Analisis RUU Kesehatan Tingkat II, Jilid 1
Analisis RUU Kesehatan Tingkat II, Jilid 1
DRAFT KE-II
HASIL PEMBAHASAN
PANJA KOMISI IX DPR RI
1
DAFTAR ISI
2
ANALISIS KRITIS RUU KESEHATAN DRAFT KE-II
HASIL PEMBAHASAN PANJA KOMISI IX DPR RI
(1)
_______________________________________________
KLASTER KONSIDERAN
MENIMBANG HURUF E
________________________________
4
(2)
_______________________________________________
KLASTER RUMAH SAKIT
BAGIAN KETIGA PASAL 191-196 (13 PASAL)
________________________________
5
Hal ini menjadi tidak sejalan dengan konsideran huruf b dalam
Rancangan Undang-Undang Kesehatan yang disebutkan non
dikriminatif.
Kedudukan yang diskriminatif antara Rumah Sakit dengan Tenaga
Medis dan tenaga Kesehatan sengaja dibiarkan berlanjut kedalam
pasal 192 ayat (1) dan (2).
6
Sekarang dalam Pasal 192 ayat (1) dan (2) Rumah sakit kembali
mendapatkan perlindungan hukum yang lebih, bahkan hak untuk
tidak bertanggung jawab juga dilekatkan dalam Rumah Sakit.
7
(3)
_______________________________________________
KLASTER PERIZINAN
PARAGRAF 2 PASAL 263- 267 (5 PASAL)
_______________________________________________________
8
kepada masyarakat atas pelayanan dari tenaga medis dan tenaga
kesehatan yang tidak beretika/melanggar etik/melanggar
hukum/melanggar disiplin/tidak kompeten. Dan pemberian
rekomendasi profesi bukan merupakan birokrasi tetapi merupakan
bagian dari penyelenggaraan organisasi profesi yang professional
dan kompeten.
9
(4)
_______________________________________________________
KLASTER KONSIL
BAGIAN KETUJUH PASAL 268 - 271 (4 PASAL)
_______________________________________________________
11
(5)
_________________________________________________________
KLASTER HAK DAN KEWAJIBAN TENAGA MEDIS
DAN TENAGA KESEHATAN
PASAL 273 - 275 (3 PASAL)
_______________________________________________________
12
dalam Undang-Undang Kesehatan, sehingga berakibat kepada
perlindungan hukum bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
secara tidak berkepastian.
Norma hukum yang dianut dalam Pasal 273 ayat (1) huruf a,
sifatnya abstrak, tidak konkret dan berkepastian. Padahal dalam
berbagai profesi yang ada hamper semua profesi telah
mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum bersifat
kongkret seperti pada Undang-Undang No.18 Tahun 2003 Tentang
Advokat Pasal 16 berbunyi : Advokat tidak dapat dituntut baik
secara perdata maupun pidana dalam menjalankan profesi dengan
itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang
pengadilan.
13
Juga Undang-Undang No.2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris
Pasal 66 berbunyi : Untuk kepentingan peradilan, penyidik,
penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan majelis
kehormatan berwenang : a. mengambil foto copy b.memanggil
notaries untuk hadir dalam pemeriksaan.
Redaksional dan substansi Pasal 273 ayat (1) huruf a, agar sesuai
dengan hak konstitusinal Tenaga Medis dan tenaga Kesehatan yang
diatur dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 berbunyi :
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan tidak dapat dituntut
baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan
tugas profesinya dengan itikad baik dan dilaksanakan
sesuai etika profesi, standar profesi, standar
pelayanan profesi, dan standar prosedur operasional ;
14
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan menghentikan pelayanan
kepada pasien, apapun dasarnya akan berpotensi menimbulkan
tafsir subyektif, baik bagi Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan
dan Pasien.
