Anda di halaman 1dari 2

LO 3 Patofisiologi Impetigo Krustosa

Pioderma merupakan infeksi kulit oleh bakteri piogenik; yang paling sering yaitu
Staphylococcus sp. atau Streptococcus sp. Infeksi bakteri ini masih menjadi masalah kesehatan
yang menyebabkan morbiditas bagi anak-anak dan dewasa. Impetigo krustosa atau non bulosa
merupakan jenis impetigo yang paling sering dijumpai dan hampir 70% terjadi pada anak-anak
dibawah usia 15 tahun dengan infeksi Streptococcus β Hemolyticus Grup A (GABHS) atau yang
biasa dikenal dengan nama Streptococcus pyogenes. Impetigo nonbulosa sering terjadi di wajah
terutama sekitar lubang hidung (nares anterior) dan ekstremitas yang mengalami trauma. Lesi
awalnya berupa papul eritematosa yang kemudian menjadi vesikel dan pustul yang pecah
membentuk krusta kekuningan seperti madu dengan dasar kulit eritema.1,2
Kulit merupakan pertahanan tubuh pertama terhadap lingkungan. Adanya homeostasis
yang tidak seimbang antara mikrob kulit dengan pejamu berhubungan dengan timbulnya
impetigo. Kulit yang intak bersifat resistan terhadap kolonisasi atau impetiginisasi, kemungkinan
karena tidak adanya reseptor fibronektin untuk asam teikoat pada Staphylococcus aureus dan
Group A Streptococcus. Produksi bacteriocins, yang diproduksi oleh strain Staphylococcus
aureus tertentu dan Group A Streptococcus yang bersifat sangat bakterisidal, hanya berperan jika
ada isolasi Staphylococcus aureus pada beberapa lesi impetigo nonbulosa yang awalnya
disebabkan oleh Streptococcus. Bakteri Staphylococcus aureus memproduksi racun
bakteriotoksin pada streptococcus. Racun inilah yang menjadi alasan mengapa hanya
Staphylococcus aureus yang terisolasi pada lesi walaupun penyebabnya adalah Streptococcus
pyogenes. Staphylococcus aureus menyebar dari hidung ke kulit normal kira-kira dalam 11 hari,
kemudian timbul lesi kulit setelah 11 hari berikutnya. Lesi biasanya timbul pada wajah di sekitar
hidung atau di ekstremitas setelah trauma. Staphylococcus aureus sebagai carrier di mukosa
nasal dikonfirmasi terdapat di nasal anterior dan bibir, dengan pruritus sebagai keluhan tersering.
Kondisi yang menyebabkan kerusakan integritas epidermis dapat menjadi port d’entry
impetiginisasi, termasuk gigitan serangga, dermatofitosis, herpes simpleks, varisela, abrasi,
laserasi, dan luka bakar akibat termal.2
Group A Streptococcus (GAS) (seperti Streptoccocus pyogenes) merupakan salah satu
penyebab infeksi kulit purulen (pioderma). Pioderma yang disebabkan oleh infeksi Streptococcus
hampir seluruhnya disebabkan oleh infeksi GAS. Faktor risiko infeksi GAS pada kulit adalah
adanya kolonisasi GAS pada nasofaring dan kulit, higienitas buruk, kemiskinan, dan tempat
tinggal kumuh. Adanya penyakit kulit penyerta lain juga meningkatkan risiko infeksi GAS pada
kulit. Pada permukaan sel GAS terdapat protein M yang merupakan faktor virulensi utama dari
GAS. Protein M adalah protein multifungsional yang dapat menghambat berbagai respons imun
dari tubuh. Protein M dapat memicu respons inflamasi melalui interaksi dengan TLR2 pada
monosit, yang menginduksi produksi sitokin proinflamasi seperti IL-6, IL1β, dan TNF-α.1

Referensi:
1. Kusumo ID, Kenny. Tinjauan Atas Pioderma. CDK. 2022; 49(4): 207-11p
2. Hidayati AN, Damayanti, Sari M, et al. Buku Seri Dermatologi dan Venerologi: Infeksi
Bakteri di Kulit. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan Universitas Airlangga; 2019

Anda mungkin juga menyukai