discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/321996261
CITATIONS READS
0 22
1 author:
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
the DGHE, Ministry of Research, Technology and Higher Education, Republic of Indonesia for financial
support under the BPPS program (2604.E4.4/2012) and doctoral research grant (CN: 431.UN.6.3.1/
PL/2016). View project
the DGHE, Ministry of Research, Technology and Higher Education, Republic of Indonesia for financial
support under the BPPS program (2604.E4.4/2012) and doctoral research grant (CN: 431.UN.6.3.1/
PL/2016). View project
All content following this page was uploaded by Santun R.P. Sitorus on 22 December 2017.
C1/11.2016
Judul Buku:
PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN
Penulis:
Santun R.P. Sitorus
Editor:
Rifat Y.Y. Maromon
Yoni Elviandri
Desain Sampul dan Penata Isi:
Rifat Y.Y. Maromon
M Ade Nurdiansyah
Korektor:
Atika Mayang Sari
Jumlah Halaman:
243+14 Halaman Romawi
Edisi/Cetakan:
Cetakan Pertama, November 2016
ISBN: 978-979-493-000-0
Lahan merupakan sumberdaya alam yang memiliki fungsi sangat luas dalam
memenuhi kebutuhan manusia. Sifat, karakteristik dan kualitas sumberdaya
lahan merupakan hal penting yang harus diperhatikan dalam proses perencanaan
penggunaan lahan. Perencanaan Pengggunaan Lahan saat ini mendapat perhatian
utama akibat semakin langkanya ketersediaan lahan dan banyaknya dorongan
konversi lahan pertanian ke non-pertanian di berbagai wilayah, baik di wilayah
perdesaan, di wilayah perkotaan di Indonesia, maupun diberbagai negara di
dunia.
Perencanaan penggunaan lahan dapat memberikan informasi tentang
lahan yang berpotensi dikembangkan untuk berbagai penggunaan berdasarkan
telaahan ilmiah dengan mempertimbangkan pengalokasian ruang pada Rencana
Tata Ruang Wilayah mulai dari tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota,
baik di kawasan perdesaan maupun perkotaan. Rencana Pengggunaan Lahan dan
Rencana Tata Ruang Wilayah dapat digunakan sebagai pedoman dalam optimasi
penggunaan lahan dan pemanfaatan ruang wilayah secara berkelanjutan.
Kami sangat mendukung Penulis, Prof. Dr. Ir. Santun R. P. Sitorus
yang telah menyusun buku Perencanaan Penggunaan Lahan ini. Dukungan
dan kerjasama dari berbagai pakar lainnya khususnya di bidang Perencanaan
Pertanian, Perencanaan Pengembangan Wilayah, Perencanaan Wilayah Kota
dan Perdesaan, Perencanaan Tata Ruang dan Pengelolaan Lingkungan sangat
diperlukan untuk meningkatkan ketepatan penggunaan lahan untuk berbagai
bidang dan kegiatan usaha ekonomi. Akhirnya, kami berharap semoga gagasan
dan hasil jerih payah seorang Guru Besar kami ini dapat diterima, dimanfaatkan,
dan disebarluaskan serta mendapat dukungan dari semua lapisan masyarakat dan
pihak yang berkepentingan.
Bogor, November 2016
Rektor Institut Pertanian
KATA PENGANTAR
Buku ini disusun berdasarkan materi kuliah Perencanaan Penggunaan Lahan
di Sekolah Pascasarjana dan Perencanaan Tata Ruang dan Penatagunaan Lahan
Program Pendidikan Sarjana di Fakultas Pertanian IPB, dimaksudkan sebagai
suatu sumber informasi dalam memahami berbagai aspek yang berkaitan dengan
penggunaan lahan dan perencanaan penggunaan lahan.
Buku ini paling tidak mempunyai lima tujuan utama yaitu : (1) memberikan
gambaran yang menyeluruh tentang berbagai aspek penggunaan lahan dan
konversi lahan, (2) memperkenalkan konsep dan pendekatan dalam inventarisasi
berbagai bentuk penggunaan lahan; (3) memperkenalkan prinsip-prinsip dasar
dalam perencanaan penggunaan lahan agar lahan dapat dimanfaatkan secara
efisien dan berkesinambungan, (4) memperkenalkan berbagai aspek peraturan
perundangan terkait dengan penggunaan lahan dan (5) memperkenalkan
manfaat rencana penggunaan lahan untuk berbagai keperluan dan perencanaan
penggunaan lahan di beberapa negara.
Buku ini merupakan Edisi Pertama dan direncanakan secara bertahap akan
terus dilengkapi dan disempurnakan, baik dari segi isi maupun penyajiannya.
Oleh sebab itu, saran dan kritik membangun dari pemakai sangat diharapkan.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada semua
pihak yang telah memberikan dorongan moril kepada penulis hingga tersusunnya
buku ini. Kepada Saudari Dian Ayu Ira Puspita, SE yang telah meluangkan waktu
mengetik naskah awal buku ini disampaikan penghargaan dan terima kasih.
Demikian juga kepada saudari Nia Audiah dan Tuti Yuneliah yang melakukan
penyempurnaan naskah akhir serta saudara Rifat Y. Y. Maromon, ST yang
melakukan lay out naskah ini disampaikan penghargaan dan terima kasih.
Semoga buku ini dapat mencapai sasarannya sekaligus dapat membantu
praktisi dalam menyusun rencana penggunaan lahan wilayah dan mahasiswa
untuk mempelajari materi kuliah Perencanaan Penggunaan Lahan di Sekolah
Pascasarjana IPB dan Perencanaan Tata Ruang dan Penatagunaan Lahan di
Program Pendidikan Sarjana di Fakultas Pertanian IPB.
SAMBUTAN.............................................................................................. v
KATA PENGANTAR............................................................................... vi
DAFTAR ISI............................................................................................ vii
DAFTAR TABEL...................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR................................................................................ xii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
1.1 Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Pembangunan
Berkelanjutan....................................................................................... 2
1.2 Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Tujuan
Pembangunan....................................................................................... 5
1.3 Penggunaan Lahan dan Kepemilikan Lahan-Dua Aspek
Penting untuk Pembangunan................................................................ 6
DAFTAR GAMBAR
pilihan saat ini di pasar keuangan, sehingga meningkatkan nilai lahan. Lahan
merupakan sumberdaya yang langka, sehingga pada saat ini menjadi sebuah
usaha investasi baru yang menjanjikan.
Perencanaan penggunaan lahan telah terbukti dapat membantu menemukan
keseimbangan antara kepentingan semua pemangku kepentingan. Beberapa
contoh penggunaan lahan yang menyebabkan persaingan dan konflik antara
lain adalah: 1. Penggunaan lahan pertanian dibandingkan dengan industri,
penggunaan komersial dan perumahan; 2. Perlindungan lingkungan terhadap
produksi pertanian; 3. Pertambangan dibandingkan dengan penggunaan lahan
lainnya; 4. Budidaya tanaman agro fuel terhadap produksi pangan; 5. Produksi
bahan baku untuk produksi industri dan pembangunan ekonomi misalnya
perkebunan karet sebagai prasyarat untuk industri otomotif versus perlindungan
alam dan keberkelanjutan ekologis (misalnya pencegahan deforestasi untuk
mengurangi emisi REDD); 6. Intensifikasi pertanian tanaman pangan untuk
ekspor dibandingkan pertanian subsisten dan penggunaan lahan yang luas untuk
menjamin keamanan pangan (sering menentang hak atas lahan secara formal yang
ditentukan oleh negara dan informal lokal melegitimasi hak ulayat termasuk akses
terhadap air, hutan dan sumberdaya lainnya); 7. Perluasan daerah pemukiman,
pertanian dan infrastruktur di daerah beresiko terhadap pencegahan bencana
(konstruksi baru sering meningkatkan resiko, misalnya dengan penimbunan
yang memblokir daerah aliran air atau daerah banjir); 8. Persaingan antara
pemukim lama dan pendatang baru yang harus meninggalkan daerah asalnya
akibat kerusuhan, perubahan iklim atau bencana alam.
Perkembangan global saat ini telah rnenyebabkan terjadinya peningkatan
jumlah konflik atas lahan, perubahan penggunaan lahan, dan peningkatan
adaptasi terhadap perubahan iklim, namun disisi yang lain juga meningkatkan
pendapatan. Hal ini membutuhkan modifikasi peran perencanaan penggunaan
lahan. Perencanaan penggunaan lahan telah menjadi prasyarat utama untuk
setiap pembangunan yang bertujuan untuk keberlanjutan ekologi, ekonomi,
dan sosial. Untuk memenuhi tantangan ini, perencanaan penggunaan lahan
perlu melengkapi isinya dengan perubahan penggunaan lahan saat ini dan
menyesuaikan metode yang digunakan.
Perencanaan penggunaan lahan menyajikan pendekatan pembangunan yang
memberikan kontribusi untuk pencegahan konflik penggunaan lahan, adaptasi
penggunaan lahan dengan kondisi fisik dan ekologi, perlindungan lahan sebagai
4 | Perencanaan Penggunaan Lahan
dan perwakilan dari pemerintah pusat atau daerah dapat mengundang investor
asing untuk menegosiasikan penggunaan lahan secara bersama di daerah masing-
masing. Pemerintah pusat dan daerah dapat memainkan peran sebagai mediator
dan/atau memberikan dukungan kepada masyarakat setempat dalam negosiasi
dengan pihak investor tersebut.
tinggal);
8) Lahan adalah sumber air bagi keluarga rumah tangga dan basis identitas
sosial;
9) Lahan adalah tempat keturunan dan memiliki makna spiritual/agama;
10) Lahan adalah penyimpanan bukti dan catatan sejarah atau pra-sejarah (fosil,
bukti iklim masa lalu, sisa-sisa arkeologi, dan lain-lain);
11) Lahan sebagai prasyarat untuk mewujudkan kebebasan individu;
12) Lahan adalah obyek investasi dan spekulasi;
13) Lahan adalah obyek yang harus dikenakan pajak;
14) Lahan adalah basis dari kekuasaan dan ketergantungan.
Fungsì-fungsi yang berbeda juga dapat tumpang tindih dan perlu
dipertimbangkan ketika mendefinisikan penggunaan lahan. Namun, beberapa
fungsi dapat menghìlangkan satu sama lain sementara yang lainnya memerlukan
fungsi lainnya. Jika lahan digunakan untuk mengekstrak mineral atau bahan
baku, habitat biologi umumnya rusak. Jika lahan digunakan untuk pertanian,
industri atau digunakan untuk komersial, maka lahan tambahan diperlukan
untuk infrastrukur jalan.
Konflik lahan mudah timbul karena kepentingan yang berbeda. Prioritas
individu mengenai fungsi lahan yang dimanfaatkan penggembang dan petani
sering memiliki kepentingan yang berbeda dan bersaing atas lahan sawah yang
subur. Di Indonesia, kegiatan tambang sering mengganggu penggunaan lahan
lainnya, seperti pertanian, hutan lindung, dan permukiman. Di Asia termasuk
Indonesia, pertumbuhan yang cepat dari kota-kota mempengaruhi daerah
pertanian di sekitarnya. Di wilayah Amazon, peternakan baru dan kawasan
permukiman yang terus berkembang telah merusak hutan hujan tropis. Di
banyak negara berkembang, pertanian komersial skala besar yang berorientasi
ekspor telah menggusur pertanian subsisten. Selain itu, rencana sektor yang
berbeda juga sering bertentangan satu sama lain. Perencanaan penggunaan lahan
partisipatif dapat digunakan untuk menengahi kepentingan antara kelompok
penggunaan lahan yang berbeda dan untuk membantu mengidentifikasi
kesepakatan penggunaan lahan.
Penggunaan lahan sering sejalan dengan kepemilikan lahan. Fungsi yang
berbeda dari penggunaan lahan dapat menyiratkan pemilik dan/atau pengguna
8 | Perencanaan Penggunaan Lahan
didefinisikan secara jelas. Hal ini terkadang disebabkan oleh adanya tumpang
tindih atau bertentangan dengan sìstem kepemilikan lahan. Kepemilikan lahan
mengacu pada yurisdiksi atau peraturan (adat, feodal, sosialis, dan lain-lain) yang
mendefinisikan hak/status kepemilikan yang ada dalam sistem yang diberikan.
Masalah timbul ketika dua atau lebih sistem digunakan berdampingan (legal
pluralisme). Hal ini dapat terjadi misalnya ketika sistem kepemilikan lahan
(tenurial) berbasis ekonomi pasar yang didefinisikan oleh hukum nasional tidak
mengakui aturan adat yang mengatur akses dan penggunaan lahan. Sementara
penduduk lokal lebih memilih untuk terus menerapkan sistem kepemilikan
mereka sendiri dan mengabaikan hukum yang formal.
Dibeberapa wilayah dapat terjadi negara mempertimbangkan lahan sebagai
lahan negara dan mengalokasikannya dalam bentuk sewa atau konsesi kepada
investor swasta, sementara masyarakat setempat menganggap lahan yang sama
sebagai hutan masyarakat yang semua penduduk dapat menggunakannya untuk
mengumpulkan kayu bakar, tanaman obat-obatan, produk non-kayu dan
lain-lain (semua yang diperlukan untuk kelangsungan hidup mereka). Sistem
kepemilikan menurut hukum adat dianggap tidak resmi, hanya karena tidak
mencerminkan undang-undang yang formal sehingga sering membuatnya tidak
sah. Sebaliknya, adat dan sistem penguasaan lahan informal lainnya sering tidak
mengindahkan legitimasi yang lebih tinggi atau sistem formal. Hal ini dalam
kenyataannya diberbagai wilayah cenderung akan berubah karena meningkatnya
penyalahgunaan wewenang oleh kepala adat. Secara tradisional dan menurut
aturan, adat bertanggung jawab atas hak alokasi lahan kepada anggota kelompok
saja. Sementara itu, banyak dari mereka sekarang menganggap mereka adalah
permilik penuh lahan dengan hak untuk menjualnya kepada orang asing. Bagi
perempuan dan petani miskin, sistem kepemilikan lahan secara hukum adat
menjadi semakin tidak dapat diandalkan. Hal ini berlaku terutama di daerah-
daerah di mana nilai lahan tinggi dan/atau terjadi peningkatan nilai lahan seperti
pada lahan yang subur dan lahan di daerah pinggiran kota.
Di daerah perdesaan terpencil, lahan kadang-kadang dianggap memiliki
akses tidak terbatas. Oleh karena itu, bisa digunakan oleh siapa saja secara gratis
dan sering lahan ini secara de facto mempunyai akses terbuka Pada kenyataannya,
lahan-lahan tersebut pada umumnya adalah milik negara. Masyarakat lokal
mungkin tidak mengetahui/menyadari bahwa lahan tersebut adalah lahan
negara sehingga lahan tersebut dikuasai oleh masyarakat lokal atau akses terbuka.
Oleh karena itu, menjadi penting bahwa negara dan masyarakat setempat perlu
10 | Perencanaan Penggunaan Lahan
bertanggung jawab dalam pengelolaan sumberdaya alam. Jika negara ingin tetap
bertanggungjawab atas pengelolaan lahan negara atau hutan negara, maka negara
harus memenuhi tugasnya dalam bentuk regulasi yang berkelanjutan, persediaan
dan pendaftaran yang transparan. Jika negara tidak memiliki kapasitas untuk hal
tersebut, pengelolaan sumberdaya alam ada baiknya didesentralisasikan sebagian
kepada masyarakat lokal untuk dikelola secara bersama-sama. Pengalaman
selama ini telah membuktikan bahwa kepemilikan kolektif dan pengelolaan
sumberdaya alam oleh masyarakat lokal memberikan kontribusi signifikan
terhadap pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan.
Mengingat berbagai hal di atas maka sangat penting untuk menganalisìs
pengaturan kepemilikan lahan formal dan informal ketika membahas dan
mendefinisikan penggunaan lahan terutama karena penggunaan lahan dapat
dipakai untuk penentuan siapa yang akan menggunakan lahan. Pengaturan
tersebut dapat berdampak pada akses masyarakat terhadap lahan. Perencanaan
penggunaan lahan yang berkelanjutan tidak dapat digunakan untuk mencabut
hak legitimasi seseorang untuk mengakses lahannya dan/atau pemangku
kepentingan lainnya yang memiliki hak sebelumnya (misalnya petani kecil/
penduduk lokal atau etnis minoritas setempat). Perencanaan penggunaan
lahan dengan partisipasi yang transparan dalam pengambilan keputusan dapat
menjadi alat untuk mencapai jaminan kepemilikan lahan bagi seluruh pemangku
kepentingan, termasuk kelompok marginal.
Terlepas dari kepemilikan lahan, kepemilikan sumberdaya alam lainnya
juga perlu dipertimbangkan dalam perencanaan penggunaan lahan. Hak atas air
memainkan peran penting dalam perencanaan penggunaan lahan. Ketersediaan
air menentukan kemungkinan penggunaan lahan. Sebaliknya, penentuan
penggunaan lahan tertentu dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas air atau
dapat membatasi akses ke sana. Akses masyarakat lokal terhadap hutan dan hasil
hutan juga dapat dipengaruhi oleh perencanaan penggunaan lahan dan secara
tidak sengaja bisa dapat menyebabkan berkurangnya mata pencaharian mereka.
Isu kepemilikan lahan dan sumberdaya yang perlu diperhatikan atau ditangani
selama perencanaan penggunaan lahan antara lain adalah: a). Transparansi pada
semua hak atas lahan formal dan ínformal, primer, dan sekunder dan batas-
batasnya; b). Transparansi pada semua hak formal dan informal, primer dan
sekunder atas sumberdaya alam lainnya selain lahan; c). Analisis dampak yang
diramalkan atas lahan dan sumberdaya alam berdasarkan penggunaan lahan
Bab 1 Pendahuluan | 11
ini sering mempengaruhi terhadap aktivitas pada lahan dan pada akhirnya
dapat mempengaruhi jenis penyakapan (tenure) yang paling tepat. Sejumlah
bentuk penyakapan dikenal dan umum digunakan dalam pertanian,
sedangkan bentuk lainnya digunakan di daerah permukiman perkotaan atau
di daerah perdagangan perkotaan (commercial areas), dan sebagainya.
7. Harga lahan, aktivitas dan kredit yang digunakan pada lahan. Berbagai
hal ini merupakan keterangan yang penting bagi ahli ekonomi seperti harga
lahan, frekuensi penjualan dan cara atau kondisi penjualan, dan bentuk
kredit yang digunakan. Sering jenis aktivitas pada lahan dapat meningkatkan
pendapatan bagi pemakai dan pemiliknya, yang akhirnya juga mempengaruhi
terhadap nilai dan harga lahan tersebut. Program dan perencanaan masa
depan atau harapan-harapan tentang aktivitas pada masa yang akan datang
pada sebidang lahan juga turut mempengaruhi terhadap harga lahan.
8. Interrelasi dalam penggunaan diantara bidang lahan yang berbeda. Di
alam, tidak ada sebidang lahan pun yang betul-betul berdiri sendiri. Faktor
luar (externalities) dari sebidang lahan umumnya mempengaruhi terhadap
aktivitas pada lahan tersebut melebihi pengaruh faktor dalam (internalities).
Dalam kehidupan ini, misalnya, kita tinggal, bekerja, berbelanja dan
bermain pada berbagai bidang lahan yang berbeda, banyak diantaranya
digunakan secara bersama-sama dengan orang lain. Interrelasi yang banyak
dan kompleks diantara bidang lahan yang berbeda tersebut memungkinkan
dilakukan hanya dengan metode transportasi barang dan orang, dan dengan
metode pertukaran pemikiran (exchanging ideas). Adanya sarana transportasi
(access) dari sebidang lahan ke bidang lahan lainnya dapat mempengaruhi
terhadap aktifitas pada lahan tersebut dan juga terhadap nilainya.
9. Interrelasi antara aktivitas pada lahan dan aktivitas sosial dan ekonomi
lainnya. Termasuk dalam hal ini antara lain pekerjaan, pendapatan, investasi
dan data lainnya.
Penggunaan lahan dapat dikelompokkan menurut berbagai cara. Secara
umum penggunaan lahan dapat dikelompokkan kedalam dua kelompok yaitu: (1)
penggunaan lahan pedesaan dalam arti yang luas, termasuk pertanian, kehutanan,
cagar alam dan tempat-tempat rekreasi, (2) penggunaan lahan perkotaan dan
industri, termasuk kota, kompleks industri, jalan raya, dan pertambangan.
Dari kedua pengelompokan di atas, maka dalam uraian berikut ini, penekanan
pembahasan akan lebih berat pada penggunaan lahan pedesaan terutama dalam
18 | Perencanaan Penggunaan Lahan
kaitannya dengan penggunaan lahan untuk kegiatan pertanian dalam arti yang
luas.
Penggunaan lahan perkotaan dapat dikelompokkan kedalam dua golongan
besar yaitu: penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non-pertanian
(Sitorus 2004a). Penggunaan lahan non-pertanian dapat dibedakan kedalam
penggunaan lahan kota atau desa (pemukiman), industri, rekreasi, pertambangan,
dan sebagainya. Penggunaan lahan pertanian dibedakan dalam garis besar ke
dalam macam penggunaan lahan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditas
yang diusahakan, dimanfaatkan atau yang terdapat di atas lahan tersebut, seperti
penggunaan lahan tegalan, sawah, kebun kopi, padang rumput, hutan produksi,
hutan lindung, padang alang-alang, dan sebagainya (Arsyad 2010).
Barlowe (1986) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
penggunaan lahan adalah faktor fisik dan biologis, faktor pertimbangan ekonomi
dan faktor institusi (kelembagaan). Faktor fisik dan biologis mencakup kesesuaian
dari sifat fisik seperti keadaan biologi, tanah, air, iklim, tumbuh tumbuhan, hewan
dan kependudukan. Faktor pertimbangan ekonomi dicirikan oleh keuntungan,
keadaan pasar dan transportasi. Faktor institusi (kelembagaan) dicirikan oleh
hukum pertanahan, keadaan politik dan keadaan sosial ekonomi.
Selain itu, menurut Barlowe (1986) pertambahan jumlah penduduk
menuntut pertambahan terhadap makanan dan kebutuhan lain yang dapat
dihasilkan oleh sumberdaya lahan. Permintaan terhadap hasil-hasil pertanian
meningkat dengan adanya pertambahan penduduk, demikian juga permintaan
terhadap hasil non-pertanian. Pertambahan penduduk dan peningkatan
kebutuhan material, cenderung menyebabkan persaingan dan konflik diantara
pengguna lahan. Adanya persaingan tidak jarang menimbulkan pelanggaran
batas-batas penggunaan lahan, khususnya lahan pertanian yang digunakan untuk
usaha non-pertanian.
Pertambahan penduduk yang pesat dan peningkatan kesejahteraan
penduduk mengakibatkan peningkatan kebutuhan lahan untuk pemukiman,
pertanian, industri, dan rekreasi. Keadaan tersebut menyebabkan perubahan
penggunaan lahan yang sering kurang mengikuti kaidah konservasi alam (Arifin
2002). Perubahan atau perkembangan pola penggunaan lahan dipengaruhi oleh
dua faktor utama yaitu faktor alami dan faktor manusia. Faktor alami antara lain:
tanah, air, iklim, pola musiman, landform, erosi dan kemiringan lereng. Faktor
manusia berpengaruh lebih dominan dibandingkan faktor alami dan dipengaruhi
Bab II Penggunaan Lahan | 19
oleh keadaan sosial ekonomi dan pengaruh dari luar, seperti kebijakan nasional
dan internasional (Sitorus 2004a).
