpangan dan tindakan tidak patuh. Pendapat ini
didasarkan pada kasus Umar bin Khattab yang pernah menghukum takzir
seseorang yang akan membaringkan kambingnya untuk disembelih lalu pergi
mengasah pedangnya. Perbuatan ini termasuk perbuatan makruh tetapi Umar
menghukumnya dengan takzir supaya tidak diulangi dan sebagai pelajaran
bagi orang lain.
Dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya), jarimah takzir terbagi
kepada:
a. Jarimah takzir yang berasal dari jarimah hudud atau kisas-diat yang
tidak memenuhi syarat penerapan sanksi hadnya atau mengandung
syubhat seperti pencurian harta yang tidak disimpan pada tempat
penyimpanan semestinya.
b. Jarimah takzir yang jenis perbuatannya dilarang dalam al-Qur'an
atau sunah tetapi jenis sanksinya belum ditetapkan seperti menyuap,
mengurangi timbangan, meninggalkan salat fardu, dan sebagainya.
c. Jarimah takzir yang jenis dan bentuk sanksinya belum ditentukan oleh
syarak. Penetapan jenis dan bentuk jarimah ini diserahkan kepada
pemerintah atau hakim seperti pelanggaran peraturan lalu lintas dan
pelanggaran disiplin pegawai negeri.

3. Sanksi Jarimah Takzir


Pada penjelasan sebelumnya telah diuraikan bahwa sanksi terhadap
setiap tindak jarimah takzir belum ada ketentuan bentuknya. Hal itu karena
penetapan bentuk sanksi jarimah takzir diserahkan kepada pertimbangan
pemerintah atau hakim yang melakukan persidangan atas perkara jarimah
takzir. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa hakim dapat sewenang-
wenang menetapkan bentuk sanksi jarimah takzir tersebut. Hakim dalam
menetapkan sanksi jarimah takzir tetap terikat pada kaidah-kaidah keadilan
dan kesesuaian antara tindak kejahatan dan sanksi yang diberikan. Demikian
pula ia terikat untuk memulai dengan sanksi minimal yang cukup menghenti-
kan pelakunya melakukan kejahatan. Ia tidak boleh berlebih-lebihan atau
melampaui batas dalam mengenakan sanksi dan tidak mengikuti hawa
nafsunya.

21
Kasus-kasus yang termasuk jarimah takzir sangat luas. Begitu pula
dengan sanksi yang dapat dikenakan kepada pelakunya juga sangat banyak.
Meskipun demikian, secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam empat
bentuk, yaitu:
a. Sanksi Takzir yang Berkaitan dengan Badan
Sanksi jarimah takzir yang berkaitan dengan badan ada dua macam, yaitu:
hukuman mati dan dera.
1) Hukuman Mati
Hukuman mati merupakan sanksi yang dikenakan kepada pelaku jarimah
kisas dan hudud, di antaranya pembunuhan sengaja, zina muhsan, riddah,
perampokan dan lainnya sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Hanafiyah
dan Malikiyah membolehkan hukuman mati bagi para residivis yang telah
bekali-kali melakukan kejahatan yang sama dan dalam jarimah homoseks.
Malikiyah dan Hanabilah juga membolehkan hukuman mati bagi mata-mata
muslim untuk melawan kaum muslimin, tetapi Imam Abu Hanifah dan Imam
Syafi’i tidak membolehkannya.
Dari pendapat-pendapat itu, tampaknya fukaha sependapat bahwa
hukuman mati dalam takzir dibolehkan, tetapi mereka berbeda dalam hal
bentuk jarimah takzir apa yang dapat dikenakan saknsi hukuman mati
tersebut. Mereka juga mensyaratkan bahwa hukuman mati dapat dikenakan
bila pelaku adalah residivis yang tidak lagi mampan dengan sanksi lain.
Demikian juga harus dipertimbangkan dampak kemaslahatannya bagi
masyarakat dalam mencegah kerusakan dan kemungkaran.
2) Dera
Dera merupakan salah satu sanksi dalam jarimah takzir. Fukaha telah
sependapat menganai penggunaan dera atau cambuk sebagai sanksi dalam
jarimah takzir seperti pemalsuan stempel baitul mal, percobaan perzinaan,
pencurian tidak sampai nisab dan sebagainya. Akan tetapi, mereka berbeda
pendapat dalam menetapkan jumlah atau kadarnya.
Menururt Hanafiyah Syafi'iyah, jumlah dera tidak boleh melebihi batas
sanksi had. akan tetapi, sebagian Syafi'iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa
batas maksimal sanksi dera dalam jarimah takzir adalah sepuluh kali. Berbeda
dengan pandangan itu, Malikiyah berpendapat bahwa dera dalam jarimah
takzir boleh melebihi sanksi had selama mengandung maslahat.
Dalam kaitan ini tentu akan bijak bila dilihat dari bentuk jarimahnya. Bila
percobaan perzinaan misalnya, sanksinya tentu kurang dari seratus kali dera
dan bila tidak ada ketentuan hadnya, tentu hakim harus mempertimbangkan
kemaslahatan bagi pelaku dan bagi masyarakat yang ada di sekitarnya.
Pelaksanaan sanksi dera hendaklah menggunakan alat berupa cambuk
ukuran sedang atau tongkat sedang dengan cambukan yang lebih keras

