Anda di halaman 1dari 68

BAB I

PENDAHULUAN
Infeksi merupakan interaksi antara mikroorganisme dengan pejamu rentan yang
terjadi melalui kode transmisi kuman yang tertentu. Organisme yang paling umum yang
menginvasi kulit ialah Streptococci, Staphylococcus aureus, dan methicillin-resistant
Staphylococcus aureus (MRSA). Infeksi kulit memiliki dampak negatif pada kualitas hidup
pasien. Pasien dengan diabetes dan immunodefisiensi lebih rentan terhadap infeksi kulit
yang disebabkan oleh bakteri gram negatif. Infeksi kulit meningkat menjadi kondisi yang
paling umum di antara anak-anak di rumah sakit pada tahun 2009. Jumlah pasien yang
dirawat inap disebabkan infeksi secara keseluruhan telah meningkat 29% dari tahun 2000
sampai 2004. Di United Kingdom (UK), insidensi infeksi kulit pada anak-anak pada tahun
2005 adalah sekitar 75 per 100 000. Pioderma ialah penyakit kulit yang disebabkan oleh
Staphylococcus, Streptococcus, atau kedua-duanya.1
Penyebabnya yang utama ialah Staphylococcus aureus dan Streptococcus Beta
hemolyticus, sedangkan Staphylococcus epidermidis merupakan penghuni normal di kulit
dan jarang menyebabkan infeksi.1
Faktor Predisposisi yaitu Higiene yang kurang, Menurunnya daya tahan. Misalnya:
kekurangan gizi, anemia, penyakit kronik, neoplasma ganas dan diabetes melitus. Telah
ada penyakit lain di kulit, karena terjadi kerusakan di epidermis, maka fungsi kulit sebagai
pelindung akan terganggu sehingga memudahkan terjadinya infeksi.1
Klasifikasi pyoderma terbagi menjadi pioderma primer, Infeksi terjadi pada kulit
yang

normal.

Gambaran

klinisnya

tertentu,

penyebabnyabiasanya

satu

macam

mikroorganisme. Pioderma sekunder Pada kulit yang telah ada penyakit kulit yang lain.
Gambaran klinisnya tidak khas dan mengikuti penyakit kulit yang telah ada. Jika penyakit
kulit disertai pioderma sekunder disebut impetigenisata. Contohnya: Dermatitis
impetigenisata dan skabies impetigenisata. Tanda impetigenisata ialah jika terdapat pus,
pustul, bula purulen, krusta berwarna kuning kehijauan, pembesaran kelenjar getah bening
regional, leukositosis dan demam.1

BAB II
1

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pioderma
Infeksi merupakan interaksi antara mikroorganisme dengan pejamu rentan yang
terjadi melalui kode transmisi kuman yang tertentu. Organisme yang paling umum yang
menginvasi kulit ialah Streptococci, Staphylococcus aureus, dan methicillin-resistant
Staphylococcus aureus (MRSA). Infeksi kulit memiliki dampak negatif pada kualitas hidup
pasien. Pasien dengan diabetes dan immunodefisiensi lebih rentan terhadap infeksi kulit
yang disebabkan oleh bakteri gram negatif. Infeksi kulit meningkat menjadi kondisi yang
paling umum di antara anak-anak di rumah sakit pada tahun 2009. Jumlah pasien yang
dirawat inap disebabkan infeksi secara keseluruhan telah meningkat 29% dari tahun 2000
sampai 2004. Di United Kingdom (UK), insidensi infeksi kulit pada anak-anak pada tahun
2005 adalah sekitar 75 per 100 000. Pioderma ialah penyakit kulit yang disebabkan oleh
Staphylococcus, Streptococcus, atau kedua-duanya.1
Penyebabnya yang utama ialah Staphylococcus aureus dan Streptococcus Beta
hemolyticus, sedangkan Staphylococcus epidermidis merupakan penghuni normal di kulit
dan jarang menyebabkan infeksi.1
Faktor Predisposisi yaitu Higiene yang kurang, Menurunnya daya tahan. Misalnya:
kekurangan gizi, anemia, penyakit kronik, neoplasma ganas dan diabetes melitus. Telah
ada penyakit lain di kulit, karena terjadi kerusakan di epidermis, maka fungsi kulit sebagai
pelindung akan terganggu sehingga memudahkan terjadinya infeksi.1
Klasifikasi pyoderma terbagi menjadi pioderma primer, Infeksi terjadi pada kulit
yang

normal.

Gambaran

klinisnya

tertentu,

penyebabnyabiasanya

satu

macam

mikroorganisme. Pioderma sekunder Pada kulit yang telah ada penyakit kulit yang lain.
Gambaran klinisnya tidak khas dan mengikuti penyakit kulit yang telah ada. Jika penyakit
kulit disertai pioderma sekunder disebut impetigenisata. Contohnya: Dermatitis
impetigenisata dan skabies impetigenisata. Tanda impetigenisata ialah jika terdapat pus,
pustul, bula purulen, krusta berwarna kuning kehijauan, pembesaran kelenjar getah bening
regional, leukositosis dan demam.1
B. Impetigo
1. Definisi

Impetigo secara klinis didefinisikan sebagai penyakit infeksi menular pada kulit
yang superfisial yaitu hanya menyerang epidermis kulit, yang menyebabkan terbentuknya
lepuhan-lepuhan kecil berisi nanah (pustula) seperti tersundut rokok/api. Penyakit ini
merupakan salah satu contoh pioderma yang sering dijumpai di bagian Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin.Terdapat dua jenis impetigo yaitu impetigo bulosa yang disebabakan oleh
Stafilokokus aureus dan non-bulosa yang disebabkan oleh Streptokokus hemolitikus.
Dasar infeksinya adalah kurangnya hygiene dan terganggunya fungsi kulit.2,3
2. Epidemologi
Di Amerika Serikat, kurang lebih 9 10 % dan anak-anak yang datang ke klinik kulit
menderita impetigo. Perbandingan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan adalah
sama. Impetigo lebih sering menyerang anak-anak, jenis yang terbanyak (kira-kira 90%)
adalah impetigo bullosa yang terjadi pada anak yang berusia kurang dan 2 tahun. Impetigo
menyebar melalui kontak langsung dengan lesi (daerah kulit yang terinfeksi). Di Inggris
kejadian impetigo pada anak sampai usia 4 tahun sebanyak 2,8% pertahun dan 1,6% pada
anak usia 5-15 tahun. Sekitar 70% merupakan impetigo krustosa.nsiden impetigo ini terjadi
hampir di seluruh dunia. Paling sering mengenai usia 2-5 tahun, umumnya mengenai anak
yang belum sekolah, namun tidak menutup kemungkinan untuk semua umur dimana
frekuensi laki-laki dan wanita sama. Di Amerika Serikat, merupakan 10% dari masalah
kulit yang dijumpai pada klinik. Kebanyakan kasus ditemukan di daerah tropis atau
beriklim panas serta pada negara-negara yang berkembang dengan tingkat ekonomi
masyarakatnya masih tergolong lemah atau miskin.4
Penelitian pada tahun 2005 menunjukkan S. aureus sebagai pathogen terbanyak yang
menyebabkan baik impetigo bulosa dan impetigo non bulosa pada Amerika dan Eropa,
sementara itu Streptococcus pyogenes pada negara berkembang. Kebanyakan infeksi
bermula sebagai infeksi Streptokokus tetapi kemudian Staphylococci mengantikan
streptokokus. Selain dapat menyebabkan manifest pyoderm primer dan kulit yang utuh,
dapat juga menyebabkan infeksi sekunder dari penyakit kulit yang ada sebelumnya atau
pada kulit yang terkena trauma, yang disebut dengan dermatitis impetigenisata. Impetigo
jarang

berkembang

menjadi

infeksi

sistemik,

walaupun

post

streptococcal

glomerulonepritis yang merupakan komplilkasi pada infeksi GABHS dapat terjadi


walaupun jarang. Pasien dapat lebih jauh menginfeksi dirinya sendiri atau orang lain
3

setelah rnenggaruk lesi. Infeksi seringkali menyebar dengan cepat pada sekolah atau
tempat penitipan anak dan juga pada tempat dengan higiene yang buruk atau tempat tinggal
yang padat penduduk.5
3. Faktor Predisposisi
Faktor-faktor pencetus terjadinya Pioderma, antara lain:
a. Higiene yang kurang;
b. Menurunnya daya tahan tubuh; misalnya karena kekurangan gizi, anemia, atau
penyakitpenyakit tertentu seperti penyakit kronis, neoplasma ganas, dan diabetes mellitus
c. Telah ada penyakit lain di kulit; karena terjadi kerusakan di epidermis, maka fungsi
kulit sebagai pelindung akan terganggu.4
4. Klasifikasi Impetigo
Terdapat dua bentuk dari impetigo, yaitu:
a)

Impetigo Krustosa (impetigo kantagiosa, impetigo vulgaris, impetigo TiliburyFox)


Impetigo krustosa, disebabkan biasanya oleh Streptococcus B hemolyticus.Tidak
disertai gejala umum, hanya terdapat pada anak.Tempat predileksi di muka, yakni sekitar
lubang hidung dan mulut karena dianggap sumber infeksi dan daerah tersebut. Kelainan
kulit berupa eritema dan vesikel yang cepat memecah sehingga jika pendenita datang
berobat yang terlihat ialah krusta tebal berwama kuning seperti madu. Jika krusta
dilepaskan akan tampak erosi dibawahnya, krusta sering menyebar ke penifer dan sembuh
di bagian tengah. Komplikasinya glomerulonefritis (2-5%), yang disebabkan oleh sero tipe
tertentu. Diagnosis bandingnya adalah Ektima. Pengobatan yang dipakai jika krusta sedikit,
lepaskan krusta dan diberi antibiotik. Jika krusta banyak, diberikan pengobatan antibiotik
sistemik.2,3

Gambar 1. Impetigo Krustosa

Gambar 2. Impetigo Krustosa


b) Impetigo bulosa (Impetigo vesiko-bulosa, cacar monyet)
Impetigo bulosa biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus, keadaan umum tidak
dipengaruhi, dengan predileksi di daerah ketiak, dada, punggung.Sering bersama-saina
miliaria, terdapat pada anak dan orang dewasa.Kelainan kulit berupa eritema, bula dan hula
hipopion.Kadang-kadang saat datang berobat, vesikel/bula sudah memecah sehingga yang
tampak hanyalah koleret dan dasamya masih eritematosa. Diagnosis banding dan impetigo
ini adalah dermatofitosis (jika sudah pecah dan tampak koleret).
Pada anamnesis hendaknya ditanyakan, apakah sebelumnya terdapat lepuh. Jika ada,
diagnosisnya adalah impetigo bullosa. Pengobatannya jika hanya terdapat beberapa vesikel
bula ditangani dengan cara memecahkan bula, lalu berikan salep antibiotik atau cairan
antiseptik. Jika bula vesikel banyak maka berikan pula antibiotic sistemik.2,4

Gambar 3. Impetigo Bullosa


5. Patofisiologi Impetigo

Infeksi Staphylococcus aureus atau Group A Beta Hemolitik Streptococcus


dimana kita ketahui bakteri-bakteri tersebut dapat menyebabkan penyakit berkat
kemampuannya mengadakan pembelahan dan menyebar luas ke dalam jaringan dan
melalui produksi beberapa bahan ekstraseluler. Beberapa dari bahan tersebut adalah enzim
dan yang lain berupa toksin meskipun fungsinya adalah sebagai enzim. Staphylococcus
dapat menghasilkan katalase, koagulase, hyaluronidase, eksotoksin, lekosidin, toksin
eksfoliatif, toksik sindrom syok toksik, dan enterotoksin. Bakteri staph menghasilkan racun
yang dapat menyebabkan impetigo menyebar ke area lainnya. Toxin ini menyerang protein
yang membantu mengikat sel-sel kulit. Ketika protein ini rusak, bakteri akan sangat cepat
menyebar. Enzim yang dikeluarkan oleh Stap akan merusak struktur kulit dan adnya rasa
gatal dapat menyebabkan terbentuknya lesi pada kulit.
Rasa gatal dengan lesi awal berupa makula eritematosa berukuran 1-2 mm,
kemudian berubah menjadi bula atau vesikel. Pada Impetigo contagiosa Awalnya berupa
warna kemerahan pada kulit (makula) atau papul (penonjolan padat dengan diameter
<0,5cm) yang berukuran 2-5 mm. Lesi papul segera menjadi vesikel atau pustul (papula
yang berwarna keruh/mengandung nanah/pus) yang mudah pecah dan menjadi papul
dengan keropeng/koreng berwarna kunig madu dan lengket yang berukuran <2cm dengan
kemerahan minimal atau tidak ada kemerahan disekelilingnya, sekret seropurulen kuning
kecoklatan yang kemudian mengering membentuk krusta yang berlapis-lapis. Krusta
mudah dilepaskan, di bawah krusta terdapat daerah erosif yang mengeluarkan sekret,
sehingga krusta akan kembali menebal. Sering krusta menyebar ke perifer dan menyembuh
di bagian tengah. Kemudian pada Bullous impetigo bula yang timbul secara tiba tiba pada
kulit yang sehat dari plak (penonjolan datar di atas permukaan kulit) merah, berdiameter 15cm, pada daerah dalam dari alat gerak (daerah ekstensor), bervariasi dari miliar sampai
lentikular dengan dinding yang tebal, dapat bertahan selama 2 sampai 3 hari. Bila pecah,
dapat menimbulkan krusta yang berwarna coklat, datar dan tipis.2,4
6. GejalaKlinis
Impetigo dapat timbul sendiri (primer) atau komplikasi dan kelainan lain (sekunder)
baik penyakit kulit (gigitan binatang, vanisela, infeksi herpes simpleks, dermatitis atopi)
atau penyakit sistemik yang menurunkan kekebalan tubuh (diabetes melitus, HIV) 3.
6

a. Impetigo Bulosa
Vesikel (gelembung berisi cairan dengan diameter <0,5cm) yang timbul sampai bulla
(gelembung berisi cairan berdiameter >0,5cm) kurang dan 1 cm pada kulit yang utuh,
dengan kulit sekitar normal atau kemerahan. Pada awalnya vesikel berisi cairan yang
jernih yang berubah menjadi berwarna keruh
Atap dan bulla pecah dan meninggalkan gambaran collarette pada pinggirnya. Krusta
varnishlike terbentuk pada bagian tengah yang jika disingkirkan memperlihatkan dasar
yang merah dan basah
Bulla yang utuh jarang ditemukan karena sangat rapuh
Bila impetigo menyertai kelainan kulit lainnya maka, kelainan itu dapat menyertai
dermatitis atopi, vanisela, gigitan binatang dan lain-lain.
Lesi dapat lokal atau tersebar, seringkali di wajah atau tempat lain, sepertitempat yang
lembab, lipatan kulit, ketiak atau lipatan leher.
Tidak ada pembengkakan kelenjar getah bening di dekat lesi.
Pada bayi, lesi yang luas dapat disertai dengan gej ala demam, lemah, diare. Jarang sekali
disetai dengan radang pam, infeksi sendi atau tulang.4,2
b. Impetigo Krustosa

Awalnya berupa wama kemerahan pada kulit (makula) atau papul (penonjolan padat

dengan diameter <0,5cm) yang berukuran 2-5 mm.


Lesi papul segera menjadi menjadi vesikel atau pustul (papula yang berwarna
keruh/mengandung nanah/pus) yang mudah pecah dan menjadi papul dengan
keropeng/koreng berwarna kuning madu dan lengket yang berukuran <2cm dengan

kemerahan minimal atau tidak ada kemerahan disekelilingnya.


Lesi muncul pada kulit normal atau kulit yang kena trauma sebelumnya atau mengikuti
kelainan kulit sebelumnya (skabies, vasisela, dermatitis atopi) dan dapat menyebar

dengan cepat.
Lesi berada sekitar hidung, mulut dan daerah tubuh yang sering terbuka (tangan dan

kaki).
Kelenjar getah bening dapat menbesar dan dapat nyeri
Lesi juga menyebar ke daerah sekitar dengan sendirinya (autoinokulasi)
Jika dibiarkan tidak diobati maka lesi dapat menyebar terus karena tindakan din sendiri

(digaruk lalu tangan memegang tempat lain sehingga mengenai tempat lain).
Lalu dapat sembuh dengan sendininya dalarn beberapa minggu tanpajaringan parut.

Walaupun jarang, bengkak pada kaki dan tekanan darah tinggi dapat ditemukan pada
orang dengan impetigo krustosa sebagai tanda glomerulonefritis (radang pada ginjal)
akibat reaksi tubuh terhadap infeksioleh kuman Sfreptokokus penyebab impetigo.4,2

7. Diagnosis banding
Lupus eritematosa bullosa : lesi vesikel dan bula yang menyebar dapat gatal, seringkali

melibatkan bagian atas badan dan daerah lengan


Pemfigus bulosa : vesikel dan bula timbul cepat dan gatal menyeluruh, dengan plak

urtikaria
Herpes simplex : vesikel berkelompok dengan dasar kemerahan yang pecah menjadi lecet

dan tertutup krusta, biasanya pada bibir dan kulit


Pemfigus vulgaris : bulla yang tidak gatal, ukuran bervariasi dan 1 sampai beberapa
sentimeter,

muncul

bertahap

dan

menjadi

menyeluruh

penyembuhan

dengan

hiperpigmentasi (warna kulit yanglebih gelap dan sebeluinnya).


