Anda di halaman 1dari 33

ANALISIS KRITIS RUU KESEHATAN

DRAFT KE-II

HASIL PEMBAHASAN
PANJA KOMISI IX DPR RI

IKATAN DOKTER INDONESIA


2023

1
DAFTAR ISI

KLASTER KONSIDERAN - MENIMBANG HURUF E …………………..4

KLASTER RUMAH SAKIT BAGIAN KETIGA


PASAL 191-196 (13 PASAL ………………………………………………….5

KLASTER PERIZINAN PARAGRAF 2 PS 263- 267 (5 PASAL) ………..8

KLASTER KONSIL BAGIAN KETUJUH PASAL 268 – 271


(4 PASAL) ………………………………………………………………………10

KLASTER HAK DAN KEWAJIBAN TENAGA MEDIS


DAN TENAGA KESEHATAN PASAL 273 - 275 (3 PASAL) …………..13

KLASTER HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN PARAGRAF 2


PASAL 276 - 278 (3 PASAL) ……………………………………………….16

KLASTER REKAM MEDIS PARAGRAF 6


PASAL 296-300 (5 PASAL) …………………………………………………19

KLASTER PENEGAKAN DISIPLIN TENAGA MEDIS DAN TENAGA


KESEHATAN PARAGRAF 1 PASAL 304-309 (6 PASAL) …………….21

KLASTER PENEGAKAN DISIPLIN TENAGA MEDIS DAN TENAGA


KESEHATAN PARAGRAF 1 PASAL 304-309 (6 PASAL)
LANJUTAN PASAL 306 ……………………………………………………..25

KLASTER PENEGAKAN DISIPLIN TENAGA MEDIS DAN TENAGA


KESEHATAN PARAGRAF 1 PASAL 304-309 (6 PASAL)
LANJUTAN PASAL 307 ……………………………………………………..27

KLASTER PENEGAKAN DISIPLIN TENAGA MEDIS DAN TENAGA


KESEHATAN PARAGRAF 1 PASAL 304-309 (6 PASAL)
LANJUTAN 308 ………………………………………………………………29

KLASTER PENDANAAN KESEHATAN


BAB XIII RUU KESEHATAN, Pasal 401- 412 (12 Pasal) ……………31

2
ANALISIS KRITIS RUU KESEHATAN DRAFT KE-II
HASIL PEMBAHASAN PANJA KOMISI IX DPR RI

(1)
_______________________________________________
KLASTER KONSIDERAN
MENIMBANG HURUF E
________________________________

Problematika Hukum Konsideran huruf e :

bahwa untuk meningkatkan kapasitas dan ketahanan kesehatan


diperlukan penyesuaian berbagai kebijakan untuk penguatan sistem
kesehatan secara integratif dan holistik dalam 1 (satu) undang-
undang secara komprehensif;

Pandangan Hukum Dan Analisis Kritisnya :


Dalam konsideran huruf (e) Rancangan Undang-Undang Kesehatan Draft I dan
Rancangan Undang-Undang Kesehatan Draft II, belum dicantumkan nilai-nilai
filosofis, yuridis dan sosiologis tentang pentingnya pelindungan dan kepastian
hukum bagi para subyek hukum yang terlibat dalam penyelenggaraan dan
pemanfaatan layanan kesehatan, seperti rumah sakit, tenaga kesehatan,
tenaga medis dan pasien. Maka sejalan dengan pasal 27 ayat (1) UUD 1945 jo
Pasal 28 D ayat (1) tersebut, harus dimasukkan nilai-nilai filosofis, yuridis dan
sosiologis yang terkandung dalam UUD 1945, karena Rancangan Undang-
Undang Kesehatan ini akan mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi
Undang-Undang Tentang Wabah Penyakit Menular, Undang-Undang Tentang
Praktek Kedokteran, Undang-Undang Tentang Kesehatan, Undang-Undang
Tentang Rumah Sakit, Undang-Undang Tentang Kesehatan Jiwa , Undang-
Undang Tentang Tenaga Kesehatan, Undang-Undang Tentang Keperawatan,
Undang-Undang Tentang Kekarantinaan Kesehatan, Undang Undang Tentang
Kebidanan.
Karena itulah maka konsideran huruf e, harus diubah redaksional dan
substansinya menjadi :
bahwa untuk meningkatkan kapasitas dan ketahanan kesehatan
diperlukan penyesuaian berbagai kebijakan untuk penguatan sistem
kesehatan secara integratif dan holistik dalam 1 (satu) undang-
undang secara komprehensif guna memberikan pelindungan dan
jaminan kepastian hukum kepada rumah sakit, tenaga medis dan
tenaga kesehatan

4
(2)
_______________________________________________
KLASTER RUMAH SAKIT
BAGIAN KETIGA PASAL 191-196 (13 PASAL)
________________________________

I. Problematika Hukum Pasal 191 butir e dan f :

Rumah sakit mempunyai hak :


e. menggugat pihak yang mengakibatkan kerugian
f. mendapatkan pelindungan hukum dalam
melaksanakan pelayanan kesehatan

Pandangan Hukum Dan Analisis Kritisnya :


Redaksional dan substansi Pasal 186 huruf e, dalam Rancangan
Undang-Undang Kesehatan Draft II dan Rancangan Undang-
Undang Kesehatan Draft I, tetaplah sama, dan tidak ada
perubahan. Padahal sudah diusulkan oleh seluruh Organisasi
Profesi Kesehatan untuk dihapus, sehingga tidak dapat
dipertahankan lagi, karena secara subtansi sudah diatur dalam
norma pasal 186 huruf f, yaitu Rumah Sakit berhak mendapatkan
pelindungan hukum dalam melaksanakan pelayanan kesehatan.
Pelindungan hukum tersebut salah satunya adalah dalam bentuk
menggugat pihak yang mengakibatkan kerugian vide pasal 186
huruf e.
Penghapusan norma pasal 186 huruf e, dimaksudkan agar tidak
terjadi double norm.
Pelindungan hukum terhadap rumah sakit dalam Pasal 186 huruf
e dan f Rancangan Undang-Undangan Kesehatan sangat
diskriminatif apabila dibandingkan dengan pelindungan hukum
terhadap Tenaga Medis Dan tenaga Kesehatan yang hanya
disebutkan dalam 1 (satu) pasal dan butir saja.

