Anda di halaman 1dari 25

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Hakekat Pendidikan Jasmani


Pendidikan jasmani merupakan bagian integral dari pendidikan secara
keseluruhan, bertujuan utuk mengembangkan aspek kebugaran jasmani,
ketrampilan gerak, ketrampilan berfikir kritis, ketrampilan sosial, penalaran,
stabilitas emosional, tindakan moral, aspek pola hidup sehat dan pengenalan
lingkungan bersih melalui aktivitas jasmani terpilih yang direncanakan secara
sistematis dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional(Permen Diknas RI
Nomor 22, 2006: 194) Istilah ini pada tahun 1983 oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat dinamakan pendidikan jasmani dan olahraga. Kemudian pada tahun 1987
berdasarkan surat keputusan Menteri pendidikan dan kebudayaan no 413/U/1987
istilah Pendidikan Olahraga dan Kesehatan diubah menjadi Pendidikan Jasmani
sebagai petunjuk bahwa pada saat itu pendidikan jasmani diakui statusnya sebagai
bagian integral dari pendidikan pada umumnya untuk mencapai tujuan pendidikan
dengan mendefinisikan pendidikan jasmani sebagai berikut “ Pendidikan jasmani
adalah bagian integral dari pendidikan melalui aktivitas jasmani yang bertujuan
untuk meningkatkan individu secara organik, neuromuskuler, intelektual, dan
emosional “ (Rusli Lutan dkk, 2004: 4). Charles A. Bucher yang dikutip oleh
Sugiyanto (2003: 7.37) menyatakan bahwa pendidikan jasmani adalah bagian
integral dari proses pendidikan secara total, yang bertujuan untuk mengembangkan
warga negara menjadi segar fisik, mental, emosional dan sosial melalui aktifitas
fisik.
Beberapa pakar yang mengemukakan definisi pendidikan jasmani yang
dikutip oleh (Aip Syarifudin 2004: 1.16-1.18) diantaranya yaitu : Nixson dan
Cozens (1959) mengemukakan pendidikan jasmani adalah fase dari proses
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pendidikan keseluruhan yang berhubungan dengan aktivitas berat yang mencakup


sistem otot, serta hasil belajar dari partisipasi dalam aktivitas tersebut. Volter dan
Eslinger (1964) mengemukakan pendidikan jasmani adalah fase pendidikan
melalui aktivitas fisik. UNESCO yang tertera dalam International Charter of
Physical Education (1974) mengemukakan pendidikan jasmani adalah suatu
proses pendidikan seseorang sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat
yang dilakukan secara sadar dan sistemik melalui berbagai kegiatan jasmani dalam
rangka memperoleh peningkatan kemampuan dan ketrampilan jasmani,
pertumbuhan, kecerdasan dan pembentukan watak. Webster’s New Collegiate
Dictionary (1980) menyatakan bahwa pendidikan jasmani (Physical Education)
adalah pengajaran yang memberikan perhatian pada pengembangan fisik dari
mulai latihan kalistenik, latihan untuk kesehatan, senam serta performasi dan
olahraga pertandingan. Seaton (1975) mengatakan bahwa pendidikan jasmani
adalah bentuk pendidikan yang memberikan perhatian pada pengajaran
pengetahuan, sikap dan ketrampilan gerak manusia. Pendidikan jasmani
mempunyai keunikan dibandingkan dengan pendidikan yang lain, yaitu
memberikan kesempatan untuk mengembangkan karakter dan sifat sosial yang
lebih besar untuk diwujudkan dalam praktik pengajaran. Pendidikan jasmani
adalah satu aspek dari pendidikan melalui jasmani. Baley dan Field (1976)
memberikan pengertian pendidikan jasmani adalah suatu proses pendidikan
melalui pemilihan aktivitas fisik yang akan menghasilkan adaptasi pada organik,
syaraf otot, intelektual, sosial, kultural, emosional dan estetika.
Pendidikan Jasmani tidak lepas dari usaha pendidikan pada umumnya.
Pendidikan Jasmani merupakan usaha untuk mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan anak ke arah kehidupan yang sehat jasmani dan rohani, usaha
tersebut berupa kegiatan jasmani atau fisik yang diprogram secara ilmiah, terarah,
dan sistematis, yang disusun oleh lembaga pendidikan yang berkompeten. Dari
berbagai pendapat tentang pengertian pendidikan jasmani di atas, dapat
disimpulkan bahwa kegiatan pendidikan jasmani dan olahraga mempunyai
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

perbedaan dan persamaan. Berdasarkan ruang lingkup kegiatannya maka


pendidikan jasmani lebih luas dari olahraga, karena dalam pendidikan jasmani
juga meliputi olahraga (sport), games, bermain (play) dan segala aktivitas untuk
mengembangkan kualitas manusia melalui gerak. Dalam pendidikan jasmani
(Physical Education) mempunyai unsur bermain dan olahraga, tetapi tidak semata-
mata hanya bermain dan olahraga saja melainkan kombinasi keduanya. Dengan
nama pendidikan jasmani aktivitas fisik berorientasi pada tujuan pendidikan, yaitu
mencoba melakukan kegiatan mendidik melalui aktivitas fisik, akan tetapi pada
kegiatan bermain dan olahraga tidak berorientasi pada tujuan pendidikan.
Sebenarnya pendidikan jasmani dapat dilakukan di mana saja, tidak terbatas pada
tempat-tempat tertentu yang mempunyai fasilitas memadai, sedang yang
memberikan pendidikan jasmani pun tidak terbatas pada guru-guru olahraga atau
pelatih olahraga saja, tetapi siapa saja dapat ikut serta memberikan pendidikan
jasmani, misalnya orang tua, teman, perkumpulan pemuda, kelompok masyarakat.
Berdasarkan berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
pendidikan jasmani dalam penelitan ini adalah suatu proses pembelajaran yang
melalui aktivitas jasmani yang dilakukan secara sistematik untuk meningkatkan
kebugaran jasmani, keterampilan gerak, pengetahuan kesehatan, perilaku hidup
sehat dan kecerdasan emosi. Proses pembelajaran pendidikan jasmani yang efektif
dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan seluruh aspek, fisik,
kognitif, dan afektif setiap siswa.
2. Pembelajaran Atletik di Sekolah Dasar.
a. Pengertian Atletik

Menurut Djumidar (2003: 1.3) istilah atletik berasal dari bahasa


Yunani yaitu “athlon” atau ”athlum” yang berarti perlombaan, pertandingan,
pergulatan atau suatu perjuangan.
Atletik yang terdiri dari jalan, lari, lompat, dan lempar dikatakan sebagai
cabang olahraga yang paling tua usianya dan disebut juga sebagai ” ibu atau

