Anda di halaman 1dari 32

https://1lung.wordpress.

com/2010/01/22/prinsip-prinsip-produksi

BAB 8
PRINSIP-PRINSIP PRODUKSI

PENDAHULUAN
Kegiatan produksi merupakan mata rantai dari konsumsi dan distribusi. Kegiatan
produksilah yang menghasilkan barang dan jasa, kemudian dikonsumsi oleh para
konsumen. Tanpa produksi maka kegiatan ekonomi akan berhenti, demikian pula
sebaliknya. Untuk menghasilkan barang dan jasa kegiatan produksi melibatkan banyak
faktor produksi. Pada umumnya faktor produksi ini terdiri atas alam, tenaga kerja, modal
dan kewirausahaan. Keempat faktor produksi ini bekerjasama satu dengan lainnya untuk
menghasilkan barang dan jasa. Dalam produksi permasalahan yang muncul tidak hanya
berkenaan dengan apa tujuan dan prinsip dasar dalam produksi, tetapi juga bagaimana
pengorganisasian faktor produksi serta penentuan harga input maupun output yang
sesuai dengan tujuan dari produksi.
Bab ini akan membahas prinsip-prinsip produksi dalam pandangan Islam. Bagian
awal akan mendiskusikan prinsip dasar produksi, misalnya definisi dan tujuan dari
produksi, sifat dan cakupannya, serta prinsip-prinsip dasar yang membedakannya
dengan prinsip produksi dalam ekonomi konvensional. Kompilasi pendapat dari
beberapa ekonom muslim disajikan dalam bagian awal ini. Selanjutnya prinsip-prinsip
dasar ini akan dielaborasi lebih lanjut, misalnya tentang ditolaknya Pareto Optimum dan
Given demand Hypothesis sebagai prinsip dasar produksi yang Islami serta pentingnya
orientasi terhadap kebajikan dan keadilan. Pada bagian akhir ditunjukkan beberapa
aturan syari’at Islam yang ternyata memberikan dorongan kuat bagi produksi. Bab ini

Bab 8 Prinsip-Prinsip Produksi 155


dilengkapi dengan lampiran tentang teori produksi menurut Metwally serta gambaran
industri masa lampau dalam Al Qur’an.

PRINSIP DASAR PRODUKSI

Pada prinsipnya kegiatan produksi, sebagaimana konsumsi, terikat sepenuhnya


dengan syari’at Islam. Kahf (1992; h 114) mendefinisikan kegiatan produksi dalam
perspektif Islam sebagai usaha manusia untuk memperbaiki tidak hanya kondisi fisik
materialnya, tetapi juga moralitas, sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup
sebagaimana digariskan dalam agama Islam, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat.
Beberapa sarjana muslim lain telah memberikan penekanan atas karakteristik –
karakteristik tertentu atas kegiatan produksi yang Islami ini. Meskipun terkadang saling
berbeda formulasi atau redaksi antara satu dengan lainnya, tetapi secara keseluruhan
saling melengkapi pandangan Islam terhadap kegiatan produksi.
Mannan (1992), misalnya, menekankan pentingnya motif altruisme (altruism)
bagi produsen, sehingga ia menyikapi dengan hati-hati konsep Pareto Optimality dan
Given Demand Hypothesis yang banyak dijadikan konsep dasar produksi dalam
ekonomi konvensional. Sementara itu, Siddiqi (1992) lebih memfokuskan pada
pentingnya sikap produsen untuk berpegang kepada nilai keadilan dan
kebajikan/kemanfaatan (maslahah) bagi masyarakat. Dalam pandangannya, sepanjang
produsen telah bertindak adil dan membawa kebajikan bagi masyarakat maka ia telah
bertindak Islami. Pentingnya keadilan dan kemerataan produksi (distribusi produksi
secara merata) juga mendapat perhatian penting dari Rahman (1995). Formulasi yang
agak sama dengan Kahf (1992) datang dari Ul Haq (1996) yang menyatakan bahwa
tujuan dari produksi adalah memenuhi kebutuhan barang dan jasa yang merupakan
fardlu kifayah, yaitu kebutuhan yang bagi banyak orang pemenuhannya adalah bersifat

156 Pengantar Ekonomika Mikro Islami - MBHA


wajib. Dengan kata lain, kebutuhan ini merupakan hal mendasar dan penting bagi
masyarakat. Ia mengklasifikasikan kebutuhan ini menjadi 3 kategori, yaitu pemenuhan
kebutuhan dasar (daruriiyah), pelengkap (hajiyyah) dan kenyamanan (tahsiniyyah).
Dengan beberapa pengertian di atas maka tujuan produsen bukan mencari
keuntungan maksimum belaka, sebagaimana dalam kapitalisme, namun lebih luas dari
pada itu. Karena pada dasarnya produksi adalah kegiatan menghasilkan barang dan jasa
yang kemudian dimanfaatkan oleh konsumen, maka tujuan produksi adalah sejalan
dengan tujuan dari konsumsi itu sendiri. Sebagaimana telah diketahui, konsumsi seorang
muslim dilakukan untuk mencari falah, demikian pula produksi dilakukan untuk
menyediakan barang dan jasa guna mencapai falah tersebut.
Pengertian seperti ini akan membawa implikasi yang mendasar bagi kegiatan
produksi dan perekonomian secara keseluruhan. Beberapa implikasi mendasar ini antara
lain :
 Pertama, seluruh kegiatan produksi terikat pada tatanan nilai moral dan teknikal
yang Islami, sebagaimana juga dalam kegiatan konsumsi.
Sejak dari kegiatan mengorganisasi faktor produksi, proses produksi
hingga pemasaran dan pelayanan kepada konsumen semuanya harus mengikuti
moralitas Islam. Metwally (1992) mengatakan, “perbedaan dari perusahaan-
perusahaan non Islami tak hanya pada tujuannya, tetapi juga pada kebijakan-
kebijakan ekonomi dan strategi pasarnya”. Sebagai contoh, produksi barang dan
jasa yang dapat merusak nilai-nilai moralitas dan menjauhkan manusia dari nilai-
nilai relijius tidak akan diperbolehkan. Demikian pula segala aktifitas industri -
dan semua mata rantainya - yang dapat menurunkan nilai kemanusiaan atau yang
dilakukan semata-mata keuntungan ekonomi – material semata. Ajaran Islam
melarang konsumsi barang-barang dan jasa yang haram dan merusak, seperti
alkohol/khamr dan sejenisnya, daging babi, perjudian, spekulasi, serta riba (lihat