5
Hal ini menjadi tidak sejalan dengan konsideran huruf b dalam
Rancangan Undang-Undang Kesehatan yang disebutkan non
dikriminatif.
Kedudukan yang diskriminatif antara Rumah Sakit dengan Tenaga
Medis dan tenaga Kesehatan sengaja dibiarkan berlanjut kedalam
pasal 192 ayat (1) dan (2).

II. Problematika Hukum Pasal 192 ayat (1) dan (2) :

(1). Rumah sakit tidak bertanggung jawab secara hukum


apabila Pasien dan/atau keluarganya menolak atau
menghentikan pengobatan yang dapat berakibat
kematian Pasien setelah adanya penjelasan medis
yang komprehensif.
(2). Rumah sakit tidak dapat dituntut dalam
melaksanakan tugas dalam rangka menyelamatkan
nyawa manusia.

Pandangan Hukum Dan Analisis Kritisnya :


Redaksional dan substansi Pasal 197 ayat (1), dalam Rancangan
Undang-Undang Kesehatan Draft II, sudah pernah diusulkan
untuk dilakukan perubahan dalam Rancangan Undang-Undangan
Kesehatan Draft I, akan tetapi tetap saja dipertahankan dan tidak
diperbaiki.

Hal ini menunjukkan dan membuktikan kalau Undang-Undnagan


Kesehatan sengaja menempatkan Rumah Sakit dengan Tenaga
Medis dan tenaga Kesehatan secara diskriminatif dalam acces to
justice, Rumah Sakit dalam Pasal 191 butir e dan f mendapatkan
perlindungan hukum yang double, atau double norma.

6
Sekarang dalam Pasal 192 ayat (1) dan (2) Rumah sakit kembali
mendapatkan perlindungan hukum yang lebih, bahkan hak untuk
tidak bertanggung jawab juga dilekatkan dalam Rumah Sakit.

Perlakuan diskriminatif juga diperlihatkan secara terang dalam


Rancangan Undang-Undang ini dengan cara tidak menambahkan
kata, Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan untuk tidak
bertanggaung jawab.

Semestinya Pasal 192 ayat (1) bunyi redaksional dan substansi


pasal menjadi, “Rumah Sakit, Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan tidak bertanggung jawab secara hukum
apabila pasien dan/atau keluarganya menolak atau
menghentikan pengobatan yang dapat berakibat
kematian pasien setelah adanya penjelasan medis yang
komprehensif.

Hak imunitas sangat jelas dalam Redaksional dan substansi Pasal


192 ayat (2), dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan Draft
II, dengan menyebutkan Rumah sakit tidak dapat dituntut.
Apabila pasal 192 ayat (2) tetap dipertahankan maka wajib
diperbaiki dengan menambahkan kata, Rumah Sakit, Tenaga
Medis dan Tenaga Kesehatan tidak dapat dituntut, agar
semuanya mendapatkan kedudukan dan perlakukan yang sama
dihadapan hukum sesuai UUD 1945. Apabila tidak diperbaiki
redaksional dan substansi pasal 192 ayat (2) diatas, tentu
menjadi diskriminatif dan melanggar hak konstitusioanl Tenaga
Medis dan Tenaga Kesehatan.

Sehingga bunyi redaksional dan substansi pasal 192 ayat (2)


menjadi, “Rumah Sakit, Tenaga Medis Dan Tenaga
Kesehatan tidak dapat dituntut dalam melaksanakan
tugas dalam rangka menyelamatkan nyawa manusia1.

7
(3)
_______________________________________________
KLASTER PERIZINAN
PARAGRAF 2 PASAL 263- 267 (5 PASAL)
_______________________________________________________

Problematika Hukum Pasal 264 ayat (1) :

Untuk mendapatkan SIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 264


ayat (2), Tenaga Medis dan tenaga Kesehatan tertentu harus
memiliki :
a. STR;an
b. Tempat praktik.

Pandangan Hukum Dan Analisis Kritisnya :


Redaksional dan Substansi Rancangan Undang Undang Kesehatan
Draft II pasal 264 ayat (1) huruf a dan b diatas, telah
menghapuskan dan tidak mempertahankan secara lengkap seperti
redaksional dan substansi dalam RUU Kesehatan Draft I dalam
pasal 249 ayat (1) butir c tentang Rekomendasi Organisasi profesi.

Penghapusan Rekomendasi Organisasi Profesi dalam RUU


Kesehatan Draft II Pasal 249 ayat (1) butir c a quo adalah tidak
tepat, karena rekomendasi organisasi profesi sebenarnya untuk
membantu pemerintah dalam memastikan bahwa Tenaga Medis
dan tenaga Kesehatan yang akan berpraktek didaerahnya betul-
betul tidak ada masalah etika, disiplin dan hukum. Selain itu
untuk menghindarkan adanya tenaga medis dan tenaga kesehatan
illegal, yang akan merugikan masyarakat. Karena organisasi profesi
memiliki data based tenaga medis dan tenaga kesehatan secara
keseluruhan, dimana seluruh tenaga medis dan tenaga kesehatan
merupakan anggota dari organisasi profesi.

