Disusun Oleh :
PUTRI SEPTIANI (2001030)
B.Etiologi
a.Trauma langsung
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang. Hal tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat
komuniti dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan.
b.Trauma tidak langsung
Apabila trauma dihantarkan kedaerah yang lebih jauh dari daerah fraktur, trauma tersebut
disebut trauma tidak langsung. Pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap utuh.
Fraktur juga dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir
mendadak, dan kontraksi otot ekstrim.
Fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebih oleh tulang
Jenis dan beratnya patah tulang dipengaruhi oleh :
1) Arah, kecepatan dan kekuatan dari tenaga yang melawan tulang
2) Usia penderita
3) Kelenturan tulang
4) Jenis tulang
Dengan tenaga yang sangat ringan, tulang yang rapuh karena osteoporosis atau tumor biasanya
menyebabkan patah tulang
C.Patofisiologi
Fraktur dapat terjadi karena trauma / rudapaksa sehingga dapat menimbulkan luka terbuka dan
tertutup. Fraktur luka terbuka memudahkan mikroorganisme masuk kedalam luka tersebut dan
akan mengakibatkan terjadinya infeksi.
Pada fraktur dapat mengakibatkan terputusnya kontinuitas jaringan sendi, tulang bahakan kulit
pada fraktur terbuka sehingga merangsang nociseptor sekitar untuk mengeluarkan histamin,
bradikinin dan prostatglandin yang akan merangsang serabut A-delta untuk menghantarkan
rangsangan nyeri ke sum-sum tulang belakang, kemudian dihantarkan oleh serabut-serabut saraf
aferen yang masuk ke spinal melalu “dorsal root” dan sinaps pada dorsal horn. Impuls-impuls
nyeri menyeberangi sum-sum belakang pada interneuron-interneuron dan bersambung dengan
jalur spinal asendens, yaitu spinothalamic tract (STT) dan spinoreticuler tract (SRT). STT
merupakan sistem yang diskriminatif dan membawa informasi mengenai sifat dan lokasi dari
stimulus kepada thalamus kemudian ke korteks untuk diinterpretasikan sebagai nyeri.
Nyeri bisa merangsang susunan syaraf otonom mengaktifasi norepinephrin, sarap msimpatis
terangsang untuk mengaktifasi RAS di hipothalamus mengaktifkan kerja organ tubuh sehingga
REM menurun menyebabkan gangguan tidur.
Akibat nyeri menimbulkan keterbatasan gerak (imobilisasi) disebabkan nyeri bertambah bila
digerakkan dan nyeri juga menyebabkan enggan untuk bergerak termasuk toiletening,
menyebabkan penumpukan faeses dalam colon. Colon mereabsorpsi cairan faeses sehingga
faeses menjadi kering dan keras dan timbul konstipasi.
Imobilisasi sendiri mengakibatkan berbagai masalah, salah satunya dekubitus, yaitu luka pada
kulit akibat penekanan yang terlalu lama pada daerah bone promenence.
Perubahan struktur yang terjadi pada tubuh dan perasaan ancaman akan integritas stubuh,
merupakan stressor psikologis yang bisa menyebabkan kecemasan.
Terputusnya kontinuitas jaringan sendi atau tulang dapat mengakibatkan cedera neuro vaskuler
sehingga mengakibatkan oedema juga mengakibatkan perubahan pada membran alveolar
(kapiler) sehingga terjadi pembesaran paru kemudian terjadi kerusakan pada pertukaran gas,
sehingga timbul sesak nafas sebagai kompensasi tubuh untk memenuhi kebutuhan oksigen.
Rudapaksa atau trauma berat Penyakit (Osteoporosis)
Fraktur
↓
Adanya hubungan Luka terbuka
dengan dunia luar ↓
↓ Terputusnya kontinuitas jaringan
Organisme merugikan ↓
mudah masuk Nyeri saat digerakan
↓ dan keengganan bergerak Merangsang
Resikoinfeksi ↓ nociceptor
Kerusakan mobilitas fisik sekitar untuk
↓ mengeluarka
Mobilisasi sekret terganggu histamin,
↓ bradikinin,
Kerusakanpertukarangas prostaglandin
↓
Nyeri
dihantarkan
melalui
Serabut A-
delta dan
↓
Cedera vaskuler, Penekanan yang Tirah baring yang Sumsum
pembentukan trombus terlalu lama cukup lama tulang
↓ ↓ ↓ belakang
Oedema Sirkulasi darah Bising usus menurun ↓
↓ terganggu ↓ Serabut saraf
↓ Retensi faeces dalam aferen
DisfungsiNeurovaskuler Pemenuhan nutrisi colon ↓
dan O2 ke jaringan ↓ Spinal
↓ menurun Cairan faeces melalui sinap
perubahan aliran darah ↓ direabsorpsi oleh pada dorsal
↓ Ischemia colon root dan
Perubahan membran ↓ ↓ sinap pada
Alveolar (kapiler) Nekrosis jaringan faeces kering dorsal horn
↓ ↓ ↓ ↓
edema paru Konstipasi Spinal
↓ Dekubitus assenden
kerusakanpertukaran ↓ (STT/SRT)
gas ↓
Ancaman integritas Thalamus
↓ ↓
Stressor Kortek
↓ Serebri
cemas ↓
TimbulNyeri
↓
Merangsang
RAS di
Hipothalamus
↓
REM
Menururn
↓
Terjaga
D.Klasifikasi
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis , dibagi menjadi
beberapa kelompok, yaitu:
a. Berdasarkan sifat fraktur.
1). Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
2). Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.
1). Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua
korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2). Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti:
a) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
b) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang
spongiosa di bawahnya.
c) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi
pada tulang panjang.
c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya dengan mekanisme trauma.
1). Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat
trauma angulasi atau langsung.
2). Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang
dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3). Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma
rotasi.
4). Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong
tulang ke arah permukaan lain.
5). Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada
insersinya pada tulang.
d. Berdasarkan jumlah garis patah.
1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang
sama.
e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
1). Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen tidak
bergeser dan periosteum nasih utuh.
2). Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi
fragmen, terbagi atas:
a) Dislokai ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan
overlapping).
b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
f. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
g. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar
trauma, yaitu:
a. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak sekitarnya.
b. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
c. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan
pembengkakan.
d. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan ancaman
sindroma kompartement.
E.Manifestasi Klinis
Menurut Brunner dan Suddart (2002; 2358) Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri,
hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstermitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan
perubahan warna.
1.Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot
yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untum meminimalkan
gerakan antar fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian yang tak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara
alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada
fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas (terliahat maupun teraba) ekstermitas yang
bisa diketahui dengan membandingkan ekstermitas yang normal. Ekstermitas tak dapat berfungsi
dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur tulang panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot
yang melekat diatas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melengkapi satu sama lain
sampai 2,5-5cm (1-2 inchi).
4.Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus yang
teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Uji kreptus dapat mengakibatkan
kerusakan jaringan yang lebih berat.
5.Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagi akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah beberapa jam atau cedera.
F.Pemeriksaan Penunjang
a.Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi / luasnya fraktur trauma
b.Scan tulang, tomogram, scan CT / MRI : memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan untuk
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
d.Hitung daerah lengkap : HT mungkin meningkat ( hemokonsentrasi ) atau menurun
( pendarahan sel darah putih adalah respon stress normal setelah trauma).
e.Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klien ginjal.
(Doenges, 2000 : 762
G.Penatalaksanaan
Menurut Price, Sylvia Anderson, alih bahasa Peter Anugerah, (1994:1187), empat konsep
dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur :
1. Rekognisi, menangani diagnosis pada tempat kejadian kecelakaan dan kemudian dibawa ke
rumah sakit.
2. Reduksi, reposisi fragmen-fragmen fraktur semirip mungkin dengan keadaan letak normal,
usaha-usaha tindakan manipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah sedapat mungkin untuk
kembali seperti letak asalnya.
3.Retensi, menyatakan metoda-metoda yang dilaksanakan untuk menahan fragmen-fragmen
tersebut selama penyembuhan.
4.Rehabilitasi, dimulai segera setelah dan sesudah dilakukan bersamaan pengobatan fraktur,
untuk menghindari atropi otot dan kontraktur sendi.
H.Penatalaksanaan Keperawatan
Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan tahap yang paling enentukan bagi
tahap berikutnya. Kegiatan dalam pengkajian adalah pengumpulan data
1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan proses yang berisikan status kesehatan klien dengan menggunakan
teknik anamnesis (autoanamnesa dan aloanamnesa) dan observasi.
a. Biodata Klien
1) Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin perlu dikaji karena biasanya laki-laki
lebih rentan terhadap terjadinya fraktur akibat kecelakaan bermotor, pendidikan, pekerjaan,
agama, suku/bangsa, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, diagnosa medis, nomor
medrek dan alamat.
2) Identitas penanggung jawab meliputi : nama, umur, pekerjaan, agama, pendidikan,
suku/bangsa, alamat, hubungan dengan klien.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
Keluhan utama adalah alasan klien masuk rumah sakit yang dirasakan saat dilakukan pengkajian
yang ditulis dengan singkat dan jelas, dua atau tiga kata yang merupakan keluhan yang membuat
klien meminta bantuan pelayanan kesehatan.
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Merupakan penjelasan dari permulaan klien merasakan keluhan sampai dengan dibawa ke rumah
sakit dan pengembangan dari keluhan utama dengan menggunakan PQRST.
P (Provokative/Palliative), apa yang menyebabkan gejala bertambah berat dan apa yang dapat
mengurangi gejala.
Q (Quality/Quantity), bagaimana gejala dirasakan klien dan sejauh mana gejala dirasakan.
R (Region/Radiation) dimana gejala dirasakan ? apakah menyebar? apa yang dilakukan untuk
mengurangi atau menghilangkan gejala tersebut ?
S (Saferity/Scale), seberapa tingkat keparahan gejala dirasakan? Pada skala berapa?