Bab 8 Prinsip-Prinsip Produksi 157


boks: Yang Diharamkan dalam Al Qur’an), Sebagaimana telah disampaikan
dalam sebelumnya, terdapat 5 jenis kebutuhan yang dipandang bermanfaat untuk
mencapai falah, yaitu : (1) kehidupan (life, an nafs), (2) harta material (property,
al maal), (3) kebenaran (faith, ad dien), (4) ilmu pengetahuan (science, al aql, al
‘ilmu), dan (5) kelangsungan keturunan (posterity, an nasl). Lima jenis
kebutuhan inilah yang seharusnya dihasilkan dalam produksi
Selain itu Islam juga mengajarkan adanya skala prioritas (daruriyyah,
hajiyyah, tahsiniyyah) dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi serta melarang
sikap berlebihan (israf/wastefull). Prinsip-prinsip ini tentu saja berlaku bagi
kegiatan produksi. Jadi, misalnya, produksi alkohol/khmar dan sejenisnya tentu
saja tidak akan pernah dilakukan oleh produsen. Larangan ini juga berlaku bagi
segala mata rantai dalam produksinya, misalnya penanaman pohon-pohon yang
merupakan bahan bakunya atau usaha pemasaran dan promosi bagi konsumen.
Demikian juga mereka tidak akan memproduksi barang dan jasa yang sekedar
menjadi sarana pemuas nafsu dari para konsumen. Produksi akan dilakukan
hanya untuk memenuhi kebutuhan riil dalam skala prioritas yang konsisten.
 Kedua, kegiatan produksi harus memperhatikan aspek sosial-kemasyarakatan.
Kegiatan produksi harus menjaga nilai-nilai keseimbangan dan harmoni
dengan lingkungan sosial dan lingkungan hidup dalam masyarakat, sehingga
terdapat keselarasan dengan pembangunan masyarakat dalam skala yang lebih
luas. Selain itu, masyarakat juga berhak menikmati hasil produksi secara
memadai dan berkualitas. Jadi, produksi bukan hanya menyangkut kepentingan
para produsen (stock holders) saja, tetapi juga kepada masyarakat secara
keseluruhan (stake holder). Sesungguhnya, pemerataan manfaat dan keuntungan
produksi bagi keseluruhan masyarakat dan dilakukan dengan cara yang paling
baik merupakan tujuan utama kegiatan ekonomi. Sistem ekonomi Islam memiliki

158 Pengantar Ekonomika Mikro Islami - MBHA


komitmen yang jauh lebih besar terhadap kesejahteraan masyarakat
dibandingkan dengan sistem konvensional.
 Ketiga, permasalahan ekonomi muncul bukan saja karena kelangkaan (scarcity)
saja, tetapi lebih kompleks.
Masalah ekonomi muncul bukan karena adanya kelangkaan sumber daya
ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan manusia saja, tetapi juga disebabkan oleh
kemalasan (lazyness) dan pengabaian optimalisasi (idleness) segala anugerah
Allah, baik dalam bentuk sumber daya manusia maupun sumber daya alam.
Sikap tersebut dalam Al Qur’an sering disebut sebagai kedzaliman/aniaya
(oppression) atau pengingkaran terhadap nikmat Allah1. Hal ini akan membawa
implikasi bahwa prinsip produksi bukan sekedar efisiensi, tetapi secara luas
adalah bagaimana mengoptimalisasikan pemanfaatan sumber daya ekonomi
dalam kerangka pengabdian manusia kepada Tuhannya.

Boks 8.1

YANG DIHARAMKAN DALAM AL QUR’AN

Al Qur’an telah memuat larangan secara tegas dan jelas terhadap beberapa perilaku
dan komoditas. Untuk larangan terhadap khmar dan judi, misalnya:
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang judi dan khmar, maka katakanlah,
‘pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi
dosa keduanya lebih besar dari pada manfaatnya’. Dan mereka bertanya kepadamu
tentang apa yang mereka nafkahkan, maka katakanlah, ‘yang lebih dari keperluan’.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu seupaya kamu berfikir” (QS
Al Baqarah : 219).
1
Lihat misalnya pada Al Quran , surat Ibrahim : 32 –34, yaitu: “ Allah-lah yang telah menciptakan langit dan
bumi dan“ menurunkan
Hai orang-orang
air hujan dariyang
langit,beriman,
kemudian Diasesungguhnya (meminum)
mengeluarkan (dengan air itu) khamr, berjudi,
berbagai buah-buahan
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan
yang menjadi rezeki bagimu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu dapat berlayar di
keji, termasuk
lautan dengan perbuatan
kehendakNya, dan Dia syetan. Maka jauhilah
telah menundukkan (pula)perbuatan-perbuatan
sungai-sungai bagimu (32).itu agar kamu
Dan Dia telah
menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar
mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syetan itu hendak menimbulkan permusuhan (dalam orbitnya), dan telah
menundukkan bagimu siang dan malam (33). Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa
dan mohonkan
yang kamu kebencian di antara
kepadaNya. Dankamu lantaran
jika kamu (meminum)
menghitung nikmat khmar dan berjudi
Allah, niscaya tidaklah itu,
dapatdan
kamu
menghalangi
menghinggakannya. kamu dari
Sesungguhnya mengingat
manusia itu sangatAllah
dzalim dan sembahyang,
dan sangat mengingkarimaka berhentilah
(nikmat Allah)” (34).kamu
(dari mengerjakan pekerjaan itu) ”. (QS Al Maaidah : 90-91)

Untuk larangan terhadap daging babi dan bangkai, perhatikan:


Bab 8 Prinsip-Prinsip Produksi 159
”Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai , darah, daging babi,
dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi
barangsiapa terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak
(pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun dan Maha Penyayang” (QS Al Baqarah : 173).

Lihat pula QS Al Maaidah: 3 dan 60, Al An’aam: 145, An Nahl: 115, dan lain-lain.
160 Pengantar Ekonomika Mikro Islami - MBHA
PENOLAKAN TERHADAP PARETO OPTIMALITY DAN
GIVEN DEMAND HYPOTHESIS

Mannan (1992, h. 120-122) menyebutkan bahwa kegiatan produksi dalam


perspektif Islam bersifat altruistik (bersifat mementingkan/memperhatikan orang lain).
Sifat altruistik seorang muslim bukanlah sifat yang ekstrim, yaitu sedemikian rupa
mementingkan orang lain sehingga menelantarkan diri sendiri, tetapi terikat dengan
ketentuan dalam Al Qur’an dan Hadist. Secara umum Islam menekankan keseimbangan
antara sifat mementingkan orang lain dan mementingkan diri sendiri. Adanya perilaku
altruistik inilah yang menyebabkan produsen tidak dapat hanya mengejar keuntungan
maksimum saja, sebagaimana dalam kapitalisme. Produsen harus mengejar tujuan yang
lebih luas sebagaimana tujuan ajaran Islam yaitu mencapai falah di dunia dan akhirat.
Sebagai konsekuensi altruisme dalam produksi ini maka terdapat dua konsep ekonomi
konvensional yang perlu mendapatkan perhatian yang serius, karenanya tidak dapat
diterapkan begitu saja. Konsep ini yaitu Pareto Optimality dan Given Demand
Hypothesis.

Pareto Optimality
Pareto Optimality merupakan kriteria efisiensi (efisiensi alokatif) yang
dicetuskan oleh seorang sosiolog dan ekonom Italy yang bernama V. Pareto. Kriteria
Pareto ini menyatakan bahwa efisiensi alokatif akan terjadi bila tidak mungkin lagi
dilakukan re-organisasi produksi sedemikian rupa sehingga masing-masing pihak (yang
terlibat dalam kegiatan ekonomi: produsen –konsumen) merasa lebih sejahtera (better

Bab 8 Prinsip-Prinsip Produksi 161


off). Oleh karena itu, pada keadaan efisiensi alokatif ini utility (kepuasan) seorang dapat
ditingkatkan hanya dengan menurunkan utility orang lain2.
Produksi yang bersifat altruistik, sebagaimana dalam pandangan Islam, tidak
dapat secara sederhana menerima kriteria efisiensi Pareto ini sebagai kriteria efisiensi
produksi dalam masyarakat. Hal ini terutama ketika kondisi distibusi kekayaan dan
pendapatan masyarakat tidak merata atau timpang. Secara teoritis kriteria Pareto
Optimum mengabaikan masalah distribusi kekayaan dan pendapatan. Dalam kondisi ini,
Pareto Optimality hanya akan menunjukkan bahwa kesejahteraan yang dirasakan oleh
kelompok masyarakat kaya lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok miskin.
Padahal, ajaran Islam memiliki komitmen yang tinggi terhadap kesejahteraan
masyarakat secara menyeluruh, bahkan memberi perhatian yang lebih terhadap
kelompok miskin. perhatikan gambar 8.1.