Saefulhakim et al. (2000) mengemukakan bahwa pemahaman akan
perubahan penggunaan lahan pada dasarnya dapat didekati dari struktur utama
yang berkaitan langsung dengan perubahan penggunaan lahan. Secara umum
struktur yang berkaitan langsung dengan perubahan penggunaan lahan tersebut
dapat dibagi menjadi tiga, yaitu (1) struktur permintaan, (2) struktur penawaran,
(3) struktur penguasaan teknologi yang berdampak pada produktivitas
sumberdaya lahan. Pemahaman ketiga struktur utama yang berkaitan langsung
dengan perubahan penggunaan lahan tersebut merupakan syarat yang diperlukan
untuk dapat memodelkan perubahan penggunaan lahan secara utuh. Permintaan
akan lahan dalam aktivitas masyarakat antara lain untuk menunjang ketersediaan
pangan, sandang, papan, amenity, dan fasilitas kehidupan dasar lain dalam
kuantitas, kualitas dan tingkat keragaman tertentu.
Kebutuhan akan lahan meningkat dari waktu ke waktu dipicu oleh
pertumbuhan penduduk, perkembangan struktur dan perekonomian masyarakat
sebagai konsekuensi logis dari hasil pembangunan. Perubahan penggunaan
lahan dapat mengacu pada 2 (dua) hal yang berbeda, yaitu: pada penggunaan
lahan sebelumnya, atau rencana ruang yang ada. Perubahan yang mengacu
pada penggunaan lahan sebelumnya adalah suatu penggunaan baru atas lahan
yang berbeda dengan penggunaan lahan sebelumnya. Perubahan yang mengacu
pada rencana tata ruang adalah penggunaan baru atas tanah (lahan) yang tidak
sesuai dengan yang ditentukan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah
disahkan (Permendagri No.4/1996 tentang Pedoman Perubahan Pemanfaatan
Lahan Kota). Yunus (2000) menyatakan bahwa selain faktor ekonomi yang
menjadi penentu penggunaan lahan, masih ada faktor-faktor lain yang juga
mempengaruhi penggunaan lahan, seperti faktor sosial dan politik, tetapi faktor
ekonomi masih merupakan faktor yang dominan dan tidak dapat diabaikan
dalam setiap analisis penggunaan lahan
areal industri, cagar alam, rekreasi, bangunan, sarana jalan, olahraga, dan
sebagainya.
Meskipun nampaknya ada pemisahan tersebut, pada kenyataannya banyak
di antara jenis penggunaan lahan yang sebenarnya ditujukan untuk satu tujuan
utama pada kenyataannya juga melayani keperluan lainnya. Sebagai contoh,
pembukaan jalan pada umumnya ditujukan untuk membuka areal baru dari
keterisolasian dalam upaya pembangunan ekonomi daerah yang bersangkutan.
Akan tetapi sering juga sekaligus berfungsi untuk keperluan lainnya, misalnya
sebagai alat komunikasi untuk berbagai aspek budaya lainnya dan/atau untuk
keperluan rekreasi. Hal yang sama terjadi pada areal-areal perkebunan dengan
berbagai tanaman tahunan terutama teh dan karet. Walaupun sebenarnya
ditujukan untuk memperoleh produksi kedua komoditas tersebut, pada
kenyataannya juga dapat berfungsi untuk konservasi tanah di daerah-daerah
berlereng, terutama apabila disertai dengan tanaman penutup tanah dari jenis
legum.
Dalam suatu kondisi sosial, ekonomi, budaya dan kelembagaan, setiap
sistem penggunaan lahan harus menghasilkan sesuatu barang, yang dapat berupa
barang nyata atau benda, ataupun bukan benda atau barang tidak nyata yang
berfungsi dalam menentramkan kejiwaan, misalnya rekreasi. Dalam hal ini
kelihatan dengan jelas batas antara sistem pertanian biasa dan sistem penggunaan
lahan pedesaan lainnya. Sistem pertanian biasa akan selalu dapat dinyatakan
dengan jelas dalam satuan produksi serta dapat ditentukan, baik masukan (input)
maupun hasil (output). Sistem penggunaan lahan bukan-pertanian selalu dapat
dinyatakan atau ditentukan dalam istilah yang berbeda-beda. Dalam uraian
berikutnya perhatian terutama difokuskan pada tipe penggunaan lahan pertanian.
Tipe pengggunaan lahan bukan-pertanian yang berhubungan dengan pertanian,
juga akan disinggung secara sepintas.
Berbagai sifat lainnya seperti yang dikemukakan terdahulu yaitu modal
yang diinvestasikan untuk keperluan jangka menengah, jangka sedang dan
jangka pendek, dan masukan tahunan untuk pemeliharaan dan produksi. Baik
tipe penggunaan lahan pertanian maupun bukan-pertanian dapat ditentukan
dengan menggunakan terminologi ini, karena secara bersama-sama, sifat-sifat ini
menunjukkan masukan yang diperlukan untuk tiap jenis penggunaan lahan.
Investasi modal jangka panjang dalam hal ini termasuk jalan, bangunan
serta saluran-saluran drainase, irigasi, bangunan pencegah banjir dan bangunan
konservasi. Banyak diantara modal jangka panjang ini sifatnya berwawasan wilayah
22 | Perencanaan Penggunaan Lahan
sehingga dapat dikatakan menjadi bagian dari lahan itu sendiri. Bangunan yang
sama dapat digunakan baik untuk keperluan pertanian ataupun untuk keperluan
bukan-pertanian.
Investasi modal jangka pendek dan jangka menengah meliputi mesin-mesin
pertanian ataupun bangunan-bangunan kecil yang sejak awal lebih berhubungan
langsung terhadap tipe penggunaan lahan tertentu. Masukan tahunan dalam
bentuk tenaga kerja dan bahan yang diperlukan untuk pemeliharan dan produksi
dapat digunakan membedakan individu tipe penggunaan lahan.
Ciri Sosial
Berbagai ciri sosial yang mempunyai pengaruh besar terhadap tipe
penggunaan lahan dan pada tingkat pengelolaan dalam tipe tertentu adalah:
sistem penyakapan lahan (land tenure); sistem sosial dan administrasi lainnya
yang berhubungan langsung pada penggunaan lahan (misalnya sistem warisan,
sistem subak di Bali); ukuran usahatani; dan tingkat pembangunan budaya.
Ukuran usahatani dalam keadaan tertentu mencirikan tipe penggunaan
lahan. Sebagai contoh, produksi gabah/padi di sebagian kawasan Asia Tenggara
umumnya dilakukan pada areal usahatani yang relatif sempit (sekitar satu
hektar atau kurang) terdiri dari tipe penggunaan lahan yang cukup berbeda
dari produksi beras kelas menengah di daerah-daerah Asia Barat dan Eropah
Selatan, dan produksi beras yang sepenuhnya menggunakan mekanisasi pada
areal usahatani dengan luas areal ratusan hektar pada bagian lain dunia, seperti
Amerika Serikat.
Contoh lainnya adalah dengan membandingkan produksi lateks atau karet
dan teh pada usahatani keluarga dari penduduk setempat (merupakan plasma
Bab II Penggunaan Lahan | 23
Sistem Infrastruktur
Sistem infrastruktur mempunyai dampak yang cukup besar terhadap
penggunaan lahan tanpa secara jelas dapat digunakan sebagai kriteria dalam
menentukan tipe penggunaan lahan. Misalnya, jalan dan sistem komunikasi
lainnya, meskipun tidak mempunyai hubungan langsung dengan tipe
penggunaan lahan, tetapi dengan adanya jalan dan sarana komunikasi lainnya
akan memberikan fasilitas yang lebih baik dalam pengangkutan hasil-hasil
pertanian dari daerah tersebut.
Sistem infrastruktur lainnya seperti saluran irigasi, tanggul, dam dan
sebagainya yang mempunyai pengaruh langsung terhadap pengelolaan air dapat
berpengaruh langsung terhadap beberapa tipe penggunaan lahan dan dapat
digunakan sebagai sifat penentu dalam menentukan tipe tertentu. Pembangunan
sistem saluran drainase di daerah pasang surut yang sering tergenang air misalnya
memberikan kemungkinan terhadap pelaksanaan sistem penggunaan lahan
intensif untuk produksi hasil pertanian. Demikian juga halnya sistem infrastruktur
sangat penting dalam usaha pertanian beririgasi. Ketersediaan sistem irigasi teknis
24 | Perencanaan Penggunaan Lahan
dipadukan dengan sistem drainase yang sesuai merupakan faktor penentu utama
terhadap bentuk tipe penggunaan lahan di sebagian besar wilayah tropis Asia dan
Asia Barat, termasuk di Indonesia.
Hasil
Hasil pada umumnya merupakan faktor utama yang digunakan untuk
mencirikan tipe-tipe penggunaan lahan. Meskipun demikian, sering hasil
harus dikombinasikan dengan faktor-faktor lain dalam membedakan tipe-tipe
penggunaan lahan. Seperti telah dikemukakan terdahulu, tipe penggunaan
lahan yang menghasilkan jenis produksi atau tanaman yang sama sering berbeda
dalam semua aspek-aspek lainnya, seperti terlihat pada contoh perbedaan antara
usahatani petani atau perkebunan rakyat dengan perkebunan besar, meskipun
menghasilkan jenis komoditas perkebunan yang sama.
Masukan Awal
Masukan awal untuk tipe penggunaan lahan pertanian memegang peranan
penting dalam pengembangan lahan (land development). Biaya atau modal sebagai
investasi jangka panjang dapat sepenuhnya menentukan terhadap kelayakan suatu
proyek. Hal ini terutama penting dalam proyek-proyek baru yang memerlukan
sejumlah bangunan atau konstruksi. Pada sistem pertanian yang telah berkembang
dimana telah tersedia sebelumnya investasi infrastruktur, hal ini mungkin kurang
berpengaruh atau kurang menentukan karena biaya bangunan-bangunan tersebut
telah dilunasi dan dianggap telah merupakan bagian dari sumberdaya lahan itu
sendiri, serta diperlakukan demikian.
Kebutuhan untuk pemeliharaan secara teratur berbagai konstruksi tersebut
merupakan suatu keharusan, biasanya dipenuhi melalui masukan tahunan yang
dapat berupa tenaga kerja, bahan-bahan dan mesin-mesin. Sebagai tambahan
pada bangunan-bangunan infrastruktur, investasi modal dalam banyak tipe
penggunaan lahan biasanya termasuk bangunan-bangunan usahatani, berbagai
macam pagar, bangunan-bangunan konservasi seperti teras dan investasi
pembuatan saluran drainase. Semua hal ini dapat dipertimbangkan sebagai sifat-
sifat penciri untuk tipe penggunaan lahan.
Masukan Tahunan
Masukan tahunan berupa modal jangka pendek hampir selalu merupakan
Bab II Penggunaan Lahan | 25
sebagainya diperlukan jumlah tenaga kerja yang relatif besar. Untuk keperluan
demikian, biasanya diatasi dengan cara bekerjasama dengan tetangga, atau
menyewa tenaga kerja yang tersedia di pedesaan (datang dari tempat lain) secara
musiman.
pertanian, maka pada kesempatan ini akan diuraikan secara ringkas beberapa
bentuk penggunaan lahan non-pertanian, terutama ditinjau dari hubungannya
dan pengaruhnya pada penggunaan lahan pertanian. Beberapa diantaranya
yang penting adalah: penggunaan lahan perkotaan, penggunaan lahan kawasan
industri, sistem jaringan jalan, daerah rekreasi dan daerah konservasi atau cagar
alam.
Penggunaan lahan perkotaan dan kawasan industri serta sistem jaringan jalan
pada dasarnya berpengaruh terhadap nilai ekonomi penggunaan lahan pertanian.
Hal ini sesuai dengan prinsip yang dikemukakan oleh von Thunen, yang
menguraikan berbagai jenis penggunaan lahan pertanian yang dikelompokkan
dalam bentuk lingkaran mengelilingi kota (Chisholm 1968). Adanya penggunaan
lahan perkotaan dan industri umumnya meningkatkan taraf hidup dan nilai jual
lahan pertanian di sekitarnya. Akan tetapi sering juga menimbulkan berbagai
permasalahan sebagai akibat adanya pencemaran udara dan air pada areal
pertanian. Demikian juga halnya dengan kehadiran sistem jaringan jalan di
areal pertanian. Pembangunan jalan negara, terutama jalan tol atau jalan bebas
hambatan sering mengganggu bahkan merusak terhadap sistem jalan dan saluran
irigasi yang telah ada di daerah pertanian atau pedesaan. Bahkan kadang-kadang
dapat menyebabkan terputusnya saluran irigasi dan terputusnya hubungan antara
petani dengan lahan pertaniannya, sehingga jarak tempuh yang diperlukan untuk
mencapainya menjadi jauh lebih lama.
Penggunaan lahan untuk keperluan rekreasi dan/atau cagar alam pada
umumnya berhubungan erat dengan penggunaan lahan pertanian, karena
biasanya berhubungan dengan penggunaan lahan di daerah pedesaan. Dalam
beberapa hal memang penggunaan lahan untuk keperluan rekreasi lebih
mengarah ke perkotaan, mengingat fasilitas ini biasanya banyak dimanfaatkan
oleh penduduk kota. Cagar alam sering dapat dimanfaatkan untuk keperluan
rekreasi, sejauh tidak mengganggu terhadap lahan atau bentang lahan (landscape),
serta flora dan fauna yang sedang dilindungi. Berbagai bentuk konservasi alam
sering berpengaruh langsung terhadap lahan pertanian. Konservasi vegetasi hutan
sebagai hutan lindung misalnya, sangat diperlukan untuk pengaturan sistem tata
air pada areal pertanian yang ada di bagian hilirnya.
BAB III
SURVEI PENGGUNAAN LAHAN
Survei penggunaan lahan adalah survei atau studi yang digunakan untuk
mencatat berbagai aspek penggunaan lahan yang terdapat pada saat survei
dilakukan. Oleh karena itu, survei penggunaan lahan merupakan survei
penggunaan lahan sekarang (present landuse surveys) (Vink 1975). Akan tetapi
sering juga pengertian survei penggunaan lahan ini diartikan lebih luas lagi
yang dapat mencakup baik survei dan studi penggunaan lahan sekarang
maupun potensi penggunaan lahan dimasa mendatang (Robertson dan Stoner
1970).
Survei penggunaan lahan sekarang diperlukan dalam perencanaan
pembangunan karena dua alasan utama: (1) untuk dapat menunjukkan
berbagai jenis penggunaan lahan yang ada di lapangan beserta lokasi masing-
masing, serta memberikan perkiraan keadaan atau situasi sekarang, sering
dalam istilah produksi atau nilai (value); (2) untuk memperoleh pengertian
tentang penggunaan sekarang (present usage) lahan dalam arti yang luas sebagai
titik tolak untuk memutuskan kemungkinan-kemungkinan mengadakan
perubahan, penyempurnaan, pengembangan atau konservasi penggunaan
lahan tersebut.
Survei penggunaan lahan sekarang merupakan kegiatan yang relatif
sederhana dan dapat dilakukan sebagai pekerjaan tersendiri. Akan tetapi survei
potensi penggunaan lahan membutuhkan kegiatan yang lebih kompleks dan
harus merupakan bagian dari studi yang lebih luas. Meskipun seolah-olah
terdapat pemisahan pada kedua kegiatan survei ini, pada kenyataannya
survei dan studi tentang potensi penggunaan lahan juga mempertimbangkan
keadaan penggunaan lahan sekarang.
Survei penggunaan lahan sekarang ditujukan untuk mengumpulkan
data tentang penggunaan lahan sekarang termasuk berbagai jenis tanaman
dalam kaitannya dengan penyebaran spasialnya. Survei potensi penggunaan
32 | Perencanaan Penggunaan Lahan
lahan lebih kompleks dalam tujuan dan implementasinya. Hampir semua survei
potensi penggunaan lahan membutuhkan hasil survei tanah atau lahan sebagai
dasar dalam tahapan pertama evaluasi sumberdaya lahan. Selanjutnya, dalam
tahapan berikutnya evaluasi potensi lahan dilakukan dengan menggunakan
klasifikasi kemampuan atau kesesuaian lahan. Berbagai metode atau teknik
evaluasi sumberdaya lahan ini telah dibahas secara menyeluruh dalam berbagai
buku teks dan dapat dilihat antara lain dalam Sitorus (2004b).
Survei penggunaan lahan merupakan langkah penting dalam perencanaan
pengembangan lahan (land development planning). Dalam pelaksanaannya, survei
penggunaan lahan banyak dibantu oleh perkembangan metode-metode survei
modern, terutama penggunaan foto udara dan citra penginderaan jauh lainnya
seperti citra satelit. Dengan mengetahui semua aspek tentang keadaan sekarang,
maka perencanaan pengembangan lebih lanjut diharapkan dapat disusun dengan
baik. Keputusan-keputusan yang menyangkut perubahan dalam penggunaan
lahan sebaiknya dilakukan hanya setelah segala aspek yang berkaitan dengan
penggunaan lahan sekarang dipelajari dan diteliti secara seksama termasuk
kondisi sosial-ekonomi, budaya dan ekologik.
Permasalahan yang sering timbul dalam survei penggunaan lahan adalah
dalam penyusunan klasifikasi penggunaan lahan. McIntyre (1972) telah
mengidentifikasi permasalahan tersebut, seperti pengelompokan kegiatan
penggunaan lahan ke dalam kategori-kategori untuk dapat memberikan ringkasan
yang mudah digunakan, dan penentuan kategori-kategori dominan dalam kasus
di mana dua atau lebih kategori ditemukan.
Dalam pelaksanaan survei penggunaan lahan berbagai keragaman atau variasi
sering ditemukan. Hal ini terutama disebabkan perbedaan dalam tujuan survei
serta tempat atau negara dimana survei tersebut dilakukan. Berikut ini akan
diuraikan pelaksanaan survei penggunaan lahan di beberapa negara termasuk
Indonesia.
hampir sembilan puluh persen dari pekerjaan lapang telah diselesaikan. Pada
permulaan perang Dunia Kedua, semua pekerjaan lapang telah diselesaikan dan
sebagian besar pekerjaan penggambaran atau kartografik dengan skala 1 : 63.360
(1 inci = 1 mil) telah selesai dikerjakan.
Adanya kebutuhan untuk memanfaatkan lahan yang dapat digarap (arable
land) untuk produksi bahan makanan selama perang, secara kebetulan telah
memberikan kesempatan pelaksanaan secara meluas survei penggunaan lahan.
Keadaan ini menyebabkan survei penggunaan lahan yang semula dianggap lebih
merupakan kegiatan latihan ilmiah berubah menjadi alat yang secara praktis dapat
digunakan oleh Komite Pangan Perang (County War Agricultural Committees)
dan departemen-departemen lainnya dalam perencanaan penyediaan pangan dan
keperluan lainnya.
Selama perang sebanyak 8.000 lembar peta telah digunakan untuk keperluan
praktis, belum terhitung penggunaan peta yang telah diterbitkan sebelumnya.
Secara berangsur-angsur pekerjaan survei penggunaan lahan menjadi semakin
diarahkan untuk penilaian produktivitas, kesuburan, dan klasifikasi lahan, sesuai
dengan keperluan Departemen Pertanian.
Selanjutnya dengan semakin pentingnya data dasar untuk perencanaan
kota dan pedesaan, maka dilakukan pengumpulan data dasar tentang tanah
dan bentang lahan. Data ini kemudian diintegrasikan ke dalam klasifikasi lahan
Inggris Raya. Untuk dapat lebih memahaminya, maka beberapa aspek dari
klasifikasi lahan tersebut diuraikan berikut ini.
Klasifikasi lahan pertama kali dikembangkan berdasarkan pengetahuan
tentang sumberdaya lahan yang sebagian besar dikumpulkan oleh ahli geografi.
Sistem ini merupakan dasar dalam tahapan pertama perencanaan penggunaan
lahan pada periode setelah perang di Inggris. Survei yang demikian sangat
dibutuhkan pada saat itu, karena organisasi atau badan survei yang bergerak
dalam mempelajari sumberdaya lahan belum berkembang dengan baik atau
sifatnya hanya berupa latihan ilmiah dalam mempelajari tanah sebagai fenomena
alami.
Keberhasilan survei penggunaan lahan yang dilakukan oleh Stamp tersebut,
selain ditentukan oleh kemampuan dan talenta yang dimiliki Stamp itu sendiri
dan kelompok kecil ilmuwan yang membantunya, juga terletak pada sejumlah
besar pekerja sukarelawan, banyak diantaranya adalah anak-anak sekolah.
34 | Perencanaan Penggunaan Lahan
c. Belukar (shrub), setiap perdu atau pohon yang tidak cocok untuk
ditebang
Catatan juga harus dibuat bagi setiap hutan atau lahan hutan yang
tidak diperuntukkan sebagai penghasil kayu, seperti untuk hiasan
(Ornamental), untuk batas areal rumah (screening houses) dan kebun,
dan lain-lain. Dalam prakteknya, cara yang paling sederhana dalam
memetakan hutan atau lahan hutan pada peta lapang adalah sebagai
berikut: setiap hutan diberi tanda dengan huruf F; kemudian bedakan
sifat-sifatnya menurut klasifikasi diatas sebagai Fa, Fb, Fc, Fd.
Bab III Survei Penggunaan Lahan | 35
s. Rawa-rawa (marshes)
t. Berbagai usahatani pada tanah campuran (mixed soils), atau yang tidak
di klasifikasikan
II Di Skotlandia
Crofting
Kode Kategori
1 Tempat tinggal (residential)
2 dan 3 Pabrik (manufacturing)
4 Transportasi, komunikasi dan utilitas (utilities)
5 Perdagangan (trade)
6 Pelayanan (services)
7 Budaya, pertunjukan, dan rekreasi
8 Produksi dan ekstraksi sumberdaya
9 Lahan yang belum dikembangkan dan areal air
Akan tetapi penekanannya bukanlah pada struktur klasifikasi, melainkan
pada identifikasi mendetail aktivitas yang ditunjukkan pada tingkat empat-
digit. Secara keseluruhan dalam panduan ini terdapat 9 kategori satu-digit, 67
kategori dua-digit, 294 kategori tiga-digit, dan 772 kategori empat-digit. Apabila
diperlukan, kode-kode pada tingkatan dua, tiga dan empat-digit dapat diperluas.
Kategori empat-digit merupakan yang paling detail, dan merupakan tingkatan
detail yang direkomendasikan untuk pemberian kode keterangan dasar yang
dikumpulkan melalui pengamatan lapangan atau sumber-sumber kedua lainnya.
Makin sedikit digit yang digunakan, berarti kategori tersebut menjadi lebih
umum atau generalis sifatnya.
Untuk dapat memungkinkan identifikasi mendetail di bawah satu klasifikasi
dan pada waktu yang bersamaan ringkasan identifikasi di bawah klasifikasi
lainnya, hanya 1 hingga 9 sub-kategori digunakan pada setiap sub-klasifikasi.
Buku panduan ini mempunyai masalah dalam penempatan lahan bera (idle land).
Kode terpisah, 9100 digunakan untuk mengidentifikasikan lahan yang belum
dikembangkan atau apabila dulunya telah dikembangkan, tetapi sekarang tidak
digunakan (vacant and unused).
Lebih separuh dari keseluruhan buku panduan tersebut digunakan untuk
daftar mendetail dari kategori-kategori satu-, dua-, tiga-, dan empat-digit.