Alasan penghentian pelayanan kesehatan dalam pasal 273 ayat (2)
diatas, tidak memiliki tolak ukur dan evidence based yang jelas
sehingga berpotensi memunculkan perselisihan baru. Pasal 273
ayat (2) a quo adalah merupakan norma baru yang tidak pernah
ada dalam UU No. 29 Tahun 2004, walau demikian, meskipun
norma baru bukan berarti menjadi lebih baik, sebaliknya semakin
berpotensi memunculkan perselisihan baru, dan tafsir baru
karena norma ini subyektifitasnya sangat tinggi, baik bagi tenaga
medis atau tenaga kesehatan, lebih-lebih bagi pasien apabila
pelayanan kesehatan dihentikan.
15
(6)
________________________________________
KLASTER HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN
PARAGRAF 2
PASAL 276 - 278 (3 PASAL)
_______________________________________________________
Inkonsistensi antara pasal 273 butir e jo Pasal 297 ayat (2) dengan
Pasal 296 ayat (5), dan tidak adanya pembatasan akses rekam
medis akan berdampak kepada perselisihan hukum baru antara
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan serta fasilitas pelayanan
kesehatan dengan Pasien dan keluarganya.
Norma pasal 273 butir e dan 297 RUU Kesehatan Draft II,
seyogyanya dikembalikan kepada kepada norma lama dalam pasal
32 UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran, sehingga
pasal 273 butir e jo Pasal 297 berbunyi : “mendapatkan isi rekam
medis”.
16
(7)
______________________________________________________
KLASTER STANDAR PROFESI, STANDAR PELAYANAN, DAN
STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL
PARAGRAF 4 PASAL 291 - 292 (2 PASAL)
________________________________________________________
17
(8)
__________________________________________________
KLASTER REKAM MEDIS
PARAGRAF 6 PASAL 296-300 (5 PASAL)
_________________________________________________
18
bagaimana perlindungan hukum terhadap Rekam Medis
dari Penyitaan Kepolisian dan bagaimana tata cara
pemanggilan terhadap tenaga medis dan tenaga
kesehatan oleh Penyidik.
19
(1) wajib memberikan jawaban menerima atau menolak
permintaan persetujuan.
(4). Dalam hal organisasi profesi dan majelis tidak memberikan
jawaban dalam waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
organisasi profesi dan majelis dianggap menerima permintaan
persetujuan.
20
(9)
_________________________________________________
KLASTER PENEGAKAN DISIPLIN
TENAGA MEDIS DAN TENAGA KESEHATAN
PARAGRAF 1 PASAL 304-309 (6 PASAL)
_________________________________________________
22
Pandangan Hukum Dan Analisis Kritisnya :
Redaksional dan substansi Pasal 305 ayat (1) Rancangan
Undang Undnag Kesehatan Draft II,memunculkan probelmatika
hukum serius dan dapat merugikan hak konstitusuonal
masyarakat.
Dalam rangka acces to justice, masyarakat harus diberikan
kemudahan sebagaimana amanat konstitusi UUD 1945. Acces to
justice harus mengutamakan proses sederhana, cepat dan biaya
ringan.
Rancangan undang-undang Kesehatan Draft II jauh dari prinsip
dasar acces to justice yang universal tersebut, dimana dalam
pasal-pasal rancangan undang-undang kesehatan belum
memberikan pengaturan tentang model kelembagaan dari
Majelis Penegak Disiplin.
Apabila Masyarakat, dalam hal ini pasien yang berada di wilayah
hukum Papua, diduga dirugikan akibat pelanggaran disiplin
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang berparktek di Papua,
maka Pengaduan yang dimaksud dalam Pasal 305 ayat (1) dan
(2) tersebut ditujukan ke Majelis Penegak Disiplin dimana ?
Apakah di Jakarta ? atau sebaliknya Anggota Majelis dari
Jakarta akan berbondong-bondong mengelar pemeriksaaan dan
persidangan di Papua, lalu bagaimana apabila pengaduan
masyarakat semakin banyak jumlahnya.
Disinilah kemudian perlu di bentuk Lembaga Dewan Majelis
Penegak Disiplin Daerah yang menangani pemeriksaan
Pengaduan Pasien di wilayah/daerah tersebut, dan putusannnya
bisa dilakukan upaya hukum kepada Dewan Majelis Penegak
Disiplin Nasional di Jakarta yang sifat putusannya final dan
mengikat. Fungsi check and re-check, check and balance akan
berjalan, sehingga pemeriksaan-pemeriksaan oleh Majelis yang
sesat bisa terhindarkan.