Given Demand Hypothesis


Karena keterikatannnya pada nilai-nilai keIslaman dan sifat altruistiknya, maka
produsen tidak harus selalu merespon segala permintaan konsumen atau given demand
condition. Given demand condition belum tentu sejalan dengan tujuan dari produksi
yang Islami, sebab kemungkinan konsumen akan meminta apa saja yang menurutnya
memberikan kepuasan maksimum. Perilaku konsumen yang seperti ini terutama muncul
dalam masyarakat yang tidak dituntun oleh nilai-nilai keIslaman, tetapi oleh nilai-nilai
utilitarianisme (sebagaimana kita ketahui dari teori konsumsi dalam ilmu ekonomi
konvensional). Kita ambil contoh adanya permintaan pasar akan produksi khmar
2
Menurut Samuelson (1989: h . 128-129) konsep efisiensi ini dapat dirasakan secara intuitif. Contoh keadaan
tidak efisien adalah masyarakat yang tidak memanfaatkan sepenuhnya batas kemungkinan produksinya. Dengan lebih
dimanfaatkanna batas kemungkinan produksinya itu, tidak akan ada orang yang mengalami penurunan utilitas. Cara
lain untuk memahami konsep efisiensi ini adalah kaitannya dengan perdagangan. Misalnya orang membawa barang
hasil produksinya ke pasar untuk ditukarkan dengan barang orang lain. Setiap kali terjadi pertukaran (perdagangan),
maka utilitas kedua pihak akan naik. Jika semua kemungkinan pertukaran yang menguntungan telah habis sehingga
tidak ada lagi kenaikan utilitas, maka dapat dikatakan bahwa keadaan telah mencapai efisien.

162 Pengantar Ekonomika Mikro Islami - MBHA


(minuman keras) atau penyediaan fasilitas perjudian. Meskipun produksi khmar ini
dapat memberikan potensi keuntungan yang besar bagi produsen tetapi tidak boleh
dilakukan, sebab kedua barang konsumsi tersebut dilarang (haram) oleh ajaran Islam.
Produsen tidak boleh sekedar merespon permintaan pasar begitu saja (as given).

Gambar 8.1
Pareto Optimum Mengabaikan Distribusi Kekayaan

U1
Efisiensi Alokatif Vs Keadilan Alokatif
Hasil perekonomian disebut efisien jika
Batas tidak ada orang yang bisa lebih sejahtera
Kemungkinan tanpa merugikan orang lain. Hal ini biasa
Utilitas digambarkan dengan garis kemungkinan
utilitas. Titik-titik pada garis kemungkinan
A utilitas di samping menggambarkan
kemungkinan efisiensi tertinggi yang
dapat dicapai, sementara titik B bukan
posisi efisiensi yang tertinggi. Bergerak
B dari titik A ke C akan mempengaruhi
kenaikan kepuasan orang kedua (U2),
C tetapi mengurangi kepuasan orang pertama
(U1). Apakah pergeseran ini dapat
diterima dengan baik oleh kedua
konsumen dan dipandang sebagai alokasi
U2 yang adil ?

Bab 8 Prinsip-Prinsip Produksi 163


Dalam perspektif Islam, produksi harus dilakukan untuk merespon apa yang
benar-benar secara nyata menjadi kebutuhan dari konsumen atau riel needs manusia.
Kebutuhan seperti inilah yang akan membentuk permintaan efektif (effective demand)
sehingga harus disediakan oleh para produsen. Untuk itu, produksi tidak saja harus
hanya menghasilkan barang dan jasa yang diperbolehkan oleh ajaran Islam dan
dibutuhkan masyarakat, bahkan mungkin harus menyusun prioritas-prioritas produksi
sesuai dengan urgensi pemenuhan kebutuhan itu. Misalnya, produsen dalam suatu
masyarakat yang memiliki tingkat perekonomian rendah (miskin) dan distribusi
pendapatan yang timpang tentu saja tidak akan memproduksi barang dan jasa yang
bersifat kemewahan (luxury), sebab masyarakat banyak belum membutuhkan barang dan
jasa tersebut. Akan lebih bermanfaat jika produsen memproduksi barang dan jasa primer
(daruriyyah) yang dapat menunjang perkembangan perekonomian menuju tingkatan
yang lebih tinggi. Dengan kata lain, produsen harus bersikap proaktif – bukan sekedar
reaktif - dalam penyediaan barang dan jasa, sehingga terjadi aksi reaksi yang dinamis
antara supply produsen dengan demand konsumen.
Kemampuan produsen untuk mempengaruhi permintaan pasar merupakan
keniscayaan. Dalam perekonomian modern, jamak diketahui, bahwa produsen, (terutama
produsen besar) dapat mempengaruhi dan mengarahkan permintaan konsumen di pasar.
Hal ini dilakukan dengan cara promosi yang agresif dan atraktif, atau berkolusi dengan
agen-agen pemerintah yang memiliki kekuasaan untuk mengatur kebijakan ekonomi.
Demi untuk memaksimumkan keuntungannya, terkadang perusahaan-perusahaan
tersebut memanipulasi informasi dalam promosi sedemikian rupa sehingga konsumen
tertarik untuk mengkonsumsi produknya. Kolusi dengan agen pemerintah seringkali

164 Pengantar Ekonomika Mikro Islami - MBHA


dilakukan dengan sangat transparan dan tidak etis, dan tentu saja mengabaikan prinsiop-
prinsip produksi yang sehat.
Tentu saja ekonomi Islam tidak menyarankan menempuh langkah-langkah
manipulatif, sebab Islam merupakan ajaran yang lurus dalam segala hal (asumsi,
kepercayaan, tujuan, sistem, nilai-nilai sosial ekonomi). Ajaran ini harus diaplikasikan
oleh produsen maupun konsumen. Mereka tidak diperkenankan mendistorsi satu nilai
dengan nilai lainnya, dan memiliki tugas bersama-sama menciptakan kesejahteraan
masyarakat secara keseluruhan. Untuk perlu dilakukan sosialisasi dan internalisasi nilai-
nilai keIslaman ini dengan melalui berbagai pendekatan, misalnya lewat pendidikan,
penyusunan dan penerapan kode etik–moral bisnis, hingga campur tangan pemerintah
seperlunya serta pengawasan dari publik.

KEADILAN DAN KEBAJIKAN BAGI MASYARAKAT KESELURUHAN

Keadilan dan kebajikan bagi masyarakat secara keseluruhan sesungguhnya


merupakan intisari ajaran Islam. Untuk itu kegiatan produksi tentu saja harus senantiasa
berpedoman kepada nilai-nilai keadilan dan kebajikan bagi masyarakat ini. Secara lebih
spesifik Siddiqi (1992) menyebutkan 3 prinsip pokok produsen yang Islami, yaitu:
 Memiliki komitmen yang penuh terhadap keadilan
 Memiliki dorongan untuk melayani masyarakat (untuk mencapai kesejahteraan),
sehingga segala keputusan perusahaan harus mempertimbangkan hal ini.
 Optimasi keuntungan diperkenankan dengan batasan kedua prinsip di atas.
Produsen harus memiliki komitmen yang tinggi terhadap keadilan dan kebajikan,
sehingga nilai-nilai ini harus menjadi pedoman bagi kegiatan ekonomi dan bisnisnya.
Kesejahteraan bagi masyarakat secara keseluruhan juga harus menjadi tujuan dari

