GB 47-Legenda Yang Hilang
GB 47-Legenda Yang Hilang
Chapter 1
JUSTIN CLARK mengepit sarung tangannya di balik lengan jaket tebal birunya. Ia
melindungi matanya dengan sebelah tangan dan memandang berkeliling.
"Dad tidak kelihatan," katanya pada adik perempuannya, Marissa. "Kalau kau
gimana? Bisa lihat Dad atau tidak?"
"Aku malah tidak bisa lihat apa-apa!" balas Marissa. Ia terpaksa berteriak untuk
mengalahkan suara angin yang menderu-deru. "Yang kulihat cuma es!"
Anjing penarik kereta salju menggonggong dan mengguncang-guncangkan badan.
Mereka sudah tidak sabar untuk berangkat lagi.
Justin memicingkan mata. Ia memandang ke kanan lalu ke kiri.
Hamparan es yang membentang di sekeliling mereka tampak licin dan berkilau
keperakan karena memantulkan sinar matahari yang cerah.
Semakin jauh permukaan es tampak semakin gelap, hampir-hampir berwarna biru.
Sampai akhirnya seakan-akan berbaur dengan langit.
Justin tidak bisa memastikan di mana batas antara es dan langit.
"Brrr, dinginnya," gumam Marissa. Tiupan angin kencang menyebabkan tudung
jaket tebalnya terangkat, memperlihatkan rambutnya yang merah. Dengan cepat
kedua tangannya yang terbungkus sarung tangan menarik tudung itu ke tempat
semula.
Justin menggosok-gosok hidungnya yang agak pesek. Ia menempelkan sarung
tangan bulunya ke pipinya yang membeku, supaya hangat.
Anjing-anjing mereka semakin gelisah. Justin mencengkeram erat-erat tali kekang
kereta salju agar tidak terseret anjing-anjing itu.
"Kita harus bagaimana sekarang?" tanya Marissa. Suaranya agak gemetar.
Justin langsung tahu bahwa adiknya sama takutnya dengan dirinya sendiri. Ia naik
ke bagian belakang kereta salju dan berdiri di sana.
"Sebaiknya kita jalan lagi. Kita harus jalan terus sampai kita menemukan Dad."
Marissa menggeleng. Ia menahan tudungnya dengan kedua tangan. "Mungkin lebih
baik kita tetap di sini," katanya. "Jadi Dad bakal lebih mudah menemukan kita."
Justin memandangnya dengan kening berkerut. Kok penampilan Marissa jadi lain?
ia bertanya-tanya. Kemudian ia menyadari sebabnya—bintik-bintik di wajah
adiknya mendadak hilang karena udara dingin!
"Terlalu dingin untuk diam di satu tempat," ujar Justin. "Kita bakal lebih hangat
kalau kita bergerak terus."
Ia membantu Marissa naik ke kereta. Justin berusia dua belas tahun, hanya setahun
lebih tua dari Marissa. Tapi badannya besar dan kekar, sedangkan adiknya kecil
dan kurus.
Anjing-anjing mereka menggerung-gerung, cakarnya menggaruk-garuk permukaan
es.
"Aku benci Kutub Selatan!" pekik Marissa sambil meraih tali kekang. "Aku benci
semua yang berhubungan dengan tempat ini. Kutub Selatan-Antartika—mengeja
namanya saja aku tidak bisa!"
Oh-oh, pikir Justin. Mulai lagi, deh. Kalau Marissa sudah mulai ngomel, ia bakal
merepet terus. Susah berhenti.
"Jangan kuatir," ia berkata cepat-cepat. "Begitu kita menemukan Dad, semuanya
akan Beres. Dan kita bakal mengalami setumpuk petualangan seru."
"Aku benci petualangan seru!" balas Marissa. "Aku benci hampir seperti aku
membenci Antartika! Aku tak habis pikir. Dad jauh-jauh mengajak kita ke tempat
mengerikan ini—dan sekarang dia malah menghilang tanpa jejak!"
Justin memandang langit. Matahari sudah siap terbenam.
Berkas-berkas sinar keemasan membuat permukaan es tampak bercahaya.
"Kita akan segera menemukan Dad," kata Justin. "Aku yakin." Ia menarik
tudungnya hingga menutupi kening. "Sekarang kita bergerak, oke? Sebelum kita
mati beku di sini."
Ia menyentakkan tali kekang dan dengan suara berat memberi aba-aba kepada
keenam anjing mereka. "Mush! Mush!"
Anjing-anjing itu langsung merunduk dan melesat maju. Kereta salju berguncang
keras ketika mulai meluncur.
"Heiiii!"
Justin memekik kaget karena kehilangan keseimbangan. Tangannya yang
terbungkus sarung tangan menggapai-gapai, berusaha meraih tali kekang kereta.
Tapi meleset. Dan ia pun terjatuh dari kereta. Punggungnya membentur lapisan es
yang keras.
"Uhh!"
Ia merasakan udara terdorong keluar dari paru-parunya. Lengan dan kakinya
berayun-ayun di udara, bagaikan seekor kumbang yang terbalik.
Dengan susah-payah ia berusaha duduk. Matanya berkedip-kedip. Permukaan es di
sekelilingnya berkilauan. Saking silaunya, ia nyaris tidak bisa melihat kereta salju
yang terus melaju, semakin jauh.
"Justin—aku tidak bisa menghentikannya!" Marissa memekik. Teriakannya yang
melengking tinggi nyaris tak terdengar di tengah angin dingin yang menderu-deru.
"Marissa...!" Justin memanggil adiknya.
"Aku tidak bisa menghentikannya! Tolong aku! Tolong!" Suara Marissa terdengar
sayup-sayup dari kejauhan.
Chapter 2
SERTA-MERTA Justin bangkit dan mulai berlari mengejar kereta salju itu.
Ia terjatuh lagi. Kali ini mukanya lebih dulu menghantam tanah.
Bagaimana mungkin aku lari dengan sepatu salju ini? ia bertanya-tanya. Rasanya
seperti memakai raket tenis di kaki!
Tapi ia tidak punya pilihan. Ia kembali berdiri dan berlari lagi. Ia harus bisa
mengejar kereta itu. Ia tidak mungkin membiarkan Marissa seorang diri
menghadapi udara yang dingin membeku dan hamparan es yang tanpa batas.
"Aku datang!" ia berseru. "Marissa—aku datang!"
Justin merunduk agar wajahnya terlindung dari terpaan angin. Dengan susah-payah
ia mengayunkan langkah di permukaan es yang berselimut salju. Satu langkah.
Satu lagi. Dan satu lagi.
Sambil berlari sekencang mungkin, ia mengangkat kepala dan memandang ke
kejauhan. Kereta salju mereka hanya tampak seperti titik gelap di tengah padang es
yang berkilauan. Titik yang sangat kecil.
"Marissa...!" ia berseru dengan terengah-engah. "Hentikan keretanya! Tarik
talinya! Tarik!"
Tapi ia tahu Marissa tak bisa mendengarnya.
Jantungnya berdegup-degup kencang. Pinggangnya serasa ditusuk-tusuk. Kakinya
nyaris kejang karena beban sepatu salju.
Tapi ia maju terus. Terus berlari tanpa memperlambat langkah sedikit pun.
Kereta salju mereka kini tampak lebih besar. Lebih dekat.
"Hah!" Embusan napasnya menimbulkan uap putih yang melayang di atas
kepalanya.
Berhasilkah aku mengejarnya? ia bertanya dalam hati.
Ya!
Kereta salju itu makin jelas sekarang. Makin dekat.
Dilihatnya Marissa berpegangan dengan satu tangan, tangannya yang lain
melambai-lambai ke arahnya.
"Ba-bagaimana caramu menghentikan kereta salju?" terbata-bata Justin bertanya
ketika menghampiri adiknya.
Mata Marissa yang biru terbelalak lebar karena ngeri. Dagunya gemetaran. "Bukan
aku yang menghentikannya," jawabnya.
"Tapi..."
"Keretanya berhenti sendiri," Marissa menjelaskan. "Semua anjing—semua anjing
mendadak berhenti. Aku ngeri, Justin. Mereka berhenti sendiri." Ia menunjuk ke
depan. "Coba lihat mereka."
Justin memandang anjing-anjing di depan kereta. Keenam ekor anjing itu
merunduk dengan punggung melengkung. Mereka merintih-rintih sambil berdesak-
desakan.
"Ada sesuatu yang membuat mereka ketakutan," gumam Justin.
Ia sendiri jadi merinding.
"Mereka tidak mau bergerak," ujar Marissa. "Mereka cuma berdiri dan merintih di
situ. Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
Justin tidak menjawab. Ia memandang jauh ke depan, melewati kereta salju.
Melewati anjing-anjing yang ketakutan.
Ia mengamati pemandangan yang menakjubkan.
Sebuah danau biru. Berbentuk hampir bulat sempurna, seakan-akan sengaja dibuat
di tengah es. Sebuah kolam air yang memantulkan warna biru bersih dari langit.
"Oh, wow!" Marissa memekik tertahan. Ia juga melihat pemandangan yang sama.
Di atas lempengan es yang mengambang di tengah danau kecil itu, duduk sesosok
makhluk. Makhluk itu menundukkan kepala dan membalas tatapan mereka.
Itu seekor singa laut.
Seekor singa laut biru!
"Itu singa laut yang dicari Dad!" seru Justin. Ia melangkah ke sisi adiknya. Mereka
menatap takjub pada makhluk ajaib itu.
"Satu-satunya singa laut biru di dunia," Marissa bergumam.
"Makhluk dari legenda. Tak ada yang percaya makhluk ini benar-benar ada."
Di mana Dad? Justin bertanya-tanya tanpa melepaskan pandangannya dari
binatang biru bertubuh besar itu.
Dad jauh-jauh mengajak kami ke daerah kutub untuk mencari makhluk ini, tapi
sekarang ia malah hilang—hilang!—dan cuma Marissa dan aku yang bisa
melihatnya.
"Bisakah kita mendekat?" tanya Marissa. "Bisakah kita maju sampai ke tepi air,
supaya kita bisa melihatnya lebih jelas?"
Justin ragu-ragu. "Dad bilang makhluk ini punya kekuatan gaib," ia berkata pada
adiknya. "Mungkin lebih baik kita tetap di sini saja."