Varisela: vesikel pada dasar kemerahan bermula di badan dan menyebar ke tangan kaki
dan wajah; vesikel pecah dan membentuk krusta; -lesi terdapat pada beberapa tahap

(vesikel, krusta) pada saat yang sama.


Dermatitis atopi : keluhan gatal yang berulang atau berlangsung lama (kronik) dan kulit
yang kering; penebalan pada pada lipatan kulit terutama pada dewasa (likenifikasi); pada

anak seringkali melibatkan daerah wajah atau tangan bagian dalam.


Dermatitis kontak: gatal pada daerah sensitif yang kontak dengan zat-zat yang

mengiritasi.
Ektima: lesi berkrusta yang menutupi daerah ulkus (luka dengan dasar dan dinding) dapat
menetap selama beberapa minggu dan sembuh dengan jaringan parut bila infeksi sampai
jaringan kulit dalam (dermis).1,4,5

8. Pemeriksaan Penunjang
Pada keadaan khusus, dimana diagnosis impetigo masih diragukan, atau pada suatu
daerah dimana impetigo sedang mewabah, atau pada kasus yang kurang berespons
terhadap pengobatan, maka diperlukan pemeriksaan-pemeniksaan sebagai berikut:
1) Pemeriksaan Laboratorium
Pewarnaan gram. Pada pemeriksaan ini akan mengungkapkan adanya neutropil
dengan kuman coccus gram positif berbentuk rantai atau kelompok.
Kultur cairan. Pada pemeriksaan mi umuinnya akan mengungkapkan adanya
Streptococcus. aureus, atau kombinasi antara Streptococcus pyogenes dengan
8

Streptococcus beta hemolyticus grup A (GABHS), atau kadang-kadang dapat berdiri


sendiri.
2) Pemeriksaan Lain:
Titer anti-streptolysin-O (ASO), mungkin akan menunjukkan hasil positif lemah untuk
streptococcus, tetapi pemeriksaan ini jarang dilakukan. Streptozyme, menunjukkan

hasil positif untuk Streptococcus, tetapi pemeriksaan ini jarang dilakukan.


Pemeriksaan kultur dan sensitifitas bakteri

9. Terapi
Tujuan pengobatan impetigo adalah menghilangkan rasa tidak nyaman dan
memperbaiki kosmetik dan lesi impetigo, mencegah penyebaran infeksi ke orang lain dan
mencegah kekambuhan
a. Penatalaksanaan Farmakologis
Syarat pengobatan yang baik adalah pengobatan harus efektif, tidak mahal dan
memiliki sedikit efek samping. Antibiotik topikal (lokal) menguntungkan karena hanya
diberikan pada kulit yang teriafeksi sehingga meminimalkan efek samping. Kadangkala
antibiotik topikal dapat menyebabkan reaksi sensitifitas pasa kulit orang-orang tertentu.
Pada lesi yang terlokalisir maka pemberian antibiotik topilcal diutamakan. Karena
antibiotilc topikal sama efektiffiya dengan antibiotik oral. Pilihan antibiotik topikal adalah
mupirocin 2% atau asam fusidat. Antibiotilc oral disimpan untuk kasus dimana pasien
sensitif terhadap antibiotik topikal, lesi lebih luas atau dengan penyakit penyerta yang
berat.Penggunaan disinfektan topikal tidak direkomendasikan dalam pengobatan
impetigo.Obat topikal yang diberikan mupirocin 2% diberikan di kulit yang terinfeksi 3x
sehari selania tiga sampai lima hari. Antibiotik oral yang dapat diberikan adalah
Amoxicillin

dengan

asam

kiavulanat;

cefuroxime;cephalexin;

dieloxacillin;

atauenitromiein selama 10 hari.


10. Komplikasi
Impetigo biasanya sembuh tanpa penyulit dalam dua minggu walaupun tidak diobati.
kmplikasi berupa radang ginjal pasca infeksi Streptokokus terjadi pada 1-5% pasien
terutama isia 2-6 tahun dan hal ini tidak dipengaruhi oleh pengobatan antibiotik. Gejala

berupa bengkak tekanan darah tinggi, terdapat urin seperti warna teh. Keadaan ini
umumnya sembuh secara spontan walaupun gejala-gejala tadi muncul.2
11. Pencegahan
Kebersihan sederhana dan perhatian dapat mencegah timbulnya impetigo
Seseorang

yang

sudah

terkena

impetigo

atau

gejala-gejala

rnfeksi/peradangan

Streptococcus beta hemolyticus grup A (GABHS) membuthkan perawatan medik dan jika
perlu dimulai dengan ,pemberian antibiotik secepat mungkin untuk mencegah
menyebamya infeksi ke orang lain. Penderita impetigo harus diisolasi, dan dicegah agar
tidak terjadi kontak dengan orang lain minimal dalam 24 jam setelah pemberian antibiotik.
Adapun pencegahan yang harus di lakukan yaitu :

Cuci tangan segera dengan menggunakan air mengalir bila habis kontak dengan

pasien, terutama apabila terkena luka.


Jangan menggunakan pakaian yang sama dengan penderita
Bersihkan dan lakukan desinfektan pada mainan yang mungkin bisa menularkan

pada orang lain, setelah digunakan pasien


Mandi teratur dengan sabun dan air (sabun antiseptik dapat digunakan, namun

dapat mengiritasi pada sebagian kulit orang yang kulit sensitif)


Higiene yang baik, mencakup cuci tangan teratur, menjaga kuku jari tetap pendek

dan bersih
Jauhkan diri dari orang dengan impetigo
Cuci pakaian, handuk dan sprei dari anak dengan impetigo terpisah dari yang
lainnya. Cuci dengan air panas dan keringkan di bawah sinar matahari atau

pengering yang panas. Mainan yang dipakai dapat dicuci dengan disinfektan.
Gunakan sarung tangan saat mengoleskan antibiotik topikal di tempat yang
terinfeksi dan cuci tangan setelah itu.3,4

12. Prognosis
Secara umum prognosis dari penyakit ini adalah baik jika dilakukan pengobatan
yang teratur, meskipun dapat pula komplikasi sistemik seperti glomerulonefritis dan lainlain. Lesi mengalami perbaikan setelah 7-10 hari pengobatan.2,4
C. Folikulitis
1. Definisi

10

Folikulitis adalah radang follikel rambut yang disebabkan Staphylococcus aureus.


Biasanya dijumpai di daerah dimana adanya follikel rambut. Kelainanya berupa pustul
dan papul yang eritematosa dan ditenganhnya terdapat rambut yang biasanya multiple.1
Radang folikel rambut, terutama disebabkan oleh S.aureus. Terdapat dua jenis
yaitu folikulitis superfisialis yaitu bila lesi hanya sampai di epidermis dan folikulitis
profunda bila lesi mencapai dermis.6

Gambar 4. Folikulitis
2. Epidemiologi
Folikulitis dapat mengenai semua umur, tetapi lebih sering di jumpai pada anak
anak dan folikulitis juga tidak di pengaruhi oleh jenis kelamin. Jadi pria dan wanita
memiliki angka resiko yang sama untuk terkena folikulitis, dan folkulitis lebih sering
timbul pada daerah panas atau beriklim tropis.7
3. Patofisiologi
Setiap rambut tumbuh dari folikel, yang merupakan suatu kantung kecil di
bawahkulit. Selain menutupi seluruh kulit kepala, folikel juga terdapat pada seluruh
tubuh kecuali pada telapak tangan, telapak kaki dan membrane mukosa bibir.
Folikulitis bisadi sebabkan oleh karena minyak ataupun pelumas dan keringat
berlebihan yangmenutupi dan menyumbat saluran folikel rambut. Bisa juga di
sebabkan oleh gesekansaat bercukur atau gesekan pakaian pada folikel rambut maupun
trauma atau luka padakulit. Hal ini merupakan port de entry dari berbagai
mikroorganisme terutama staphylococcus aureus sebagai penyebab folikulitis.
Kebersihan yang kurang dan higiene yang buruk menjadi faktor pemicu dari timbulnya
folikulitis, sedangkan keadaan lelah, kurang gizi dan diabetes melitus merupan faktor
yang mempercepat atau memperberat folikulitis ini.7
4. Klasifikasi
Berdasarkan lokasinya dalam jaringan, kulit folikulitis folikulitis terbagi atas 2
jenis yaitu :
Folikulitis superfisialis
11

Folikulitis Superfisialis adalah radang folikel rambut dengan pustul berdinding

tipis pada orifisium folikel yang terbatas pada epidermis.


Folikulitis Profunda
Folikulitis Profunda adalah radang folikel rambut dengan pustul perifolikular
kronik yang di tandai dengan adanya papul, pustul dan sering terjadirekurensi,
merupakan folikulitis piogenik dengn infeksi yang meluas kedalam folikel rambut
sampai subkutan.7

5. Gejala Klinis
Secara umum folikulitis menimmbulkan rasa gatal seperti terbakar pada daerah
rambut. Gejala konstitusional yang sedang juga dapat muncul pada folikulitis seperti
badan panas, malaise dan mual. Pada folikulitis superfisialis gambaran klinisnya
ditandai dengan timbulnya rasa gatal dan agak nyeri, tetapi biasanya tidak terlalu
menyakitkan hanya seperti gigitan serangga, tergores atau akibat garukan dan
traumakulit lainnya. Kelainan di kulitnya dapat berupa papul atau pustul yang
erimatosa dan di tengahnya terdapat rambut dan biasanya multiple serta adanya krusta
di sekitar daerah inflamasi. Tempat predileksi biasanya pada tungkai bawah. Folikulitis
superfisialis ini dapat sembuh sendiri setelah beberapa hari tanpa meninggalkan
jaringan parut. Pada folikulitis profunda gambaran klinisnya hampir sama
sepertifolikulitis superfisialis. Folikulitis profunda ini terasa sangat gatal yang di sertai
rasa terbakar serta teraba infiltrat di subkutan yang akhirnya dapat meninggalkan
jaringan parut apabila taelah sembuh.7
6. Diagnosis
Diagnosa di tegakkan berdasarkan anamnesa, gambaran klinis, pemeriksaan
bakteriologis dari sekret lesi dan kalau mendukung bisa dilakukan pemeriksaan
histopatologi. Pada pemeriksaan histopatologi pada folikel rambut tampak edematosa
dengan sebukan sel radang.7
7. Diagnosis Banding
Diagnosa banding dari folikulitis adalah :
Tinea Barbae.
Acne Vulgaris.
Kertosis Piliaris
8. Pentalaksanaan
Folikulitis kadang dapat sembuh sendiri setelah dua atau tiga hari, tetapi pada
beberapa kasus yang persisten dan rekuren perlu penanganan.
12

1. Umum
Cukup dengan menjaga kebersihan diri terutama kulit, menghindari garukandan
faktor pencetus seperti gesekan pakaian atau mencukur dan luka atautrauma.2.
Khusus, terbagi 2 yaitu secara tropikal dan secara sistemik.
Topikal, dapat di berikan antibiotik misalnya :
Kemicetin salap 2 %
Kompres PK 1/ 5000 solusio sodium chloride 0,9 %( jika ada eksudasi)
Salep natrium fusidat.
Sistemik, dapat diberikan :
Antibiotik (umumnya di berikan 710 hari) misalnya :
Penisilin dan semisintetiknya.
a. Penisilin G prokain injeksi 0,6 1,2 juta IU, IM selama 7 14 hari, 1 2 kali/
hari.
b. Ampisilin 250500 mg/ dosis, 4 kali/ haric. Amoksisilin, 250500 mg/ dosis,
3 kali/ harid.
c. Kloksasilin ( untuk staphylococcus yang kebal penisilin),dosis 250-500 mg, 4
kali / hari.
d. Dikloksasilin ( untuk staphylococcus yang kebalpenisilin), dosis 125 250
mg, 3 -4 kali/ hari.
Eritromisin 250 500 mg 34 kali/ hari(dewasa) dan 12,5 25mg/kbBB/ dosis
3 4 kali/ hari(anak).
Klindamisin 150 300 mg 3 4 kali/ hari (dewasa) dan 820mg/ kgBB/ dosis
3- 4 ksli/ hsri(anak).
Penggunaan antiseptik dapat di berikan sebagai terapi tambahan (misalnya :
Chlorhexidine) tetapi jangan di gunakan tanpa pemberian antibiotik sistemik.
Dianjurkan pemberian antibiotik sistemik dengan harapan dapat mencegah terjadinya
infeksi kronik.7
9. Prognosa
Prognosa penyakit folikulitis ini adalah Baik.
D. Furunkel, karbunkel
1. Definisi
Furunkel adalah peradangan pada folikel rambut dan jaringan subkutan
sekitarnya. Furunkel dapat terbentuk pada lebih dari satu tempat. Jika lebih dari satu
tempat disebut furunkulosis. Furunkulosis dapat disebabkan oleh berbagai faktor antara
lain akibat iritasi, kebersihan yang kurang, dan daya tahan tubuh yang kurang. Infeksi
13

dimulai dengan adanya peradangan pada folikel rambut dikulit (folikulitis), kemudian
menyebar kejaringan sekitarnya. Furunkel dapat disebut juga sebagai bisul.8
Karbunkel adalah satu kelompok beberapa folikel rambut yang terinfeksi oleh
Staphylococcus aureus, yang disertai oleh keradangan daerah sekitarnya dan juga
jaringan dibawahnya termasuk lemak bawah kulit.8

Gambar 5. Furunkel

Gambar 6. Karbunkel
2. Epidemiologi
Penyakit ini memiliki insidensi yang rendah. Belum terdapat data spesifik yang
menunjukkan prevalensi furunkel. Furunkel umumnya terjadi pada anak-anak, remaja
sampai dewasa muda frekuensi terjadinya antara pria dan wanita.8
3. Etiologi
Permukaan kulit normal atau sehat dapat dirusak oleh karena iritasi,tekanan,
gesekan, hiperhidrosis, dermatitis, dermatofitosis, dan beberapa factor yang lain,
sehingga kerusakan dari kulit tersebut dipakai sebagai jalan masuknya Staphylococcus
aureus maupun bakteri penyebab lainnya. Penularannya dapat melalui kontak atau auto
inokulasi dari lesi penderita. Furunkulosis dapat menjadi kelainan sistemik karena
faktor predisposisi antara lain, alcohol, malnutrisi,diskrasia darah, iatrogenic atau
keadaan imunosupresi termasuk AIDS dan diabetes mellitus.

14

4. Patogenesis
Kulit memiliki flora normal, salah satunya S.aureus yang merupakan floraresiden
pada permukaan kulit dan kadang-kadang pada tenggorokan dan saluran hidung.
Predileksi terbesar penyakit ini pada wajah, leher, ketiak, pantat atau paha. Bakteri
tersebut masuk melalui luka, goresan, robekan dan iritasi pada kulit.Selanjutnya,
bakteri tersebut berkolonisasi di jaringan kulit. Respon primer host terhadap infeksi
S.aureus adalah pengerahan sel PMN ke tempat masuk kuman tersebut untuk melawan
infeksi yang terjadi. Sel PMN ini ditarik ke tempat infeksi oleh komponen bakteri
seperti formylated peptides atau peptidoglikan dan sitokin TNF (tumor necrosis factor)
dan interleukin (IL) 1 dan 6 yang dikeluarkan oleh sel endotel dan makrofag yang
teraktivasi. Hal tersebut menimbulkan inflamasi dan pada akhirnya membentuk pus
yang terdiri dari sel darah putih, bakteri dan sel kulit yang mati.
Didapatkan keluhan utama dan keluhan tambahan pada perjalanan dari penyakit
furunkel. Lesi mula-mula berupa infiltrat kecil, dalam waktu singkat. membesar
kemudian membentuk nodula eritematosa berbentuk kerucut. Kemudian pada tempat
rambut keluar tampak bintik-bintik putih sebagai mata bisul. Nodus tadi akan melunak
(supurasi) menjadi abses yang akan memecah melalui lokus minoris resistensi yaitu di
muara folikel, sehingga rambut menjadi rontok atau terlepas. Jaringan nekrotik keluar
sebagai pus dan terbentuk fistel. Karena adanya mikrolesi baik karena garukan atau
gesekan baju, maka kuman masuk ke dalam kulit. Beberapa faktor eksogen yang
mempengaruhi timbulnya furunkel yaitu, musim panas (karena produksi keringat
berlebih), kebersihan dan hygiene yang kurang, lingkungan yang kurang bersih.
Sedangkan faktor endogen yang mempengaruhi timbulnya furunkel yaitu, diabetes,
obesitas, hiperhidrosis,anemia, dan stres emosional.

Gambar 7. Klasifikasi dari infeksi bakterial pada folikel rambut

15

5. Gejala Klinis
Mula-mula nodul kecil yang mengalami keradangan pada folikel rambut,
kemudian menjadi pustule dan mengalami nekrosis dan menyembuh setelah pus keluar
dengan meninggalkan sikatriks. Awal juga dapat berupa macula.eritematosa lentikular
setempat, kemudian menjadi nodula lentikular setempat,kemudian menjadi nodula
lentikuler-numular berbentuk kerucut. Nyeri terjadi terutama pada furunkel yang akut,
besar, dan lokasinya dihidung dan lubang telinga luar. Bisa timbul gejala kostitusional
yang sedang,seperti panas badan, malaise, mual. Furunkel dapat timbul di banyak
tempat dan dapat sering kambuh. Predileksi dari furunkel yaitu pada muka, leher,
lengan,pergelangan tangan, jari-jari tangan, pantat, dan daerah anogenital.
6. Diagnosa
Diagnosa dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan klinis,pemeriksaan
bakteriologi dari sekret.
a. Anamnesa
Penderita datang dengan keluhan terdapat nodul yang nyeri. Ukuran nodul
tersebut meningkat dalam beberapa hari. Beberapa pasien mengeluh demam dan
malaise.
b. Pemeriksaan Fisik Terdapat nodul berwarna merah, hangat dan berisi pus.
Supurasi terjadisetelah kira-kira 5-7 hari dan pus dikeluarkan melalui saluran
keluar tunggal (single follicular orifices). Furunkel yang pecah dan kering
kemudian membentuk lubang yang kuning keabuan ireguler pada bagian tengah
dan sembuh perlahandengan granulasi.
c. Pemeriksaan Penunjang Furunkel biasanya

menunjukkan

leukositosis.