Bab 8 Prinsip-Prinsip Produksi 165


kegiatan produksi, baik produksi secara makro maupun mikro. Dengan batasan kedua
prinsip ini, maka produsen dapat memaksimumkan tingkat keuntungan yang ingin
dicapainya. Jadi, upaya maksimasi keuntungan tidak boleh dilakukan dengan
meninggalkan prinsip keadilan dan kebajikan bagi kesejahteraan masyarakat
keseluruhan.
Sebenarnya, di dalam perspektif bisnis modern pandangan tentang maksimasi
keuntungan juga telah mengalami sedikit perubahan. Konsep keuntungan jangka pendek
(short run profit) digantikan dengan keuntungan jangka panjang (long run profit).
Tujuan maksimasi keuntungan bagi pemilik perusahaan (stock holder) dipandang tidak
memadai lagi, kemudian diganti dengan konsep keuntungan bagi seluruh pihak yang
terkait dengan perusahaan (stake holder). Produsen menjadi sangat perhatian terhadap
kepentingan eksistensi perusahaan jangka panjang, seperti :stabilitas, keamanan,
keberlanjutan dan reputasi perusahaan di mata masyarakat. Untuk itu, produsen dituntut
memiliki perhatian yang serius terhadap isu-isu dan nilai-nilai sosial kemasyarakatan
yang kemudian diwujudkannya dalam berbagai strategi3. Namun demikian, tingkat
keuntungan tetap saja merupakan indikator bagi status dan kekuatan suatu perusahaan.
Nilai sebuah perusahaan selalu saja akan diukur dari seberapa tingkat keuntungan yang
diraih, seberapa besar pertumbuhan aset dan omsetnya, dan ukuran-ukuran finansial
lainnya.
Dengan melihat gambaran di atas maka sesungguhnya penerapan prinsip-prinsip
produksi yang Islami ternyata sangat kondusif bagi upaya produsen untuk mencapai
keuntungan maksimum, terutama dalam jangka panjang. Jika perusahaan mengutamakan
keadilan dan kebajikan dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat (stake holder),

3
Untuk menunjukkan good brand image bagi masyarakat maka banyak perusahaan melakukan berbagai
kegiatan sosial (charity), memberikan perhatian terhadap isu-isu lingkungan hidup (bahkan muncul konsep green
management), dan tentu saja memberikan kepuasaan yang maksimum (customer satisfaction) terhadap konsumennya.
Namun demikian hal-hal tersebut dilakukan tetap dalam kerangka untuk mencari keuntungan maksimum.

166 Pengantar Ekonomika Mikro Islami - MBHA


maka dengan sendirinya eksistensi perusahaan dalam jangka panjang akan lebih
terjamin. Jadi, tujuan keadilan dan kebajikan dalam produksi akan berkorelasi positif
dengan keuntungan yang dicapai perusahaan.
Dalam situasi-situasi tertentu kemungkinan akan terdapat kondisi yang
menyulitkan produsen untuk mendapatkan keuntungan, misalnya pada masyarakat
konsumen yang memiliki daya beli rendah. Rendahnya daya beli ini menyebabkan
produsen tidak dapat menentukan harga pada tingkatan yang ekonomis, sebab harga
ekonomis ini tidak akan terjangkau oleh konsumen. Padahal, masyarakat sangat
membutuhkan barang dan jasa yang dihasilkan oleh produsen. Dalam ekonomi
konvensional, produsen tidak memiliki perhatian yang memadai terhadap masalah
seperti ini. Kepentingan produsen hanyalah bagaimana memasarkan barang dan jasanya
agar dapat mendatangkan keuntungan yang maksimum. Namun, hal ini tentunya tidak
akan terjadi dalam ekonomi Islam.
Terdapat 3 alternatif kebijakan untuk mengatasi hal ini, antara lain:
 Dilakukan upaya-upaya peningkatan daya beli masyarakat, misalnya melalui
kebijakan redistribusi pendapatan atau bantuan pemerintah secara langsung
(direct transfer).
 Produsen yang menghasilkan barang-barang ini disubsidi oleh pemerintah,
sehingga dapat menetapkan harga yang terjangkau oleh konsumen tersebut.
 Produsen bersedia menetapkan harga yang terjangkau masyarakat, dengan
konsekuensi menderita kerugian.
Dalam situasi perekonomian yang wajar/normal, alternatif pertama dan kedua
merupakan pilihan-pilihan yang terbaik. Jadi, diperlukan upaya-upaya ang bersifat sosial
– baik dari masyarakat atau pemerintah - untuk menyelesaikan situasi ini. Sebagaimana
diketahui, ajaran Islam mengharuskan adanya campur tangan pemerintah dalam kasus-
kasus tertentu, sementara tetap menjunjung tinggi mekanisme pasar yang sehat. Namun

Bab 8 Prinsip-Prinsip Produksi 167


demikian, ketika upaya-upaya sosial oleh pemerintah ini tidak dapat dilakukan maka
produsen harus mempertimbangkan kemungkinan untuk menderita kerugian, demi
tujuan produksi yang lebih besar (yaitu mensejahterakan masyarakat). Apakah hal ini
realistis untuk dilakukan ?
Adanya motif altruistik pada produsen tentu saja akan menjadikan langkah ini
realistis, sebab dengan menderita kerugian demi meningkatkan kesejahteraan merupakan
sebuah amal jariah yang akan mendapat pahala dari Allah. Bahkan, pengorbanan
produsen dapat merupakan suatu jihad fii sabilillah bil amwal (perjuangan di jalan Allah
dengan harta) yang diyakini akan mendapatkan balasan surga. Sesungguhnya, dalam
situasi seperti ini, produsen dihadapkan kepada 2 pilihan tingkat keuntungan, yaitu:
apakah memilih keuntungan duniawi yang kecil (yaitu tidak bersedia menderita kerugian
sehingga tetap memperoleh keuntungan) atau memilih keuntungan yang lebih besar
(yaitu mengorbankan keuntungan duniawi untuk mendapatkan surga)4.

TUJUAN PRODUKSI

Sebagaimana telah dikemukakan, kegiatan produksi merupakan respon terhadap


kegiatan konsumsi, atau sebaliknya. Produksi adalah menciptakan manfaat (maslahah)
atas sesuatu benda, sementara konsumsi adalah pemusnahan atau pemakaian hasil
produksi tersebut. Produksi dalam perspektif Islam tidak hanya berorientasi untuk
memperoleh keuntungan yang setinggi-tingginya, meskipun mencari keuntungan juga
tidak dilarang. Jadi produsen yang Islami tidak dapat disebut sebagai profit maximizer.
Optimalisasi falah harus menjadi tujuan produksi, sebagaimana juga konsumsi. Oleh

4
“Hai orang-orang yang beriman maukah kamu Aku tunjukkan kepada perniagaan yang dapat
menyelamatkanmu dari adzab (siksa) yang pedih ? yaitu (kamu) beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, serta berjiha
di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu apabila kamu mengetahui” (Qur’an, Ash
Shaaf: 10-12)