"Tapi aku tidak bisa melihat jelas dari sini," Marissa memprotes.
Ia hendak melompat turun dari kereta—tapi tiba-tiba berhenti.
Mereka mendengar bunyi gemuruh.
Mula-mula gemuruh itu terdengar samar-samar, lalu bertambah keras.
"Dari mana datangnya suara itu?" tanya Marissa dengan berbisik. Mendadak ia
kembali dicekam ketakutan.
"Barangkali itu suara si singa laut?" Justin menduga-duga.
"Jangan-jangan dia mengaum."
Tapi bukan.
Bunyi itu terdengar sekali lagi. Dan kali ini lebih keras.
Bagaikan guntur.
Guntur... di bawah kaki mereka.
Kali ini lapisan es pun ikut bergetar.
Justin mendengar bunyi berderak. Ia menunduk dan melihat permukaan es mulai
retak.
"Ohh!" Ia memekik ketakutan. Serta-merta ia meraih tali kekang kereta dan
melompat naik.
"Ada apa ini?" teriak Marissa. Ia pun mencengkeram tali kekang dengan kedua
tangan. Sekali lagi terdengar bunyi gemuruh di bawah kaki mereka.
Kereta salju mereka bergeser dan mulai terguncang-guncang.
Bunyi es retak mengalahkan bunyi gemuruh yang mula-mula terdengar.
Permukaan es retak di sekeliling mereka, seakan-akan tanah hendak terbelah.
Si singa laut biru tetap duduk di tengah danau kecil dan menatap mereka dengan
tenang.
Bunyi krak yang memekakkan telinga membuat anjing-anjing melolong.
Kereta salju mereka terguncang-guncang dengan keras. Justin berpegangan seerat
mungkin.
Ia menunduk dan melihat es yang menopang mereka terbelah, terlepas dari lapisan
es lainnya. Danau biru tadi mendadak membesar. Air mengalir deras di mana-
mana.
Justin baru sadar ini bukan danau. Ini lautan—lautan yang tersembunyi di bawah
es.
"K-kita hanyut!" Marissa menjerit.
Keenam anjing mereka meraung-raung, mengalahkan bunyi berderak-derak di
sekeliling mereka. Air menerjang sisi kereta salju.
Kereta salju itu mulai terbawa arus yang deras.
Justin dan Marissa berpegangan erat-erat agar tidak terlempar dari kereta salju
yang berguncang-guncang.
Singa laut biru tadi menghilang di kejauhan.
Dan mereka terguncang-guncang hanyut ke tengah laut.
Chapter 3
Chapter 4
AKU memekik kaget. kalang-kabut aku berusaha keluar dari kantong tidur.
Dad yang lebih dulu berdiri. Belum pernah aku melihatnya bergerak secepat itu. Ia
menarik sebagian alas tenda yang terbuat dari kanvas, dan menempelkannya ke
dinding tenda yang terbakar. Apinya segera padam.
"Dad—sori," kataku dengan suara parau ketika akhirnya aku berhasil keluar dari
kantong tidur itu.
Hanya satu dinding tenda yang tersambar api. Untung saja. Daya khayalku
memang terlalu menggebu-gebu. Aku tadi langsung membayangkan kami sudah
terkepung di tengah api.
Kemungkinan besar kemampuan mengkhayal ini menurun dari Dad.
Kadang-kadang ada untungnya. Tapi kadang-kadang justru sebaliknya.
Napasku tersengal-sengal. Seluruh tubuhku gemetar.
"Sori," aku berkata sekali lagi.
"Ya ampun, hampir saja," seru Marissa. Ia juga gemetaran. "Huh Justin, kau
memang payah!"
Ia sudah berdiri di pintu tenda, siap kabur keluar.
Dad menggelengkan kepala.
"Cuma sedikit kok yang terbakar," ujarnya. "Nih, lubangnya bisa ditutup dengan
ini."
Ia segera menempelkan alas tenda yang masih dipegangnya, menutupi lubang.
"Tenda ini gampang terbakar," aku bergumam.
Dad mengerang, tapi tidak menanggapi.
"Wah, apa jadinya kalau kita harus bermalam di tengah hutan tanpa tenda?!" seru
Marissa. "Apalagi di negeri aneh ini!"
"Semuanya sudah beres," Dad menenangkan. "Tapi bukan berkat kalian," ia
menambahkan sambil pasang tampang kecut.
"Lho? Apa maksudnya?" tanyaku sambil meluruskan kaki.
"Kalian tidak banyak membantu," Dad menggerutu.
"Tapi kan bukan aku yang mencoba membakar tenda!" balas Marissa dengan nada
tinggi.
"Tadi pagi kau nekat jalan sendiri dan akhirnya tersesat," Dad mengingatkannya.
"Habis kupikir aku melihat tupai," Marissa membela diri.
"Paling-paling cuma bayangannya sendiri," aku menimpali.
"Jangan banyak omong, Justin," gumam Marissa.
"Dan tadi sore kalian berdua tidak mau mencari kayu bakar," Dad menambahkan.
"Kami capek," aku menjelaskan.
"Lagi pula kami tidak tahu harus cari di mana," sambung Marissa.
"Apa?" tanya Dad keras. "Kalian tidak tahu di mana harus mencari kayu bakar di
tengah hutan? Ya tentu saja di tanah."
Dad mulai naik pitam.
Memang ada benarnya, aku mengakui dalam hati. Seharusnya Marissa dan aku
lebih banyak membantu.
Bagaimanapun juga, perjalanan ini sangat penting bagi Dad. Dan seharusnya kami
bersyukur diajak olehnya.
Dad bernama Richard Clarke. Barangkali kau pernah mendengar namanya. Ia
penulis yang sangat terkenal, juga pendongeng dan pengumpul cerita.
Dad sampai keliling dunia untuk mencari cerita-cerita menarik. Pokoknya segala
macam cerita. Cerita-cerita itu lalu dijadikan buku.
Sampai sekarang Dad sudah menerbitkan sepuluh buku kumpulan cerita. Dan ia
juga sering berkeliling untuk menceritakan kisah-kisah yang telah
dikumpulkannya.
Dad sering mengalami petualangan seru pada waktu keliling dunia. Tapi perjalanan
kali ini benar-benar istimewa. Ia mengajak Marissa dan aku ke Eropa—ke tengah
hutan di negeri kecil bernama Brovania—karena ia hendak melacak kisah yang
luar biasa.
Sejak awal Dad merahasiakan tujuan perjalanannya. Baru pagi itu ia memberitahu
kami, ketika kami sedang berjalan menerobos hutan.
"Kita datang kemari, ke Brovania, untuk melacak kisah Legenda yang Hilang," ia
menjelaskan. Dicabutnya kumbang besar yang merangkak di janggutnya, dan
dibuangnya.
"Legenda yang Hilang adalah sebuah naskah yang sudah sangat kuno. Kata orang,
naskah itu tersimpan dalam peti perak," Dad melanjutkan sambil berjalan. "Tak
ada yang tahu keberadaannya selama lima ratus tahun terakhir."
"Wow," aku mendengar Marissa bergumam jauh di belakang kami. Sebentar-
sebentar ia berhenti untuk mengamati serangga dan bunga liar. Dad dan aku
terpaksa berhenti terus untuk menunggunya.
"Legenda ini tentang apa, sih?" aku bertanya.
Dad membetulkan letak ransel penuh perlengkapan yang dibawanya. "Tak ada
yang tahu," sahutnya. "Soalnya legenda itu sudah terlalu lama hilang."
Dengan parangnya ia membabat alang-alang yang menghalangi perjalanan kami.
Marissa dan aku mengikutinya melalui celah sempit di antara pepohonan.
Pepohonan di sini lebat sekali sehingga hanya sedikit sinar matahari yang mampu
menembus sampai ke tanah. Meskipun hari masih pagi, keadaan di sekeliling kami
nyaris gelap gulita.
"Kita akan sangat beruntung kalau bisa menemukan Legenda yang Hilang," ujar
Dad. "Legenda itu akan mengubah hidup kita."
"Apa maksudnya?" tanyaku.
Paras Dad jadi serius. "Naskah kuno itu bernilai sangat tinggi," katanya. "Seluruh
dunia penasaran dengannya. Seluruh dunia ingin membacanya. Sebab tak ada yang
tahu siapa penulisnya—atau apa isinya."
***
Chapter 5
UDARA di dalam tenda mendadak terasa dingin di kulitku yang panas. Keringatku
bercucuran.
Aku menajamkan telinga.
Aku mendengar bunyi langkah kaki. Disusul suara menggeram.
Dan suara kersak-kersak daun kering yang terinjak di tanah.
Jantungku berdegup kencang. Pelan-pelan aku keluar dari kantong tidur.
"Oh!" Aku memekik tertahan ketika seseorang mendorong dan melewatiku.
"Dad...?"
Bukan. Dad masih mendengkur di seberang.
"Marissa...," aku berbisik.
"Ssst!" Ia menempelkan telunjuk ke bibir sambil merangkak ke pintu tenda. "Aku
juga mendengarnya."
Cepat aku menyusulnya.
"Itu sejenis binatang," bisik Marissa.
"Jangan-jangan manusia serigala!" sahutku.
Tuh, kan. Daya khayalku langsung menggebu-gebu lagi.
Tapi bukankah tempat tinggal manusia serigala memang di tengah hutan di Eropa?
Setahuku, semua film tentang manusia serigala mengambil tempat di Eropa. Di
tengah hutan seperti ini.
Sekali lagi terdengar suara menggeram.
Aku membuka tenda. Udara dingin menerpa wajahku. Tiupan angin membuat
piamaku berkibar-kibar.
Aku memandang kegelapan di luar. Lapangan kecil tempat kami mendirikan tenda
diselubungi kabut. Cahaya bulan yang pucat menyebabkan semua tampak
kebiruan.
"Ada apa di luar?" tanya Marissa. "Kau melihat sesuatu?"
Aku tidak melihat binatang apa pun. Yang ada cuma gumpalan-gumpalan kabut
biru.
"Ayo masuk lagi," Marissa menyuruhku.
Aku kembali mendengar suara langkah. Dan suara mengendus-endus.
"Cepat masuk!" Marissa mendesak.
"Tunggu, dong," bisikku. Aku harus tahu makhluk apa yang berkeliaran di luar
tenda kami. Aku harus tahu dari mana suara-suara itu berasal.