Pemeriksaan histologis dari furunkel menunjukkan proses inflamasi dengan PMN


yang banyak di dermis dan lemak subkutan. Diagnosis dapat ditegakkan
berdasarkan gambaran klinis yang dikonfirmasi dengan pewarnaan gram dan
kultur bakteri. Pewarnaan gram S.aureus akan menunjukkan sekelompok kokus
berwarna ungu (gram positif) bergerombol seperti anggur, dan tidak bergerak.
Kultur pada medium agar MSA(Manitot Salt Agar) selektif untuk S.aureus.
Bakteri ini dapat memfermentasikan manitol sehingga terjadi perubahan medium
agar dari warna merah menjadi kuning. Kultur S. aureus pada agar darah
menghasilkan koloni bakteri yang lebar (6-8 mm), permukaan halus, sedikit

16

cembung, dan warna kuning keemasan. Uji sensitivitas antibiotik diperlukan


untuk penggunaan antibiotik secara tepat.

Gambar 8. Gambaran Mikroskopik S.aureus dengan Pengecatan Gram


Gambar 9. Hasil Kultur S.aureus dalam Medium Agar Darah dan Hasil Kultur S.

aureus dalam Medium MSA.


7. Diagnosa Banding
a. Kista Epidermal
Diagnosa banding yang paling utama dari furunkel adalah kista epidermalyang
mengalami inflamasi. Kista epidermal yang mengalami inflamasi dapatdengan
tiba-tiba menjadi merah, nyeri tekan dan ukurannya bertambah dalam satuatau
beberapa

hari

sehingga

dapat

menjadi

diagnosa

banding

furunkel.

Diagnosabanding ini dapat disingkirkan berdasarkan terdapatnya riwayat kista


sebelumnya pada tempat yang sama, terdapatnya orificium kista yang terlihat
jelas dan penekanan lesi tersebut akan mengeluarkan masa seperti keju yang
berbau tidak sedap sedangkan pada furunkel mengeluarkan material purulen.
b. Hidradenitis Suppurativa

17

Hidradenitis suppurativa (apokrinitis) sering membuat salah diagnosis furunkel.


Berbeda dengan furunkel, penyakit ini ditandai oleh abses steril dan sering
berulang. Selain itu, daerah predileksinya berbeda dengan furunkel yaitu pada
aksila, lipat paha, pantat atau dibawah payudara. Adanya jaringan parut yanglama,
adanya saluran sinus serta kultur bakteri yang negatif memastikan diagnosis
penyakit ini dan juga membedakannya dengan furunkel.
c. Sporotrikosis Merupakan kelainan jamur sistemik, timbul benjolan-benjolan yang
berjejer sesuai dengan aliran limfe, pada perabaan terasa kenyal dan terdapat
nyeritekan.
d. Blastomikosis
Didapatkan benjolan multipel dengan beberapa pustula, daerah sekitarnya
melunak.
e. Skrofuloderma
Biasanya berbentuk lonjong, livid, dan ditemukan jembatan-jembatan kulit (skin
bridges).
8. Penatalaksanaan
Pada furunkel di bibir atas pipi dan karbunkel pada orang tua sebaiknyadirawat
inapkan. Pengobatan topikal, bila lesi masih basah atau kotor dikompresdengan solusio
sodium chloride 0,9%. Bila lesi telah bersih, diberi salep natrium fusidat atau
framycetine sulfat kassa steril.Antibiotik sistemik mempercepat resolusi penyembuhan
dan wajibdiberikan pada seseorang yang beresiko mengalami bakteremia. Antibiotik
diberikan selama tujuh sampai sepuluh hari. Lebih baiknya, antibiotik diberikansesuai
dengan hasil kultur bakteri terhadap sensitivitas antibiotik.
Bila infeksi berasal dari methicillin resistent Streptococcus aureus (MRSA) dapat
diberikan vankomisin sebesar 1 gram tiap 12 jam. Pilihan lain adalahtetrasiklin, namun
obat ini berbahaya untuk anak-anak. Terapi pilihan untuk golongan penicilinaseresistant penicillin adalah dicloxacilin Pada penderita yangalergi terhadap penisilin
dapat dipilih golongan eritromisin. Pada orang yangalergi terhadap -lactam antibiotic
dapat diberikan vancomisin. Tindakan insisi dapat dilakukan apabila telah terjadi
supurasi. Higienekulit harus ditingkatkan. Jika masih berupa infiltrat, pengobatan
topikal dapatdiberikan kompres salep iktiol 5% atau salep antibotik. Adanya penyakit
yang mendasari seperti diabetes mellitus, harus dilakukan pengobatan yang tepat
danadekuat untuk mencegah terjadinya rekurensi. Terapi anti mikrobial harus

18

dilanjutkan sampai semua bukti inflamasi berkurang. Lesi yang di drainase harus
ditutupi untuk mencegah autoinokulasi. Pasien dengan furunkel yang berulang
memerlukan evaluasi dan penanganan lebih komplek.
9. Prognosis
Prognosis baik sepanjang faktor penyebab dapat dihilangkan, dan prognosis
menjadi kurang baik apabila terjadi rekurensi. Umumnya pasienmengalami resolusi,
setelah mendapatkan terapi yang tepat dan adekuat. Beberapapasien mengalami
komplikasi bakteremia dan bermetastasis ke organ lain.Beberapa pasien mengalami
rekurensi, terutama pada penderita dengan penurunan kekebalan tubuh.
E. Eritrasma
1. Definisi
Eritrasma ialah penyakit bakteri kronik pada stratum korneum yang disebabkan
oleh Corynebacterium minitussismum ditandai dengan adanya lesi berupa eritema dan
skuama halus terutama di daerah ketiak dan lipat paha.

Gambar 10. Eritrasma


2. Etiologi
Seperti yang telah disebutkan di atas etiologi dari penyakit ini adalah
Corynebacterium minitussismum Bakteri ini adalah bakteri gram positif (difteroid)
Bakteri ini tidak membentuk spora dan merupakan basil yang bersifat aerob atau
anaerob yang fakultatif. Corynebacterium minitussismum merupakan flora normal di
kulit yang dapat menyebabkan infeksi epidermal superfisial pada keadaan-keadaan
tertentu.
3. Gejala Klinis

19

Lesi

kulit

dapat

berukuran

sebesar

miliar

sampai

plakat.

Lesi

eritoskuamosa, berskuama halus kadang-kadang dapat terlihat merah kecoklatcoklatan.Variasi

ini

rupanya

bergantung

pada

area

lesi

dan

warna

kulit

penderita. Tempat predileksi dimulai dari tempat yang paling sering, yakni toe
webspaces (diantara jari kaki), lipat paha, aksila. Selain itu, juga bisa ditemukan di
daerah

intertriginosa

lain

(terutama

pada

penderita

gemuk),intergluteal,

inframamary ( submammary).
Lesi didaerah lipat paha dapat menunjukkan gejala berupa gatal dan terasa
terbakar .Sedangkan lesi pada tempat lain asimtomatik. Perluasan lesi terlihat pada
pinggir yang eritematosa dan serpiginosa. Lesi tidak menimbulkan dan tidak terlihat
vesikulasi.Skuama kering yang halus menutupi lesi dan pada perabaan terasa
berlemak . Beberapa penulis beranggapan ada hubungan erat antara eritrasma dan
diabetes melitus. Penyakit ini terutama menyerang pria dewasa dan dianggap tidak
begitu menular, berdasarkan observasi pada pasangan suami istri yang biasanya tidak
terserang penyakit tersebut secara bersama-sama. Eritrasma tidak menimbulkan
keluhan subyektif, kecuali bila terjadi ekzematisasi oleh karena penderita berkeringat
banyak atau terjadi maserasi pada kulit.
4. Diagnosis
Pemeriksaan terdiri atas pemeriksaan dengan lampu Wood dan sediaan langsung.
Pada pemeriksaan dengan lampu Wood, lesi terlihat berfluoresensi merah membara
(coral-red). Fluoresensi ini terlihat karena adanya porfirin. Pencucian atau pembersihan
daerah lesi sebelum diperiksa akan mengakibatkan hilangnya fluoresensi. Bahan untuk
sediaan langsung dengan cara mengerok. Lesi dikerok dengan skalpeltumpul atau
pinggir gelas obyek. Bahan kerokan kulit ditambah satu tetes eter, dibiarkan menguap.
Bahan tersebut yang lemaknya sudah dilarutkan dan kering ditambah birumetilen atau
biru laktofenol, ditutup dnegan gelas penutup dan dilihat di bawah mikroskopdengan
pembesaran 10x100. Bila sudah ditambah biru laktofenol, susunan benang halus belum
terlihat nyata, sediaan dapat dipanaskan sebentar di atas api kecil dan gelas penutup
ditekan, sehingga preparat menjadi tipis. Organisme terlihat sebagai batang pendek
halus, bercabang, berdiameter 1u atau kurang, yang muda putus sebagai bentuk basil

20

kecil atau difteroid .Pemeriksaan harus teliti untuk melihat bentuk terakhir ini. Kultur
biasanya tidak diperlukan.
5. Diagnosis banding
Kelainan kulit

kronik,

non-inflamasi

pada

daerah

intertriginosa,

yang

berwarnamerah kecoklatan,dilapisi skuama halus merupakan tanda eritrasma.


Pemeriksaan dengan lampu Wood dan sediaan langsung KOH dapat menentukan
diagnosis. Pitiriasis versicolor biasanya tidak terbatas pada daerah intertriginosa.
Pemeriksaan dengan lampu Wood dan sediaan langsung dapat membedakan kedua
penyakit tersebut.Tinea kruris dan dermatitis seboroik, maupun dermatitis kontak lebih
nyata tanda radangnya, apalagi bila terlihat vesikulasi.
6. Penatalaksanaan
Eritromisin merupakan obat pilihan. Satu gram sehari (4x250mg) untuk 2-3
minggu. Obat topikal, misalnya salap tetrasiklin 3% juga bermanfaat. Demikian pula
obat antijamur yang baru yang berspektrum luas. Hanya pengobatan topikal
memerlukan lebih ketekunandan kepatuhan penderita.
7. Prognosis
Prognosis cukup baik, bila semua lesi diobati dengan tekun dan menyeluruh.
F. Erisipelas
1. Definisi
Erisipelas adalah suatu jenis selulitis kutaneus superfisial yang ditandai dengan
keterlibatan pembuluh limfatik pada kulit. Ia disebabkan oleh bakteri S treptococcus bhemolytic grup A dan jarang disebabkan oleh S. aureus. Pada bayi yang baru lahir,
bakteri S treptococcus b-hemolytic grup B bisa menyebabkan erisipelas. Limfaedema,
vena stasis,dan obesitas merupakan faktor resiko pada pasien dewasa.
2. Etiologi
Erisipelas pada orang dewasa biasanya disebabkan oleh bakteri Streptococcus bhemolytic grup A, Staphylococcus aureus, dan gabungan bakteri anaerobik
fakultatif,bakteri gram positif dan bakteri gram negatif seperti Clostridia. Erisipelas
jarangdisebabkan oleh Streptococcus grup C dan G. Bakteri S treptococcus B
hemolytic grup Bbisa menginfeksi bayi baru lahir yang biasanya disebabkan oleh
penyakit erisipelasabdomen atau perianal pada wanita setelah baru melahirkan.
21

3. Patogenesis
Pada awalnya, erisepelas terjadi akibat inokulasi bakteri pada daerah trauma pada
kulit. Selain itu, faktor lokal seperti insufisiensi vena, ulkus, peradangan pada
kulit,infeksi dermatofita, gigitan serangga dan operasi bisa menjadi port of the entry
penyakit ini. Bakteri streptokokus merupakan penyebab umum terjadinya erisipelas.
Infeksi pada wajah biasanya disebabkan oleh bakteri streptokokus grup A, sedangkan
infeksi pada kaki disebabkan oleh bakteri streptokokus non-grup A. Bakteri ini
menghasilkan toksin sehingga menimbulkan reaksi inflamasi pada kulit yang ditandai
dengan bercak berwarna merah cerah, plak edematous dan bulla.
Erisipelas pada wajah berawal dari bercak merah unilateral dan kemudian terusmenerus menyebar melewati hidung sampai ke sisisebelahnya sehingga menjadi
simetris. Nasofaring mungkin menjadi port of the entry erisipelas pada wajah bila
disertai dengan riwayat streptokokal faringitis. Pada erisipelasdi daerah extremitas
inferior, pasien mengeluh adanya pembesaran kelenjar limfatik femoral dan disertai
demam.
4. Gejala klinis
Terdapat gejala-gejala konstitusi seperti: demam, malaise, flu, menggigil, nyeri
kepala, muntah dan nyeri sendi. Kelainan kulit yang utama adalah eritema
yangberwarna merah cerah, berbatas tegas dan pinggirnya meninggi dengan tanda
radang akut.Dapat disertai edema, vesikel dan bulla dan terdapat leukositosis. Lesi
pada kulit bervariasi dari permukaan yang bersisik halus sampai ke inflamasi berat
yang disertai vesikel dan bulla. Erupsi lesi berawal dari satu titik dan dapat menyebar
ke area sekitarnya. Pada tahap awal, kulit tampak kemerahan, panas, terasasakit dan
bengkak. Kemudian kemerahan berbatas tegas dengan bagian tepi meninggi yang dapat
dirasakan saat di palpasi dengan jari. Pada beberapa kasus, vesikel dan bulla berisi
cairan

seropurulen.

Pembengkakan

nodus

limfe

di

sekitar

infeksi

sering

ditemukan.Bagian yang paling sering terkena adalah kaki dan wajah. Pada kaki, sering
ditemukanedema dan lesi bulla. Biasanya inflamasi pada wajah bermula dari pipi dekat
hidung ataudi depan cuping telinga dan kemudian menyebar ke kulit kepala. Infeksi
biasanya terjadibilateral dan ia jarang disebabkan oleh trauma.
5. Diagnosis
22


Anamnesis
Keluhanan utama :
bercak kemerah-merahan pada kulit wajah dan/atau kakidisertai rasa nyeri.
Keluhan lain :
bercak eritem pada daerah wajah, awalnya unilateral lama-kelamaan menjadi bilateral
atau diawali dengan bercak eritem di tungkai bawah yang sebelumnya dirasakan nyeri
di area lipatan paha. Disertai gejala-gejala konstritusi seperti demam, malaise, flu,
menggigil, sakit kepala, muntahdan nyeri sendi.
Riwayat penyakit :
faringitis, ulkus kronis pada kaki, infeksi akibat penjepitantali pusat yang tidak steril
pada bayi
Riwayat pengobatan :
pernah dioperasi
Faktor resiko :
vena statis, obesitas, limfaedemab.

Pemeriksaan fisis
Inspeksi :
bercak merah bilateral pada pada pipi dan kaki, bekas garukan danabrasi, bekas luka,
dan pembesaran kelenjar limfatik femoral.
Effloresensi :
eritema yang berwarna merah cerah, berbatas tegas danpinggirnya meninggi. Sering
disertai udem, vesikel dan bulla yang berisicairan seropurulen.

Pemeriksaan penunjang
Bakteri dapat di indentifikasi melalui pemeriksaan biopsi kulit dan kultur.
Spesimen untuk kultur bisa diambil dari apusan tenggorokan, darah dan cairan
seropurulen pada lesi. Pada pemeriksaan darah rutin menunjukkan adanya
polimorfonuklear leukositosis, meningkatnya laju endap darah (LED) dan juga
meningkatnya C-reaktif protein.

23

Gambar 11. Erisipelas. Bercak kemarahan pada tungkai bawah yang disertai rasa
nyeri yang batas tegas.
6. Diagnosis Banding
Selulitis
Terjadi pada lapisan dermis dan subkutan. Etiologi paling sering disebabkan oleh S.
pyogens, S.aureusdan GAS. Selain itu, bakteri streptokokus grupB juga bisa
menyerang bayi dan bakteri basil gram negatif bisa menyerang orang dengan
tingkat imun yang rendah. Tinea pedis biasanya menjadi port of the entry infeksi
penyakit ini. Selulitis mempunyai gejala yang sama dengan erisipelas yaitueritema
dan sakit, tetapi dapat dibedakan dengan batas lesi yang tidak tegas, terjadi
dilapisan yang lebih dalam, permukaan lebih keras dan ada krepitasi saat
dipalpasi.Selulitis dapat berkembang menjadi bulla dan nekrosis sehingga
mengakibatkan penggelupasan dan erosi lapisan epidermal yang luas.