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

induk ” dari semua cabang olahraga dan sering disebut juga Mother of Sport.
Karena gerakan atletik sudah tercermin pada kehidupan manusia purba,
mengingat jalan, lari, lompat dan lempar secara tidak sadar sudah mereka
lakukan dalam usaha mempertahankan dan mengembangkan hidupnya bahkan
mereka menggunakannya untuk menyelamatkan diri dari gangguan alam
sekitarnya (Eddy Purnomo dan Dapan, 2011: 3).
Jadi dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan pengertian atletik
sebagai salah satu cabang olahraga yang di dalamnya terdapat berbagai
nomor pertandingan seperti jalan, lari, lompat, loncat, dan lempar.
b. Fungsi Pembelajaran Atletik
Atletik merupakan aktivitas jasmani yang terdiri dari gerakan gerakan
dasar yang dinamis dan harmonis, yaitu jalan, lari, lompat, dan lempar. Atletik
juga merupakan sarana untuk pendidikan jasmani dalam upaya meningkatkan
kemampuan biomotorik, misalnya kekuatan, daya tahan, kecepatan,
kelenturan, koordinasi, dan sebagainya. Selain itu juga sebagai sarana untuk
penelitian bagi para ilmuan (Eddy Purnomo dan Dapan, 2011: 1)
Jadi dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan fungsi pembelajaran
atletik di sekolah yaitu agar siswa mampu memberdayakan kemampuan
biomotorik, kekuatan, daya tahan, kecepatan, kelenturan, dan koordinasi
melalui aktivitas pendidikan jasmani.
c. Tujuan Pembelajaran Atletik
Dalam pembelajaran pasti terdapat sesuatu yang akan dicapai. Hal ini
juga terjadi dalam pembelajaran atletik. Tujuan dari diselenggarakannya
pembelajaran atletik di sekolah dasar ditujukan dalam beberapa hal yang
lebih khusus yaitu :
(1) membantu pertumbuhan dan bertambahnya tinggi dan berat badan secara
harmonis, (2) mengembangkan kesehatan, kesegaran jasmani, dan memiliki
ketrampilan atletik, (3) mengerti dan memahami akan pentingnya kesehatan,

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kesegaran jasmani, dan mental, dan (4) mampu mengisi waktu luang dengan
aktivitas jasmani yaitu atletik. (Djumidar , 2004: VIII)
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dalam penelitian ini disimpulkan
pembelajaran atletik di sekolah mempunyai banyak tujuan yaitu untuk
membuat siswa aktif, menguasai materi yang di sampaikan, dan menghayati
nilai-nilai kepribadian yang terkandung dalam materi tersebut.
3. Lompat Tinggi
a. Pengertian Lompat Tinggi
Menurut Djumidar (2004: 6.13) lompat adalah suatu gerakan
mengangkat tubuh dari suatu titik ke titik lain yang lebih jauh atau tinggi
dengan ancang ancang lari cepat atau lambat dengan menumpu satu kaki dan
mendarat dengan kaki/anggota tubuh lainnya dengan keseimbangan yang
baik. Menurut Eddy Purnomo dan Dapan (2011: 65) tujuan dari lompat tinggi
adalah si pelompat berusaha untuk menaikkan pusat masa tubuhnya (center of
gravity) setinggi mungkin dan berusaha untuk melewati mistar lompat tinggi
agar tidak jatuh.
Selanjutnya menurut Djumidar (2004: 6.41) lompat tinggi merupakan
suatu rangkaian gerak untuk mengangkat tubuh ke atas dengan melalui proses
lari atau awalan, menumpu, melayang dan mendarat. Dengan demikian yang
dimaksud lompat tinggi dalam penelitian ini adalah gerakan ancang-ancang
dengan lari cepat atau lambat kemudian menumpu dengan hentakan satu kaki,
kemudian tubuh melayang di udara setinggi-tingginya dan mendarat dengan
keseimbangan yang baik.
b. Analisis Tehnik Lompat Tinggi
Tujuan utama dari lompat tinggi adalah mengangkat badan setinggi
mungkin agar dapat melewati mistar. Tingginya lompatan menurut
Soedarminto (2004: 6.7) bergantung kepada tiga faktor yaitu pertama,
pelompat harus mengembangkan daya angkat sebesar mungkin agar dapat
melemparkan badan ke udara dengan dengan kecepatan yang sebesar-
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

besarnya. Tinggi yang dicapai oleh badan sesuai dengan kecepatan yang
digunakan untuk meninggalkan tanah. Kedua, sudut tolakan sedapat mungkin
mendekati tegak lurus agar dapat memusatkan gaya untuk mencapai
ketinggian, namun sudut tolakan itu harus cukup untuk membawa badan dari
sebelah mistar ke sebelah yang lain. Ketiga, jarak di mana titik berat badan
dapat diangkat terbatas.
Pada sargent jump, batas jarak ini antara 2 dan 3 kaki di mana seorang
pelompat yang terbaik dapat menolakkan titik beratnya ke atas dari sikap
berdiri dengan lengan di samping badan. Pelompat harus menggunakan tehnik
yang dapat mengatasi keterbatasan ini. Daya lompat ke atas banyak berasal
dari kecepatan konstraksi dan kekuatan otot-otot kaki, dan tapak kaki untuk
dapat menahan gaya tolak yang besar. Kecepatan bukanlah faktor yang
terpenting dalam lompat tinggi, yang utama adalah kemampuan melenting.
Lance yang dikutip Soedarminto (2004: 6.7) mempelajari 18 orang
pelompat tinggi yang terlatih dan 14 orang yang tidak terlatih. Ia menemukan
bahwa waktu yang digunakan untuk melakukan lompatan berbanding terbalik
dengan tinggi lompatan. Ini berarti bahwa explosive power dalam melompat
sangat penting di dalam mencapai tinggi maksimum. Oleh karna itu, pelompat
mendekati mistar dengan berlari dengan lompatan pelan dari jarak tidak lebih
dari 25 kaki, hingga ia mencapai tiga atau empat langkah dari tanda tolakan.
Pada langkah langkah terakhir ini ia bergerak agak cepat dengan
membungkuk dan melompat pada langkah terakhir agar dapat menolakkan
kaki dengan kuat, sehingga dorongan ke atas akan menjadi sekuat mungkin.
Besarnya pembungkukan akan berbanding terbalik dengan kekuatan otot-otot
betis dan quadriceps.Membungkuk dan melenting sebelum lompatan juga
memungkinkan kaki ayun mengayun kuat ke atas. Pada waktu yang sama
lengan mengayun kuat ke atas. Kedua gerakan ini menambah gaya angkat
badan, prinsip pemindahan momentum dari bagian keseluruhan. Titik berat
harus langsung di atas kaki tumpu pada saat tolakan kuat ke atas dilakukan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Ini untuk meyakinkan bahwa arah gaya tolakan lebih mendekati vertikal.
Ketika pelompat mendekati mistar, kaki pada langkah terakhir sebelum
melompat harus di depan titik beratnya agar gerak majunya terkontrol. Sudut
tolakan akan bergantung kepada jarak titik tolak dari mistar. Jarak itu
bergantung kepada bentuk gaya dan ukuran besarnya pelompat. Untuk
lompatan yang baik tidak lebih dari lima kaki, pelompat hendaknya bertolak
sedekat mungkin dengan mistar.
Tolakan yang lebih dekat pada mistar akan menghasilkan gaya tolak
yang lebih besar. Makin dekat tolakan kepada mistar, makin besar gaya efektif
ke arah vertikal. Untuk mengatasi keterbatasan badan dalam menolakkan titik
berat ke arah vertikal, ada dua prinsip yang harus diambil. Pertama, carilah
atlet yang tinggi badannya, titik beratnya tinggi letaknya dan yang berkaki
panjang, juga kekuatan kakinya besar. Penelitian menunjukan bahwa
pelompat-pelompat tinggi merupakan sekelompok atlit yang lebih tinggi dari
pada atlit-atlit lain. Kedua, mengambil bentuk-bentuk gaya untuk lompatan
yang memerlukan kenaikan titik berat minimum di atas mistar.
c. Gaya Dan Teknik Lompat Tinggi
Menurut Eddy Purnomo dan Dapan (2011: 67-92) dalam lompat tinggi
terdapat 4 macam gaya, yaitu: gaya scots/ortodox, gaya guling sisi (western
roll), gaya guling perut (straddle), dan gaya flop. Pada tulisan ini peneliti
hanya mengambil sampel lompat tinggi gaya scots/ortodox saja yang relatif
mudah untuk diajarkan bagi anak usia sekolah dasar. Meskipun gaya lompatan
dalam lompat tinggi bermacam macam, namun secara teknis pada semua gaya
lompat tinggi terdapat unsur pokok yang harus dikuasai agar dapat melakukan
lompat tinggi dengan baik, unsur unsur atau tahapan tersebut menurut Eddy
Purnomo dan Dapan (2011: 65-67) terdiri dari, awalan, tumpuan (take off),
melayang dan cara pendaratan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Gambar 2.1. Gerakan Lompat Tinggi Gaya Scots


