Anda di halaman 1dari 3

Alergi Vaksin COVID-19, Jarang Tapi Bisa Fatal

Ari Baskoro

Divisi Alergi – Imunologi Klinik


Departemen/ SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK Unair/ RSUD Dr. Soetomo - Surabaya

Inggris merupakan negara pertama di dunia yang menerapkan vaksinasi COVID-19


massal pada rakyatnya. Namun diberitakan telah terjadi reaksi alergi pada dua orang
penerima vaksin yang kebetulan keduanya berprofesi sebagai perawat. Vaksin yang mereka
gunakan berbeda teknologi pembuatannya dengan vaksin Sinovac yang akan dilaksanakan
dalam waktu dekat ini di Indonesia. Sebagai prioritas pertama vaksinasi di negeri kita ini
adalah tenaga kesehatan yang merupakan ujung tombak perlawanan terhadap COVID-19.
Inggris menggunakan vaksin produksi Pfizer/BioNTech yang menerapkan teknologi baru
vaksin pertama di dunia, yaitu menggunakan platform messenger RNA. Komponen vaksin
merupakan potongan material genetik virus dan dalam tubuh penerimanya akan memicu
terbentuknya antigen spike (S) yang berbentuk seperti tonjolan-tonjolan di permukaan virus.
Antibodi spesifik yang terbentuk setelah mendapatkan vaksinasi, akan dapat mencegah
melekatnya virus pada sel tubuh manusia melalui terikatnya antigen S tersebut.
Sinovac merupakan jenis vaksin yang berasal dari virus yang telah dimatikan dan
mengandung seluruh komponen antigen virus. Antibodi yang terbentuk pasca vaksinasi tidak
hanya terhadap antigen S yang sebenarnya memegang peran utama terhadap terjadinya
infeksi, namun juga terbentuk terhadap komponen antigen virus lainnya. Vaksin jenis ini
merupakan platform vaksin yang paling “tua” dan lazim diterapkan untuk penyakit menular
sebelum COVID-19.

Imunisasi dan Vaksinasi.