Meskipun demikian, yang terakhir tidak didefinisikan secara khusus, meskipun
catatan kaki (footnotes) digunakan apabila artinya tidak begitu jelas. Perlu
dijelaskan bahwa tidaklah mungkin untuk meringkaskan keseluruhan kode-kode
secara terinci dalam uraian ini, sehingga bagi pembaca yang berminat mengetahui
lebih lanjut disarankan untuk membaca dan mempelajari sendiri buku panduan
tersebut.
Bab III Survei Penggunaan Lahan | 41
Selain itu, Buku Panduan ini juga mengemukakan sistem pemberian kode
berupa tiga lampiran pendek, yaitu: (1) sistem pemberian kode (coding) untuk
mengidentifikasi kepemilikan (ownership) yang menempatkan semua pemilikan
pribadi (private ownership) ke dalam kategori tunggal; (2) sistem pemberian kode
untuk mengidentifikasi jenis usahatani dan penggunaan usahatani (farm uses);
dan (3) sistem pemberian kode untuk mengidentifikasi tipe bangunan (types of
structures) yang berisikan satuan-satuan keluarga atau rumah tangga (households).
Masing-masing hal ini diuraikan cukup singkat dengan mempertimbangkan
ruang lingrkup bahan-bahan yang dibicarakan.
Meskipun Buku Panduan ini merupakan panduan klasifikasi penggunaan
lahan yang hampir sempurna, beberapa permasalahan masih terdapat dalam
penggunaannya untuk dapat mencakup semua keadaan penggunaan lahan di
Amerika Serikat (Clawson dan Stewart 1965). Sistem pemberian kode penggunaan
lahan terutama dikembangkan untuk penggunaan dalam perencanaan areal
perkotaan sehingga banyak dari kode dan kategori khusus diperuntukkan
terutama pada keadaan penggunaan lahan perkotaan. Misalnya, dalam kelompok
yang luas jalan dengan kode 45, terdapat tujuh kategori perkotaan khusus (jenis
jalan yang berbeda), satu kategori khusus antar-kota, tetapi semua jalan lainnya
dikelompokkan di bawah kelompok jalan lainnya. Demikian juga perlu kiranya
penyempurnaan atau elaborasi tentang pertanian atau usahatani. Untuk taman
(parks) dan areal rekreasi juga diperlukan penambahan beberapa kategori dan
definisinya.
untuk lebar dan luas diatas dipertimbangkan untuk skala kecil fotoudara (1 :
40.000 – 1 : 60.000). Untuk skala foto sedang dan besar (lebih dari 1 : 40.000)
batasan-batasan di atas dapat dikurangi sesuai keperluan. Luas minimum yang
dapat dibatasi pada foto udara dan peta berturut-turut adalah 0,5 cm2 dan 2
mm).
Lahan hutan yaitu semua lahan dengan penutupan hutan (termasuk bambu
alam, palem, dan belukar) dan permukaan lahan yang tidak digunakan untuk
keperluan lain di luar kehutanan.
Luasan minimum lebih dari 2 hektar, termasuk:
a. Hutan untuk umum atau milik pribadi termasuk usahatani hutan
b. Semua pertanaman termasuk satu daur pertanaman (one rotation plantations),
terutama digunakan untuk keperluan kehutanan.
c. Areal yang sementara tidak mempunyai pohon karena penebangan pohon,
regenerasi atau pembakaran.
d. Jalan hutan, pembibitan, sungai, saluran dan lapangan terbuka kecil
lainnya.
Bab III Survei Penggunaan Lahan | 43
adanya tanah atau air seperti pada areal-areal berbatu dan batuan induk yang
muncul di permukaan, lereng terjal, dan tebing curam.
8. Longsoran (landslide): merupakan lahan yang terbuka karena adanya
longsoran di daerah perbukitan. Penumpukan batu-batuan (debris) sering
terlihat pada lereng bawah.
9. Areal ditutupi salju: merupakan areal yang secara permanen ditutupi salju
seperti di Himalaya. Daerah-daerah yang secara musiman ditutupi salju,
tidak termasuk ke dalam kategori ini.
10. Lahan non-hutan lainnya: meliputi lahan yang tidak termasuk ke dalam
salah satu jenis atau kelompok lahan non-hutan di atas.
1 : 50.000
2. Persawahan: (a) sawah dua kali padi setahun atau
lebih, (b) sawah satu kali padi setahun + palawija, (c)
sawah satu kali padi setahun, dan (d) sawah ditanami
tebu/tembakau/rosela/sayur-sayuran
Bab III Survei Penggunaan Lahan | 47
1c1.Emplasemen menetap
1c2.Emplasemen sementara
48 | Perencanaan Penggunaan Lahan
7b.Tambak
7c.Kolam Penggaraman
50 | Perencanaan Penggunaan Lahan
9a2.Padang Alang-alang
9b1.Padang semak
9. 9b3.Padang Bencah
Perairan Darat:
1:
2.500 1. Perkampungan
1a1.Perumahan permanen
1a3.Perumahan Darurat
1b1.Kuburan Islam
1b2.Kuburan Kristen
1b3.Kuburan Cina
1c1.Emplasemen menetap
1c2.Emplasemen sementara
52 | Perencanaan Penggunaan Lahan
4. Perkebunan
4a1.Karet sudah berproduksi
4a2.Karet belum berproduksi
dst. Menurut jenis tanaman dengan perincian sudah/
belum berproduksi
5. Kebun Campuran
5a1.Campuran, sudah berproduksi
5a2.Campuran, belum berproduksi
5b1.Buah-buahan, sudah berproduksi
5b2.Buah-
Bab III Survei Penggunaan Lahan | 53
1. Perkampungan
Kampung adalah kelompok bangunan tempat tinggal penduduk yang
dimaksudkan untuk dimukimi menetap. Sifat menetap tersebut dinyatakan
oleh salah satu atau lebih dari 3 hal berikut:
a. Kampung. Pengakuan Penduduk: Jika sudah diberi nama tetap.
Dalam hal ini termasuk embrio kampung dengan nama babakan,
umbul, talang, taratak, dan lain-lain. Kampung dapat dilihat dari
kondisi bangunan dan intensitas hunian.
Kondisi Bangunan: Jika konstruksinya dibuat untuk dapat dimukimi
lebih dari 3 tahun. Intensitas hunian: Jika selama lebih dari 3 tahun
dihuni setiap tahun sedikitnya selama 6 bulan kumulatif. Dalam hal
perkampungan yang rumah-rumahnya berpencar, maka pada skala
1:100.000 dan 1:50.000 dipetakan berikut pekarangannya dengan
syarat bahwa tiap satuan tidak lebih dari 0,25 ha. Misalnya wilayah
seluas 25 ha (=1 cm2 di peta) yang berisi 10 rumah jangan dinyatakan
sebagai blok kampung seluas 1 cm2 di peta.
Untuk keperluan pemetaan penggunaan lahan pada skala besar,
dasar penilaian perumahan dalam kampung adalah kombinasi dari
3 bagian utama bangunan yaitu Lantai-Dinding-Atap yang masing-
masing bisa permanen atau darurat. Penetapannya adalah sebagai
berikut:
54 | Perencanaan Penggunaan Lahan
areal berbatu-batu, tanah lahar, tanah pasir; disebut sebagai tanah rusak
jika sebelumnya pernah digarap dan kemudian ditinggal seperti areal tererosi
berat, bekas galian, bekas sawah rawa yang menjadi asin atau padat.
9. Padang, ialah areal terbuka karena hanya ditumbuhi tanaman rendah dari
jenis rumput dan semak rendah. Disebut sebagai padang rerumputan, jika
terutama ditumbuhi jenis-jenis rumput, dapat berupa rumput jenis yang
besar (tinggi) seperti alang-alang, gelagah, dan dapat berupa jenis yang kecil
(rendah); Disebut padang semak, jika terutama ditumbuhi jenis semak-
semak atau jika penampakan dari semak-semak lebih menonjol dibandingkan
rerumputannya. Untuk keperluan pemetaan penggunaan lahan pada skala
1:25.000 dan 1:12.500 digunakan batasan-batasan sebagai berikut:
a1. Jika terutama ditumbuhi jenis rumput kecil (rendah)
a2. Jika terutama ditumbuhi jenis rumput besar (tinggi), seperti alang-
alang, dan sebagainya.
b1. Jika terutama ditumbuhi semak-semak
b2. Jika selain adanya jenis rerumputan dan semak juga setempat diselingi
oleh adanya tanaman lebih tinggi dari jenis pepohonan kecil atau palma,
biasanya satu-dua atau tidak mengelompok.
b3. Jika penampakan rumput dan semak berbaur dengan genangan-
genangan kecil ditumbuhi rumput rawa dan terdapat sepanjang tahun.
10. Perairan Darat
a. Danau/Situ, ialah areal dengan penggenangan permanen yang dalam,
terjadi secara alami
b. Rawa, ialah areal dengan penggenangan permanen yang dangkal
tetapi belum cukup dangkal untuk dapat ditumbuhi tumbuhan besar,
sehingga umumnya hanya ditumbuhi rerumputan rawa.
c. Waduk, ialah danau yang terjadi karena adanya pembendunggan
buatan manusia.
11. Penggunaan Lain, ialah sesuatu areal yang tidak dapat digolongkan ke
dalam salah satu dari golongan (1) s/d (10) tersebut di atas, misalnya: Tanah
baru dibuka, atau hutan yang baru ditebang.
BAB IV
TEKNIK SURVEI DAN
MODEL SISTEM INFORMASI
PENGGUNAAN LAHAN
deskripsi dan ketahanan (persistence); (2) terdiri dari fenomena biotik, termasuk
vegetasi alami dan kehidupan binatang seperti deskripsinya, ada atau tidaknya
keadaan serial atau klimaks, perubahan-perubahan dan laju perubahan. Kategori
biotik mungkin juga meliputi tanaman-tanaman pertanian dan ternak, atau
setiap perubahan penutupan lainnya sebagai hasil dari keputusan penggunaan
lahan; dan (3) kelompok data yang lebih umum dan meliputi setiap tipe atau
jenis pembangunan.
BAB V
PERMASALAHAN
DALAM PENGGUNAAN LAHAN
areal pertanian dan permukiman yang berada di sepanjang daerah aliran sungai
tersebut dapat terhindar dari bahaya banjir di musim hujan dan kekeringan di
musim kemarau.
Persepsi dari setiap orang atau kelompok terhadap permasalahan penggunaan
lahan sering berbeda-beda dan kadang-kadang dapat berbeda dari kenyataan.
Persepsi dalam kaitannya dengan perubahan penggunaan lahan dapat ditunjukkan
dalam zonasi tata ruang (spatial zone) seperti terlihat pada Gambar 3. Perubahan
penggunaan lahan yang secara langsung mempengaruhi lingkungan-lingkungan
alami, sosial dan ekonomi dari suatu lokasi (dalam hal ini lokasi X). Daerah yang
mempunyai dampak langsung ini luasannya dapat beragam dari beberapa petak
lahan/blok hingga beberapa kilometer bujur sangkar.
Gambar 3 Zonasi tata ruang dampak atau reaksi terhadap perubahan penggunaan
lahan (Dari Lounsbury 1981)
1981–1999 di Jawa terjadi pengurangan luas lahan sawah sebesar 483.831 hektar
dan terjadi kenaikan yang tajam pada dekade berikutnya. Jika kondisi ini terus
berlangsung, upaya pemerintah untuk peningkatan ketahanan pangan dan
pemenuhan pangan dapat terganggu.
Dibandingkan dengan gangguan produksi lain seperti peningkatan serangan
hama/penyakit dan kekeringan, konversi lahan sawah merupakan ancaman
yang lebih serius terhadap ketahanan pangan (Irawan 2002). Hal ini dapat
terjadi karena dua fàktor yaitu: (1). Proses konversi lahan relatif sulit dihindari
karena merupakan suatu proses alami yang terkait dengan kelangkaan lahan,
pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk, dan (2). Dampak konversi
lahan sawah terhadap penurunan produksi padi cenderung bersifat permanen
karena lahan sawah yang sudah dikonversi ke penggunaan non-pertanian seperti
pembangunan jalan, kawasan industri dan kompleks perumahan tidak akan
pernah berubah kembali menjadi lahan sawah. Dampak konversi lahan sawah
seperti ini menyebabkan peluang produksi padi yang hilang akibat konversi
tidak hanya dirasakan pada saat kejadian konversi, tetapi juga pada tahun-tahun
berikutnya atau dampak tersebut bersifat kumulatif .
Selain berdampak pada pengurangan produksi padi melalui penurunan
luas panen, konversi lahan sawah dapat menimbulkan dampak negatif secara
ekonomis, sosial, dan lingkungan dalam konteks yang lebih luas. Hal ini karena
keberadaan lahan sawah dan aktivitas usahatani yang dilakukan petani, secara
langsung maupun tidak langsung, sebenarnya memiliki fungsi ekonomi, sosial
dan lingkungan yang cukup luas (Munasinghe 1992; Callaghan 1992; Kenkyu
1996). Fungsi-fungsi tersebut akan hilang jika lahan sawah dikonversi ke
penggunaan non-pertanian seperti pembangunan kompleks perumahan. Salah
satu fungsi ekonomi lahan sawah adalah sebagai penghasil padi dan sumber
pendapatan rumah tangga pedesaan. Fungsi secara sosial dapat dilihat dari
berkurangnya kegiatan usahatani padi (lapangan kerja) yang dilakukan pada
lahan sawah. Secara lingkungan berkaitan dengan biodiversity yang terdapat pada
lahan sawah, berkurangnya kemampuan lahan dalam menahan limpahan aliran
permukaan yang dapat menimbulkan banjir dan seterusnya.
Berbagai peraturan yang berkaitan dengan upaya pengendalian konversi
lahan pertanian sebenarnya telah diterbitkan pemerintah. Secara umum
peraturan-peraturan tersebut terkait dengan tiga aspek konversi lahan yaitu: (1)
Jenis lahan pertanian yang dilarang dikonversi ke penggunaan non-pertanian,
Bab VI Konversi Lahan Pertanian dan Multifungsi Lahan Pertanian | 77
sekitar 0,6 juta hektar lahan sawah di luar Jawa (sekitar 17% total luas sawah di luar
Jawa) telah mengalami konversi lahan (Agus dan Irawan 2004). Konversi lahan
pertanian menjadi non-pertanian cenderung meningkat dan tidak membedakan
apakah lahan pertanian tersebut mempunyai produktivitas tinggi atau rendah.
Agus et al. (2001) melaporkan bahwa penyebab tingginya tingkat konversi
lahan sawah adalah karena rendahnya tingkat keuntungan bertani padi sawah,
tidak dipatuhinya peraturan tata ruang (lemahnya penegakan hukum tentang
tata ruang), keinginan mendapatkan keuntungan jangka pendek dari pengalih-
gunaan lahan sawah, dan rendahnýa koordinasi antar lembaga dan departemen
terkait dalam perencanaan penggunaan lahan.
Proses konversi lahan saat ini berlangsung cenderung tidak terkendali,
terutama terhadap lahan sawah beririgasi di Jawa dan sekitar kota-kota
besar di luar Jawa. Konversi lahan akan terus berlangsung sebagai dampak
dari berbagai kegiatan pembangunan yang memerlukan lahan seperti
sektor industri, transportasi, pendidikan, dan pemukiman (Adimihardja
2006). Lebih lanjut Winoto (2005) menyatakan bahwa ancaman
konversi lahan sawah ke depan sangat besar, yaitu mengancam sekitar
42,4% luas lahan sawah beririgasi di Indonesia, seperti tergambarkan dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Pemerintah Kabupaten. Salah
satu penyebabnya adalah adanya kepentingan Pemerintah daerah untuk
mengumpulkan dana berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang diupayakan
antara lain dengan cara meningkatkan nilai ekonomi lahan pertanian sehingga
konversi lahan pertanian kepenggunaan non-pertanian seperti untuk industri
atau pemukiman dianggap akan lebih menguntungkan.
Konversi lahan pertanian menjadi penggunaan non-pertanian cenderung
meningkat pesat seiring dengan pertumbuhan perekonomian dan pertambahan
penduduk. Berdasarkan data statistik pada periode tahun 1981–1999 telah terjadi
konversi lahan sawah sebesar 90.417 ha/tahun. Pada periode yang sama terjadi
pencetakan sawah baru seluas 178.954 ha/tahun sehingga terjadi penambahan
luas sawah 88.536 ha/tahun. Kemudian pada tiga tahun berikutnya laju konversi
lahan sawah tidak terkendali sehingga konversi lahan sawah pada periode tersebut
mencapai 187.720 ha/tahun, sedangkan pencetakan sawah baru hanya 46.434
ha/tahun. Konversi lahan sawah pada periode 1999–2002 tersebut sebagian besar
(70,3%) terjadi di luar Pulau Jawa dan sisanya (29,7%) di Pulau Jawa. (Diolah
dari BPS, 1981–2000). Fenomena tersebut menunjukkan adanya percepatan laju
konversi lahan sawah dan hilangnya berbagai manfaat atau fungsi lahan sawah
Bab VI Konversi Lahan Pertanian dan Multifungsi Lahan Pertanian | 81
Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik tahun 2004, diperoleh besaran
laju alih fungsi lahan pertanian dari lahan sawah ke non-sawah sebesar 187.720
ha per tahun, dengan rincian alih fungsi ke non-pertanian sebesar 110.164 ha per
tahun dan alih fungsi ke bentuk pertanian lainnya sebesar 77.556 ha per tahun
(BPS 2005). Hal yang hampir sama juga dikemukakan oleh Adimihardja et al. (
2009). Pada periode 1981–1999, di Indonesia telah terjadi konversi lahan sawah
seluas 1.627.514 ha, sekitar 1 juta ha di antaranya terjadi di Jawa. Selama kurun
waktu tersebut dilakukan pula pencetakan sawah baru seluas 518.224 ha di Jawa
dan 2.702.939 ha di luar Jawa. Pada periode 1997–2003, yang merupakan masa
krisis multi dimensi, penyusutan lahan sawah di Jawa masih terus terjadi, yaitu
seluas 146.042 ha di Jawa Barat dan Banten, 115.276 ha di Jawa Tengah, dan
12.691 ha di Jawa Timur.
82 | Perencanaan Penggunaan Lahan
Sektor pertanian saat ini secara perhitungan ekonomi kalah bersaing dengan
sektor lainnya karena rendahnya insentif sosial dan ekonomi untuk bertani.
Seperti diketahui, selain rata-rata petani merupakan lapisan masyarakat miskin,
juga status sebagai petani tidak dianggap sebagai status yang membanggakan. Hal
ini berakibat pada meluasnya konversi lahan, terutama pada areal pertanian yang
berdekatan dengan kawasan perkotaan dan kawasan industri.
Menurut Syaukat dan Agus (2004), adanya gejala penurunan produksi
pertanian, khususnya beras, dan konversi lahan-lahan pertanian menjadi non-
pertanian menimbulkan lima pertanyaan penting yaitu: 1. Seberapa signifikankah
konversi lahan pertanian di Indonesia?; 2. Di mana dan seberapa luas konversi
lahan terjadi?; 3.Bagaimanakah proses konversi lahan pertanian terjadi?; 4.
Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi petani melakukan konversi lahan
pertanian? ; 5.Bagaimana upaya pencegahan konversi lahan pertanian? Melalui
kegiatan facts finding Kelompok Kerja Konversi dan Pengembangan Lahan
Pertanian berusaha mencari jawaban terhadap permasalahan-permasalahan
di atas. Selain itu, kegiatan ini juga bertujuan untuk menggali pendapat dan
pandangan para stakeholders dalam menyikapi konversi lahan-lahan pertanian
di wilayahnya. Hasil kegiatan facts finding oleh Syaukat dan Agus (2004) yang
dilaksanakan di empat provinsi di Jawa dan luar Jawa yang diperkirakan banyak
mengalami konversi lahan-lahan pertanian ke non-pertanian, yaitu Jawa Tengah,
Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan akan dikemukakan secara
ringkas berikut ini:
.
Gambar 4 Perkembangan Lahan Pertanian dan Lahan Terlantar di Indonesia
Tahun 1986–2002.
Sumber: Syaukat dan Agus 2004. Diolah dari data BPS (1986 – 2002)
Tabel 6 Luas areal sawah (ha) yang telah dikonversi menjadi non-sawah antara
tahun 2000–2002 di empat provinsi
output, misalnya berbagai produk yang dihasilkan dari kegiatan usahatani. Jenis
manfaat ini bersifat individual, berarti manfaat yang diperoleh secara legal hanya
dapat dinikmati oleh para pemilik lahan. (2) Manfaat yang nilainya tidak dapat
diukur dengan harga pasar (unpriced benefit). Jenis manfaat ini tidak hanya dapat
dinikmati oleh pemilik lahan tetapi juga dapat dinikmati oleh masyarakat luas,
misalnya tersedianya pangan, wahana rekreasi, dan penciptaan lapangan kerja di
pedesaan (Irawan 2005).
Manfaat tidak langsung dari keberadaan lahan pertanian umumnya terkait
dengan aspek lingkungan. Yoshida (1994) dan Kenkyu (1998) mengemukakan
bahwa keberadaan lahan pertanian dari aspek lingkungan memberikan lima jenis
manfaat, yaitu: kontribusinya dalam mencegah banjir, pengendali keseimbangan
tata air, mencegah terjadinya erosi, mengurangi pencemaran lingkungan yang
berasal dari limbah rumah tangga dan rnencegah pencemaran udara yang berasal
dari gas buangan. Seluruh jenis manfaat tersebut dapat dinikmati oleh masyarakat
umum dengan cakupan wilayah yang lebih luas, karena masalah lingkungan yang
ditimbulkan dapat bersifat lintas daerah.
Bukti lain dari pengetahuan masyarakat Indonesia tentang multifungsi
pertanian pada umumnya masih rendah adalah hasil penelitian Irawan et al. (2002)
di DAS Citarum (Jawa Barat) dan DAS Kaligarang (Jawa Tengah). Masyarakat
setempat baru mengenal 4 jenis fungsi lahan pertanian, yaitu: (1) penghasil
produk pertanian, (2) pemelihara pasokan air tanah, (3) pengendali banjir, dan 4)
penyedia lapangan kerja. Padahal fungsi lahan pertanian bagi manusia jauh lebih
banyak, seperti dirumuskan oleh Negara-negara yang tergabung dalam Organisasi
Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan/OECD (2003) yaitu: penghasil produk
pertanian, berperan dalam mitigasi banjir, pengendali erosi tanah, pemelihara
pasokan air tanah, penambat gas karbon atau gas rumah kaca, penyegar udara,
pendaur ulang sampah organik, dan pemelihara keanekaragaman hayati. Di
Korea Selatan, Eom dan Kang dalam Agus dan Husen (2005) mengidentifikasi
30 jenis fungsi lahan pertanian yang bermanfaat bagi masyarakat umum sehingga
perlu terus dilestarikan.
Isu multifungsi pertanian sudah mulai banyak diperhatikan dan dibicarakan
di Indonesia, namun masih terbatas sebagai wacana di kalangan terbatas, seperti
para ilmuwan, peneliti, perguruan tinggi, dan pengamat pertanian. Tampaknya
para pengambil kebijakan di tingkat pusat maupun daerah belum banyak
mempertimbangkan manfaat multifungsi tersebut dalam menetapkan kebijakan
Bab VI Konversi Lahan Pertanian dan Multifungsi Lahan Pertanian | 91
air (sungai, danau). Di daerah dengan tingkat curah hujan tinggi, fungsi sawah
ini menjadi sangat penting karena mampu mencegah atau mengurangi terjadinya
debit air maksimum penyebab banjir di bagian hilir suatu kawasan DAS.