(Sumber : Dasar Dasar Gerak Atletik (Eddy Purnomo dan Dapan 2011:72)
1) Awalan.
Awalan dilakukan dengan berlari yang kian lama kian cepat namun masih
tetap terkendali yaitu dilakukan dengan wajar dan lancar (jangan drible).
Kecepatan lari pada akhir awalan tidak perlu dilakukan secara maksimal
agar mendapatkan tolakan secara maksimal. Antara awalan dan sudut
awalan harus tepat, yang dimaksud dengan titik awalan adalah tempat
berpijak atau berdiri permulaan sebelum pelompat mulai melakukan lari
awalan. Oleh karna itu, titik awalan harus tepat dan tetap, agar jumlah
langkah, irama, dan kecepatannya dalam setiap kali lompatan selalu tetap.
Arah awalan tergantung dari kaki tumpu. Secara teknis kaki kiri atau kaki
kanan yang dipakai untuk bertumpu akan menentukan dari arah mana
pelompat harus mengambil awalan dan ini pun tergantung dari gaya yang
di pakai. Pada gaya ortodox awalan dari samping kanan maupun kiri
tergantung dari kaki apa yang dipakai untuk bertumpu. Apabila bertumpu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dengan kaki kiri awalan dari samping kanan dan bila bertumpu dengan kaki
kanan, arah awalan dari samping kiri. Sudut awalan sekitar 30 sampai 35
derajat.

Gambar 2.2 Teknik Awalan dan Tumpuan Gaya Ortodox


Sumber : Dasar Dasar Gerak Atletik (Eddy Purnomo dan Dapan 2011:71)

2) Tumpuan (take off).


Tumpuan dilakukan sebagai tahap pengalihan telapak kaki tumpu untuk
lepas landas. Tujuannya adalah menghasilkan tumpuan sekuat-kuatnya agar
dapat mengangkat titik berat badan setinggi-tingginya. Tumpuan dilakukan
dengan kaki yang terkuat. Saat bertumpu harus tepat pada titik tumpu. Titik
tumpu adalah tempat berpijaknya kaki tumpu pada waktu melakukan
lompatan. Untuk memperoleh titik tumpu yang tepat harus dicari dengan
cara mencoba berulang-ulang sejak dari menentukan titik awalan, sudut
awalan, irama serta banyaknya langkah. Titik awalan dikatakan tepat,
apabila pada saat badan melayang di udara titik ketinggian maksimal benar

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

benar tepat di atas dan ditengah tengah mistar. Pada saat menumpu
dilakukan secara eksplosive dan menapak dengan tumit terlebih dahulu dan
berakhir pada ujung jari kaki sehingga terciptanya pelurusan dari ujung
kaki sampai ke badan yang disebut full extension. Pada saat ini posisi
lengan dapat diayunkan serentak. Pada gaya ortodox tumpuan dilakukan
dengan kaki yang terjauh dengan mistar, kaki ayun diayunkan lurus ke
depan atas untuk melewati mistar.
3) Melayang.
Gerakan melayang di udara terjadi saat kaki tumpu lepas dari tanah. Sikap
badan dan gerakan kaki maupun lengan saat melayang melewati mistar
tergantung dari masing masing gaya. Tiga prinsip yang perlu diperhatikan
pada saat melayang adalah: saat melewati mistar kedudukan titik berat
badan sebaiknya sedekat mungkin dengan mistar. Dalam ilmu kinesiologi
di katakan bahwa titik berat badan manusia terletak di depan dataran tulang
sacrum (pinggul) bagian atas atau sekitar bagian belakang pusar. Titik
ketinggian lambung maksimal harus tepat di atas dan di tengah tengah
mistar. Dilakukan dengan tenaga sedikit mungkin dan sadar, agar dapat
menghindari gerakan gerakan yang tidak perlu. Pada gaya ortodox saat
melewati mistar sikap badan tegak atau sedikit condong ke depan. Setelah
kaki ayun bergerak turun (sudah melewati mistar), kaki tumpu diayunkan
lurus ke depan untuk melewati mistar. Pada saat itulah seolah-olah si
pelompat duduk telunjur diatas mistar diteruskan dengan kedua kaki saling
menyilang dengan petama kali diturunkan adalah kaki ayun kemudian
diikuti kaki tumpu.
4) Pendaratan (landing).
Pendaratan merupakan proses terakhir rangkaian gerakan beruntun suatu
lompatan. Ada dua hal yang perlu diperhatikan waktu mendarat yaitu
pendaratan dilakukan secara sadar dan pendaratan dilakukan dengan posisi
badan harus sedemikian rupa sehingga tidak mengakibatkan rasa sakit atau
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