22
daripada cambukan dalam sanksi had menurut Hanafiyah, akan tetapi fukaha
yang lain menyamakannya dengan cambukan dalam sanksi had. Bila yang
didera adalah laki-laki, baju yang menghalangi cambuk sampai ke badan harus
dibuka, tetapi bila perempuan, tidak boleh dibuka agar auratnya tidak tampak.
Demikian pula sasaran cambukan tidak boleh muka dan tempat-tempat dari
badan yang dapat membahayakan nyawanya atau membuatnya cacat.
b. Sanksi Takzir yang Berkaitan dengan Kemerdekaan
Bentuk sanksi yang termasuk dalam golongan ini adalah penjara dan
pengasingan.
1) Penjara
Dalam kajian hukum Islam, kata penjara digunakan term al-sijn atau
al-habs yang berarti mencegah atau tempat menahan. Menurut Ibnu al-
Qayyim yang dikutip oleh Muslich bahwa yang dimaksud dengan al-habs
bukan menahan pelaku di tempat yang sempit, melainkan menahan
seseorang dan mencegahnya agar ia tidak dapat melakukan tindakan
hukum, baik penahanan itu di dalam rumah dan di masjid ataupun di
tempat lainnya. Penahanan semacam ini telah dilakukan oleh Abu Bakar.
Akan tetapi, Umar pada masa pemerintahannya membeli sebuah rumah
kemudian menjadikannya sebagai penjara. Atas dasar ini, jumhur fukaha
membolehkan sanksi dalam bentuk penjara.
Sanksi penjara dapat dibagi kepada dua macam, yaitu: sanksi penjara
yang terbatas dan yang tidak terbatas. Dalam penjara yang terbatas, tidak
disepakati oleh fukaha berapa lama, baik minimal maupun maksimal masa
penahanan. Sebahagian fukaha menetapkan lama masa penahan dua bulan
atau tiga bulan atau boleh kurang dan lebih, sedangkan yang lain mengata-
kan penentuannya diserahkan kepada hakim. Syafi'iyah membatasi masa
penahanan maksimal setahun dengan mengiaskan kepada masa penahanan
had zina. Pandangan ini tidak disetujui oleh mayoritas fukaha. Dengan
demikian, dapat ditegaskan bahwa lama masa penahanan dalam penjara
pada jarimah takzir diserahkan kepada keputusan hakim dengan memper-
timbangkan jenis jarimah yang dilakukannya dan maslahat yang dapat
diperoleh dengan masa penahanan tersebut. Jenis-jenis jarimah yang dapat
dikenakan sanksi penjara terbatas adalah penghinaan, penjual khamar,
pemakan riba, tidak puasa pada bulan Ramadan tanpa uzur, saling mencaci
di depan mengadilan dan lain-lain. Penjara tak terbatas adalah penahanan
seseorang dalam penjara seumur hidup dalam arti hingga meninggal. Ini
berbeda dengan penjara seumur hidup dalam hukum positif yang dibatasi
sampai batas hidup manusia normal sehingga bila si terhukum melewati
batas itu, ia dapat bebas. Sanksi penjara tak terbatas dikenakan kepada
pelaku jarimah yang sangat berbahaya seperti orang yang mengikat

23
seseorang lalu dibuang ke depan harimau. Sanksi penjara tak terbatas juga
dapat diterapkan sampai orang itu bertobat. Sanksi ini dapat dikenakan
kepada pelaku jarimah pencuri yang ketigakalinya atau orang yang dituduh
membunuh dan mencuri dan sebagainya.
2) Pengasingan
Fukaha menyetujui pengasingan (pengucilan/pmbuangan) sebagai
salah satu bentuk sanksi dalam jarimah takzir. Ketetapan ini didasarkan
pada firman Allah swt. dalam QS al-Ma’idah/5: 33 yang menjelaskan penga-
singan (yunfau min al-ard) sebagai salah satu sanksi bagi pelaku jarimah
perampokan. Meskipun ketetapan sanksi pengasingan dalam ayat itu untuk
jarimah had, tetapi sanksi ini juga digunakan dalam jarimah takzir.
Sanksi pengasingan diancamkan kepada pelaku jarimah-jarimah yang
dikhawatirkan berpengaruh kepada orang lain sehingga pelakunya harus
diasingkan untuk menghindari pengaruh-pengaruh tersebut. Sanksi penga-
singan bisa menjadi sanksi pokok dan bisa juga sebagai saksi tambahan. Di
antara jarimah takzir yang dikenakan kepada pelakunya pada masa Rasul
dan sahabat adalah laki-laki yang berperilaku perempuan (waria), pemalsu
al-Qur'an, dan pemalsu stempel baitul mal.
Tempat pengasingan munurut Imam Malik adalah dari negara muslim
ke negara nonmuslim. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa jarak
tempat pembuangan adalah jarak perjalanan qasar atau bahkan lebih.
Berbeda dengan pendapat itu, Imam Abu Hanifah menyamakannya dengan
penjara.
Lama masa pengasingan juga tidak disepakati oleh fukaha. Abu
Hanifah berpendapat bahwa lama penahanan adalah satu tahun sedangkan
Imam Malik lebih dari satu tahun. Adapun sebahagian ulama mazhab
Syafi'iyah dan Hanabilah membatasi masa pengasingan tidak boleh lebih
dari setahun, sedangkan yang lain membolehkan lebih dari setahun bila
pengasingan itu diperuntukkan bagi sanksi jarimah takzir.
Penerapan sanksi pengasingan pada masa sekarang ini tampaknya
sudah tidak efektif, kecuali kalau pengasingan itu ke tempat terisolasi
seperti Pulau Nusakambangan dengan pengawasan yang sangat ketat. Jika
ia diasingkan ke kota lain, ada kemungkinan bahwa ia akan mengulangi
perbuatannya karena akan merasa tidak ada yang mengenalnya. Dengan
demikian, tujuan pengasingan itu tidak akan tercapai.
c. Sanksi Takzir yang Berkaitan dengan Harta
Sanksi jarimah takzir yang berkaitan dengan harta diperselisihkan oleh
fukaha. Pendapat pertama membolehkan sanksi jarimah takzir berupa harta.
Pendapat ini dianut oleh Imam Malik, Imam Ahmad, dan pendapat lama

24
Imam Syafi’i, sedangkan Imam Abu Hanifah, Muhammad bin al-Husain, dan
pendapat baru Imam al-Syafi’i tidak membolehkannya.
Ibnu al-Qayyim mengutip pendapat Ibnu Taimiyah yang mengemuka-
kan bahwa sanksi takzir berupa harta ada tiga macam, yaitu: menghancur-
kannya (itlaf), mengubahnya (tagyir), dan memilikinya (tamlik). Takzir berupa
penghancuran dikenakan kepada pelaku jarimah seperti tempat khamar,
patung, menumpahkan susu yang dicampur dengan air, dan sebagainya.
Takzir dengan tagyir seperti patung dipotong-potong lalu dijadikan sebagai
batu penyangga, atau kepalanya dipotong sehingga menjadi seperti pohon.
Adapun takzir dengan tamlik, seperti melipatgandakan sanksi bagi pencuri
buah dari buah yang dicurinya. Sanksi bentuk ketiga ini dapat disebut
sebagai denda.
Selain denda, sanksi terkait harta juga bisa berupa perampasan
meskipun sebagian fukaha tidak membolehkan bila harta yang dimiliki oleh
orang muslim itu mendapatkannya halal. Akan tetapi, jumhur fukaha
membolehkannya dengan alasan bila harta itu tidak dihasilkan dengan halal,
atau harta itu tidak digunakan sesuai dengan fungsinya, dan penggunaan
harta itu mengganggu orang lain. Bila ketentuan-ketentuan harta itu tidak
termasuk di dalamnya, tidak diperkenankan untuk dilakukan perampasan.
d. Sanksi Takzir yang Ditentukan oleh Pemerintah Demi Kemaslahatan Umum
Sanksi jarimah takzir yang dapat digunakan oleh pemerintah atau
hakim untuk mewujudkan kemaslahatan umum selain sanksi yang telah
disebutkan sangat banyak. Di antara sanksi yang lain itu adalah peringatan
keras, dihadirkan di hadapan sidang, nasihat, celaan, pengucilan, pemecatan,
mengumumkan kesalahan secara terbuka, dan sebagainya. Sanksi-sanksi
tersebut dapat digunakan selama dapat memberikan efek jera sebagai bentuk
pendidikan terhadap pelakunya. Ini menjadi pertimbangan penting bagi hakim
yang menangani pelanggaran jarimah takzir ini.

