FAKULTAS TEKNIK
PRODI SIPIL
UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN
2022/2023
Tugas Resume/Meringkas Perencanaan Geometri Jalan Raya
NPM: 21310083
1. UMUM
Rujukan yang dipakai untuk perhitungan tebal perkerasan jalan lentur (flexible pavement) adalah:
a) . AASHTO Guide for Design of Pavement Structures 1993.
b) . Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya dengan Metode Analisa Komponen
No. SNI 1732-1989-F.
c) . dan atau acuan baku lain yang disetujui oleh Pengguna Jasa.
Sedangkan rujukan yang dipakai untuk perhitungan tebal perkerasan jalan kaku (rigid
pavement) adalah :
a) . AASHTO Guide for Design of Pavement Structures 1993.
b) . Pd.T-14-2003, Perencanaan perkerasan jalan beton semen.
c) . dan atau acuan baku lain yang disetujui oleh Pengguna Jasa.
2. TRAFFIC DESIGN
Analisis traffic design untuk perencanaan tebal perkerasan telah disajikan pada Modul
Rekayasa Lalu-lintas.
Data yang dibutuhkan untuk perencanaan **dari parameter lalu-lintas harian rata-rata,
pertumbuhan lalu-lintas tahunan, vehicle damage factor, untuk memudahkan dalam analisis,
disajikan dalam suatu tabel (lihat Tabel 1.).
Tabel 1. : Data / parameter Gol. kendaraan, LHR, Pertumbuhan lalu-lintas ( g ) & VDF.
No. Jenis kendaraan Gol. LHR g (%) VDF
Keterangan :
Contoh diatas, penggolongan kendaraan mengacu pada Pedoman Teknis No. Pd.T-19-
2004-B, dapat disesuaikan dengan ketentuan yang diberikan dalam perencanaan
LHR : Jumlah lalu-lintas harian rata-rata (kendaraan) pada tahun survai / pada tahun
terakhir.
g : Pertumbuhan lalu-lintas per tahun (%), disesuaikan dengan tahun periode dalam
pemodelan proyeksi lalu-lintas
VDF : Nilai damage factor
a. Umum
Perencanaan tebal perkerasan lentur yang digunakan mengacu pada AASHTO guide for
design of pavement structures 1993. Prosedur, parameter-parameter perencanaan serta
hasil analisis sebagai berikut dibawah ini.
Parameter perencanaan terdiri :
Analisis lalu-lintas : mencakup umur rencana, lalu-lintas harian rata-rata,
pertumbuhan lalu- lintas tahunan, vehicle damage factor, equivalent single axle load
• Terminal serviceability index
• Initial serviceability
• Serviceability loss
• Reliability
• Standar normal deviasi
• Standar deviasi
• CBR tanah dasar
• Resilient modulus
• Elastic (resilient) modulus
• Layer coefficient
• Drainage coefficient
b. Material konstruksi perkerasan & Koefisien kekuatan relative bahan
Lapis perkerasan yang digunakan dengan parameter yang terkait dalam perencanaan tebal
perkerasan seperti pada Tabel 3. sebagai berikut :
Berdasarkan jenis dan fungsi material lapis perkerasan, estimasi koefisien kekuatan relatif
dikelompokkan kedalam 4 kategori, yaitu :
• Beton aspal (asphalt concrete)
• Lapis pondasi granular (granular base)
• Lapis pondasi bawah granular (granular subbase)
• Asphalt Treated Base (ATB)
50 - 0,000 93 - 1,476
60 - 0,253 94 - 1,555
70 - 0,524 95 - 1,645
75 - 0,674 96 - 1,751
80 - 0,841 97 - 1,881
85 - 1,037 98 - 2,054
90 - 1,282 99 - 2,327
91 - 1,340 99,9 - 3,090
92 - 1,405 99,99 - 3,750
Serviceability
• Terminal serviceability index (pt) mengacu pada Tabel 8. : pt = 2,5
• Initial serviceability untuk flexible pavement : po = 4,2 (diambil dari AASHTO 1993
halaman II-10).
• Totalloss of serviceability : DPSI = po - Pt = 4,2 - 2,5 = 1,7
MR = A + B x R
MR = Resilient modulus (psi)
A = 772 - 1.155
B = 369 - 555
R = R-value
A = 772 + 1155 = gg^ . ambil : A = 1.000 2
B = 369 + 555 = 462 ; ambil : B = 450
2
Penentuan resilient modulus Agregat Base Klas A :
CBR = 90
R = 85 (diambil dari AASHTO 1993 halaman II-19) MR = 1.000 + 450 x 85 = 39.250 psi
ambil = 30.000 psi (lihat AASHTO 1993 halaman II-19)
Penentuan resilient modulus Agregat Base Klas B :
CBR = 65
R = 80 (diambil dari AASHTO 1993 halaman II-21) MR = 1.000 + 450 x 80 = 37.000 psi
ambil = 18.500 psi (lihat AASHTO 1993 halaman II-21)
3. Resilient Modulus AC Base (ATB)
MR = 400.000 psi (diambil dari AASHTO 1993 halaman II-17), dengan penyesuaian kondisi di Indonesia
Drainage coefficient
Penetapan variable pertama mengacu pada Tabel 9. (diambil dari AASHTO 1993 halaman II-22),
dan Tabel 10. (diambil dari AASHTO 1993 halaman DD-2), dan dengan pendekatan sebagai
berikut :
a. Air hujan atau air dari atas permukaan jalan yang akan masuk kedalam pondasi jalan,
^<*relatif kecil berdasar hidrologi yaitu berkisar 70 - 95 % air yang jatuh di atas jalan aspal /
beton akan masuk ke sistem drainase.
^>,b. Air dari samping jalan yang kemungkinan akan masuk ke pondasi jalan, inipun relatif kecil.l
terjadi, karena adanya road side ditch, cross drain, juga muka air tertinggi terletak di
bawah subgrade.
c. Pendekatan dengan lama dan frekuensi hujan, yang rata-rata terjadi hujan selama 3 jam per
hari dan jarang sekali terjadi hujan terus menerus selama 1 minggu.
Maka waktu pematusan 3 jam (bahkan kurang bila memperhatikan butir b.) dapat diambil
sebagai pendekatan dalam penentuan kualitas drainase, sehingga pemilihan mutu drainase
adalah berkisar Good.
Untuk kondisi khusus dapat dilakukan kajian tersendiri.
Untuk flexible pavement, Base Course yang akan dipakai merupakan material yang mempunyai
Plasticity Index (PI) rendah yaitu < 6 %, angka permeabilitas k = 100 ft/hari, slope 0,02, lebar
lintasan drainase L = 8,70 m » 24 ft, tebal lapisan drainase H » 1 ft, maka diperoleh waktu
mematus 0,2 hari. Angka ini masuk dalam kategori Good - Excellent, dengan pertimbangan air
yang mungkin masih akan masuk, quality of drainage diambil kategori Fair.
Tabel 9. : Quality of drainage.
Quality of drainage Water removed within
Excellent 2 jam
Good 1 hari
Fair 1 minggu
Poor 1 bulan
Very poor Air tidak terbebaskan
Tabel 10. : Waktu untuk me-drain lapis pondasi untuk 50 % saturation (hari)
Permeability k H =1 H =2
Porosity n Slope S
(ft/hari)
L = 12 L = 24 L = 12 L = 24
0,1 0,015 0,01 10 36 6 20
0,02 9 29 5 18
1 0,027 0,01 2 6 5 18
0,02 2 5 1 3
10 0,048 0,01 0,3 1 0,2 0,6
0,02 0,3 1 0,2 0,6
100 0,08 0,01 0,05 0,2 0,03 0,1
0,02 0,05 0,2 0,03 0,1
Tabel 10. : Waktu untuk me-drain lapis pondasi untuk 50 % saturation (hari)
Permeability k H =1 H =2
Porosity n Slope S
(ft/hari)
L = 12 L = 24 L = 12 L = 24
0,1 0,015 0,01 10 36 6 20
0,02 9 29 5 18
1 0,027 0,01 2 6 5 18
0,02 2 5 1 3
10 0,048 0,01 0,3 1 0,2 0,6
0,02 0,3 1 0,2 0,6
100 0,08 0,01 0,05 0,2 0,03 0,1
0,02 0,05 0,2 0,03 0,1
Drainage coefficient (mi) ditunjukkan seperti pada Tabel 11. (dari AASHTO 1993 halaman II-25).
Penetapan variable kedua yaitu persentasi struktur perkerasan dalam 1 tahun terkena air sampai
tingkat saturated, relatif sulit, belum ada data rekaman pembanding dari jalan lain, namun
dengan pendekatan-pendekatan, pengamatan dan perkiraan berikut ini, nilai dari faktor variabel
kedua tersebut dapat didekati.