Gambar 12. Selulitis pada ekstremitas bawah disertai bengkak, melepuh dan
berkrusta
Dermatitis Kontak Alergi
Dermatitis kontak alergi merupakan presentasi dari respon hipersensitivitas type IV
terhadap lebih 3700 jenis zat kimia eksogen. Gejala gejala klinis akan muncul
segera setelah terekspos oleh alergen. Fase akut ditandai dengan eritema,permukaan
menonjol dan plak bersisik. Penderita dermatitis kontak alergi biasanya dalam
keadaan normal dan tidak ditemukan tanda-tanda patologis pada pemeriksaan lab.
7. Penatalaksanaan
Pada erisipelas di daerah kaki, istirahatkan tungkai bawah dan kaki yang diserang
ditinggikan. Pengobatan sistemik ialah antibiotik, topikal diberikan kompres terbuka
dengan larutan antiseptik.

24

Penicilline
merupakan obat antibiotik pilihan utama dan memberikan responsangat bagus untuk
penyembuhan erisipelas. Pemberian obat harus disesuaikan dengan kondisi
penyakitnya :
a. Infeksi sedang
Procaine penicillin (penicillin G) 600,00 IU i.m 1-2x setiap hari
Penicillin V 250 mg p.o 4-6x setiap hari
Jika suspek terjadi infeksi staphylococcus, berikan dicloxacillin 500-1000 mg

p.o
Jika pasien alergi Penicillin, berikan erythromycin 500 mg p.o atau clindamycin
150 300 mg p.o

b. Infeksi berat
Rawat inap, lakukan kultur dan tes sensitivitas, konsultasi penyakit infeksi
Penicillin G 10,000,000 IU i.v
Jika suspek terjadi infeksi staphylococcus, berikan nafcillin 500-1000 mg i.v atau
flucloxacillin 1 g i.v
Jika pasien alergi penicillin, berikan vancomycin 1.0-1.5 g i.v setiap hari
Obat Topikal:
o Kompres dengan Sodium Chloride 0,9 %.
o Salep atau krim antibiotika, misalnya: Natrium Fusidat, Mupirocin,
Garamycin,Gentamycin.

8. Prognosis
Prognosis pasien erisipelas adalah bagus. Komplikasi dari infeksi tidak
menyebabkan kematian dan kebanyakan kasus infeksi dapat diatasi dengan
terapiantibiotik. Bagaimanapun, infeksi ini masih sering kambuh pada pasien yang
memilikifaktor predisposisi. Jika tidak diobati akan ia menjalar ke sekitarnya terutama
keproksimal. Kalau sering residif di tempat yang sama, dapat terjadi elephantiasis.
G. Skrofuloderma
1. Definisi
Skrofuloderma atau yang dikenal sebagai Tuberculosis colliquativa cutis adalah
tuberkulosis subkutan yang mengarah pada pembentukan abses dingin dan kehancuran
sekunder dari kulit di atasnya. Hal ini terjadi akibat penjalaran langsung dari suatu organ
bawah kulit yang mengandung kuman tb dan meluas melalui dermis, contohnya
limfadenitis tb, tb tulang dan sendi, atau epididimitis tb.10

25

Gambar 13. Skrofuloderma: terdapat underlying limfadenopati tb servikal. Bentuk


karakteristik skar yang berlipat/berkerut.
2. Epidemiologi
Bakteri Mycobacterium tuberculosis hanya sekitar 5-10% infeksi menunjukkan
manifestasi klinis. Bakteri ini memiliki distribusi di seluruh dunia, lebih umum di daerah
dengan iklim dingin dan lembab, tetapi juga dapat terjadi di daerah tropis. Kini
skofuloderma palingsering terdapat pada anak-anak dan imigran dewasa dari negaranegara

berkembang. Konsumsi

susu

yang belum

dipasteurisasi dan mengandung

Mycobacterium bovis adalah penyebab umum terjadinya skrofuloderma di negara


berkembang. Prevalensinya lebih tinggi pada anak, remaja,dan orang tua.
3. Etiologi
Skrofuloderma diakibatkan

kuman tb yang

secara langsung menginvasi kulit

(ekstensi dari suatu fokus tuberkulosis ke jaringan luar sehingga menimbulkan kerusakan
jaringan kulit dan luka terbuka). Mycobacterium tuberculosis merupakan penyebab utama
dari skrofuloderma. Bakteri ini adalah bakteri aerobik, non motil, tahan terhadap asam
dan alkohol yang dibungkus oleh senyawa lipid kompleks sehingga membuat bakteri ini
resisten

terhadap

degradasi

setelah

fagositosit.

Mycobacterium scrofulaceum,

Mycobacterium bovis, Mycobacterium avium, dan vaksin yang mengandung Bacillus


Calmette Guerin (BCG) juga merupakan etiologi lain dari skrofuloderma.
4. Patogenesis
Skrofuloderma timbul akibat penjalaran per kontinuitatum dari organ di bawah
kulit yangtelah diserang penyakit tuberkulosis, yang tersering berasal dari kelenjar getah
bening, juga dapat berasal dari sendi dan tulang. Oleh karena itu tempat predileksinya
pada tempat-tempat yang banyak didapati kelenjar getah bening superfisialis, yang
tersering pada leher, kemudian disusuldi ketiak dan yang terjarang di lipatan paha. Porte
26

dentre skrofuloderma di daerah leher ialah pada tonsil atau paru. Jika di ketiak maka
kemungkinan porte dentre pada apeks pleura, jika dilipat paha pada ekstremitas bawah.
Kadang-kadang ketiga tempat predileksi tersebut diserang sekaligus, yakni pada leher,
ketiak danlipat paha. Pada kejadian tersebut kemungkinan besar terjadi penyebaran
secara hematogen.
Kelenjar limfe yang terinfeksi tuberkulosis akan mengalami adenitis, kemudian pe
riadenitis. Akibatnya satu kelenjar dengan kelenjar lain yang bersamaan terinfeksi dapat b
ergabung menyebabkan perlengketan kelenjar tersebut dengan jaringan sekitarnya.
Kelenjar tersebut akan melunak membentuk abses, lalu membentuk fistula dan ulkus
ke permukaan kulit secara per kontinuitatum. Sifat khas ulkus berbentuk linier atau
ireguler dengan terowongan dibawahnya, daerah sekitar berwarna merah kebiru-biruan,
dasar jaringan yang bergranulasi, dan teraba lunak. Dapat pula terbentuk jaringan parut
menghubungkan daerah yang mengalami ulserasi atau bahkan kulit normal. Kadangkadang di atas sikatriks (jaringan parut)tersebut terdapat jembatan kulit (skin brigde).
Tes Tuberkulin
Dasar dari tes tuberkulin adalah respon imun termediasi sel terhadap protein
tuberculin atau respon terhadap M.tuberkulosis. Tes ini hanya berguna bila pasien
memiliki sistem imun yang utuh terhadap protein tuberkulin. Hasil tes akan positif antara
2 sampai 10 minggu setelah infeksi dan tetap positif setelah bertahun-tahun. Biasanya
dengan cara menyuntikkan Purified Protein Derivative(PPD) 0.1 cc intrakutan dengan
kekuatan 5 tuberkulin unit (TU). Bila hasil positif [indurasi 10 mm atau lebih, untuk
pasien Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif 5 mm], berarti sedang atau pernah
mengalami infeksi M.tuberkulosis, M.bovis, vaksinasi BCG dan Mycobacteria patogen
lainnya. Menurut Ramos-e-silva dkk, hasil tes tuberkulin biasanya positif pada penderita
skrofuloderma.
Vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG)
BCG merupakan basil M. bovis yang telah dilemahkan yang digunakan di penjuru
dunia untuk meningkatkan imunitas terhadap tuberkulosis. Vaksinasi ini diberikan hanya
pada pasien dengan hasil tes tuberkulin yang negatif. Sekali pasien divaksinasi, maka tes
tuberkulinnya akan memberikan hasil yang positif dan bertahan dalam jangka waktu yang
27

cukup lama. Tingkat efektivitas vaksinasi ini juga akan menurun seiring dengan
penambahan usia. Komplikasi dari vaksinasi BCG jarang ditemukan. Dostrowsky dkk
melaporkan hanya 27 pasien dari 200.000 pasien yang mendapatkan vaksinasi yang
mengalami reaksi pada kulit. Casanova et al dalam pustaka lain menyebutkan, dari survei
yang dilakukan di Perancis tahun1974 dan 1994 didapatkan prevalensi komplikasi dari
vaksin BCG adalah sebesar 0.59 tiap1.000.000 kasus dari total pasien yang mendapatkan
vaksinasi.keterjadian komplikasi vaksinasi BCG yang berbeda di berbagai sentra kesehat
an, rata-rata komplikasi lokal yang terjadi berkisar antara 0.1-0.5 tiap 1000 vaksinasi,
dengan komplikasi serius kurang dari 1 tiap 1.000.000 vaksinasi. Secara umum
komplikasi yang timbul akibat vaksinasi BCG dibagi menjadi dua yaitu:
komplikasi infeksi (ulkus dan abses pada tempat suntikan, limfadenitis regional
yang berat, lupusvulgaris, Koch phenomenon-like reaction, lesi jauh seperti penyakit
diseminata dan osteitis).
komplikasi noninfeksi (reaksi hipersensitivitas seperti eritema nodosum dan konju
ngtivits pliktenular, dan reaksi imun lainnya keloid, liken skrofulosorum, urtikaria,
eritema multiform,eksema, dan erupsi makula simpel).
5. Gejala Klinis
Skrofuloderma paling sering timbul di regionparotid, submandibula, dan suprakla
vicula,serta di leher sebelah lateral. Hal ini diduga merupakan penjalaran dari kelenjar
getah bening (KGB) servikal, sedangkan lokasi lain yang cukup sering adalah aksila
dan inguinal.Skrofuloderma diawali dengan limfadenitis tuberkulosis, setelah berbulanbulan,liquifaksi dan perforasi terjadi, membentuk ulkus dan sinus. Karakteristik ulkus
yaitu bentuk memanjang, serpiginosa, tidak teratur, dengan dasar yang cekung,
sekitarnya berwarna merahkebiru-biruan (livid), menggaung, lunak dengan dasar
jaringan granulasi tertutup pusseropurulen. Terdapat saluran-saluran sinusoid di bawah
kulit.

28

Gambar 14. Skrofuloderma pada regio klavikula: abses, ulkus, dan ekstrusi
purulen dan perkijuan
Saluran sinusoid yang terbentuk dapat berhubungan langsung dengan area infeksi
organdalam, atau membentuk saluran menuju fokus primer infeksi terutama di leher,
dinding dada, dan pelvis. Kadang-kadang terbentuk cordlike scars atau jaringan parut.
Jaringan parut ini menghubungkan area ulseratif atau bahkan menarik kulit
normal dengan proses penyembuhannya memakan waktu yang lama.
6. Diagnosis
Skrofuloderma ditegakkan diagnosisnya berdasarkan beberapa hal berikut:
o Anamnesis
Riwayat tinggal di daerah endemis tuberkulosis.
Riwayat terpapar tuberkulosis dari orang sekitar penderita (rumah, sekolah,

tempatkerja, dan lain-lain).


Riwayat mendapatkan pengobatan tuberkulosis sebelumnya.
Riwayat penyakit sistemik yang meningkatkan faktor resiko infeksi

tuberkulosis.
Riwayat keluhan mengarah pada tanda tuberkulosis pada penderita,
misalnya: batuk lama, berkeringat banyak di malam hari, nafsu makan

menurun, kelainan miksi, danlain-lain.


o Pemeriksaan fisik
Pembesaran kelenjar getah bening
Abses dan multipel sinus
Ulkus yang khas
Jaringan parut
Jembatan kulit (skin bridge)
o Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan radiologis pada posisi posterior-anterior.Pemeriksaan ini

ditujukan untuk mencari fokal infeksi terutama yang berasal dari paru.
Pemeriksaan bakteriologik. Pemeriksaan bakteriologik yang dimaksud
adalah pemeriksaan basil tahan asam (BTA) dengan pengecatan Ziehl29

Neelsen

(ZN)

terhadap

bahan

yang

diambil

dari

dasar ulkus dan biakan pada media Lowenstein Jensen atau inokulasi padam
armut. Pada penderita dengan skrofuloderma, hasil pemeriksaan BTA akan
ditemukan adanya bakteri penyebab skrofuloderma,

ex:

Mycobacterium

tuberculosis.
Pemeriksaan laboratorium darah Hasil umumnya menunjukkan peningkatan

laju endap darah (LED).


Pemeriksaan histopatologi

Saluran

sinusoid

pada

skrofuloderma

menunjukkan adanya inflamasi akut dankronik yang bersifat nonspesifik.


Bagian tengah lesi di dominasi oleh nekrosis masif dan pembentukan abses.
Namun,

bagian

perifer

dari

abses

atau

batas-

batassinus mengandung granuloma tuberkuloid. Nekrosis perkijuan dengan


bakteri dalam jumlah besar ditemukan pada struktur kulit yang lebih dalam.
Basil tb dapat diisolasi dengan mudah melalui pus.
Tes tuberkulin.Biasanya hasilnya positif.
Biakan dari bahan yang berasal dari lesi atau ulkus.Dilakukan pada media
Lowenstein-Jensen, pengeraman pada suhu 37C. Jika positif, koloni
tumbuh dalam waktu 8 minggu, artinya kuman tuberkulosis.

Gambar 15. Pewarnaan Ziehl-Neelsen: kelompok kecil basil tahan asam, merah,
pada tengah lapangan pandang.
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tb kutis terdiri dari pemberian regimen obat multipel dengan
durasi yang panjang dan terapi bedah ditujukan tidak hanya untuk membunuh

30

mikroorganisme yang menjadi etiologi tetapi juga untuk mencegah resistensi strain
bakteri tertentu terhadap obat dan timbulnya rekurensi.
Tatalaksana tb kutis sama dengan tb sistemik. Hal ini dikarenakan jumlah bakteri
penyebab tb kutis jauh lebih sedikit dibandingkan dengan tb sistemik.
Tb kutis, termasuk skrofuloderma, tergolong tb ekstra paru ringan yang mendapat
pengobatan

tb

kategori III

Centers for disease control and prevention

(CDC)

merekomendasikan kemoterapi tb kutis menjadi 2 fase terdiri dari:


Fase inisial
Fase ini meliputi pemberian dosis harian regimen obat antituberkulosis (OAT);
isoniazid,rifampisin, pirazinamid, dan etambutol selama 8 minggu. Terapi fase

inisial dimaksudkanuntuk memusnahkan bakteri penyebab tb kutis.


Fase lanjutan
Fase ini diberikan regimen obat isoniazid dan rifampisin dosis harian, sebanyak 23 x seminggu selama 16 minggu. Terapi pada fase ini ditujukan untuk
mengeliminasi sisa bakteri yang menjadi etiologi tb kutis.
Penatalaksanaan lebih lanjut juga harus dilakukan pada infeksi tb di organ lain

seperti tulang, kelenjar dan paru yang menjadi fokus infeksi skrofuloderma. Regimen
pengobatan yangdiberikan didasarkan pada kriteria WHO adalah sebagai berikut:
OAT kategori I
OAT kategori I diindikasikan pada penderita baru BTA positif, penderita baru
denganBTA negatif dengan kelainan radiologis yang luas dan penderita tb
ekstraparu beratmisalnya tb ginjal, tb milier, meningitis tb, peritonitis tb,
perikarditis tb, efusi pleura bilateral, osteomielitis dan spondilitis. Regimen
pengobatan terdiri dari pemberianIsoniazid, rifamfisin, pirazinamid, dan
etambutol (2HRZE/ 4H3R3). OAT kategori I disediakan dalam bentuk paket obat
kombinasi dosis tetap (KDT) dan bentuk kombipak, yaitu paket obat lepas yang
terdiri dari isoniazid, rifamfisin, pirazinamid, dan etambutol dalam kemasan

blister.
OAT kategori II
OAT kategori II diindikasikan untuk kasus gagal, kambuh dan pengobatan
setelahlalai. Regimen OAT kategori II juga tersedia dalam bentuk KDT dan
kombipak, terdiridari isoniazid, rifamfisin, pirazinamid, sterptomisin dan
etambutol (2HRZES/ HRZE/5H3R3E3)