4. Hikmah Jarimah Takzir


Pemberlakuan jarimah takzir sebagai hukuman yang bersifat pendidi-
kan akan mengantarkan pelaku jarimah atau pelaku tindak kejahatan menya-
dari kesalahannya dan selanjutnya menghentikan perbuatan jahat di masa
selanjutnya. Pelaku tindak kejahatan yang tidak memenuhi syarat untuk
dijatuhkan hukuman had, atau tuduhan tidak dapat dibuktikan dalam sidang
pengadilan kalau ada indikasi mengandung kebenaran dalam tuduhan
tersebut, maka ia tetap akan mendapat sanksi sehingga semua tindakan yang
mengandung unsur kejahatan dapat dihentikan dari siapapun, baik oleh
pelaku tindak kejahatan maupun terhadap orang lain. Dengan demikian,

25
ketika semua orang berhati-hati dan menjaga diri untuk tidak melakukan
kejahatan, maka ketertiban dan keamanan masyarakat akan dapat terwujud.

D. Kontekstualisasi Nilai-nilai Moderasi Beragama dalam Materi Takzir


Takzir merupakan bentuk sanksi yang dikenakan kepada pelaku tindak
kejahatan yang tidak memenuhi syarat penjatuhan sanksi, bentuk kejahatan
yang sanksinya belum ditetapkan dalam al-Qur’an atau hadis, dan bentuk
pelanggaran terhadap pearturan yang ditetapkan dalam rangkan mewujudkan
ketertiban masyarakat. Bentuk sanksi takzir ditetapkan oleh hakim
berdasarkan pertimbangannya yang dapat menjerakan pelaku kejahatan dan
menghindarkan orang lain berbuat jahat.
Penetapan bentuk takzir dapat dilakukan dengan terlebih dahulu
dimusyawarhkan oleh pihak yang berkepentingan. Hal ini merupakan bentuk
nilai moderasi beragama yang terkandung dalam dalam ajaran takzir.
Selain nilai moderasi beragama tersebut, nilai moderasi beragama apa
saja yang dapat Saudara peroleh dari materi takzir ini?

E. Latihan
Syamsul mengendarai motornya dengan agak kencang karena memburu
waktu sampai di kantornya. Ketika sampai di persimpangan, lampu merah
baru saja menyala sehingga Syamsul menyerobot karena kendaraan dari arah
lain belum sempat bergerak. Tanpa disangka-sangka, ada kendaraan dari arah
yang berlawanan yang juga menyerobot sehingga keduanya bersenggolan dan
menyebabkan keduanya jatuh.
Tugas: Baca dan analisis kasus tersebut di atas lalu kemukakan jawaban
Saudara terhadap pertanyaan berikut!
1. Apakah pelanggaran terhadap peraturan lalu lintas dapat dipandang
sebagai bagian dari hukum Islam? Bila ya, termasuk jenis apa?
2. Sanksi apa yang dapat dikenakan kepada Syamsul atas pelanggaran
dan kecelakaan itu?
3. Bila tidak terjadi kecelakaan, apakah Syamsul tidak dapat dihukum?

F. Daftar pustaka
Abu Zahrah, Muhammad. 1998. Al-Jarimah wa al- ‘Uqubah fi al-Fiqh al-
Islami, Kairo: Dar al-Fikr al- ‘Arabi
Abu Zaid, Bakr ibn ‘Abdillah. 1415 H. Al-Hudud wa al-Ta ‘zirat ‘Ind Ibni al-
Qayyim, Dirasah wa Muwazanah. Cet. II; Riyad: Dar al- ‘Asimah

26
al-Albani, Muhammad Nashiruddin. Mukhtasar Shahih Bukhari. Jakarta:
Pustaka Azzam, 1997.
Audah, ‘Abd al-Qadir. Al-Tasyri ‘al-Jana’i al-Islami, Juz I. Bairut: Dar al-Katib
al-‘Arabi
Al-Bukhari, Imam. 1970. Shahih Buchari, alih bahasa Zainuddin Hamidy,
dkk. Cet. IV; Jakarta: Widjaya
CD Program, Al-Maktabah al-Syamilah, Isdar al-Tsani
Djazuli, A. 2003. Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam,
Cet. III, Rajawali Pers
Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah; Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam,
Jakarta: Gaya Media Pratama
al-Mawardi. Kitaab al-Ahkam al-Sultaniyah, Dar al-Fikr
Muslich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika
Pulungan, J. Suyuthi. Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah, dan Pikiran, Rajawali Pers
al-Qardhawy, Yusuf. Fiqh Daulah dalam Perspektif al-Qur'an dan Sunnah,
terj. Kathur Suhardi, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Sabiq, Sayyid. 1983. Fiqh Sunnah. Cet. IV; Beirut: Dar al-Fikr
al-Syafi’i, Imam. 1986. Al-Risalah. Alih bahasa Ahmadi Thoha, Cet. I; Jakarta:
Pustaka Firdaus
Taqiyuddin, Imam. Kifayah al-Akhyar fi Hall Gayah al-Ikhtishar, Dar al-
Kutub al - ‘Ilmiyah
al-Zuhaily, Wahbah. 2005. Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu., Beirut: Cet. IV;
Dar al-Fikr al- Muashir

27
KEGIATAN BELAJAR 4
JIHAD

A. Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan


Peserta dapat menganalisis aturan hukum Islam dan dalil-dalil terkait
dengan jihad.

B. Subcapaian Pembelajaran Mata Kegiatan


1. Menganalisis pengertian jihad;
2. Menganalisis dasar hukum jihad menurut Islam;
3. Membedakan macam-macam jihad dalam Islam ;
4. Menganalisis hukum jihad dalam Islam .