Tingkat erosi berbagai tipe penggunaan lahan berbeda-beda. Sistem
pertanian berbasis tanaman pohon-pohonan dan adanya serasah yang menutupi
permukaan tanah memiliki tingkat erosi yang lebih rendah dibandingkan sistem
pertanian tanaman semusim. Lahan sawah mempunyai proses erosi yang unik.
Teras sawah dengan galengan atau pematang berfungsi menahan air dalam
petakan. Genangan air berfungsi melindungi permukaan tanah sawah dari
pukulan air hujan. Keindahan panorama alam pedesaan dengan hamparan lahan
pertanian berwarna-warni mempunyai daya tarik bagi penduduk yang jenuh
dengan suasana perkotaan. Untuk menikmati keasrian alam pedesaan, penduduk
perkotaan bersedia mengeluarkan dana untuk transportasi, penginapan dan
konsumsi di pedesaan.
Selain indah dan asri, lingkungan lahan pertanian, terutama yang terdiri
atas berbagai sistem penggunaan lahan, juga menjadi habitat bagi berbagai
mamalia, serangga, binatang kecil, mikroflora, dan fauna karena lingkungan
pertanian rnenyediakan makanan yang berlimpah bagi perkembang- biakannya.
Fungsi konservasi sumberdaya hayati yang diberikan lahan pertanian ini menjadi
penopang keberlanjutan ekosistem yang harmonis bagi generasi selanjutnya.
kebun campuran(11,5 cm), lahan tegalan (4,8 cm) dan kawasan terbangun (2,0
cm). Apabila terjadi konversi lahan sawah menjadi tegaÍan akan mengakibatkan
hilangnya kemampuan mitigasi banjir lahan pertanian setara dengan jumlah air
yang dapat ditampung setinggi 9,0 cm (13,8 cm – 4,8 cm x 10.000 m2) atau 900
m3/ha. Sebagai contoh, apabila konversi lahan sawah tersebut menjadi kawasan
terbangun, terutama permukiman dan daerah industrí maka kemampuan
mitigasi banjír lahan pertanian yang hilang setara dengan jumlah air yang dapat
ditampung setinggi 11,8 cm atau 1.180 m3/ha (13,8 cm – 2,0 cm x 10.000
m2). Konversi lahan tegalan menjadi kawasan terbangun akan menghilangkan
kemampuan mitigasi banjir lahan pertanian setara dengan 280 m3/ha.
Gambar 6 Daya Sangga air potensial (kapasitas untuk menahan air sementara
sebelum terjadinya run off dari beberapa sistem penggunaan lahan
(Tala’ohu et al. 2003)
Multifungsi lahan sawah ditinjau dan aspek daya sangga air dipengaruhi
oleh: 1) keberadaan sawah dalam hamparan daerah aliran sungai, 2) luas lahan
sawah dalam suatu daerah aliran sungai, dan 3) dimensi lahan sawah (luas,tinggi
pematang, dan tinggi air dalam petakan) (Tala’ohu et al. 2003).
penurunan kehilangan tanah akibat erosi air dan angin. Hal ini berarti, erosi tanah
dapat dicegah melalui kegiatan budidaya di lahan pertanian (Yoshida 2001).
Erosi tanah pada berbagai bentuk penggunaan lahan di DAS Citarum telah
diteliti oleh Sutono et al. (2003). Erosi pada lahan sawah relatif kecil (0,33 ton/
ha/ tahun), sedangkan erosi pada tegalan yang umumnya berupa usahatani
tanaman pangan semusim, kebun campuran dan semak belukar berturut-turut
sebesar 22,02; 8,40 dan 1,12 ton/ha/tahun (Tabel 7). Lahan sawah yang berubah
menjadi kebun campuran dapat meningkatkan erosi sebesar 6–10 ton/ha/tahun.
Di beberapa tempat,erosi sebanyak itu masih dalam ambang batas erosi yang
dapat dibiarkan. Lahan hutan yang berubah menjadi lahan kébun campuran,
sawah, dan tegalan menyebabkan terjadi peningkatan besar erosi.
Gambar 7 Potensi penìngkatan erosi (ribu ton) dan sedimentasi (ribu ton) akibat
konversi lahan sawah (ha) berlanjut di Sub DAS Citarik (Irawan
2007)
Gambar 8 Potensi biaya mitigasi erosi, sedimen dan kesuburan tanah yang diperlukan
akibat konversi lahan sawah di sub DAS Cítarik (Irawan 2007)
yang harus dikeluarkan pada tahun 2000 di DAS Citarum adalah sebesar Rp.
18,6 milyar rupiah dan akan bertambah sebesar Rp 28,3juta/tahun sampai tahun
2025. Peningkatan biaya pengganti ini sejalan dengan berkurangnya lahan sawah
sebesar 6% per tahun sejak tahun 2000.
strategis, namun ironisnya karena belum sejalan dan belum konsistennya berbagai
lembaga pemerintah dalam menjalankan kebijakan yang berkenaan dengan
perijinan konversi lahan dan perencanaan penggunaan lahan, mengakibatkan
larangan yang dikeluarkan oleh suatu lembaga untuk konversi masih dapat
dilanggar oleh instansi/lembaga lain.
Departemen Pertanian misalnya, sejauh ini perhatiannya lebih ditujukan
pada pencetakan sawah baru dan intensifikasi, tetapi sedikit sekali perhatian
tentang usaha pengendalian konversi lahan sawah produktif karena (mungkin)
berada di luar mandatnya. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan Kementerian
Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional sering melihat aspek
ekonomi jangka pendek dalam pertimbangan tata ruang dan konversi lahan
sawah. Sawah dianggap tidak ekonomis, karena tidak langsung mendatangkan
pendapatan asli daerah (PAD), dan tidak mempunyai keuntungan kompetitif
dibandingkan sektor industri dan perumahan sehingga konversi lahan sawah
ke penggunaan lain dianggap sebagai proses pembangunan yang tidak perlu
dikhawatirkan. Dampak jangka panjang seperti meningkatnya ketergantungan
terhadap beras impor dan dampak lingkungan karena konversi lahan sawah
sering masih kurang dipertimbangkan.
Bab VI Konversi Lahan Pertanian dan Multifungsi Lahan Pertanian | 99
Sumber : BPS (1990-2001) : Deptan (2002, data produksi padi tahun 1990 dan 2001
disesuaikan)
ton gabah selama dua tahun atau rata-rata sebesar 357.000 ton gabah per tahun.
Sebagai gambaran pada Tabel 7 disampaikan estimasi kehilangan produksi beras
yang diakibatkan oleh adanya konversi lahan sawah ke penggunaan non-sawah di
empat provinsi di Pulau Jawa pada periode 1990–1996 (Kasiran 1999).
Dari Tabel 9 terlihat bahwa kehilangan produksi beras akibat adanya konversi
lahan sawah terbesar sebesar 99.808 ton terjadi di Jawa Timur pada tahun (1995)
diikuti di Jawa Barat sebesar 83.092 ton gabah kering giling (GKG). Untuk Pulau
Jawa banyaknya produksi beras yang hilang pada tahun 1995 sekitar 192.543 ton
GKG atau sekitar 125.153 ton setara beras. Suatu angka kehilangan yang cukup
besar, sehingga perlu mendapat perhatian yang serius.
sekali konversi lahan terjadi di suatu lokasi maka akan terjadi konversi lahan yang
lain di lokasi sekitarnya. Kegagalan mekanisme pasar dalam mengalokasikan lahan
secara optimal disebabkan faktor-faktor rent lainnya dan keberadaan multifungsi
lahan pertanian berupa fungsi-fungsi lahan pertanian lainnya terabaikan, seperti
fungsi sosial, fungsi kenyamanan, fungsi konservasi tanah dan air, dan fungsi
penyediaan pangan bagi generasi selanjutnya.
Tabel 11 Biaya pengganti untuk fungsi pengendali banjir (FPB) lahan non-
sawah di DAS Citarum (Tala’ohu et al. 2003)
lahan sawah semakin menyusut, dan jumlah produksi beras yang hilang akan
semakin besar (pada tahun 1995 untuk Jawa dan Bali mencapai sekitar 130 ribu
ton). Keadaan semacam ini apabila tidak ada penanganan yang serius dikemudian
hari dapat mengancam usaha-usaha mempertahankan swasembada pangan (beras)
nasional. Selain itu, penanganan masalah konversi lahan sawah terkesan belum
terkoordinasi dengan baik. Hal ini tercermin dari adanya data yang angkanya
tidak konsisten diantara berbagai instansi yang menangani pendokumentasian
data. Masing-masing instansi dalam menginventarisasi data masih berdasarkan
pada kepentingan sektoral, bukan kepentingan nasional. Akibatnya data yang
tersedia tidak seragam dan tidak baku, padahal di lain pihak data tersebut harus
valid.
Usaha pengendalian yang dilakukan oleh pemerintah belum efektif karena
banyaknya permasalahan lapangan, baik yang bersifat teknis maupun non teknis
serta adanya kepentingan berbagai pihak yang kadang-kadang saling bertentangan.
Konversi lahan sawah harus dikendalikan dan kalau memungkinkan dicegah
karena apabila berlangsung terus dapat mengancam swasembada beras. Untuk
itu harus ada komitmen dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, bahwa
swasembada beras adalah segala-galanya, sehingga apapun resikonya sawah yang
ada terutama yang beririgasi teknis perlu dipertahankan keberadaannya dengan
sungguh-sungguh. Data laju konversi lahan sawah yang valid sangat diperlukan
bagi perencanaan produksi pangan. Oleh sebab itu, perlu ada koordinasi
pendokumentasian data yang baik, dibuat suatu format data yang seragam
sehingga hanya ada satu sistem pelaporan/ pendokumentasian data. Hal ini dapat
dikoordinasikan oleh Pemda/Bappeda masing-masing daerah.
Konversi lahan sawah di lapangan nampaknya sangat sulit untuk dihindari.
Oleh karena itu, perlu adanya solusi sebagai berikut:
1. Perlu dilakukan pengendalian yang sungguh-sungguh agar laju konversi
dapat diminimalkan.
2. Perlu dibuka lahan sawah baru di luar Jawa, untuk mengganti lahan sawah
yang telah beralih fungsi di Jawa.
3. Meningkatkan produktivitas lahan melalui peningkatan kualitas lahan agar
intensitas tanam dapat ditingkatkan dan teknologi budidaya yang mampu
meningkatkan produksi dapat diterapkan.
4. Mengingat masalah konversi lahan sawah menyangkut kepentingan berbagai
pihak maka penanganannya perlu dilakukan secara terintegrasi.
Bab VI Konversi Lahan Pertanian dan Multifungsi Lahan Pertanian | 115
Pemerintah yang berperan sebagai pengendali konversi lahan, dan (3) Petani
pemilik lahan pertanian. Interaksi diantara ketiganya akan menentukan keadaan
konversi lahan pertanian di setiap daerah yang dapat diekspresikan dalam besaran
konversi lahan, jenis lahan pertanian yang dikonversi dan potensi dampak yang
ditimbulkan secara ekonomi, sosiàl dan lingkungan (Gambar 9).
Dari sisi fenomena ekonomi, potensi atau peluang terjadinya konversi lahan
pertanian di suatu daerah ditentukan oleh dorongan penawaran lahan pertanian
oleh petani dan dorongan permintaan lahan pertanian untuk dikonversi oleh
investor. Hal ini dapat dilihat dari nilai sewa lahan karena penggunaan lahan
sawah dibandingkan dengan penggunaan non sawah, yaitu 1:622 untuk
pemukiman, 1:500 untuk industri, dan 1:14 untuk kawasan pariwisata (Nasution
dan Winoto 1996). Kedua dorongan penawaran dan permintaan lahan tersebut
118 | Perencanaan Penggunaan Lahan
Sebaliknya, suatu wilayah yang memiliki luas konversi lahan yang relatif
tinggi belum tentu menunjukkan pemerintah daerah bersangkutan belum
mengimplementasikan berbagai kebijakan pemerintah untuk mengendalikan
konversi lahan. Sebagai contoh secara nasional atau secara regional (Provinsi,
Kabupaten/Kota) wilayah tersebut memang telah ditetapkan sebagai kawasan
industri, kawasan pemukiman, atau kawasan kegiatan non- pertanian lainnya
sehingga terpaksa harus menggunakan lahan-lahan pertanian yang ada.
Berdasarkan hal tersebut maka keadaan konversi lahan di suatu wilayah yang
dapat diaggap sebagai output dari pelaksanaan kebijakan pemerintah yang terkait
dengan pengendalian konversi lahan, haruslah diukur secara relatif dengan
potensi konversi lahan di daerah yang bersangkutan.
Dari proses pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan pemerintah pada
dasarnya hanya merupakan salah satu tahapan. Dunn (2003) mengemukakan
bahwa: Proses pembuatan kebijakan adalah aktivitas politik yang divisualisasikan
sebagai serangkaian tahapan yang saling bergantung menurut waktu dengan
pentahapan kegiatan sebagai berikut (1) Penyusunan agenda kebijakan; (2)
Formulasi kebijakan; (3)Adopsi kebijakan; (4) Pelaksanaan kebijakan; (5)
Penilaian kebijakan. Dalam proses pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan
merupakan tahapan yang paling penting.
Pada tahap pelaksanaan kebijakan perlu dilakukan kegiatan pemantauan atau
monitoring untuk menghasilkan informasi mengenai sebab dan konsekuensi dari
kebijakan yang telah ditempuh. Melalui pemantauan juga dapat diidentifikasi
hambatan dan rintangan yang dihadapi dalam mengimplementasikan suatu
kebijakan, menilai tingkat kepatuhan pelaksanaan kebijakan dan mengidentifikasi
pihak-pihak yang bertanggungjawab pada setiap tahapan kebijakan.
Masalah konversi lahan terjadi akibat lemahnya sistem perundang-
undangan serta lemahnya penegakan hukum dan peraturan-peraturan yang ada.
Belum adanya kemauan politik (political will) dari pemerintah daerah (Provinsi
dan Kabupaten/Kota) untuk secara konsisten dan tegas membuat sekaligus
melaksanakan peraturan daerah yang terkait dengan konversi lahan maupun
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) menyebabkan lemahnya kontrol
terhadap konversi lahan. Secara khusus aspek hukum yang berkaitan dengan
konversi lahan adalah sebagai berikut:
1. Kurang adanya keterkaitan antara Rencana Umum Tata Ruang (RUTR)
Nasional, RUTR Provinsi dan RUTR Kabupaten/Kota, sehingga tidak ada
Bab VI Konversi Lahan Pertanian dan Multifungsi Lahan Pertanian | 121
penekanan dilakukan pada sebagian saja dari berbagai penggunaan lahan bagi
pembangunan pertanian secara luas yang didasarkan atas penilaian faktor-faktor
fisik lingkungan. Hal ini bukanlah berarti bahwa faktor sosial, ekonomi dan
politik tidak penting, tetapi semata-mata didasarkan atas konteks dan keperluan
penulisan buku ini.
Perencanaan penggunaan lahan dalam konteks kerjasama pembangunan
merupakan proses yang berulang-ulang, didasarkan pada dialog antara semua
pemangku kepentingan yang bertujuan untuk menentukan penggunaan lahan
yang berkelanjutan di daerah pedesaan. Hal ini juga menyiratkan inisiasi dan
pemantauan langkah-langkah untuk mewujudkan pemanfaatan lahan yang
disepakati (GTZ 1995).
Tujuan Perencanaan penggunaan lahan adalah menciptakan prakondisi yang
diperlukan untuk mencapai jenis penggunaan lahan yang ramah lingkungari,
berkeadilan sosial seperti yang diinginkan dan ekonomis. Hal demikian
mengaktifkan proses sosial pengambilan keputusan dan membangun konsensus
mengenai pemanfaatan dan perlindungan pribadi, komunal atau area publik
(GTZ 1995).
Definisi oleh FAO dan UNEP yang telah dipublikasikan pada tahun 1999
menunjukkan konsensus saat ini di antara organisasi-organisasi internasional
dalam hal perencanaan penggunaan lahan. Perencanaan penggunaan lahan
adalah prosedur yang sistematis dan berulang-ulang yang dilakukan dalam
rangka menciptakan lingkungan yang memungkinkan untuk pembangunan
berkelanjutan dari sumberdaya lahan untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan
masyarakat. Dalam hal ini menilai kondisi fisik, sosio-ekonomi, kelembagaan dan
hukum dan kendala sehubungan dengan penggunaan optimal dan berkelanjutan
dari sumberdaya lahan dan memberdayakan masyarakat untuk mambuat
keputusan tentang bagaimana mengalokasikan sumberdaya lahan tersebut (FAO/
UNEP 1999).
Perbedaan diantaranya kedua definisi terletak lebih pada fokus partisipasi
di satu sisi oleh GTZ lebih menekankan pada penilaian sistematis disisi lain
oleh FAO dan UNEP. Berdasarkan definisi dan tujuan yang disajikan di atas,
perencanaan penggunaan lahan perlu didasarkan pada prinsip-prinsip berikut
(GTZ 1995) :
1. Perencanaan penggunaan lahan bertujuan untuk keberlanjutan dan
menyeimbangkan kebutuhan sosial, ekonomi, dan lingkungan;
Bab VII Perencanaan Penggunaan Lahan | 127
Oleh karena itu, perencanaan bukan hanya masalah bagi para ahli, tetapi
harus dilakukan bersama-sama dengan mereka yang terkena dampak atau
pengaruh rencana tersebut;
8. Perencanaan penggunaan lahan yang realistis dan berorientasi dengan kondisi
setempat. Isi dari suatu perencanaan penggunaan lahan harus disesuaikan
dengan kondisi setempat. Metode yang digunakan juga harus sesuai dengan
aspek teknis, kapasitas ekonomi dan organìsasi masyarakat setempat serta
proses administrasi;
9. Perencanaan penggunaan lahan didasarkan pada kejelasan metodologi untuk
menghindari pengumpulan data yang tidak perlu sehingga menghasilkan
tumpukan data yang tidak berguna;
10. Perencanaan penggunaan lahan dalam hal metodologi dan isi berbeda
misalnya dalam skala, spesifikasi, bentuk partisipasi (langsung dan tidak
langsung), dan teknologi di tingkat desa, tingkat kabupaten/ kota dan
provinsi;
11. Perencanaan penggunaan lahan perlu mempertimbangkan pengetahuan
lokal (local wisdom). Masyarakat pedesaan sering memiliki pengetahuan asli
kompleks lingkungan alam mereka. Mereka dapat memberikan kontribusi
informasi yang berharga, karena itu mereka harus dimobilisasi selama
perencanaan penggunaan lahan;
12. Perencanaan penggunaan lahan memperhitungkan strategi yang digunakan
secara tradisional untuk memecahkan masalah dan konflik. Masyarakat
perdesaan tradisional memiliki cara sendiri untuk rnendekati masalah
dan menyelesaikan konflik menyangkut penggunaan lahan. Dalam proses
perencanaan penggunaan lahan, mekanisme tersebut harus diakui,dipahami
dan diperhitungkan;
13. Perencanaan penggunaan lahan mengikuti ide subsidiaritas, yaitu semua
fungsi dari perencanaan sampai pengambilan keputusan, pelaksanaan
dan pemantauan ditugaskan ke tingkat terendah dari pemerintah (desa,
kecamatan, kabupaten/kota). Demikian juga agar pemerintah tanggap
terhadap kebutuhan warga dan memastikan kontrol yang efektif dari bawah
dapat berlangsung dengan baik;
14. Perencanaan penggunaan lahan mengintegrasikan aspek bottom-up dengan
aspek top-down (integrasi vertikal). Perencanaan penggunaan lahan perlu
untuk menggabungkan kebutuhan dan kepentingan lokal (desa, kecamatan,
Bab VII Perencanaan Penggunaan Lahan | 129
yang paling sesuai dari bentuk pertanian dan pola tanam yang cocok, ditinjau
dari keadaan lahan dan keberadaan si petani itu sendiri. Sebagai langkah terakhir
adalah merencanakan sistem pertanian yang paling sesuai dengan keadaan
lahan dalam kerangka pembatas ekonomik si pemakai lahan atau petani. Hal
ini mencakup tata ruang detail/terinci seperti penentuan letak lahan pertanian,
padang rumput, jalan, penyediaan air, saluran drainase, dan sebagainya.
Ada dua pertimbangan dasar dalam perencanaan penggunaan lahan yaitu
tujuan dari rencana dan cara untuk mencapai tujuan tersebut (King, 1978).
Kedua pertimbangan dasar ini pada kenyataannya sangat beragam dan tergantung
dari berbagai faktor yang saling berhubungan di daerah tersebut seperti keadaan
faktor fisik lingkungan, politik, sosial dan ekonomi serta waktu dan biaya.
Dalam upaya untuk menyederhanakan hubungan yang kompleks yang
terlibat dalam pengembangan penggunaan lahan melalui perencanaan, suatu
model yang sifatnya menyeluruh (comprehensive model) telah diperkenalkan oleh
Vink (1975). Model ini meliputi berbagai geometri (sub-model) yaitu merupakan
sub-sistem yang berbeda dari seluruh sistem pengembangan penggunaan lahan.
Hubungan secara skematis dari lima geometri (sub-model) dalam penggunaan
lahan yang dikemukakan Vink tersebut yaitu Geometri sumberdaya lahan,
Geometri kebutuhan manusia, Geometri degradasi lahan, Geometri Sumberdaya
bukan-lahan, dan Geometri Penggunaan Lahan seperti tertera pada Gambar 10.
Geometri sumberdaya lahan meliputi seluruh komponen sumberdaya
lahan beserta hubungan-hubungannya (interrelation-ships) dan perubahan-
perubahannya yang disebabkan aktivitas manusia.
Geometri kebutuhan manusia meliputi seluruh kebutuhan manusia yang
diharapkan diperoleh dari lahan dalam sistem penggunaan lahan pedesaan.
Kebutuhan manusia dapat digolongkan dalam berbagai tingkatan menurut
prioritasnya. Wiener (1972) mengidentifikasi empat tingkat kebutuhan manusia
sebagai berikut:
Tingkat 1: Metabolisme tubuh dan fikiran dari perorangan
Tingkat 2: Habitat fisik perorangan dan keluarga terdekatnya, tempat tinggal.
Tingkat 3: Habitat komunal: merupakan pelayanan penting yang diberikan di
dalam kerangka masyarakat (community framework)
Tingkat 4: Lingkungan yang lebih luas, seperti umumnya dipertimbangkan pada
negara-negara maju.
134 | Perencanaan Penggunaan Lahan
stabilitas lingkungan dan mobilitas bebas manusia. Keadaan ini hanya dapat
dicapai atas dasar suatu sistem evaluasi lahan yang baik, yang harus dihubungkan
(interrelated) dengan berbagai aspek perencanaan lainnya.
Menurut Dent (1978) secara umum urutan dari proses perencanaan
penggunaan lahan terdiri dari 10 tahapan, meskipun pada kenyataannya terdapat
beberapa tumpang tindih diantara banyak tahapan tersebut: (1) pengenalan
(recognition) kebutuhan untuk perubahan; (2) identifikasi tujuan; (3) formulasi
usulan (proposal), meliputi berbagai pilihan bentuk penggunaan lahan dan
pengenalan kebutuhan utamanya; (4) pengenalan dan deliniasi berbagai tipe
lahan yang terdapat di daerah tersebut; (5) evaluasi dan pembandingan dari
masing-masing tipe lahan terhadap penggunaan yang berbeda tersebut; (6)
pemilihan (selection) penggunaan yang lebih disukai untuk masing-masing
tipe lahan; (7) rancangan proyek atau analisis terinci lainnya dari seperangkat
alternatif pilihan untuk masing-masing bagian-bagian yang berbeda dari areal
(dalam kasus tertentu, kegiatan ini dapat merupakan studi kelayakan atau
feasibility study); (8) keputusan untuk pelaksanaan; (9) pelaksanaan; dan (10)
pemantauan pelaksanaan. Survei tanah dan evaluasi lahan sebagai bagian dari
proses perencanaan penggunaan lahan berperanan sebagai bagian utama dalam
tahapan kegiatan 3, 4, dan 5.