Aku menggigil. Udara terasa dingin dan lembap. Gumpalan-gumpalan kabut biru
seakan-akan melekat pada tubuhku. Aku melangkah keluar. Telapak kakiku seperti
disengat ketika menginjak tanah yang dingin membeku.
Aku menahan napas dan maju selangkah lagi. Dan kemudian aku melihat makhluk
itu.
Rupanya seekor anjing. Seekor anjing besar. Seperti herder, tapi berbulu panjang
dan putih. Bulunya berkilau bagaikan perak di bawah cahaya bulan. Anjing itu
menundukkan kepala dan mengendus-endus.
Tiba-tiba anjing itu menoleh dan memandang ke arahku. Ekornya mulai mengibas-
ngibas.
Aku suka anjing.
Tanpa pikir panjang aku mengulurkan tangan. Dan aku bergegas maju untuk
membelainya.
"Jangan! Jangan!" Marissa memekik.
Chapter 6
TERLAMBAT.
Aku sudah berlutut dan membelai-belai punggung anjing besar itu. Bulunya tebal
dan lembut. Tanganku menyentuh dedaunan dan ranting-ranting kecil yang
tersangkut di bulunya.
Anjing itu terus mengibaskan ekor. Aku menepuk-nepuk kepalanya.
"Hei...!" seruku. Ternyata sebelah mata anjing itu berwarna cokelat, sebelah lagi
biru.
"Awas! Jangan-jangan itu serigala!" seru Marissa. Aku berpaling ke arahnya, dan
melihat ia cuma keluar selangkah dari tenda. Sepertinya ia siap masuk lagi begitu
ada tanda-tanda bahaya.
"Ini bukan serigala. Ini anjing," kataku padanya. "Paling tidak, menurutku dia
anjing," tambahku. "Habis, mana ada serigala yang jinak seperti ini?"
Aku mengusap-usap kepala anjing itu. Kemudian aku membelai-belai bulu tebal di
dadanya, serta mencabuti dedaunan dan ranting-ranting yang menempel.
Anjing itu mengibas-ngibaskan ekor dengan gembira.
"Kenapa dia ada di sini?" tanya Marissa dengan suara tertahan.
"Jangan-jangan dia anjing liar! Hati-hati, Justin... siapa tahu dia berbahaya."
Anjing itu menjilat-jilat tanganku.
"Kelihatannya sih tidak terlalu berbahaya," kataku.
"Tapi siapa tahu masih ada segerombolan anjing liar lain," Marissa mewanti-wanti.
Ia maju selangkah lagi. "Siapa tahu dia disuruh teman-temannya untuk mengintai
keadaan di sini. Siapa tahu ada seratus anjing liar lagi di sini!"
Aku bangkit dan memandang berkeliling. Sambil memicingkan mata, aku
mengamati pohon-pohon gelap yang terselubung kabut di sekitar lapangan. Bulan
sabit tampak melayang-layang di atas pepohonan.
Aku pasang telinga.
Hening.
"Sepertinya dia sendirian," kataku pada adikku.
Marissa mengamati anjing itu. "Masih ingat cerita Dad tentang anjing hantu?"
tanyanya. "Masih ingat? Anjing itu muncul di depan rumah seseorang. Dia begitu
lucu. Lucu dan menggemaskan. Dia mendongakkan kepala ke arah bulan dan
berbunyi 'eeeh eeeh', seakan-akan tertawa.
"Saking lucunya, orang-orang langsung keluar rumah untuk membelainya. Tapi
kemudian anjing itu menggonggong untuk memanggil teman-temannya,
gerombolan anjing hantu.
"Teman-temannya jahat dan menyeramkan. Mereka berlari mengelilingi si pemilik
rumah, makin lama makin kencang. Setelah itu mereka melahap si korban yang
malang. Dan hal terakhir yang dilihat si korban adalah anjing manis yang
mendongakkan kepala sambil tertawa 'eeeh eeeh'.
"Masih ingat cerita itu?" tanya Marissa dengan nada memaksa.
"Tidak, aku tidak ingat," ujarku. "Kurasa ini bukan salah satu cerita Dad. Ceritanya
kurang bagus. Menurutku cerita ini karanganmu sendiri."
Marissa menganggap dirinya sebagai pendongeng kelas wahid seperti Dad. Tapi
cerita-ceritanya selalu konyol. Mana ada anjing yang bisa tertawa?
Ia kembali maju selangkah. Aku menggigil. Udara di hutan dingin dan lembap,
terlalu dingin untuk berkeliaran dengan piama dan kaki telanjang.
"Kalau dia memang anjing liar, dia mungkin berbahaya," ulang Marissa.
"Kelihatannya dia cukup jinak," sahutku. Aku kembali membelai kepala anjing itu.
Dan ketika tanganku mengusap bulu tengkuknya, aku menyentuh sesuatu yang
keras.
Mula-mula kupikir cuma daun kering yang tersangkut di bulunya yang tebal dan
putih. Aku segera memegangnya dengan sebelah tangan.
Tapi ternyata bukan. Bukan daun kering, melainkan tali leher dari kulit.
"Dia bukan anjing liar," aku memberitahu adikku. "Dia pakai tali leher. Berarti ada
yang punya."
"Barangkali dia kabur dari rumahnya, lalu tersesat di sini," ujar Marissa sambil
berlutut di samping anjing itu. "Barangkali dia sedang dicari-cari pemiliknya."
"Bisa jadi," ujarku. Tali lehernya kutarik ke atas. Anjing itu menoleh dan menjilat
tanganku.
"Coba periksa apa ada peningnya," kata Marissa.
"Itu yang sedang kucari," sahutku. "Eh, apa ini? Ada sesuatu yang terselip di balik
tali lehernya."
Aku menarik secarik kertas yang terlipat-lipat. Dengan mata terpicing dalam
cahaya redup, aku membukanya.
"Kelihatannya seperti pesan," aku memberitahu adikku.
"Barangkali ada alamat atau nomor telepon si pemilik," sahutnya.
Aku membuka kertas itu dan mendekatkannya ke wajahku untuk membacanya.
"Ayo dong. Apa katanya?" desak Marissa.
Aku membaca kata-kata yang ditulis tangan itu sambil komat-kamit—dan
kemudian aku memekik tertahan.
"Justin... apa katanya?" tanya Marissa sekali lagi.
Chapter 7
MARISSA berusaha merebut pesan itu dari tanganku. Tapi aku lebih cepat.
"Pesannya singkat sekali," aku memberitahunya. Aku kembali mengangkat kertas
itu, dan kali ini aku membacanya keras-keras,
"'AKU TAHU TUJUAN KALIAN KEMARI. IKUTI SILVERDOG."'
"Silverdog?" Marissa menoleh ke arah anjing di hadapan kami. "Silverdog?"
Anjing itu langsung menegakkan telinga.
"Dia tahu namanya," ujarku. Aku memeriksa kertas di tanganku untuk melihat
apakah ada yang terlewat olehku. Tapi ternyata tidak ada apa-apa lagi. Si penulis
tidak mencantumkan namanya.
Marissa meraih pesan itu dan membacanya sekali lagi.
"AKU TAHU TUJUAN KALIAN KEMARI. IKUTI SILVERDOG," ulangnya.
Aku menggigil. Kabut biru di sekeliling kami semakin rendah.
"Sebaiknya kita beritahu Dad," kataku.
Marissa sependapat. Kami berbalik dan bergegas ke tenda. Aku menoleh ke
belakang untuk memastikan anjing itu tidak pergi. Silverdog telah menghampiri
rumpun alang-alang dan kini sedang mengendus-endus.
"Cepat," bisikku pada adikku.
Kami merangkak ke kantong tidur Dad. Ia masih tidur lelap sambil telentang.
Aku segera berlutut dan membungkuk di sampingnya. "Dad? Dad?"
Dad tidak bergerak sedikit pun.
"Dad? Bangunlah! Ini penting! Dad?"
Marissa dan aku sampai berseru-seru. Tapi saking pulasnya, Dad tidak mendengar
seruan-seruan kami.
"Coba gelitik janggutnya," Marissa menyarankan. "Kadang-kadang berhasil."
Aku menggelitik janggut Dad.
Tak ada reaksi. Ia tetap saja mendengkur.
Aku merapatkan wajah ke telinganya. "Dad? Dad?"
Aku mencoba mengguncang-guncang pundaknya. Tapi tanganku meleset terus,
karena harus menjulur ke dalam kantong tidur.
"Dad? Bangun dong!" Marissa memohon.
Dad mengerang.
"Yes!" sorakku. "Dad?"
Ia membalikkan badan. Dan meneruskan mimpinya.
Aku menoleh dan melihat Marissa telah kembali ke pintu tenda. Ia memandang ke
luar. "Anjing itu menuju ke pepohonan," ia melaporkan. "Apa yang harus kita
lakukan?"
"Ganti baju," desakku. "Cepat."
Kami sama-sama mengenakan celana jeans dan sweter yang kami pakai tadi sore.
Aku memakai sebelah sepatu, lalu menemukan tali sepatu yang sebelah lagi
tersimpul mati
Ketika aku berhasil memakai sepatu kedua, Marissa sudah ada di luar.
"Mana Silverdog?" tanyaku sambil bergegas ke sampingnya.
Ia menunjuk ke kabut yang telah bertambah tebal. Bulan terselubung awan. Saking
gelapnya, kami nyaris tidak bisa melihat apa-apa.
Tapi aku melihat anjing besar tadi berlari kecil ke arah pepohonan.
"Dia sudah mau pergi!" pekikku. "Kita harus mengikuti dia."
Aku mulai berlari melintasi lapangan.
Marissa tampak ragu-ragu. "Kita tak bisa pergi tanpa Dad," katanya.
"Tapi ada orang yang mau membantu kita!" seruku. "Seseorang yang tahu di mana
Legenda yang Hilang itu. Anjing itu dikirim untuk menjemput kita."
"Mungkin ini jebakan," Marissa berkeras. "Mungkin ini cuma siasat untuk
menjebak kita."
"Tapi, Marissa..."
Aku berusaha memandang menembus kabut. Mana anjing itu?
Silverdog sudah hampir tidak kelihatan. Ia sudah sampai di pepohonan di seberang
lapangan.
"Masih ingat cerita Dad tentang peri hutan?" tanya Marissa.