Perlunya rekomendasi Organisasi profesi adalah agar tidak


memperpanjang birokrasi dalam periizinan juga dapat membantu
pemerintah dalam menyeleksi dan memberikan perlindungan

8
kepada masyarakat atas pelayanan dari tenaga medis dan tenaga
kesehatan yang tidak beretika/melanggar etik/melanggar
hukum/melanggar disiplin/tidak kompeten. Dan pemberian
rekomendasi profesi bukan merupakan birokrasi tetapi merupakan
bagian dari penyelenggaraan organisasi profesi yang professional
dan kompeten.

9
(4)
_______________________________________________________
KLASTER KONSIL
BAGIAN KETUJUH PASAL 268 - 271 (4 PASAL)
_______________________________________________________

Problematika Hukum Pasal 269 :

Konsil memiliki peran :


a. Merumuskan kebijakan internal dan standarisasi
pelaksanaan tugas konsil
b. Melakukan registrasi tenaga medis dan tenaga kesehatan;dan
c. Melakukan pembinaan teknis keprofesian tenaga medis dan
tenaga kesehatan.

Pandangan Hukum Dan Analisis Kritisnya :


Dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan Draft II, terkait
dengan kewenangan Organisasi Profesi yang seharusnya ada dalam
pemberian rekomendasi SIP bagi Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan vide pasal pasal 264 ayat (1) telah dihapus dan/atau
dihilangkan, sekarang kewenangan Organisasi Profesi dalam
melakukan pembinaan bersama bersama Konsil mengenai
pelaksaan etika profesi yang ditetapkan oleh Organisasi profesi
juga dihilangkan.
RUU Kesehatan Draft II, merumuskan perubahan redaksional dan
subtansi tentang pembinaan tentang etika profesi, diganti dengan
pembinaan teknik keprofesian, tanpa ada penjelasan Apa yang
dimaksud pembinaan teknis keprofesian dan bersama siapa Konsil
melakukan pembinaan teknis keprofesian.
Redaksional dan substansi dalam pasal 269 butir c a quo tentu
tidak lazim dan menghambat proses pembinaan yang seharusnya
dilakukan secara integral, holistic dan komprehensif, karena tidak
mungkin Konsil melakukan pembinaan tenaga medis dan tenaga
kesehatan secara nasional dan regional yang jumlah total tenaga
medis dan tenaga kesehatan mencapai hamper 3.000.000.000,-
10
(tiga juta) tenaga medis dan tenaga kesehatan se-Indonesia tanpa
melibatkan organisasi profesi.
Menghilangkan peran dan kewenangan organisasi profesi baik
dalam pasal 264 ayat (1) dan 269 RUU Kesehatan Draft II
dimaksudkan agar nantinya kewenanga Organisasi Profesi bukan
lagi sebagai bagian dari UU Kesehatan ini, dan kedudukan hukum
Organisasi Pofesi tidak tunduk dan menundukkan diri dalam UU
Kesehatan akan tetapi menjadi bagian dan penundukan diri dalam
Undang-Undang Organisasi Masyarakat.

11
(5)
_________________________________________________________
KLASTER HAK DAN KEWAJIBAN TENAGA MEDIS
DAN TENAGA KESEHATAN
PASAL 273 - 275 (3 PASAL)
_______________________________________________________

I. Problematika Hukum Pasal 273 ayat (1) butir a :

Tenaga medis dan tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik


berhak : a.mendapatkan pelindungan hukum sepanjang
melaksanakan tugas sesuai standar profesi, standar pelayanan
profesi, standar prosedur operasional, dan etika profesi, serta
kebutuhan kesehatan pasien.

Pandangan Hukum Dan Analisis Kritisnya :


Pelindungan hukum menurut Pasal 273 ayat (1) huruf a, dapat
diberikan oleh Undang Undang kesehatan, apabila Tenaga Medis
dan Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktek memenuhi 5
(lima) syarat yang sifatnya kumulatif, bukan alternative yaitu :
1. Praktek yang dijalankan harus sesuai standar profesi
2. Praktek yang dijalankan harus sesuai standar pelayanan
profesi
3. Praktek yang dijalankan harus sesuai standar prosedur
operasional
4. Praktek yang dijalankan harus sesuai etika profesi
5. Praktek yang dijalankan harus sesuai kebutuhan kesehatan
pasien.

Pengaturan mengenai apa yang dimaksud dengan standar profesi,


standar pelayanan profesi dan standar prosedur operasional dapat
ditemukan dalam Pasal 291 ayat (1), (2) dan (3).

Akan tetapi pengaturan mengenai apa yang dimaksud dengan


etika profesi dan kebutuhan kesehatan pasien tidak
mendapatkan pengaturan, baik bersifat umum maupun khusus

12
dalam Undang-Undang Kesehatan, sehingga berakibat kepada
perlindungan hukum bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
secara tidak berkepastian.

Inilah yang kemudian menjadikan problematika hukum serius


terkait pelindungan hukum bagi Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan dalam menjalankan praktik, karena tanpa adanya
ukuran dan pengaturan etika profesi dan kebutuhan kesehatan
pasien dalam Undang-Undnag Kesehatan, maka dalam setiap
kasus pasien dan/atau keluarga pasien dapat menafsirkan
pelayanan kesehatan yang diberikan Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan dengan ukurannya sendiri sendiri, sehingga sangat
mudah untuk menghasilkan perselisihan dan konflik hukum baru
yang berujung pada kriminalisasi.

Redaksional dan substansi pasal 273 ayat (1) huruf a 312


Rancangan Undang-Undang Kesehatan Draft II aquo semakin
memperlemah kedudukan hukum Tenaga Medis dan tenaga
Kesehatan dengan tidak adanya penjelasan tentang etika
profesi dan kebutuhan kesehatan pasien, bukan malah
memperkuatnya. Padahal perlindungan dan jaminan kepastian
hukum adalah hak konstitusional warga Negara yang dijamin oleh
Konstitusi yaitu UUD 1945 pasal 28 D ayat (1).