Imunitas manusia pada dasarnya terdiri dari dua tipe, yaitu imunitas pasif dan aktif.
Imunitas pasif didapatkan melalui pemberian antibodi dalam bentuk imunoglobulin.
Imunoglobulin yang diberikan bertujuan untuk mencegah atau menghilangkan efek dari
infeksi atau toksin penyebab. Sebagai contoh adalah pemberian anti diphteria serum (ADS)
untuk menetralisasi toksin yang dilepaskan oleh bakteri Corynebacterium diphteria sebagai
penyebab penyakit difteri. Plasma konvalesen yang berasal dari plasma penyintas COVID-19,
mengandung sejumlah besar imunoglobulin yang dapat diberikan pada penderita COVID-19
lainnya, dalam upaya membantu mempercepat penyembuhan. Dalam kedua contoh
tersebut, tubuh manusia tidak secara aktif membentuk antibodi, oleh karenanya imunitas
pasif tersebut tidak akan bertahan lama dan umumnya hanya berlangsung beberapa bulan
saja.
Imunitas aktif dapat dibangkitkan dengan memaparkan suatu antigen tertentu,
sehingga tubuh akan membentuk antibodi secara aktif. Antibodi yang terbentuk ini, dapat
relatif bertahan lama dan bertujuan menimbulkan kekebalan terhadap suatu agen infeksi
tertentu. Tindakan inilah yang disebut sebagai vaksinasi.
Reaksi alergi terhadap vaksin, merupakan suatu reaksi hipersensitivitas, artinya sistem
imun tubuh seseorang memberikan reaksi yang berlebihan dan menyimpang terhadap
berbagai komponen yang terdapat dalam vaksin. Sebaliknya, mayoritas individu yang
“normal”, tidak menampilkan reaksi tersebut. Vaksin tidak hanya mengandung komponen
utama (bahan aktif) berupa antigen virus, tapi juga mengandung adjuvan ( misalnya garam
aluminium untuk memaksimalkan reaksi terbentuknya antibodi), bahan pengawet (misalnya
thimerosal) untuk mencegah kontaminasi bakteri atau jamur dan pelarut cairan (air atau
natrium klorida) serta stabilizer (menstabilkan vaksin) yang umumnya terbuat dari sukrosa,
laktosa atau protein (albumin atau gelatin).
Alergi merupakan bagian dari kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI). Pada umumnya
KIPI menimbulkan reaksi yang sifatnya lokal ( nyeri , kemerahan, bengkak pada tempat
suntikan atau berlanjut menimbulkan infeksi bakteri), maupun sistemik ( demam, nyeri otot
seluruh tubuh, nyeri sendi, badan terasa lemah dan sakit kepala). Manifestasi yang terjadi ini,
seluruhnya merupakan KIPI yang bisa diprediksi dan relatif lazim terjadi serta semua tenaga
medis yang terlibat dalam program imunisasi sudah cukup kompeten menangani kasus-kasus
seperti ini. Namun sebaliknya, reaksi alergi pasca imunisasi bisa berlangsung secara tidak
terduga, tidak bisa diprediksi terjadinya dan potensial berbahaya karena bisa mengancam
jiwa, khususnya pada anafilaksis yang merupakan bentuk alergi yang paling berat. Reaksi
anafilaksis umumnya terjadi dengan cepat (biasanya 5-30 menit setelah suntikan).
Manifestasi klinisnya pada umumnya diawali bintul-bintul kemerahan (urtikaria) pada bagian
tubuh yang bisa bersifat lokal maupun menyeluruh, gatal, pembengkakan (angioedema)
terutama pada daerah bibir dan kelopak mata, kemudian diikuti tenggorokan yang terasa
seperti tercekik, sesak disertai suara mengih, mual, muntah, kejang perut, hilangnya
kesadaran, hipotensi dan bila tidak segera mendapatkan pertolongan yang tepat, dapat
terjadi syok yang bisa berujung pada kematian. Dalam bentuk reaksi alergi vaksin yang ringan
(gatal, bintul-bintul dan kemerahan pada kulit) akan bisa teratasi dengan baik bila diberikan
obat anti alergi, namun pada kasus alergi vaksin yang berat, diperlukan penanganan dan
observasi di rumah sakit oleh para ahli yang berkompeten.
Pemantauan dan Penanggulangan KIPI
Pemantauan kasus KIPI segera dilakukan setelah dilakukannya vaksinasi. KIPI yang
meresahkan dan menimbulkan perhatian berlebihan masyarakat, harus segera ditindak
lanjuti, dilakukan investigasi dan segera dilaporkan langsung kepada Kementerian Kesehatan
cq Sub Direktorat Vaksinasi/Komnas PP-KIPI.
Aspek Hukum KIPI
Imunisasi secara medis merupakan tindakan yang aman, namun kadang-kadang
terancam oleh efek samping atau efek buruk yang merupakan bagian dari KIPI. Dalam bentuk
program, imunisasi massal akan memunculkan kekerapan KIPI yang dapat merugikan jasmani
dan bahkan nyawa pasien yang semula sebagai klien petugas kesehatan. Menurut seorang
pakar bidang kedokteran forensik FKUI, Agus Purwadianto yang menyatakan hukum,
khususnya hukum administrasi negara yang dilandasi oleh etika sosial dan manajemen yang
lege artis mengharuskan pejabat kesehatan hingga ke tenaga pelaksana kesehatan
melaksanakan program tersebut, sehingga program imunisasi tercapai, tanpa menimbulkan
gugatan hukum yang tidak perlu dari pasien yang “dirugikan” akibat KIPI. Efektivitas dan
efisiensi program akan seimbang dengan yuriditas dan legalitasnya. Bila gugatan hukum
muncul, kerangka hukum penyelesaian dan perlindungannya terdapat dalam lingkup hukum
administrasi negara yang berbeda dengan hukum kesehatan perorangan. Petugas kesehatan
dilindungi oleh standar prosedur operasional, pemberian informed consent kolektif,
pembuatan surat tugas dan bahkan tindakan diskresioner sesuai dengan kondisi dan situasi
lapangan demi kepentingan klien dan pasien.
Akhirnya, semoga program vaksinasi COVID-19 di Indonesia dapat berjalan dengan
baik dan bisa membantu mengatasi pandemi yang sudah berlangsung cukup lama.

-----o-----
Surabaya, Jumat, 11 Desember 2020

Anda mungkin juga menyukai