168 Pengantar Ekonomika Mikro Islami - MBHA


karenanya, secara lebih spesifik Siddiqi (1972, h. 11-34) telah menyebutkan beberapa
tujuan kegiatan produksi ini, antara lain:
 Pemenuhan sarana kebutuhan manusia pada takaran moderat.
 Menemukan kebutuhan masyarakat.
 Persediaan terhadap kemungkinan – kemungkinan di masa depan.
 Persediaan bagi generasi mendatang.
 Pemenuhan sarana bagi kegiatan sosial dan ibadah kepada Allah.
Tujuan produksi yang pertama sangat jelas, yaitu pemenuhan sarana kebutuhan
manusia pada takaran moderat akan menimbulkan setidaknya dua implikasi. Pertama,
produsen hanya menghasilkan barang dan jasa yang menjadi kebutuhan (need) bukan
keinginan (want ) dari konsumen. Barang dan jasa yang dihasilkan harus memiliki
manfaat riil bagi kehidupan yang Islami, bukan sekedar memberikan kepuasan
maksimum bagi konsumen. Karenanya, prinsip costumer satisfaction yang banyak
dijadikan pegangan produsen kapitalis tidak dapat diimplementasikan begitu saja.
Kedua, kuantitas produksi tidak akan berlebihan, tetapi hanya sebatas kebutuhan yang
wajar. Produksi barang dan jasa secara berlebihan tidak saja seringkali menimbulkan
mis-alokasi sumber daya ekonomi dan kemubadziran (wastage), tetapi juga
menyebabkan terkurasnya sumber daya ekonomi ini secara cepat. Semakin menipisnya
persediaan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup merupakan salah satu
masalah serius dalam pembangunan ekonomi modern saat ini.
Meskipun produksi hanya menyediakan sarana kebutuhan manusia tidak berarti
bahwa produsen sekedar bersikap reaktif terhadap kebutuhan konsumen. Produsen harus
proaktif, kreatif dan inovatif menemukan berbagai barang dan jasa yang memang
dibutuhkan oleh manusia. Penemuan ini kemudian disosialisasikan atau dipromosikan
kepada konsumen, sehingga konsumen mengetahuinya. Sikap proaktif menemukan

Bab 8 Prinsip-Prinsip Produksi 169


kebutuhan ini sangat penting , sebab terkadang konsumen juga tidak mengetahu apa
yang sesungguhnya dibutuhkannya5. Sikap proaktif ini juga harus berorientasi ke depan
(future view), dalam arti: pertama, menghasilkan barang dan jasa yang bermanfaat bagi
kehidupan masa mendatang; kedua, menyadari bahwa sumber daya ekonomi, baik
natural resources atau non natural resources, tidak hanya diperuntukkan bagi manusia
yang hidup sekarang tetapi juga generasi mendatang.
Orientasi ke depan ini akan mendorong produsen untuk terus menerus
melakukan riset dan pengembangan (reasearch and development) guna menemukan
berbagai jenis kebutuhan, teknologi yang diterapkan, serta berbagai standar lain yang
sesuai dengan tuntutan masa depan. Efisiensi dengan sendirinya juga akan senantiasa
dikembangkan, sebab dengan cara inilah kelangsungan dan kesinambungan
(sustainability) pembangunan akan terjaga. Dengan konsteks ini maka produksi yang
berwawasan lingkungan (green production) akan menjadi konsekuensi logis. Ajaran
Islam memberikan peringatan yang keras terhadap perilaku manusia yang gemar
membuat kerusakan dan kebinasaan, termasuk kerusakan lingkungan hidup, demi
mengejar kepuasan6
Implikasi dari aktifitas di atas adalah tersedianya secara memadai berbagai
kebutuhan bagi generasi mendatang. Konsep pembangunan yang berkesinambungan
(sustainable development) yang relatif baru dikembangkan dalam pembangunan
ekonomi konvensional pada dasarnya adalah suatu konsep pembangunan yang
5
Hal ini adalah sebuah asumsi baru tentang konsumen. Dalam teori perilaku konsumsi ekonomi konvensional
diasumsikan bahwa konsumenlah yang lebih tahu apa yang diinginkannya, sehingga produsen hanya merespon
permintaan konsumen apa adanya (given demand). Dalam hal kebutuhan, asumsi ini tentu tidak selalu benar. Banyak
konsumen yang tidak tahu/menyadari adanya sebuah kebutuhan bagi dirinya, sehingga harus ada pihak lain (misalnya
produsen) yang membantu menyadarkan akan kebutuhan ini.
6
Lihat misalnya :
 “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdo’alah
kepadaNya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmad
Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik”. (QS, Al A’raaf: 56).
 “Dan apabila ia berpaling, ia berjalan di muka bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak
tanaman-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan”. (QS, Al Baqarah: 205).

170 Pengantar Ekonomika Mikro Islami - MBHA


memberikan persediaan memadai bagi generasi mendatang. Alam ini bukan hanya
diperuntukkan bagi manusia di satu masa atau tempat saja, tetapi untuk manusia di
sepanjang jaman hingga Allah menentukan Hari Penghabisan alam semesta (yaum al
qiyamah). Padahal, dalam dunia nyata seringkali terjadi hubungan berkebalikan (trade
off) antara kegiatan ekonomi saat ini dengan di masa depan. Misalnya, eksplorasi gas
dan minyak bumi secara besar-besaran otomatis akan mengurangi cadangan bagi masa
depan, semakin banyak produksi saat ini semakin sedikit cadangan bagi masa depan.
Untuk itulah produksi dalam perspektif Islam harus memperhatikan kesinambungan
pembangunan ini.
Tujuan yang terakhir, yaitu pemenuhan sarana bagi kegiatan sosial dan ibadah
kepada Allah sebenarnya merupakan tujuan produksi yang paling orisinal dari ajaran
Islam. Selain untuk pemenuhan kebutuhan manusia sendiri, produksi harus berorientasi
kepada kegiatan sosial dan ibadah kepada Allah. Tujuan ini akan membawa implikasi
yang luas, sebab produksi tidak akan selalu menghasilkan keuntungan material. Ibadah
seringkali tidak secara langsung memberikan keuntungan material, bahkan sebaliknya
justru membutuhkan pengorbanan material. Kegiatan produksi tetap harus berlangsung
meskipun ia tidak memberikan keuntungan materi, sebab ia akan memberikan
keuntungan yang lebih besar berupa pahala di akherat nanti.

DORONGAN BAGI KEGIATAN PRODUKSI

Ajaran Islam secara keseluruhan telah memberikan dorongan bagi kegiatan


produksi yang memiliki karakteristik sebagaimana telah disebutkan. Beberapa prinsip
dalam ajaran Islam yang terkait dengan dorongan ini antara lain (Al Sadr, 1966: h. 576-
586):

Bab 8 Prinsip-Prinsip Produksi 171


 Pemerintah dapat mengambil alih tanah masyarakat/swasta yang ditelantarkan (idle
land), kemudian memanfaatkannya untuk kegiatan ekonomi produktif. Dalam hal ini
pemerintah tidak perlu memberi kompensasi atau ganti rugi kepada swasta.
 Pengambil alihan tanah terlantar tidak berarti merampas hak milik masyarakat, tetapi
hanya untuk meningkatkan optimalitas pemanfaatan tanah tersebut. Kolonisasi tanah
dapat merupakan salah satu sumber kepemilikan dalam Islam dalam keadaan :
 Tidak ada / belum ada klaim kepemilikan sebelumnya.
 Melanjutnya pemanfaatan produktif tanah tersebut
 Tidak menggunakan dalih tenaga kerja untuk kolonisasi ini
 Menghormati prinsip peluang yang sama (bagi pihak lain) dan tanpa kekerasan.
 Tanah negara dapat diserahkan kepada masyarakat hanya jika pemerintah
memandangkan dapat meningkatkan kapabilitas pemanfaatannya.
 Seluruh kegiatan perantara yang tidak produktif dilarang, misalnya menyewakan
sebidang tanah dengan tarif tertentu dan kemudia menyewakan kembali tanah
tersebut dengan tarif yang lebih tinggi lagi.
 Bunga dilarang, terutama berkaitan dengan dijadikannya sebagai sumber pendapatan
bagi para pemilik modal yang tidak terlibat dalam kegiatan produksi.
 Kegiatan-kegiatan yang secara ekonomis tidak produktif juga dilarang, misalnya
berbagai bentuk perjudian.
 Penimbunan uang atau kekayaan bergerak lainnya dihambat dengan pengenaan zakat
sebesar 2,5 % per tahun.
 Penyalahgunaan alkohol, obat-obatan, dan berbagai bentuk hal sejeinis lainnya yang
dapat mempengaruhi kepekaan seseorang dan kemampuan produktifnya harus
dilarang.