Norma hukum yang dianut dalam Pasal 273 ayat (1) huruf a,
sifatnya abstrak, tidak konkret dan berkepastian. Padahal dalam
berbagai profesi yang ada hamper semua profesi telah
mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum bersifat
kongkret seperti pada Undang-Undang No.18 Tahun 2003 Tentang
Advokat Pasal 16 berbunyi : Advokat tidak dapat dituntut baik
secara perdata maupun pidana dalam menjalankan profesi dengan
itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang
pengadilan.

Demikan pula pada Undang-Undang No. 13 Tahun 2019 Tentang


MD3 Pasal 224 ayat (1) dan (2). Berbunyi : Anggota DPR tidak
dapat dituntut didepan pengadilan karena pernyataan (ayat 1).
Anggota DPR tidak dapat dituntut didepan Pengadilan karena
sikap, tindakan (ayat 2).

13
Juga Undang-Undang No.2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris
Pasal 66 berbunyi : Untuk kepentingan peradilan, penyidik,
penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan majelis
kehormatan berwenang : a. mengambil foto copy b.memanggil
notaries untuk hadir dalam pemeriksaan.

Redaksional dan substansi Pasal 273 ayat (1) huruf a, agar sesuai
dengan hak konstitusinal Tenaga Medis dan tenaga Kesehatan yang
diatur dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 berbunyi :
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan tidak dapat dituntut
baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan
tugas profesinya dengan itikad baik dan dilaksanakan
sesuai etika profesi, standar profesi, standar
pelayanan profesi, dan standar prosedur operasional ;

II. Problematika Hukum Pasal 273 ayat (2) :


Tenaga Medis dan tenaga Kesehatan dapat menghentikan
pelayanan kesehatan apabila memperoleh perlakuan yang tidak
sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan,
serta nilai social budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf f, termasuk tindakan kekerasan, pelecehan dan
perundungan.

Pandangan Hukum Dan Analisis Kritisnya :


Redaksional dan substansi Pasal 273 ayat (2) Dalam Rancangan
Undang-Undang Kesehatan Draft II, tidak mengalami perubahan
dari Pasal 282 ayat (2) Dalam Rancangan Undang-Undang
Kesehatan Draft I, padahal sudah ditolak oleh seluruh Organisasi
profesi karena berpotensi terjadinya kriminalisasi dan victimisasi
baru bagi Tenaga Medis dan tenaga Kesehatan, sehingga
seharusnya Redaksional dan substansi Pasal 273 dihapus dan
tidak perlu dimasukkan serta dipertahankan lagi untuk ayat (2)
tersebut.

14
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan menghentikan pelayanan
kepada pasien, apapun dasarnya akan berpotensi menimbulkan
tafsir subyektif, baik bagi Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan
dan Pasien.
Alasan penghentian pelayanan kesehatan dalam pasal 273 ayat (2)
diatas, tidak memiliki tolak ukur dan evidence based yang jelas
sehingga berpotensi memunculkan perselisihan baru. Pasal 273
ayat (2) a quo adalah merupakan norma baru yang tidak pernah
ada dalam UU No. 29 Tahun 2004, walau demikian, meskipun
norma baru bukan berarti menjadi lebih baik, sebaliknya semakin
berpotensi memunculkan perselisihan baru, dan tafsir baru
karena norma ini subyektifitasnya sangat tinggi, baik bagi tenaga
medis atau tenaga kesehatan, lebih-lebih bagi pasien apabila
pelayanan kesehatan dihentikan.

15
(6)
________________________________________
KLASTER HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN
PARAGRAF 2
PASAL 276 - 278 (3 PASAL)
_______________________________________________________

Problematika Hukum Pasal 276 butir e :


Pasien berhak mendapatkan akses terhadap informasi
yang terdapat di dalam rekam medis;

Pandangan Hukum Dan Analisis Kritisnya :


Redaksional dan substansi Pasal 276 butir e, Dalam Rancangan
Undang-Undang Kesehatan Draft II dan Rancangan Undang-
Undang Kesehatan Draft I berbunyi : “Pasien mempunyai hak
mendapatkan akses terhadap informasi yang terdapat didalam
rekam medis.

Kelemahan hukum dalam Redaksional dan subtansi Pasal 276


butir e, terletak pada tidak adanya jaminan dan perlindungan
hukum atas Rekam Medis, serta pasal 276 butir e menjadi
bertentangan dan tidak konsisten dengan bunyi pasal 296 ayat (5)
yang menyatakan : “ Rekam medis sebagaimana dimaksud pada
ayat )3) harus disimpan dan dijaga kerahasiannya oleh Tenaga
Medis, tenaga kesehatan dan pimpinan fasilitas kesehatan”.

Inkonsistensi antara pasal 273 butir e jo Pasal 297 ayat (2) dengan
Pasal 296 ayat (5), dan tidak adanya pembatasan akses rekam
medis akan berdampak kepada perselisihan hukum baru antara
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan serta fasilitas pelayanan
kesehatan dengan Pasien dan keluarganya.

Norma pasal 273 butir e dan 297 RUU Kesehatan Draft II,
seyogyanya dikembalikan kepada kepada norma lama dalam pasal
32 UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran, sehingga
pasal 273 butir e jo Pasal 297 berbunyi : “mendapatkan isi rekam
medis”.

16
(7)
______________________________________________________
KLASTER STANDAR PROFESI, STANDAR PELAYANAN, DAN
STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL
PARAGRAF 4 PASAL 291 - 292 (2 PASAL)
________________________________________________________

Problematika Hukum Pasal 291 ayat (2) :

Standar profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk setiap


jenis Tenaga Medis dan tenaga Kesehatan disusun oleh Konsil serta
Kolegium dan ditetapkan oleh Menteri.