cidera. Pada gaya ortodox pendaratan dilakukan dengan kaki ayun terlebih
dahulu kemudian diikuti kaki tumpu.
Dengan demikian yang dimaksud lompat tinggi gaya ortodox/scots dalam
penelitian ini adalah lari awalan dari samping mistar, kemudian menolak
dengan kaki yang terkuat dan terjauh pada titik tumpu, saat di udara posisi
badan seperti duduk, pada saat mendarat menggunakan kaki ayun terlebih
dahulu dengan keseimbangan yang baik.
4. Pengertian Belajar, Mengajar, Pembelajaran, dan Hasil Belajar
a. Pengertian Belajar
Menurut I G.A.K. Wardani, dkk (2004: 2.4) belajar ialah suatu proses
yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku
yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu
sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. S. Nasution yang dikutip
Sugiyanto (2003: 7.34) mengemukakan belajar adalah setiap perubahan urat
urat, perubahan pengetahuan, yang relatif menetap dalam tingkah laku yang
terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman. Robert Gagne yang
dikutip Ngalim Purwanto (1997: 84) mengemukakan bahwa belajar terjadi
apabila suatu stimulus bersama dengan isi ingatan mempengaruhi siswa
sedemikian rupa sehingga perbuatanya (performance-nya) berubah dari waktu
sebelum ia mengalami situasi itu ke waktu sesudah ia mengalami situasi tadi.
Witherington yang dikutip oleh Ngalim Purwanto (1997: 84) mengemukakan
bahwa belajar adalah suatu perubahan di dalam kepribadian yang menyatakan
diri sebagai suatu pola baru dari pada reaksi yang berupa kecakapan, sikap,
kebiasaan, kepandaian, atau suatu pengertian. Hilgard dan Bower yang dikutip
Ngalim Purwanto (1997: 84) mengemukakan belajar berhubungan dengan
perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang
disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu,
dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atau dasar

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kecenderungan respon pembawaan, kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat


seseorang (misalnya kelelahan, pengaruh obat, dan sebagainya).
Berdasarkan pendapat dari para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa
belajar merupakan suatu proses dari perkembangan hidup manusia, dengan
belajar manusia melakukan perubahan-perubahan dalam hidupnya,
kemampuan dan prestasi dalam hidup manusia merupakan hasil dari belajar.
Belajar merupakan suatu proses, bukan suatu hasil, karena itu belajar
berlangsung secara aktif dan berkelanjutan dengan menggunakan berbagai
bentuk perbuatan.
b. Pengertian Mengajar
Mengajar telah menjadi persoalan para ahli pendidikan sejak dahulu
sampai sekarang. Menurut definisi lama mengajar ialah penyerahan
kebudayaan berupa pengalaman-pengalaman dan kecakapan kepada anak
didik, usaha mewariskan kebudayaan masyarakat pada generasi berikut
sebagai generasi penerus. Definisi mengajar menurut W. H. Burton dalam
Mohammad Uzer Usman (2010: 21) Teaching is the guidance of learning
activities, teacing is for purpose of aiding the pupil learn dimaksudkan
mengajar adalah bimbingan kepada siswa dalam proses belajar. Definisi ini
menunjukkan bahwa yang aktif dalam kegiatan belajar adalah siswa, yang
mengalami proses belajar. Menurut Cece Wijaya dan Tabrani Rusyan (1991:
3) definisi mengajar adalah membimbing kegiatan siswa belajar, mengajar
adalah mengatur dan mengorganisasi lingkungan yang ada disekitar siswa
sehingga dapat mendorong dan menumbuhkan siswa untuk melakukan
kegiatan belajar. I G.A.K Wardani (2004: 4.5) juga menyatakan bahwa
mengajar adalah pekerjaan transformatif yang dilakukan oleh seorang guru
atau suatu tim dalam rangka mengoptimalisasikan pencapaian tingkat
kematangan dan tujuan belajar siswa.
Menurut Mohhammad Uzer Usman (2010: 6) mengajar merupakan
suatu perbuatan atau pekerjaan yang bersifat unik dan sederhana, dan pada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

prinsipnya mengajar adalah membimbing kegiatan siswa belajar, aktivitas


belajar ada pada siswa bukan pada guru. Dengan demikian, mengajar adalah
mengatur dan mengkondisikan lingkungan belajar siswa sehingga terjadi
interaksi siswa dengan lingkungan belajarnya untuk mencapai tujuan dari
belajar siswa. Peranan guru sebagai pengajar merencanakan, melaksanakan,
mengorganisasi, dan mengawasi proses belajar siswa. Kesimpulan yang dapat
diambil yaitu bahwa mengajar adalah merupakan tugas guru yang sangat unik,
berhadapan dengan sekelompok siswa, merupakan makhluk hidup yang
memerlukan bimbingan dan pembinaan untuk menuju kedewasaan. Siswa
setelah mengalami proses pendidikan dan pengajaran diharapkan telah
menjadi manusia dewasa yang sadar tanggung jawab terhadap diri sendiri,
dapat mandiri, berpribadi dan bermoral. Tugas guru adalah berusaha mengajar
dengan sebaik-baiknya dengan berusaha menguasai kompetensi professional
dalam pembelajaran.
c. Pengertian Pembelajaran
Pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang dilakukan melalui
usaha-usaha yang terencana dalam memanipulasi sumber-sumber belajar agar
terjadi proses belajar. Ciri utama dari kegiatan pembelajaran adalah adanya
interaksi antara si belajar dengan guru, teman-temannya, media, ataupun
dengan berbagai sumber-sumber belajar yang terdapat di lingkungannya
(Asep Herry Hernawan dkk, 2010: 7.23).
“ Pembelajaran pada hakikatnya adalah proses interaksi peserta didik dengan
pendidik dan sumber belajar pada lingkungan belajar sehingga terjadi
perubahan perilaku kearah yang lebih baik ” (Enco Mulyasa, 2010: 103)
Sedangkan Interaksi peserta didik, pendidik dan dengan lingkungan belajar
dirancang untuk mencapai tujuan pembelajaran, di antaranya peningkatan
motivasi dan hasil belajar siswa. Kompetensi berupa sejumlah kemampuan
bermakna dalam aspek pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan
keterampilan gerak (psikomotor) yang dimiliki peserta didik sebagai hasil
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