"Peri itu membuat jejak dari bunga dan permen di hutan. Dan kalau ada anak-anak
yang mengikuti jejak itu, mereka akan terperosok di Sumur Tanpa Dasar. Mereka
akan jatuh dan melayang-layang seumur hidup. Masih ingat cerita itu?"
"Sudahlah, Marissa," aku memohon. "Jangan banyak omong. Nanti Silverdog
keburu kabur."
"Tapi... tapi...," ia tergagap-gagap. "Dad pasti takkan mengizinkan kita masuk
hutan berdua saja. Kau juga tahu itu. Kita pasti dimarahi nanti."
"Bagaimana kalau kita bisa menemukan Legenda yang Hilang?" sahutku.
"Bagaimana kalau begitu? Kita tak bakal kena marah—ya, kan?"
"Tapi tidak bisa," balas Marissa sambil menyilangkan lengan di dadanya. "Kita
tidak, bisa pergi dari sini. Pokoknya tidak bisa, Justin."
Aku menghela napas dan menggeleng. "Ya, kau benar," gumamku. "Biar saja
anjing itu pergi. Ayo, kita tidur lagi."
Aku menaruh tangan di pundak adikku dan menggiringnya kembali ke tenda.
Chapter 8
"YA ampun, apa kau sudah gila?" seru Marissa. Serta-merta ia membalikkan
badan. "Kita tidak boleh membiarkan anjing itu pergi! Dia bisa menuntun kita ke
Legenda yang Hilang!"
Marissa meraih tanganku dan menariknya keras-keras. Aku diseretnya melintasi
lapangan.
Aku mengikutinya sambil berusaha menyembunyikan senyum.
Sejak semula aku memang sudah yakin siasatku akan berhasil. Marissa selalu bisa
kutipu dengan cara itu.
Setiap kali ada sesuatu yang betul-betul ingin kulakukan, aku tinggal bilang,
"Sebaiknya jangan deh."
Dan Marissa pasti langsung membantah. Ia selalu berbeda pendapat denganku.
Selalu.
Dan itu justru memudahkanku mengaturnya sesuai kemauanku.
"Dad bilang kita kurang membantu," gumam Marissa.
"Sepertinya dia kesal karena kita tidak mau mencari kayu bakar. Tapi sekarang kita
bisa membantunya dengan menemukan Legenda yang Hilang. Dia pasti senang
sekali!"
"Pasti!" aku menimpali.
Aku membayangkan bagaimana Marissa dan aku menyerahkan peti perak berisi
Legenda yang Hilang kepada Dad. Aku membayangkan bagaimana Dad
membelalakkan mata karena kaget. Dan kemudian aku membayangkan senyumnya
yang lebar.
Aku juga berkhayal bahwa kami bertiga akan muncul dalam siaran berita TV. Aku
membayangkan Marissa dan aku bercerita kepada semua orang bagaimana kami
berhasil menemukan naskah kuno yang tak ternilai itu—tanpa bantuan Dad sedikit
pun.
Semakin lama sepatu botku semakin berat akibat lumpur yang menempel. Aku
berhenti ketika kami tiba di tepi hutan.
"Tapi ada masalah," kataku kepada Marissa.
Ia segera berbalik dan menatapku. "Masalah apa?"
"Mana anjing itu?"
"Hah?" Ia kembali berpaling ke arah pepohonan. Kami sama-sama memandang ke
kegelapan malam.
Anjing itu telah lenyap.
Chapter 9
Chapter 10
SEJENAK rusa besar itu pun mengamati kami. Kemudian ia berbalik dan berjalan
melintasi rumput, menuju pepohonan di sisi seberang lapangan.
Aku memperhatikannya menjauh. Saking bingungnya, aku benar-benar tidak tahu
harus berbuat apa. Akhirnya aku berpaling pada adikku.
"Kita... kita telah membuat kesalahan," kataku dengan suara parau. "Kupikir anjing
itulah yang kita, ikuti. Sungguh."
"Kita tidak boleh panik," ujar Marissa. Ia bergeser ke sampingku.
Tiupan angin membuat rumput tinggi berdesir-desir dan bergoyang-goyang. Dari
pepohonan di belakang kami terdengar suara yang menyerupai erangan. Aku
memaksakan diri untuk tidak menghiraukannya.
"Betul, kita tak boleh panik," aku membenarkan. Tapi kakiku gemetaran, dan
mulutku mendadak kering kerontang.
"Kita tinggal kembali ke arah dari mana kita datang tadi," ujar Marissa. "Kita kan
cuma jalan sebentar sebelum sampai di sini.
Mestinya tak terlalu sulit." Ia memandang berkeliling. "Dari mana kita datang
tadi?"
Aku berbalik. "Dari sana?" Aku menunjuk. "Bukan. Dari sana? Juga bukan...."
Aku tidak bisa memastikannya.
"Barangkali sekarang sudah waktunya panik," ujarku.
"Aduh, kenapa kita nekat pergi sendiri?" ratap Marissa. "Kenapa kita begitu
bodoh?"
"Tadi kita pikir kita bisa membantu Dad," aku mengingatkannya.
"Dan sekarang kita mungkin takkan pernah bertemu lagi dengan dia!" seru
Marissa.
Rasanya aku ingin mengatakan sesuatu untuk menenangkan adikku. Tapi suaraku
seakan-akan tersangkut di tenggorokan.
"Hutan ini membentang sejauh bermil-mil!" Marissa meneruskan. "Seluruh negeri
ini tertutup hutan. Jangan-jangan tak ada satu orang pun yang bisa menolong kita.
Jangan-jangan kita bakal dimakan beruang atau binatang buas lainnya sebelum kita
bisa keluar dari hutan ini."
"Jangan sebut-sebut soal beruang," aku memohon. "Di hutan ini tidak ada beruang,
kan?"
Aku langsung merinding. Aku sudah terlalu sering mendengar Dad menuturkan
kisah-kisah tentang anak kecil yang akhirnya dimakan beruang. Tampaknya itu
salah satu cara favorit Dad untuk mengakhiri ceritanya.
Tapi aku tak pernah suka.
Angin membuat rumput meliuk-liuk ke arah berlawanan. Aku kembali mendengar
kepak sayap di kejauhan.
Dan sayup-sayup terdengar suara lain.
Gonggongan anjing?
Jangan-jangan aku cuma berkhayal!
Aku pasang telinga. Ya, suara itu terdengar lagi.
Yes!
Aku berpaling ke arah Marissa dan melihat ekspresi gembira di wajahnya.
Rupanya ia juga mendengar suara itu.
"Silverdog!" teriaknya. "Dia memanggil kita!"
"Ayo, kita cari dia!" seruku.
Anjing itu menggonggong berulang kali. Sepertinya ia benar-benar memanggil
kami.
Marissa dan aku berbalik dan bergegas ke arah suara itu.
Kami berlari memasuki hutan. Berlari menerobos semak-semak. Melompati
pepohonan tumbang. Berlari ke arah sumber gonggongan.
Berlari.
Berlari sekencang mungkin.
Sampai tanah di bawah kaki kami mendadak ambles.
Sebuah lubang menganga siap menelan kami. Dan kami mulai jatuh.
"Aaaaa!" jeritku. "Ini Sumur Tanpa Dasar!"
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
SENDOK yang kupegang langsung terlepas dari tanganku, dan jatuh ke dalam
mangkuk. Aku memegangi perutku dan menunggu rasa sakit menyerang.
Aku melirik Marissa—dan melihatnya geleng-geleng kepala.
"Bercanda lagi, nih?" ia bertanya pada Ivanna.
"Ya, aku cuma bercanda!" Ivanna mengakui sambil tertawa terbahak-bahak.
Aku menelan ludah. Kenapa aku begitu tolol, tidak sadar wanita itu cuma
bercanda? Aku paling sebal kalau Marissa lebih cepat tahu sesuatu daripada aku!
"Aku sudah tahu, kok," aku bergumam.
Ivanna menghampiri meja makan. Mata kalungnya berayun-ayun setiap kali ia
melangkah. "Sup ini bukan racun. Tapi jangan dihabiskan dulu," ia menambahkan.
"Mi-nya perlu kubaca dulu!"
"Hah? Apa?" tanyaku dengan terheran-heran.
Ia membungkuk di atas mangkukku. Saking dekatnya, wajahnya jadi berembun
karena terkena uap sup. "Nasib seseorang bisa diketahui dari mi yang ada di dalam
sup ayam," bisiknya dengan sikap misterius.
Ia mengamati mi yang tersisa di mangkukku. Kemudian ia beralih pada mangkuk
Marissa. "Hmmmm. Hmmmm," ia bergumam-gumam. "Ya. Hmmmm hmmmm."
Akhirnya ia berdiri dan menyilangkan tangannya yang kekar. Pipinya tampak
merah karena uap sup yang panas.
"Makanlah. Habiskan sup kalian," perintahnya. "Sebelum keburu dingin."
"Apa yang terbaca tadi?" tanyaku. "Apa yang terbaca dari mi kami?"
Ekspresi Ivanna jadi serius. "Besok pagi kalian harus menempuh ujian," ia
menyahut. "Dugaanku benar. Aku tahu kenapa kalian datang kemari. Aku tahu apa
yang kalian cari."
Ia membetulkan letak helm di kepalanya. "Aku bisa membantu kalian
menemukannya. Tapi sebelumnya kalian harus lulus ujian dulu."
"Ehm... ujian apa sih maksudnya?" tanyaku.
Matanya bersinar-sinar.
"Ujian bertahan hidup," sahutnya.
Aku menelan ludah. "Itulah yang kutakutkan," gumamku.
"Bagaimana kalau kami tidak mau ikut ujian itu?" tanya Marissa.
"Kalau begitu, kalian takkan pernah menemukan peti perak itu!" sahut Ivanna
sengit.
Aku menahan napas.
"Wow! Ternyata kau memang tahu apa yang kami cari!" seruku.
Ia mengangguk. "Aku tahu segala sesuatu di hutan ini."
"Tapi—tapi kami perlu bantuan ayah kami!" Marissa tergagap-gagap.
Ivanna menggeleng. "Tidak ada waktu. Kalian akan mengikuti ujian untuk
menggantikan ayah kalian. Jangan kuatir. Ujiannya tidak berat. Kalau kalian
selamat."
"Hah? Kalau selamat? Ini lelucon lagi, ya?" tanyaku pelan.