Pandangan Hukum Dan Analisis Kritisnya :


Pasal 291 ayat (2) diatas, secara politis orientasinya jelas untuk
menghilangkan kedudukan, peran dan fungsi Organisasi Profesi,
karena adalah sangat tidak lazim dalam penyelenggaraan sebuah
layanan kesehatan yang harus didasarkan dan/atau disesuaikan
syarat standar profesi, sementara Organisasi profesi dalam Pasal
291 ayat (2) tidak dilibatkan dan hanya melibatkan konsil serta
kolegium, padahal Konsil, Kolegium dan Organisasi Profesi adalah
tiga dari empat pilar penting dalam pelaksanaan pembinaan dan
pengawasan standar profesi, standar pelayanan profesi, standar
prosedur operasional, dan etika profesi .

17
(8)

__________________________________________________
KLASTER REKAM MEDIS
PARAGRAF 6 PASAL 296-300 (5 PASAL)
_________________________________________________

I. Problematika Hukum Pasal 296 ayat (5) :

(5). Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus


disimpan dan dijaga kerahasiannya oleh Tenaga Medis, Tenaga
Kesehatan dan Pimpinan Fasilitas pelayanan Kesehatan.

II. Problematika Hukum Pasal 298 ayat ayat (2) :

(2). Pengelolaan data rekam medis sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) meliputi perumusan kebijakan, pengumpulan,
pengolahan, penyimpanan, pengamanan, transfer data, dan
pengawasan.

Pandangan Hukum Dan Analisis kritisnya :


Redaksional dan substansi antar Pasal yang mengatur Tentang
rekam Medis dalam Rancangan Undangan Undang Kesehatan
Draft I dan Rancangan Undang Undang Kesehatan Draft II, tidak
pernah diubah dan diperbaiki berdasarkan masukan dari seluruh
Organisasi Profesi Kesehatan karena secara terang dan nyata
terjadi inkonsistensi Pasal pengaturan rekam medis, dimana satu
sisi memberikan keleluasaan kepada pasien untuk melakukan
akses informasi yang terdapat dalam dokumen rekam medis vide
Pasal 297 jo Pasal 276 butir e :
“Pasien berhak mendapatkan akses terhadap informasi
yang terdapat di dalam rekam medis”.
Sementara dalam Pasal 296 ayat (5) jo Pasal 297 ayat (3)
Rekam Medis harus dijaga kerahasiannya.
Hal yang belum dijawab dan diatur dalam Rancangan
Undang-Undang Kesehatan baik dalam Drfat I dan
Rancangan Undang Undang Kesehatan Draft II adalah

18
bagaimana perlindungan hukum terhadap Rekam Medis
dari Penyitaan Kepolisian dan bagaimana tata cara
pemanggilan terhadap tenaga medis dan tenaga
kesehatan oleh Penyidik.

Kekosongan hukum ini tidak pernah diperhatikan oleh


perumus Rancangan Undang-Undang Kesehatan.
Padahal Seluruh Organisasi Profesi telah mengusulkan
agar RUU Kesehatan memasukkan bab tentang Tata Cara
Pengambilan Rekam Medis Dan Pemanggilan Tenaga Medis Dan
Tenaga Kesehatan.

Tetapi usulan tersebut tidak pernah diberikan respond an


dipertimbangkan, hal ini menunjukkan kalau meaningful
participation tidak dilaksanakan secara sempurna.
Adapun redaksional dan substansi pasal yang pernah diusulkan
adalah sebagai berikut :
(1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut
umum, atau hakim dengan persetujuan organisasi profesi dan
maejlis berwenang :
a. Mengambil rekam medis dan/atau surat yang disimpan
rumah sakit ;dan
b.Memanggil Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan untuk
hadir berkaitan dengan pelayanan kesehatan atau tindakan
medis yang telah dilakukannya ;

(2). Pengambilan rekam medis dan/atau surat-surat sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf a dibuat berita acara
penyerahan.
(3). Organisasi profesi dan majelis dalam waktu paling lambat 30
(tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat
permintaan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat

19
(1) wajib memberikan jawaban menerima atau menolak
permintaan persetujuan.
(4). Dalam hal organisasi profesi dan majelis tidak memberikan
jawaban dalam waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
organisasi profesi dan majelis dianggap menerima permintaan
persetujuan.

20
(9)
_________________________________________________
KLASTER PENEGAKAN DISIPLIN
TENAGA MEDIS DAN TENAGA KESEHATAN
PARAGRAF 1 PASAL 304-309 (6 PASAL)
_________________________________________________

I. Problematika Hukum Pasal 304 ayat (2) dan (3) :

(2). Dalam rangka penegakan disiplin profesi sebagaimana


dimaksud pada ayat (1), Menteri membentuk majelis yang
melaksanakan tugas dibidang disiplin profesi.

(3). Majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menentukan


ada tidaknya pelanggaran disiplin profesi yang dilakukan
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.

Pandangan Hukum Dan Analisis Kritisnya :