Perencanaan penggunaan lahan didahului dengan pengenalan kebutuhan
untuk mengadakan perubahan penggunaan dari keadaan penggunaan lahan
sekarang, seperti pembangunan atau intensifikasi penggunaan-penggunaan
produktif misalnya rencana pembangunan pertanian, pembangunan irigasi,
perkebunan dan sebagainya. Kebutuhan untuk perubahan ini sebagian besar
ditentukan oleh geometri kebutuhan manusia.
Kegiatan pengenalan kebutuhan untuk perubahan, selanjutnya diikuti dengan
identifikasi tujuan dan formulasi usulan-usulan umum dan khusus. Identifikasi
tujuan meliputi pertimbangan hubungan-hubungan (interrelationship) antara
kelima geometri pengembangan lahan seperti yang dikemukakan pada Gambar
10 terdahulu.
Proses evaluasi itu sendiri meliputi uraian/deskripsi tentang kisaran
berbagai jenis penggunaan lahan yang memberikan harapan (promising) yang
mungkin telah ada di daerah penelitian, atau merupakan penggunaan baru yang
dipertimbangkan mempunyai potensi untuk diintroduksikan sesuai dengan
kondisi fisik dan sosial ekonomi daerah yang bersangkutan. Berbagai jenis
136 | Perencanaan Penggunaan Lahan
dapat menuangkan hasilnya dalam bentuk yang mudah dimengerti dan berguna
bagi perencana. Akan tetapi perlu diingatkan bahwa hal yang dikemukakan
ini belumlah mencakup seluruh aspek yang berhubungan dengan penggunaan
lahan, karena masih ada faktor-faktor lain seperti faktor sosial, ekonomi, dan
politik yang juga harus diteliti dan dipertimbangkan. Perencanaan penggunaan
lahan itu sendiri merupakan suatu upaya yang sifatnya menyeluruh, mempunyai
kelenturan (flexible), merupakan proses yang berkesinambungan, terbuka untuk
adanya perubahan dan tidak terikat secara ketat terhadap rencana yang telah
ditetapkan (fixed plan) (Willatts 1951). Oleh karena itu tantangan yang cukup
besar akan selalu dihadapkan pada perencana dalam mempersiapkan perencanaan
pada masa mendatang.
Berbagai pertimbangan dalam perencanaan penggunaan lahan umumnya
berbeda-beda menurut keadaan suatu daerah atau Wilayah/ Negara dan tujuan
perencanaan itu sendiri. Di Inggris misalnya, dikenal empat prinsip pokok dalam
perencanaan penggunaan lahan (Willats 1951) :
Pertama, menghindari pengrusakan lahan-lahan pertanian yang baik.
Pemerintah memutuskan agar lahan-lahan yang baik tidak digunakan untuk
kegiatan bukan-pertanian, apabila masih tersedia lahan-lahan yang kurang baik.
Oleh karena itu, salah satu tujuan dari perencanaan penggunaan lahan adalah
untuk menjamin agar lahan-lahan pertanian sejauh mungkin dapat dipelihara dan
dilindungi. Hal ini bermula dari banyaknya areal lahan pertanian yang baik yang
dialihgunakan untuk keperluan bukan-pertanian, misalnya dialihgunakan untuk
keperluan bukan-pertanian seperti pembangunan lapangan terbang internasional
di Heathrow, London.
Kedua, pembangunan fisik kota (town) harus cukup dikontrol. Dalam hal
ini perencana dibutuhkan untuk mempersiapkan garis besar rencana untuk dapat
memenuhi kebutuhan dari daerahnya untuk tidak lebih jauh dari masa mendatang
yang dapat diketahui lebih dahulu (foreseeable future). Dengan suatu tingkat
kerapatan penduduk baku tertentu, dapat dengan jelas diketahui bahwa kunci
terhadap kebutuhan lahan perkotaan tergantung dari jumlah penduduk masa
mendatang. Dalam memilih areal untuk tujuan pengembangan, perencana dapat
dibantu dengan konsep pagar kota (urban fence) yang dikeluarkan oleh Bagian
Perencanaan Departemen Pertanian. Pagar (fence) merupakan areal di sekitar kota
termasuk areal-areal lahan yang belum diusahakan atau sangat sedikit digunakan
untuk kegiatan pertanian dan oleh Departemen Pertanian telah dinyatakan tidak
138 | Perencanaan Penggunaan Lahan
diminati untuk pertanian kecuali sebagai kebun. Prinsip dasar yang berhubungan
dengan perencanaan adalah bukan hanya mengusahakan agar kehilangan lahan
pertanian sesedikit mungkin, tetapi juga kebutuhan untuk menghindari tercerai-
berainya satuan-satuan lahan usaha tani akibat adanya pembangunan, misalnya
jalan tol.
Ketiga, ukuran permukiman (sizes of settlements) harus mempertimbangkan
berbagai faktor, termasuk kebutuhan untuk menghindari menyatunya inti kota
(urban nuclei) dan untuk memelihara/melindungi sabuk keliling (peripheral belts)
daerah-daerah pertanian terbuka. Hal ini seharusnya memberikan sumbangan
terhadap terpeliharanya kontak atau hubungan antara kota dan pedusunan /
pedesaan serta membantu menghindari jarak perjalanan harian penduduk
yang terlalu jauh ke- dan dari tempat pekerjaan. Dalam menentukan ukuran
permukiman, diinginkan agar disatu pihak dihindari ukuran yang terlalu besar
yang cenderung akan mengurangi rasa kesatuan dan kesadaran bermasyarakat
penduduk dan dipihak lain untuk menjamin persyaratan keseimbangan yang
baik antara pekerjaan dan pelayanan (service).
Keempat, adanya kebutuhan tertentu yang harus dipenuhi untuk
suatu pedusunan (country town) terdiri dari pusat-pusat perdagangan, sosial,
budaya dan fasilitas pendidikan yang cukup. Hal ini sejalan dengan apa yang
dikemukakan dalam konsep pengembangan wilayah pedesaan menggunakan
konsep Agropolitan (Friedmann dan Douglass 1978).
direncanakan antar desa dan merupakan dasar untuk pernbangunan yang lebih
seimbang untuk menghindari semua investasi dìtargetkan hanya untuk desa
utama saja.
Perjanjian Lokal
Perjanjian atau kesepakatan lokal (atau konvensi lokal) pemanfaatan dan
perlindungan sumberdaya alam yang mengatur penggunaan dan akses adalah
alat penting bagi manajemen desentralisasi sumberdaya alam. Perjanjian lokal
ini telah dipromosikan di Afrika Barat sejak tahun 1990-an. Perjanjian lokal ini
mencakup semua jenis peraturan formal atau informal antara semua pengguna
sumberdaya, yang dapat dìterapkan pada tingkat antar-desa atau komunal serta unit
pengelolaan tata ruang yang yang lebih luas. Tanggung jawab untuk penggunaan
sumberdaya milik bersama ditugaskan pada kelompok, dan pemerintah tidak lagi
mempengaruhinya secara langsung. Selain itu, perjanjian ini juga memungkinkan
kelompok untuk melaksanakan fungsi mereka, terutama mengenai hal-hal teknis
dan penegakan klaim hukum seperti sanksi atau pelanggaran terkait perjanjian.
Perjanjian lokal memilìki keuntungan sebagai berikut: 1. Dalam hal
perubahan organisasi dan politik: melalui desentralisasi pengelolaan sumber daya;
2. Dalam hal dampak ekonomi: melalui diversifikasi pendapatan dan munculnya
sektor baru yang terkait dengan eksploitasi sumberdaya alam yang berkelanjutan;
3. Dalam hal kohesi sosial: melalui pengembangan solusi konsensus; 4. Dalam
hal konservasi: melaluì konsiliasi atau kesepakatan antara eksploitasi dan
konservasi sumberdaya alam; 5.Keberhasilan dan kelangsungan hidup perjanjian
lokal didasarkan pada legitimasi internal mereka, tingkat partisipasi, pemerataan
solusi, legalitas peraturan, tingkat institusionalisasi, keberlanjutan ekologis dan
keuntungan ekonomi bagi penduduk lokal/setempat. Sebagai contoh adalah:
Perjanjian lokal di Mauritania. Tujuan: Kumpulan organisasi di daerah
Guidimakha dan Hodh El Gharbi yang mengimplementasikan perjanjian lokal
untuk pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan.
Pendekatan/Metodologi: Setelah proses konsultasi dengan semua pengguna
yang mengarah ke pembentukan perjanjian lokal (pengembangan aturan
manajemen kunci yang terkait dengan pengawasan dan pengumpulan fee), yang
disebut asosiasi pengguna hak secara resmi dengan manajemen mandat). Transfer
ini difasilitasi oleh Departemen kehutanan nasional dan undang-undang tentang
pengembalaan.
142 | Perencanaan Penggunaan Lahan
konflik yang demikian dapat dihindarkan atau paling tidak dapat diperkecil.
Konflik yang sering terjadi dalam penggunaan lahan misalnya apabila tanah-
tanah pertanian berkualitas tinggi tetapi juga ideal untuk dijadikan lokasi
proyek perumahan atau bangunan komersial.
5. Memperhalus kategori penggunaan lahan yang sifatnya luas.
Sering dalam perencanaan pendahuluan digunakan kategori-kategori
penggunaan lahan yang sifatnya luas, misalnya lahan pertanian dan lahan
bera bagi lahan-lahan yang tidak digunakan untuk perkotaan, konservasi
atau keperluan khusus lainnya. Dalam penghalusan hasil perencanaan
pendahuluan ke bentuk yang lebih terinci, kategori-kategori yang luas tersebut
dikelompokkan menjadi kelompok yang lebih kecil. Pengelompokkan lahan
pertanian misalnya dibagi lagi menjadi daerah pertanian kelas satu, kelas dua
dan seterusnya. Dalam pelaksanaan demikian, biasanya peta tanah dan hasil
evaluasi sumberdaya lahan sangat membantu sebagai sumber informasi.
Di Negeri Belanda, penggunaan survei tanah untuk berbagai keperluan
perencanaan telah diulas antara lain oleh Haans dan Westerveld (1970) dan
Davidson (1980). Di samping penggunaan untuk perencanaan pertanian seperti
untuk tanaman setahun, tanaman hortikultura, padang rumput dan keperluan
praktis tertentu lainnya, survei tanah juga digunakan untuk keperluan-keperluan
perencanaan pembangunan pedesaan dan pembangunan areal perkotaan. Dalam
perencanaan pembangunan, selain peta-peta kesesuaian lahan untuk keperluan
pertanian, juga disusun peta-peta yang menunjukkan kesesuaian lahan untuk
penggunaan bukan-pertanian, seperti untuk keperluan rekreasi, permukiman,
industri, dan pengembangan perkotaan.
Pada tahun 1960, pemerintah Republik Indonesia untuk pertama kali berhasil
mengesahkan sebuah undang-undang nasional, sebagai pengganti undang-
undang kolonial yaitu undang-undang yang mengatur bidang pertanahan yang
lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang tertuang
dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (Sandy 1984a).
Dalam kaitan dengan penggunaan lahan, Silalahi dan Sweken (1984)
mengemukakan pasal 14 dan 15 UUPA telah mengatur penggunaan lahan
melalui isi dari masing-masing pasal, seperti terlihat berikut ini.
Pasal 14 UUPA berbunyi:
1. Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat 2 dan 3, pasal
9 ayat 2 serta pasal 10 ayat 1 dan 2, Pemerintah dalam rangka sosialisme
Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan
dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang
terkandung didalamnya: (a) untuk keperluan negara; (b) untuk keperluan
peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar
Ketuhanan Yang Maha Esa; (c) untuk keperluan pusat-pusat kehidupan
masyarakat, sosial kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan; (d) untuk
keperluan mengembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan
serta sejalan dengan itu; (e) untuk keperluan mengembangkan industri,
transmigrasi dan pertambangan.
2. Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat 1 pasal ini dan mengingat
peraturan-peraturan yang bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur
persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa
untuk daerahnya sesuai dengan keadaan daerah masing-masing.
3. Peraturan Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam ayat 2 pasal ini berlaku
setelah mendapat pengesahan, mengenai Daerah Tingkat I dari Presiden,
Daerah Tingkat II dari Gubernur/Kepala Daerah yang bersangkutan
dan Daerah Tingkat III dari Bupati/Walikota/Kepala Daerah yang
bersangkutan.
Pasal 15 UUPA berbunyi:
Memelihara tanah termasuk menambah kesuburannya serta mencegah
kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang
mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak
yang ekonomis lemah.
152 | Perencanaan Penggunaan Lahan
Dari isi kedua pasal UUPA diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
Pemerintah harus menyediakan tanah untuk seluruh aspek kegiatan masyarakat
untuk pembangunan. Demikian juga ditekankan bahwa dalam pemakaian tanah
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat perlu dijaga agar jangan sampai rusak.
Dengan demikian terlihat dengan jelas bahwa tujuan yang ingin dicapai
dalam usaha mengemban pasal 14 UUPA atau dalam perencanaan penggunaan
lahan adalah: (1) supaya lahan dapat memberikan sebesar-besar kemakmuran
kepada rakyat banyak; (2) tidak timbul kerusakan; dan (3) tidak melanggar
peraturan perundangan yang berlaku (Sandy 1984a).
Lahan dapat memberikan kemakmuran pada rakyat banyak melalui
kegiatan pembangunan yang ada diatasnya. Tanah (lahan) itu sendiri pada
kenyataannya mempunyai dua segi yaitu: (1) penguasaan (hukum) dan (2)
penggunaan (fisik). Seseorang hanya dapat dengan tenang menggunakan
sebidang lahan apabila yang bersangkutan menguasai lahan tersebut dalam salah
satu bentuk hak.
Pembangunan berarti penggunaan dan penguasaan lahan. Dengan demikian
dalam setiap pembangunan, semua pihak dituntut untuk menaati peraturan
perundangan terutama peraturan-peraturan yang menyangkut pertanahan seperti
(1) UUPA (UU No. 5 tahun 1960) dengan peraturan-peraturan pelaksanaannya;
(2) UUPPA (UU No. 5 tahun 1967) Kehutanan dan (3) UUPPT (UU No. 11
tahun 1967) Pertambangan (Sandy, 1984a).
Dalam kaitan dengan berbagai peraturan yang menyangkut pertanahan
maka Direktorat Tata Guna Tanah, Departemen Dalam Negeri telah menyusun
suatu prosedur kerja yang dapat digunakan Pemerintah Daerah (Pemda) dalam
merumuskan kebijakan pembangunan bagi daerah masing-masing dengan tepat
seperti diuraikan berikut ini (Sandy, 1984a).
1. Proyek-proyek sektoral yang akan disalurkan ke daerah disalurkan lewat
Gubernur KDH (BAPPEDA) bukan lewat Kanwil.
2. Proyek-proyek daerah (regional) yang dilandasi kebijakan pembangunan
daerah, dinilai sesuai tidaknya dengan Inpres 9-73.
3. Hanya proyek-proyek yang sesuai dengan Inpres 9-73 yang bisa dinilai sama
dengan mempunyai DSPI, dan memungkinkan pemerintah, untuk apabila
perlu menggunakan UU 20-61, sehingga UUPA Ps. 16 dan UUPA Ps. 19
(PP. 10-61) dengan demikian dapat dinetralisasikan.
Bab VII Perencanaan Penggunaan Lahan | 153
4. Untuk bisa memenuhi UUPA Ps. 15 dan UU. 4-82, Direktorat Tata Guna
Tanah telah menyiapkan pula Pola Tata Guna Tanah. Pola Tata Guna
Tanah ini adalah rangka fisik medan, yang berfungsi sebagai alat untuk
mengarahkan atau mengendalikan letak proyek pembangunan supaya sesuai
dengan kemampuan fisik tanah, atau kalau letak proyek tidak bisa ditawar,
menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh proyek, demi kelestarian
tanah.
5. Sarana yang disediakan bagi Pemda antara lain ada yang merupakan alat
untuk mengendalikan pembangunan, baik pembangunan yang bersifat
publik ataupun privat.
6. Implikasi perencanaan penggunaan lahan adalah juga penggunaan lahan yang
terkendali. Hanya dengan kendali yang baik, usaha untuk tertib penggunaan
lahan serta lingkungan hidup bisa tercapai.
7. Salah satu sarana kendali adalah SK Mendagri No. 3-78 (tentang fatwa Tata
Guna Tanah).
Untuk dapat lebih memahami landasan hukum dan perundang-undangan
tentang tanah dan penggunaan lahan di Indonesia, disarankan untuk membaca
lebih lanjut UUPA (UU No. 5 tahun 1960), KEPPRES 44-45/74, UU. 5-74,
UU. 5-79, UU. 20-61, Inpres 9-73, UU. 5-67, UU. 11-67 dan UU. 4-82.
Penggunaan perundang-undangan di atas dalam kaitannya dengan penetapan
lahan untuk suatu proyek pembangunan pada periode pemerintahan Orde Baru
tertera pada Gambar 12..
Tahap sebelum proyek. Tahap ini terdiri dari studi orientasi yang sifatnya
eksploratif tentang komposisi sumberdaya lahan, kemungkinan digunakan
sebagai areal pertanian, ditambah berbagai aspek lainnya yang bermanfaat
dalam perencanaan pembangunan pertanian. Studi ini biasanya dikerjakan oleh
sekelompok kecil ahli yang akan mencoba mengumpulkan data serta melakukan
konsultasi dengan berbagai pihak dalam waktu yang relatif singkat untuk sampai
pada suatu kesimpulan. Pada tahapan ini biasanya digunakan klasifikasi kesesuaian
yang sifatnya luas (broad) yang dipadukan dengan keadaan sosio-ekonomik.
Dalam klasifikasi ini kesimpulan dan rekomendasi dari berbagai hasil studi para
ahli disintesiskan dan diintegrasikan. Alternatif pemecahan juga dikemukakan.
Klasifikasi lahan digunakan sebagai basis utama untuk kegiatan evaluasi
dan formulasi kembali dari tujuan semula perencanaan pembangunan yang
disimpulkan dari studi tersebut. Pada tahapan ini ada kemungkinan usulan
proyek dirubah atau dibatalkan sama sekali. Aktifitas dari berbagai bidang
keahlian untuk tahapan berikutnya direncanakan dan pelaksanaan secara
interdisiplin dikoordinasikan kedalam rencana pekerjaan. Apabila wilayah yang
akan direncanakan luas dan beragam, maka areal-areal utama yang mempunyai
potensi untuk dikembangkan lebih lanjut perlu diidentifikasikan. Wilayah-
wilayah ini akan mendapat prioritas dan perhatian khusus selama tahapan proyek
berikutnya.
Tahap tinjau. Pada tahap ini penekanan utama adalah inventarisasi
(inventory) dari areal. Oleh karena itu, jumlah ahli yang terlibat langsung akan
lebih besar daripada tahap sebelum proyek. Demikian juga waktu yang diperlukan
di lapang lebih lama untuk mengumpulkan data yang diperlukan yang lebih
terinci dari tahap sebelumnya.
Pada umumnya perencanaan proyek-proyek pembangunan dilaksanakan
dalam periode yang agak singkat. Untuk memperoleh data yang diperlukan
dibutuhkan penelitian setempat (lokal). Percobaan-percobaan jangka pendek
pada umumnya dapat dilakukan seperti pengukuran sifat-sifat tanah yang
berhubungan dengan kemungkinan irigasi, drainase, kesesuaian untuk berbagai
tanaman pertanian, dan sebagainya. Apabila percobaan lapang dan penelitian
dasar lainnya tidak memungkinkan untuk dilaksanakan dalam wilayah yang
sedang direncanakan tersebut, maka pada tahapan ini dibutuhkan sejumlah
ekstrapolasi dari hasil-hasil penelitian pada daerah lainnya yang mempunyai
kondisi yang hampir sama dengan kondisi lahan yang sedang diteliti.
Bab VIII Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Berbagai Keperluan | 161
Tahap tinjau ini akan menghasilkan formulasi garis besar (outline) rencana
pengembangan lahan. Kesimpulan yang diperoleh dari berbagai bidang
keahlian disintesiskan kedalam keseluruhan rencana penggunaan lahan yang
direkomendasikan. Pilihan dilakukan dari berbagai kemungkinan (alternatif)
yang ada. Integrasi rencana dalam kebijakan secara nasional atau wilayah sangat
penting untuk mencapai adanya sinkronisasi diantara target produksi yang
disusun menurut rencana pengembangan dan keadaan pemasaran nasional dan
internasional. Hal yang sama juga berlaku bagi data ekonomi-makro lainnya seperti
penyebaran tenaga kerja dan modal. Pada tahap ini juga dilakukan perencanaan
untuk tahap studi terinci berikutnya (tahap 3), termasuk didalamnya petunjuk
terhadap daerah-daerah yang berpotensi untuk dikembangkan, sekaligus untuk
diteliti lebih lanjut.
Tahap Studi Terinci. Dalam tahapan ini pertanyaan utama yang ingin
dijawab adalah hal-hal apa yang harus dikerjakan selama pelaksanaan program
(program effectuation). Untuk dapat menjawab pertanyaan ini diperlukan survei
dan studi terinci (detail). Survei dan studi ini sebaiknya dilakukan pada areal-
areal yang berpotensi (pilot areal) dan/atau areal yang lebih luas dimana akan
dilakukan penggunaan lahan yang lebih intensif.
Sebagai langkah terakhir pekerjaan pada tahap studi terinci ini adalah
penyelesaian rencana induk (master plan) dan tata ruang terinci dengan
mempertimbangkan semua pengalaman praktis yang diperoleh dari studi
terinci bersama-sama dengan kebutuhan investasi proyek pengembangan
lahan tersebut. Salah satu hasilnya adalah klasifikasi lahan untuk penggunaan
yang direkomendasikan dengan mempertimbangkan dan memadukan
antara kemungkinan secara teknik dengan kebutuhan untuk produksi dan
pengembangan, kebutuhan dan kelayakan sosial dan ekonomi, dan kelayakan
organisasi dan kelembagaan untuk merubah metode-metode produksi.
Laporan tahap studi terinci ini harus dalam bentuk yang dapat diterima
Bank untuk keperluan investasi. Oleh sebab itu, laporan harus secara lengkap
menunjukkan implikasi ekonomi dan finansial dari proyek. Dengan demikian,
maka selain dari klasifikasi lahan, juga perlu dilengkapi dengan perkiraan
keuntungan-keuntungan yang mungkin diperoleh dari lahan sebelum dan setelah
adanya proyek. Demikian juga biaya yang diperlukan dalam pengembangan dan
penggunaannya. Laporan Tahap Studi Terinci ini merupakan akhir dari proyek
pengembangan, tetapi tidak menutup terhadap kemungkinan adanya perubahan-
162 | Perencanaan Penggunaan Lahan
Langkah 2. Survei dan Penelitian. Pada survei ini sering melibatkan berbagai
disiplin keahlian seperti keahlian dibidang sumberdaya alam, sosial-ekonomi,
sumberdaya manusia, fasilitas pertanian, dan sebagainya. Berbagai aspek penting
yang perlu diteliti dalam survei ini antara lain adalah sebagai berikut:
a. Sumberdaya alam, seperti keadaan tanah, topografi, vegetasi atau
penggunaan lahan eksisting, iklim, geologi, ketersediaan air
dipermukaan dan air bawah tanah, baik yang menyangkut jumlah
maupun kualitasnya.
b. Kondisi sosial-ekonomi, seperti status pemilikan lahan, pola produksi,
besar/ukuran usahatani, produktivitas lahan per hektar, jenis tanaman,
serta jumlah dan kualitas tanaman budidaya pertanian.
c. Sumberdaya manusia, termasuk kependudukan (demografi), pola sosial
dan budaya, tingkat pengetahuan keteknikan, ketersediaan tenaga kerja
dan alternatif kemungkinan tenaga kerja.