Prosen struktur perkerasan dalam 1 tahun terkena air dapat dilakukan pendekatan dengan
Tjam
x T hari
Pheff
x WL x 100
24 365
asumsi sebagai berikut :
dimana :
Pheff = Prosen hari effective hujan dalam setahun yang akan berpengaruh terkenanya perkerasan
(dalam %).
Tjam = Rata-rata hujan per hari (jam).
Thari = Rata-rata jumlah hari hujan per tahun (hari)
2.7. W L = Faktor air hujan yang akan masuk ke pondasi jalan (%)Structural Number
a. Structure Number 1
SN i
a i
b. Structure Number 2
Resilient modulus Subbase (bahan : sesuai yang direncanakan).
__ *
SN 2 - SN 1
a2.m2
*
c. Structure Number 3
SN SN
Di
D2
D3
Tebal minimum masing-masing lapis perkerasan mengacu pada Tabel 12. (diambil dari AASHTO
1993 halaman II-35).
' D PSI ’ _
log 10 W18 = Z R S 0 + 9,36 log 10 (SN + 1) - log 10 4,2 - 1,5 _
0,2 +-------------------- 1094
0,4 + (SN + 1)5'19 -+ 2,32 x log 10 M R - 8,07
dimana :
W18 = Jumlah beban ekivalen (ESAL).
ZR = Standar deviasi normal.
So = Standar gabungan kesalahan dari lalu-lintas danperkiraan performance.
DPSI = Perbedaan antara desain awal kemampu-layanan untuk po dan desain terminal serviceability
index.
MR = Resilient modulus tanah dasar (psi).
SN = Structural Number.
Stage construction
1) . Pentahapan
Akan dikaji pentahapan stage construction berdasar pendekatan / asumsi sebagai berikut
• Additional overlay sebagai stage construction di-desain hanya untuk pemenuhan structure number untuk
umur sisa.
2) . Realibility
Jalan dengan lalu-lintas berat pada daerah rural. Untuk perencanaan keseluruhan, Realibility diambil R = 90
%.
Untuk strategi stage construction, maka desain realibility untuk setiap tahap adalah -\/0,90 = 95 %.
3) . Remaining life (RL) dan pavement condition factor (CF)
RL = 100 x
dimana :
RL = Remaining life (%)
Np = Total traffic saat overlay, ESAL
N1]5 = Total traffic pada kondisi perkerasan berakhir (failure), ESAL
Condition factor, menggunakan Gambar 8. (diambil dari Figure 5.2. AASHTO 1993 halaman III'
Berdasarkan pendekatan hidrologi di Indonesia dan dari literatur serta referensi yang ada,
nilai drainage coefficient dapat didekati.
1. Penetapan variable prosen perkerasan terkena air
Pendekatan persentasi struktur perkerasan dalam 1 tahun terkena air sampai tingkat
saturated :
Koefisien pengaliran ( C ) :
Koefisien pengaliran dianalisis sebagai berikut :
Interval C terpilih
0,70 - 0,95 <
—
-- 1 - —►
C yang mewakili 0,825 0,825
Sehingga dengan dasar justifikasi teknis dan pendekatan tersebut diatas, maka
dapat digunakan angka persentase struktur perkerasan dalam satu tahun terkena air
sampai tingkat saturated sebesar < 1 %.
3.14. Tebal minimum lapis perkerasan desain
Jalan tol :
• Asphalt Concrete Wearing Course (AC WC) 5 cm
• Asphalt Concrete Binder Course (AC BC) 5 cm
= 15 cm
• Asphalt Concrete Base (AC BASE / ATB)
15 cm
• Aggregate Base
Jalan arteri :
Jalan kolektor :
Paramater desain yang digunakan dalam perhitungan tebal perkerasan lentur seperti pada
Tabel 15.
Keterangan: Jika tidak ditentukan lain / kajian teknis, paramater desain dalam tabel dapat digunakan.
Faktor regional (Tabel 16.) ditentukan oleh beberapa hal yaitu :
• Keadaan iklim
• Persentase kendaraan berat ( > 5 ton )
• Derajat kemiringan memanjang jalan
• Tabel 16. : Faktor Regional (FR).
(<6%) ( 6 - 10 % ) ( > 10 % )
% Kendaraan berat % Kendaraan berat % Kendaraan berat
< 30 % > 30 % < 30 % > 30 % < 30 % > 30 %
Iklim : < 900 mm/th 0,5 1,0 - 1,5 1,0 1,5 - 2,0 1,5 2,0 - 2,5
Iklim : > 900 mm/th 1,5 2,0 - 2,5 2,0 2,5 - 3,0 2,5 3,0 - 3,5
Sumber: Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Jalan Raya dengan metode Analisa Komponen, 1987.
Lebar perkerasan jalan ditentukan dari jumlah lajur yang direncanakan. Seperti Tabel 17..
Tabel 17. : Jumlah lajur berdasarkan lebar perkerasan.
Koefisien distribusi kendaraan (C) untuk kendaraan ringan dan berat yang lewat pada jalur rencana ditentukan
menurut Tabel 18.
Untuk perhitungan Equivalent Single Axle Load (ESAL), lihat Modul Rekayasa Lalu-lintas.
4) . Lintas ekivalen
Yang dimaksud dengan lintas ekivalen adalah suatu nilai ekivalen tingkat kerusakan jalan akibat
repetisi dari lintasan kendaraan selama satu satuan waktu.
Lintas Ekivalen dibedakan atas :
LEP + LEA
LET = ---------------
2
d. Lintas Ekivalen Rencana (LER)
Yaitu besarnya lintas ekivalen rencana yang digunakan dalam perencanaan.
LER = LET x FP
FP = UR
10
Dimana :
FP = Faktor Penyesuaian
5) . Indeks Permukaan
Indeks Permukaan (IP) ini menyatakan nilai dari pada kerataan / kehalusan serta kekokohan
permukaan yang bertalian dengan tingkat pelayanan bagi lalu lintas yang lewat. Indeks permukaan ini
diukur dari kemampuan pelayanan (service ability) suatu jalan berdasarkan pengamatan kondisi
jalan, meliputi kerusakan-kerusakan seperti retak-retak, alur, lubang, kekasaran permukaan dan lain
sebagainya yang terjadi selama umur pelayanan jalan. Nilai Indeks Permukaan bervariasi dari angka
0 s/d 5.
Adapun beberapa nilai IP beserta artinya seperti yang tersebut dibawah ini :
IP = 1,0 : Menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat sehingga sangat mengganggu
lalu lintas kendaraan.
IP = 1,5 : Tingkat pelayanan terendah yang masih mungkin (jalan tidak terputus).
IP = 2,0 : Tingkat pelayanan rendah bagi jalan yang masih mantap.
IP = 2,5 : Menyatakan permukaan jalan masih cukup stabil dan baik.
IP > 2,5 : Menyatakan permukaan jalan cukup stabil dan baik.
Dalam menentukan indeks permukaan pada awal umur rencana (IPo) perlu diperhatikan jenis lapis
permukaan jalan (kerataan / kehalusan serta kekokohan) pada awal umur rencana menurut Tabel 19.
Dalam menentukan IPt pada akhir umur rencana perlu dipertimbangkan faktor-faktor klasifikasi
fungsional jalan dan LER menurut Tabel 20.
*) LER dalam satuan angka ekivalen 8,16 ton beban sumbu tunggal.
Tingkat pelayanan lalu-lintas selama umur rencana ditentukan dari rasio kehilangan kemampuan
pelayanan. Masa kemampuan pelayanan ini dapat dilihat pada Gambar 12.
4.3. Konstruksi bertahap
Konstruksi bertahap adalah konstruksi perkerasan lentur yang memiliki satu lapis pondasi
bawah, satu lapis pondasi atas dan dua lapis permukaan, dimana kedua lapis permukaan
tersebut dari bahan aspal beton atau sejenis yang dikerjakan secara berurutan dengan
selang waktu tertentu menurut ketetapan yang ditentukan dalam proses desain.
Perlu dijelaskan disini, bahwa pada saat pekerjaan lapis permukaan kedua (sebagai lapis
tambahan), kondisi struktur perkerasan tahap pertama masih stabil. Hal inilah yang
membedakan pekerjaan konstruksi bertahap dengan pekerjaan peningkatan jalan (pekerjaan
lapis tambahan) karena pada pekerjaan peningkatan jalan, di akhir masa layan, struktur
perkerasan lama telah mencapai kondisi kritis / runtuh.
Manfaat dari desain konstruksi bertahap antara lain mencakup hal-hal sebagai berikut :
• Memungkinkan peningkatan kondisi perkerasan dengan memperbaiki kelemahan
setempat yang dijumpai di antara konstruksi tahap pertama dengan tahap kedua.