23
Dengan demikian Upaya Peninjauan kembali atas putusan
Majelis sebagaimana diatar dalam Pasal 307 Rancanagan
Undang Undang Kesehatan Draft II tidak diperlukan lagi, apalagi
membrikan hak veto Menteri untuk membatalkan sebuah
putusan tanpa ukuran dan pengaturan dalam hal apa yang
dimaksud dengan :
a. Ditemukan bukti baru
b. Kesalahan penerapan pelanggaran disiplin atau
c. Terdapat dugaan konflik kepentingan pada pemeriksa dan
yang diperiksa.
24
(10)
_________________________________________________
KLASTER PENEGAKAN DISIPLIN
TENAGA MEDIS DAN TENAGA KESEHATAN
PARAGRAF 1 PASAL 304-309 (6 PASAL)
_________________________________________________
25
boleh muncul dalam Pasal 306 ayat (3), apalagi konsep Restoratif
Justice basic dasarnya adalah adanya pelanggaran tindak pidana.
26
(11)
_________________________________________________
KLASTER PENEGAKAN DISIPLIN
TENAGA MEDIS DAN TENAGA KESEHATAN
PARAGRAF 1 PASAL 304-309 (6 PASAL)
_________________________________________________
27
Tanpa diberikan pengaturan lebih lanjut terkait 3 (tiga) alasan
diatas, sehingga menempatkan peran, fungsi dan kedudukan
Menteri dalam Penyelesaian pelanggaran disiplin tenaga medis dan
tenaga Kesehatan begitu sentral dan absolute serta memiliki
potensi abuse of power karena dari hulu dalam Pasal 304 ayat (2)
Majelis adalah bentukan Menteri, sehingga Majelis bertanggung
jawab kepada Menteri. Menteri sekaligus pemutus dan pengadil
terkahir melalui Upaya Peninjauan Kembali (PK).
Praktek otoritarianisme dalam proses penyelisihan perselisihan
seperti Pasal 307 aquo pernah terjadi dalam hukum perburuhan
dan Penyelesaian Perselisihan Perburuhan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun1957 Tentang Penyelisihan
Perselisihan Perburuhan. Namun seiring dengan dinamika politik
dan hukum di Indonesia, model penyelesaian yang memberikan
kewenangan Menteri Transmigrasi untuk mem-veto Putusan
Panitia Penyelesaian Perselihan Perburuhan Pusat (P4P) dalam
bentuk pembatalan atau penundaan sudah tidak dianut kembali
seiring dicabutnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957.
Anehnya dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan hak veto
Menteri dihidupkan dan diaktifkan kembali.
Padahal tingkat subyektifitas, abuse of power dan power tends to
corrupt sangat tinggi.
28
(12)
________________________________________________
KLASTER PENEGAKAN DISIPLIN
TENAGA MEDIS DAN TENAGA KESEHATAN
PARAGRAF 1 PASAL 304-309 (6 PASAL)
_________________________________________________
30
(13)
__________________________________________________
KLASTER PENDANAAN KESEHATAN
BAB XIII RUU KESEHATAN, Pasal 401- 412 (12 Pasal)
_________________________________________________
31
Pandangan Hukum Dan Analisis kritisnya :
Transformasi sistem kesehatan yang merupakan suatu upaya
untuk mengubah sistem kesehatan yang sudah ada agar dapat
lebih efektif dan efisien dalam memberikan pelayanan kesehatan
agar terjadi peningkatan kualitas pelayanan, perluasan
aksesibilitas, dan mengurangi disparitas dalam kesehatan antar
wilayah dengan 6 (enam) pilarnya, yaitu : 1. Transformasi layanan
primer, (2). Transformasi layanan rujukan, (3). Transformasi
Sisitem Ketahanan Kesehatan, (4) Transformasi Sistem Pembiayaan
Keehatan, (5). Transformasi Sumber Daya Manusia Kesehatan dan
(6). Transformasi Teknologi Kesehatan.