Dalam evaluasi lahan, survei tentang keadaan sosial-ekonomi, penyuluhan
pertanian (agricultural services) dan sumberdaya manusia harus diintegrasikan
dengan survei sumberdaya alam yang berorientasi pada evaluasi lahan dalam
upaya untuk mengetahui tipe penggunaan lahan yang sesuai. Juga diperlukan
integrasi diantara berbagai survei sumberdaya alam. Hal ini dapat dilakukan
dengan dua cara: (1) lahan dapat disurvei sebagai satuan yang terintegrasi
(misalnya menggunakan sistem lahan atau land system), atau (2) sebagai sintesis
dari berbagai survei sifat-sifat lahan yang dilakukan secara terpisah. Untuk
survei skala kecil, penggunaan satuan lahan terintegrasi dianggap lebih praktis,
sedangkan survei sifat-sifat lahan yang dilakukan secara terpisah (seperti survei
tanah, survei vegetasi, dan sebagainya), dapat lebih bermanfaat untuk survei
dengan skala yang lebih detail.
Pada umumnya survei dalam tahapan yang berbeda akan dilakukan pada
skala yang berbeda pula. Dalam Tahap Sebelum Proyek misalnya, survei skala
kecil (1:250.000–1:500.000) dianggap memadai. Selama tahap tinjau, skala
sedang (1:50.000–1:250.000) akan digunakan pada hampir seluruh areal. Selama
tahap akhir atau tahap studi terinci, umumnya digunakan skala besar (1:10.000–
1:50.000).
Survei skala kecil pada Tahap I akan dapat menyajikan keterangan yang
bersifat umum tentang kondisi lahan pada areal. Pada survei Tahap 2, informasi
yang terinci tentang areal yang termasuk dalam rencana pengembangan akan
164 | Perencanaan Penggunaan Lahan
dilengkapi. Pada survei Tahap 3, informasi yang lebih terinci akan dikumpulkan
termasuk studi areal percontohan (pilot areas), untuk memperoleh data dalam
hubungannya dengan penggunaan lahan khusus, misalnya untuk irigasi,
konservasi tanah, drainase dan sebagainya.
Survei sumberdaya alam dilakukan dengan bantuan interpretasi foto udara
atau citra satelit. Keadaan topografi lahan dan umumnya fisiografi areal dapat
dipelajari dan dibatasi dengan bantuan foto udara atau citra satelit. Interpretasi
foto udara atau citra satelit sangat membantu dalam survei-survei sumberdaya
pada Tahap 1 dan 2, dan ada kemungkinan juga membantu dalam pekerjaan
Tahap 3. Selama Tahap 3, data yang diperoleh pada survei sumberdaya alam
akan diinterpretasi untuk penetapan kelas kesesuaian lahan dari areal yang
bersangkutan.
Langkah 3. Interpretasi. Pada langkah ke 3 ini data yang dikumpulkan selama
langkah 2 diinterpretasikan menurut kelayakan teknik (technical feasibilities).
Hasil penemuan dan kesimpulan tentang berbagai sifat lahan diintegrasikan dan
difokuskan pada tipe penggunaan lahan yang mungkin dilakukan. Walaupun
langkah 2 survei dan penelitian dan langkah 3 interpretasi dipisahkan, hal ini
tidaklah berarti bahwa secara keseluruhan langkah 2 harus diselesaikan dulu
sebelum langkah 3 dimulai. Umumnya dijumpai adanya tumpang tindih waktu
diantara kedua langkah tersebut.
Interpretasi pada langkah 3 ini terdiri dari: (1) penetapan definisi tipe
penggunaan lahan yang sesuai, (2) klasifikasi kualitas lahan, (3) penentuan
kapasitas perbaikan/penyempurnaan, (4) klasifikasi kesesuaian lahan, (5)
pengembangan pengelolaan dan spesifikasi penyempurnaan.
Ide dasar pada metode evaluasi lahan adalah bahwa lahan harus dinilai hanya
berdasarkan nilainya untuk suatu penggunaan tertentu, karena tidak ada nilai
lahan yang sifatnya mutlak dan berlaku umum. Oleh karena itu, pada tahap-
tahap awal evaluasi lahan harus disertakan seleksi secara luas tipe-tipe penggunaan
lahan yang sesuai dengan keadaan fisik lingkungan, sosial-ekonomi, dan politik
dari areal yang bersangkutan.
Pada saat evaluasi lahan sedang berjalan dan banyak informasi menjadi
tersedia, tipe-tipe penggunaan lahan harus diperhalus dan dibuat sesesuai dan
sekhusus mungkin. Beberapa aspek yang penting untuk diuraikan/ditetapkan
dalam definisi tipe penggunaan lahan adalah: jenis produksi (tanaman), intensitas
Bab VIII Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Berbagai Keperluan | 165
tenaga kerja (bulan orang/ha), intensitas modal, tipe tenaga usahatani (TK/ha),
tingkat pengetahuan teknik, dan ukuran usahatani. Apabila dilihat dari berbagai
aspek tersebut dapat dimengerti bahwa definisi tipe-tipe penggunaan lahan
memerlukan dan memberikan kesempatan untuk melakukan kerjasama multi
disiplin dalam proyek perencanaan penggunaan lahan.
Data yang dikumpulkan selama survei digunakan untuk mengembangkan
kualitas utama lahan. Kualitas lahan yang demikian selalu berkaitan dengan
macam penggunaan lahan. Dalam konteks uraian ini kualitas lahan utama yang
berhubungan dengan penggunaan pertanian dalam arti luas akan merupakan
penekanan pembicaraan. Berbagai kualitas lahan telah dikenal. Kualitas lahan
ini dikelompokkan dalam hubungannya dengan jenis keperluan yang dilayani.
Sebagai contoh, kualitas lahan utama dalam hubungan dengan keperluannya
adalah: (1) untuk pertumbuhan tanaman: ketersediaan unsur hara, ketersediaan
air, energi radiasi (untuk fotosintesis); (2) untuk pertumbuhan ternak: nilai
gizi lahan padang rumput, ketersediaan air minum, tidak adanya penyakit-
penyakit endemik; (3) untuk ekstraksi hasil alam: adanya kayu-kayu bernilai,
adanya tanaman obat-obatan, keterjangkauan (accessibility); (4) untuk tindakan
pengelolaan dalam produksi tanaman dan ternak atau ekstraksi: kemungkinan
penggunaan peralatan mesin-mesin, ketahanan terhadap erosi. Uraian lebih
lanjut tentang berbagai hal ini dapat dilihat dalam Brinkman dan Smith (1973)
dan FAO (1976).
Kualitas lahan yang perlu dipelajari terdiri dari kualitas yang mempengaruhi
kelayakan dan penampilan (performance) secara umum dari tipe penggunaan
lahan yang dipertimbangkan. Disamping itu, juga penting prediksi potensi
hasil, baik sebelum ataupun sesudah perbaikan lahan. Prediksi hasil kadang-
kadang dapat dilakukan berdasarkan analisis data hasil dari tanaman yang telah
diusahakan. Jika tidak, maka prediksi hasil dilakukan atas dasar deduksi dari data
kualitatif keadaan lahan yang tersedia. Pada pelaksanaannya, sering prediksi hasil
dilakukan berdasarkan kombinasi dari kedua prosedur tersebut.
Langkah 4. Klasifikasi Lahan Ekonomik. Klasifikasi Lahan Ekonomik
merupakan klasifikasi kuantitatif satuan-satuan lahan atau tanah berdasarkan
analisis biaya dan keuntungan untuk tipe penggunaan lahan tertentu. Hal ini
dapat meliputi optimasi faktor-faktor produksi utama seperti ukuran/besar
usahatani, intensitas tenaga kerja, dan tingkat masukan modal. Kelas-kelas lahan
ekonomik ini tidak selalu harus sama dengan kelas-kelas kesesuaian lahan. Akan
166 | Perencanaan Penggunaan Lahan
Prosedur dan proses perencanaan makro dan mikro untuk transmigrasi telah
banyak diuraikan antara lain dalam Mochtar (1980). Pedoman pengelompokan
dan kriteria kelas kesesuaian lahan tingkat tinjau bagi pola permukiman
transmigrasi untuk usaha pokok tanaman pangan kelompok padi sawah dan
kelompok padi gogo, jagung, sorgum dan berbagai usaha pokok lainnya dapat
dilihat pada kriteria kesesuaian lahan pola-pola permukiman transmigrasi dalam
rangka survei dan pemetaan tingkat tinjau sumberdaya lahan dan sumberdaya
alam lainnya oleh Tim Biro Perencanaan Deptrans Tim Pusat Penelitian Tanah,
Tim lembaga penelitian IPB dan Tim lembaga penelitian Unpad (1984).
Tahap II. Pada tahap II dilakukan penilaian kesesuaian suatu daerah
yang telah diidentifikasikan pada tahap I berpotensi untuk dikembangkan bagi
keperluan permukiman transmigrasi. Dengan demikian tahap II ini merupakan
lanjutan dari Tahap I, dan merupakan studi pendahuluan yang dilakukan melalui
suatu penelitian terpadu dari berbagai aspek sumberdaya lahan dan lingkungan
seperti bentuk lahan, tanah, vegetasi dan iklim, serta juga meneliti sikap penduduk
setempat terhadap pengembangan kawasan dan kepentingan kegiatan ekonomi di
daerah yang akan dikembangkan. Dengan demikian dapat lebih diketahui areal-
areal yang mempunyai potensi untuk dikembangkan lebih lanjut. Studi pada
tahap II ini, dilakukan berdasarkan suatu survei tingkat semi-detail. Interpretasi
foto udara atau citra satelit berperan dalam menentukan satuan lahan (land units)
utama, yaitu satuan lahan yang secara jelas dapat dibedakan berdasarkan ciri-ciri
bentuk lahan, lereng, pola drainase, vegetasi dan penggunaan lahan (Anonimous
1983b).
Tahap II ini merupakan perencanaan yang lebih terinci dari Tahap I dan
hanya dilakukan bagi daerah yang berpotensi untuk dikembangkan yang telah
diidentifikasikan pada Tahap I. Oleh karena itu, dalam perencanaan Tahap II
ini dibutuhkan data yang lebih menyeluruh dan intensitas pengamatan yang
lebih banyak serta analisis yang lebih mendalam. Berbagai langkah yang perlu
dilakukan dalam perencanaan Tahap II ini adalah (1) menilai potensi daerah
melalui analisis kesesuaian lahan. Pekerjaan ini dilakukan melalui suatu survei
tanah atau lahan semi-detail; (2) menentukan alternatif teknik budidaya atau
tindakan pengelolaan yang diperlukan sesuai dengan potensi lahan tersebut; (3)
analisis ekonomi untuk menetapkan pola usahatani optimal; dan (4) penyusunan
tata ruang. Hasil penilaian tahap II ini biasanya disajikan dalam bentuk peta
berskala 1 : 50.000 sampai 1 : 100.000.
Bab VIII Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Berbagai Keperluan | 173
Tahap III. Pada tahap III penilaian dilakukan secara terinci dari apa
yang dilakukan pada Tahap II. Penilaian ini dilakukan pada Satuan Kawasan
Pengembangan (SKP) yang pada tahap II dinilai mempunyai potensi untuk
dikembangkan. Pada tahap III ini dibutuhkan serangkaian survei sumberdaya
lahan dan pemetaan topografi sehingga peta kesesuaian lahan secara terinci dapat
dihasilkan. Hasil ini akan merupakan data dasar utama dalam merencanakan
dan mempersiapkan rancangan Satuan Pemukiman (SP) meliputi tempat tinggal
atau rumah, lahan pertanian (lahan usaha) serta fasilitas umum lainnya seperti
sekolah, pasar, tempat peribadatan, jalan, pusat pemerintahan dan sebagainya.
Hasil tahap III ini akan disajikan dalam bentuk peta-peta dengan skala 1 : 5.000
hingga 1 : 20.000. Hasil tahap III ini dapat dikatakan lebih merupakan rencana
terinci tiap Satuan Permukiman, yang memuat perincian-perincian teknis
sehingga cukup untuk dipakai sebagai pedoman pelaksanaan. Pada dasarnya
setiap rencana Satuan Permukiman akan menunjukkan hal-hal berikut: (1) tata
ruang lahan perkampungan, (2) tata ruang lahan kegiatan usaha (pertanian,
perkebunan, peternakan, dsb) (3) struktur jaringan jalan, (4) penempatan
bangunan-bangunan umum, dan (5) penempatan lapangan-lapangan terbuka
dan areal cadangan untuk perkembangan pusat desa dan perlindungan alam
(Mochtar 1980).
Dalam perencanaan tata ruang dan tata letak lahan usahatani bagi
permukiman transmigrasi, Sostroatmodjo (1980) mengemukakan delapan hal
yang perlu dipertimbangkan sebelum perencanaan tata ruang dan tata letak
dimulai yaitu: (1) memilih dengan seksama jenis usahatani dan areal lahan
usahatani; (2) memilih dengan seksama masyarakat (transmigran) yang akan
ditempatkan; (3) meneliti dengan seksama lahan usahatani yang drainasenya baik;
(4) mengkaji dan menimbang produktivitas tanah setempat; (5) meneliti apakah
tanah sesuai dengan jenis usahatani yang akan diterapkan; (6) menetapkan jenis
bangunan/rumah dan tata-letak pengaturan bangunan-bangunan; (7) meneliti
kemungkinan tersedianya sumber air, baik untuk keperluan air minum maupun
air pengairan; dan (8) penelitian kembali tentang kondisi iklim setempat. Dari
kedelapan hal tersebut, selain butir (2) dan (6), keterangan yang diperlukan dapat
tersedia melalui hasil survei tanah dan evaluasi lahan pada tingkat detail. Uraian
lebih terinci tentang rancangan tata ruang dan tata letak lahan usahatani bagi
permukiman transmigrasi dapat dilihat antara lain dalam Sastroatmodjo (1980).
Perencanaan yang telah dikemukakan dalam Bab ini dapat dikatakan
merupakan pedoman umum dalam perencanaan penggunaan lahan. Perencanaan
penggunaan lahan untuk pertanian maupun untuk keperluan transmigrasi
174 | Perencanaan Penggunaan Lahan
al. 2000b; 2000c), dan (3) dinamika kesuburan hara mikro terutama Zn, Cu dan
Mo. Selain itu, pengelolaan sifat-sifat fisik tanah terutama yang berhubungan
dengan fenomena penurunan permukaan tanah (soil subsidence) perlu mendapat
perhatian (Sitorus et al. 1999).
Beberapa fungsi pengelolaan tanah dan air yang perlu mendapat perhatian
adalah: (1) pengelolaan tanah dan air haruslah merupakan suatu kesatuan
yang terintegrasi, (2) rencana pengelolaan tanah dan air harus mencakup
horison perencanaan sekurang-kurangnya jangka menengah (lima tahun),
(3) fungsi operasional pengelolaan harus selentur mungkin sehingga dapat
mengakomodasikan dinamika yang tidak terduga, dan keragaman dinamika antar
areal (Sitorus 2000), dan (4) fungsi operasional didasarkan pada pengelolaan
areal.
Terkait dengan sumberdaya manusia, di masa lalu perekrutan dan pemilihan
tenaga kerja pada proyek-proyek pembangunan transmigrasi kelihatannya
bersifat mekanistik dalam pengertian terlalu mengutamakan jumlah. Selain itu,
perekrutan tenaga kerja hanya mengutamakan tenaga kerja kurang terampil di
subsistem produksi saja. Di masa mendatang, perekrutan dan pengembangan
tenaga kerja seyogyanya bersifat fungsional. Perekrutan tenaga kerja tidak
melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi manajemen.
Pengembangan sistem pertanian yang berkelanjutan. Keberlanjutan suatu
sistem secara esensial mengandung tiga dimensi utama yaitu : (1) keberlanjutan
fisik-biologis, (2) keberlanjutan ekonomi, dan (3) keberlanjutan sosial-budaya.
Dalam hubungannya dengan dimensi keberlanjutan fisik-biologis, horison
perencanaan pembangunan transmigrasi haruslah mencakup horison waktu
tak terhingga. Keberlanjutan sistem alamiah yang bersifat dinamik merupakan
fenomena yang tidak dapat dipungkiri. Oleh sebab itu, perubahan ekosistem
alamiah lahan transmigrasi hanya dapat dilakukan jika perubahan tersebut
memberikan manfaat yang nyata pada kesejahteraan penduduk. Selain itu,
manajemen pembangunan transmigrasi sedapat mungkin harus menghindarkan
perubahan-perubahan yang bersifat tidak dapat balik (irreversible) dan perubahan-
perubahan yang mengancam biodiversity ekosistem alamiah.
Pengembangan kegiatan usaha berbasis rentang agribisnis. Sebagian
besar pembangunan transmigrasi di masa lalu didasarkan pada konsep yang
parsial dan terlalu mengutamakan sub-sistem produksi. Di masa mendatang,
dengan timbulnya peluang dan tantangan baru akibat globalisasi ekonomi dan
Bab VIII Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Berbagai Keperluan | 177
ini sangat diperlukan kerjasama horisontal dan vertikal serta integrasi proses
perencanaan penggunaan lahan dengan lembaga-lembaga negara yang secara
resmi bertugas untuk mengkoordinasikan proses dan berwenang untuk membuat
rencana penggunaan lahan final sebagai dokumen yang mengikat secara hukum.
Dalam prakteknya, perencanaan penggunaan lahan hanya dapat berhasil
jika konsensus atau kompromi yang kuat pada tujuan pengembangan lahan
dapat disepakati bersama Jalur untuk mencapai tujuan ini harus juga diputuskan
bersama-sama oleh kelompok-kelompok kepentingan yang berbeda mulai
dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan nasional. Hal
ini mensyaratkan bahwa kepentingan kelompok seperti petani kecil (gurem),
penggembala atau pengrajin dihormati dalam cara yang sama seperti kepentingan
kelompok ekonomi kuat seperti perusahaan pengembang, perusahaan perkebunan,
HTI dan perusahaan pertambangan. Hal ini berarti bahwa proses perencanaan
penggunaan lahan harus mendapat dukungan kuat dari pengambil kebijakan
politik dan para ahli.
Perencanaan penggunaan lahan merupakan alat yang berharga untuk
mencapai pembangunan berkelanjutan di wilayah pedesaan, selama metode
rasional merupakan dasar untuk pengambilan keputusan pembangunan. Namun,
realitas menunjukkan bahwa kekuatan modal atau koneksi pribadi untuk
pengambil keputusan dapat membatalkan semua upaya perencanaan rasional dan
partisipatif jika kontrol demokratis lemah. Oleh karena itu, penguatan demokrasi
tidak hanya terbatas sebagai tindakan pengumpulan jumlah suara (vote) dalam
proses pemilihan kepala daerah atau Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi yang
lebih penting adalah partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan
dan pengendalian pelaksanaan keputusan sebagai dasar untuk menyusun
pengembangan wilayah serta kesuksesan perencanaan penggunaan lahan.
Pembagian sektoral lembaga (kementerian sektor misalnya) memberikan
pengaruh yang besar untuk pengembangan wilayah. Sebagai pendekatan spasial
membutuhkan keterlibatan dan kerjasama dari berbagai macam lembaga yang
aktif berperan dalam berbagai kegiatan pembangunan di daerah-daerah wilayah
pedesaan.
Perencanaan penggunaan lahan adalah alat yang ampuh untuk pengembangan
wilayah. Kerjasama teknis harus selalu memastikan bahwa alat ini digunakan
untuk pembangunan yang berkelanjutan dan berimbang. Tujuan pembangunan
harus disepakati oleh para pemangku kepentingan. Teknis kerjasama tidak
Bab VIII Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Berbagai Keperluan | 181
iklim/ musim atau daerah-daerah yang pertanian tidak lagi layak dan dapat
beralih ke pemeliharaan ternak atau penggunaan lahan lainnya. Selain itu,
selama analisis situasi pengetahuan tradisional pada produk pertanian dan
metode produksi serta pada pemeliharaan ternak dan produk non-kayu dapat
dimobilisasi dan ditingkatkan. Zonasi untuk penggunaan masa depan, lahan dan
air yang cukup harus disediakan untuk pertanian, produksi peternakan, hutan
kemasyarakatan, perikanan, kebun rumah dan efektif dilindungi dari konversi
menjadi lahan terbangun atau konsesi swasta. Selama tahap perencanaan, para
pemangku kepentingan perlu mendefinisikan peraturan (regulasi) penggunaan
lahan untuk sumberdaya umum dan pemanfaatannya secara berkelanjutan.
Perencanaan penggunaan lahan dapat berkontribusi terutama untuk
ketahanan pangan, ketersediaan dan akses terhadap pangan. Di banyak daerah,
promosi pertanian serta dukungan produksi pertanian untuk pasar lokal melalui
perencanaan penggunaan lahan dapat berkontribusi terhadap ketahanan
pangan.
Petani kecil benar-benar memiliki peranan besar dalam meningkatkan
produktivitas pertanian dan produksi pangan selama krisis makanan tahun
2007–2008. Oleh sebab itu, perlu dukungan tambahan kepada petani untuk
memproduksi bahan pangan seperti pasar lokal, rekomendasi penyimpanan
makanan, pengolahan dan pemasaran, perbaikan infrastruktur transportasi, akses
ke benih dan kredit. Resiko utama bagi banyak petani kecil adalah ketidakamanan
hak kepemilikan lahan pertanian. Meskipun sebagian besar petani telah
melegitimasi hak sering didasarkan pada kepemilikan adat, masih sering terjadi
tidak diakui oleh negara yang menganggap lahan tersebut sebagai lahan negara.
Dalam pandangan dan tekanan komersial saat ini yang meningkat, jaminan
kepemilikan menjadi sangat penting untuk mencapai ketahanan pangan.
Perencanaan penggunaan lahan sebagai alat untuk mencapai ketahanan
pangan harus berjalan seiring dengan langkah-langkah untuk jaminan kepemilikan
lahan bagi petani kecil. Para investor swasta harus terlibat dalam perencanaan
penggunaan lahan partisipatif sehingga masyarakat lokal dapat mendiskusikan
lahan di masa depan menggunakan bersama-sama dengan mereka dan juga pihak
berwenang lainnya.
188 | Perencanaan Penggunaan Lahan
sering belum ada bahkan di daerah yang sangat rentan bahaya. Oleh karena itu,
penting dilakukan kerjasama teknis untuk mengintegrasikan manajemen resiko
bencana dalam perencanaan penggunaan lahan.
Melalui manajemen resiko bencana, nyawa bisa diselamatkan, kerusakan
dan kerugian dapat dicegah, yang mana hal ini penting bagi pembangunan
berkelanjutan dan keamanan. Di wilayah-wilayah beresiko tinggi, pengelolaan
resiko bencana harus diintegrasikan ke dalam perencanaan penggunaan lahan.