• Jika terdapat kesalahan perencanaan atau konstruksi atau material lapis pondasi atau
lapis pondasi bawah, maka koreksi masih dapat dilakukan dengan biaya yang lebih
murah.
• Jika beban lalu-lintas tidak dapat diperkirakan dengan baik maka penyesuaian desain
dapat dilakukan pada konstruksi tahap kedua.
• Konstruksi bertahap dipertimbangkan seandainya pendanaan pembangunan jalan juga
harus disediakan secara bertahap juga.
Namun, disamping manfaat tersebut terdapat juga kerugian yang dapat terjadi akibat
pentahapan konstruksi perkerasan, seperti misalnya :
• Kualitas lapis pondasi atas dan lapis pondasi bawah harus tetap baik sesuai dengan
persyaratan yang diminta.
• Karena konstruksi perkerasan tahap kedua diberikan pada saat struktur perkerasan
tahap pertama masih dalam kondisi yang baik, maka hal ini dapat memberikan kesan
bahwa jalan yang masih baik sudah dilapis kembali.
Pembangunan konstruksi tahap kedua memberi dua kali gangguan lalu-lintas yaitu
dalam ^''spengertian biaya transportasi total, gangguan terhadap kelancaran lalu-lintas
tersebut dapat meningkatkan biaya operasi kendaraan, biaya kelambatan perjalanan
maupun biaya kecelakaan.
• Beberapa utilitas jalan yang sudah dibangun ditahap pertama harus dibangun kembali
setelah tahap kedua, seperti marka, posisi rambu, dan fasilitas drainase.
Ketentuan dasar desain konstruksi bertahap menurut metoda Analisa Komponen adalah
bahwa perioda desain tahap pertama harus ditetapkan tidak boleh lebih besar dari pada 50
% total masa layan. Dengan demikian, beban lalu-lintas yang dipikul oleh struktur perkerasan
pada tahap pertama dan kedua berturut-turut adalah :
• LER-i : LER selama perioda 25 - 50 % dari masa layan.
• LER2 : LER selama perioda 75 - 50 % dari masa layan.
Desain konstruksi bertahap sebenarnya didasarkan pada pendekatan analitis (teori unit
kerusakan), yaitu bahwa setiap kendaraan yang lewat akan menyebabkan derajat kerusakan
tertentu. Jika total nilai derajat kerusakan sama dengan 100 %, maka struktur perkerasan
dapat dikatakan telah mencapai masa layannya. Jadi, disini derajat kerusakan dianggap
sebanding dengan beban lalu-lintas (nilai LER).
Ketentuan konstruksi bertahap :
a. Pada akhir tahap pertama, struktur perkerasan dianggap masih memiliki sisa umur
sebesar 40 %, atau :
X LER- = LER- + 40 % X LER-
Dan didapat nilai : X = 1,67
Jadi, nilai ITP untuk konstruksi tahap pertama (ITP1) dapat dihitung berdasarkan
beban lalu-lintas sebesar 1,67 LER1
b. Konstruksi tahap pertama, tanpa pemberian konstruksi tahap kedua, akan mampu
melayani 60 % dari total masa layan, atau :
Y LER2 = LER1 + LER2 = 60 % Y LER2 + LER2
Dan didapat nilai : Y = 2,50
Serupa seperti untuk ITP1, nilai ITP total (ITPtotal) yang diperlukan untuk memikul
beban lalu-lintas selama masa layan dapat dihitung berdasarkan beban lalu-lintas
sebesar 2,5 LER2
c. Nilai ITP untuk konstruksi tahap kedua (ITP2) adalah :
ITP2 = ITPtotal - ITP1
Perhitungan nilai ITP1 dan nilai ITPtotal dapat didasarkan pada nomogram atau model
struktur perkerasan (persamaan). Demikian juga, struktur perkerasan tahap pertama
dapat di-desain apakah dengan mengikuti salah satu skenario yang dilakukan pada
konstruksi perkerasan baru.
d. Tebal lapis tambahan, sebagai pekerjaan tahap kedua dapat dihitung dengan rumus
sebagai berikut :
D - !TP2
Do = a0
dimana :
Do = Tebal lapis tambahan
ao = Koefisien kekuatan relatif
^Prinsip dasar dari desain lapis tambahan pada struktur perkerasan lentur menurut metoda
Analisa Komponen adalah bahwa di akhir masa layannya struktur perkerasan perlu diperkuat
dengan memperbesar nilai ITP sehingga mampu memikul perkiraan beban lalu-lintas
tambahan yang diinginkan.
Nilai ITP yang dimaksud diperoleh dari sisa nilai ITP struktur perkerasan lama ditambah
dengan nilai ITP tambahan dari lapis tambahan yang diberikan.
Dengan demikian, ada 2 langkah yang perlu dilakukan dalam proses perencanaan lapis
tambahan, yaitu :
• Menentukan nilai kondisi struktur perkerasan lama untuk mendapatkan nilai ITP sisa.
• Menghitung tebal lapis tambahan berdasarkan nilai ITP tambahan yang diperlukan,
yang dihitung sesuai dengan perkiraan beban lalu-lintas yang akan datang setelah
dikurangi dengan nilai ITP sisa.
Penentuan ITP sisa dilakukan secara subyektif. Nilai ITP sisa struktur perkerasan lama dapat
dihitung dengan menggunakan rumus :
ITPsisa -E(aiJD,JK,)
dimana :
Ki = Nilai kondisi lapisan, yang dinilai secara subyektif, lihat Tabel 24.
Tabel 24. : Nilai kondisi perkerasan jalan.
1. Lapis Permukaan :
Umumnya tidak retak, hanya sedikit deformasi pada jalur roda 90 - 100 %
Terlihat retak halus, sedikit deformasi pada jalur roda namun masih tetap stabil 70 - 90 %
Retak sedang, beberapa deformasi pd jalur roda, pada dasarnya masih menunjukkan kestabilan 50 - 70 %
Retak banyak, demikian juga deformasi pada jalur roda, menunjukkan gejala ketidak stabilan 30 - 50 %
2. Lapis Pondasi :
a. Pondasi Aspal Beton atau Penetrasi Macadam.
Umumnya tidak retak 90 - 100 %
Terlihat retak halus, namun masih tetap stabil 70 - 90 %
Retak sedang, pada dasarnya masih menunjukkan kestabilan 50 - 70 %
Retak banyak, menunjukkan gejala ketidak stabilan 30 - 50 %
b. Stabilisasi tanah dengan semen atau kapur :
Indeks Plastisitas (Plasticity lndex = Pl) < 10 70- 100 %
c. Pondasi Macadam atau Batu Pecah :
Indeks Plastisitas (Plasticity lndex = Pl) < 6
80- 100 %
d. Lapis Pondasi Bawah :
Indeks Plastisitas (Plasticity lndex = Pl) < 6
Indeks Plastisitas (Plasticity Index = PI) > 6 90- 100 %
70 - 90 %
6) . Koefisien kekuatan relatif (a)
Koefisien kekuatan relatif (a) masing-masing bahan dan kegunaannya sebagai lapis permukaan,
pondasi, pondasi bawah, ditentukan secara korelasi sesuai nilai Marshall Test (untuk bahan dengan
aspal), kuat tekan (untuk bahan yang stabilisasi dengan semen atau kapur), atau CBR (untuk bahan
lapis pondasi bawah). Daftar koefisien kekuatan relatif ditentukan menurut Tabel 21.
Tabel 21. : Koefisien kekuatan relatif (a).
Koefisien kekuatan relatif Kekuatan Bahan
Jenis Bahan
a1 a2 a3 MS (kg) Kt (kg/cm2) CBR (%)
0,40 744
0,35 -- -- 590 -- -- Laston
0,32 - - 454 - -
- 0,28 - 590 - -
Laston Atas
- 0,26 - 454 - -
-- 0,14 -- -- -- 100 Batu pecah (kelas A)
0,13 80 Batu pecah (kelas B) Batu pecah
- 0,12 - - - 60 (kelas C)
- - 0,13 - - 70 Sirtu / pitrun (kelas A)
- - 0,12 - - 50 Sirtu / pitrun (kelas B)
- - 0,11 - - 30 Sirtu / pitrun (kelas C)
Sumber: Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Jalan Raya dengan metode Analisa Komponen, 1987.
Indeks tebal perkerasan (ITP) adalah suatu indeks yang menentukan tebal perkerasan dan ditulis
dengan rumus umum sebagai berikut :
___ n
ITP = Y ai.Di = a1.D1 + a2.D2 + a3.D3 + a4.D4
i=1
dimana :
a1 = Koefisien kekuatan relatif lapisan permukaan.
a2 = Koefisien kekuatan relatif lapisan pondasi atasperkerasanberaspal.
a3 = Koefisien kekuatan relatif lapisan pondasi atasperkerasanberbutir.
a4 = Koefisien kekuatan relatif lapisan pondasi bawah.
