Anda di halaman 1dari 5

Teori

Urin dihasilkan oleh ginjal melalui proses-proses berikut : 1) Filtrasi plasma darah oleh glomeruli; 2)
Reabsorbsi selektif oleh tubuli; 3) Sekresi oleh sel tubuli; 4) Pertukaran ion hidrogen dan pembentukan
amonia oleh sel tubuli untuk mempertahankan keseimbangan asam basa darah. Gangguan pada
segmen-segmen ginjal tersebut dapat menyebabkan gangguan pada produksi urin, sehingga dapat
dijumpai zat abnormal dalam urin. Karena itulah pemeriksaan urin merupakan salah satu cara untuk
membantu diagnosis berbagai penyakit. Urinalisis rutin biasanya terdiri dari pemeriksaan mikroskopik
endapan urin, pemeriksaan terhadap bakteri, warna, bau, berat jenis, osmolalitas, serta pemeriksaan
kimia dasar terhadap pH, konsentrasi protein, glukosa, keton, darah, bilirubin, dan urobilinogen.

Volume Urin
Informasi mengenai banyaknya air kemih yang diproduksi sehari-hari dapat menjadi petunjuk ada
tidaknya gangguan fungsi/penyakit ginjal, tetapi penentuan volume urin memerlukan pengumpulan
contoh dalam jangka waktu tertentu dan dalam jumlah yang banyak. Luaran urin harian tergantung
pada banyaknya asupan cairan dan juga kontrol oleh hormon. Namun demikian untuk mudahnya perlu
diingat bahwa rerata ekskresi urin manusia dewasa berkisar 8,6-28,6 ml/kg bb per hari.
Keadaan tidak normal dari volume urin disebut oligouria dan poliuria. Oligouria terjadi bila ekskresi
urin menurun dari volume normal, sedangkan poliuria terjadi bila volume urin yang dikeluarkan
meningkat. Oligouria dapat terjadi karena sesuatu sebelum melewati ginjal, seperti tekanan darah
rendah, syok, perdarahan, atau kurang cairan. Dapat juga disebabkan sesuatu pada ginjal seperti
nekrosis tubula akut, keracunan senyawa tertentu, penyakit vaskular ginjal, dan pengendapan zat
tertentu dalam nefron. Penyebab setelah ginjal antara lain batu ginjal, tumor yang menekan saluran
kemih, atau pembesaran prostat. Sedangkan poliuria dapat disebabkan oleh ekskresi zat linarut yang
berlebihan, keluarnya air dalam volume banyak (setelah konsumsi garam berlebihan dan pada
penyakit diabetes mellitus yang disertai glikosuria), defisiensi hormon antidiuretik (ADH) atau terlalu
banyak menelan cairan atau senyawa diuretik.

Warna Urin
Warna urin dipengaruhi oleh asupan makanan/minuman, obat-obatan, dan kondisi patologis tubuh.
Urin normal umumnya berwarna kuning bening karena adanya pigmen urokrom dan sejumlah kecil
urobilin dan uroeritrin. Yang sangat penting untuk diperhatikan adalah warna urin yang tidak normal.
Urin yang nampak keruh dapat disebabkan oleh adanya pengendapan fosfat atau karbonat pada urin
yang basa, adanya leukosit, bakteri, sel darah merah atau lemak. Sel darah merah, hemoglobin,
mioglobin dapat menyebabkan urin berwarna merah-coklat. Urin menjadi berwarna kuning-coklat
seperti teh atau hijau-coklat karena adanya pigmen empedu yang menandakan adanya gangguan
fungsi hati atau empedu. Urin coklat tua dapat disebabkan oleh adanya asam homogentisat pada
penyakit genetis langka alkaptonuria, atau melanin.

Bau
Bau urin penting untuk mengenali kandungan spesimen urin. Urin normal berbau aromatic lemah, bau
yang khas diproduksi setelah asupan asparagus atau timol. Pada penyakit gangguan metabolisme
asam amino bawaan “maple syrup”, urin berbau seperti gula karamel atau sirup maple. Asidosis
diabetes dapat menyebabkan urin beraroma buah-buahan yang disebabkan oleh asam-asam keto dan
aseton. Pertumbuhan bakteri pada urin akan menyebabkan urin berbau amoniak yang tajam karena
penguraian urea oleh bakteri.
Berat Jenis (BJ)
Berat jenis urin dipengaruhi oleh jumlah gram zat terlarut yang diekskresikan per liternya. BJ memberi
informasi tentang kemampuan ginjal untuk memekatkan filtrat glomerulus. Nilai fisiologis BJ berkisar
antara 1,002-1,040 mg/ml namun urin berusia 24 jam umumnya mempunyai BJ antara 1,015 – 1,025
mg/ml. Urin paling pekat diperoleh pada pagi hari. Pada penyakit tubula ginjal, kemampuan
memekatkan filtrat glomerulus paling cepat hilang. BJ dapat diukur secara langsung menggunakan
urinometer atau secara tidak langsung dari penentuan indeks refraktif dengan refraktometer.