C. Uraian Materi
1. Pengertian Jihad
Kata jihad berasal dari kata jahada-yujahidu-jihadan wa mujahadatan. Asal
katanya adalah jahada-yajhadu-jahdan/juhdan yang berarti kekuatan (al-thaqah)
dan upaya jerih payah (al-masyaqqah). Secara bahasa, jihad berarti mengerahkan
segala kekuatan dan kemampuan untuk membela diri dan mengalahkan
musuh, sedangkan menurut istilah ulama fikih, jihad adalah perjuangan
melawan orang-orang kafir untuk tegaknya agama Islam. Jihad juga dapat
berarti mencurahkan segenap upaya dan kemampuan untuk menghadapi
segala sesuatu yang berhubungan dengan kesulitan dan penderitaan. Dengan
demikian, jahada berarti mencurahkan segala kemampuan dalam membela
dan memperoleh kemenangan. Bila dikaitkan dengan musuh, maka jahada al-
‘aduww berarti membunuh musuh, mencurahkan segenap tenaga untuk meme-
ranginya, dan mengeluarkan segenap kesungguhan dalam membela diri
darinya.
Pelaku jihad disebut mujahid. Dari akar kata yang sama lahir kata ijtihad
yang berarti upaya sungguh-sungguh dengan mengerahkan segala kemampu-
an untuk mengambil kesimpulan atau keputusan sebuah hukum dari teks-teks
keagamaan. Dengan demikian, jihad berarti sebuah upaya sungguh-sungguh
yang dilakukan oleh seorang muslim dalam melawan kejahatan dan kebatilan,
mulai dari yang terdapat dalam jiwa akibat bisikan dan godaan setan, sampai
pada upaya memberantas kejahatan dan kemungkaran dalam masyarakat.
Upaya tersebut dapat dilakukan antara lain melalui kerja hati berupa kebulatan
tekad dan niat untuk berdakwah, kerja lisan berupa argumentasi dan
penjelasan tentang hakikat kebenaran ajaran Islam, kerja akal berupa

28
perencanaan yang matang, dan kerja badan yang berupa perang atau lainnya.
Oleh sebab, itu jihad tidak selalu diidentikkan dengan perang secara fisik.
Dari aspek terminologi, definisi jihad berkisar kepada tiga aspek:
a. Jihad yang dipahami secara umum, adalah segala kemampuan yang
dicurahkan oleh manusia dalam mencegah/membela diri dari keburukan
dan menegakkan kebenaran. Termasuk dalam kategori ini adalah
menegakkan keadilan, membenahi masyarakat, bersunggung-sungguh serta
ikhlas dalam beramal, gigih belajar untuk melenyapkan kebodohan,
bersungguh-sungguh dalam beribadah seperti menunaikan ibadah puasa
dan haji.
b. Jihad dipahami secara khusus sebagai usaha mencurahkan segenap upaya
dalam menyebarkan dan membela dakwah Islam.
c. Jihad yang dibatasi pada qital (perang) untuk membela atau menegakkan
agama Allah dan proteksi kegiatan dakwah.
Umumnya jihad cenderung diartikan sebagai perang fisik/bersenjata.
Setiap mukmin diperintahkan untuk berjihad, bukan sekadar jihad, tetapi
dengan jihad sebenar-benarnya (haqqa jihadih/QS al-Hajj/22: 78). Memang ada
saat-saat setiap muslim wajib berperang yaitu di saat musuh menyerang (QS
al-Anfal/8: 15, 16, 45), atau ada perintah penguasa tertinggi (imam) untuk
berperang sebagai konsekuensi dari taat kepada ulil amri (QS al-Nisa/4: 59),
dan di saat kecakapan seseorang dibutuhkan dalam peperangan.
Beberapa alasan bahwa jihad tidak selalu identik dengan perang melawan
musuh, di antaranya bahwa terdapat kekeliruan dalam pemaknaan kata qital
yang disamakan dengan kata jihad. Kekeliruan dalam membedakan keduanya
dipengaruhi kesalahan mengidentifikasi semua isyarat jihad dalam ayat-ayat
madaniyah yang dimaknai sebagai jihad bersenjata. Padahal, antara jihad dan
qital memiliki makna dan penggunaan yang berbeda dalam al-Qur’an.
Kata qital berasal dari qatala-yaqtulu-qatl, yang berarti membunuh atau
menjadikan seseorang mati disebabkan pukulan, racun, atau penyakit. Kata
qital hanyalah salah satu aspek dari jihad bersenjata. Jihad bersenjata adalah
konsep luas yang mencakup seluruh usaha seperti persiapan dan pelaksanaan
perang, termasuk pembiayaan perang. Dengan begitu, jihad bersenjata
hanyalah salah satu bentuk dari jihad yang juga melibatkan jihad damai. Atas
dasar itu, konteks jihad dalam al-Qur’an tidak dapat disamakan dengan qital.
Allah swt. berfirman dalam QS al-Baqarah/2: 216
ُ َ‫ب َعلَْي ُك ُم الْ يقت‬
‫ال َوُه َو ُك ْره لَّ ُك ْم َو َع َسى أَن تَكَْرُهواْ َشْيئاً َوُه َو َخ ْْي لَّ ُك ْم َو َع َسى أَن ُيتبُّواْ َشْيئاً َوُه َو َشٌّر‬ ‫ي‬
َ ‫ُكت‬
-٢١٦- ‫اّللُ يَ ْعلَ ُم َوأَنتُ ْم الَ تَ ْعلَ ُمو َن‬ ‫لَّ ُك ْم َو ه‬
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang
kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu,