D1 = Tebal lapisan permukaan.
D2 = Tebal lapisan pondasiatas perkerasan beraspal.
D3 = Tebal lapisan pondasiatas perkerasan berbutir.
D4 = Tebal lapisan pondasibawah.
Nilai ITP dapat ditentukan dengan menempatkan nilai-nilai daya dukung tanah (DDT), Lalu-lintas
Ekivalen Rencana (LER) dan Faktor Regional (FR) pada Nomogram Gambar 14. - 15. - 16. yang
diberikan pada lembar akhir dari subbab ini.
8) . Batas minimum tebal perkerasan
< 3,00 15 Batu pecah,stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur.
20 *) Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur.
3,00 - 7,49
10 Laston atas.
20
7,50 - 9,99 Batu pecah, stabilisasi tanah dgn semen, stabilisasi tnh dgn kapur. Laston atas
15
Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur,
10 - 12,14 20
Laston atas.
Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur,
> 12,25 25
Laston atas.
Sumber: Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Jalan Raya dengan metode Analisa Komponen, 1987.
*) Batas 20 cm tersebut dapat diturunkan menjadi 15 cm bila untuk pondasi bawah digunakan material berbutir
kasar.
9) . Persamaan dasar
i IPo - IPt
log O t
Perkerasan jalan beton semen portland atau lebih sering disebut perkerasan kaku atau juga
disebut rigid pavement, terdiri dari pelat beton semen portland dan lapisan pondasi (bisa juga
tidak ada) diatas tanah dasar. Perkerasan beton yang kaku dan memiliki modulus elastisitas
yang tinggi, akan mendistribusikan beban terhadap bidang area tanah yang cukup luas,
sehingga bagian terbesar dari kapasitas struktur perkerasan diperoleh dari slab beton sendiri.
Hal ini berbeda dengan perkerasan lentur dimana kekuatan perkerasan diperoleh dari lapisan-
lapisan tebal pondasi bawah, pondasi dan lapisan permukaan. Karena yang paling penting
adalah mengetahui kapasitas struktur yang menanggung beban, maka faktor yang paling
diperhatikan dalam perancangan perkerasan jalan beton semen portland adalah kekuatan
beton itu sendiri, adanya beragam kekuatan dari tanah dasar dan atau pondasi hanya
berpengaruh kecil terhadap kapasitas struktural perkerasannya (tebal pelat betonnya), tetapi
untuk desain badan jalan (tanah dasar) perlu kajian geoteknik tersendiri jika ditemukan
klasifikasi tanah yang masuk kategori tidak baik sebagai tanah dasar.
Lapisan pondasi atau kadang-kadang juga dianggap sebagai lapisan pondasi bawah jika
digunakan dibawah perkerasan beton karena beberapa pertimbangan yaitu untuk kendali
terhadap terjadinya pumping, kendali terhadap sistem drainasi (drainase bawah perkerasan),
kendali terhadap kembang-susut yang terjadi pada tanah dasar, untuk mempercepat
pekerjaan konstruksi, serta menjaga kerataan dasar dari pelat beton.
Atau dapat diuraikan bahwa fungsi dari lapisan pondasi atau pondasi bawah adalah :
•Menyediakan lapisan yang seragam, stabil dan permanen.
•Menaikkan harga Modulus Reaksi Tanah Dasar (Modulus of Sub-grade Reaction = k),
menjadi Modulus Reaksi Komposit (Modulus of Composite Reaction).
• Melindungi gejala pumping butir-butiran halus tanah pada daerah sambungan, retakan
dan ujung samping perkerasan.
• Mengurangi terjadinya keretakan pada pelat beton.
• Menyediakan lantai kerja.
Pumping : adalah proses keluarnya air dan butiran-butiran tanah dasar atau pondasi bawah melalui
sambungan dan retakan atau pada bagian pinggir perkerasan, akibat lendutan atau gerakan vertikal
pelat karena beban lalu-lintas, setelah adanya air bebas yang terakumulasi dibawah pelat.
Pemilihan penggunaan jenis perkerasan kaku dibandingkan dengan perkerasan lentur yang sudah
lama dikenal dan lebih sering digunakan, berdasarkan keuntungan dan kerugian masing-masing jenis
perkerasan tersebut.
Perbedaan antara perkerasan kaku dan perkerasan lentur dapat dilihat pada Tabel 25.
1. Kebanyakan digunakan hanya pada jalan kelas 1. Dapat digunakan untuk semua tingkat volume lalu-lintas.
tinggi, serta pada perkerasan lapangan terbang.
2. Kontrol kualitas : Mudah 2. Kontrol kualitas : Sulit terutama musim hujan
3. Dapat lebih bertahan terhadap kondisi drainase yang
lebih buruk. 3. Sulit untuk bertahan terhadap kondisi drainase yang buruk.
4. Umur rencana dapat mencapai 20 tahun. 4. Umur rencana relatif pendek 5 - 10 tahun.
5. Jika terjadi kerusakan maka kerusakan tersebut 5. Kerusakan tidak merambat ke bagian konstruksi yang lain,
cepat dan dalam waktu singkat. kecuali jika perkerasan terendam air.
6. Indeks Pelayanan tetap baik hampir selama umur 6. Indeks Pelayanan yang terbaik hanya pada saat selesai
rencana, terutama jika transverse joints dikerjakan pelaksanaan konstruksi, setelah itu berkurang seiring
dan dipelihara dengan baik. dengan waktu dan frekuensi beban lalu-lintasnya.
7. Pada umumnya biaya awal konstruksi tinggi. Tetapi 7. Pada umumnya biaya awal konstruksi rendah, terutama untuk
biaya awal hampir sama untuk jenis konstruksi jalan lokal dengan volume lalu-lintas rendah.
jalan berkualitas tinggi dan tidak tertutup
kemungkinan bisa lebih rendah.
8. Biaya pemeliharaan relatif tidak ada.
8. Biaya pemeliharaan yang dikeluarkan, mencapai lebih kurang
dua kali lebih besar dari pada perkerasan kaku.
9. Agak sulit untuk menetapkan saat yang tepat untuk
9. Pelapisan ulang dapat dilaksanakan pada semua tingkat
melakukan pelapisan ulang.
ketebalan perkerasan yang diperlukan, dan lebih mudah
menentukan perkiraan pelapisan ulang.
10. Kekuatan konstruksi perkerasan lentur ditentukan oleh tebal
10. Kekuatan konstruksi perkerasan kaku lebih
setiap lapisan dan daya dukung tanah dasar.
ditentukan oleh kekuatan pelat beton sendiri
(tanah dasar tidak begitu menentukan).
11. Tebal konstruksi perkerasan kaku adalah tebal pelat 11. Tebal konstruksi perkerasan lentur adalah tebal seluruh
beton tidak termasuk pondasi. lapisan yang ada diatas tanah dasar.
12. Tahap pembangunan : Satu tahap dalam 20 tahun 12. Tahap pembangunan : Minimal dua tahap dalam 20 tahun
Pada awal mula teknik jalan raya, pelat perkerasan kaku dibangun langsung diatas tanah
dasar tanpa memperhatikan sama sekali jenis tanah dasar dan kondisi drainasinya. Pada
umumnya dibangun slab setebal 6 - 7 inci. Dengan bertambahnya beban lalu-lintas
khususnya setelah Perang Dunia ke II, mulai diperhatikan bahwa jenis tanah dasar berperan
penting terhadap perkerasan, terutama terjadinya pengaruh pumping pada perkerasan. Oleh
karena itu perancangan untuk mengatasi pumping adalah faktor yang sangat penting untuk
diperhitungkan.
Pada periode sebelumnya, tidak biasa membuat pelat beton dengan penebalan di bagian
ujung / pinggir untuk mengatasi kondisi tegangan struktural yang sangat tinggi akibat beban
truk yang sering lewat di bagian pinggir perkerasan.
Kemudian setelah efek pumping sering terjadi pada kebanyakan jalan raya dan jalan bebas
hambatan, banyak dibangun konstruksi pekerasan kaku yang lebih tebal yaitu antara 9 - 10
inci.
Dalam hubungan antara beban lalu-lintas dan perkerasan kaku, pada tahun 1949 di Maryland
USA, dibangun Test Roads dengan arahan dari Highway Research Board. Maksudnya untuk
mempelajari dan mencari hubungan antara beragam beban sumbu kendaraan terhadap
perkerasan kaku. Perkerasan beton pada jalan uji dibangun setebal 9 - 7 - 9 inci (potongan
melintang), jarak antara siar susut 40 kaki, sedangkan jarak antara siar muai 120 kaki. Untuk
sambungan memanjang digunakan dowel berdiameter 3/4 inci dan berjarak 15 inci di bagian
tengah. Perkerasan beton uji ini diperkuat dengan wire mesh.