172 Pengantar Ekonomika Mikro Islami - MBHA


 Berbagai aturan dan undang-undang yang bertujuan untuk meningkatan pemerataan
kekayaan harus diaktifkan.
 Spekulasi harus dihambat dan berbagai ragam transaksi spekulatif di pasar uang dan
pasar barang harus dilarang.
 Hukum waris harus digunakan sebagai perangsang kegiatan produktif, dan dalam
waktu yang sama juga akan menjadi sarana pemerataan kekayaan.
 Harus ada suatu jaminan sosial yang berkaitan dengan jaminan standar kehidupan
maupun jaminan pelunasan utang (bagi fakir miskin)
 Jaminan sosial tidak diberikan kepada orang yang tidak bersedia bekerja atau
pengangguran sukarela.
 Penghambatan terhadap kemewahan pada konsumsi swasta akan meningkatkan
pengeluaran yang beorientasi investasi.
 Menjadi suatu kewajiban kolektif bagi masyarakat muslim untuk menyediakan setiap
cabang ilmu pengetahuan maupun industri.
 Pemerintah memiliki sebuah peranan menonjol dalam produksi, yaitu berkaitan
dengan perencanaan dan perusahaan publik.
 Negara diijinkan untuk mendapatkan sumber daya dan mendistribusikannya kembali
untuk memaksimumkan realisasi tujuan normatif masyarakat.
 Pemerintah memasuki berbagai kegiatan ekonomi sebagai perencana pusat dan
pengawas.

RANGKUMAN

 Kegiatan produksi, sebagai mata rantai dari konsumsi dan distribusi, terikat
sepenuhnya dengan syari’at Islam. Kahf (1992) mendefinisikan kegiatan
produksi dalam perspektif Islam sebagai usaha manusia untuk memperbaiki tidak

Bab 8 Prinsip-Prinsip Produksi 173


hanya kondisi fisik materialnya, tetapi juga moralitas, sebagai sarana untuk
mencapai tujuan hidup sebagaimana digariskan dalam agama Islam, yaitu
kebahagiaan dunia dan akhirat. Beberapa sarjana muslim lain telah memberikan
penekanan atas karakteristik – karakteristik tertentu atas kegiatan produksi yang
Islami ini.
 Pengertian seperti ini akan membawa implikasi yang mendasar bagi kegiatan
produksi dan perekonomian secara keseluruhan, antara lain: Pertama, seluruh
kegiatan produksi terikat pada tatanan nilai moral dan teknikal yang Islami,
Kedua, kegiatan produksi harus memperhatikan aspek sosial-kemasyarakatan;
dan Ketiga, permasalahan ekonomi muncul bukan saja karena kelangkaan
(scarcity) saja, tetapi lebih kompleks.
 Kegiatan produksi dalam perspektif Islam bersifat altruistik sehingga produsen
tidak dapat hanya mengejar keuntungan maksimum saja. Produsen harus
mengejar tujuan yang lebih luas sebagaimana tujuan ajaran Islam yaitu mencapai
falah di dunia dan akhirat. Konsekuensi altruisme maka konsep Pareto
Optimality dan Given Demand Hypothesis tidak dapat diterima begitu saja.
 Kegiatan produksi juga harus berpedoman kepada nilai-nilai keadilan dan
kebajikan bagi masyarakat. Menurut Siddiqi (1992) prinsip pokok produsen yang
Islami, yaitu: (1) Memiliki komitmen yang penuh terhadap keadilan; (2)
Memiliki dorongan untuk melayani masyarakat (untuk mencapai kesejahteraan),
sehingga segala keputusan perusahaan harus mempertimbangkan hal ini; (3)
Optimasi keuntungan diperkenankan dengan batasan kedua prinsip di atas.
 Secara lebih terinci tujuan produsen adalah : (1) pemenuhan sarana kebutuhan
manusia pada takaran moderat, (2) menemukan kebutuhan masyarakat; (3)
persediaan terhadap kemungkinan – kemungkinan di masa depan; (4) persediaan

174 Pengantar Ekonomika Mikro Islami - MBHA


bagi generasi mendatang, dan (5) pemenuhan sarana bagi kegiatan sosial dan
ibadah kepada Allah.

KONSEP PENTING

Definisi dan tujuan produksi Long run –short run profit


Pareto optimum, given demand hypothesis Profit maximizer, falah maximizer
Produksi altruistik (Mannan) Tujuan produsen (Siddiqi)
Effective demand Dorongan kegiatan produksi
Prinsip produsen Islami (Siddiqi)

Bab 8 Prinsip-Prinsip Produksi 175


Lampiran 1

PRINSIP PRODUKSI MENURUT METWALLY7

Metwally memberikan teori produksi yang berbasiskan pada adanya kewajiban


shadaqah atau amal shaleh (perbuatan baik/good deed/charity) sebagai dasar pembeda
utama dengan teori konvensional. Sebagaimana telah dijelaskan dalam teori konsumsi,
shadaqah atau amal shaleh sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Beberapa di antaranya

7
Lebih detail lihat Metwally (1992, p. 131-137)

176 Pengantar Ekonomika Mikro Islami - MBHA


malahan diwajibkan, misalnya zakat8. Di dalam ayat-ayat Al Qur’an perintah beramal
shaleh disebutkan tak kurang dari 62 kali yang tersebar pada 36 surat.
Dalam hal keterikatannya kepada syari’at Islam maka tidak ada perbedaan di
antara orang yang ‘kebetulan’ bertindak sebagai konsumen maupun yang ‘kebetulan’
bertindak sebagai produsen. Semuanya harus mewujudkan kemanfaatan (maslahah)
yang sebesar-besarnya bagi kehidupan sehingga dapat mencapai falah di dunia maupun
di akherat. Di dalam kegiatan produksi, perbuatan amal shaleh harus secara eksplisit
menjadi kebijakan formal perusahaan. Selain menjadikan syariat Islam sebagai pedoman
kerja menyeluruh dalam perusahaan maka harus dianggarkan secara tegas sejumlah
penghasilan bagi kepentingan amal shaleh ini, misalnya 5 % dari penerimaan akan
disalurkan untuk amal shaleh. Kewajiban amal shaleh atau shadaqah ini tetap mengikat
bagi produsen apapun keadaannya, yaitu apakah dalam kondisi memperoleh keuntungan
yang maksimum, tidak untung-tidak rugi , bahkan dalam kondisi rugi sekalipun (ingat
perusahaan yang Islami tidak menjadikan keuntungan maksimum sebagai tujuan utama)
Dalam sebuah masyarakat yang Islami, ataupun sebenarnya juga di mana saja,
adanya pengeluaran perusahaan untuk amal shaleh dan shadaqah ini akan menciptakan
nama/citra baik (good brand image) dari perusahaan. Secara tidak langsung hal ini
sekaligus dapat menjadi media promosi (advertising) yang efektif bagi perusahaan
tersebut. Masyarakat akan memberikan kesan positif terhadap perusahaan, sehingga
kemungkinan masyarakat akan memilih produk hasil perusahaan tersebut. Wujud amal
shaleh ini dapat bermacam-macam (kecuali zakat) sesuai dengan konteks yang
melingkupinya, serta dapat mencakup daerah yang berbeda-beda. Beberapa contoh dari
amal shaleh ini misalnya: pemberian santunan bagi fakir miskin, pemberian bea siswa,
pendirian rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya, pendirian sekolah-sekolah, dan
8
Sebagaimana diketahui, dalam Al Qur’an zakat seringkali disebut juga sebagai shadaqah. Secara teknis,
zakat adalah shadaqah yang bersifat wajib, sementara masih banyak jenis shadaqah lain yang bersifat tidak wajib,
misalnya infak.