pH
Urin manusia mempunyai pH fisiologis berkisar antara 4,8-7,8 dengan rerata sekitar 6,0. Kelaparan
dan ketosis meningkatkan keasaman urin. Sangat tidak lazim urin bersifat basa, kecuali pada kondisi
tertentu seperti alkalosis terlalu banyak mengkonsumsi senyawa basa seperti obat untuk penderita
tukak lambung atau adanya bakteri dalam urin yang menghasilkan amonia. Penentuan pH dapat
dilakukan dengan kertas celup yang mengandung indikator asam/basa atau kertas indikator pH
komersil.

Proteinuria
Setiap hari sedikit protein (0,03-1,00 mg/kg bb per hari) akan terdapat di dalam urin normal. Sebagian
protein tersebut berasal dari albumin yang disaring di dalam glomerulus tetapi tidak diserap di dalam
tubula, sedangkan sisanya adalah glikoprotein dari lapisan sel saluran urogenitalia. Normalnya jumlah
protein dalam urin berkurang menjadi 10 mg/dl dan tidak akan terdeteksi dengan metode urinalisis
yang biasa digunakan. Proteinuria (adanya protein dalam jumlah yang dapat terdeteksi) biasanya
menjadi petunjuk adanya luka pada membran glomerulus sehingga terjadi filtrasi atau lolosnya
molekul protein ke dalam air kemih. Keadaan ini harus dibedakan dengan proteinuria sementara yang
mungkin terjadi pada keadaan demam atau keadaan lain yang tidak membahayakan (disebut
proteinuria ortostatis).

Glukosuria
Glukosa dapat ditemukan di dalam urin sebagai akibat dari penyakit ginjal, namun hal ini sangat jarang
terjadi. Umumnya pemeriksaan gula di dalam urin dilakukan untuk menduga adanya penyakit diabetes
atau untuk memantau khasiat pengobatan insulin pada penderita diabetes. Pemeriksaan dapat
dilakukan dengan cara kimiawi maupun enzimatis. Pada prinsipnya secara kimiawi suatu larutan basa
CuSO4 yang panas akan mengoksidasi semua gula pereduksi dan membentuk endapan Cu2O warna
merah bata hingga kuning. Sedangkan metode enzimatis yang sering digunakan ialah menggunakan
batang celup yang mengandung enzim glukosa oksidase dan peroksidase serta dua senyawa kimia lain,
yaitu suatu peroksida organik dan o-tolidina, suatu donor hidrogen yang tidak berwarna tetapi
berubah menjadi biru bila dioksidasi (kehilangan 2 atom H). Glukosa oksidase mengoksidasi glukosa
menjadi asam glukonat dan H2O2. Setelah itu H2O2 diurai oleh peroksidase menjadi H2O dan terjadi
oksidasi terhadap o-tolidina menjadi pigmen biru. Enzim ini sangat spesifik untuk β-glukosa namun
reaksinya dapat dihambat oleh asam askorbat atau asam urat di dalam urin sehingga menghasilkan
reaksi negatif yang semu.

Ketonuria
Badan-badan keton sangat kecil konsentrasinya dalam urin orang sehat dengan menu seimbangan
(0,03-0,30 mg/kgBB per hari atau rata-rata 0,2 mg/kgBB per hari). Senyawa ini mungkin terdapat
dalam urin penderita diabetes yang tidak diobati, pada orang yang tidak makan beberapa hari
lamanya, atau yang tengah berdiet kaya lemak rendah karbohidrat. Metode yang paling lazim dipakai
untuk mendeteksi senyawa keton dalam urin berdasarkan pada reaksi antara natrium nitroprusida
dan asetosetat atau aseton dalam suasana basa, hasilnya senyawa berwarna merah muda keunguan
(lavender). β-hidroksibutirat tidak bereaksi dengan pereaksi ini.