Beban yang digunakan adalah 18.000 lbs dan 22.400 pound untuk sumbu tunggal dan
32.000 serta 44.000 pounds pada sumbu ganda. Hasil yang paling penting dari program uji ini
adalah bahwa perkembangan retak pada pelat beton adalah karena terjadinya gejala
pumping. Tegangan dan lendutan yang diukur pada jalan uji adalah akibat adanya pumping.
Selain itu dikenal juga AASHO Road Test yang dibangun di Ottawa, Illinois pada tahun 1950.
Salah satu hasil yang paling penting dari penelitian pada jalan uji AASHO ini adalah mengenai
indeks pelayanan. Penemuan yang paling signifikan adalah adanya hubungan antara
perubahan repetisi ^beban terhadap perubahan tingkat pelayanan jalan. Pada jalan uji AASHO,
tingkat pelayanan akhir diasumsikan dengan angka 1,5 (tergantung juga kinerja perkerasan
yang diharapkan), sedangkan tingkat pelayanan awal selalu kurang dan 5,0.
• Pembebanan ujung.
• Pembebanan pinggir.
• Pembebanan tengah.
2. Tegangan akibat perubahan temperatur dan kadar air. Tegangan ini mengakibatkan :
.
• Penyusutan.
• Lipatan atau lentingan (wrap).
• Pengembangan
Tegangan butir 3, akibat pumping dapat diatasi dengan menggunakan lapisan pondasi.
Tegangan yang diakibatkan
Rumus Westergaard:
Sc
= 3P/F
dimana :
sc = Tegangan maximum, disebabkan pembebanan ujung (kg/cm2).
P = Beban roda (kg).
h = Tebal pelat (cm).
L = Jari-jari kekakuan relatif (cm).
a1 = Jari-jari beban roda (cm).
a1 = av 2 (cm)
E = Modulus Young dari beton (kg/cm 2).
K = Modulus reaksi tanah dasar (kg/cm3).
m = Angka Poison
Tegangan yang diakibatkan oleh perubahan temperatur
S = 0,35 Cw a E G’
dimana :
Cw = Koefisien tahanan terhadap pelentingan.
a = Koefisien muai beton akibat perubahan temperatur ( 0 - 1 0C )
E = Modulus Young dari beton (kg/cm 2)
G’ = Perbedaan temperatur antara lapisan atas dan bawah dari pelat beton ( 0 - 1 0C )
Perencanaan mengacu pada AASHTO (American Association lof State Highway and
Transportation Officials) guide for design of pavement structures 1993 (selanjutnya disebut
AASHTO 1993). Langkah-langkah / tahapan, prosedur dan parameter-parameter
perencanaan diberikan sebagai berikut dibawah ini.
Parameter perencanaan terdiri :
• Analisis lalu-lintas : mencakup umur rencana, lalu-lintas harian rata-rata, pertumbuhan
lalu- lintas tahunan, vehicle damage factor, equivalent single axle load
• Terminal serviceability index
• Initial serviceability
• Serviceability loss
• Reliability
• Standar normal deviasi
• Standar deviasi
• CBR dan Modulus reaksi tanah dasar
• Modulus elastisitas beton, fungsi dari kuat tekan beton
• Flexural strength
• Drainage coefficient
• Load transfer coefficient
Bagan alir prosedur perencanaan diperlihatkan seperti pada Gambar 18.
Analisis traffic design untuk perencanaan tebal perkerasan telah disajikan pada Bab 10.
Rekayasa Lalu-lintas.
Data dan parameter lalu-lintas yang digunakan untuk perencanaan perkerasan meliputi :
• Jenis kendaraan.
• Volume lalu-lintas harian rata-rata.
• Pertumbuhan lalu-lintas tahunan.
• Damage factor.
• Umur rencana.
• Faktor distribusi arah.
• Faktor distribusi lajur.
• Equivalent Single Axle Load, ESAL selama umur rencana (traffic design).
Faktor distribusi arah : DD = 0,3 - 0,7 umumnya diambil 0,5 (AASHTO 1993 hal. II-9).
Faktor distribusi lajur (DL), mengacu pada Tabel 26. (AASHTO 1993 halaman II-9).
1 100
2 80 - 100
3 60 - 80
4 50 - 75
W, = W x(1 + g)"
dimana :
W t = Jumlah beban gandar tunggal standar kumulatif, atau jumlah lalu-lintas harian rata-
rata rencana pada tahun ke-n
W 18 = Beban gandar standar kumulatif selama 1 tahun, atau jumlah lalu-lintas harian
rata-rata rencana pada tahun sebelumnya yang ditinjau.
n = Umur pelayanan, atau umur rencana UR (tahun).
g = Perkembangan lalu-lintas (%)
5.7. CBR
California Bearing Ratio (CBR), dalam perencanaan perkerasan kaku digunakan untuk
penentuan nilai parameter modulus reaksi tanah dasar (modulus of subgrade reaction : k).
CBR yang umum digunakan di Indonesia berdasar besaran 6 % untuk lapis tanah dasar,
mengacu pada spesifikasi yang baku digunakan di Indonesia. Akan tetapi tanah dasar
dengan nilai CBR 5 % dan atau 4 % pun dapat digunakan setelah melalui kajian geoteknik,
dengan CBR kurang dari 6 % ini jika digunakan sebagai dasar perencanaan tebal
perkerasan, masalah yang terpengaruh adalah fungsi tebal perkerasan yang akan
bertambah, atau masalah penanganan khusus lapis tanah dasar tersebut.
Material perkerasan yang digunakan dengan parameter yang terkait dalam perencanaan
tebal perkerasan sebagai berikut :
1. Pelat beton
• Flexural strength (Sc’) = 45 kg/cm2
• Kuat tekan (benda uji silinder 15 x 30 cm): fc’ = 350 kg/cm2
2. Wet lean concrete
• Kuat tekan (benda uji silinder 15 x 30 cm): fc’ = 105 kg/cm2
Sc’ digunakan untuk penentuan paramater flexural strength, dan fc’ digunakan untuk
penentuan parameter modulus elastisitas beton (Ec).
Reliability
Koreksi Effective Modulus of Subgrade Reaction, menggunakan Grafik pada Gambar 19. (diambil
dari AASHTO 1993 halaman II-42
Modulus Reaksi Tanah Dasar, k (kPa'mm)
Sumber: Austroad
Gambar 21. : Hubungan antara CBR dan Modulus Reaksi Tanah Dasar.
Ec = 57.000Jf
C C
dimana :
Ec = Modulus elastisitas beton (psi).
fc’ = Kuat tekan beton, silinder (psi).
Kuat tekan beton fc’ ditetapkan sesuai pada Spesifikasi pekerjaan (jika ada dalam
spesifikasi).
Di Indonesia saat ini umumnya digunakan : f c’ = 350 kg/cm2
Flexural strength
Drainage coefficient
Penetapan variable pertama mengacu pada Tabel 31. (diambil dari AASHTO 1993
halaman II- 22), dan dengan pendekatan sebagai berikut :
a. Air hujan atau air dari atas permukaan jalan yang akan masuk kedalam pondasi jalan,
relatif kecil berdasar hidrologi yaitu berkisar 70 - 95 % air yang jatuh di atas jalan
aspal / beton akan masuk ke sistem drainase (sumber : Hidrologi Imam Subarkah &
BINKOT Bina Marga). Kondisi ini dapat dilihat acuan koefisien pengaliran pada Tabel
32. & 33.
b. Air dari samping jalan yang kemungkinan akan masuk ke pondasi jalan, inipun relatif
kecil terjadi, karena adanya road side ditch, cross drain, juga muka air tertinggi di-
desain terletak di bawah subgrade.
^c. Pendekatan dengan lama dan frekuensi hujan, yang rata-rata terjadi hujan selama 3
jam
per hari dan jarang sekali terjadi hujan terus menerus selama 1 minggu.
Maka waktu pematusan 3 jam (bahkan kurang bila memperhatikan butir b.) dapat diambil
sebagai pendekatan dalam penentuan kualitas drainase, sehingga pemilihan mutu drainase
adalah berkisar Good (untuk jalan tol), dan diambil kategori Fair (untuk jalan non tol).
Untuk kondisi khusus, misalnya sistem drainase sangat buruk, muka air tanah terletak
cukup tinggi mencapai lapisan tanah dasar, dan sebagainya, dapat dilakukan kajian
tersendiri.