Rancangan Undang-Undang Kesehatan Draft I dan Draft II, yang
mengatur tentang Pembentukan Kelembagaan Majelis Penegak
Disiplin dan Sumber Daya Manusia yaitu anggota Majelis
Penegak Disiplin didalamnya, tidak menawarkan pengaturan
yang baru, lebih reformis dan revolusioner. Bahkan cenderung
memunculkan lembaga yang terkooptasi dan tidak independen,
dimana kedudukan hukumnya dibawah Menteri.
Hal ini tentu tidak sejalan dengan reformasi dibidang
kelembagaan dan sumber daya manusia, dimana sebuah Majelis
Penegak Disiplin yang memiliki keluhuran dan kemuliaan tugas
terkait harkat dan derajat manusia.
Majelis Penegak Disiplin adalah sebagai pemeriksa dan pengadil
yang akan menentukan kesalahan seorang Tenaga Kesehatan
dan Tenaga Medis, Disinilah hak asasi manusia akan
dipertaruhkan, dan itu akan bisa dicapai dengan independensi
yang tinggi, bukan dibentuk dan dibawah Kementerian, tetapi
tentunya dibawah Kepresidenan.
21
Penentuan Keanggotaan Majelis oleh Menteri tanpa melibatkan
usulan dari Organisasi Profesi, Konsil dan Kolegium juga akan
memunculkan adanya Majelis Penegak Disiplin yang tidak free
and imparsial dan independent serta akan mudah
disalahgunakan atau abuse of power serta menjadi ablsout
(power tends to corrupt).
Merujuk kelembagaan modern yang melakukan pengawasan
terhadap sebuah undang-undang, seperti Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) RI yang melakukan pengawasan
terhadap berjalannya Undang Undang No. 5 Tahun 1999
Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan persaingan Usaha
Tidak sehat.
Maka seyogyanya Rancangan Undang-Undang Kesehatan juga
bisa menjadikan KPPU sebagai salah satu role modelnya, baik
pembentukan kelembagaan, termasuk Kesekretariatan
Jendralnya, maupun SDM-nya yaitu Para Pengadil dan
Pemeriksanya. Sehingga kedepan praktek-praktek korupsi,
kolusi dan nepotisme tidak akan muncul dalam penanganan
masalah pelanggaran disiplin Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan.

II. Problematika Hukum Pasal 305 ayat (1) :

(1). Pasien atau keluarganya yang kepentingannya dirugikan


atas tindakan Tenaga Medis atau tenaga Kesehatan dalam
memberikan pelayanan kesehatan dapat megadukan kepada
Majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304.

22
Pandangan Hukum Dan Analisis Kritisnya :
Redaksional dan substansi Pasal 305 ayat (1) Rancangan
Undang Undnag Kesehatan Draft II,memunculkan probelmatika
hukum serius dan dapat merugikan hak konstitusuonal
masyarakat.
Dalam rangka acces to justice, masyarakat harus diberikan
kemudahan sebagaimana amanat konstitusi UUD 1945. Acces to
justice harus mengutamakan proses sederhana, cepat dan biaya
ringan.
Rancangan undang-undang Kesehatan Draft II jauh dari prinsip
dasar acces to justice yang universal tersebut, dimana dalam
pasal-pasal rancangan undang-undang kesehatan belum
memberikan pengaturan tentang model kelembagaan dari
Majelis Penegak Disiplin.
Apabila Masyarakat, dalam hal ini pasien yang berada di wilayah
hukum Papua, diduga dirugikan akibat pelanggaran disiplin
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang berparktek di Papua,
maka Pengaduan yang dimaksud dalam Pasal 305 ayat (1) dan
(2) tersebut ditujukan ke Majelis Penegak Disiplin dimana ?
Apakah di Jakarta ? atau sebaliknya Anggota Majelis dari
Jakarta akan berbondong-bondong mengelar pemeriksaaan dan
persidangan di Papua, lalu bagaimana apabila pengaduan
masyarakat semakin banyak jumlahnya.
Disinilah kemudian perlu di bentuk Lembaga Dewan Majelis
Penegak Disiplin Daerah yang menangani pemeriksaan
Pengaduan Pasien di wilayah/daerah tersebut, dan putusannnya
bisa dilakukan upaya hukum kepada Dewan Majelis Penegak
Disiplin Nasional di Jakarta yang sifat putusannya final dan
mengikat. Fungsi check and re-check, check and balance akan
berjalan, sehingga pemeriksaan-pemeriksaan oleh Majelis yang
sesat bisa terhindarkan.

23
Dengan demikian Upaya Peninjauan kembali atas putusan
Majelis sebagaimana diatar dalam Pasal 307 Rancanagan
Undang Undang Kesehatan Draft II tidak diperlukan lagi, apalagi
membrikan hak veto Menteri untuk membatalkan sebuah
putusan tanpa ukuran dan pengaturan dalam hal apa yang
dimaksud dengan :
a. Ditemukan bukti baru
b. Kesalahan penerapan pelanggaran disiplin atau
c. Terdapat dugaan konflik kepentingan pada pemeriksa dan
yang diperiksa.

24
(10)
_________________________________________________
KLASTER PENEGAKAN DISIPLIN
TENAGA MEDIS DAN TENAGA KESEHATAN
PARAGRAF 1 PASAL 304-309 (6 PASAL)
_________________________________________________

Problematika Hukum Pasal 306 ayat (3) :

(3). Tenaga Medis atau tenaga Kesehatan yang telah melaksanakan


sanksi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
dijatuhkan terdapat dugaan tindak pidana, aparat penegak
hukum mengutamakan penyelesaian perselisihan dengan
mekanisme keadilan restorative sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pandangan Hukum Dan Analisis Kritisnya :


Memperhatian bunyi redaksional dan subtansi Pasal 306 ayat (1)
adalah tetang bentuk sanksiatas pelanggaran disiplin. Ayat (2)
adalah tentang sifat putusan atau hasil pemeriksaan. Sementara
ayat (3) adalah overlapping pengaturan pasal antara pelaksanaan
sanksi disiplin dengan adanya dugaan tindak pidana yang
kemudian diselesaikan dengan konsep Restoratif Justice.
Model pengaturan dalam Pasal 306 ayat (3) a quo tentu tidak lazim
dalam ilmu konstitusi dan legal drafting, apalagi dalam pasal lain
yaitu Pasal 310 Paragraf 2 Rancangan Undang-Undnag Kesehatan
Drfat II secara khusus membahas tentang penyelesian Perselisihan.
Pasal 306 ayat (3) a quo sebenarnya salah tempat, yang semestinya
ditempatkan didlaam pasal 310, atau kalau perumus rancangan
undang-undang kesehatan memamhami prinsip dasar penyelsaian
kasus dan sengketa, dimana pelanggaran etika akan diselesaikan
secara majelis etika, pelanggaran disiplin diselesaikan melalaui
majelis disiplin dan pelanggaran hukum diselesaikan melalu
pranata hukum, maka konsep Restoratif Justice tentunya tidak

25
boleh muncul dalam Pasal 306 ayat (3), apalagi konsep Restoratif
Justice basic dasarnya adalah adanya pelanggaran tindak pidana.