"Bukan," jawab Ivanna sambil menggelengkan kepala. "Ini bukan lelucon. Aku
tidak pernah bercanda tentang ujian di Hutan Fantasi."
Aku sedang memegang sendok sup. Tapi sendok itu langsung terlepas dari
tanganku dan jatuh ke meja. "Hutan Fantasi? Di mana itu? Dan apa pula itu?"
Ivanna hendak menjawab. Tapi sebelum ia sempat mengucapkan sesuatu, pintu
pondok mendadak terbuka.
Embusan udara dingin menerpa tubuhku.
Lalu kulihat makhluk buas berbulu hitam di ambang pintu.
Sambil menggeram makhluk itu memandang berkeliling dengan matanya yang
hitam.
Makhluk itu mengertak-ngertakkan gigi—dan, dengan raungan mengerikan,
melompat dan menerjangku.
Chapter 14
***
Chapter 15
"MARISSA...?"
Suaraku semakin parau. Tenggorokanku seperti tercekat.
Aku mendengar suara menggeram dan langkah yang berat dari arah pepohonan.
Aku menoleh dan melihat Luka keluar dari hutan. Ia berdiri dengan kedua kaki
belakang, seperti manusia. Tapi ia melompat-lompat seperti kelinci. Sambil
menggaruk-garuk bulu lebat di kakinya, ia menyeringai ketika menghampiriku.
Aku tidak membalas seringainya.
"Mana Marissa?" tanyaku dengan nada mendesak. "Mana adikku?"
Luka memiringkan kepala dan memandangku dengan bingung.
"Marissa!" aku membentaknya. "Mana Marissa?"
"Di sini!"
Aku tersentak kaget ketika mendengar suaranya. "Di mana kau?"
Sepintas lalu aku melihat rambutnya yang merah. Kemudian kepalanya
menyembul dari balik semak-semak berdaun lebat.
"Aku di sini," ia berkata sekali lagi. "Kau masih tidur tadi. Jadi kupikir lebih baik
aku jalan-jalan dulu."
"Aku sudah takut kau hilang!" aku mengakui. Aku berllari menerobos alang-alang
untuk bergabung dengannya.
"Di mana kita?" tanyaku. "Apa yang terjadi dengan pondok Ivanna?"
Marissa angkat bahu. "Entahlah. Waktu aku bangun, kita sudah ada di sini."
Luka menggeram di belakang kami.
Aku berbalik dan melihatnya menggaruk-garuk tanah, persis seperti anjing.
"Mungkinkah dia setengah manusia?" aku berbisik kepada Marissa.
Marissa agaknya tidak mendengarku. Ia menunjuk ke tempat di antara dua batang
pohon. "Aku menemukan jalan setapak di sebelah sana. Menurutmu kita perlu
mengikutinya?"
"Aku tidak tahu apa yang harus kita lakukan!" sahutku kesal.
"Apakah Ivanna sempat menjelaskan ujian yang harus kita jalani? Tidak. Apakah
dia menjelaskan peraturannya? Tidak. Apakah dia memberitahu kita apa yang
harus kita lakukan supaya lulus? Tidak."
Marissa mengerutkan kening karena cemas.
"Sepertinya kita harus berusaha supaya tetap hidup," katanya pelan. "Kurasa itulah
yang harus kita lakukan supaya bisa lulus."
"Tapi kita harus ke mana sekarang? Apa yang harus kita lakukan?!" aku berseru.
Aku mulai kehilangan kendali diri. Aku marah dan takut dan bingung—semuanya
sekaligus.
Luka kembali menggeram. Ia berhenti menggaruk, dan berjalan ke arah kami
dengan berdiri pada kedua kakinya, seperti manusia.
Seandainya Luka mencukur semua bulunya, mengenakan pakaian, dan sekalian
potong rambut, ia bakal kelihatan seperti anak muda, aku berkata dalam hati.
Sementara aku memperhatikannya, Luka malah mulai melambai-lambai dan
menunjuk-nunjuk.
"Sedang apa dia?" aku bertanya pada Marissa.
Marissa melangkah ke sampingku dan ikut memperhatikan Luka.
Luka menggerung-gerung penuh semangat. Ia melambaikan tangannya yang penuh
bulu, dan menunjuk-nunjuk ke arah pepohonan dengan tangannya yang satu lagi.
"Tampaknya dia ingin kita mengikutinya," ujarku.
"Ya," Marissa membenarkan. "Ivanna kan sudah bilang bahwa dia bakal menuntun
kita."
Luka menuju ke pepohonan.
Tapi aku masih bimbang. "Apakah dia bisa dipercaya?"
Marissa angkat bahu. "Agaknya kita tidak punya pilihan."
Luka mulai menyusuri jalan setapak yang menuju ke tengah hutan. Jalan setapak
itu membelok di balik semak belukar berdaun kuning. Aku melihat kepalanya
naik-turun di balik semak-semak.
Kemudian ia menghilang dari pandangan.
"Cepat!" Kutarik lengan adikku. "Jangan sampai kita ketinggalan."
Aku menunduk dan melihat dua ransel hitam tergeletak di rumput. Aku
membungkuk, meraih salah satu, dan membukanya.
Ternyata kosong. Kuserahkan ransel yang satu lagi kepada Marissa.
"Ransel-ransel ini pasti ditinggalkan Ivanna untuk kita," ujarku. "Ranselnya
kosong. Tapi sebaiknya kita bawa saja."
Kami memasang ransel di punggung masing-masing. Lalu kami bergegas
menyusuri jalan setapak, berusaha mengejar Luka yang terus melompat-lompat.
Luka berhenti untuk mengendus-endus tumbuhan liar. Kemudian ia kembali
menyusuri jalan setapak.
Kami menyusul tepat di belakangnya. Dua-tiga kali ia menoleh ke belakang untuk
memastikan kami masih mengikutinya.
Jalan setapak itu berkelok-kelok di antara ilalang yang tajam menusuk-nusuk dan
rumput tinggi. Kami melewati kolam kecil berbentuk bulat yang memantulkan
bayangan langit biru. Udara bertambah panas dan lembap. Tengkukku terasa
lengket dan gatal.
Kami menyelinap di antara pohon-pohon berkulit putih dan licin. Pohon-pohon itu
tumbuh rapat. Kulit pohon yang licin terasa sejuk di tanganku yang panas.
"Mau dibawa ke mana kita?" Marissa berbisik.
Aku tidak menyahut. Aku sendiri tidak tahu. Aku cuma tahu bahwa Luka
membawa kami semakin jauh ke tengah hutan.
Kami menerobos di antara pohon-pohon berkulit putih itu. Dan akhirnya kami
sampai di sebuah lapangan luas yang ditumbuhi rumput. Batu-batu kecil berwarna
kelabu tampak menyembul di sana-sini. Pohon-pohon putih tadi membentuk
lingkaran di sekeliling lapangan.
Aku mendengar bunyi berkeresak ketika aku mengikuti Luka melintasi rumput.
Aku langsung menunduk untuk melihat dari mana bunyi itu berasal.
Saat itu barulah kulihat buah-buah yang mirip buah kenari raksasa berserakan di
mana-mana.
Aku memungut salah satu. "Coba lihat ini," kataku pada Marissa. Aku membalik
dan melihat ia juga sudah memungut dua buah. "Pasti jatuh dari pohon-pohon
putih ini," ujarku.
"Bentuknya sih seperti buah kenari. Tapi buah ini lebih besar dari telur!" Marissa
menimpali. "Aku belum pernah melihat buah kenari sebesar ini!"
"Dan buahnya panas sekali!" aku berseru. Aku menengadah dan memandang ke
langit. "Mungkin karena sinar matahari."
"Hei...! Apa itu?"
Aku menoleh.
Dan kulihat seekor makhluk kelabu berlari melintasi lapangan.
Mula-mula kusangka itu anjing, atau kucing yang besar sekali.
Lalu aku sadar makhluk itu seekor tupai. Tupai itu membawa buah kenari dengan
kedua tangannya, dan melompat-lompat ke arah pohon-pohon. Ekornya yang
panjang dan lebat tampak melambai-lambai.
Tapi perhatianku langsung beralih ketika aku mendengar Luka berseru dengan
suara parau.
Aku melihatnya berdiri tegak. Aku melihat kedua matanya bersinar-sinar gembira.
Ia berseru sekali lagi. Ia mencondongkan badan ke depan.
Mengulurkan kedua tangan.
Dan mulai mengejar tupai itu.
Tupai itu pun melihat Luka. Serta-merta ia melepaskan buah kenari yang sedang
dipegangnya dan kabur ke tengah hutan.
Luka langsung memburunya.
"Jangan, Luka! Jangan!" teriak Marissa.
"Kembali ke sini! Kembali!" kami memanggil-manggil.
"Luka—kembali ke sini!"
Chapter 16
MARISSA dan aku sama-sama memekik cemas. Kami bergegas mengejar Luka,
menyusulnya ke dalam hutan.
"Luka...! Hei, Luka!" aku memanggil-manggil. Suaraku memantul ke batang-
batang pohon dan menggema di sekelilingku.
"Luka...! Hei, Luka!"
Seruan itu terus berulang dengan nyaring.
Geraman Luka terdengar jelas di depan kami. Aku juga bisa melihatnya berlari di
antara pohon-pohon sambil mengejar tupai tadi.
"Luka—kembalilah!" Seruan Marissa juga bergema di tengah hutan.
Kedengarannya seolah ada selusin orang yang berusaha mengejar Luka. Dan
semuanya berseru-seru agar ia berhenti mengejar tupai itu dan kembali kepada
kami.
"Hei!" aku memekik ketika berusaha menyelinap di antara sepasang pohon putih
yang tumbuh rapat—ransel di punggungku tersangkut.
"Aduh!"
Aku tertarik ke belakang, terhuyung-huyung dan nyaris jatuh. Dasar payah!
"Luka! Hei—Luka!" Suara Marissa kini terdengar di depanku.
Aku kembali berusaha menyelinap di antara kedua pohon, dan ranselku kembali
tersangkut. Aku menariknya sampai terlepas, lalu mencari celah yang lebih lebar.
Beberapa detik kemudian aku berhasil menyusul adikku. Ia sudah berhenti berlari.
Ia bersandar pada batang pohon sambil megap-megap karena kehabisan napas.