31

Penatalaksanaan operatif yakni eksisi dapat membantu menangani skrofuloderma


karena dapat mengurangi morbiditas.
8. Prognosis
Penyembuhan spontan pada skrofuloderma dapat terjadi, namun ini terjadi secara
amatlambat dan dapat berlangsung selama bertahun-tahun sebelum lesi digantikan
sepenuhnya oleh jaringan parut. Keberadaan infeksi tb pada organ lain seperti tulang,
kelenjar, dan paru juga perlu penatalaksanaan lebih lanjut.
H. Lepra
1. Definisi
Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium leprae (M. leprae) yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya
dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem
retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis kecuali susunan saraf pusat. Pada
kebanyakan orang yang terinfeksi dapat asimtomatik, namun sebagian kecil
memperlihatkan gejala dan mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat, khususnya
pada tangan dan kaki.
Masa inkubasi kusta bervariasi antara 40 hari sampai 40 tahun, dengan rata-rata 35 tahun. Masa inkubasi berkaitan dengan pembelahan sel yang lama, yaitu antara 2 3
minggu dan di luar tubuh manusia (kondisi tropis) kuman kusta dapat bertahan sampai
9 hari. Pertumbuhan optimal in vivo kuman kusta pada tikus pada suhu 27 300 C.
2. Epidemiologi
Sampai saat ini epidemiologi penyakit kusta belum sepenuhnya diketahui secara
pasti. Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan subtropis.
Dapat menyerang semua umur, frekwensi tertinggi pada kelompok umur antara 30-50
tahun dan lebih sering mengenai laki-laki daripada wanita. Menurut WHO (2002),
diantara 122 negara yang endemik pada tahun 1985 dijumpai 107 negara telah
mencapai target eliminasi kusta dibawah 1 per 10.000 penduduk pada tahun 2000. Pada
tahun 2006 WHO mencatat masih ada 15 negara yang melaporkan 1000 atau lebih
penderita baru selama tahun 2006. Lima belas negara ini mempunyai kontribusi 94%
dari seluruh penderita baru didunia.
Indonesia menempati urutan prevalensi ketiga setelah India, dan Brazil. Di
Indonesia penderita kusta terdapat hampir pada seluruh propinsi dengan pola
32

penyebaran yang tidak merata. Meskipun pada pertengahan tahun 2000 Indonesia
secara nasional sudah mencapai eliminasi kusta namun pada tahun tahun 2002 sampai
dengan tahun 2006 terjadi peningkatan penderita kusta baru. Pada tahun 2006 jumlah
penderita kusta baru di Indonesia sebanyak 17.921 orang. Propinsi terbanyak
melaporkan penderita kusta baru adalah Maluku, Papua, Sulawesi Utara dan Sulawesi
Selatan dengan prevalensi lebih besar dari 20 per 100.000 penduduk. 2,7 2 Pada tahun
2010, tercatat 17.012 kasus baru kusta di Indonesia dengan angka prevalensi 7,22 per
100.000 penduduk sedangkan pada tahun 2011, tercatat 19.371 kasus baru kusta di
Indonesia dengan angka prevalensi 8,03 per 100.000 penduduk.
3. Etiologi
Kuman penyebab penyakit kusta adalah M. leprae yang ditemukan oleh GH
Armauer Hansen, seorang sarjana dari Norwegia pada tahun 1873. Kuman ini bersifat
tahan asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8 mikron dan lebar 0,2 - 0,5 mikron,
biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama
jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan. Kuman ini
juga dapat menyebabkan infeksi sistemik pada binatang armadilo. Secara skematik
struktur M. leprae terdiri dari :
A. Kapsul
Di sekeliling organisme terdapat suatu zona transparan elektron dari bahan
berbusa atau vesikular, yang diproduksi dan secara struktur khas bentuk M. leprae.
Zona transparan ini terdiri dari dua lipid, phthioceroldimycoserosate, yang
dianggap memegang peranan protektif pasif, dan suatu phenolic glycolipid, yang
terdiri dari tiga molekul gula hasil metilasi yang dihubungkan melalui molekul
fenol pada lemak (phthiocerol). Trisakarida memberikan sifat kimia yang unik dan
sifat antigenik yang spesifik terhadap M. leprae
B. Dinding sel
Dinding sel terdiri dari dua lapis, yaitu:
Lapisan luar bersifat transparan elektron dan mengandung lipopolisakarida
yang terdiri dari rantai cabang arabinogalactan yang diesterifikasi dengan
rantai panjang asam mikolat, mirip dengan yang ditemukan pada

Mycobacteria lainnya.
Dinding dalam terdiri dari peptidoglycan: karbohidrat yang dihubungkan
melalui peptida-peptida yang memiliki rangkaian asam-amino yang mungkin

33

spesifik untuk M. leprae walaupun peptida ini terlalu sedikit untuk digunakan
sebagai antigen diagnostik.
C. Membran Tepat di bawah dinding sel, dan melekat padanya, adalah suatu
membran yang khusus untuk transport molekul-molekul kedalam dan keluar
organisme. Membran terdiri dari lipid dan protein. Protein sebagian besar berupa
enzim dan secara teori merupakan target yang baik untuk kemoterapi. Protein ini
juga dapat membentuk antigen protein permukaan yang diekstraksi dari dinding
sel M. leprae yang sudah terganggu dan dianalisa secara luas.
D. Sitoplasma Bagian dalam sel mengandung granul-granul penyimpanan, material
genetik asam deoksiribonukleat (DNA), dan ribosom yang merupakan protein
yang penting dalam translasi dan multiplikasi. Analisis DNA berguna dalam
mengkonfirmasi identitas sebagai M. leprae dari mycobacteria yang diisolasi dari
armadillo liar, dan menunjukkan bahwa M. leprae, walaupun berbeda secara
genetik, terkait erat dengan M. tuberculosis dan M. scrofulaceum.
4. Pathogenesis
M. leprae berpredileksi di daerah-daerah tubuh yang relatif lebih dingin. Ketidak
seimbangan antara derajat infeksi dan derajat penyakit disebabkan oleh
respon imun yang berbeda yang menyebabkan timbulnya reaksi granuloma
setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu
penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejalak linisnya lebih
sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitas infeksinya.
Meskipun cara masuk M. leprae k e d a l a m t u b u h m a s i h b e l u m
d i k e t a h u i d e n g a n p a s t i , beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa
yang tersering ialah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu
dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh, M leprae terhadap kulit bergantung pada
faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup M. leprae pada, suhu tubuhyang rendah,
waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulens dan nontoksis.
M. leprae merupakan parasit obligat intraselular yang terutama terdapat pada sel
makrofag disekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel Schwann di
jaringan saraf. Bila kuman M. leprae masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan
bereaksi mengeluarkan makrofag (berasal dari sel monosit darah, sel
mononuklear,

histiosit)

untuk

memfagositnya.

Pada

kusta

tipe

TT

34

kemarnpuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga makrofag sanggup


menghancurkan kuman.

Namun,

setelah

semua

kuman

di

fagositosis,

makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif
dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia Langhans. Bila infeksi ini
tidak segera diatasi, maka akan terjadi reaksi berlebihan dan massa epiteloid akan
menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya.
Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M. leprae. Sel
Schwann memiliki fungsi untuk demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya
sebagai fagositosis, jadi bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel
Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya akitivitas
regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif.
Sedangkan

pada

kusta

tipe

imunitas, dengan demikian

LL

terjadi kelumpuhan sistem-

makrofag

tidak

mampu

menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi dengan bebas,


yang kemudian dapat merusak jaringan
5. Gejala Klinik
Perbandingan gejala klinik Morbus-Hansen Pausibasilar dan Multibasilar disajikan
dalam tabel berikut:

Lesi

PB ( Pausibasilar )
MB ( Multibasilar )
(macula 1-5 lesi Hipopigmentasi/ >5 lesi Distribusi

kulit

yangdatar,

papul

meninggi,

yang eritema

Distribusi

lebih

tidak simetris

infiltrate, simetris

plak eritem, nocus)


Kerusakan

Hilangnya sensasi yang jelas Hilangnya sensasi kurang jelas

saraf (menyebabkan

Hanya satu cabang saraf

Banyak cabang saraf

hilangnya
sensasi/kelemahan

otot

yang dipersarafi oleh saraf


yang terkena
BTA
Tipe

Negative
Positif
Indeterminate (I), Tuberkuloid Lepromatosa (LL),Borderline
(T),Borderline

tuberkuloid lepromatous(BL),

Mid
35

(BT )
Gejala klinik Morbus-Hansen Pausibasilar
Karateristik

borderline (BB)

Tuberkuloid

Borderline

Indeterminate

tuberkuloid
Lesi
Tipe

Jumlah
Distribusi
permukaan
Batas
Anesthesia

Macula

saja

macula

di

atau Macula

di

batasi Hanya infiltrate

batasi infiltrate atau infiltrate

infiltat
Satu, dapat beberapa

saja
Beberapa

Asimetris
Kering bersisik
Jelas

dengan satelit
Masih asimetris
Kering bersisik
jelas

variasi
Halus, agak berkilat
Dapat jelas atau dapat

jelas

tidak jelas
Tak ada sampai tidak

jelas

atau

satu Satu atau beberapa

jelas
BTA
Pada lesi kulit
Tes lepromin

Negative

Negative atau hanya Biasanya negatif

Positif kuat (+3 )

1+
Positif lemah

Dapat positif lemah


atau negatif

Tes Lipromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, hasilnya baru dapat diketahui setelah 3
minggu.
Gejala klinik Morbus-Hansen Multibasilar
karakteristik

Lepramatosa

Borderline

Mid Borderline

Lepromatosa
Lesi
Tipe

Jumlah

Macula

Macula

Plakat

Infiltrate difus

Plakat

Dome-shaped ( kubah )

Nodus

Papul

Punched-out

Papul
Tidak

terhitung, Sukar

praktis tidak ada kulit masih

dihitung, Dapat
ada

dihitung,

kulit

kulit sehat jelas ada


36

Distribusi
Permukaan
Batas
Anesthesia
BTA
Lesi kulit
Sekret hidung
Tes lepromin

sehat
Simetris
Halus berkilat
Tidak jelas
Biasanya tidak jelas

sehat
Hampir simetris
Halus berkilat
Agak jelas
Tak jelas

Asimetris
Agak kasar, agak berkilat
Agak jelas
Lebih jelas

Banyak ( ada globus )


Banyak ( ada globus )
Negatif

banyak
Biasanya negative
negatif

Agak banyak
Negative
Negative

6. Diagnosis
Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada gambaran klinis, bakteriologis dan
histopatologis. Dari ketiga diagnosis klinis merupakan yang terpenting dan paling
sederhana. Sebelum diagnosis klinis ditegakkan, harus dilakukan anamnesa,
pemeriksaan klinik (pemeriksaan kulit, pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya). Untuk
menetapkan diagnosis klinis penyakit kusta harus ada minimal satu tanda utama atau
cardinal sign.
Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama atau
tanda kardinal, yaitu:
Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa. Kelainan kulit/lesi yang dapat berbentuk
bercak keputihan (hypopigmentasi) atau kemerahan (erithematous) yang mati rasa
(anaesthesia).
Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf. Gangguan fungsi
saraf tepi ini biasanya akibat dari peradangan kronis pada saraf tepi (neuritis
perifer). Adapun gangguan-gangguan fungsi saraf tepi berupa:
Gangguan fungsi sensoris: mati rasa.
Gangguan fungsi motoris: kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan
(paralise).
Gangguan fungsi otonom: kulit kering.
Ditemukannya M. leprae pada pemeriksaan bakteriologis.
7. Penunjang Diagnosis
Pemeriksaan Bakterioskopik
Pemeriksaan bakterioskopik

digunakan

untuk

membantu

menegakkan

diagnosis dan pengamatan obat.Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau
usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap
basil tahan asam (BTA) ,antara lain dengan ZIEHL-NEELSEN. Bakterioskopik
pada seorang penderita tidak berarti seseorang tidak mengandung bakteri M.
37

Leprae .Pada pengambilan sample diharapkan mengambil bahan dari tempat yang
mengandung kuman paling banyak seperti dikedua cuping telinga.
M.leprae tergolong BTA, akan tampak merah pada sediaan. Di bedakan bentuk
sold, fragmented, dan granular. Bentuk solid adalah kuman hidup, sedang
fragmented dan granular adalah bentuk mati.Secara teori penting untuk
membedakan bentuk solod dan non solid, sebab bentuk yang hidup lebih
berbahaya, karena dapat berkembang biak dan dapat menularkan ke orang lain.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan non solid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan indeks bakteri (IB) dengan nilai 0 sampai +6 menurut RIDLEY.
0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP).
1+ bila 1-10 BTA dalam 100LP
2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP
3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP
4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
5+ bila 101-1000 BTA rata-ratra dalam 1 LP
6+ bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
Pemeriksaa dengan menggunakan miroskopok cahaya dengan minyak emersi
pada pembesaran lensa obyektif 100x. IB seseorang adalah IB rata-rata semualesi
yang dibuat sediaan. Indeks Morfologi (IM) adalah persentase jumlah bentuk solid
di banding dengan jumlah solid dan non solid. Rumus :
Jumlah solid

x 100% = ....%

Jumlah solid+ non solid


Syarat perhitungan :

Jumlah perhitungan kuman tiap lesi 100 BTA


IB 1+ tidak perlu dibuat IM nya karena untuk mendapat 100 BTA harus

mencari 1000 sampai 10000 lapangan.


Mulai dari IB 3+ harus hitung IM nya,sebab dengan IB 3+ maksimum

harus dicari dalam 1000 lapangan.


Pemeriksaan Histopatologik
Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih
nyata, tidak ada kuman atau hanya sedikit non solid. Pada tipe lepromatosa terdapat
kelim sunyi subepidermal (subepidermak clear zone), yaitu suatu darah langsung

38

dibawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Pada tipe borderline, terdapat
campuran unsur-unsur tersebut.
Pemeriksaan serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang
yang terinfeksi M. Leprae. Macam-macam pemeriksaannya adalah:
Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Agglutination)
Uji Elisa (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay)
ML dipstick test (Mycobacterium leprae dipstik)
ML flow test (Mycobacterium leprae flow test )
Reaksi kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang
sebenarnya sangat akut.adapun patofisiologi belum jelas serta terminology dan
klasifikasinya bermacam-macam.reaksi imunologi dapat menguntungkan serta dapat pula
merugikan yang di sebutkan reaksi imun patologik.dalam bermacam-macam akhir-akhir
ini yang di anut ada dua, yaitu:

ENL (eritema nodusum leprosum)


Reaksi reversal atau reaksi upgrading
ENL timbul pada tipe BL dan LL.semakin tinggi tingkat multibasilernya semakin

tinggi timbulnya eritema nodusum leprosum.Secara imunopatologis,ENL termasuk


respons imun humoral,berupa fenomena kompleks imun akibat reaksi antara antigen
M.leprae + antibody (IgM,IgG) + komplemen menjadi kompleks imun.dengan
terbentuknya kompleks imun maka ENL di golongkan ke dalam penyakit komplek
imun,karna protein M.leprae bersifat antigenic,maka anti body dapat terbentuk.ENL
banyak terjadi pada saat pengobatan dikarenakan banyak kuman kusta yang mati dan
hancur ,berarti banyak antigen yang di lepaskan dan bereaksi dengan antibody,serta
mengaktifkan system komplemen.Kompleks imun tersebut beredar dalam sirkulasi darah
yang akhirnya dapat melibatkan beberapa organ. Pada kulit akan timbul nodul eritema,
serta nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Apabila mengenai organ lain
akan menimbulkan gejala iridosiklitis,neuritis akut, limfadenitis, atritis, ringan sampai
berat.

39

ENL tidak terjadi perubahan tipe.Lain halnya dengan reaksi reversal yang hanya
dapat pada tipe borderline (Li,BL,BB,BT,Ti),sehingga ini dapat disebut reaksi
borderline.Yang memegang peranan utama ialah SIS,yang di perkirakan adanya
hubungan reaksi hipersensitivitas tipe lambat.Reaksi peradangan terjadi pada tempattempat kuman kuman M.leprae berada yaitu pada saraf dan kulit,umumnya pada
pengobatan 6 bulan pertama.Neuritis akut menyebabkan kerusakan saraf secara
mendadak dan memerlukan pengobatan segera.yang menentukan tipe penyakit kusta ini
adalah SIS.Pada tipe borderline dapat bergerak bebas kea rah TT dan LL mengikuti naik
turunnya SIS.Dan reaksi reversal terjadi perpindahan tip eke arah TT disertai peningkatan
SIS secara mendadak dan cepat.
Gejala klinis rekasi reversal ialah sebagian atau seluruh lesi yang bertambah aktif
atau timbul lesi baru dalam waktu yang singkat.Adanya gejala neuritis akut sangat
diperhatikan untuk pemberian kortikosteroid.Secara sigifikan bahwa ENL adanya lesi
eritema nodusum maka disebut juga reaksi lepra nodular dan reaksi reversal atau
borderline tidak adanya lesi tanpa nodus serta disebut juga reaksi lepra non-nodular.
Fenomena Lucio
Fenomena Lucio ialah reaksi kusta yang sangat berat yaitu reaksi lepromentosa
non-nodular difus.Ini sering di temukan di Meksiko dan Amerika Tengah.Gejala
klinisnya ialah adanya plak atau infiltrate difus,bewarna merah muda,bentuk tidak
teratur,dan terasa nyeri.Lesi berada di ekstremitas dan meluas ke seluruh tubuh.Apabila
berat akan tampak lebih erimatosa disertai purpura,bula dan menjadi nekrosis serta
ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan menjadi jaringat parut.

40

Gambar 16. Lesi Tuberculoid leprosy, soliter, anesthetic, annular

Gambar 17. Lesi Kulit pada Tuberculoid Leprosy


8. Klasifikasi
Setelah seseorang didiagnosis menderita kusta, maka untuk tahap selanjutnya
harus ditetapkan tipe atau klasifikasinya. Penyakit kusta dapat diklasifikasikan
berdasarkan manifestasi klinis (jumlah lesi, jumlah saraf yang terganggu), hasil
pemeriksaan bakteriologi, pemeriksaan histopatologi dan pemeriksaan imunologi.
Klasifikasi bertujuan untuk:
Menentukan rejimen pengobatan, prognosis dan komplikasi.
Perencanaan operasional, seperti menemukan pasien-pasien yang menularkan dan

memiliki nilai epidemiologi yang tinggi sebagai target utama pengobatan.


Identifikasi pasien yang kemungkinan besar akan menderita cacat.
Terdapat banyak jenis klasifikasi penyakit kusta diantaranya adalah klasifikasi

Madrid, klasifikasi Ridley-Jopling, klasifikasi India dan klasifikasi menurut WHO.