26
(11)
_________________________________________________
KLASTER PENEGAKAN DISIPLIN
TENAGA MEDIS DAN TENAGA KESEHATAN
PARAGRAF 1 PASAL 304-309 (6 PASAL)
_________________________________________________

Problematika Hukum Pasal 307 :

Putusan dari Majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304


dapat diajukan peninjauan kembali kepada Menteri dalam
hal :
a. Ditemukan bukti baru
b. Kesalahan penerapan pelanggaran disiplin atau
c. Terdapat dugaan konflik kepentingan pada pemeriksa dan
yang diperiksa.

Pandangan Hukum Dan Analisis Kritisnya :


Redaksional dan substansi Pasal 307 Rancangan Undang-Undang
Kesehatan Draft II tentang adanya upaya Peninjauan Kembali atau
PK atas Putusan Majelis Penegak Disiplin kepada Menteri adalah
norma baru, yang sebelumnya tidak pernah diatur dalam RUU
Drfat I ataupun Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang
Praktek Kedokteran.
Pengaturan norma dalam Pasal 307 aquo adalah sebuah
kemunduran didalam proses penyelesaian perselisihan karena
memberikan kewenangan kepada Menteri untuk mempergunakan
hak veto nya dalam bentuk pembatalan putusan Majelis dengan 3
(tiga) alasan dasar karena :
a. Ditemukan bukti baru
b. Kesalahan penerapan pelanggaran disiplin atau
c. Terdapat dugaan konflik kepentingan pada pemeriksa dan
yang diperiksa.

27
Tanpa diberikan pengaturan lebih lanjut terkait 3 (tiga) alasan
diatas, sehingga menempatkan peran, fungsi dan kedudukan
Menteri dalam Penyelesaian pelanggaran disiplin tenaga medis dan
tenaga Kesehatan begitu sentral dan absolute serta memiliki
potensi abuse of power karena dari hulu dalam Pasal 304 ayat (2)
Majelis adalah bentukan Menteri, sehingga Majelis bertanggung
jawab kepada Menteri. Menteri sekaligus pemutus dan pengadil
terkahir melalui Upaya Peninjauan Kembali (PK).
Praktek otoritarianisme dalam proses penyelisihan perselisihan
seperti Pasal 307 aquo pernah terjadi dalam hukum perburuhan
dan Penyelesaian Perselisihan Perburuhan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun1957 Tentang Penyelisihan
Perselisihan Perburuhan. Namun seiring dengan dinamika politik
dan hukum di Indonesia, model penyelesaian yang memberikan
kewenangan Menteri Transmigrasi untuk mem-veto Putusan
Panitia Penyelesaian Perselihan Perburuhan Pusat (P4P) dalam
bentuk pembatalan atau penundaan sudah tidak dianut kembali
seiring dicabutnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957.
Anehnya dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan hak veto
Menteri dihidupkan dan diaktifkan kembali.
Padahal tingkat subyektifitas, abuse of power dan power tends to
corrupt sangat tinggi.

28
(12)
________________________________________________
KLASTER PENEGAKAN DISIPLIN
TENAGA MEDIS DAN TENAGA KESEHATAN
PARAGRAF 1 PASAL 304-309 (6 PASAL)
_________________________________________________

Problematika Hukum Pasal 308 ayat (1) - (9) :


(1).
Pandangan Hukum Dan Analisis kritisnya :
Redaksional dan substansi dalam Pasal 308 ayat (1) s/d (9) adalah
norma pengaturan baru dalam Rancangan Undang-Undang
Kesehatan Draft II. Pengaturan norma hukum dalam Pasal 308
ayat (1) s/ 9 a quo belum pernah ada dalam Redaksional dan
subtansi pasal RUU Kesehatan Draft I sebelumnya serta Undang-
Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran.
Meskipun pengaturan dalam norma Pasal 308 sebagai pengaturan
yang baru, serta sekilas tampak seolah-olah Tenaga Medis dan
Tenaga Kesehatan mendapatkan proteksi dari Majelis untuk tidak
mudah diperiksa oleh Penyidik Kepolisian dalam serangkaian
kasus tindak pidana yang melibatkan Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan atau Sengketa Perdata di pengadilan melalui gugatan
perdata, akan tetapi secara formal dan meteriil pengaturan norma
baru ini menimbulkan problematika hukum yang sangat serius
seperti, apa yang dimaksud dengan surat rekomendasi majelis,
bagaimana proses lahirnya surat rekomendasi dan sifat
rekomendasi serta daya ikatnya. Rancangan Undang-Undang
Kesehatan Draft II tidak menjelaskannya.

Secara formil bagaimana kedudukan hukum surat rekomendasi


majelis dalam hukum acara pidana, dengan surat panggilan
kepolisian yang sifatnya pro justitia.

Demikian pula bagaimana kedudukan hukum surat rekomendasi


majelis dalam hukum acara perdata terkait dengan gugatan
perdata yang merupakan hak privat setiap warga Negara yang hak
keperdataannya merasa dirugikan, serta relaas panggilan sidang
29
pengadilan, karena tidak mungkin Surat Rekomendasi mampu
menghentikan gugatan dan/atau relaas panggilan Kepaniteraan
Pengadilan.

30
(13)

__________________________________________________
KLASTER PENDANAAN KESEHATAN
BAB XIII RUU KESEHATAN, Pasal 401- 412 (12 Pasal)
_________________________________________________

Problematika Pasal 401 ayat (1), (2) dan (3)


dan Pasal 403 ayat (2) :

I. Pasal 401 ayat :


(1). Pendanaan Kesehatan bertujuan untuk mendanai
pembangunan Kesehatan secara berkesinambungan
dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil dan
termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna
untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
setinggi-tingginya.
(2). Unsur pendanaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas sumber pendanaan, alokasi dan
pemanfaatan.
(3). Sumber pendanaan Kesehatan berasal dari Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah, dan sumber lain yang sah
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
Undangan.