"Mana dia?" seruku. "Kau masih melihatnya? Ke mana dia pergi?"
"A-aku kehilangan jejak," sahut Marissa, terengah-engah. "Suaranya juga sudah
tidak kedengaran lagi."
Aku menajamkan telinga. Hutan di sekeliling kami mendadak hening. Tak ada
suara langkah. Tak ada suara menggeram. Yang terdengar cuma suara daun yang
berdesir-desir karena tertiup angin.
"Tapi bagaimana mungkin dia lari begitu saja?" aku berseru. "Seharusnya dia kan
jadi pemandu kita!"
"Tampaknya dia benar-benar ngotot untuk menangkap tupai itu," sahut Marissa.
"Tapi—tapi..." aku tergagap-gagap. "Dia tidak bisa pergi begitu saja dan
meninggalkan kita berdua di sini."
Marissa menghela napas. "Nyatanya bisa, tuh."
"Kita harus mencarinya!" seruku. "Ayo. Kita harus jalan terus. Kita tidak boleh
membiarkan dia..."
Marissa menggeleng. "Mana mungkin kita bisa menemukannya, Justin? Di mana
kita harus mulai mencari?"
"Kita bisa melacak jejak kakinya," jawabku. Aku menunduk.
Tanah di dasar hutan tertutup daun-daun kering.Tak ada jejak sama sekali.
"Kurasa dia lari ke sana tadi," kataku sambil menunjuk ke arah pepohonan.
Marissa menggelengkan kepala. "Menurutku tidak." Ia berdiri tegak. "Dia sudah
kabur, Justin."
Aku berbalik dan mencari-cari Luka. Mencari tanda-tanda yang mungkin bisa
menunjukkan di mana dia berada.
"Hei—apa itu?" Marissa tiba-tiba bertanya.
"Hah?" Aku langsung menoleh.
"Itu, di kantong belakang celanamu," katanya seraya menunjuk.
"Apa itu?"
Dengan kening berkerut karena heran, aku merogoh kantong belakang celana
jeans-ku—dan menarik secarik kertas yang terlipat-lipat. Tanganku berkeringat
dan menempel pada kertas itu. Tapi aku segera membuka lipatannya.
"Kelihatannya seperti pesan," aku memberitahu Marissa. "Hurufnya kecil-kecil."
"Ayo, baca dong!" ia mendesakku.
Pandanganku beralih ke bagian bawah kertas itu.
"P-pesan ini dari Ivanna," aku tergagap-gagap.
"Apa katanya?" Marissa bertanya tidak sabar.
Aku memegang kertas itu dengan kedua tangan dan membaca pesan yang tertulis
keras-keras:
"ANAK-ANAK YANG BAIK, PASTIKAN BAHWA LUKA SELALU
BERSAMA KALIAN DENGAN BEGITU KALIAN AKAN LULUS UJIAN.
JANGAN SAMPAI KALIAN TERPISAH DARI DIA—ATAU KALIAN AKAN
CELAKA."
Chapter 17
Chapter 18
AKU mengamati buah kenari yang membelah di hadapanku, dan melihat gigi yang
menggerogoti kulitnya dari dalam. Lalu muncul hidung hitam yang berkedut-
kedut.
Dan sepasang mata mungil yang juga berwarna hitam.
Makhluk itu merangkak keluar. Aku melihat sepasang kaki depan yang kecil.
Disusul tubuh panjang kelabu.
Dan gigi itu. Mengertak-ngertak. Menyambar-nyambar.
"Tikus!" aku memekik.
"Ratusan!" jerit Marissa.
Semua buah kenari yang berserakan di tanah terbelah. Saking banyaknya, rumput
di lapangan ikut bergoyang dan tanah seakan-akan bergetar.
Aku berdiri seperti patung memperhatikan tikus-tikus menetas di sekelilingku.
Binatang-binatang pengerat itu keluar pelan-pelan, dengan menyembulkan kepala
lebih dulu. Mereka mengendus-endus.
Mencoba gigi mereka yang runcing.
Buah-buah kenari bergerak-gerak. Membelah. Tubuh-tubuh kelabu menyelinap
keluar, terdorong oleh kaki-kaki belakang yang kurus.
"Ternyata bukan kenari—tapi telur!" seru Marissa.
"Tapi tikus kan tidak berasal dari telur!" aku memprotes.
Marissa menoleh ke arahku. Wajahnya berkerut-kerut.
"Rupanya tak ada yang memberitahu tikus-tikus ini!"
Seekor tikus melintasi sepatuku. Puluhan, bahkan ratusan tikus, berlari kian kemari
di rumput yang tinggi, sehingga rumput berdesir-desir seperti sedang berbisik-
bisik.
Seekor tikus sekali lagi melewati sepatuku.
"Ayo, kita pergi dari sini!" teriakku kepada Marissa. Aku meraih lengannya dan
menariknya.
Tapi saking banyaknya tikus yang berkeliaran di sekeliling kami, saking
banyaknya yang mondar-mandir di depan kaki Marissa dan aku, kami sama sekali
tidak bisa bergerak.
Cicit-cicit melengking membahana ketika makhluk-makhluk itu mulai bersuara.
"Eee eee eee eee!"
Bunyi itu terdengar dari segala arah. Semakin lama semakin keras. Hingga
mengalahkan suara rumput yang berbisik-bisik. Hingga memaksa Marissa dan aku
menutup telinga. "Eee eee eee eee!"
"Kita harus pergi!" aku menjerit.
"Tapi mereka ada di mana-mana!" Marissa memekik. "Kalau kita lari..."
"AUWWWW!" aku berteriak ketika seekor tikus menyusup ke sepatu bot-ku.
Cakarnya yang mungil menembus kaus kakiku dan menggores-gores kulitku.
Aku membungkuk untuk menariknya keluar —dan melihat dua tikus lagi
bergelantungan di celanaku.
"Hei...!" Aku berusaha menepis binatang-binatang pengerat itu.
Tapi akibatnya aku malah kehilangan keseimbangan.
Aku jatuh berlutut.
Huh, dasar payah!
Tikus-tikus berlari melewati tanganku. Seekor bahkan memanjat lewat lengan
sweterku dan naik ke punggungku.
"Tolooong!" Marissa dan aku menjerit bersamaan.
Aku menoleh dan melihat adikku berdiri membungkuk. Kalang-kabut ia berusaha
menyingkirkan dua ekor tikus dari rambutnya.
Seekor tikus lain sedang menggerogoti bagian bawah sweter Marissa. Dua ekor
lagi sedang memanjat kaki celananya. Dan di ranselnya pun tikus-tikus
bergelantungan.
"Tolooong aku! Ohhh—tolooong!"
Aku berusaha bangkit. Tapi seekor tikus menyelinap ke balik sweterku. Kurasakan
cakarnya yang tajam melintas di dadaku. Tiba-tiba punggungku serasa seperti
disengat
Apakah mereka menggigitku?
Tikus-tikus melompat ke pundakku. Merangkak di tengkukku.
Mondar-mandir di ranselku.
Aku mengayun-ayunkan tangan untuk mengusir binatang-binatang itu.
Tapi jumlahnya terlalu banyak.
Mereka bercicit-cicit tanpa henti. Mengertak-ngertakkan gigi.
Bergelantungan di bajuku. Di pergelangan tanganku. Di rambutku.
"Tolooong! Tolooong!"
Aku menarik seekor tikus dari telingaku. Serta merta aku mencampakkannya ke
rumput.
Kurasakan segerombolan tikus merayap-rayap di balik sweterku. Sekali lagi aku
seperti digigit. Aku memekik kesakitan dan jatuh terjerembap—menimpa lebih
banyak tikus lagi!
Aku berusaha sekuat tenaga untuk mengusir tikus-tikus itu. Aku berusaha menepis
semuanya.
Tapi jumlahnya terlalu banyak. Sangat terlalu banyak.
Aku menoleh dan melihat Marissa juga sedang dikeroyok. Ia berputar-putar sambil
menjerit-jerit.
Sebenarnya aku ingin menolongnya. Tapi aku tidak sanggup berdiri.
Seluruh tubuhku terasa gatal.
Tikus-tikus yang bercicit-cicit dan berceloteh tanpa henti itu membuatku tak
mampu berbuat apa-apa. Aku digelitik, dicakar, digigit—sampai aku tak bisa
bergerak, sampai aku tak bisa bernapas.
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
MARISSA dan aku langsung merunduk ketika kawanan kelelawar itu mulai
menyambar-nyambar.
Aku memejamkan mata dan melindungi kepala dengan kedua tangan.
Lalu aku menunggu.
Bunyi boom yang menggelegar terdengar di sela-sela cicit kelelawar yang
melengking tinggi.
Tanah bergetar.
Guntur?
Bunyi itu terdengar lagi, mula-mula pelan, kemudian keras bagaikan ledakan.
Aku menoleh dan melihat pohon-pohon putih terguncang-guncang dengan hebat.
Kawanan kelelawar segera membisu. Binatang-binatang itu merentangkan sayap
lebar-lebar.
Bunyi boom berikutnya membuat mereka terbang tinggi ke angkasa. Aku
memperhatikan kelelawar-kelelawar terbang menanjak, melewati puncak pohon-
pohon. Semakin lama semakin tinggi, sampai akhirnya hampir tak terlihat lagi.
Marissa menarik napas lega. "Kita selamat." Perlahan-lahan ia menegakkan badan.
"Tapi suara apa itu?" tanyaku sambil pasang telinga.
Sekali lagi terdengar bunyi boom. Kali ini lebih dekat.
Salah satu pohon bergetar, lalu tumbang dan menghantam tanah.
"Pasti bukan guntur," Marissa berkata pelan-pelan. Ia menunjuk langit yang biru
cerah. "Tidak ada awan sama sekali."
Boom.
Semakin dekat.
"A-aku tidak tahu suara apa itu," aku tergagap-gagap.
Marissa berpaling padaku. Pohon-pohon kembali terguncang keras.
"Langkah kaki," aku bergumam. "Itu pasti bunyi langkah kaki. Dan agaknya
menuju kemari."
Marissa melongo mendengar kata-kataku. "Justin—kenapa sih kau berkhayal
terus?"
"Aku serius," ujarku. "Itu memang bunyi langkah kaki."