29
dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu;
Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
Pada masa hidup Nabi Muhammad saw., peperangan terjadi sebanyak 17
kali. Ada juga yang menyebutnya 19 kali dan ada yang mengatakan 8 hingga
10 peperangan di antaranya yang diikuti Nabi. Namun, patut dicatat bahwa
perang yang dilakukan Nabi saw. adalah untuk perdamaian. Sebagai contoh,
sebuah riwayat menyebutkan bahwa ketika penduduk Yatsrib berkeinginan
menghabisi penduduk Mina, Nabi saw. menghalanginya sebagaimana tersebut
dalam hadis berikut:
َ َ‫ ق‬.‫َسيَافينَا‬
‫ال‬ ‫ي‬ ‫ك يِب ْحل يق لَئين يشْئ ي‬
ْ ‫ت لَنَميلَ َّن َعلَى أ َْه يل م ًن َغداً يِب‬
َ ْ ‫ضلَةَ الَّذى بَ َعثَ َ َ ه‬
‫ي‬
ْ َ‫اس بْ ُن عُبَ َاد َة بْ ين ن‬ُ َّ‫ال لَهُ الْ َعب‬
َ َ‫ق‬
‫ي‬ ‫ول َّي‬
َ ‫ُوم ْر بي َذل‬
»‫ك‬ َ ‫ « ََّلْ أ‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫اّلل‬ ُ ‫ال َر ُس‬ َ ‫فَ َق‬
Abbas bin Ubadah bin Nadhlah berkata kepada Nabi saw., “Demi Allah yang
telah mengutusmu atas dasar kebenaran, sekiranya engkau mengizinkan
niscaya penduduk Mina itu akan kami habisi besok dengan pedang kami”.
Rasulullah saw. berkata, “Saya tidak memerintahkan untuk itu”. (HR. Ahmad
dari Ka‘b ibn Malik).
Kata jihad telah digunakan dalam ayat-ayat yang turun sebelum Nabi
berhijrah (makkiyyah), padahal para ulama sepakat menyatakan kewajiban
berperang baru turun pada tahun ke-2 Hijriyah, yaitu dengan turunnya firman
Allah dalam QS Al-Hajj/22: 39-40:
‫ُخ ير ُجوا يمن يد ََي يريه ْم بيغَ ْيْي َح ٍهق إيَّال‬ ‫َّ ي‬ ‫اّلل علَى نَ ي ي‬
َ ‫ الذ‬-٣٩- ‫ص يره ْم لََقدير‬
ْ ‫ين أ‬ ْ
‫ي‬
َ ََّ ‫ين يُ َقاتَلُو َن يِب ََّّنُْم ظُل ُموا َوإي َّن‬
‫ي يَّ ي‬
َ ‫أُذ َن للذ‬
‫صلَ َوات َوَم َسا يج ُد يُ ْذ َك ُر في َيها‬ ‫ض ََّّل هيدمت ي‬
َ ‫ص َوام ُع َوبييَع َو‬
‫اّللي النَّاس ب ْع َ ي‬
َ ْ َ ُ ٍ ‫ض ُهم ببَ ْع‬ َ َ َّ ‫اّللُ َولَ ْوَال َدفْ ُع‬ َّ ‫أَن يَ ُقولُوا َربُّنَا‬
-٤٠- ‫ي َع يزيز‬ َّ ‫نص ُرهُ إي َّن‬
ٌّ ‫اّللَ لََق يو‬ َّ ‫نصَر َّن‬ ‫اسم َّي ي‬
ُ َ‫اّللُ َمن ي‬ ُ َ‫اّلل َكثْياً َولَي‬ ُْ
Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesung-
guhnya mereka telah dianiaya dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha
Kuasa menolong mereka itu. (Yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kam-
pung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka ber-
kata, “Tuhan Kami hanyalah Allah”. Dan sekiranya Allah tiada menolak
(keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah
dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang
Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.
Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.
Nabi diminta untuk tidak tunduk pada orang-orang kafir, dan sebaliknya
beliau diperintahkan untuk berjihad dalam menghadapi mereka, bukan
dengan memerangi secara fisik, melainkan dengan menyampaikan al-Qur’an
dengan penjelasan yang kuat dan argumen yang kuat. Damir ha pada kata

30
wajahidhum bihi dipahami oleh para ahli tafsir sebagai pengganti atau
menunjuk kepada al-Qur`an.
Dalam konteks kekinian, jihad melalui lisan dan penjelasan petunjuk
agama dapat dilakukan dengan pendekatan verbal (al-bayan al-syafahiy), seperti
khutbah dan pengajian, pendekatan melalui tulisan (al-bayan al-tahririy) seperti
buku, majalah, bulletin dan lain sebagainya, pendekatan media (al-bayan al-
i’lamiy) seperti televisi, radio dan media online, dan pendekatan dialog (al-
hiwar), seperti dialog antar agama atau dialog peradaban.
Selain jihad ‘militer’ (bersenjata/al-jihad al`askariy) ada bentuk-bentuk lain
dari jihad dalam Islam, yaitu jihad spiritual (al-jihad al-ruhiy) yang obyeknya
adalah jiwa manusia yang selalu cenderung mengikuti hawa nafsu dan jihad
dalam bentuk dakwah (al-jihad al-da`wiy) dengan menyampaikan risalah al-
Qur`an secara baik dan benar. Dalam kaitan jihad dakwah ini diperlukan
kesabaran dalam menghadapi berbagai cobaan dan rintangan.
Tidak kalah pentingnya dengan jihad bersenjata untuk dilakukan saat ini
yaitu jihad membangun peradaban. Syeikh Yusuf al-Qardhawi dalam buku
Fiqh al-Jihad mengistilahkan dengan kata al-jihad al-madaniyy, yaitu jihad untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat di berbagai bidang dan mengatasi
permasalahannya yang beragam. Obyeknya sangat luas, seperti ilmu
pengetahuan dan teknologi, bidang sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan/
kedokteran, lingkungan dan aspek-aspek peradaban lainnya. Kewajiban
berjihad di sini antara lain berupa upaya mencerdaskan masyarakat melalui
pendidikan dan membangun sekolah yang berkualitas, mengentaskan
kemiskinan dan menekan angka pengangguran, melatih tenaga kerja agar
terampil, menangani anak-anak jalanan yang terlantar, dan menyediakan
fasilitas pengobatan yang dapat dinikmati masyarakat luas.
Demikian cakupan makna jihad yang amat luas, yaitu bukan hanya
sekedar jihad bersenjata. Meskipun dalam beberapa literatur klasik jihad
didefinisikan sebagai perang di jalan Allah, tetapi dalam implementasi dan
penerapannya terdapat beberapa prasyarat dan ketentuan yang harus
dipenuhi, di samping perbedaan pendapat di kalangan ulama seputar
kewajibannya.
Dasar hukum jihad adalah firman Allah dalam QS al-Hajj/22: 78:

‫اجتَ بَا ُك ْم َوَما َج َع َل َعلَْي ُك ْم ييف ال هيدي ين يم ْن َحَرٍج يهملَّةَ أَبيي ُك ْم إيبْ َر ياه َيم ُه َو‬ ‫ي يي‬ ‫اه ُدوا ييف َّي‬
ْ ‫اّلل َح َّق ج َهاده ُه َو‬
‫وج ي‬
ََ
‫يموا‬ ‫ول ش يهيداً علَي ُكم وتَ ُكونُوا شهداء علَى النَّ ي ي‬ َّ ‫مي يمن قَ ْب ُل َوييف َه َذا لييَ ُكو َن‬ ‫ي‬
ُ ‫اس فَأَق‬ َ َ َُ َ ْ َْ َ ُ ‫الر ُس‬ َ ‫ََسَّا ُك ُم الْ ُم ْسل‬
-٧٨- ‫َّص ُْي‬ ‫صموا يِب َّّللي هو موَال ُكم فَنيعم الْموََل ونيعم الن ي‬ ‫ي‬ َّ ‫الص َالةَ َوآتُوا‬
َْ َ َْ َْ ْ َْ َُ ُ َ‫الزَكا َة َو ْاعت‬ َّ
Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.
Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu

31
dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia
(Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan
(begitu pula) dalam (al-Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas
dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia. Maka
dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali
Allah. Dia adalah pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik pelindung dan
sebaik-baik penolong.
Jihad disyariatkan pada tahun ke-2 H. Hikmah disyariatkannya jihad
adalah mencegah penganiayaan dan kezaliman. Ulama Syafi’iyah mengatakan
bahwa membunuh orang kafir bukan tujuan jihad. Dengan demikian, apabila
mereka dapat memperoleh hidayah dengan menyampaikan bukti yang nyata
tanpa berjihad. Hal itu masih lebih baik daripada berjihad.