belajar, atau setelah mereka menyelesaikan pengalaman belajarnya. Sejumlah


kemampuan bermakna yang diperoleh peserta didik sebagai hasil belajar
disebut juga perubahan tingkah laku baru sebagai akibat adanya proses
pembelajaran.
Menurut Gagne yang dikutip Asep Herry Hernawan dkk, (2010:
10.21-10.22) perubahan tingkah laku dalam belajar mencakup keterampilan
intelektual, strategi kognitif, informasi verbal, sikap, dan ketrampilan
motorik. Bloom dkk, yang di kutip Asep Herry Hernawan dkk, (2010: 10.23)
menyatakan bahwa tujuan atau hasil belajar dibedakan menjadi tiga aspek
yakni aspek kognitif (intelektual, pengetahuan), aspek afektif (sikap), dan
aspek psikomotor (ketrampilan gerak). Dengan demikian pembelajaran dapat
diartikan sebagai kegiatan yang sistematik dan terarah yang dilakukan oleh
guru untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan.
d. Hasil Belajar
Hasil proses pembelajaran ialah perubahan tingkah laku individu.
Individu akan memperoleh perilaku yang aktif, berkesinambungan, menetap,
fungsional, positif, disadari, bertujuan dan terarah. Perubahan perilaku sebagai
hasil pembelajaran ialah perilaku secara keseluruhan yang mencakup aspek
kognitif, afektif, konatif, dan motorik. (I G.A.K Wardani , 2004: 2.5)
Kemudian Asep Herry Hernawan (2010: 17) mengutip beberapa pakar
yang menyebutkan adanya beberapa jenis perilaku sebagai hasil pembelajaran
yaitu : Bloom dkk (1956) menyebutkan ada tiga kawasan perilaku sebagai
hasil pembelajaran, yaitu: kognitif, afektif, dan psikomotorik. Sedangkan
pakar lain yaitu Robert Gagne (1977) mengemukakan bahwa hasil
pembelajaran ialah berupa kecakapan yang meliputi: keterampilan intelektual,
kemampuan mengungkapkan informasi dalam bentuk verbal, strategi bepikir,
keterampilan gerak, emosi dan perasaan. Dengan memperhatikan pengertian
hasil pembelajaran di atas, maka hasil proses pembelajaran ialah perubahan
perilaku individu yang menetap, fungsional, positif, dan disadari yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

mencakup seluruh aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Untuk mencapai


prestasi belajar siswa sebagaimana yang diharapkan, maka perlu diperhatikan
beberapa faktor yang mempengaruhi.
Menurut Subagiyo, dkk (2003: 9.22-9.40) prestasi belajar dapat
dipengaruhi oleh faktor intern yaitu faktor yang timbul dari dalam diri
individu itu sendiri, dan faktor ekstern yaitu faktor yang berasal dari luar
individu. Adapun yang dapat digolongkan ke dalam faktor intern yaitu: (a)
Kecerdasan/intelegensi adalah kemampuan belajar disertai kecakapan untuk
menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapinya. (b) Bakat adalah
kemampuan sifat dasar pembawaan untuk melakukan sesuatu. (c) Minat dapat
diartikan sebagai kondisi keinginan untuk mengetahui atau mempelajari
tentang sesuatu kualitas yang menggerakkan perhatian atau rasa ingin tahu
terhadap sesuatu yang menjadi perhatian. (d) Motivasi dalam belajar adalah
faktor yang penting karena hal tersebut merupakan keadaan yang mendorong
siswa untuk melakukan belajar. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan
bahwa hasil belajar siswa dipengaruhi oleh beberapa hal yang berasal dari
dalam diri individu dan luar individu seseorang, di mana kedua hal tersebut
harus diperhatikan tanpa ada sesuatu yang dikhususkan sehingga prestasi atau
hasil belajar yang didapatkan menjadi maksimal.
5. Teori Belajar Gerak (Motor Learning)
Konsep belajar motorik telah banyak dikemukakan oleh para ahli di
antaranya adalah oleh Bloom dkk, yang dikutip Asep Herry Hernawan, (2010:
10.33) mengemukakan bahwa belajar gerak meliputi lima tahap. Pertama, tahap
persepsi, yakni kemampuan individu dalam menggunakan indranya, memilih
isyarat, dan menerjemahkan isyarat tersebut ke dalam bentuk gerakan. Kedua,
tahap kesiapan melakukan suatu gerakan. Ketiga, tahap gerakan terbimbing, yaitu
kemampuan melakukan gerakan yang sesuai dengan prosedur. Keempat bertindak
secara mekanis yaitu kemampuan yang ditunjukan melalui kelancaran,

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kemudahan, serta ketetapan melakukan gerakan tersebut. Kelima gerakan


kompleks kemampuan gerakan yang dapat dilakukan secara otomatis.
Menurut Charles Galloway yang dikutip Sugiyanto (2003: 7.34) belajar
adalah perubahan kecenderungan tingkah laku yang relatif permanen, yang
merupakan hasil dan berbuat berulang-ulang. Selanjutnya John N. Drowtzky
dalam Sugiyanto (2003: 7.37) mengartikan belajar gerak adalah sebagai berikut:
belajar gerak adalah belajar yang diwujudkan melalui respon-respon muscular
yang diekspresikan dalam gerakan tubuh atau bagian tubuh. Dengan demikian dari
definisi di atas dapat disimpulkan bahwa belajar gerak adalah suatu proses yang
berkaitandengan perubahan yang bersifat permanen untuk meningkatkan kualitas
keterampilan gerak sebagai akibat dari pengalaman dan latihan. Berdasarkan
dengan tahap belajar keterampilan motorik menurut Fitts dan Posner yang dikutip
Sugiyanto, (2003: 9.4) merinci fase belajar gerak menjadi: fase kognitif, fase
asosiatif, dan fase otomatis. Dari ketiga fase belajar keterampilan motorik tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut: Fase kognitif, yaitu tahap di mana siswa baru
belajar suatu keterampilan olahraga ialah bagaimana siswa dapat melakukan tugas
gerak dan keterampilan tersebut. Karena itu siswa harus membutuhkan informasi
tentang konsep belajar keterampilan gerak dan hal ini terjadi pada awal siswa
belajar gerak yang disebut tahap kognitif. Fase asosiatif, yaitu tahap setelah siswa
melalui fase kognitif, awal fase ini ditandai oleh pelaksanaan tugas gerak yang
dilakukan siswa yang semakin baik. Pada fase ini gerakan siswa telah
terkoordinasi, kemudian secara bertahap pola geraknya semakin konsisten. Dalam
tahap ini siswa lebih memusatkan perhatian bagaimana melakukan pola gerakan
dengan baik, bukan lagi mencari pola gerak yang akan dilakukannya. Fase
otomatis, yaitu setelah siswa melakukan fase kognitif, fase asosiatif, akhirnya
sampailah pada fase otomatis. Pada fase ini keterampilan gerak telah dilakukan
siswa dengan baik dan cermat dan lancar tanpa dipikirkan lagi.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar gerak
merupakan suatu proses yang di dalamnya terjadi penyampaian informasi,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pemberian latihan dan perubahan yang terjadi akibat latihan relatif permanen.
Penyampaian informasi ini sebagai awal dari proses belajar gerak atau sebagai
dasar dari belajar gerak, penyampai informasi dalam belajar gerak dapat berupa
penjelasan dan pemberian contoh gerakan. Proses selanjutnya dari belajar gerak
adalah pemberian latihan, dalam hal ini tidak jauh berbeda dengan belajar pada
umumnya, karena dalam belajar pada umumnya pemberian pengalaman atau
latihan lewat latihan-latihan soal atau yang sifatnya teori, sedangkan pada belajar
gerak prosesnya tidak jauh berbeda melainkan latihan-latihan yang digunakan
berupa praktik atau yang berhubungan dengan gerak.
Proses belajar gerak ini akan menuju pada keterampilan gerak atau
penampilan geraknya akan meningkat. Proses kematangan dan pertumbuhan dapat
meningkatkan kemampuan seseorang tanpa melalui latihan, misalkan keterampilan
anak dalam berlari, tanpa berlatih dalam hal yang sebenarnya, kemampuan berlari
akan berkembang dengan sendirinya karena adanya pengaruh kematangan.
Perubahan keterampilan anak dalam hal ini bukan merupakan belajar gerak karena
perubahan tersebut bukan dari hasil latihan. Perubahan yang terjadi relatif
permanen, pemberian latihan atau pengalaman gerak ini akan masuk pada sistem
memori otak, proses ini akan menyebabkan perubahan yang relatif permanen.
Kejadian semacam ini tidak dapat diamati secara langsung, akan tetapi perubahan-
perubahan yang terjadi lewat penampilan geraknya dapat diamati secara langsung.
Kemampuan akibat latihan ini akan tersimpan dalam memori otak sehingga
sewaktu-waktu di butuhkan akan dapat digunakan.
6. Tinjauan Permainan
a. Teori Permainan
“Anak bermain berarti anak mengerjakan sesuatu permainan, sedang
permainan merupakan sesuatu yang dikenai kerja bermain” (Sukintaka, 1991:
1) Oleh karena itu, dalam penelitian ini tidak dapat dihindarkan penggunaan
ke dua istilah itu sekaligus. Menurut I G.A.K Wardani (2004: 2.27) bermain
merupakan salah satu sisi dari kehidupan anak secara keseluruhan. Kehidupan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