Adikku menatapku, matanya menyipit. "Yang benar saja! Makhluk apa yang suara
langkahnya sekeras ini? Paling tidak..." Ia terdiam.
Sekali lagi terdengar bunyi boom yang membuat segala sesuatu bergetar.
Daya khayalku langsung beraksi. Aku tak sanggup menghalaunya. Aku
membayangkan seekor dinosaurus. Seekor Tyrannosaurus rex yang berjalan di
antara pohon-pohon. Atau mungkin dinosaurus gemuk dengan leher panjang dan
kurus.
Booom. Booom.
Atau jangan-jangan malah dua dinosaurus!
"Apa pun yang menghasilkan suara itu, dia semakin dekat," bisik Marissa. Ia
menggelengkan kepala. "Ivanna memang sudah bilang bahwa ini ujian bertahan
hidup, tapi...!"
Sejauh ini, yang teruji cuma kemampuan kami untuk berlari!
Tapi aku tidak peduli. Aku tidak berminat menunggu di sini sampai makhluk
raksasa itu muncul.
Ketika Marissa dan aku berbalik dan berlari ke arah berlawanan, sebuah bayangan
mendadak menyelubungi kami.
Aku memandang ke atas untuk melihat apakah matahari tertutup awan.
Tapi ternyata tidak ada awan sama sekali.
Itu bayangan makhluk yang datang dari belakang dan setiap detik bertambah dekat.
Aku mendengar pohon-pohon patah karena terinjak. Tanah bergetar setiap kali
makhluk itu melangkah.
Ya ampun, seberapa besar sih makhluk itu?
Aku menoleh ke belakang—tapi hanya melihat pohon-pohon yang bergetar.
Boooom. Boooom.
Lututku ikut gemetar ketika tanah yang kuinjak terguncang keras.
Marissa dan aku berlari berdampingan. Secepat mungkin kami menyelinap di
antara pohon-pohon. Kami berdua terengah-engah.
Tapi kami tidak berhasil menjauhi bayangan itu. Meskipun kami berlari dengan
sekuat tenaga, bayangan tersebut tetap melayang-layang di atas kami, dingin dan
gelap.
Boooom. Boooom.
Begitu dekat sekarang. Setiap kali bunyi itu terdengar, aku terpental ke udara.
Jantungku berdegup kencang. Pelipisku berdenyut-denyut.
Marissa dan aku memaksakan diri untuk terus berlari. Kami ingin meloloskan diri,
ingin terlepas dari bayangan gelap yang seakan-akan hendak menelan kami.
Kami berlari hingga kami tiba di sungai yang lebar.
Marissa dan aku berhenti selangkah dari tepi sungai yang berlumpur, dan menatap
air biru yang mengalir deras.
"Sekarang bagaimana?" ujarku tersengal-sengal. "Sekarang bagaimana?"
Bayangan yang mengikuti kami semakin gelap. Makhluk itu semakin dekat.
Marissa menarik-narik lengan sweterku. "Lihat, tuh. Dasar sungainya kelihatan.
Berarti airnya tidak dalam. Barangkali kita bisa jalan kaki ke seberang. Atau
berenang, kalau perlu."
Booom.Booom.
Bayangan itu bertambah pekat.
"Ayo!" seruku.
Tanpa pikir panjang kami melangkah ke air yang dingin dan bening.
Chapter 22
ARUS sungai ternyata lebih deras dari yang kuduga. Aku menjejakkan kaki di
dasar sungai yang lembek berlumpur—dan nyaris kehilangan keseimbangan
karena dorongan arus.
Aku sampai harus berpegangan pada pundak Marissa supaya tidak jatuh. Sejenak
kami cuma berdiri sambil saling menopang.
"Ihhh." Aku menggigil. Airnya dingin bagaikan es. Tapi ternyata sungai itu
memang dangkal, seperti dikatakan Marissa. Airnya tak sampai ke lututku.
Aku maju selangkah sambil mencondongkan badan ke depan untuk menghadapi
arus sungai yang deras.
Satu langkah lagi. Kami sudah sampai di tengah sungai.
"Ohh...!" aku memekik ketika sadar aku tidak bisa mengangkat kaki untuk
melangkah.
"Hei...!" Marissa berseru. Kulihat ia menghadapi kesulitan yang sama. "Kakiku
tersangkut!"
"Dasar sungainya terlalu lembek!" sahutku. Aku berusaha keras melepaskan
kakiku dari cengkeraman lumpur.
Tapi sia-sia. Sepatu bot-ku telah terbenam dalam-dalam.
Aku membungkuk. Dan menarik kakiku ke atas. Percuma.
Kakiku tidak terangkat sedikit pun. Aduh.
"K-kita tenggelam!" Marissa meraung. "Justin —lihat! Kita tenggelam."
Aku menelan ludah. Ia benar. Aku pun seperti diisap ke bawah.
Masuk ke dalam air yang dingin, masuk ke lumpur yang lembek dan lengket.
Airnya sudah mencapai lututku sekarang. Dan tampaknya terus bertambah tinggi.
Tapi aku tahu bukan airnya yang naik. Akulah yang sedang merosot.
"Copot sepatumu dan berenang ke seberang!" aku berseru kepada Marissa.
Kami membungkuk dan berusaha meraih sepatu bot masing-masing.
Tapi sepatu kami telah terbenam terlalu dalam.
Dalam sekejap saja airnya sudah melewati pinggangku. Kalau terus begini, dalam
beberapa menit aku bakal tenggelam.
Booom. Booom.
Langkah yang berdebam-debam itu menimbulkan riak di permukaan air.
Bayangan gelap tadi mulai menyelubungi sungai.
"Justin—lihat!" Marissa memekik. Ia menunjuk ke tepi seberang.
Aku menoleh. Tepi sungai itu begitu dekat—tapi sekaligus begitu jauh.
Aku memicingkan mata agar dapat melihat apa yang ditunjuk Marissa.
"Ada apa, sih?" seruku.
"Ada sumbat besar," Marissa menjelaskan "Di dasar sungai. Seperti sumbat bak
mandi. Ini bukan sungai sungguhan. Ini cuma sungai buatan."
"Tapi airnya asli!" balasku. Aku terbenam semakin dalam. "Kau bisa meraih
sumbat itu, Marissa? Kalau kau bisa mencabutnya, mungkin airnya akan terisap
semua."
Marissa membungkuk. Ia mengulurkan kedua tangan agar dapat meraih gelang
logam di bagian atas sumbat. "Sedikit lagi... sedikit lagi..." ia mengerang. "Kalau
saja..."
Booom. Booom.
Marissa mendesah. "Aku tidak bisa meraihnya. Tanganku tidak sampai. Jaraknya
terlalu jauh."
Air sungai yang dingin sudah sampai di dadaku. Aku terperosok semakin dalam ke
dasar sungai yang berlumpur.
"Kayaknya kita tidak jadi lulus ujian," aku bergumam.
"Aku tidak mau tenggelam!" Marissa meraung-raung. Ia memukul-mukul air
dengan kedua tangan sambil memutar-mutar badan.
Bayangan gelap itu telah menutupi kami.
Aku menoleh dan memandang ke tepi.
Aku melihat makhluk-makhluk yang sedang menghampiri kami.
Dan aku menjerit sejadi-jadinya.
Chapter 23
Chapter 24
"AHHHHH!"
Perutku serasa diaduk-aduk ketika aku diangkat lagi. Kucing raksasa itu kembali
menamparku dan membuatku terayun-ayun tak terkendali.
"K-kita mau dimakan?" Marissa memekik.
"Mereka pasti menganggap kita tikus!" sahutku. Dan tiba-tiba aku mendapat ide.
Kucing itu menyentakkan kepala, dan aku pun berjumpalitan di udara. Lalu aku
ditangkap dengan kedua cakarnya yang besar. Kedua cakar itu menekanku, begitu
keras, hingga aku takut kepalaku copot!
Tapi ide yang baru muncul dalam benakku memberi harapan baru padaku.
Apakah masih ada waktu? aku bertanya-tanya. Apakah aku sempat
melakukannya—sebelum aku ditelan bulat-bulat oleh kucing ini?
Kucing itu kembali melemparku, kemudian menangkapku dengan giginya. Rasa
sakit menjalar di punggungku. Seluruh tubuhku seakan-akan remuk.
Sambil mengerang aku berusaha membalikkan badan. Aku mengulurkan tangan ke
belakang dan mencoba meraih ranselku.
Kalau ritsletingnya bisa kubuka, kataku dalam hati, mungkin aku bisa mengambil
tikus-tikus mainan yang kumasukkan tadi. Dan mungkin aku bisa menghidupkan
satu atau dua ekor. Dan mungkin tikus-tikus itu bisa menarik perhatian kedua
kucing. Dan mungkin Marissa dan aku bisa meloloskan diri.
Mungkin, mungkin, mungkin.
Tapi aku harus mencoba. Kalau tidak, dalam beberapa detik Marissa dan aku bakal
jadi pengganjal perut kucing.
Lidah kucing itu menjilat-jilat tengkukku. Aku memekik kesakitan. Lidah itu kasar
bagaikan ampelas! Embusan napas panas menyengat kulitku.
Aku mencengkeram ranselku dengan sebelah tangan, dan menariknya ke depan.
Tapi kucing itu membuka mulut. Lidahnya yang kasar mendorongku dari
belakang. Dan aku kembali terempas di tanah.
Aku mendarat dalam posisi berlutut. Untuk kesekian kali rasa sakit menjalar ke
seluruh tubuhku. Rasanya tak ada tulang di tubuhku yang tidak patah.
Tapi aku tahu aku tidak boleh menyerah.
Kucing itu membungkuk di atasku. Setiap tarikan napasnya diiringi bunyi
mendesis. Matanya yang kuning memancarkan rasa lapar.
Tanpa memedulikan tubuhku yang babak-belur, aku meraih ransel. Kulepaskan
talinya dari pundakku, lalu kutarik ke depan dan kugenggam erat-erat dengan
kedua tangan.
"Cepat keluarkan tikus-tikus itu," aku bergumam. "Kucing ini butuh mainan baru."
Tapi tanganku bergetar begitu keras sehingga aku tidak bisa membuka ritsleting
ransel.
"Aduuuh!" aku berteriak kesal—tepat ketika kucing itu kembali mengayunkan
cakarnya.
Aku berusaha memanggil Marissa. Aku ingin memberitahunya bahwa aku punya
rencana, bahwa masih ada harapan.