2. Macam-macam Jihad dalam Islam


Jihad seringkali diartikan perang, namun konteksnya sudah berbeda,
perang dalam hal ini bisa bermakna memerangi kebodohan, penyakit, kemis-
kinan, ketertinggalan, kezaliman para penguasa, ketidakadilan dan sebagainya.
Oleh karena itu, jihad mestinya dilakukan pada setiap saat, misalnya, jihad
dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial dan budaya agar
kualitas kehidupan umat Islam akan terpelihara, yang pada akhirnya
mewujudkan kemajuan, keharmonisan kesejahteraan, dan kebahagiaan, baik
di dunia maupun di akhirat.
Berikut pembahasan tentang macam-macam jihad di antaranya:
a. Jihad berperang di jalan Allah
Jihad berperang di jalan Allah terhadap orang kafir, musyrik, dan
munafik merupakan salah satu makna jihad sebagaimana sabda rasul saw. :
‫س ِبي ِل هللاِ َوهللاُ أ َ ْعلَ ُم‬َ ‫سلَّ َم يَقُو ُل َمث َ ُل ْال ُم َجا ِه ِد فِي‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫سو َل هللا‬ ُ ‫س ِم ْعتُ َر‬ َ ‫َع ْن أَبَي ه َُري َْرة َ قَا َل‬
‫سبِي ِل ِه بِأ َ ْن يَت ََوفَّاهُ أ َ ْن يُد ِْخلَهُ ْال َجنَّةَ أ َ ْو‬
َ ‫صائِ ِم ْالقَائِ ِم َوت ََو َّك َل هللاُ ِل ْل ُم َجا ِه ِد فِي‬
َّ ‫سبِي ِل ِه َك َمث َ ِل ال‬ َ ‫بِ َم ْن يُ َجا ِهدُ فِي‬
‫سا ِل ًما َم َع أَجْ ٍر أ َ ْو َغنِي َم ٍة‬
َ ُ‫يَ ْر ِجعَه‬
Dari Abi Hurairah ra. berkata; "Aku mendengar Rasul saw. bersabda:
”Perumpamaan seorang mujahid di jalan Allah, dan hanya Allah yang paling
tahu siapa yang berjihad di jalan-Nya, seperti seorang yang melaksanakan
puasa (shaum) dan berdiri (salat) terus menerus, dan Allah telah
mempercayakan mujahid di jalan-Nya untuk mematikannya dengan
memasukkannya ke surga atau membawanya kembali dalam keadaan selamat
dan mendapat pahala serta harta rampasan. (H.R. al-Bukhari).
Berjihad dengan peperangan tentu tidak bisa dilakukan terhadap semua
hal, tetapi ketika umat Islam diserang sebagaimana firman Allah dalam QS Al-
Hajj/22: 39. Mufti Besar Mesir Prof. Ali Jumu’ah menyebutkan enam syarat

32
dan etika perang dalam Islam yang membedakannya dengan terorisme.
Pertama, yaitu cara dan tujuannya harus jelas dan mulia. Kedua, perang/
pertempuran hanya diperbolehkan dengan pasukan yang memerangi, bukan
penduduk sipil. Ketiga, perang harus dihentikan bila pihak lawan telah
menyerah dan memilih damai. Keempat, melindungi tawanan perang dan
memperlakukannya secara manusiawi. Kelima, memelihara lingkungan, antara
lain dengan tidak membunuh binatang tanpa alasan, membakar pohon,
merusak tanaman, mencemari air dan sumur, dan merusak rumah atau
bangunan. Keenam, menjaga hak kebebasan beragama para agamawan dan
pendeta dengan tidak melukai mereka.
b. Jihad menjalankan ibadah kepada Allah
Menjalankan ibadah membutuhkan kesungguhan dan kesabaran. Oleh
karena itu, menjalankan ibadah termasuk bentuk jihada sebagaimana sabda
Rasul saw.:
‫ال لَ يك َّن‬ ‫ول هللاي أَال نَ ْغزو وُُن ي‬
َ ‫اه ُد َم َع ُك ْم فَ َق‬ َ ‫ت ََي َر ُس‬ ‫عن عائي َشةَ أيُم الْم ْؤيمني ي‬
ََ ُ ُ ‫ت قُ ْل‬
ْ َ‫ي َرض َي هللاُ َعْن َها قَال‬ َ ُ ‫ه‬ َ َْ
‫ول هللاي‬ ‫ت َعائي َشةُ فَال أ ََدعُ ا ْحل َّج ب ع َد إي ْذ َيَسعت ه َذا يمن رس ي‬ ْ ‫اۡلي َه ياد َوأ‬
َُ ْ َ ُ ْ َْ َ ْ َ‫احلَ ُّج َح ٌّج َم ْْبُور فَ َقال‬
ْ ُ‫َْجَلَه‬ ْ ‫َح َس َن‬ ْ‫أ‬
.‫صلَّى هللاُ َعلَْي يه َو َسلَّ َم‬
َ
Dari ‘Aisyah Ummul Mukminin ra. berkata: “Wahai Rasul, apakah kami
tidak boleh ikut berperang dan berjihad bersama kalian?”. Maka Beliau
menjawab: “Akan tetapi (buat kalian) jihad yang paling baik dan paling
sempurna adalah haji, yaitu haji mabrur”. Maka ‘Aisyah ra. berkata; ”Maka
aku tidak pernah meninggalkan haji sejak aku mendengar keterangan ini
dari Rasul saw.” (HR. al-Bukhari.)
d. Jihad Membela Negara
Eksistensi negara (al-balad) sangat penting dalam kehidupan
bermasyarakat dan beragama. Begitu penting negara di dalam al-Qur’an
terdapat satu surat bernama Surat al-Balad. Kata al-balad juga dijadikan
untuk bersumpah oleh Allah Swt. “Aku benar-benar bersumpah dengan
negara/kota ini” (Q.S. al-Balad [90]:1). Ini memberikan isyarat betapa
pentingnya eksistensi negera dan tanah air dalam konteks kehidupan
bermasyarakat dan beragama.
Setiap tempat, negeri, atau wilayah yang dijadikan tempat tinggal bisa
disebut sebagai baldah. Dari kata baldah pula muncul kata taballada dan
mubâladah yang bisa berarti “berperang” untuk membela dan
mempertahankan tanah air yang ditempati. Seolah penduduk tersebut harus
berani pasang dada (baldah) untuk membela negaranya. Dengan demikian,
bisa dikatakan bahwa term al-balad dan al-baldah dalam al-Qur’an,