Excellent 2 jam
Good 1 hari
Fair 1 minggu
Poor 1 bulan
Very poor Air tidak terbebaskan
Sumber: Petunjuk desain drainase permukaan jalan No. 008/T/BNKT/1990, Binkot, Bina Marga, Dep. PU, 1990.
Penetapan variable kedua yaitu persentasi struktur perkerasan dalam 1 tahun terkena air
sampai tingkat saturated, relatif sulit, belum ada data rekaman pembanding dari jalan lain,
namun dengan pendekatan-pendekatan, pengamatan dan perkiraan berikut ini, nilai dari
faktor variabel kedua tersebut dapat didekati.
Prosen struktur perkerasan dalam 1 tahun terkena air dapat dilakukan pendekatan dengan
asumsi sebagai berikut :
T
jam
x T"a X W, X 100
Pheff 24 365 L
dimana
P
heff = Prosen hari effective hujan dalam setahun yang akan berpengaruh terkenanya
perkerasan (dalam %).
T
jam
= Rata-rata hujan per hari (jam).
T hari = Rata-rata jumlah hari hujan per tahun (hari)
WL *= Faktor air hujan yang akan masuk ke pondasi jalan (%)
Selanjutnya drainage coefficient (Cd) mengacu pada Tabel 34. (AASHTO 1993 halaman II-
26).
Load transfer
Load transfer coefficient (J) mengacu pada Tabel 35. (diambil dari AASHTO 1993 halaman II-26),
dan AASHTO halaman III-132.
Pavement type
1. Plain jointed & jointed reinforced 3.2 2.5 - 3.1
3.8 - 4.4 N/A 3.6 - 4.2 N/A
2. CRCP 2.9 - 3.2 2.3 - 2.9
Interval R terpilih 85 - 95
R yang mewakili 90 90%
Reliability : R = 90 % dapat digunakan untuk semua kondisi klasifikasi jalan, baik jalan tol,
arteri, kolektor, juga untuk urban maupun rural, kecuali pada jalan lokal.
R (%) ZR
90 - 1,282
Standard deviation
Standard deviation untuk rigid pavement : So = 0,30 - 0,40 (AASHTO 1993 halaman I-62).
Standard deviation : So = 0,35
Selanjutnya parameter yang akan digunakan dalam perhitungan seperti pada Tabel 36.
1. Reliability (R) 90 %
2. Standard normal deviation (ZR) - 1,282
3. Standard deviation (So) 0,35
• Terminal serviceability index : pt = 2,5 (diambil dari AASHTO 1993 halaman II-10).
• Initial serviceability : po = 4,5 (AASHTO 1993 halaman II-10).
Total loss of serviceability : DPSI = po - pt = 2
Di Indonesia yang menjadi ketentuan parameter utama adalah flexural strength (modulus of
rupture) yaitu sebesar : Sc’ = 45 kg/cm 2, maka perlu dicari nilai kuat tekan beton yang akan
digunakan agar persamaan tersebut diatas dapat diselesaikan.
Pendekatan dilakukan sebagai berikut :
Tabel 37. : Korelasi kuat tekan - flexural strength, menurut SNI 1991
1 347,14 45,00
2 350,00 45,18
3 375,00 46,77
1 350,00 37,21
2 375,00 38,51
3 511,92 45,00
4 525,00 45,57
Dari pendekatan diatas, diambil nilai Kuat tekan beton : f c’ = 350 kg/cm2 (benda uji silinder 15
x 30 cm) berdasar SNI 1991 :
fc’ = 350 x 14,22 = 4.977 psi
Parameter desain dan data perencanaan rigid pavement
Parameter desain dan data perencanaan untuk menentukan tebal pelat beton rigid
pavement, disajikan seperti pada Tabel 39.
Tabel 39. : Parameter dan data yang digunakan dalam perencanaan.
Parameter dan data pada Tabel 39. tersebut dapat digunakan sebagai pedoman jika tidak
ada pertimbangan / kajian teknis lain.
Perencanaan gabungan rigid & flexible pavement (composite) yang digunakan adalah
pendekatan desain overlay hotmix diatas rigid pavement yang mengacu pada AASHTO guide
for design of pavement structures 1993.
Prosedur, parameter-parameter perencanaan mengikuti metode perencanaan Rigid
Pavement diatas dengan gabungan formula overlay diatas rigid pavement tersebut, sebagai
berikut ini.
Dol = A ( Df - Deff )
A = 2,2233 + 0,0099 ( Df - Deff ) - 0,1534 ( Df - Deff )^^
2
dimana :
Dol = Tebal flexible pavement (inches).
Df = Tebal total perkerasan rencana (inches).
Deff = Tebal lapis pelat beton effective (inches).
A = Faktor konversi lapis perkerasan beton ke hotmix.
Reinforcement design
2) . Friction factor
dimana :
Ps = Longitudinal & transverse steel diperluka n (%).
L = Panjang slab (feet).
fs = Steel working stress (psi).
F = Friction factor.
Tie Bar dirancang untuk memegang plat sehingga teguh, dan dirancang untuk menahan
gaya- gaya tarik maksimum. Tie bar tidak dirancang untuk memindah beban. Jarak tie bar
dapat mengacu pada Tabel 41.
Grade 40 30.000 6 25 48 48 48 30 48 48 48
7 25 48 48 48 30 48 48 48
8 25 48 44 40 30 48 48 48
9 25 48 40 38 30 48 48 48
10 25 48 38 32 30 48 48 48
11 25 35 32 29 30 48 48 48
12 25 32 29 26 30 48 48 48
5). Dowel
Alat pemindah beban yang biasa dipakai adalah dowel baja bulat polos. Syarat
perancangan minimum dapat mengacu pada Tabel 42, atau penentuan diameter dowel
dapat menggunakan pendekatan formula :
dimana :
6 3/4 18 12
7 1 18 12
8 1 18 12
9 1 1/4 18 12
10 1 1/4 18 12
11 1 1/4 18 12
12 1 1/4 18 12
Parameter desain dan data untuk reinforcement design tersebut diatas disajikan seperti
pada Tabel 43.
Untuk perencanaan penulangan dan sambungan pada perkerasan jalan kaku, berikut ini
diambilkan referensi dari beberapa standard dan literatur, yaitu dari sumber :
• Principles of pavement design by Yoder & Witczak 1975
• SNI 1991.
• SKBI 2.3.28.1988.
Tujuan dasar distribusi penulangan baja adalah bukan untuk mencegah terjadinya retak
pada pelat beton tetapi untuk membatasi lebar retakan yang timbul pada daerah dimana
beban terkonsentrasi agar tidak terjadi pembelahan pelat beton pada daerah retak tersebut,
sehingga kekuatan pelat tetap dapat dipertahankan.
Banyaknya tulangan baja yang didistribusikan sesuai dengan kebutuhan untuk keperluan
ini yang ditentukan oleh jarak sambungan susut, dalam hal ini dimungkinkan penggunaan
pelat yang lebih panjang agar dapat mengurangi jumlah sambungan melintang sehingga
dapat meningkatkan kenyamanan.
Luas tulangan pada perkerasan ini dihitung dari persamaan sebagai berikut :
_ 11,76 F L h __ ___
As = f ___________ s.
's
dimana :
As = luas tulangan yang diperlukan (mm 2/m lebar)
F = koefisien gesekan antara pelat beton dengan lapisan di bawahnya (Tabel
44.)
L = jarak antara sambungan (m) h = tebal pelat (mm)
f = tegangan tarik baja ijin (MPa)
s
As min. menurut SNI 1991 untuk segala keadaan = 0,14 % dari luas penampang
beton.
Tabel 44. : Koefisien gesekan antara pelat dengan lapisan pondasi dibawahnya.
Type material dibawah slab Friction factor (F)
. Penulangan memanjang
Lcr =
n p2 u fb ( S Ec - ft )
dimana :
Lcr = jarak teoritis antara retakan (m), jarak optimum antara 1 - 2 m.
p = luas tulangan memanjang per satuan luas.
fb = tegangan lekat antara tulangan dengan beton yang dikenal sebagai lekat lentur
(MPa). Besaran lekat lentur yang dipakai dalam praktek menurut AC1 1963 untuk
tulangan dengan diameter < 35,7 mm (# 11) :
9,5 /y
tegangan lekat dasar = —fc < 800 psi
atau dalam SI unit :
0,79
tegangan lekat dasar = ——-f < 5,5 MPa
d = diameter tulangan (cm).
S = koefisien susut beton, umumnya dipakai antara 0,0005 - 0,0006 untuk pelat
perkerasan jalan.
ft = kuat tarik lentur beton yang digunakan = 0,4 - 0,5 fr (MPa).