Klasifikasi Internasional: klasifikasi Madrid (1953) Pada klasifikasi ini penyakit
kusta dibagi atas Indeterminate (I), Tuberculoid (T), Borderline-Dimorphous (B),
Lepromatous (L). Klasifikasi ini merupakan klasifikasi paling sederhana
berdasarkan manifestasi klinis, pemeriksaan bakteriologis, dan pemeriksaan
histopatologi, sesuai rekomendasi dari International Leprosy Association di
Madrid tahun
41

Klasifikasi Ridley-Jopling (1966) Pada klasifikasi ini penyakit kusta adalah suatu
spektrum klinis mulai dari daya kekebalan tubuhnya rendah pada suatu sisi sampai
mereka yang memiliki kekebalan yang tinggi terhadap M.leprae di sisi yang
lainnya. Kekebalan seluler (cell mediated imunity = CMI) seseorang yang akan
menentukan apakah dia akan menderita kusta apabila individu tersebut mendapat
infeksi M.leprae dan tipe kusta yang akan dideritanya pada spektrum penyakit
kusta. Sistem klasifikasi ini banyak digunakan pada penelitian penyakit kusta,
karena bisa menjelaskan hubungan antara interaksi kuman dengan respon
imunologi seseorang, terutama respon imun seluler spesifik. Kelima tipe kusta
menurut Ridley-Jopling adalah tipe Lepromatous (LL), tipe Borderline
Lepromatous (BL), tipe Mid- 1,4 Universitas Sumatera Utara Borderline (BB),
tipe Borderline Tuberculoid (BT), dan tipe Tuberculoid (T).
Klasfikasi menurut WHO Pada tahun 1982, WHO mengembangkan klasifikasi
untuk memudahkan pengobatan di lapangan. Dalam klasifikasi ini seluruh
penderita kusta hanya dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe Pausibasiler (PB) dan tipe
Multibasiler (MB). Sampai saat ini Departemen Kesehatan Indonesia menerapkan
klasifikasi menurut WHO sebagai pedoman pengobatan penderita kusta. Dasar
dari klasifikasi ini berdasarkan manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan
bakteriologi
9. Penatalaksanaan
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden
penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit,
untuk mencapai tujuan tersebut, strategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi
dini dan pengobatan penderita. Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik
yaitu mengahalangi atau menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan
antagonis kompetitif dari para-aminobezoic acid (PABA) dan mencegah penggunaan
PABA untuk sintesis folat oleh bakteri. Efek samping dari dapson adlah anemia
hemolitik, skin rash, anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, dan vertigo.
Lamprene atau Clofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan reaksi
kusta. Clofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor dari NA/K
ATPase.Efek sampingnya adalah warna kulit bisa menjadi berwarna ungu
kehitaman,warna kulit akan kembali normal bila obat tersebut dihentikan, diare, nyeri
42

lambung.4 Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja


dengan cara menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan
berikatan pada subunit beta. Efek sampingnya adalah hepatotoksik, dan nefrotoksik.
Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas Ferrosus untuk
penderita kusta dgn anemia berat. VitaminA, untuk penderita kusta dgn kekeringan
kulit dan bersisisk (ichtyosis). Ofloxacin dan Minosiklin untuk penderita kusta tipe PB
I. Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh
WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan menjadi:
1. Pausi Basiler (PB)
2. Multi Basiler (MB) Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= Multi Drug
Treatment.
Kegunaan MDT untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat,
mengatasi ketidakteraturan penderita dalam berobat, menurunkan angka putus obat
pada pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta
dalam jaringan. Regimen Pengobatan Kusta tersebut (WHO/DEPKES RI).PB dengan
lesi tunggal diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat sekali
saja langsung RFT/= Release From Treatment. Obat diminum di depan petugas. Anakanak Ibu hamil tidak di berikan ROM. Bila obat ROM belum tersedia di Puskesmas
diobati dengan regimen pengobatan PB lesi (2-5). Bila lesi tunggal dgn pembesaran
saraf diberikan: regimen pengobatan PB lesi (2-5).
Tabel. Regimen pengobatan kusta dengan lesi tunggal (ROM) menurut
WHO/DEPKES RI

Dewasa

Rifampicin

Ofloxacin

Minocyclin

600 mg

400 mg

100 mg

300 mg

200 mg

50 mg

(50-70 kg)
Anak

43

(5-14 th)
PB dengan lesi 2 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-9)
bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti
minum obat.
Tabel. Regimen MDT pada kusta Pausibasiler (PB)

Rifampicin

Dewasa

Dapson

600 mg/bulan

100 mg/hr diminum di


rumah

Diminum

di

depan

petugas kesehatan
Anak-anak

450 mg/bulan

(10-14 th)

Diminum

50 mg/hari diminum di
rumah

di

depan

petugas kesehatan
MB (BB, BL, LL) dengan lesi > 5 .Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan
selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan RFT/=Realease
From Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan
secara pasif untuktipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun.
Tabel. Regimen MDT pada kusta Multibasiler (MB)

Rifampicin

Dapson

Lamprene

44

Dewasa

600 mg/bulan

100 mg/hari diminum 300 mg/bulan

diminum di depan

di rumah

petugas kesehatan

diminum di depan
petugas kesehatan
dilanjutkan dgn 50
mg/hari diminum di
rumah

Anak-anak
(10-14 th)

450 mg/bulan

50 mg/hari diminum 150 mg/bulan

diminum di depan

di rumah

petugas

diminum di depan
petugas kesehatan
dilanjutkan dg 50 mg
selang sehari
diminum di rumah

Pengobatan reaksi kusta.


Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka dapat timbul kecacatan
berupa kelumpuhan yang permanen seperticlaw hand , drop foot , claw toes , dan
kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan pengobatan Prinsip
pengobatan Reaksi Kusta yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan
sedatif, pemberian obat-obat anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak
diubah.
Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan
obat-obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 31 selama 3-5 hari,
dan MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik dan sedative,
MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian obat-obat anti reaksi
dan pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya prednison.Obat-obat anti reaksi,Aspirin
dengan dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4 6x/hari ) , Klorokuin dengan dosis 3 x 150
mg/hari, Antimon yaitu stibophen (8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-3 ml secara
selang-seling dan dosis total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai oleh karena
45

toksik. Thalidomide juga jarang dipakai,terutama padawanita (teratogenik ). Dosis 400


mg/hari kemudian diturunkan sampai mencapai 50 mg/hari.
Pemberian Kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau sedang.Digunakan
prednison atau prednisolon.Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari lebih baik
walaupun dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-lahan (tapering
off) setelah terjadi respon maksimal1,2,3.

46

Gambar 18. Regimen MDT

10. Prognosis
Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit. Kesembuhan
bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Terkadang asien dapat
mengalami kelumpuhan bahkan kematian, serta kualitas hidup pasien menurun.
I. Sifilis stadium 1 dan 2
1. Definisi
Sifilis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum, sangat
kronis dan bersifat sistemik. Pada perjalanannya dapat menyerang hampir seluruh alat
tubuh, dapat mnyerupai banyak penyakit, mempunyai masa laten dan dapat ditularkan
dari ibu ke janin.
2. Epidemiologi
Asal penyakit ini tak jelas. Sebelum tahun 1492 belum dikenal di Eropa. Ada
yangmenganggap penyakit ini berasal dari penduduk Indian yang dibawa oleh anak
bushColumbus waktu mereka kembali ke Spanyol pada tahun 1492. Pada tahun 1494
terjadiepidemi di Napoli. Pada abad ke-18 baru diketahui bahwa penularan sifilis dan
gonoredisebabkan oleh sanggama dan keduanya dianggap disebabkan oleh infeksi yang
sama.Insidens sifilis di berbagai negeri di seluruh dunia pada tahun 1996 berkisar
antara 0,04-0,52%. Insidens yang terendah di Cina, sedangkan yang tertinggi di
Amerika Selatan. DiIndonesia insidensinya 0,61%. Di bagian kami penderita yang
terbanyak ialah stadium laten,disusul sifilis stadium I yang jarang, dan yang langka
ialah sifilis stadium II. WHOmemperkirakan bahwa terdapat 12 juta kasus baru pada
tahun 1999, dimana lebih dari 90%terdapat di negara berkembang.
3. Etiologi
Pada tahun 1905 penyebab sifilis ditemukan oleh Schaudinn dan Hoffman
ialahTreponema pallidum, yang termasuk ordo Spirochaetales, familia Spirochaetaceae,
dan genusTreponema. Bentuknya sebagai spiral teratur, panjangnya antara 6-15 um,
lebar 0,15 um,terdiri atas delapan sampai dua puluh empat lekukan. Gerakannya berupa
47

rotasi sepanjang aksisdan maju seperti gerakan pembuka botol.. Membiak secara
pembelahan melintang, padastadium aktif terjadi setiap tiga puluh jam. Pembiakan
pada umumya tidak dapat dilakukan diluar badan. Diluar badan kuman tersebut cepat
mati, sedangkan dalam darah untuk transfusi dapat hidup tujuh puluh dua jam.

Gambar 19. Treponema pallidum


4. Klasifikasi
Sifilis dibagi menjadi:
1.Sifilis kongenital
a. Dini : Sebelum 2 tahun
b.Lanjut: Sesudah 2 tahun
c.Stigmata
2.Sifilis Akuisita (didapat) Sifilis akuisita dapat dibagi menurut dua cara;
a.Secara klinis dibagi menjadi tiga stadium:
1.Stadium I (SI)
2.Stadium II (SII)
3.Stadium III (SIII)
b.Secara epidemiologi menurut WHO dibagi menjadi:
Stadium dini menular (dalam satu tahun sejak infeksi) : terdiri atas SI,

SII,Stadium rekuren dan stadium laten dini.


Stadium lanjut tak menular (setelah satu tahun sejak infeksi), tediri
atasstadium laten lanjut dan SIII.

c.Bentuk lain adalah sifilis kardiovaskular dan neurosifilis. Ada yang


memasukkanya kedalam S III atau S IV.

5. Patogenesis
Stadium dini

48

T. pallidum masuk ke dalam kulit melalui mikrolesi atau selaput lendir, biasanya
melalui sanggama. Kuman tersebut membiak, jaringan bereaksi dengan membentuk
infiltrat yang terdiri atas sel-sel limfosit dan sel- sel plasma, terutama di perivaskular,
pembuluh-pembuluh darah kecil berproliferasi di kelilingi oleh T. pallidum dan sel-sel
radang. Treponema tersebut terletak di antara endotelium kapiler dan jaringan
perivaskular di sekitarnya. Enarteritis pembuluh darah kecil menyebabkan perubahan
hipertrofik endotelium yang menimbulkan obliterasi lumen (enarteritis obliterans).
Kehilangan pendarahan akan menyebabkan erosi, pada pemeriksaan klinis tampak
sebagai S1. Sebelum S1 terlihat, kuman telah mencapai kelenjar getah bening regional
secara limfogen dan membiak. Pada saat itu terjadi pula penjalaran hematogen dan
menyebar ke semua jaringan di badan, tetapi manifestasinya akan tampak kemudian.1
Multiplikasi ini diikuti oleh reaksi jaringan sebagai SII, yang terjadi enam sampai
delapan minggu sesudah S1. S1 akan sembuh perlahan-lahan karena kuman di tempat
tersebut jumlahnya berkurang, kemudian terbentuklah fibroblas-fibroblas dan akhirnya
sembuh berupa sikatriks. SII juga mengalami regresi perlahan-lahan dan lalu menghilang.
Tibalah stadium laten yang tidak disertai gejala, meskipun infeksi yang aktif masih
terdapat. Sebagai contoh pada stadium ini seorang ibu dapat melahirkan bayi dengan
sifilis kongenital. Kadang-kadang proses imunitas gagal mengontrol infeksi sehingga
T.pallidum membiak lagi pada tempat S I dan menimbulkan lesi rekuren atau kuman
tersebut menyebar melalui jaringan menyebabkan reaksi serupa dengan lesi rekuren S II,
yang terakhir ini lebih sering terjadi daripada yang terdahulu. Lesi menular tersebut dapat
timbul berulang-ulang, tetapi pada umumnya tidak melebihi 2 tahun.
Stadium lanjut
Stadium laten dapat berlangsung bertahun-tahun, rupanya treponema dalam
keadaan dorman. Meskipun demikian antibodi tetap ada dalam serum penderita.
Keseimbangan antara treponema dan jaringan dapat sekonyong-konyong berubah,
sebabnya belum jelas, mungkin trauma merupakan salah satu faktor presipitasi. Pada saat
itu muncullah S III berbentuk guma. Meskipun pada guma tersebut tidak dapat ditemukan
T. pallidum, reaksinya hebat karena bersifat destruktif dan berlangsung bertahun-tahun.
Setelah mengalami masa laten yang bervariasi guma tersebut timbul di tempat-tempat
49

lain. Treponema mencapai sistem kardiovaskular dan sistem saraf pada waktu dini, tetapi
kerusakan menjadi perlahan-lahan sehingga memerlukan waktu bertahun-tahun untuk
menimbulkan gejala klinis. Penderita dengan guma biasanya tidak mendapat gangguan
saraf dan kardiovaskular, demikian pula sebaliknya. Kira-kira dua pertiga kasus dengan
stadium laten tidak memberi gejala.
6. GAMBARAN KLINIS
Sifilis Akuisita
Sifilis Dini
a. Sifilis primer (SI)
Sifilis primer biasanya ditandai oleh tukak tunggal (disebut chancre),
tetapi bisa juga terdapat tukak lebih dari satu. Tukak dapat terjadi dimana saja di
daerah genitalia eksterna, 3 minggu setelah kontak. Lesi awal biasanya berupa
papul yang mengalami erosi, teraba keras karena terdapat indurasi. Permukaan
dapat tertutup krusta dan terjadi ulserasi. Ukurannya bervariasi dari beberapa mm
sampai dengan 1-2 cm. Bagian yang mengelilingi lesi meninggi dan keras. Bila tidak disertai
infeksi bakteri lain, maka akan berbentuk khas dan hampir tidak ada rasa nyeri.
Kelainan tersebut dinamakan afek primer. Pada pria tempat yang sering dikenai
ialah sulkus koronarius, sedangkan pada wanita di labia minor dan mayor. Selain
itu juga dapat diekstragenital, misalnya di lidah, tonsil, dan anus.
Pada pria selalu disertai pembesaran kelenjar limfe inguinal medial
unilateral/bilateral.2 Seminggu setelah afek primer, biasanya terdapat pembesaran
kelenjar getah bening regional di inguinalis medialis. Keseluruhannya disebut
kompleks primer. Kelenjar tersebut solitar, indolen, tidak lunak, besamya
biasanya lentikular, tidak supuratif, dan tidak terdapat periadenitis. Kulit di
atasnya tidak menunjukkan tanda-tanda radang akut.

50

Gambar 20. Ulkus durum


Afek primer tersebut sembuh sendiri antara tiga sampai sepuluh minggu.
Istilah syphilis d'emblee dipakai, jika tidak terdapat afek primer. Kuman masuk
ke jaringan yang lebih dalam, misalnya pada transfuse darah atau suntikan.
b. Sifilis sekunder (SII)
Biasanya S II timbul setelah enam sampai delapan minggu sejak S I dan sejumlah
sepertiga kasus masih disertai S I. Lama S II dapat sampai sembilan bulan
.Berbeda dengan S I yang tanpa disertai gejala konstitusi, pada S II dapat disertai
gejala tersebut yang terjadi sebelum atau selama S II. Gejalanya umumnya tidak
berat, berupa anoreksia, turunnya berat badan, malese, nyeri kepala, demam yang
tidak tinggi, dan artralgia. Manifestasi klinis sifilis sekunder dapat berupa
berbagai ruam pada kulit, selaput lendir, dan organ tubuh. Dapat disertai demam,
malaise. Juga adanya kelainankulit dan selaput lendir dapat diduga sifilis
sekunder, bila ternyata pemeriksaan serologis reaktif. Lesi kulit biasanya simetris,
dapat berupa makula, papul, folikulitis, papulaskuomosa, dan pustul. Jarang
dijumpai keluhan gatal. Lesi vesikobulosa dapat ditemukan pada sifilis
kongenital. Kelainan kulit dapat menyerupai berbagai penyakit kulit sehingga
disebut the great imitator. 1
Selain memberi kelainan pada kulit, SII dapat juga memberi kelainan pada
mukosa, kelenjar getah bening, mata, hepar, tulang, dan saraf. Gejala lainnyaa
51

dalah merasa tidak enak badan (malaise), kehilangan nafsu makan, mual, lelah,
demam dan anemia.2

Gambar 21. Bercak-bercak eritema pada S II


Bentuk Lesi
Lesi dapat berupa roseola, papul, pustul, atau bentuk lain.
a. Roseola
Roseola ialah eritema makular, berbintik-bintik atau berbercak-bercak, warna
merah tembaga, berbentuk bulat atau lonjong, diameter 0,5-2 cm (8). Roseola
biasanya merupakan kelainan kulit yang pertama terlihat pada S II dan disebut
roseola sifilitika. Karena efloresensi tersebut merupakan kelainan S II dini,
maka seperti telah dijelaskan, lokalisasinya generalisata dan simetrik, telapak
tangan dan kaki ikut dikenai. Disebut pula eksantema karena timbulnya cepat
dan menyeluruh. Roseola akan menghilang dalam beberapa hari atau minggu,
dapat pula bertahan hingga beberapa bulan. Kelainan tersebut dapat residif,
jumlahnya menjadi lebih sedikit, lebih lama bertahan, dapat anular, dan
bergerombol. Jika menghilang, umumnya tampak bekas, kadangkala dapat
meninggalkan bercak hipopigmentasi dan disebut leukoderma sifilitikum. Jika
roseola terjadi pada kepala yang berambut, dapat menyebabkan rontoknya
rambut. 1

52

Gambar 22. Roseola Sifilitika


b.