33
mengandung pesan adanya kecintaan terhadap tanah air atau negeri, yang
menuntut penduduknya untuk membela dan mempertahankan hak-haknya
dari siapa saja yang hendak merenggutnya. Upaya membela hak-hak
tersebut termasuk bagian dari jihad fi sabîlilah, jika mati terbunuh, maka ia
syahid, sebagaimana dalam disebut hadis dari Abdullah bin Umar, Nabi
Saw:” Barang siapa terbunuh membela hartanya, maka dia syahid (HR. al-
Bukhari)
e. Jihad menuntut ilmu
Tidak diragukan lagi, menuntut ilmu selain merupakan ibadah yang
wajib bagi laki-laki dan perempuan muslim. Selain itu, perjuangan mencari
ilmu juga dihitung sebagai jihad dalam Islam. Rasulullah saw. bersabda:
‫اّلل َح ََّّت يَ ْريج َع‬
‫ب الْعيْل يم فَهو ييف سبي ييل َّي‬
َ َُ ‫َم ْن َخرج ييف طَلَ ي‬
ََ
Siapa yang keluar menuntut ilmu (karena Allah) maka ia sedang berjuang di
jalan Allah sampai ia kembali (HR. Tirmdzi).
f. Jihad mengatakan yang benar di hadapan penguasa zalim
Tidak banyak orang berani menyampaikan kebenaran, terlebih jika
kebenaran yang disampaikan akan memiliki dampak buruk pada dirinya.
Misalnya, menyampaikan kebenaran kepada pemimpin yang zalim. Oleh
karena itu, menyampaikan kebenaran kepada pemimpin zalim dihitung
sebagai jihad yang utama dalam Islam. Rasulullah saw. bersabda:
ٍ َ‫اۡليه ياد َكليمةُ ع ْد ٍل يعْن َد س ْلط‬
‫ان َجائيٍر‬ ‫اّللي صلَّى َّ ي‬ ٍ ‫عن أيَيب سعي‬
ُ َ َ َ ْ ‫ض ُل‬ َ ْ‫اّللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم أَف‬ َ َّ ‫ول‬
ُ ‫ال َر ُس‬
َ َ‫ال ق‬ ‫اْلُ ْد ير يه‬
َ َ‫ي ق‬ ْ ‫يد‬ َ َْ
.‫أ َْو أ يَم ٍْي َجائيٍر‬
Dari Abu Sa’id Al-Khudri ia berkata, “Rasul saw. bersabda:”Jihad yang paling
utama adalah menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang zalim, atau
pemimpin yang zalim.” (HR. Abu Dawud).
e. Jihad berbakti pada orang tua
Berbakti kepada kedua orang tua merupakan kewajiban bagi setiap
muslim, baik terhadap orang tua yang beriman maupun tidak. Oleh karena itu,
berbakti kepada orang tua juga termasuk salah satu bentuk jihad sebagaimana
sabda Rasul saw.
‫اۡلي َه ياد‬
ْ ‫استَأْذَنَهُ ييف‬ ‫ي‬
ْ َ‫صلَّى هللاُ َعلَْيه َو َسلَّ َم ف‬ ‫ي ي‬
َ ‫َّب‬ ُ ‫ت َعْب َد هللاي بْ َن َع ْم ٍرو َر يض َي هللاُ َعْن ُه َما يَ ُق‬
‫ول َجاءَ َر ُجل إ ََل الن يه‬
‫ي‬
ُ ‫ََس ْع‬
‫ال فَيفي يهما فَج ي‬
.‫اه ْد‬ َ َ‫َح ٌّي َوالي َد َاك ق‬
َ َ‫ال نَ َع ْم ق‬
َ َ َ ‫ال أ‬
َ ‫فَ َق‬
Aku mendengar ‘Abdullah bin ‘Amru ra. berkata: “Datang seorang laki-laki
kepada Nabi saw. lalu meminta izin untuk ikut berjihad. Maka Beliau bertanya:
“Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Laki-laki itu menjawab: “Iya”.

34
Maka Beliau berkata: ”Kepada keduanyalah kamu berjihad (berbakti)”. (HR. al-
Bukhari).
f. Jihad melawan hawa nafsu
Melawan hawa nafsu penting dilakukan, sebab jiwa manusia memiliki
kecenderungan kepada keburukan yang dapat merusak kebahagiaan
seseorang, dan itu tidak mudah dilakukan, sebab hawa nafsu ibarat musuh
dalam selimut, seperti dikatakan Imam al-Ghazali, hawa nafsu adalah musuh
yang dicintai, sebab ia selalu mendorong kepada kesenangan yang berakibat
melalaikan. Allah swt. berfirman dalam QS Yusuf/12: 53:
‫لس ي‬
-٥٣- ‫وء إيالَّ َما َريح َم َريهَيب إي َّن َريهيب َغ ُفور َّريحيم‬ ُّ ‫س ۡل ََّم َارة يِب‬ َّ ‫َوَما أُبَهير ُ ي ي‬
َ ‫ئ نَ ْفسي إن النَّ ْف‬
Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya
nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat
oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penya-
yang”.
Jihad melawan hawa nafsu dapat dilakukan dengan:
1) Mempelajari petunjuk-petunjuk agama yang dapat mengantarkan jiwa kepada
keberuntungan dan kebahagiaan;
2) Mengamalkan apa yang ia telah ketahui;
3) Mengajak orang lain untuk mengikuti petunjuk agama. Dengan berilmu,
beramal, dan mengajarkan ilmunya kepada orang lain seseorang dapat
mencapai tingkatan yang disebut dengan rabbaniyy; dan
4) Bersabar dan menahan diri dari berbagai cobaan dalam menjalankan dakwah.