Es
n = angka ekivalen antara baja dan beton = — (Tabel 45.) u = keliling penampang
tulangan per satuan luas tulangan = 4/d (dalam m -1)
Ec = modulus elastisitas beton = 4700 -Jf (MPa)
Penulangan melintang
Luas tulangan melintang yang diperlukan pada perkerasan beton menerus, dihitung
dengan persamaan yang sama seperti pada perhitungan penulangan perkerasan beton
bersambung dengan tulangan.
. Sambungan
Perencanaan sambungan pada perkerasan kaku, merupakan bagian yang harus dilakukan, baik
jenis perkerasan beton bersambung tanpa atau dengan tulangan, maupun pada jenis perkerasan
beton menerus dengan tulangan.
1. Jenis sambungan
Sambungan dibuat atau ditempatkan pada perkerasan beton dimaksudkan untuk menyiapkan
tempat muai dan susut beton akibat terjadinya tegangan yang disebabkan : perubahan
lingkungan (suhu dan kelembaban), gesekan dan keperluan konstruksi (pelaksanaan).
Sambungan pada perkerasan beton umumnya terdiri dari 3 jenis, yang fungsinya sebagai
berikut :
a) . Sambungan susut
Atau sambungan pada bidang yang diperlemah (dummy) dibuat untuk mengalihkan
tegangan tarik akibat : suhu, kelembaban, gesekan sehingga akan mencegah retak.
Jika sambungan susut tidak dipasang, maka akan terjadi retak acak pada
permukaan beton.
b) . Sambungan muai
^^Fungsi utamanya untuk menyiapkan ruang muai pada perkerasan, sehingga mencegah
terjadinya tegangan tekan yang akan menyebabkan perkerasan tertekuk.
c) . Sambungan konstruksi (pelaksanaan)
Diperlukan untuk kebutuhan konstruksi (berhenti dan mulai pengecoran). Jarak antara
sambungan memanjang disesuaikan dengan lebar alat atau mesin penghampar (paving
machine) dan oleh tebal perkerasan.
Selain 3 jenis sambungan tersebut, jika pelat perkerasan cukup lebar (> 7 m) maka diperlukan
sambungan ke arah memanjang yang berfungsi sebagai penahan gaya lenting (warping) yang
berupa sambungan engsel, dengan diperkuat batang pengikat (tie bar).
2. Geometrik sambungan
Geometrik sambungan adalah tata letak secara umum dan jarak antara sambungan.
a) . Jarak sambungan
Pada umumnya jarak sambungan konstruksi memanjang dan melintang tergantung
keadaan bahan dan lingkungan setempat, dimana sambungan muai dan susut sangat
tergantung pada kemampuan konstruksi dan tata letaknya.
Untuk sambungan muai, jarak untuk mencegah retak sedang akan mengecil jika koefisien panas,
perubahan suhu atau gaya gesek tanah dasar bertambah bila tegangan tarik beton bertambah.
Jarak berhubungan dengan tebal pelat dan kemampuan daya ikat sambungan.
Gambar 25. : Tata letak sambungan pada perkerasan kaku.
Untuk menentukan jarak sambungan yang akan mencegah retak, yang terbaik dilakukan
dengan mengacu petunjuk dari catatan kemampuan pelayanan setempat. Pengalaman
setempat penting diketahui karena perubahan jenis agregat kasar akan memberi dampak
yang nyata pada koefisien panas beton dengan konsekuensi jarak sambungan yang
dapat diterima.
Sebagai petunjuk awal, jarak sambungan untuk beton biasa < 2 h (dua kali tebal pelat
beton dalam satuan berbeda, misalkan tebal pelat h = 8 inci, maka jarak sambungan =
16 feet, jadi kalau dengan SI unit jarak sambungan = 24 - 25 kali tebal pelat, misalkan
tebal pelat 200 mm, maka jarak sambungan = 4.800 mm) dan secara umum
perbandingan antara lebar pelat dibagi panjang pelat < 1,25
b) . Tata letak sambungan
Sambungan menyerong atau acak (random), akan meminimalkan dampak kekasaran
sambungan, sehingga dapat memperbaiki mutu pengendalian.
Sambungan melintang serong akan meningkatkan penampilan dan menambah usia
perkerasan kaku, yaitu biasa atau bertulang, dengan atau tanpa ruji. Sambungan harus
serong sedemikian agar beban roda dari masing-masing sumbu dapat melalui
sambungan pada saat yang tidak bersamaan.
Sudut tumpul pada sisi luar perkerasan harus dibagian depan sambungan pada arah
lalu-lintas, karena sudut akan menerima dampak beban roda terbesar secara tiba-tiba.
Keuntungan dari sambungan serong sebagai berikut :
• Mengurangi lendutan dan tegangan pada sambungan, sehingga menambah daya
dukung beban pelat dan memperpanjang usia pelat.
• Mengurangi dampak reaksi kendaraan pada saat melintasi sambungan dan
memberikan kenyamanan yang lebih.
c) . Dimensi sambungan
Lebar sambungan, ditentukan oleh alur yang akan diuraikan pada bagian bawah.
Kedalaman takikan sambungan susut harus cukup memadai untuk memastikan akan
terjadi retak pada tempat yang dikehendaki dan tidak pada sembarang tempat. Biasanya
kedalaman takikan sambungan susut melintang % tebal pelat dan sambungan
memanjang 1/3 ketebalan.
Sambungan tersebut dibuat dengan pemotongan, penyelipan atau pembentukan. Waktu
pemotongan sangat kritis -untuk mencegah retak acak sehingga sambungan harus
dipotong dengan hati-hati untuk memastikan semuanya bekerja bersamaan. Jarak waktu
untuk pengecoran dengan pemotongan akan berubah dengan perubahan suhu pelat,
keadaan pengeringan dan proporsi campuran.
4. Dowel (ruji)
Dowel berupa batang baja tulangan polos, yang digunakan sebagai sarana penyambung /
pengikat pada beberapa jenis sambungan pelat beton perkerasan jalan.
Dowel berfungsi sebagai penyalur beban pada sambungan, yang dipasang dengan separuh
panjang terikat dan separuh panjang dilumasi atau dicat untuk memberikan kebebasan
bergeser.
Tabel 46. : Ukuran dan jarak batang dowel (ruji) yang disarankan.
Tie bar adalah potongan baja yang diprofilkan yang dipasang pada sambungan lidah-alur
dengan maksud untuk mengikat pelat agar tidak bergerak horisontal. Batang pengikat dipasang
pada sambungan memanjang, lihat Gambar 29.
ALINYEMEN VERTIKAL
Alinyemen Vertikal (Potongan Memanjang), adalah bidang tegak yang melalui as jalan atau proyeksi
tegak lurus bidang gambar. Potongan memanjang ini menggambarkan tinggi rendahnya jalan
terhadap muka tanah asli. Alinyemen vertikal terdiri atas bagian landai vertikal dan lengkung vertikal
dan bila ditinjau dari titik awal perencanaan, bagian landai vertikal dapat berupa landai positif
(tanjakan) atau landai negatif (turunan) atau landai nol (datar). Bagian lengkung vertikal dapat
berupa lengkung cekung dan lengkung cembung. Kalau pada alinyemen horizontal yang merupakan
bagian KRITIS adalah lengkung horizontal (bagian tikungan), maka pada alinyemen vertikal yang
merupakan bagian KRITIS justru pada bagian yang lurus. Dibawah ini diberikan gambar lengkung
vertikal.
Kecepatan Rencana
120 110 100 80 60 50 40 < 40
(km/jam)
Kelandaian
3 3 4 5 8 9 10 10
Maksimum (%)
Harus ada suatu batas untuk panjang kelandaian yang tidak melebihi kemampuan maksimum,
ditandai bahwa kecepatan sebuah truk bermuatan penuh akan lebih rendah dari separuh kecepatan
rencana atau jika gigi “rendah” terpaksa dipakai. Keadaan kritis demikian tidak boleh berlangsung
terlalu lama dan ditetapkan tidak lebih dari SATU menit. Panjang kritis tersebut dapat dilihat pada
tabel 6-2 di bawah ini.
Kelandaian (%)
Kecepatan Pada awal
tanjakan (km/jam)
4 5 6 7 8 9 10
Untuk jalan perkotaan dapat dilihat pada tabel 6-3 seperti dibawah ini untuk landai maksimum.
100 3
80 4
60 5
50 6
40 7
30 8
20 9
Kelandaian yang lebih besar dari kemiringan maksimum yang disebutkan diatas pada jalan perkotaan
dapat digunakan apabila panjang kelandaian lebih kecil dari pada panjang kritis yang ditetapkan
dalam tabel 6-4 di bawah ini sesuai dengan kecepatan rencana.