Dalam rangka untuk mengidentifikasi bahaya dan kerentanan di tingkat lokal,
perencanaan penggunaan lahan di daerah perlu didasarkan pada analisis resiko
rinci dan peta, termasuk pemetaan resiko. Selain sebagai sarana untuk mencapai
integrasi manajemen resiko bencana ke dalam perencanaan penggunaan
lahan, checklist manajemen resiko bencana dapat diuraikan dan terintegrasi
menjadi pedoman perencanaan penggunaan lahan nasional untuk membantu
mengidentifikasi dan mempertimbangkan resiko bencana serta manajemen resiko
bencana dalam perencanaan penggunaan lahan.
Di banyak wilayah, khususnya di daerah yang semakin langka air dan daerah
pesisir, tekanan pada lahan akan meningkat melalui perubahan iklim. Mitigasi
dan adaptasi terhadap perubahan ikIim sangat penting bagi masyarakat rentan
untuk memastikan mata pencaharian mereka. Kemampuan masyarakat untuk
beradaptasi dan untuk mengurangi dampak perubahan iklim ditentukan oleh
taraf perkembangan, akses mereka terhadap sumberdaya, pengetahuan ilmiah dan
kapasitas teknis mereka. Oleh karena itu, kontribusi perencanaan penggunaan
lahan untuk adaptasi dan mitigasi untuk perubahan iklim adalah mengubah
Rencana Penggunaan Lahan untuk Adaptasi. Adaptasi terdiri dari menilai
kerentanan dan dampak yang terkait dengan perubahan iklim, mengidentifikasi
dan memprioritaskan pilihan adaptasi, sering dari perspektif lintas-sektoral, dan
mengatur pelaksanaan adaptasi. Dampak dari kebutuhan adaptasi sangat berbeda
dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Oleh karena itu, perencanaan penggunaan lahan
memiliki peran penting untuk bermain di adaptasi terhadap perubahan iklim.
Berdasarkan analisis data iklim yang diamati dan diproyeksikan, pemetaan
kerentanan dapat dimasukkan ke dalam fase analisis perencanaan penggunaan
lahan.Setelah zona rentan di identifikasi, alternatif dan pilihan-pilihan
adaptasi dapat dibahas bersama dan disetujui oleh seluruh stakeholder dengan
dukungan para ahli dari berbagai bidang seperti keteknikan, biologi, kehutanan
dan pertanian. Dengan mempertimbangkan perubahan iklim, perencanaan
penggunaan lahan dapat dibuat tangguh serta berkontribusi beradaptasi dengan
perubahan iklim. Hal ini memungkinkan spesifik adaptasi, misalnya dengan
menyesuaikan penilaian parameter seperti kesesuaian lahan untuk tujuan yang
berbeda.
Adaptasi perubahan iklim memerlukan peningkatan keterampilan ahli
perencanaan penggunaan lahan dan melibatkan aktor-aktor yang relevan dalam
proses. Seringkali, kebijakan nasional atau regional yang menyeluruh dan strategi
untuk adaptasi yang telah dikembangkan dengan baik dapat didukung oleh
perencanaan penggunaan lahan. Perencanaan penggunaan lahan dapat digunakan
untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan dengan membatasi perluasan
pertanian, konversi hutan untuk padang rumput, pembangunan infrastruktur,
penebangan yang merusak dan kebakaran. Perencanaan penggunaan lahan juga
dapat digunakan untuk mengidentifikasi area untuk penyerapan karbon (sebagai
jasa lingkungan dan petani bisa menerima pembayaran), misalnya melalui
aforestasi atau pengenalan agroforestry. Sebagai contoh adalah transformasi
monokultur kopi menjadi perkebunan kopi agroforestry di mana karbon dalam
192 | Perencanaan Penggunaan Lahan
lahan di masa depan serta menghormati pengguna lahan yang ada merupakan
alat yang efektif untuk mencegah dan memecahkan konflik lahan.
Konflik lahan dapat dicegah jika semua pihak terkait yang terlibat dalam
lahan secara bersama-sama menggunakan hasil perencanaan penggunaan lahan.
Dalam kasus konflik yang ada, diskusi tentang lahan saat ini dan masa depan
menggunakan definisi bersama aturan penggunaan lahan dapat membantu
mengurangi atau bahkan menghentikan konflik penggunaan lahan. Hal ini dapat
dilakukan melalui penyusunan peta penggunaan lahan dan rencana penggunaan
lahan perjanjian lokal dengan penduduk setempat.
Pengalaman menunjukkan bahwa konflik lahan dan sumberdaya lainnya
dapat dikurangi secara signifikan oleh perjanjian lokal yang menetapkan
transparansi penggunaan lahan, memperkuat pendekatan konsensus dalam
masyarakat, meningkatkan rasa tanggung jawab, memperkenalkan denda dan
mengandalkan kontrol sosial. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk
menyelesaikan konflik lahan antara lain :
a. Rekomendasi perbaikan badan penyelesaian konflik dan mekanisme dengan
tujuan untuk membangun berbagai pilihan, termasuk penyelesaian sengketa
alternatif dalam hirarki yang jelas dan lembaga yang bebas dari kepentingan
dan korupsi;
b. Meningkatkan transparansi konflik lahan yang ada dan menciptakan
kesadaran dalam masyarakat pada tingkat dan bentuk konflik lahan yang
ada di wilayah mereka.
Tantangan utama untuk kerja sama teknis adalah meyakinkan semua pihak
yang konflik, termasuk pemangku kepentingan yang kuat (terutama dalam kasus
konflik asimetris) agar semua pihak bersedia menggunakan proses perencanaan
penggunaan lahan. Hal ini dapat membantu untuk mencegah atau menyelesaikan
konflik lahan.
agama, aturan dan proses yang mengatur akses dari penggunaan lahan. Tata
kelola lahan yang lemah menimbulkan campur tangan negara, akuisisi lahan
skala besar dan sewa (sering mengabaikan hak-hak masyarakat lokal atas lahan)
dan korupsi administratif (misalnya alokasi ilegal izin bangunan karena suap).
Sejalan dengan itu, tata kelola lahan yang bertanggung jawab berarti bahwa semua
pengambilan keputusan penggunaan lahan serta penegakannya dan rekonsiliasi
konflik kepentingan dilakukan dengan cara yang adil dan transparan, yang
memungkinkan semua orang untuk berpartisipasi secara berimbang dan untuk
menerima masukan yang memadai, sementara pada saat yang bersamaan dijamin
pengembangan lahan secara ekonomi, sosial dan lingkungan yang berkelanjutan
(FAO/UN-HABITAT 2009).
Tata kelola lahan yang bertanggung jawab ditandai dengan prinsip-prinsp
berikut: keadilan, akuntabilitas, transparansi, efektivitas, supremasi hukum,
kepastian hukum, keterlibatan masyarakat, keamanan dan keberlanjutan.
Kontribusi perencanaan penggunaan lahan untuk tata kelola lahan yang
bertanggung jawab adalah perencanaan penggunaan lahan yang efektif,
transparan dan partisipatif memberikan kontribusi terhadap panggunaan lahan
yang bertanggung jawab:
1. Partisipasi yang luas memungkinkan untuk masuknya kebutuhan masyarakat
saat ini dan masa depan dalam pengambilan keputusan penggunaan lahan;
2. Transparan dalam perencanaan penggunaan lahan akan mengurangi peluang
untuk korupsi administratif dan dengan demikian membatasi resiko bagi
masyarakat miskin pedesaan secara de facto kehilangan hak atas lahannya;
3. Perencanaan penggunaan lahan merupakan instrumen kunci untuk
mendamaikan berbagai kepentingan dalam penggunaan lahan, sehingga
mencegah konflik penggunaan lahan;
4. Perencanaan penggunaan lahan dapat membantu mengidentifikasi
penggunaan dan kepemilikan hak-hak masyarakat lokal atas lahan dan
mempersiapkan diri untuk pengakuan formal mereka (legalisasi);
5. Perencanaan penggunaan lahan dapat membantu untuk menghindari
tumpang tindih konsesi negara dengan lahan pertanian, padang rumput dan
hutan kemasyarakatan masyarakat lokal.
Bab VIII Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Berbagai Keperluan | 195
kota baru, daerah industri atau prasarana). (2) Terkait dengan perubahan aktual
penggunaan lahan dan kondisi fisik untuk penggunaan lahan yang direncanakan.
Dalam banyak kasus, tipe penggunaan lahan ini mengikuti perencanaan fisik.
Hal ini dilakukan mengikuti penggunaan lahan yang direncanakan seperti
ditentukan dalam perencanaan fisik. Sebagai contoh: proyek-proyek realokasi
lahan atau konsolidasi lahan atau proyek rekonstruksi lahan.
Keberlanjutan (sustainability) menurut Brundtland Commission (1987)
adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan penduduk masa kini tanpa
mengabaikan kemampuan generasi masa mendatang untuk dapat memenuhi
kebutuhannya. Hal ini menekankan pada fakta penting bahwa pembangunan
harus dilaksanakan dengan cara dimana sumberdaya alam tidak dieksploitasi tetapi
digunakan dengan cara yang dapat menjamin penggunaan yang berkelanjutan di
masa mendatang. Hal inilah yang merupakan arah pembangunan berkelanjutan
yaitu proses perubahan dimana eksploitasi sumberdaya, arah investasi, orientasi
pengembangan teknologi dan perubahan kelembagaan semuanya berada secara
harmoni.
Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa tanpa suatu kebijakan dan
perencanaan penggunaan lahan, terutama di kawasan pedesaan pada negara/
daerah yang berkembang pesat akan mengakibatkan terjadinya salah penggunaan
(misuse), penggunaan yang berlebihan (over use), kerusakan dan kehilangan
sistem alami. Berbagai permasalahan telah dijumpai terkait dengan erosi tanah,
degradasi tanah, pencemaran udara, air dan tanah, perubahan landsekap alami,
dan hilangnya ekosistem alami.
Beberapa kerusakan dan kehilangan terjadi pada faktor-faktor biotik, abiotik
dan antropogenik (manusia) adalah sebagai berikut :
Faktor abiotik: kerusakan yang paling penting adalah penggurunan/
desertifikasi, erosi tanah, pencemaran air, tanah dan udara.
Desertifikasi: merupakan hasil hubungan yang buruk antara manusia dan
lahan yang mendukung kehidupannya. Sekitar 20 juta ha lahan yang terdegradasi
mengarah pada kondisi dimana tidak ada lagi pertumbuhan/hasil tanaman
pertanian.
Erosi tanah merupakan contoh yang jelas kombinasi dari perencanaan yang
salah dengan pengelolaan lahan yang salah (mis management of the land). Penyebab
utamanya adalah salah pengelolaan antara lain melalui sistem pertanaman
(cropping system) yang salah.
Bab IX Perencanaan Penggunaan Lahan Berkelanjutan dan Contoh Perencanaan
di Beberapa Negara |199
Pencemaran tanah dan Air. Pencemaran tanah dan air berhubungan dengan
perkembangan sosio-ekonomi masyarakat. Hal ini terkait dengan peningkatan
jumlah dan intensitas industri, sistem produksi pertanian dan kaitannya dengan
pola konsumsi, peningkatan jumlah unsur organik dan anorganik merupakan
bagian dari sistem tanah-air.
Pencemaran Udara. Peningkatan polusi udara telah mengakibatkan
beberapa fenomena dan yang sangat menonjol adalah hujan asam dan pengaruh
gas rumah kaca. Hujan asam telah mempengaruhi atau berdampak negatif
terhadap hutan, sungai, danau dan ekosistem.
Di Eropa, industri berat dan sistem usahatani intensif di Inggris dan Perancis
menyebabkan kerusakan pada danau dan hutan. Pencemaran udara tidak hanya
berpengaruh langsung terhadap ekosistem, hutan, dan sebagainya, tetapi juga
mempunyai pengaruh jangka panjang melalui perubahan iklim.
Terkait kerusakan biotik, bentuk yang umum adalah perubahan landskap
dan hilangnya kondisi alami. Perubahan dan kehilangan disebabkan oleh
perubahan metode berusahatani. Terkait dengan kebutuhan peningkatan
produksi dan penurunan biaya produksi, beberapa proses telah dilaksanakan
pada pertanian seperti memperbesar skala usaha, intensifikasi, mekanisasi, dan
pemberian bahan-bahan kimia. Hal ini mempunyai pengaruh negatif terhadap
landskap pada umumnya serta tumbuhan alami dan satwa liar.
Faktor Manusia (anthropogenic). Perpindahan penduduk dari pedesaan
mengakibatkan penurunan jumlah penduduk (outmigration) di perdesaan.
Keuntungan mengusahakan lahan usahatani terlalu rendah sehingga mengakibatkan
banyak kaum muda pedesaan meninggalkan desa mencari pekerjaan kemana saja.
Desa-desa kemudian menjadi terlalu kecil untuk dibangun toko, sekolah dan
sebagainya. Hal ini mempercepat proses penurunan perkembangan desa.
Penggunaan lahan berkelanjutan perlu didasarkan pada arti dan deskripsi/
uraian perencanaan penggunaan lahan dalam arti praktis sekarang dan pengertian
berkelanjutan dalam dua dimensi seperti diuraikan terdahulu. Perencanaan
penggunaan lahan perlu menggabungkan keberlanjutan, baik dalam kebijakan
maupun dalam implementasi: perencanaan fisik menetapkan tipe penggunaan
lahan dan lokasinya dan perencanaan untuk memperbaiki kondisi spasial/fisik
seperti diilustrasikan pada Gambar 15.
200 | Perencanaan Penggunaan Lahan
citra (image) yang berbeda dari penggunaan lahan utama hingga penggunaan
lahan kecil (minor) menurut besar atau luas areal perencanaan. Atas dasar hal-hal
tersebut di atas, perencanaan penggunaan lahan juga dibagi ke dalam 3 kategori
yaitu perencanaan penggunaan lahan utama (major), menengah (middle), dan
kecil (minor).
1. Perencanaan Penggunaan Lahan Utama (major land use planning)
• Unit evaluasi: kawasan (region)
• Skala peta: lebih kecil dari 1: 50.000
• Tema utama: terletak pada keputusan karakteristik wilayah untuk
penggunaan lahan
• Kebutuhan untuk penggunaan lahan utama ditentukan oleh berbagai
aktifitas manusia seperti industri, usahatani keluarga petani (household),
dan berbagai fasilitas.
2. Perencanaan Penggunaan Lahan Menengah (middle land use planning)
• Skala Unit evaluasi: areal (area)
• Peta: 1: 5.000 sampai 1: 10.000
• Mengikuti keperluan perencanaan yang ditentukan pada perencanaan
penggunaan lahan utama dan dapat dipertimbangkan sebagai
perencanaan penggunaan lahan untuk demarkasi (demarcation) di
antara areal.
• Areal yang digunakan bukan petakan (lot) demi petakan, tetapi kelompok
(group) petakan lahan dengan apa yang ada di lapangan termasuk jalan
dan saluran air.
3. Perencanaan Penggunaan Lahan Kecil (minor land use planning)
• Unit evaluasi: petakan (lot)
• Skala peta: 1: 500 sampai 1: 1.000
• Petakan (a lot) merupakan satuan lahan menurut kategori penggunaan
lahan dihubungkan dengan registrasi kepemilikan riel (kadaster). Akan
tetapi, satuan tidak selalu berupa petakan (lot) apabila petakan tersebut
tidak berhubungan langsung dengan kepemilikan lahan.
204 | Perencanaan Penggunaan Lahan
konstruksi jalan. Pada saat yang sama, daerah hulu telah gundul dan banyak
daerah pedalaman pedesaan tertinggal dalam hal pengembangan dibandingkan
dengan wilayah pesisir yang lebih makmur. Hal ini akan mempercepat migrasi
dari desa ke kota. Kebutuhan untuk perencanaan yang lebih sistematis dan
terlembaga terhadap pemanfaatan lahan pada berbagai tingkat pemerintahan
sangat dirasakan dan kerangka kerja kelembagaan untuk pendekatan administrasi
regulasi perencanaan penggunaan lahan telah didirikan di banyak negara.
Negara-negara dengan sistem politik dan pengalaman sejarah yang berbeda
telah melakukan perubahan administratif yang luar biasa. Sistem administrasi yang
sangat terpusat telah melihat pelimpahan fungsi regulasi dan administrasi dari
tingkat nasional hingga tingkat pemerintah provinsi (regional) dan kabupaten/
kota (lokal) terrnasuk mandat dan tanggung jawab untuk merencanakan
penggunaan lahan lokal dan pengelolaan lahan. Pendekatan perencanaan tata
guna lahan teiah diprakarsai oleh LSM dan lembaga donor di banyak negara
di Asia Tenggara pada tahun 1980-an dan tahun 1990-an. Di antara lembaga-
lembaga tersebut, GTZ telah memainkan peran utama dalam proses ini. Awalnya,
perencanaan penggunaan lahan memiliki cakupan wilayah yang terbatas dan
terutama dilakukan dalam konteks proyek pengelolaan DAS.
Di wilayah Mekong Vietnam, awal pendekatan untuk perencanaan
penggunaan lahan memiliki banyak kesamaan di antara negara-negara yang
terletak di tepi pantai, tetapi dengan perkembangan waktu mengambil arah yang
berbeda. Perbedaan ini terutama disebabkan oleh berbagai tingkat desentralisasi
administrasi, tanggung jawab kelembagaan dan berbeda tujuan keseluruhan
untuk perencanaan penggunaan lahan.
Di Kamboja, perencanaan penggunaan lahan telah dibakukan dan
telah menjadi bagian integral dari sistem perencanaan secara keseluruhan. Di
Kamboja, Kelompok Dewan Rencana Pemanfaatan Lahan merupakan bagian
dari sistem perencanaan pembangunan yang terdesentralisasi dan di praktekkan
oleh Kelompok Dewan di seluruh bagian negara.
Di Thailand perencanaan penggunaan lahan dimulai pada tahun 1980
dengan fokus pada pengelolaan DAS dan pengurangan opium. Sejak saat itu
telah diperluas ke berbagai daerah pegunungan, khususnya di bagian barat negara,
tetapi tidak pernah menjadi prosedur dan peraturan yang dilembagakan. Elemen
perencanaan penggunaan lahan telah diperkenalkan dalam rencana wilayah
sungai yang lebih baru.
206 | Perencanaan Penggunaan Lahan
Jelaslah bahwa demarkasi desa, zonasi dan pendaftaran lahan individu dan
komunal pada saat ini memfasilitasi alokasi lahan untuk investasi dan membantu
untuk menghindari konflik atas lahan. Akibatnya hanya lahan yang diakui negara
saja yang bisa diserahkan kepada investor, terutama didaerah di mana penduduk
lokal telah menyatakan persetujuan mereka untuk pembangunan perkebunan.
Hal ini dilakukan dengan bentuk baru dari perencanaan penggunaan lahan
meliputi klarifikasi kepemilikan lahan. Menurut undang-undang baru-baru
ini, perencanaan penggunaan lahan dan zonasi merupakan prasyarat untuk
pendaftaran lahan dan sertifikasi di daerah pedesaan di Laos. Setiap wilayah desa
diklasifikasikan ke dalam berbagai zona penggunaan lahan oleh warga desa sendiri
dengan bantuan oleh teknisi. Sistem penguasaan yang diusulkan dari berbagai
zona penggunaan lahan kemudian dibedakan menjadi lahan individual, kolektif/
komunal atau negara.
Selain itu, batas demarkasi desa merupakan bagian integral dari perencanaan
penggunaan lahan di tingkat desa. Proses ini dimediasi oleh pejabat pemerintah
dan wakil-wakil desa-desa tetangga. Kemungkinan sengketa lahan antara desa-
desa tetangga yang demikian diselesaikan. Akibatnya, keseluruhan lahan desa
secara resmi diakui dan karenanya tidak akan dialokasikan untuk investor di
masa depan tanpa persetujuan dari penduduk desa masing-masing.
Masyarakat desa, secara individu pada saat ini dapat menjadi mitra bagi
investor melalui pengaturan leasing dan sebagai petani kontrak. Kerja sama ini dapat
rnemberìkan penghasilan tambahan bagi masyarakat di daerah pedesaan,asalkan
perjanjian kontrak yang disimpulkan jelas, saling menguntungkan dan dipatuhi.
(National Authority Land Use 2009, Stone 2004a; 2004b; Wehrmann 2011).
Meskipun kepemilikan lahan mendapatkan perhatian lebih pada saat ini
dibandingkan masa lalu, masih ada kebutuhan untuk lebíh mengintegrasikan
isu-isu kepemilikan lahan ke perencanaan penggunaan lahan. Hal ini menegaskan
perbedaan yang jelas antara kepemilikan lahan oleh negara, milik umum dan
pribadi serta penyediaan jaminan kepemilikan bagi semua pemangku kepentingan.
Hal ini melibatkan pendaftaran tanah dan sertifikasi atau pendekatan lain yang
dapat menjamin kepemilikan. Keamanan kepemilikan lahan adalah kepastian
bahwa hak-hak seseorang atas lahan akan diakui oleh orang lain dan dilindungi
(FAO 2002). Keamanan dapat berasal dari sumber formal dan mengambil
berbagai bentuk seperti sewa, kontrak sewa-menyewa, izin hunian, hak adat,
deklarasi pajak lahan, pernyataan politik atau penyediaan layanan publik (UN-
HABITAT 2004).
Bab IX Perencanaan Penggunaan Lahan Berkelanjutan dan Contoh Perencanaan
di Beberapa Negara |209
properti yang besar bagi sebagian orang, luasan lahan peternakan yang sangat
kecil dan disisi lain banyak masyarakat yang tidak memiliki lahan. Pemilik
lahan swasta besar memiliki kebebasan sangat tinggi dalam penggunaan lahan.
Di negara-negara seperti Chili, perencanaan penggunaan lahan tidak dapat
menentukan penggunaan lahan yang berada di bawah kepemilikan pribadi tetapi
dibatasi untuk lahan publik, yang hanya merupakan bagian kecil dari keseluruhan
wilayah negara.
Amerika Latin dilengkapi dengan produk primer dan bahan baku yang
cukup. Mengingat daerah pedesaan yang luas sering berpenghuni, saat ini banyak
dari mereka yang diperlakukan sebagai daerah akses terbuka terkait eksploitasi
sumberdaya alam. Peraturan yang baik tidak ada atau tidak cukup dilaksanakan.
Hal ini sering dikaitkan dengan konflik kekerasan atas sumber daya tersebut.
Berhubung keterpencilan dari berbagai daerah dan kekerasan yang berlaku di sana,
produksi obat-obatan terlarang menjadi sumber mata pencaharian masyarakat
dan salah satu faktor yang menentukan kehidupan mereka.
Wilayah Amerika Tengah dan pantai Pasifik Amerika Selatan terancam oleh
semua jenis bencana alam. Namun, pencegahan resiko bencana dan kesiapsiagaan
sejauh ini hampir tidak dimasukkan ke dalam perencanaan tata ruang formal.
Mengenai pengaturan politik dan kelembagaan, sebagian besar negara Amerika
Latin masih berjuang dengan menerapkan prosedur partisipatif, meskipun situasi
pemerintahan telah meningkat secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir
akibat desentralisasi yang luas. Pada saat ini perencanaan penggunaan lahan
sudah terintegrasi ke dalam aturan institusi negara. Oleh karena itu, tantangan
utama untuk perencanaan penggunaan lahan di wilayah ini adalah:
1. Mengikutsertakan secara bersama pemilik lahan besar (pertanian, tambang,
hutan) dan petani kecil (pemukim, adat dan lain-lain);
2. Bertindak di daerah konflik dan pasca konflik, dengan menggunakan
perencanaan penggunaan lahan untuk menyetujui bentuk-bentuk baru
untuk hidup berdampingan;
3. Beroperasi di lingkungan narkoba dan mengidentifikasi pilihan-pilihan
untuk pembangunan alternatif melalui perencanaan penggunaan lahan
partisipatif;
4. Mengintegrasikan pencegahan resiko bencana ke dalam perencanaan
penggunaan lahan.