anak akan kurang bermakna tanpa disertai kegiatan bermain, bermain


memberikan kesenangan bagi anak. Oleh karna itu kegiatan bermain
merupakan sesuatu hal yang sangat menunjang bagi perkembangan anak, anak
akan memperoleh kemajuan dalam proses perkembangannya melalui kegiatan
bermain. Dalam bermain anak belajar berbagai aturan, belajar bergaul dengan
jenis yang sama atau berbeda, mengembangkan kreativitas dan sebagainya.
Dalam hubungan ini, bermain merupakan ciri kegiatan belajar anak sekolah
dasar. Proses pembelajaran harus berlangsung dalam suasana yang
menyenangkan sebagaimana dalam permainan. Ngalim Purwanto (1997: 87)
menyatakan bahwa dalam bermain juga terjadi proses belajar, persamaannya
ialah bahwa dalam belajar dan bermain keduanya terjadi perubahan, yang
dapat mengubah tingkah laku, sikap dan pengalaman kegiatan belajar dan
bermain mempunyai tujuan yang terletak pada masa depan, masa kemudian.
Permainan dalam dunia anak dapat memberikan suatu kesenangan
atau pun kegembiraan, dalam bermain anak dapat bebas meluapkan emosi dan
tenaga yang berlebih dalam diri anak. Adanya unsur senang, gembira dalam
diri anak maka permainan dapat sebagai alat pendidikan. Belajar pada anak
adalah bermain. Permainan yang telah lama dikenal oleh anak-anak dan orang
tua, laki-laki maupun wanita, mampu mengerakan untuk berlatih, gembira dan
rileks.
Permainan merupakan komponen pokok pada program pendidikan
jasmani. Drijarkara yang dikutip Sukintaka, (1991: 6) menyatakan bahwa
dorongan untuk bermain itu ada pada setiap manusia, lebih-lebih pada anak-
anak atau remaja, oleh sebab itu permainan dipergunakan untuk pendidikan.
Gutsmuths, Montessori, dan Frobel dalam Soetoto Pontjopoetro dkk, (2004:
1.10) menganjurkan supaya bermain dijadikan sebagai alat pendidikan yang
utama. Artinya bermain digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan
keterampilan dan kemampuan tertentu pada anak. Berdasarkan beberapa teori
permainan di atas, dapat disimpulkan bahwa bermain dapat digunakan sebagai
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

alat pendidikan. Bermain menumbuhkan rasa senang, rasa senang pada


peserta didik merupakan suasana pendidikan yang baik, dengan adanya rasa
senang memudahkan dalam mendidik dan mengarahkan anak untuk mencapai
tujuan pembelajaran.
b. Fungsi Permainan
Permainan secara umum mempunyai fungsi tertentu, fungsi permainan
ini berhubungan dengan jasmaniah atau fisik dan rohaniah atau psikis.
Perkembangan dua unsur ini dapat berkembang selaras melalui aktivitas
berupa permainan. Fisik kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan,
sedangkan psikis kaitannya dengan kejujuran dan emosi. Beberapa fungsi
permainan menurut ahli yaitu:
(a) Fungsi permainan terhadap perkembangan jasmaniah, untuk meningkatkan
kondisi fisik yaitu kesehatan. (b) Fungsi permainan terhadap perkembangan
pribadi dan kejiwaan, adalah pengaruh olahraga permainan terhadap
terbentuknya sikap mental seperti: kepercayaan pada diri sendiri, sportivitas,
keseimbangan mental dan kepemimpinan. (c) Fungsi permainan terhadap
pengembangan sosial, manusia adalah makhluk sosial. Melalui permainan
interaksi antar teman, masyarakat akan lebih terbina. (Soetoto Pontjopoetro ,
2004: 1.8-1.7)
Pendekatan permainan dalam pembelajaran atletik mempunyai fungsi
tidak jauh berbeda dengan fungsi permainan secara umum, pada tahap
pendekatan bermain berfungsi untuk mengenalkan masalah gerak (movement
problem) secara jasmaniah dapat meningkatkan kekuatan, konsentrasi, reaksi
bergerak, kelentukan, daya tahan, kelincahan dan percepatan gerak,
keterampilan dan sebagainya, sedangkan dalam rohaniah atau dalam hal ini
sikap mental dapat menimbulkan rasa percaya diri, rasa keberanian, rasa
kebersamaan, disiplin diri dan sebagainya. Gerakan-gerakan dalam permainan
ini merupakan gerakan dasar dari pembelajaran atletik khususnya dalam
lompat tinggi gaya scots dengan demikian dalam bermain siswa sudah belajar
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