Kecepatan Rencana
Kelandaian Panjang Kritis dari Kelandaian
(km/jam)
4 700
100 5 500
6 400
5 600
80 6 500
7 400
6 500
60 7 400
8 300
7 500
50 8 400
9 300
8 400
40 9 300
10 200
Catatan : Apabila disediakan jalur tanjakan panjang kelandaian dapat melebihi
panjang kelandaian kritis diatas.
Pada setiap penggantian landai harus dibuat lengkung vertikal yang memenuhi keamanan dan
kenyamanan. Adapun lengkung vertikal yang digunakan adalah lengkung parabola sederhana seperti
gambar 6-2 di bawah ini.
Rumus Parabola :
1
y= ax2 + bx + c
2
dy
= ax + b atau rx + c (a)
dx
d2y
= a = r (constan) (b)
dx2
dy (a)
Untuk x = 0, = g1 g1 = c (c)
dx
dy (a)
Untuk x = L, = g2 g2 = c (d)
dx
Dari persamaan c dan d didapat g2 = r L + g1
g2 - g1
(e)
r=
L
dy g2 – g1
g2 – g1 x2
y = + g1 x + c*
L 2
g2 – g1 x2
y = + g1 x
L 2
Hasil akhir yang didapat sebagai berikut :
g1 – g2 X2
Y = -
Lengkung vertikal diatas disebut lengkung vertikal cembung, sehingga mempunyai tanda MINUS
(-) dimuka persamaan. Adapun untuk lengkung vertikal cekung akan mempunyai tanda PLUS (+),
maka persamaan umum dari lengkung vertikal adalah:
g1 – g2
Y= X2
Untuk menyerap guncangan dan untuk menjamin jarak pandangan henti, lengkung vertikal harus
disediakan pada setiap lokasi dimana kelandaian berubah.
Menurut Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota Nomor 038/T/BM/1997 yang
diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga Departemen PU, panjang minimum lengkung
vertikal ditentukan dengan rumus :
L = AY
S2
L=
405
L = AY
S2
L=
405
Jika jarak pandang henti lebih besar dari panjang lengkung vertikal cekung, maka panjang
lengkung vertikal ditetapkan dengan rumus :
405
L = 2S
40 –60 3
> 60 8
g2 – g1
Y= x2
2L
A.L
y = Ev =
8
A = g2 – g1
y= E V
Rencana Jari-jari
Kecepatan Rencana Lengkung Cembung & Standar
Minimum Lengkung
(km/jam) Cekung Minimum (m)
Vertikal (m)
100 Cembung 6.500 10.000
Cekung 3.000 4.500
Jalur pendakian bertujuan untuk menampung truk bermuatan berat atau kendaraan lain yang lebih
lambat agar supaya kendaraan lain dapat mendahului kendaraan yang lebih lambat itu tanpa
menggunakan jalur lawan.
Jalur pendakian harus disediakan pada ruas jalan raya yang mempunyai kelandaian tinggi dan
menerus, dan pada saat yang bersamaan mempunyai lalu lintas yang padat.
Kriteria ini diterapkan secara longgar atau ketat tergantung pada keadaan di lapangan.
Lebar lajur pendakian adalah sama dengan lajur utama, dan panjang lajur pendakian harus 200 m
atau lebih.
Jalur pendakian dimulai 30 meter dari awal perubahan kelandaian dengan serongan sepanjang 45
meter dan berakhir 50 meter sesudah puncak kelandaian dengan serongan sepanjang 45 meter
Alinyemen vertikal, alinyemen horizontal, dan potongan melintang jalan adalah elemen-elemen jalan
sebagai keluaran perencanaan harus dikoordinasikan sedemikian sehingga menghasilkan suatu
bentuk yang baik dalam arti memudahkan pengendara mengemudikan kendaraannya dengan aman
dan nyaman. Bentuk kesatuan ketiga elemen jalan tersebut diharapkan dapat memberikan kesan atau
petunjuk kepada pengendara akan bentuk jalan yang akan dilalui di depannya sehingga pengendara
dapat melakukan antisipasi lebih awal.
Koordinasi alinyemen vertikal dan alinyemen horizontal harus memenuhi ketentuan sebagai berikut
:
– Alinyemen horizontal sebaiknya berhimpit dengan alinyemen vertikal, dan secara ideal
alinyemen horizontal lebih panjang sedikit melingkupi alinyemen vertikal;
– Tikungan yang tajam pada bagian bawah lengkung vertikal cekung atau pada bagian atas
lengkung vertikal cembung harus dihindarkan;
– Lengkung vertikal cekung pada kelandaian jalan yang lurus dan panjang harus dihindarkan;
– Dua atau lebih lengkung vertikal dalam satu lengkung horizontal harus dihindarkan; dan
– Tikungan yang tajam di antar 2 bagian jalan yang lurus dan panjang harus dihindarkan.
Sebagai ilustrasi, gambar 6-8. sampai dengan gambar 6-10. menampilkan contoh-contoh
koordinasi alinyemen yang ideal dan harus dihindarkan.
Gambar 6- 8. Koordinasi yang ideal antara alinyemen horizontal dan alinyemen vertikal
yang berhimpit
Gambar 6-10. Koordinasi yang harus dihindarkan, di mana pada bagian yang
lurus pandangan pengendara terhalang oleh puncak alinyemen vertikal sehingga
pengemudi sulit memperkirakan arah alinyemen dibalik puncak tersebut.
Nama : Fajar Putra Eli Gulo
Npm : 21310083
Kelas :B
MatKul : Perencanaan Geometry Jalan Raya
1.Geometric Jalan Raya merupakan bahagian dari penyelesaian yang harus dilaksanakan
melalui perencanaan yang matang sehingga Jalan Raya dapat dipergunakan oleh
Pengguna dengan kondisi Aman dan Nyaman Jelaskan Kriteria Geometrik Jalan Raya
yang Aman dan Nyaman serta persyaratan apa saja yang harus di terapkan sesuai dengan
ketentuan Baku yang ditetapkan dan berlaku di seluruh wilayah Indonesia.
2.Super Elevasi dikenal dalam Perencanaan dan Pelaksanaan Geometric Jalan Raya
Uraikan dan gambarkan dengan lengkap Superelevasi dimaksud sehingga bagi para
pelaksana dan pemerhati bisa mengerti dan menggunakannya tentunya selalu berpedo
man pada ketentuan dan keteteapan yang di buat oleh Pemerintah sperti Crown 3% dan
kemiringan maksimum ditikungan sebesar maksimum 10%.
Jawab
1 Kriteria jalan yang aman dan nyaman yaitu :
Rumaja
Ruang sepanjang jalan yg di batasi oleh lembar, tinggi, dan kedalaman
tertentu yang meliputi badan jalan, saluran tepi jalan dan ombak
pengaman.
Rumaja sangat diperlukan demi terciptanya jalan raya yang amana dan
nyaman, karana rumaja syarat yang harus di terapkan dalam pembuatan
jalan raya. Rumaja condong kepada bagian jalan raya yang selalu
berhubungan dengan air.
Contoh-nya : saluran tepi jalan atau drainase
Rumija
Ruang milik jalan (rumija) ialah sajuran tanah tertentu diluar luar manfaat
jalan yang dibatasi dengan tanda batas ruang milik jalan yang di
maksutkan untuk memenuhi peryaratan keluasan keamanan pengguna
jalan, pelebaran jalan dan pemanfaat penambah jalur.
Rumija juga sangat diperlukan dimi terciptanya jalan raya yang aman dan
nyaman, karena rumija di peruntukan untuk orang-orang pejalan kaki.
Contoh-nya : bahu jalan
Ruwasja
Ruang pengawasan jalan (ruwasja) ialah ruang tertentu di luar rumija yang
di batasi dengan lebar tinggi tertentu yang di peruntukan bagi
pandangan bebas pengemudi atau pengaman konstruksi jalan.
2.
Kemiringan normal Kemiringan peralihan spiral Kemiringan superelevasi maksimal Kemiringan peralihan spiral Kemiringan normal
TC CT
+ 3% - 3% + 3% - 3%
- 3%- 3% - 3% - 3%
e Max e Max
-e Max -e Max
0%- 3% 0% - 3%
Contoh Diagram Superelevasi
pada Full Circle
Kemiringan normal Kemiringan peralihan spiral Kemiringan superelevasi maksimal Kemiringan peralihan spiral Kemiringan normal
TS SC CS CT
+ 3% - 3% + 3% - 3%
- 3% - 3% - 3% - 3%
e Max e Max
-e Max -e Max
0%- 3% 0% - 3%
CL
13 % 0%
13 %
12 % 1%
12 %
11 % 2%
11 %
10 % 3%
10 %
9 % 4%
10 %
8 % 5%
10 %
7 % 6%
10 %
6 % 7%
10 %
5 % 8%
10 %
4 % 9%
10 %
3 % 10%
10 %
CL
10 % 3 % 3 % 10 %