Eksekusi atas program Transformasi sistem kesehatan diatas,
tentu harus didukung dengan political budgeting secara tepat,
terarah, berkeadilan, dan memenuhi rasa kemanusiaan demi
mewujudkan kehidupan masyarakat yang sejahtera dan makmur
serta berkepastian hukum, apalagi terkait dengan hak dasar
konstitusinal warga Negara Indonesia berupa perolehan pelayanan
kesehatan yang dijamin oleh konstitusi, Pasal 28 H ayat (1) dan 34
ayat (3) UUD 1945 dan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (DUHAM) Pasal 25, bahwa setiap orang berhak atas taraf
kehidupan yang memadai untuk kesehatan, kesejahteraan dirinya
sendiri dan keluarganya.
32
tersebut bertujuan untuk memberikan jaminan kepastian hukum
dalam eksekusi program transformasi kesehatan.
RUU Kesehatan draft II hasil pembahasan Panja Komisi IX DPR RI
menjadi lain, aneh dan berbeda apabila dibandingkan dengan
Anggaran Pendidikan misalnya, yang memberikan jaminan
kepastian hukum mengenai alokasi anggaran pendidikan sebesar
20 % dari APBD seusai amanat UUD 1945 Pasal 28 C ayat (1) dan
31 ayat (4) serta UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisitem
Pendidikan Nasional Pasal 49 ayat (1).
Kemudian Besar Anggaran Kesehatan dalam UU No. 36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan, pasal 171 ayat (2) sebelum di cabut yang
dengan tegas memberikan jaminan kepastian hukum untuk
dialokasikan minimal 10% dari anggaran Pendapatan dan belanja
daerah diluar gaji.
Jaminan kepastian hukum untuk Alokasi Dana Desa (ADD) paling
sedikit 10% dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota
dalam APBD setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus dalam UU No,
6 Tahun 2014 Tetang Desa.
Maka tidak adanya political budgeting dalam pengeluaran Negara
atau Mandatory spending dalam RUU Kesehatan untuk digantikan
dengan Anggaran Berbasis Kinerja (vide Pasal 409 ayat (3) dan (4)
tentu menjadikan kepastian hukum dan political will dalam
Rancangan UU akan hilang dan melanggar konstitusi UUD 1945 a
quo, apalagi Pemerintah sudah sadar dengan kepastiannya kalau
tidak memiliki sumber pendanaan secara pasti yang kemudian
masih diupayakan dengan cara mencarikan dari sumber
pendanaan lain yang sah sebagaimana disebutkan dalam Pasal
401 ayat (3) dan 403 ayat (2).
Masih mencarikan sumber pendanaan lain yang sah, dalam bentuk
apa dan darimana sumber dananya ? Ternyata dalam Rancangan
Undang-Undang Kesehatan tidak disebutkan. Itu artinya menjadi
sah apabila masyarakat akan mengatakan kalau sumber
pendanaan lain yang sah untuk melaksanakan program
transformasi Kesehatan, bisa dengan cara mencari pinjaman dari
33
luar negeri atau swastanisasi dan/atau privatisasi sektor
kesehatan kepada pemilik modal besar.
Apabila hal ini terjadi, maka Transformasi Sistem Kesehatan yang
awalnya bertujuan untuk mengubah sistem kesehatan yang sudah
ada agar dapat lebih efektif dan efisien dalam memberikan
pelayanan kesehatan agar terjadi peningkatan kualitas pelayanan,
perluasan aksesibilitas, dan mengurangi disparitas dalam
kesehatan antar wilayah, berubah menjadi Transformasi Sistem
Kesehatan yang member beban hidup kepada masyarakat dan
anak cucu dimasa mendatang, karena secara otomatis akan
melahirkan dampak tautan berupa indek kemiskinan dan hutang
Negara.
Maka Transformasi Sistem Kesehatan tidak ubahnya seperti
sebuah kebohongan yang diregulasikan dan dilembagakan dalam
bentuk Rancangan Undang-Undang Kesehatan.
****************************************************
34