Darah
Terdapat dua kemungkinan ditemukannya darah di dalam urin: pertama hematuria, yakni adanya sel
darah merah (eritrosit) dalam urin, kedua hemoglobinuria yaitu bila urin mengandung hemoglobin.
Hematuria umunya disebabkan oleh adanya luka di organ/saluran setelah ginjal (ureter, kandung
kemih, uretra). Eritrosit dapat langsung dilihat di bawah mikroskop setelah urin disentrifus. Terjadinya
hemoglobinuria menandakan hemolisis dalam aliran darah atau lisis sel darah merah di saluran kemih.
Gejala ini lazim menyertai berbagai penyakit ginjal atau penyakit pada saluran kemih, misalnya pada
infeksi saluran kencing (ISK) yang sudah parah.
Darah (sel darah merah atau hemoglobin) yang jumlahnya sangat sedikit dalam urin (hingga tidak
terlihat mengubah warna urin) masih dapat dideteksi secara enzimatis dengan kertas/gagang celup
yang mengandung senyawa peroksida. Hemoglobin akan bertindak sebagai enzim yang mengurai
senyawa peroksida, dalam proses ini akan terjadi oksidasi terhadap donor hidrogen yang ditambahkan
(o-tolidin) ke dalam sistem, sehingga terbentuk warna biru. Cara kimiawi menggunakan prinsip yang
sama, hanya cara ini tidak terlalu sensitif karena memerlukan hemoglobin yang relatif cukup banyak
untuk menimbulkan hasil positif.

Pigmen Empedu (Bilirubin dan Urobilinogen)


Bilirubin yang merupakan pigmen empedu utama, terbentuk dari penghancuran hemoglobin yang
berasal dari eritrosit yang telah usang. Dalam prosesnya bilirubin harus dibuang ke luar tubuh, untuk
itu metabolisme di dalam hepatosit akan mengubahnya menjadi bilirubin diglukoronida (bilirubin
ester) yang larut air untuk dikeluarkan bersama cairan empedu. Di usus besar bilirubin ester akan
direduksi oleh bakteri usus menjadi urobilinogen, pigmen tak berwarna; sebagian akan diserap balik
melalui vena porta ke hati, urobilinogen yang tidak diserap balik ke hati akan teroksidasi sebagian
menjadi urobilin dan pigmen berwarna kecoklatan lainnya untuk dikeluarkan bersama tinja. Ada
sebagian kecil (1% atau sekitar 0,143-1,857 mg/kg bb per hari) urobilinogen akan dikeluarkan melalui
ginjal bersama urin. Bilirubin dalam urin sangat rendah konsentrasinya, sekitar 0,70 mg/kg bb per hari.
Oleh karena itu, bilirubin tidak akan terdeteksi di dalam urin individu normal dan sehat. Adanya
bilirubin dalam urin menandakan adanya gangguan patologis pada hati atau sistem empedunya.
Biasanya yang ditemui adalah bentuk larut airnya yaitu bilirubin ester. Sebaliknya pada individu yang
sehat akan terdapat urobilinogen dalam urin sebagai hasil metabolisme bilirubin. Kira-kira sebanyak
0,043-0,357 mg/kg bb per hari urobilinogen dikeluarkan dalam air kemih. Jumlah ini akan meningkat
pada penyakit hemolisis (karena meningkatnya sistesis bilirubin), pada penyakit hepatoselular (akibat
berkurangnya serap balik oleh hepatosit), dan pada gagal jantung. Adanya sumbatan oleh batu
empedu baik di kantung maupun di saluran empedu, akan menurunkan bahkan menihilkan
urobilinogen dalam urin.

PROSEDUR PRAKTIKUM
Pemeriksaan dilakukan terhadap sampel urin yang dikumpulkan dalam wadah steril.

A. Pemeriksaan Visual dan Fisik


Amati warna dan bau sampel urin
Ukurlah berat jenis sampel urin menggunakan urinometer. Bila urin berbuih gunakanlah kertas saring
untuk menghilangkan buih tersebut, dan jangan lupa faktor koreksi suhu. BJ dalam tiga angka desimal.
Hitunglah kadar padatan urin dengan cara: kalikan dua angka terakhir BJ urin (dua desimal terakhir)
dengan Koefisien Long (2,6), maka akan diperoleh kadar padatan dalam gram per 1000 mL urin. Kadar
ini hanya perkiraan kasar.
Contoh : BJ urin = 1,025 Dua desimal terakhir = 25
Maka kadar padatan = 25 X 2,6 = 56 gram/1000 mL
Ukurlah pH urin dengan indikator pH universal

B. Proteinuria

Uji Koagulasi
Saringlah sampel urin, kemudian pipet filtrat urin sebanyak 5 ml. Panaskan hingga mendidih.
Kekeruhan yang timbul dan berwarna putih dapat disebabkan oleh protein, tetapi bisa juga karena
fosfat. Tambahkan 1-3 tetes asam asetat 6%. Bila cairan menjadi jernih kembali, maka kekeruhan
disebabkan oleh fosfat. Bila setelah penambahan asam asetat kekeruhan makin nyata, maka
penyebab kekeruhan adalah protein.