DAFTAR PUSTAKA
Adimiharja A. 2004. Sistem Pengendalian Konversi Lahan Pertanian Secara
Komprehensip. Makalah disampaikan pada acara Pertemuan Round Table
II Pengendalian Konversi dan Pengembangan Lahan Pertanian. Jakarta 14
Desember 2004.
Adimihardja A. 2006. Strategi Mempertahankan Multifungsi Pertanian di
Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 25(3):99–105.
Agus F, U Kurnia, AR Nurmanaf (Eds). 2001. Proceedings, National Seminar on
The Multifunction of Paddy Fields. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanah dan Agroklimat.
Agus F, Irawan. 2004. Alih Guna dan Aspek Lingkungan Lahan Sawah. Dalam
F. Agus, A. Adimihardja, S. Hardjowigeno, A.M. Fagi dan W. Hartatik
(EDS). Tanah Sawah dan Teknologi Pengelolaanya. Pusat Penerlitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
Agus F, E Husen. 2005. Tinjauan Umum Multifungsi Pertanian. Dalam
E. Husen, A. Rachman, Irawan dan F. Agus (EDS). Prosiding Seminar
Nasional Multifungsi Pertanian dan Ketahanan Pangan. Pusat Penerlitian
dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
Agus F, Irawan. 2006. Agriculture Land Converrsion as a Threat to Food Security
and enviromental Quality. Prosiding Multifungsi dan Revitalisasi Pertanian.
Badan Litbang Pertanian bekerjasama dengan MAFF (Ministry of
Agriculture, Foresty, Fishiries, Japan) dan Sekretariat ASEAN.
Aldrich FT. 1981. Land use data and their acquisition. In Lounsbury, J.F.,
Sommers, L.M. and Fernald, E.A. (Eds). Land Use. A Spatial Approach.
Kendall/Hunt Publ. Co. Dubuque, Iowa, USA, pp. 79–95.
Anwar A. 1995. Kebijaksanaan dan Instrumen Ekonomi dalam Upaya Pengendalian
Kerusakan Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Disampaikan pada Temu
Pendapat tentang Pengembangan Kebijakan Ekonomi Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Meneg KLH, Jakarta, 11 Mei 1995.
Anonimous. 1983a. Tata Cara Kerja 1. Pedoman Pengukuran, Pemetaan dan
Penggambaran. Edisi Keempat. Direktorat Tata Guna Tanah, Direktorat
Jenderal Agraria, Departemen Dalam Negeri
216 | Perencanaan Penggunaan Lahan
Chisolm M. 1968. Rural Settlement and land use. An Essay in Location. Hutchinson
University Library. London. 183 pp
Clawson M, Stewart CL. 1965. Land Use Information. A Critical Survey of U.S.
Statistics Including Possibilities for Greater Uniformity. Resources for the
Future, Inc. Washington, D.C. 402 pp.
Davidson DA. 1980. Soils and Land Use Planning. Longman, London. 129 pp.
Dent FJ. 1978. Data requirements for land use planning with emphasis on
requirements for land evaluation studies. SIDA/FAO Seminar on Forest
Resource Appraisal in Forestry and Land-use Planning. New Delhi-Dehra
Dun. 57 pp.
De Vries B. 2000. Multifunctional Agriculture in the International Context : A
Review. http://www.landstewardshipproject.org /mba/MFAReview.pdf
(30 April 2001)
Dinariana D, Sitorus SRP, Tarigan SD, Nurisyah S, Hartrisari. 2009. Kebutuhan
Ruang Terbuka Hijau sebagai Daerah Resapan untuk Memenuhi
Kebutuhan Air Tanah Domestik (Studi Kasus di DKI Jakarta). Jurnal
Menara 7(2): 45–54.
Doyle RH. 1966. Soil Surveys and The Regional Land Use Plan. In Bartelli, D.J.,
et al (Eds.). Soil Surveys and Land Use Planning. Soil Sci. Soc. Amer. and
Amer. Soc. Agr. Madison, Wisconsin. pp. 8–14.
Drzeewieki W. 2008. Sustainable Land-Use Planning Support by GIS-Based
Evaluation of Landscape Functions and Potentials. The International Archives
of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences
Vol. XXXVII Part B7. Beijing. Pp.1497–1502.
Dumanski J. (Ed) 1978. Manual for describing soils in the field. Agriculture
Canada, Otawa.
Dunn WN. 2003. Analisa Kebijakan Publik. Darwin, M, penerjemah. Yogyakarta.
Hanindita Graha Widia. Terjemahan dari: Public Policy Analysis : An
Intriduction.
Edwards CG. 1980. Impementing Public Policy.Washington D.C. Congressional
Quarterly.
218 | Perencanaan Penggunaan Lahan
FAO. 1976. A framework for land evaluation. FAO Soils Bull. No.32. Rome. 72
pp; and ILRI Publication No. 22, Wageningen. 87 pp.
FAO/UNEP. 1995. Our Land Our Future - A new approach to land use planning
and management. Rome:FAO/UNEP. 48 pages.
FAO/UNEP. 1998. Negotiating a Sustainable Future for Land- Structural and
institutional guidelines for land resources managment in the 21st century.
Rome: FAO/UNEP. 61pages.
Friedmann J, Douglass M. 1978. Agropolitan Development: Towards A New
Strategy for Regional Planning in Asia. In LO, F.C. and Salih, K (Eds.)
Growth Pole Strategy and Regional Development Policy. Pergamon Press,
Oxford, New York. pp. 163–192.
GTZ 2004: Disaster Risk Management in Rural Areas of Latin America and the
Caribbean. Selected instruments.Eschborn.
GTZ 2004: Participatory Land Use Planning in PR China. Part I: PAAF Project
Introduction, Part II: Participatory Land Use Planning (DVD: video).
GTZ 2004: Risk Analysis – A Basis for Disaster Risk Management. Eschborn.www.
gtz.de/de/dokumente/en-risk-analysis-basis-for-disaster-risk-management.
pdf.
Haans JCFM, Westerveld GJW. 1970. The Application of Soil Survei in
Netherlands. Geoderma 4: 279–309.
Henry Nicholas. 1989. Public Administration and Public Affairs. Fourth edition
USA : Prentice-Hall.. International Editions.
Hoogrerweff. 1983. Over Heids Beleid, Ilmu pemerintahan ( terjemahan oleh :
R.L.L. Tobing). Jakarta: Elangga.
Irawan B. 2005. Konversi Lahan Sawah : Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya
dan Faktor Determinan. Forum Penelitian Agro Ekonomi 23 (1) : 1–18.
Irawan. 2007. Valuasi Ekonomi Lahan Pertanian, Pendekatan Nilai Manfaat
Multifungsi Lahan Sawah dan Lahan Kering (Studi Kasus di Sub DAS
Citarik, Kabupaten Bandung, Jawa Barat). Disertasi. Sekolah Pascasarjana
IPB. Bogor.
Irawan B. 2008. Meningkatkan Efektifitas Kebijakan Konversi Lahan. Forum
Penelitian Agro Ekonomi 26 (2) : 116–131.
Daftar Pustaka |219
Silalahi SB. 1985. Penggunaan Tanah Berencana (Land Use Planning). Bahan
Diskusi dalam Studi ilmiah tentang Agraria di Akademi Agraria Yogyakarta
30 Desember 1985. Direktorat Tata Guna Tanah. Direktorat Jenderal
Agraria Departemen Dalam Negeri. 24 Hal.
Silalahi, Sweken IP. 1984. Cara Pengumpulan Data dan Hasil yang telah dicapai.
Dalam Atlas Penggunaan Tanah Republik Indonesia. Publikasi No. 333.
Departemen Dalam Negeri, Direktorat Jenderal Agraria. Hal. 7–16.
Simatupang P, B Irawan. 2003. Pengendalian Konversi Lahan Pertanian: Tinjauan
Ulang kebijakan Lahan Pertanian Abadi. Dalam U. Kurnia, F. Agus, D.
Setyorini dan A.Setiyanto (EDS). Prosiding Seminar Nasional Multifungsi
Pertanian dan Ketahanan Pangan. Pusat Penerlitian dan Pengembangan
Tanah dan Agroklimat.
Sitorus SRP. 2000. Analisis Keragaman Lateral Sifat-sifat Tanah dalam Satuan
Peta Kesesuaian Lahan dan Implikasinya untuk Perencanaan Penggunaan
Pertanian. Jurnal AGRIVITA 22:68–76.
Sitorus SRP, Susetio AT. 2000. Analisis Produktivitas Lahan, Sifat Kimia Tanah,
Pengusahaan Lahan dan Pendapatan Transmigran Unit Permukiman
Transmigrasi Pola Tanaman Pangan Lahan Basah di Indonesia. Jurnal
AGRISTA 4 (2):144–161.
Sitorus SRP, Pribadi DO. 2000. Studi Alokasi Luasan Lahan dan Model Kegiatan
Usahatani di Daerah Transmigrasi. Jurnal Tanah Tropika 10:187–208.
Sitorus SRP, Pratiwi RA, Winoto J. 2000a. Analisis Keragaman Produktivitas dan
Pengusahaan Lahan serta Faktor-faktor Fisikososial yang Mempengaruhinya
di Unit Permukiman Transmigrasi Pola Tanaman Pangan Lahan Kering
di Indonesia. Jurnal AGRIVITA 22(2):77–91.
Sitorus SRP, Fibriyanti E, Panuju DR. 2000b. Analisis Keragaman Sifat Kimia
Tanah Dalam Satuan Kelas Kesesuaian Lahan dan Hubungannya dengan
Basis Komoditas Tanaman Pertanian. Jurnal AGRISTA 4 (1) : 64–76.
Sitorus SRP, Srihayati, Selari M, Subagyo H. 2000c. Pola Penyebaran Ketebalan
Gambut dan Sifat-sifat Tanah Antara Beberapa Sungai Utama Pada Areal
Pengembangan Lahan Gambut Satu Juta Hektar, Propinsi Kalimantan
Tengah. Jurnal AGRISTA 4 (1):50–63.
Daftar Pustaka |223
Solihah N. 2002. Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Sawah
Terhadap Pendapatan Petani di Kabupaten Bogor. Skripsi. Jurusan Ilmu-
ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian
Bogor.
Sostroatmodjo P. 1980. Pembukaan Lahan dan Pengolahan Tanah. Lembaga
Penunjang Pembangunan Nasional (LEPPENAS).Jakarta 170 hal.
Sumaryanto, N Syafaat M, Ariani, Friyanto S. 1995. Analisis Kebijaksanaan
Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Pertanian, Pusat Penelitian
Ekonomi Pertanian bekerjasama dengan Proyek Pengembangan Penelitian
Pertanian Nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Bogor.
Sutami. 1980. Ilmu Wilayah. Jakarta: Badan Penerbit Pekerjaan Umum. 289
hal.
Syaukat Y, Agus F. 2004. Fact Finding Konversi Sawah dan Usulan Pencegahan.
Makalah pada Pertemuan Round Table II Pengendalian dan Konversi dan
Pengembangan Lahan Pertanian. Jakarta 14 Desember 2004.
Tala’ohu SH, Sutono, Soelaeman Y. 2003. Peningkatan Produktivitas Lahan
Kering Masam melalui Penerapan Teknologi Konservasi Tanah dan Air.
Hlm 45-63 Dalam Prosiding Simposium Nasional Pendayagunaan Tanah
Masam, Bandar Lampung, 29–30 September 2003. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor
Team Fakultas Pertanian IPB. 1983. Buku Panduan Perencanaan Tata ruang
Permukiman Transmigrasi Menurut Tolok Takrerata. Direktorat Tata Kota
dan Tata Daerah, Dit. Jen. Cipta Karya, Departemen P.U. Bekerjasama
dengan Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Tim Biro Perencanaan Deptrans, Tim Pusat Penelitian Tanah, Tim Lembaga
Penelitian IPB, dan Tim Lembaga Penelitian UNPAD. 1984. Kriteria
kesesuaian lahan pola-pola pemukiman transmigrasi dalam rangka survei dan
pemetaan tingkat tinjau sumberdaya lahan dan sumberdaya alam lainnya.
Proyek Rancangan Rencana Pemukiman Transmigrasi, Biro Perencanaan,
Departemen Transmigrasi, Jakarta. 45 hal.
Tjokroamidjojo B. 1979. Perencanaan Pembangunan. Jakarta: Gunung Agung.
225 hal.
Daftar Pustaka |225
Tomar MS, Maslekar AR. 1974. Aerial photographs in landuse and forest surveys.
Jugal Kishore & Co. Dehra Dun. India. 210 pp.
Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, Jakarta.
Undang-undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian,
Jakarta.
Van Lier HN, De Wrachien D. 2002. Land Use Planning : A Key to Sustainable
Development. Paper Presented in XXX International Symposium Actual
Tasks on Agricultural Engineering. Opatija, Croatia, 12–15 March 2002.
Vink APA. 1975. Land Use in Advancing Agriculture. Springer-Verlag, Berlin.
394 p.
Watimena MC. 2013. Perspektif Kearifan Tempat Penting Suku Malind sebagai
Arahan dalam Penyusunan Rencana Detil Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Marauke.[Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.
Watung RL, Tala’ohu SH, F Agus. 2003. Fungsi lahan sawah dalam preservasi
air. Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi lahan pertanian.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Hal
149–157.
Wehrmann B. 2011. Land Use Planning Concept, Tools and Applications. GIZ
Land Policy and Management On Behalf of Federal Ministry of Economic
Cooperation and Development, Eschborn, Germany. 236 p.
Whyte RO. 1976. Land and Land Appraisal. dr. W. Junk, B.V. Publisher, The
Haque, 370 pp.
Widiatmaka, Munibah K, Santun SRP. 2015 Appraisal Keberlanjutan
Multidimensi Penggunaan Lahan untuk Sawah di Karawang – Jawa Barat.
Jurnal KAWISTARA 5(2): 113–130.
Wiener A. 1972. Water resources development and environmental management
in developing Countries. Transaction ITC-UNESCO Symposium on
Environmental Management and Integrated Surveys. Enschede.
Winoto J. 1995. Impacts of Urbanization on Agricultural Development in The
Northern Coastal Region of West Java. Michigan Satate University and
University Microfilm. Inc. USA.
226 | Perencanaan Penggunaan Lahan
A
Adimiharja A. 115
Agus F dan Irawan A. 80, 91, 92
Agus F, Kurnia U, Nurmanaf AR. 80
Agus F dan Husen E. 90, 91
Aldrich FT. 62, 63
Anonimous a. 46, 53, 64
Anonimous b. 168, 169, 170, 172
Anwar A. 88
Anwar dan Pakpahan 1990. 88, 118
Arsyad S. 18
B
BAPPENAS. 82
Barlowe R. 18, 102
Barzelay. 119
Brinkman R dan Smyth AJ. 165
Beek dan Bennema 1972. 28, 159, 162
C
Callaghan JR. 76, 89
Casson J, Hartnup R dan Jarvis R. 148
Chisholm M. 30
Clawson dan Stewart. 15, 41
228 | Perencanaan Penggunaan Lahan
D
Davidson DA. 150
De Vries B. 82
Dent 1978. 130, 135
Dinariana D, Sitorus SRP, Tarigan SD, Nurisyah S, Hartrisari. 149
Doyle RH. 148
Dumanski J. 148
Dunn WN. 110, 111, 120
E
Edwards, 1980. 111
F
FAO. 165, 208
FAO/UNEP. 6, 126
FAO/UN-HABITAT. 194
Friedmann J dan Douglass M. 138
G
GTZ. 126, 210, 211
H
Haans JCFM dan Westerveld GJW. 150
Henry N. 111
Hoogerwerf (1983).111
Indeks | 229
I
Irawan B. 76, 79, 80, 83, 86, 87, 89, 90, 92, 94, 95, 104, 106, 108, 115, 117
Irawan B, Purwoto A, Saleh C, Supriatna A, dan Kirom NA. 118, 121, 215
Isa M. 68, 72, 74, 104, 105, 115
J
Jones, R.G.B and Davies, K. 130
K
Kadarusno. 169
Kadir WM. 67
Kasiran. 103
Kenkyu S. 76, 89, 90
Keppres No. 48/1983. 69
King KFS. 133
Kitamura T dan Kobayashi.201, 202
Kustiwan I. 78
L
Lounsbury JF. 67, 70
M
Mahmudi 2002. 20
McCormack DE dan Bartelli LJ. 149
McIntyre GN. 15, 32
Mochtar 1980. 171, 172, 173
Munasinghe M. 76, 89
230 | Perencanaan Penggunaan Lahan
N
Nasoetion. 97, 154
Nasoetion dan Winoto. 88, 104, 108, 118
O
OECD. 82, 90
P
Pakpahan A dan Anwar A. 118
Panudju 2012. 86,112,113
Panjaitan 1999. 120
Pasandaran E. 115
Permendagri No.4/1996. 19
R
Robertson VC dan Stoner RF. 31
Rosnila, Sitorus SRP, dan Rustiadi E. 75
Rustiadi E. 78
Rustiadi E, Saefulhakim S, dan Panuju DR. 78
Ruswandi. 128
S
Sandi IM. 125, 132, 151, 152, 155
Saefulhakim dan Nasoetion LI. 19
Self (1972).119
Setiyanto et al. 2003 104
Silalahi dan Sweken IP. 45, 151
Simatupang P dan B Irawan. 79, 87, 104, 108, 115
Indeks | 231
U
Undang-undang Nomer 5 tahun 1960. 8, 9, 151
V
Van Lier HN dan De Wrachien D. 197
Vink APA. 13, 20, 22, 26, 31, 36, 38, 60, 133, 134
232 | Perencanaan Penggunaan Lahan
W
Wattimena 2013. 140
Watimena MC. 140
Watung RL, Tala’ohu SH, dan Agus F. 96
Whermann B. 77
Whyte RO. 14
Widiatmaka et al. (2015). 83
Wiener A. 133
Willatts EC . 137
Winoto J. 80, 88, 104, 108, 117, 118
Y
Yoshida 1994. 90
Yoshida 2001. 83, 94, 97
Young A, dan Goldsmith PF. 23
Yunus HS.19
Z
Zonn LE. 62
INDEKS SUBJEK
A
access 17
adaptability of land 63
afrika barat 141, 204, 210, 211, 212
afrika selatan 204, 212, 213
agenda 5
Indeks | 233
amazon 7
amenity 19, 91
amerika latin 204, 213, 214
anthropogenic 199
arable land 33
asia 7, 14, 22, 24, 204, 205
asia tenggara 22, 204, 205
B
bahaya areal 63
bendungan 95, 96
bera 16, 35, 40, 43, 44, 150
bottom-up 128, 139
C
cagar alam 17, 21, 29, 30
catchment area 14
chili 214
citra landsat 65
citra penginderaan jauh 32, 60, 147, 162
commercial areas 17
contingent valuation method (CVM) 91
county war agricultural committees 33
234 | Perencanaan Penggunaan Lahan
cropping system 26
current cultivation 43
cyclic 13
D
danau/situ 47, 50, 57
DAS 83, 90, 91, 92, 94, 95, 96, 106, 115, 205, 216, 218
daur pertanaman 42
degrees 16
desertifikasi 198
E
ecological basis 134
el nino 97
emplasemen 46, 47, 51, 52
erosi 2, 14, 18, 25, 44, 64, 83, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 105, 106, 165,
181, 186, 198, 213
established rating systems 64
evaluasi sumberdaya lahan 1, 32, 147, 150, 175, 223
exchanging ideas 17
extent 26
externalities 17
F
facts finding 84, 102
farm power 22
farm uses 41
FAO/UNEP 6, 126
filipina 206
filling 16
Indeks | 235
G
gabah 22, 87, 91, 97,101, 103, 108, 122
GBHN 157
GDPs 2
grain crops 27
grazing 27, 28, 29, 36, 37
gross production 26, 134
ground crops 36
gullies 44
gurun pasir 44
H
hak adat 72, 208
hak barat 72
harga lahan 17, 88, 104, 106, 107, 113
hazards of the area 63
hortikultura 21, 29, 43, 44, 150
households 41
hutan 3, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 13, 14, 18, 20, 29, 30, 34
hutan lebat 49, 53, 56
hutan belukar 49, 49, 53, 56
hutan sejenis 49, 53, 55, 56
hutan rawa 49, 53, 56
236 | Perencanaan Penggunaan Lahan
I
idle 16, 40, 44
india 41, 44, 60, 225
inggris 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 65, 137, 199
infiltrasi 103
intensitas penggunaan lahan 16, 26
internalities 17
interpretasi 62, 148, 159, 162, 164, 172
interrelasi 17
interplay 15
intersection 60
intrinsic values 89
J
jerami 54, 91
K
kadaster 203
kamboja 205
kampung 46, 47, 53
keberlanjutan (sustainability) 198
kebun campur 46
kemampuan lahan 62, 63, 64, 76, 92, 148, 178, 223
kepemilikan akses terbuka 8
kepemilikan lahan 4, 6, 7, 8, 9, 10, 89, 118, 182, 187, 203, 207, 208, 209, 212
kepemilikan komunal 8
kepemilikan negara 8
kepemilikan pribadi 8
Indeks | 237
ketahanan pangan 83
kode (coding) 41
kolam 41, 46, 47, 49, 56, 91
komite pangan perang 33
konversi lahan pertanian 75, 91, 106
kuburan 46, 47, 51, 54
kualitas lahan alami 16
L
labor intensity 22, 25
ladang 47, 48, 52, 55, 56
lahan 65
lahan bera 16, 35, 40, 43, 44, 92, 94, 143
lahan hutan13, 34, 35, 42, 43, 94, 92, 143
lahan konvensional 60, 61
Lahan non hutan 43, 45
lahan pedesaan 2, 17, 20, 21, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 53, 132, 133
lahan terlantar 44, 84, 85, 89
lahan tradisional 2
lahan pertanian 2, 3, 8,
land development 68, 24
land development planning 32, 167
landform 18
land rent 100, 101, 104
landscape 30
landslide 45
land tenure 16, 22
landuse 13, 14, 31, 45, 125, 131, 132
238 | Perencanaan Penggunaan Lahan
M
market gardening 27, 28
MDGS 5, 6
Meadow 35, 36
N
no-go area 182
nomadic herdings 27
nutrition density 14
O
Overuse 14
P
PACT 140
padang 13, 18, 20, 36, 37, 38
padang penggembalaan 35
Indeks | 239
R
ranching 27
rawa 50
real estate 101
reconnaissance 159
240 | Perencanaan Penggunaan Lahan
S
sawah 207, 122, 121
skotlandia 38
SDGs 6
SKP 170, 173
socialized agriculture 28
soil subsidence 176
spatial 170
spatial zone 70
specialized grazing 28
stakeholder 4, 11, 143, 146, 191
subsidiaritas 128
subsurface 16
suburb 69
Survei penggunaan lahan 31
Indeks | 241
T
tanah buangan 44
tanah tandus 46, 47, 50, 56
tata guna tanah 45, 153
TCM 91
tegalan 47, 48, 52, 55, 56, 84, 93, 94
thailand 205
tipe penggunaan lahan 15
top-down 128, 139, 145
travel cost method (TCM) 98
U
unpriced benefit 90
urban fence 137
UUPA 72, 72, 151, 152, 153, 154
V
visible expression 65
vietnam 205, 206
W
waduk 41, 43, 47, 50, 57, 108
wales 37, 38
waste land 44
water retention capacity 92
WPP 170
Z
zonasi tata ruang 70
RIWAYAT PENULIS