Papul
Bentuk ini merupakan bentuk yang paling sering terlihat pada S II.
Bentuknya bulat, adakalanya terdapat bersama dengan roseola. Papul tersebut
dapat berskuama yang terdapat di pinggir (koleret) dan disebut papuloskuamosa. Skuama dapat pula menutupi permukaan papul sehingga mirip
psoriasis, oleh karea itu dinamakan psoriasiformis. Jika papul-papul tersebut
menghilang dapat meninggalkan bercak hipopigmentasi dan disebut
leukoderma sifilitika, yang akan menghilang perlahan-lahan. Bila pada leher
disebut leukoderma koli atau kolar of Venus. Selain papul yang lentikular
dapat pula terbentuk papul yang likenoid, meskipun jarang dapat pula
folikular dan ditembus rambut. Pada S II dini, papul generalisata dan simetrik,
sedangkan pada yang lanjut bersifat setempat dan tersusun secara teratur,
arsinar, sirsinar, polisiklik, dan korimbiformis. Jika pada dahi susunan yang
arsinar/sirsinar tersebut dinamakan korona venerik karena menyerupai
mahkota. Papul-papul tersebut juga dapat dilihat pada sudut mulut, ketiak, di
bawah

mamae,

dan

alat

genital.

Bentuk lain ialah kondilomata lata, terdiri atas papul-papul lentikular,


permukaannya datar, sebagian berkonfluensi, terletak pada daerah lipatan kulit
akibat gesekan antar kulit permukaan menjadi erosif, eksudatif, sangat
menular.
Tempat predileksinya di lipat paha, skrotum, vulva, perianal, di bawah
mamae dan antar jari kaki. Kejadian yang jarang terlihat ialah pada tempat
afek primer terbentuk lagi infiltrasi dan reindurasi sebabnya treponema masih

53

tertinggal pada waktu S I menyembuh dan kemudian akan membiak dan


dinamakan chancer redux.1

Gambar 23. Kondiloma lata


c. Pustul
Bentuk ini jarang terdapat. Mula-mula terbetuk banyak papul yang menjadi
vesikel dan kemudian terbentuk pustul, sehingga di samping pustul masih pula
terlihat papul. Timbulnya banyak pustul ini sering disertai demam yang
intermitten dan penderita tampak sakit, lamanya dapat berminggu-minggu.
Kelaianan kulit demikian disebut sifilis variseliformis karena menyerupai
varisela.1
d. Bentuk lain
Kelainan lain yang dapat terlihat pada S II ialah banyak papul, pustul, dan
krusta yang berkonfluensi sehingga mirip impetigo, karena itu disebut sifilis
impetiginosa. Dapat pula timbul berbagai ulkus yang tertutupi krusta yang
disebut ektima sifilitikum. Bila krustanya tebal disebut rupia sifilitika. Disebut
sifilis ostrasea jika ulkus meluas ke perifer sehingga berbentuk seperti kulit
kerang. Sifilis yang berupa ulkus-ulkus yang terdapat di kulit dan mukosa
disertai demam dan keadaan umum buruk disebut sifilis maligna yang dapat
menyebabkan kematian.1
1. Sifilis lanjut
Perbedaan karakteristik sifilis dini dan sifilis lanjut ialah sebagai berikut:
1. Pada sifilis dini bersifat infeksius, pada sifilis lanjut tidak, kecuali
kemungkinan pada wanita hamil.
54

2. Pada sifilis dini hasil pemeriksaan lapangan gelap ditemukan T. pallidum,


pada sifilis lanjut tidak ditemukan.
3. Pada sifilis dini infeksi ulang dapat terjadi walau telah diberi pengobatan
yang cukup, sedangkan pada sifilis lanjut sangat jarang.
4. Pada sifilis dini tidak bersifat destruktif, sedangkan pda sifilis lanjut
destruktif
Pada sifilis dini hasil tes serologis selalu reaktif dengan titer tinggi, setelah
diberi pengobatan yang adekuat akan berubah menjadi non reaktif atau titer rendah,
sedangkan pada sifilis lanjut umumnya reaktif, selalu dengan titer rendah dan sedikit atau
hampir tidak ada perubahan setelah diberi pengobatan. Titer yang tinggi pada sifilis lanjut
dijumpai pada gumma dan paresis.
7. DIAGNOSIS
1. Pemeriksaan T. Pallidum
Cara pemeriksaan adalah dengan mengambil serum dari lesi kulit dan dilihat
bentuk dan pergerakannya dengan microskop lapangan gelap. Pemeriksaan dilakukan tiga
hari berturut-turut. Jika hasil pada hari I dan II negatif. Sementara itu lesi dikopres
dengan larutan garam faal. Bila negatif bukan selalu berarti diagnosisnya bukan sifilis,
mungkin kumannya terlalu sedikit. Treponema tampak berwarna putih pada latar
belakang gelap. Pergerakannya memutar terhadap sumbunya, bergerak perlahan-lahan
melintasi lapangan pada pandangan, jika tidak bergerak cepat seperti Borrelia vincentii
penyebab stomatitis.
Pemeriksaan

lain

dengan

pewarna

menurut

Buri, tidak

dapat

dilihat

pergerakannya karena treponema tersebut telah mati, jadi hanya tampak bentuknya saja.
Sementar itu lesi dikompres dengan larutan garam faal setiap hari. Pemeriksaan yang
tidak rutin ialah dengan teknik fluoresen. T. pallidum tidak dapat dibedakan secara
mikroskopik dan serologik dengan T. Penrtenue penyebab frambusia dan T. Carateum
penyebab pinta.1

1. Tes Serologik Sifilis (T.S.S)


55

T.S.S. atau Serologic Tests for Sypilis (S.T.S) merupakan pembantu diagnosis yang
penting bagi sifilis. Sebagai ukuran untuk mengevaluasi tes serologi ialah sensitivitas
dan spesifisitas. Sentivitas ialah kemampuan untuk bereaksi pada penyakit sifilis.
Sedangkan spesifisitas berarti kemampuan nonreaktif pada penyakit bukan sifilis.
Makin tinggi sensitivitas suatu tes, makin baik tes tersebut dipakai untuk tes
screening. Tes dengan spesifisitas yang tinggi sangat baik untuk diagnosis. Makin
spesifik suatu tes, makin sedikit memberi hasil semua positif.1,5
S I pada mulanya memberi hasil T.S.S. negatif (seronegatif), kemudian menjadi
positif (seropositif) dengan titer rendah, jadi positif lemah. Pada S II yang masih dini
reaksi menjadi positif agak kuat, yang akan menjadi sangat kuat pada S II lanjut. Pada
S III reaksi menurut lagi menjadi positif lemah atau negatif.6
T.S.S. dibagi menjadi dua berdasarkan antigen yang dipakai, yaitu :
1. Nontreponema (tes reagin).
Pada tes ini digunakan antigen tidak spesifik yaitu kardiolipin yang
dikombinasikan dengan lesitin dan kolestrol, karena itu tes ini dapat memberi
Reaksi Biologik Semu (RBS) atau Biologic Fase Positive (BFP).
Antibodinya disebut reagin, yangterbentuk setelah infeksi dengan T.pallidum,
tetapi zat tersebut terdapat pula pada berbagai penyakit lain dan selama
kehamilan. Reagin ini dapat bersatu dengan suspensi ekstrak lipid dari binatang
atau tumbuhan, menggumpal membentuk masa yang dapat dilihat pada tes
flokulasi. Massa tersebut juga dapat bersatu dengan komplemen yang
merupakan dasar bagi tes ikatan komplemen. Contoh tes nontreponemal :
- Tes fiksasi komplemen : Wasserman (WR), Kolmer.
- Tes flokulasi : VDRL (Venereal Disease Research Laboratories), Kahn,
RPR (Rapid Plasma Reagin), ART (Automated Reagin Test), dan RST
(Reagin Screen Test).
Diantara tes-tes tersebut, yang dianjurkan ialah VDRL dan RPR secara
kuantitatif, karena teknik lebih mudah dan lebih cepat dari pada tes fiksasi
komplemen, lebih sensitif daripada tes Kolmer/Wasserman, dan baik untuk
menilai terapi.
Tes RPP dilakukan dengan antigen VDRL, kelebihan RPP ialah flokulasi
dapat dilihat secara makroskopik, lebih sederhana, serta dapat dibaca setelah
sepuluh menit sehingga dapat dipakai untuk screening.
56

Kalau terapi berhasil, maka titer VDRL cepat menurun, dalam enam minggu titer
akan menjadi normal. Tes ini dipakai secara rutin, termasuk untuk tes screening.
Jika titer seperempat atau lebih tersangka penderita sifilis, mulai positif setelah
dua sampai empat minggu sejak S I timbul. Titer akan meningkat hingga
mencapai puncaknya pada S II lanjut (1/64) atau (1/128) kemudian berangsurangsur menurun dan menjadi negatif.
Pada tes flokasi dapat terjadi reaksi negatif semu karena terlalu banyak reagin
sehingga flokulasi tidak terjadi. Reaksi demikian disebut reaksi si prozon. Jika
serum diencerkan dan tes lagi, hasilnya menjadi positif.
2. Treponemal
Tes ini bersifat spesifik karena antigennnya ialah treponema atau ekstraknya dan
dapat digolongkan menjadi empat kelompok :
Tes Imobilisasi : TPI (Treponemal pallidum Imobilization Test).
Tes fiksasi komplemen : RPCF (Reiter Protein Complement Fixation
Test).
Tes Imunofluoresen : FTA-Abs (Fluorecent Treponemal Antbody
Absorption Test), ada dua : lgM, lgG; FTA-Abs DS (Fluorescent
Treponemal Antibody-Absorption Double Staining).
o Tes hemoglutisasi : TPHA (Treponemal pallidum Haemoglutination Assay), 19S
lgM SPHA (Solid-phase Hemabsorption Assay), HATTS (Hemagglutination
Treponemal Test for Syphilis), MHA-TP (Microhemagglutination Assay for
Antibodies to Treponema pallidum).
TPI merupakan tes yang paling spesifik, tetapi mempunyai kekurangan : biasanya
mahal, teknis sulit, membutuhkan waktu banyak. Selain itu juga reaksinya lambat ,
baru positif pada akhir stadium primer, tidak dapt digunakan untuk menilai hasil
pengobatan, hasil dapat negatif pada sifilis dini dan sangat lanjut.
RPCF sering digunakan untuk tes screening karena biayanya murah; kadangkadang didapatkan reaksi positif semu. FTA-Abs paling sensitif (90%), terdapat
dua macam yaitu untuk lgM dan lgG sudah positif pada waktu timbuk kelainan S I.
lg M sangat reaktif pada sifilis dini, pada terapi yang berhasil titer lgM cepat turun,

57

sedangkan lgG lambat. lgM penting untuk mendiagnosis sifilis kongenital (lihat
bab mengenai sifilis kongenital).
TPHA merupakan tes treponemal yang dianjurkan karena teknis dan
pembacaan hasilnya mudah, cukup spesifik dan sensitif, menjadi reaktifnya cukup
dini. Kekurangannya tidak dapat dipakai untuk menilai hasil terapi, karena tetap
reaktif dalam waktu yang lama. Tes ini sudah dapat dilakukan di Indonesia.
Sebaliknya dilakukan secara kuantitatif yakni dengan pengenceran antar 1/80
1/1024.
lgS lgM SPHA merupakan tes yang reaktif baru. Sebagai antiserum ialah
cincin spesifik U dan reagin TPHA. Secara teknis lebih mudah daripada FTA-Abs
lgM. Maksud tes ini ialah untuk mendeteksi secara cepat lgM yang spesifik
terhadap T. Pallidum dan memegang peranan penting untuk membantu diagnosis
neurosifilis. Jika titernya melebihi 2560, artinya menyongkong diagnosis aktif.
Menurut Notowics (1981) urutan sensitivitas untuk S I sebagai berikut: FTAAbs, RPR, RPCF, VDRL, Kolmer, TPI. Pada sifilis laten ialah : FTA-Abs, RPCF,
RPR, VDRL, Kolmer.
ONeil membandingkan tes FTA-Abs lgG/lgM, TPHA, dan VDRL. Yang cepat
bereaksi ialah FTA-Abs, yakni satu minggu setelah afek primer. Disusul oleh FTAAbs lgG, kemudian TPHA bersama-sama VDRL. Pada pengobatan yang paling
cepat menurun berturt-turut ialah VDRL, FTA-Abs lgM, FTA-Abs lgG, sedangkan
titer TPHA masih tetap tinggi. Menurut Platts (1974), WR lebih lambat bereaksi
dibandingkan VDRL/RPCF, sedangkan TPI lebih lambat daripada WR. Pada tabel
58-1 dicantumkan enam pola serologik dan interprestasinya yang dikemukakan
oleh ONeil.
Sensitivitas MHA-TP hampir sama dengan FTA-Abs pada S II, laten dan
stadium lanjut, tetapi pada S I FTA-Abs lebih sensitif. Pada sifilis laten dan S III,
tes nontreponemal bervariasi : positif lemah atau negatif, sedangkan tes treponemal
positif lemah. Tes rutin yang dianjurkan ialah RPP/VDRL dan TPHA, dipakai
sebagai pemeriksaan pembantu dan screening. Jika perlu baru FTA-Abs; sayang
tes ini umumnya belum dapat dilakukan di Indonesia.
Bila hasil tes serologik tidak sesuai dengan klinis, tes tersebut peru diulangi,
karena mungkin terjadi kesalahan teknis. Kalau perlu di laboratorium lain.

58

Demikian pula jika hasil tes yang satu dengan yang lain tidak sesuai, misalnya titer
VDRL rendah (1/4), sedangkan titer TPHA tinggi (1/1024)
Pemeriksaan mikroskopis lapangan gelap terhadap lesi kulit, merupakan
pemeriksaan yang paling spesifik untuk diagnosis sifilis. Kuman spirochaeta hidup
berbentuk khas seperti sekrup, dapat terlihat pada pemeriksaan slide eksudat secara
mikroskopis.
Uji absorpsi antibodi treponema menggunakan fluoresensi akan mendeteksi
antigen T.pallidum yang terdapat pada jaringan, cairan mata, LCS, sekret
trakeobronkial dan eksudat pada lesi. Pemeriksaan ini sangat sensitif untuk
mendeteksi sifilis pada berbagai tahap. Sekali reaktif, ia akan tetap reaktif.
Prosedur lain adalah uji serologis berupa uji VDRL (Venereal Disease Research
Laboratory) dan RPR (Rapid Plasma Reagin), untuk mendeteksi antibodi
nonspesifik. Keduanya reaktif pada minggu 1-2 setelah munculnya lesi primer
atau 4-5 minggu setelah dimulainya infeksi. Pada neurosifilis, pemeriksaan LCS
menunjukkan kadar protein di atas 40 mg/dL, VDRL reaktif, dan hitung sel lebih
dari 5 sel mononuklear/ uL.
Pemeriksaan LCS
Diagnosis neurosifilis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan LCS dengan hitung
leukosit > 20 sel/ L, dan/atau VDRL LCS reaktif, dan/atau indeks antibodi T.
pallidum LCS intratekal positif. Terdapat kelainan LCS berupa peningkatan kadar
protein dan pleiositosis pada 70% pasien, disertai hasil VDRL terhadap LCS yang
reaktif. Pemeriksaan LCS dianjurkan bagi semua pasien sifilis yang tidak diobati,
karena ketidaktahuan atau pada yang lebih dari 1 tahun tanpa diobati. Pemberian
penisilin G pada tahap awal sifilis tidak mencapai kadar treponemasidal di LCS,
sehingga para ahli menganjurkan agar penderita sifilis sekunder dan laten awal
melakukan pungsi lumbal, dan terus memfollow-up penderita yang hasilnya
abnormal.
Pungsi lumbal diperlukan untuk mengevaluasi sifilis laten yang telah
berlangsung lebih dari 1 tahun, pada kecurigaan neurosifilis, dan komplikasi
lanjut selain neurosifilis simtomatik (sifilis asimtomatik dapat timbul bersama
komplikasi lainnya). Titer RPR serum 1:32 merupakan batas perlu tidaknya
dilakukan pungsi lumbal. Untuk menilai keberhasilan terapi, dapat dilakukan
59

pengawasan berkala terhadap hasil pemeriksaan LCS, misalnya pleiositosis pada


LCS. Meski demikian, pungsi lumbal harus dilakukan dengan hati-hati jika pada
pemeriksaan neuroimaging ditemukan adanya gumma (berupa space- occupying
lesion) karena dapat terjadi hernia sefalokaudal.
Kriteria diagnosis standar untuk sifilis, adalah ditemukannya spirochaeta
pada lesi primer dan sekunder menggunakan pemeriksaan lapangan gelap. Namun
diagnosis neurosifilis ditegakkan berdasarkan klinis, yaitu manifestasi neurologis,
temuan LCS dan bukti paparan pada uji serologis. Pada kasus perinatologi, jika
terjadi peningkatan beta2-mikroglobulin pada LCS, maka diduga ada keterlibatan
SSP pada kasus sifilis kongenital. Pemeriksaan ini juga dapat digunakan untuk
memonitor respon terhadap terapi.
Pemeriksaan serologis
Infeksi sifilis akan merangsang timbulnya 2 jenis antibodi, yaitu antibodi
nonspesifik reaginik (cardiolipin) dan antibodi spesifik treponema. Cardiolipin
dapat positif pada infeksi yang disebabkan oleh semua infeksi treponema,
termasuk treponema nonsifilis. Pemeriksaan VDRL dan RPR termasuk
pemeriksaan nontreponemal, sementara yang termasuk pemeriksaan treponema
adalah FTA-ABS dan microhemag-glutination assay-T pallidum (MHA-TP).
FTA-ABS dan MHA-TP bersifat sangat reaktif (sensitif dan spesifik) dan
mengonfirmasi diagnosis sifilis sekunder, laten, tersier, dan kuarterner. Hasil ini
tetap positif, meski telah terjadi kesembuhan atau serokonversi. Hasil positif palsu
dapat terjadi pada Lyme disease.
Pada pemeriksaan nontreponema, RPR lebih sering digunakan dibanding VDRL.
Keduanya memiliki sensitivitas yang sama, dan dapat digunakan dalam tes
penyaringan serta follow-up serial. Pada sifilis tersier, hasil pemeriksaan VDRL
akan tetap positif. Respon terhadap terapi dapat dinilai berdasarkan penurunan
titer antibodi. Jika titer malah meningkat, kemungkinan ada reinfeksi atau terapi
yang inadekuat. Titer VDRL tidak berhubungan langsung dengan titer RPR. Oleh
karena itu, jenis pemeriksaan yang digunakan untuk menilai harus selalu sama.
Hindari kontaminasi darah selama pungsi lumbal, untuk mencegah hasil positif
palsu pada pemeriksaan serologis LCS, termasuk untuk FTA-ABS.