apa yang akan dilakukan selanjutnya kaitannya dengan materi pembelajaran,


dengan demikian siswa diharapkan lebih termotivasi dalam pembelajaran dan
tidak begitu kesulitan dalam mengikuti pembelajaran.
7. Pendidikan Bermain
Menurut Sukintaka (1991:98) segala usaha pendidikan harus
disesuaikan dengan tahap perkembangan anak. Pendidikan pada hakekatnya
usaha bantuan pada anak agar anak mampu menolong dirinya sendiri. Peran
utama pendidikan sangat ditekankan pada ibu yang dapat memberikan sendi-
sendi dalam pendidikan jasmani, budi pekerti, dan agama makna bermain
dalam pendidikan sebagai berikut:
Bermain merupakan aktivitas yang dilakukan dengan suka rela atas
dasar rasa senang, bermain dengan rasa senang, menumbuhkan aktivitas yang
dilakukan secara spontan, bermain dengan rasa senang, untuk memperoleh
kesenangan, menimbulkan kesadaran agar bermain dengan baik, kadang-
kadang memerlukan kerja sama dengan teman, menghormati lawan,
mengetahui kemampuan teman, patuh pada peraturan, dan mengetahui
kemampuan dirinya sendiri. (Syamsir Azis , 2003: 3.44). Karakteristik dan
keinginan siswa kelas 5 - 6 SD adalah sebagai berikut:
1) Pengembangan koordinasi lebih tinggi 2) Perbedaan seks lebih besar pada
skill, minat lebih mungkin beberapa permainan dan pertandingan dengan
sejenis, hal hal bermain lebih bersemangat dan lebih besar dari perempuan 3)
Skill dan fisik yang baik adalah penting pada penerimaan sosial 4) Kemauan
tinggi kelompok dan gang, kesetiaan pada kelompok tinggi 5) Kesadaran
sosial dan keinginan untuk peraturan dan kekal dengan peraturan permainan
dan tanggung jawab yang lebih besar 6) Pengurangan kelenturan 7)
Pertumbuhan otot pada anak laki-laki meningkat, kebanyakan anak
perempuan dalam masa puber 8) Ingin untuk belajar skill yang lebih sulit,
latihan skill yang lebih murni, menggunakan skill dalam permainan, terus
menerus dan tersusun 9) Pemisahan seks dalam kelas dalam kegiatan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pertandingan kontak 10) Pengajaran dan bagian latihan dalam skill, pengertian
elemen fitness, pertumbuhan dan kemampuan anak pada masa puber 11) Ingin
mempunyai kelompok dengan beberapa ketetapan, membuat peraturan,
keputusan dan berada pada keputusan grup, masa yang lama dari anggota pada
satu regu atau tim 12) Partisipasi pada penyusunan peraturan, kesempatan
untuk kapten atau ketua regu, membuat pilihan dalam kegiatan 13)
Menginginkan untuk memelihara kelenturan dalam batas struktural 14)
Tertarik pada pemeliharaan postur tubuh yang bagus, tingkat kesegaran,
membangun sikap yang baik melalui kegiatan dan lebih cakap bagi anak
perempuan, pengetahuan metode peningkatan kekuatan dan daya tahan.
(Evelyn l Schurr dalam Syamsir Azis , 2003: 9.5)
Dari beberapa ciri diatas tampak bahwa karakteristik siswa kelas 5 - 6
sekolah dasar adalah dalam karakter bermain dan guru harus menyesuaikan
tahap tahap pembelajaran dengan karakteristik anak yang lebih suka bermain.
Berdasarkan observasi dalam pembelajaran atletik, pada umumnya kurang
adanya unsur permainan di dalam proses pembelajarannya, keadaan semacam
ini dapat menimbulkan suatu kejenuhan dalam diri anak atau siswa.
Kejenuhan-kejenuhan ini dapat berdampak pada pembelajaran, sehingga siswa
menjadi malas dalam beraktivitas. Pemberian variasi pembelajaran berupa
permainan-permainan yang mengarah pada teknik dapat menjadi solusi.
Misalnya pada pembelajaran atletik nomor lompat tinggi, permainan yang
digunakan berupa permainan-permainan yang mengandung unsur melompat
di dalamnya. Menurut Eddy Purnomo dan Dapan (2011: 40) tahap bermain
dalam pembelajaran atletik maksudnya adalah penambahan unsur bermain
dalam pembelajaran atletik. Pada tahap bermain bertujuan mengenalkan
masalah gerak (movement problem). Bermain dalam hal ini sebagai
pendekatan ke teknik yang akan dilaksanakan atau permainannya disesuaikan
dengan materi yang akan dilaksanakan. Misalkan dalam materi lompat, contoh
bermainnya adalah memindahkan benda ke tempat yang lain dengan lari
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