Jauh di atas permukaan tanah aku menggenggam ransel dengan tangan kanan. Dan
berusaha menarik ritsletingnya dengan tangan kiri.
Moga-moga berhasil! aku berdoa dalam hati. Moga-moga tikus-tikusnya bisa
kukeluarkan. Moga-moga bisa kuhidupkan.
"Ini satu-satunya kesempatanku," gumamku sambil menarik-narik ritsleting ransel.
"Satu-satunya kesempatan..."
Embusan napas panas membuatku merinding. Sekali lagi aku merasakan sapuan
lidah yang kering dan kasar di tengkukku.
"Yessss!" aku bersorak ketika aku akhirnya berhasil membuka ransel itu.
"Yessss!"
Penuh semangat aku merogoh isinya. Meraba-raba makhluk-makhluk berbulu yang
ada di dalamnya.
Berusaha meraih salah satu....
Tapi kucing itu kembali mengayunkan kepala, dan aku pun kembali terlempar ke
udara.
"Ahhhh!" aku menjerit ketika ranselku terlepas dari genggamanku.
"Ahhhh!" Kalang-kabut aku berusaha menangkapnya. Aku menjulurkan kedua
tangan. Tapi meleset. Lalu aku berusaha mengaitnya dengan sebelah kaki.
"Ahhhh!" Aku menyaksikan ranselku jatuh ke tanah.
Ransel itu terpental satu kali. Dua kali. Lalu tergeletak di tepi sungai.
Kucing itu menangkapku dengan giginya. Kurasakan ujung giginya yang runcing
menekan kulitku. Kemudian rahangnya membuka lagi. Dan aku mulai meluncur.
Meluncur melewati lidah yang kasar. Meluncur ke dalam mulut yang terbuka lebar
bagaikan gua.
"Sori, Marissa," aku bergumam dengan panik. "Tamatlah riwayat kita."
Chapter 25
Chapter 27
"LUKA kan sudah bilang bahwa di sini banyak pencuri," Marissa balas berbisik.
Suara langkah itu semakin dekat. Aku mengepit peti perak itu dengan sebelah
tangan, seakan-akan sedang melindungi bola kaki. Leherku jadi tegang. Aku
hampir tidak bisa bernapas.
Aku menoleh dan melihat Silverdog berjalan jauh di depan. Ekornya masih
terangkat tinggi-tinggi. Anjing itu menghilang di balik semak-semak yang tinggi.
"Kita harus melakukan sesuatu," Marissa berbisik.
Suara langkah itu bertambah cepat. Sebentar lagi seorang pencuri—atau
segerombolan pencuri—akan muncul dari balik pepohonan dan merampas peti
perak dari tangan kami.
Aku berpaling ke arah semak-semak yang tinggi. Tapi Silverdog sama sekali tidak
kelihatan.
"Kita harus lari," bisik Marissa.
Aku mendengarkan langkah-langkah yang terus mendekat itu.
"Kita tidak mungkin lolos," ujarku. "Aku tidak bisa lari kencang. Aku harus hati-
hati dengan peti ini."
Marissa membelalakkan mata karena panik. Kemudian raut mukanya berubah.
"Aku punya ide, Justin. Kita bisa bersembunyi di balik pohon-pohon itu." Ia
menunjuk. "Pencuri itu akan melewati kita. Setelah itu kita tunggu sampai dia tidak
kelihatan lagi."
Apakah ide Marissa ide yang baik?
Atau ide buruk?
Aku tidak sempat memikirkannya. Kami harus segera bertindak.
Kami berpaling dan berlari ke arah pepohonan. Berlari menghampiri suara langkah
itu.
Apakah kami berhasil mencapai tempat yang aman?
Apakah kami sempat bersembunyi sebelum pencuri itu muncul?
Aku tak pernah tahu jawabannya.
Di tengah jalan kakiku tersandung dahan patah.
"Ohhh!" aku memekik.
Dan tahu-tahu aku sudah kehilangan keseimbangan.
Peti perak itu terlepas dari tanganku.
"Aduuuh!"
Dengan panik aku berusaha menangkapnya. Tapi meleset.
Lututku membentur tanah.
Aku menyaksikan peti itu melayang-layang di udara.
Dan dengan mata terbelalak aku melihat seorang pria bertubuh besar muncul dari
bayang-bayang gelap pepohonan, mengangkat tangan, dan menangkap peti itu
dengan mudah.
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
"HALO! Halo!"
Anjing-anjing kelabu tadi langsung berhenti bermain ketika melihat kami datang.
Mereka menggonggong keras-keras, dan berlari menyambut kami. Semuanya
merundukkan kepala, memperlihatkan gigi-gigi yang runcing, dan menggeram.
Marissa, Dad, dan aku berhenti melangkah. Kulihat tiga orang berjubah cokelat
bergegas keluar dari tenda. Mereka segera mengusir anjing-anjing itu.
"Halo," Dad menyapa mereka dengan ramah. "Saya Profesor Richard Clarke, dan
ini Justin dan Marissa."
Ketiga orang itu mengangguk-angguk. Tapi mereka tidak mengucapkan sepatah
kata pun.
Dua dari mereka berkepala botak. Yang satu lagi berambut panjang dan berkumis
lebat. Rambut dan kumisnya sama-sama putih.
Marissa dan aku berpandangan.
Aku tahu Marissa sama ngerinya dengan aku. Para pengembara berjubah cokelat
ini sama sekali tidak tampak ramah.
Si pengembara berambut putih angkat bicara. "Bagaimana cara kalian menemukan
kami?" ia bertanya dengan nada tidak bersahabat.
"Ada, yang memberitahukan arahnya," sahut Dad.
"Kenapa kau kemari, Profesor Clarke?" si pengembara kembali bertanya.
"Kami sedang mencari Legenda yang Hilang," Dad memberitahunya.
Ketiga orang itu memekik tertahan. Mereka segera merapatkan kepala dan mulai
berbisik-bisik.
Setelah selesai berunding, mereka kembali memandang kami.
Tapi mereka diam saja.
"Apakah Legenda itu ada di sini?" Dad bertanya. "Apakah Legenda itu ada di
tempat kalian?"
"Ya," jawab pengembara berambut putih. "Legenda itu ada di sini."
Ia membisikkan sesuatu kepada kedua kawannya. Mereka berbalik dan bergegas
pergi. Jubah panjang mereka tampak melambai-lambai.
Beberapa detik kemudian mereka sudah kembali. Salah satu dari mereka membawa
peti perak berukuran kecil.
"Oh, astaga!" Dad bergumam sambil membelalakkan mata. "Ini dia? Betulkah ini
Legenda yang Hilang?"
"Ya," balas si pengembara berambut putih. "Kalian menginginkannya?"
"Hah?" Marissa, Dad, dan aku kaget.
Para pengembara menyerahkan peti itu padaku. Saking kagetnya, aku nyaris tak
kuat memegangnya.
"Ambillah!" kata si pengembara berambut putih. Ia segera melangkah mundur.
Dad menelan ludah. "Kalian sungguh-sungguh?" ia bertanya. "Kalian sungguh-
sungguh memberikannya kepada kami?"
"Ya. Ambillah," sahut orang itu cepat-cepat. "Selamat tinggal."
Ia dan kedua rekannya berbalik dan kembali masuk ke tenda mereka. Di luar
dugaan kami, mereka mulai membongkar perkemahan.
Puluhan pengembara mulai merobohkan tenda, mengemas perlengkapan,
memadamkan api unggun. Dan dalam waktu beberapa menit saja mereka telah
menghilang.
Lapangan itu jadi kosong. Tak ada tanda-tanda bahwa para pengembara pernah ada
di situ.
"Aneh," Dad bergumam. "Aneh sekali."
Kami pun meninggalkan lapangan itu. Kami bertiga benar-benar terkejut dan
bingung.
"Mereka menyerahkan harta ini begitu saja," kata Dad sambil mengusap-usap
janggut. "Kenapa mereka berbuat begitu? Kenapa mereka menyerahkan harta ini
tanpa minta imbalan apa pun? Ini benar-benar tidak masuk akal."
Peti itu masih kudekap erat-erat. Setelah berjalan agak lama, aku berhenti.
"Mau ke mana kita sekarang?" tanyaku. "Bagaimana kalau petinya kita buka dulu?
Coba kita lihat apa isinya."
"Ya!" ujar Dad. "Aku juga sudah tak sabar."
Ia mengambil peti itu dari tanganku. Dengan hati-hati ia meletakkannya di tanah.
"Coba kita lihat."
Perlahan-lahan ia mengangkat tutupnya. Lalu ia meraih ke dalam—dan
mengeluarkan setumpuk kertas yang sudah menguning dengan tulisan kecil
berwarna hitam.
"Yes!" Dad berbisik dengan gembira. "Yes!"
Ia memegang legenda kuno itu dengan kedua tangan, lalu membentangkannya
supaya Marissa dan aku bisa ikut melihatnya.
"Wow!" Marissa berseru. "Kelihatannya memang sudah tua sekali—ya, kan?"
"Dad, apa yang tertulis di halaman pertama?" aku bertanya sambil memicingkan
mata agar dapat membaca huruf-huruf kecil itu.
"Ehm... coba kulihat," Dad bergumam. Ia mendekatkan kertas itu ke wajahnya,
mengerutkan kening, lalu membaca keras-keras:
"BARANGSIAPA MENGUASAI LEGENDA YANG HILANG AKAN
TERSESAT UNTUK SELAMA-LAMANYA."
"Hah? Apa maksudnya?" aku berseru.
Dad angkat bahu. "Tak berarti apa-apa. Itu hanya bagian dari legenda."
"Dad yakin?" Marissa bertanya dengan suara gemetar.
Dad mengamati naskah itu. "'Tersesat untuk selama-lamanya...," ia bergumam.
"'BARANGSIAPA MENGUASAI LEGENDA YANG HILANG AKAN
TERSESAT UNTUK SELAMA-LAMANYA."
"Hei—di mana kita?"
Kami bertiga memandang berkeliling dan melihat pohon-pohon gelap yang terasa
asing.
Kami telah berjalan menjauhi lapangan berbatu. Tak ada lagi yang kami kenali.
"Di mana kita?" Dad bertanya sekali lagi.
"K-kita tersesat," aku berbisik.
END