Uji Bang
Pipet 5 ml filtrat urin, lalu tambahkan 2 ml pereaksi Bang, campur baik-baik dan panaskan. Bandingkan
uji ini dengan uji koagulasi. Pereaksi Bang adalah larutan bufer pH 4,7.

Uji Asam Sulfosalisilat


Pipet 3 ml filtrat urin, masukkan ke dalam tabung reaksi dan miringkan tabung tersebut. Tambahkan
perlahan-lahan melalui dinding tabung 3 ml pereaksi (25% asam sulfosalisilat). Asam ini akan
membentuk lapisan di bawah cairan urin, jangan digoyang/dicampur. Setelah 1 menit, perhatikan
kekeruhan yang timbul di pertemuan antara lapisan asam dan urin.

C. Glukosuria (Uji Benedict)


Pipetlah tepat 5 ml pereaksi Benedict ke dalam tabung reaksi yang bersih dan tambahkan 8 tetes urin
yang sudah disaring. Panaskan di atas nyala Bunsen hingga mendidih, dinginkan dan perhatikan
perubahan warna larutan. Adanya gula pereduksi dapat dilihat bila larutan berubah warna menjadi
hijau-kuning-merah bata.
Catatan :
Urin yang mengandung protein harus diendapkan dahulu proteinnya dengan pereaksi Bang: pipet 4
ml urin dam tambahkan 2 ml pereaksi Bang, kocok, panaskan lalu saring. Filtrat yang jernih siap diuji
dengan pereaksi Benedict. Urin yang basa harus dinetralkan terlebih dahulu dengan asam asetat 6%.

D. Ketonuria (Uji Rothera)


Pipet 5 ml urin, tambahkan kristal amonium sulfat sampai jenuh. Setelah itu tambahkan dengan 2-3
tetes larutan natrium nitroprusida 5% dan 1-2 ml amonia pekat. Perhatikan warna yang terbentuk.

E. Darah (Uji Peroksidase / Uji Benzidin)


Ke dalam 3 ml larutan benzidin 1% tambahkan 1 ml H2O2 3% dan campur baik-baik dengan cara
memindah-mindahkan larutan antara dua tabung reaksi, selanjutnya di bagi ke dalam dua tabung
reaksi tersebut. Teteskan urin ke dalam salah satu tabung, sedangkan tabung yang lain digunakan
sebagai blanko. Perhatikan perubahan warna yang terjadi. Bandingkan dengan blanko.
F. Bilirubin (Metode Hyman-Bergh)
Sebanyak 1 ml pereaksi Diazo yang masih segar ditambahkan 1 ml urin beralkohol, bubuhi setetes
amonia pekat. Adanya bilirubin ditunjukkan oleh timbulnya warna merah eosin

G. Urobilinogen dan Urobilin (Metode Schlessinger)


Pipet 5 ml urin dan tambahkan 5 ml suspensi Zn-asetat jenuh beralkohol. Tetesi dengan sedikit
amonia, kocok dan diamkan sebentar. Selanjutnya saringlah dengan kertas saring kering, tampung
filtratnya. Amati ada atau tidaknya fluoresensi pada filtrat yang disebabkan oleh adanya urobilin.
Urobilinogen tidak memberi fluoresensi, tetapi setelah dibubuhi beberapa tetes larutan Lugol akan
menghasilkan fluoresensi juga. Hasilnya lebih nyata bila menggunakan lampu UV.

H. Uji Nessler untuk Deteksi Amonia di Urin


Pembuatan reagen Nessler. Larutkan 100 g HgCI2 dan 70 g KI dalam 200 mL aquades yang bebas
amonia. Larutkan 160 g NaOH dalam 100 mL aquades, lalu dinginkan. Tambahkan larutan a dan b
sedikit demi sedikit sambil diaduk-aduk. Encerkan campuran larutan tersebut menjadi 1 L dengan
akuades, lalu simpan dalam botol gelap dan jauhkan dari cahaya matahari langsung. Larutan ini stabil
hingga 1 tahun. Pembuatan standar amonium klorida 5 ppm. Sebanyak 1,9105 g NH4Cl p.a ditimbang,
lalu larutkan dalam aquades bebas amonia menjadi 1 L. Sebanyak larutan stok dipipet dan diencerkan
dengan aquades bebas amoia dalam labu takar 1 L. Pengujian amonia dalam urin. Encerkan 1 mL urin
dengan labu takar 50 mL. Siapkan 3 tabung Nessler dan isi setiap tabung dengan campuran berikut:

Anda mungkin juga menyukai