60

Untuk follow-up, CDC AS menganjur- kan bahwa pasien yang menjalani terapi
sifilis primer atau sekunder harus dianggap mengalami kegagalan pengobatan,
jika titer RPRnya tidak menurun dengan 2 atau lebih pengenceran dalam waktu 3
bulan setelah terapi. Sejumlah ahli menganjurkan pungsi lumbal 6 bulan setelah
terapi pada penderita sifilis dengan infeksi HIV, guna mengevaluasi respon terapi,
bersama dengan evaluasi klinik dan pemeriksaan serologis berkala. Pemeriksaan
VDRL pada LCS perlu waktu bertahun-tahun untuk kembali normal. Untuk itu,
respon terapi sebaiknya dilihat melalui pleiositosis pada LCS. Pasien dianggap
tidak memiliki kecenderungan neurosifilis, jika pemerik- saan LCS normal dua
tahun setelah terapi.
8. PENATALAKSANAAN
Pada pengobatan jangan dilupakan agar mitra seksualnya juga diobati, danselama
belum sembuh penderita dilarang bersanggama. Pengobatan dimulai sedinimungkin,
makin dini hasilnya makin baik. Pada sifilis laten terapi bermaksud mencegah proses
lebih lanjut. Pengobatannya menggunakan penisilin dan antibiotik lain.
PENISILIN
Obat

yang

merupakan

pilihan

ialah

penisilin.

Obat

tersebut

dapat

menembus placenta sehingga mencegah infeksi Pada janin dan dapat menyembuhkan
janin yangterinfeksi; juga efektif untuk neurosifilis.
Kadar yang tinggi dalam serum tidak diperlukan, asalkan jangan kurang dari0,03 unit/ml.
Yang penting ialah kadar tersebut hares bertahan dalam serum selamasepuluh sampai
empat betas hari untuk sifilis dini dan lanjut, dua puluh sate hariuntuk neurosifilis dan
sifilis kardiovaskular. Jika kadarnya kurang dari angka tersebut, setelah lebih dari dua
puluh empat sampai tiga puluh jam, maka kuman dapat berkembang biak.
Menurut lama kerjanya, terdapat tiga macam penisilin:
a. Penisilin G prokain dalam akua dengan lama kerja dua puluh empat jam,
jadi bersifat kerja singkat.

61

b. Penisilin G prokain dalam minyak dengan aluminium monostearat (PAM), lama


kerja tujuh puluh dua jam, bersifat kerja sedang.
c. Penisilin G benzatin, dengan dosis 2,4 juts unit akan bertahan dalam serum dua
sampai tiga minggu, bersifat kerja lama.
Ketiga

obat

tersebut

diberikan

intramuskular. Derivat

penisilin

per

oral

tidak dianjurkan karena absorpsi oleh saluran cerma kurang dibandingkan dengan
suntikan. Cara pemberian penisilin tersebut sesuai dengan lama kerja masing-masing;
yang pertama diberikan setiap hari, yang kedua setiap tiga hari, dan yang ketiga
biasanya setiap minggu.
Penisilin G benzatin karena bersifat kerja lama, maka kadar obat dalam serum dapat
bertahan lama dan lebih praktis, sebab penderita tidak perlu disuntik setiap hari
seperti pada pemberian penisilin G prokain dalam akua. Obat ini mempunyai
kekurangan, yakni tidak dianjurkan untuk neurosifilis karena sukar masuk ke dalam
darah di otak, sehingga yang dianjurkan ialah penisilin G prokain dalam akua.
Karena penisilin G benzatin memberi rasa nyeri pada tempat suntikan, ada yang tidak
menganjurkan pemberiannya kepada bayi. Demikian pula PAM memberi rasa nyeri
pada tempat suntikan dan dapat mengakibatkan abses jika suntikan kurangdalam; obat
ini kini jarang digunakan.1
Pada sifilis kardiovaskular terapi yang dianjurkan ialah dengan penisilin G benzatin
9,6 juta unit, diberikan 3 kali 2,4 juta unit, dengan interval seminggu.
Untuk neurosifilis terapi yang dianjurkan ialah penisilin G prokain dalam akua 18-24
jutaunit sehari, diberikan 3-4 juta unit, i.v. setiap 4 jam selama 10-14 hari.2Pada sifilis
kongenital, terapi anjurannya ialah penisilin G prokain dalam akua100.000-150.000
satuan/kg B.B. per hari, yang diberikan 50.000 unit/kg B.B., i.m.,setiap hari selama
10 hari.
Reaksi Jarish-Herxheimer
Pada terapi sifilis dengan penisilin dapat terjadi reaksi Jarish- Herxheimer. Sebab
yang pasti tentang reaksi ini belum diketahui, mungkin disebabkan oleh
62

hipersensitivitas akibat toksin yang dikeluarkan oleh banyak T. Pallidum yang coati.
Dijumpai sebanyak 50-80% pada sifilis dini. Pada sifilis dini dapat terjadi setelah
enam sampai dua belas jam pada suntikan penisilin yang pertama. Gejalanya dapat
bersifat umum dan lokal. Gejala umum biasanya hanya ringan berupa sedikit demam.
Selain itu dapat pula berat: demam yang tinggi, nyeri kepala ,artralgia, malese,
berkeringat, dan kemerahan pada muka.3 Gejala lokal yakni afek primer menjadi
bengkak karena edema dan infiltrasi sel, dapat agak nyeri. Reaksi biasanya akan
menghilang setelah sepuluh sampai dua belas jam tanpa merugikan penderita pada S
I.
Pada sifilis lanjut dapat membahayakan jiwa penderita, misalnya: edema
glotis pada penderita dengan guma di laring, penyempitan arteria koronaria pada
muaranya karena edema dan infiltrasi, dan trombosis serebral. Selain itu juga dapat
terjadi ruptur aneurisma atau ruptur dinding aorta yang telah menipis yang
disebabkan oleh terbentuknya jaringan fibrotik yang berlebihan akibat penyembuhan
yang cepat. Pengobatan reaksi Jarish-Herxheimer ialah dengan kortikosteroid,
contohnya dengan prednison 20-40 mg sehari. Obat tersebut juga dapat digunakan
sebagai pencegahan, misalnya pada sifilis lanjut, terutama pada gangguan aorta dan
diberikandua sampai tiga hari sebelum pemberian penisilin serta dilanjutkan dua
sampai tiga hari kemudian.1

Tabel 1. Ikhtisar Penatalaksanaan Sifilis


Sifilis

Pengobatan

Pemantauan Serologik

Sifilis primer

1. Penisilin G benzatin Pada bulan I, III, VI, dan


dosis 4,8 juta unit XII dan setiap enam bulan
secara IM 2,4 juta) pada tahun ke dua
dan diberikan satu kali
seminggu unit.
2. Penisilin G prokain
63

dalam akua dosis total


6 juta, diberi 0,6 juta
unit/hari

selama

10

hari
3. PAM (penisilin prokain
+2%

aluminium

monostrerat) dosis 4,8


juta unit, diberikan 1,2
juta unit/kali 2 kali
seminggu

Sifilis sekunder

Sama seperti sifilis primer

Sifilis laten

1.Penisilin

benzatin

dosis total 7,2 juta unit


2.Penisilin

prokain

dalam akua, dosis total 12


juta unit (0,6 juta unit/hari)
3. PAM dosis total 7,2juta
unit (1,2 juta unit/kali, 2
kali seminggu)
Sifilis S III

1.Penisilin

benzatin

dosis total 9,6 juta unit


2.Penisilin

prokain

dalam akua, dosis total 18


juta unit (0,6 juta unit/hari)
3. PAM dosis total 9,6 juta
unit (1,2 juta unit/kali, 2

64

kali seminggu)

ANTIBIOTIK LAIN
Selain

penisilin,

masih

ada

beberapa

antibiotik

yang

dapat

digunakan

sebagai pengobatan sifilis, meskipun tidak seefektif penisilin. Bagi yang alergi
terhadap penisilin diberikan tetrasiklin 4 x 500 mg/hari, atauaeritromisin 4 x 500
mg/hri, atau doksisiklin 2 x 100 mg/hari. Lama pengobatan 15 hari bagi S I dan S II
dan 30 hari bagi stadium laten. Eritromisin bagi yang hamil, efektivitasnya
meragukan. Doksisiklin absorbsinya lebih baik daripada tetrasiklin, yakni 90-100%,
sedangkan tetrasiklin hanya 60-80%.
Pada penelitian terbaru didapatkan bahwa doksisiklin atau eritromisin yangdiberikan
sebagai terapi sifilis primer selama 14 hari, menunjukkan perbaikan. Obat yang lain
ialah golongan sefalosporin, misalnya sefaleksin 4 x 500 mgsehari selama 15 hari.
Juga seftriakson setiap hari 2 gr, dosis tunggal i.m. atau i.v.selama 15 hari.
Azitromisin juga dapat digunakan untuk S I dan S 11, terutama dinegara yang sedang
berkembang untuk menggantikan penisilin. Dosisnya 500 mg sehari sebagai dosis
tunggal. Lama pengobatan 10 hari.
TINDAK LANJUT
Evaluasi T.S.S. (V.D.R.L) dibagian kami sebagai berikut:
-

1 bulan sesudh pengobatan selesai T. S. S diulang:


a. Titer : tidk diberikan pengobatan lagi.
b. Titer : pengobatan ulang
c. Titer menetap : tunggu 1 bulan lagi

1 bulan sesudah c:
a. Titer : tidak diberikan pengobatan

65

b. Titer atau tetap : pengobatan ulang


Kriteria sembuh, jika lesi telah menghilang, kelenjar getah bening tidak teraba
lagi dan V.D.R.L negatif. Pada sifillis dini yang diobati T.S.S (VDRL/RPR) akan
menjadi negative dalam 3-6 bulan. Pada 16% kasus tetap positif dengan titer
rendah selama setahun atau lebih, tetapi akan menjadi neatif setelah 2 tahun.
Tindak lanjut dilakukan sesudah 3,6 dan 12 bulan sejak selesai pengobatan.
Setelah setahun diperiksa liquor serebrispinal. Kasus yang mengalami kambuh
serologic atau klinis diberikan terapi ulang dengan dosis dua kali lebih banyak.
Terapi ulang juga untuk kasus seroresisten yang tidak terjadi penurunan titer
serologic setelah 6-12 bulan setelah terapi. Pada sifilis laten tindak lanjut
dilakukan selama 2 tahun. Penderita sifilis kardiovaskuler dan neurosifilis yang
telah diobti hendaknya ditindaklanjuti selama bertahun-tahun.
VIII. PROGNOSIS
Dengan ditemukannya penisilin, maka prognosis sifilis menjadi lebih baik. Untuk
menentukan penyembuhan mikrobiologik, yang berarti bahwa semua T.pallidum di
badan terbunuh tidaklah mungkin.

Penyembuhan berarti sembuh klinis seumur

hidup, tidak menular keorang lain, T.S.S pada darah dan likuor serebrospinalis selalu
negative. Jika sifilis tidak diobati, maka hampir seperempatnya akan kambuh, 5%
akan mendapat S III, 10% mengalami sifilis kardiovaskular, neurosifilis pada pria 9%
dan pada wanita 5%, 23%akan meninggal. Pada sifilis dini yang diobati, angka
penyembuhan mencapai 95%. Kelainan kulit akan sembuh dalam 7-14 hari.
Pembesaran kelenjar getah bening akan menetap berminggu-minggu. Kegagalan
terapi sebanyak 5% pada S I dan S II. Kambuh klinis umumnya terjadi 30 setahun
sesudah terapi, berupa lesi menular pada mulut, tenggorok, dan region perianal.
Disamping itu dikenal pula kambuh serologic, yang berarti T.S.S yang negative
menjadi positif atau yang telah positif menjadi makin positif. Rupanya kambuh
serologic ini mendahului kambuh klinis. Kambuh klinis pada wanita juga dapat
bermanifestasi pada bayi berupa sifilis kongenital. Pada sifilis laten lanjut
prognosisnya baik, prognosis pada sifilis gumatosa bergantung pada alat yang dikenai
dan banyaknya kerusakan. Dengan melihat hasil T.S.S pada sifilis lanjut sukar
66

ditentukan prognosisnya. T.S.S yang tetap positif lebih daripada 80% meskipun telah
mendapat terapi yang adekuat. Umumnya titer akan menurun jika meningkat
menunjukkan kambuh dan memerlukan terapi ulang. Pada sifilis kardiovaskular
prognosisnya suka ditentukan. Pada aortitis tanpa komplikasi prognosisnya baik. Pada
payah jantung prognosisnya buruk. Aneurisma merupakan komplikasi berat karena
dapat mengalami rupture. Meskipun demikian sebagian penderita dapat hidup sampai
10 tahun atau lebih. Prognosis pada wanita lebih baik daripada pria. Pada kelainan
arteria koronaria,

prognosisnya bergantung pada derajat penyempitan yang

berhubungan dengan kerusakan miokardium.

Pada setiap stadium sifilis

kardiovaskular penderita dapat meninggal secara mendadak akibat oklusi muara arteri
koronaria,

rupture aneurisma, atau kerusakan katup. Prognosis neurosifilis

bergantung pada tempat dan derajat kerusakan. Sel saraf yang rusak bersifat
irreversible. Prognosis

neurosifilis dini baik, angka penyembuhan dapat

mencapai100%, neurosifilis asimptomatik pada stadium lanjut prognosisnya juga


baik, kurang dari 1%memerlukan terapi ulang. Pada kasus sifilis meningitis,
penyembuhan lebih dari 50%. Pada demensia paralitika ringan 50% menunjukkan
perbaikan. Pada tabes dorsalis hanya sebagian gejala akan menghilang, sedangkan
yang lain menetap. Prognosis sifilis congenital dini baik. Pada yang lanjut
prognosisnya bergantung pada kerusakan yang telah ada. Stigmata akan menetap,
misalnya keratitis interstitialis, ketulian nervus VIII, dan Clutton`s joint . Meskipun
telah diobati, tetapi pada 70% kasus ternyata tes reagen tetap positif.1

BAB III
DAFTAR PUSTAKA
1. USU. Pioderma. Diunduh dari: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/
40233/3/Chapter%20II.pdf. Diakses tanggal 20 mei 2016.
2. Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, Siti Aisah. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi ke-4. Jakarta : FKUI. 2006.
3. Siregar, R.S, 2005. Atlas Berwama Saripati Penyakit Kulit. Edisi Kedua. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Hal. 45-49

67

4. Wahid, Dian Ibnu. Impetigo: Terapi dan Penggunaan Antibiotika Topikal


Berdasarkan

Evidence

Based

Medicine.

18

Mei

2008.

Diakses

di

http://diyoyen.blog.friendster.com/2009/05/impetigo-terapi-dan-penggunaan-antibiot
ik-topikal-berdasarkan-evidence-based-medicine/
5. Makalah impetigo. Availble at : http://www.darwaners.co.cc/2010/08/makalahimpetigo.html
6. Nugraha S. Folikulitis. Diunduh dari : http://journal-kesehatan.blogspot.co.id/
2011/11/folikulitis.html. Diakses tanggal 20 mei 2016.
7. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi Kelima,
cetakan pertama,Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007, Hal 59 60.
8. Abdullah, Benny. Furunkulosis. In: Dermatologi Pengetahuan Dasar dan Kasusdi
Rumah Sakit. SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSU Haji.Surabaya.2009. hal
113-115.
9. W Klaus, Johnson RA. Fitzpatricks Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology,
ed. Ke-6. United States: The McGraw-Hill Companies, 2009.
10. Hutapea, NO. Sifilis. Daili SF, Makes WIB, Zubier F. Infeksi Menular Seksual, Balai

Penerbit FKUI, Jakarta,2009. h:84-102.

68

Anda mungkin juga menyukai