Bab 8 Prinsip-Prinsip Produksi 177


lain-lain. Cakupan amal shaleh ini dapat dimulai dari lingkup terdekat perusahaan
kemudian melebar ke luar sejauh kemampuan perusahaan.
Secara sederhana fungsi tujuan perusahaan yang Islami dapat diformulasikan
sebagai berikut:

Y = f (F, G) (1)
Dimana
Y : tujuan perusahaan
F : tingkat keuntungan
G : pengeluaran untuk shadaqah atau amal shaleh
Jika M menunjukkan tingkat keuntungan aktual, maka dapat dibuat formulasi :
M=R–C–G (2)
Di mana
M : tingkat keuntungan aktual
R : penerimaan perusahaan keseluruhan (total revenue)
C : Biaya-biaya (variabel maupun tetap) total (total cost)
G : pengeluaran shadaqah
Jika p menunjukkan tingkat harga dan q menunjukkan kuantitas barang, maka:
R = p q, dan C = C (q) (3)
Kurva permintaan dalam model ini diasumsikan berlereng negatif, tetapi adanya
shadaqah akan dapat membantu meningkatkan permintaan terhadap produk perusahaan
(karena masyarakat penerima shadaqah akan menambah jumlah konsumen). Karenanya,
kita memperoleh:
dp/dq < 0 dan dp/dG < 0 (4)

178 Pengantar Ekonomika Mikro Islami - MBHA


Hubungan antara F dan M dapat dirumuskan sbb:
F=M–Z–U (5)
Di mana
Z : Jumlah zakat yang dibayarkan atas keuntungan
U : Beban tambahan atas keuntungan.
Jika diasumsikan tingkat zakat sama dengan z dan beban tambahan ini adalah sebesar u
maka:
Z = z M = (R – C – G) (6)
U = u M =  (R – C – G) (7)
Dengan mensubtitusikan persamaan (2), (6) dan (7) ke dalam persamaan (5) kita
mendapatkan:
F = (1 –  -) (R – C - G) (8)
Berdasarkan persamaan-persamaan di atas maka tujuan perusahaan adalah
memaksimumkan fungsi tujuan (1) dengan kendala suatu tingkat keuntungan minimum
, yaitu tingkat keuntungan yang memuaskan bagi para pemiliknya dan untuk menjaga
kelangsungan usahanya. Hal ini dapat dirumuskan sbb :

Maksimumkan Y = f (F, G);


dengan kendala =-F0 (9)

Permasalahan maksimasi di atas dapat diselesaikan dengan menggunakan persyaratan


Kuhn Tucker. Untuk itu dapat dibuat fungsi Lagrangian sbb:
L = Y (F,G) +  ( - F) (10)
Necessary conditions yang diperlukan untuk maksimisasi ini adalah:
dL/dq = (dY/df =  ) (dR/dq = dL/dq)  0 (11)

Bab 8 Prinsip-Prinsip Produksi 179


dL/dG = dY/dG + (1--) (dR/dG – 1)  0 (12)
dL/dq q + dL/dG G = [(dY/dF +  (1--) (dR/dq – dc/dq)]q +
[dY/dG +  (1--) (dY/dG – 1)] G = 0 (13)
q0 (14)
G0 (15)
dL/d = (F-)  0 (16)
dL/d = (F-)  = 0 (17)
0 (18)
Mendasarkan pada asumsi yang beralasan bahwa q>0, G>0, maka diperoleh:
(dR/dq – dc/dq = 0) atau MR = MC (19)
dR/dG = 1 – YG/ YF 1/ (1--) atau dR/dG = 1 – rGF/ (1--) (20)
di mana :
MR : Marginal Revenue
MC : Marginal Cost
rGF : Tingkat subtitusi marjinal antara pengeluaran untuk sedekah dengan
pembagian keuntungan GG,F = YG/ YF

Kuhn Tucker second order condition membutuhkan determinan positif:


d2L/dq2 d2L/dq dG d/dq
d2L/dG dq d2L/dG2 d/dG
d/dq d/dG 0
Persamaan (19) menunjukkan bahwa keseimbangan perusahaan yang Islami terjadi pada saat
marginal revenue sama dengan marginal cost (MR=MC). Hal ini tidak berarti bahwa hasil yang
optimal akan sama persis dengan dalam sistem ekonomi konvensional, sebab dalam perusahaan
yang Islami dR/dq secara implisit merupakan fungsi dari G (shadaqah). Oleh karena itu, nilai
output yang optimal akan bervariasi dalam dua kasus. Suatu perusahaan yang memiliki struktur
biaya sama akan memiliki output keseimbangan dan harga keseimbangan yang lebih tinggi

180 Pengantar Ekonomika Mikro Islami - MBHA


daripada pada perusahaan yang tidak Islami. Hal ini dapat dilihat dalam gambar 1, DD
merunjukkan kurva permintaan yang dihadapi oleh perusahaan yang tidak Islami sementara D'’i
menunjukkan kurva permintaan yang dihadapi perusahaan yang Islami. D'’'’mencerminkan
asumsi bahwa dalam suatu perekonomian yang Islami dp/dG > 0.
Persamaan (20) menunjukkan bahwa dalam suatu perekonomian yang Islami proporsi
penerimaan yang disalurkan untuk shadaqah akan tergantung pada marginal rate of subtitution
antara keuntungan yang dibagikan dan shadaqah (rGF), sebagaimana juga antara tingkat zakat
dengan tingkat beban tambahan atas keuntungan. Semakin tinggi tingkat beban tambahan atas
keuntungan yang tidak dibagikan maka akan semakin rendah proporsi penerimaan yang
disalurkan untuk shadaqah. Hal ini wajar, sebab diasumsikan bahwa beban tambahan yang lebih
tinggi akan dikumpulkan untuk tujuan mencapai tingkat shadaqah yang lebih tinggi.
Dalam perusahaan yang tidak Islami necessary condition untuk optimasi keuntungan
hanyalah MR=MC saja, sebab rGF = 0.

Bab 8 Prinsip-Prinsip Produksi 181


Gambar 1
Keseimbangan pada Perusahaan yang Islami dan yang Tidak Islami

D`
D
P

D`

D
MR MR`
q q` q

p dan q menunjukkan titik keseimbangan keuntungan maksimum


RAGAM INDUSTRI DALAM AL QUR’AN
pada perusahaan yang tidak Islami
p’ dan q’ menunjukkan titik keseimbangan keuntungan maksimum pada
perusahaan yang Islami

182 Pengantar Ekonomika Mikro Islami - MBHA


Lampiran 2

INDUSTRI MASA LAMPAU DALAM AL QUR’AN


“Nabi Daud adalah tukang besi pembuat senjata, Nabi Adam adalah seorang petani, Nabi Nuh
seorang tukang kayu, Nabi Idris seorang tukang jahit, dan Nabi Musa adalah penggembala”
(HR Al Hakim)