II. Pasal 403 ayat (2) :


(2). Pendanaan untuk seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat bersumber dari sumber lain yang sah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

31
Pandangan Hukum Dan Analisis kritisnya :
Transformasi sistem kesehatan yang merupakan suatu upaya
untuk mengubah sistem kesehatan yang sudah ada agar dapat
lebih efektif dan efisien dalam memberikan pelayanan kesehatan
agar terjadi peningkatan kualitas pelayanan, perluasan
aksesibilitas, dan mengurangi disparitas dalam kesehatan antar
wilayah dengan 6 (enam) pilarnya, yaitu : 1. Transformasi layanan
primer, (2). Transformasi layanan rujukan, (3). Transformasi
Sisitem Ketahanan Kesehatan, (4) Transformasi Sistem Pembiayaan
Keehatan, (5). Transformasi Sumber Daya Manusia Kesehatan dan
(6). Transformasi Teknologi Kesehatan.
Eksekusi atas program Transformasi sistem kesehatan diatas,
tentu harus didukung dengan political budgeting secara tepat,
terarah, berkeadilan, dan memenuhi rasa kemanusiaan demi
mewujudkan kehidupan masyarakat yang sejahtera dan makmur
serta berkepastian hukum, apalagi terkait dengan hak dasar
konstitusinal warga Negara Indonesia berupa perolehan pelayanan
kesehatan yang dijamin oleh konstitusi, Pasal 28 H ayat (1) dan 34
ayat (3) UUD 1945 dan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (DUHAM) Pasal 25, bahwa setiap orang berhak atas taraf
kehidupan yang memadai untuk kesehatan, kesejahteraan dirinya
sendiri dan keluarganya.

Rancangan UUD Kesehatan Draft ke-II hasil pembahasan Tingkat I


Panja Komisi IX DPR RI, dalam BAB XIII, Pasal 401 ayat (3) dan
Pasal 403 ayat (2) mengatur tentang Sumber Pendanaan
Kesehatan.
Akan tetapi tidak ada satu pasal-pun dalam Bab Pendanaan
Kesehatan dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan
memberikan kepastian hukum tentang nilai belanja atau
pengeluaran negara , padahal pencantuman besaran nilai belanja
atau pengeluaran negara dalam sebuah pasal undang-undang

32
tersebut bertujuan untuk memberikan jaminan kepastian hukum
dalam eksekusi program transformasi kesehatan.
RUU Kesehatan draft II hasil pembahasan Panja Komisi IX DPR RI
menjadi lain, aneh dan berbeda apabila dibandingkan dengan
Anggaran Pendidikan misalnya, yang memberikan jaminan
kepastian hukum mengenai alokasi anggaran pendidikan sebesar
20 % dari APBD seusai amanat UUD 1945 Pasal 28 C ayat (1) dan
31 ayat (4) serta UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisitem
Pendidikan Nasional Pasal 49 ayat (1).
Kemudian Besar Anggaran Kesehatan dalam UU No. 36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan, pasal 171 ayat (2) sebelum di cabut yang
dengan tegas memberikan jaminan kepastian hukum untuk
dialokasikan minimal 10% dari anggaran Pendapatan dan belanja
daerah diluar gaji.
Jaminan kepastian hukum untuk Alokasi Dana Desa (ADD) paling
sedikit 10% dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota
dalam APBD setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus dalam UU No,
6 Tahun 2014 Tetang Desa.
Maka tidak adanya political budgeting dalam pengeluaran Negara
atau Mandatory spending dalam RUU Kesehatan untuk digantikan
dengan Anggaran Berbasis Kinerja (vide Pasal 409 ayat (3) dan (4)
tentu menjadikan kepastian hukum dan political will dalam
Rancangan UU akan hilang dan melanggar konstitusi UUD 1945 a
quo, apalagi Pemerintah sudah sadar dengan kepastiannya kalau
tidak memiliki sumber pendanaan secara pasti yang kemudian
masih diupayakan dengan cara mencarikan dari sumber
pendanaan lain yang sah sebagaimana disebutkan dalam Pasal
401 ayat (3) dan 403 ayat (2).
Masih mencarikan sumber pendanaan lain yang sah, dalam bentuk
apa dan darimana sumber dananya ? Ternyata dalam Rancangan
Undang-Undang Kesehatan tidak disebutkan. Itu artinya menjadi
sah apabila masyarakat akan mengatakan kalau sumber
pendanaan lain yang sah untuk melaksanakan program
transformasi Kesehatan, bisa dengan cara mencari pinjaman dari

33
luar negeri atau swastanisasi dan/atau privatisasi sektor
kesehatan kepada pemilik modal besar.
Apabila hal ini terjadi, maka Transformasi Sistem Kesehatan yang
awalnya bertujuan untuk mengubah sistem kesehatan yang sudah
ada agar dapat lebih efektif dan efisien dalam memberikan
pelayanan kesehatan agar terjadi peningkatan kualitas pelayanan,
perluasan aksesibilitas, dan mengurangi disparitas dalam
kesehatan antar wilayah, berubah menjadi Transformasi Sistem
Kesehatan yang member beban hidup kepada masyarakat dan
anak cucu dimasa mendatang, karena secara otomatis akan
melahirkan dampak tautan berupa indek kemiskinan dan hutang
Negara.
Maka Transformasi Sistem Kesehatan tidak ubahnya seperti
sebuah kebohongan yang diregulasikan dan dilembagakan dalam
bentuk Rancangan Undang-Undang Kesehatan.

****************************************************

34

Anda mungkin juga menyukai