engklek, berlari dengan melewati rintangan dan sebagainya. Pendekatan


permainan ini dapat dilakukan dalam nomor-nomor atletik yang lain, sehingga
diharapkan siswa menjadi termotivasi dalam mengikuti pembelajaran atletik
yang menggunakan pendekatan bermain. Menurut Jaka Sunardi (2009: 29)
secara filosofis manusia mempunyai ciri yang hakiki yaitu manusia sebagai
makhluk bermain (Homo Ludens). Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa permainan sebagai wahana pendidikan akan dapat
meningkatkan hasil pembelajaran atletik apabila guru penjasorkes memahami
peranan permainan dalam pendidikan, memilih jenis permainan yang sesuai
dengan tahap perkembangan anak, mengetahui kebutuhan anak, dan dapat
menentukan metode pembelajaran yang sesuai dengan keadaan anak.
8. Konsep Dasar Model Pembelajaran dengan Pendekatan Permainan
Kegiatan bermain merupakan suatu kegiatan yang sangat diperlukan oleh
setiap manusia tanpa memandang usia manusia tersebut. Khususnya untuk anak-
anak kegiatan bermain merupakan suatu kegiatan yang bersifat sangat penting,
sebab melalui kegiatan bermain potensi yang dimiliki oleh anak dapat tergali
secara optimal. Keinginan bermain timbul karena minat pada diri seseorang
untuk bergerak sesuai dengan kebutuhan, memelihara kondisi tubuh serta untuk
menghilangkan kejenuhan. Bermain merupakan kegiatan yang penuh daya hayal,
penuh aktivitas, dan anak-anak melakukannya dengan cara mereka sendiri
menggunakan tangan dan tubuh mereka. Terdapat beberapa ahli yang
mengemukakan pendapatnya mengenai bermain, menurut Syamsir Azis (2003:
1.4-1.5) bermain adalah suatu kegiatan yang menarik, menantang dan
menimbulkan kesenangan yang unik, baik dilakukan oleh seorang atau lebih,
yang dilakukan oleh anak-anak atau orang dewasa, tua atau muda, orang miskin
atau kaya, laki laki atau perempuan. Jadi bermain biasa dilakukan oleh siapa saja
karna merupakan ciri manusia sebagai mahluk bermain (Homo Ludens). John
Dewey yang dikutip oleh Soetoto Pontjopoetro dkk, (2004: 1.3) mengemukakan
bahwa bermain adalah suatu pandangan atau sikap hidup yang dapat dilakukan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dalam segala situasi. Lawrence Jacks dalam Soetoto Pontjopoetro dkk, (2004:
1.4) mengemukakan bahwa kepentingan bermain juga terletak pada sifat atau
unsur perangsang terhadap keinginan belajar atau pendidikan. Berdasarkan
pendapat dari beberapa para ahli tentang definisi bermain, dapat disimpulkan
bahwa bermain merupakan suatu kegiatan yang menarik, menantang dan
menimbulkan kesenangan yang unik sehingga dapat merangsang kreativitas serta
daya fikir anak secara optimal tanpa anak tersebut merasa terpaksa untuk
melakukannya. Kegiatan bermain untuk bagi anak-anak dapat memberi pelajaran
atau pengalaman bagaimana beradaptasi baik itu dengan lingkungan, orang lain,
maupun dengan dirinya sendiri. Dalam kegiatan bermain anak-anak tidak
sungguh-sungguh, melainkan bertindak sesuai perannya, akan tetapi walaupun
demikian bermain merupakan suatu hal yang serius bagi mereka. Dalam
penelitian ini digunakan karet gelang dan kardus bekas yang dipakai sebagai
rintangan dalam pembelajaran lompat tinggi melalui pendekatan permainan.
Rintangan yang dijadikan alat harus sesuai dengan tingkat kesulitan anak atau
siswa, yaitu tinggi rendahnya dan jauh dekatnya agar anak bisa lebih mudah
untuk melompatinya, supaya terhindar dari sesuatu yang dapat membahayakan.
Menurut I G.A.K Wardani (2004: 2.39) menyatakan bahwa syarat media
pembelajaran yang baik yaitu fleksibel (dapat digunakan dalam berbagai situasi),
tahan lama (tidak rusak dalam beberapa kali pakai), dan kenyamanan dalam
penggunaanya. Karet dan kardus bekas merupakan alat yang nyaman dan tidak
membahayakan, apabila bagian tubuh siswa bersentuhan tidak akan merasa sakit.
Karet dan kardus bekas juga bersifat fleksibel yaitu dapat digunakan dalam
berbagai situasi juga tahan lama apabila tersentuh akan cepat bergeser dan
terjatuh hal ini tidak akan membahayakan siswa apabila melompatinya. Selain itu
menurut Depdikbud (1991: 5) keuntungan penggunaan alat bantu karet dan
kardus bekas adalah mudah di dapat disekitar lingkungan sekolah, dapat
disiapkan sendiri oleh guru dan siswa, dan memanfaatkan barang barang yang
tidak terpakai yang ada di lingkungan sekolah juga dapat disiapkan sesuai dengan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kebutuhan siswa karna harganya yang murah. Oleh sebab itu dalam penelitian ini
digunakan karet dan kardus bekas sebagai alat bantu untuk pendekatan
permainan dalam pembelajaran lompat tinggi, karena tidak akan membahayakan
siswa dan mudah untuk mendapatkannya.
B. Kerangka Berpikir
Berdasarkan kajian teoritis, penulis mengajukan kerangka pemikiran
penelitian ini adalah sebagai berikut: bahwa dengan pendekatan permainan melompat
yang menarik dan terdapat unsur perlombaan seperti melompati karet, dan kardus
siswa akan aktif berpartisipasi dalam proses pembelajaran. Secara nyata siswa
bermain tetapi sebenarnya mereka sedang melakukan latihan, tahap-tahap dalam
lompat tinggi yang terdiri dari awalan, tolakan, saat di udara dan pendaratan.
Permainan disini tentunya bukan permainan yang tidak terarah, tetapi permainan
untuk mencapai tujuan yaitu hasil proses pembelajaran lompat tinggi siswa
meningkat. Permainan adalah sesuatu yang menyenangkan untuk dilakukan serta
menghibur.
Permainan melompati karet dan kardus akan lebih menarik sebab didalamnya
ada unsur kompetisi. Siswa antar kelompoknya akan berlomba-lomba untuk
mencapai kemenangan, di sini siswa akan mengerahkan kemampuan dan
kemahirannya untuk meraih kemenangan, sehingga permainan akan lebih menarik.
Permainan memungkinkan adanya partisipasi aktif dari siswa untuk belajar. Seperti
diketahui belajar yang baik adalah adalah belajar yang aktif. Permainan mempunyai
kemampuan melibatkan siswa dalam proses belajar secara aktif. Dalam proses
kegiatan pembelajaran yang menggunakan permainan, peranan guru tidak kelihatan,
tetapi interaksi antara siswa atau warga belajar lebih mendominasi. Oleh sebab itu
model pembelajaran lompat tinggi dengan pendekatan permainan dikembangkan,
salah satunya dengan tujuan supaya siswa dalam melakukan gerakan lompatan tidak
merasa terbebani. Melalui pendekatan permainan ini secara tidak sengaja siswa telah
melakukan tahap-tahap dalam lompat tinggi, yaitu mulai dari awalan, tolakan, saat
melayang dan pendaratan. Pelaksanaan model pembelajaran ini akan dilaksanakan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

beberapa siklus, sampai dengan peningkatan hasil proses pembelajaran tercapai.


Evaluasi proses pembelajaran akan dilaksanakan setiap 2 kali pertemuan dengan
model penilaian proses keterampilan lompat tinggi. Setiap selesai evaluasi, guru,
kolaborator dan siswa melakukan refleksi dengan berdiskusi untuk melaksanakan
siklus selanjutnya. Dengan demikian diduga dengan pendekatan permainan
melompati karet dan kardus hasil proses pembelajaran keterampilan lompat tinggi
siswa kelas V SD Negeri 1 Kedalon meningkat. Secara rinci diilustrasikan kerangka
pemikiran penelitian seperti terlihat pada gambar berikut ini:

Guru: Belum Siswa : Minat dan


KONDISI AWAL menggunakan hasil belajar lompat
pendekatan bermain tinggi rendah ( Y)

Guru : Siklus Memanfaatkan


TINDAKAN Menggunakan model pembelajaran
pembelajaran dengan dengan bermain
pendekatan bermain
(X)

Diduga melalui (x)


dapat meningkatkan siklus selanjutnya
(Y) siswa kelas V memanfaatkan model
KONDISI AKHIR permainan koordinasi
SD N 1 Kedalon
siswa melaksanakan

Gambar 3.3 Ilustrasi Kerangka Berpikir

commit to user

Anda mungkin juga menyukai