KEGIATAN INDUSTRI PADA MASA ISLAM AWAL


Masyarakat Islam pada masa awal, yaitu di masa Rasulullah saw dan Khulafaur
Rasyidin, adalah masyarakat yang produktif. Pada abad 14 M seorang penulis muslim dari
Tilmizan, Andalus – yaitu Abul Hasan bin Mas’ud al Khuza’ie al Andalusiy – telah menulis
sebuah buku yang berjudul Takhrijud Dalalah As Sam’iyyah ‘Ala Ma Kana Fii ‘Ahdi Rasulillah
S.A.W Minal Hirafi Wasshina’ati Wal ‘Umalat Is Syar’iyyah (Bukti-bukti Otentik tentang Usaha
Industri di Zaman Rasulullah s.a.w). Dalam bukunya yang terdiri atas 10 jilid tersebut,
sebagaimana dikutip oleh Ahmad (1979, h.44-47), dinyatakan bahwa pada masa Rasulullah
terdapat kurang lebih 178 buah usaha industri dan bisnis yang menggerakkan perekonomian
masyarakat pada masa itu.
Di antara berbagai industri tersebut, terdapat 12 macam yang menonjol, yaitu :
1. Pembuatan senjata dan segala usaha dari besi
2. Perusahaan tenun-menenun
3. Perusahaan kayu dan pembuatan rumah/bangunan
4. Perusahaan meriam dari kayu
5. Perusahaan perhiasan dan kosmetik
6. Arsitektur perumahan
7. Perusahaan alat timbangan dan jenis lainnya
8. Pembuatan alat-alat berburu
9. Perusahaan perkapalan
10. Pekerjaan kedokteran dan kebidanan
11. Usaha penterjemahan buku
12. Usaha kesenian dan kebudayaan lainnya

INDUSTRI DALAM ALQUR’AN


Al Qur’an telah mengabarkan tentang berbagai jenis industri yang umumnya terdapat
pada masa lampau. Hal ini tentu saja untuk menunjukkan nilai penting kegiatan industri bagi
kehidupan manusia, di samping sebagai suatu pelajaran sejarah tentang aktifitas manusia pada
masa lalu. Secara umum akan diperoleh gambaran bahwa jenis industri yang dikerjakan oleh
manusia pada masa lalu telah cukup beragam, meskipun kemungkinan teknologi yang digunakan
relatif lebih sederhana jika dibandingkan dengan masa kemudian. Pemaparan di dalam Al
Qur’an ini juga meunjukkan betapa Allah telah memberikan banyak kenikmatan berupa sumber
daya ekonomi yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia.

Bab 8 Prinsip-Prinsip Produksi 183


INDUSTRI BESI, BAJA, DAN KUNINGAN
 “Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud karunia dari Kami…. Dan Kami
telah melunakkan besi untuknya. Buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah
anyamannya, dan kerjakanlah amalan shaleh” (Saba’ : 10 -11)
Ayat-ayat ini menunjukkan kegiatan pengolahan besi yang dilakukan oleh Nabi Daud a.s. dan
umatnya. Pengolahan besi untuk berbagai perangkat, khususnya baju perang, telah meluas di
jaman Nabi Daud. Sebagian ahli tafisr menafsirkan makna ayat 11 sebagai anjuran untuk
membuat baju perang dari besi, sebab baju ini dapat melindungi dari senjata tajam musuh.
Sebagian ahli tafsir lain memahami bahwa ayat ini merupakan anjuran/peringatan kepada Nabi
Daud agar tidak hanya bekerja keras mencari nafkah dengan membuat baju-baju besi, tetapi
harus lebih banyak melakukan amal shaleh.
Pemanfaatan besi juga termaktub dalam Al Kahfi : 96 :
 “Berilah aku potongan-potongan besi hingga apabila besi itu telah sama rata dengan
kedua (puncak ) gunung itu, berkatalah Dzulqarnain: ‘Tiuplah api itu”.

Al Qur’an menyebutkan pemanfaatan kuningan ketika menceritakan kisah Nabi Sulaiman a.s :
 “… Dan kami alirkan cairan tembaga baginya”. (Saba’ : 12)
 “Ketika besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, diapun berkata, ‘Berilah aku
tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atas besi panas itu “ (Kahfi : 96)

INDUSTRI PERHIASAN EMAS DAN PERAK, MUTIARA, SUTERA


 “Dan diedarkan kepada mereka bejana-bejana dari perak dan piala-piala yang bening
laksana kaca, (yaitu) kaca-kaca (yang terbuat) dari perak yang telah diukur mereka
dengan sebaik-baiknya” (Al Insan: 15-16)
 “Di surga itu mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas dan mutiara,
dan pakaian mereka adalah sutera” (Al Hajj: 23)
 “… dan mereka memakai pakaian hijau dari sutera halus dan sutera tebal, sedang
mereka duduk sambil bersandar di atas dipan-dipan yang indah” (Al Kahfi: 31)
 “Dari keduanya keluar mutiara dan marjan. Seakan-akan bidadari itu permata yakut
dan marjan” (Ar Rahman: 22,38)

INDUSTRI KULIT, TEKSTIL DAN KACA


 “Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal dan Dia
menjadikan bagi kamu rumah-rumah (kemah) dari kulit binatang ternak yang kamu
merasa ringan (membawanya) di waktu kamu berjalan dan waktu bermukim dan
(dijadikanNya pula) dari bulu domba, bulu unta dan bulu kambing, alat-alat rumah
tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu) dan Dia jadikan
bagimu pakaian yang melindungimu dari panas” (An Nahl: 80)
 “Dikatakan kepadanya: ‘masuklah kamu ke dalam istana’, Maka takala ia melihat
lantai istana itu dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya,

184 Pengantar Ekonomika Mikro Islami - MBHA


Berkatalah Sulaiman : ‘sesungguhnya ia adalah istana licin yang terbuat dari batu
kaca”… (An Naml: 44).
Ayat di atas menceritakan kekaguman Ratu Balqis terhadap lantai istana Nabi Sulaiman yang
mengkilat bagai air. Hal ini menunjukkan bahwa pada waktu itu telah ada produksi istana dari
kaca (batu pualam ?)

INDUSTRI KERAMIK, BATU BATA, DAN BANGUNAN


 “Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa suatu tanda (mukjizat)
dari Tuhanmu , yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung …” (Ali
Imran : 49).
Ayat ini menceritakan peristiwa Nabi Isa menghadapi kaumnya, di mana kemudian tembikar
berbentuk burung tersebut ditiupnya (dan atas izin Allah) berubah menjadi seekor burung yang
nyata.
 “… Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat, kemudian buatkanlah untuk
bangunanku yang tinggi …” (Al Qashash : 38)
 “Dan berkatalah Fir’aun, ‘hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang
tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit…” (Al Mukmin : 36-
37).
Kedua ayat ini menceritakan kisah pada masa Nabi Musa, yaitu ketika Fir’aun meminta Hamam
untuk membuatkan bangunan yang megah baginya.
 “Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat kepada kaum ‘Aad ?
(yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan tinggi, yang belum pernah
dibangun (suatu kota) seperti itu di negeri-negeri lain “ (Al Fajr : 6-8)
 “… Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanah-Nya yang datar dan kamu pahat
gunung-gunungNya untuk dijadikan rumah … “(Al A’raaf : 74)
 “Dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah” (Al Fajr : 9)

INDUSTRI PERKAPALAN
Al Qur’an telah menceritakan bagaimana Nabi Nuh a.s dan uamtnya membangun sebuah
bahtera yang besar untuk menampung orang-orang yang beriman dari banjir besar. Kisah Nabi
Nuh ini misalnya :
 “Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, … Dan
mulailah Nuh membuat bahtera… Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam
gelombang laksana gunung …” (Huud : 37,38,42)
 “Dan Kami angkut Nuh ke atas (bahtera) yang terbuat dari papan dan paku, yang
berlayar dengan pemeliharaan kami,…”(Al Qamar : 13-14)

INDUSTRI MINYAK NABATI DAN PERTAMBANGAN


 “Dan pohon kayu keluar dari Thursina (pohon zaytun) yang menghasilkan minyak dan
makanan bagi orang-orang yang makan “ (Al Mu’minuun : 20)

Bab 8 Prinsip-Prinsip Produksi 185


 “… Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai
manfaat bagi manusia …” (Al Hadiid : 25)

186 Pengantar Ekonomika Mikro Islami - MBHA

Anda mungkin juga menyukai