3. Hukum Jihad dalam Islam


Hukum jihad untuk mempertahankan dan memelihara agama dan umat
Islam (serta negara) hukumnya wajib atau fardu, baik fardu ain maupun fardu
kifayah. Sebagian ulama sepakat jihad hukumnya fardu Ain. Firman Allah swt.
dalam QS al-Taubah/9: 41:
-٤١- ‫اّلل ذَلي ُك ْم َخ ْْي لَّ ُك ْم إين ُكنتُ ْم تَ ْعلَ ُمو َن‬
‫اه ُدواْ يِبَموالي ُكم وأَن ُف يس ُكم ييف سبي ييل ي‬
‫ْ َ ه‬ َ ْ َْ
‫انْيفرواْ يخ َفافاً وثيَقاالً وج ي‬
ََ َ ُ
Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan merasa ringan maupun berat, dan
berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu
adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
Sebagian ulama sepakat jihad hukumnya fardu kifayah
Firman Allah swt. dalam QS al-Nisa/4: 95

35
‫يي‬ ‫اهدو َن ييف سبي ييل ي ي يي‬ ‫ي‬ ‫يي‬ ‫ي ي‬
ُ‫اّلل‬ َ ‫اّلل ِب َْم َواَّل ْم َوأَن ُفسه ْم فَض‬
‫َّل ه‬ ‫ه‬ َ ُ ‫ي َغ ْْيُ أ ُْويِل الضََّرير َوالْ ُم َج‬
َ ‫الَّ يَ ْستَ يوي الْ َقاع ُدو َن م َن الْ ُم ْؤمن‬
‫يي‬ ‫يي‬ ‫يي‬ ‫اه يد ي يي‬ ‫ي‬
‫ين َعلَى‬
َ ‫اّللُ الْ ُم َجاهد‬
‫َّل ه‬ َ ‫احلُ ْس َن َوفَض‬ ‫ين َد َر َج ًة َوُك الًّ َو َع َد ه‬
ْ ُ‫اّلل‬ َ ‫ين ِب َْم َواَّل ْم َوأَن ُفسه ْم َعلَى الْ َقاعد‬
َ ‫الْ ُم َج‬
-٩٥- ً‫َجراً َع يظيما‬ ‫يي‬
ْ ‫ين أ‬
َ ‫الْ َقاعد‬
Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang
tidak mempunyai ‘uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah
dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang
berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat.
Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga)
dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk
dengan pahala yang besar
Hukum jihad bisa berubah menjadi fardu ‘ain bagi orang yang telah
bergabung dalam barisan perang. Begitu juga bagi setiap individu jika musuh
telah mengepung kaum muslimin dengan syarat: jika jumlah orang-orang kafir
tidak melebihi 2 kali lebih besar dibandingkan kaum muslimin dengan
penambahan pasukan yang dapat diperhitungkan; Tidak ditemukan uzur, baik,
sakit maupun tidak ada senjata dan kendaraan perang. Jika salah satu dari
ketiga hal tersebut tidak terpenuhi, maka boleh meninggalkan peperangan.

D. Kontekstualisasi Nilai-nilai Moderasi Beragama dalam Materi Jihad


Jihad merupakan salah satu ajaran Islam yang banyak disalahpahami.
Sebagaian orang, khususnya masyarakat awam memaknai jihad hanya dalam
bentuk peperangan melawan kaum kafir. Padahal jihad dalam bentuk perang
hanya salah satu bentuk jihad yang ditempuh pada saat umat Islam atau negara
diserang oleh kaum kafir. Jihad dalam bentuk ini merupakan pembelaan
terhadap negara sebagai bentuk kecintaan terhadap negara sekaligus sebagai
ekspresi keimanan seseorang.
Pembelajaran jihad ini mengandung nilai moderasi beragama yaitu
muwathanah, cinta tanah air. Pembelaan terhadap negara juga harus dilakukan
ketika sekelompok orang atau masyarakat melakukan perlawanan terhadap
negara karena berbeda dengan idiologi yang dianut. Jihad juga harus
dilaksanakan dalam usaha menegakkan keadilan, mencerdaskan masyarakat, dan
meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Selain nilai moderasi beragama tersebut, nilai moderasi beragama apa saja
yang dapat Saudara peroleh dari materi jihad ini?

36
E. Latihan
Mukmin seorang remaja yang mempunyai jiwa militansi sangat kuat sehingga
semangat menjalankan ajaran agamanya sangat tinggi. Mendengar bahwa
terdapat kelompok yang ingin mendirikan negara Islam di suatu tempat, Mukmin
lalu mendaftar untuk bergabung dalam kelompok tersebut. Ia lalu diperintah
untuk menjadi tentara yang dipersiapkan membawa bom untuk meledakkan
dirinya di tengah-tengah kerumunan orang kafir.
Tugas: Baca dan analisis kasus tersebut di atas lalu kemukakan jawaban Saudara
terhadap pertanyaan berikut!
1. Apakah perilaku Mukmin tersebut dapat dipandang sebagai bentuk
jihad?
2. Apakah semua orang kafir dapat dibunuh dan perbuatan itu dipandang
sebagai bentuk jihad?
3. Terdapat hadis yang menjelaskan bahwa terdapat jihad selain peperang-
an, bahkan dianggap jihad yang lebih besar. Apakah benar demikian
adanya?

F. Daftar pustaka
al-Anshari, Imam Abi Zakaria. Fathu al-Wahab. Surabaya: al-Hidayah.
Ibn Husain, Imam Ahmad. Fathu al-Qorib al-Mujib. Surabaya: al-Hidayah.
Ibnu Mas’ud & Zainal Abidin. Fiqih Madzhab Syafi’i. Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah. Jld. III, Cet. IV; Beirut: Dar al-Fikr, 1983
Syafii, Imam. Al-Risalah. Alih bahasa Ahmadi Thoha, Cet. I; Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1986.
al-Zuhaily, Wahbah. Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu. Jilid IV, Cet. IV; Beirut: Dar al-
Fikr al- Muashir, 2005.
Ibn al-Mubarak, Abu Abd al-Rahman. 1972. Kitab al-Jihad, Tunisia: al-Dar al-
Tunisia
Al-Qahtani, Said b. Ali. Al-Jihad fi Sabilillah, Riyad: Matba’ah Safir
Al-Qardhawi, Yusuf, Fiqh al-Jihad, Maktabah Wahbah
Ibn Yahya, Fuad, al-Jihad fi al-Islam, Madinah: Muassasah al-Rayyan
Ibn Abi Ashim, Kitab al-Jihad, Madinah; Maktabah al-ulum wa al-Hikam
Nafi', M. Zidni, 2018, Menjadi Islam Menjadi Indonesia, Jakarta: PT. Alex Media
Komputindo
Saragih, M. Syafii. 2015. Memaknai Jihad: Antara Sayyid Qutub dan Quraish
Shihab, Yogyakarta: Penerbit Deepublish

37

Anda mungkin juga menyukai