T (Timing), berapa lama gejala dirasakan ? kapan tepatnya gejala mulai dirasakan, apakah ada
perbedaan intensitas gejala misalnya meningkat di malam hari.
3) Riwayat Kesehatan Dahulu
Tanyakan mengenai masalah-masalah seperti adanya riwayat trauma, riwayat penyakit tulang
seperti osteoporosis, osteomalacia, osteomielitis, gout ataupun penyakit metabolisme yang
berhubungan dengan tulang seperti diabetes mellitus (lapar terus-menerus, haus dan kencing
terus–menerus), gangguan tiroid dan paratiroid.
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
Hal yang perlu dikaji adalah apakah dalam keluartga klien terdapat penyakit keturunan ataupun
penyakit menular dan penyakit-penyakit yang karena lingkungan yang kurang sehat yang
berdampak negatif pada kesehatan anggota keluarga termasuk klien.
c. Pola fungsional Gordon menurut Potter (2012) dalam Amalia, Lailis (2020).
a) Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan
Kaji ide dan anggapan pasien tentang kesehatan serta cara mengatasi sakit
yang dialami.
b) Pola nutrisi dan metoblisme
Pola makan minimal 3 kali sehari dengan camilan yang disediakan oleh
keluarga. Pada penderita diabetes mellitus lebih suka makan terapi badannya
mengalami penurunan.
c) Pola eliminasi
Kaji frekuensi BAB dan BAK serta konsistensi, bau dan warna dari urine
maupun feses.
d) Pola aktivitas dan latihan
Umumnya aktivitas pendertia diabetes mellitus akan mengalami gangguan
akibat adanya luka diabetes mellitus yang sering dialami di kaki.
e) Pola istirahat dan tidur
Pasien dapat cenderung mengalami perubahan istirahat tidur. Ada beberapa
kondisi yang dapat menyebabkan pola istirahat terganggu seperti timbulnya
nyeri pada luka diabetes mellitus.
f) Pola kognitif persepsi
Kaji pola berfikir pasien, indra penglihatan, dan pendengaran pasien saat
mengalami sakit.
g) Pola persepsi diri
Kaji konsep diri pasien meliputi citra diri, ideal diri, harga diri, peran diri dan
identitas diri.
h) Pola hubungan
Kaji hubungan pasien dengan keluarga, tetangga, dan teman-temannya.
i) Pola reproduksi dan seksualitas
Kaji jenis kelamin pasien, pola seksualitas, usia reproduksi serta anak dalam
keluarga.
j) Pola toleransi dan koping stress
Kaji cara pemecahan masalah yang dihadapi pasien dan musyawarah yang
dilakukan pasien terkait sakitnya.
k) Pola nilai dan keyakinan
Kaji keyakinan atau agama pasien rajin dan cara mengatasi sakit dengan spiritual yang
dilaksanakan
2. Defisit Perawatan Diri berhubungan dengan Keterbatasan Pergerakan Akibat Fraktur
Tujuan : Kebutuhan perawatan diri terpenuhi
Tupen: setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam defisit perawatan diri teratasi, dengan
kriteria:
a. Mendemontrasikan teknik perubahan gaya hidup untuk memenuhi kebutuhan perawatan
diri
b. Melakukan perawatan diri dalam tingkat kemampuan sendiri
Rencana:
Tabel 2.10
Defisit Perawatan Diri berhubungan dengan
Keterbatasan Pergerakan Akibat Fraktur
Intervensi Rasionalisasi
Beri informasi tentang Dengan memberikan informasi
pentingnya perawatan diri bagi dapat menambah wawasan
klien pengetahuan klien tentang cara
Bantu dan fasilitasi klien perawatan diri yang benar
dalam melakukan personal
b. Dengan menyediakan dan
higiene mendekatkan akan mendorong
kemandirian klien dalam hal
Jaga kebersihan pakaian dan melakukan aktivitas
alat tenun klien Pakaian yang bersih dan alat tenun
Berikan lotion dan talk yang kering dapat mencegah
setelah mandi terjadinya gatal.
d. Untuk meningkatkan rasa nyaman
klien dan dapat mencegah terjadinya
biang keringat
Implementasi
Implementasi atau pelaksanaan adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Kegiatan dalam implementasi juga meliputi pengumpulan data berkelanjutan,
mengobservasi respon klien selama dan sesudah pelaksanaan tindakan dan menilai data yang
baru .
Implementasi yang bisa dilakukan oleh perawat terdiri dari: do (melakukan), delegate
(mendelegasikan) dan record (mencatat).
Evaluasi
Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan keadaan pasien (hasil yang
diamati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan.
Evaluasi bertujuan untuk mengakhiri rencana tindakan keperawatan, memodifikasi rencana
tindakan keperawatan dan meneruskan rencana keperawatan.
Evaluasi terdiri dari evaluasi proses (formatif) dan evaluasi hasil (sumatif). Evaluasi formatif
adalah evaluasi yang dilakukan setiap selesai tindakan, berorientasi pada etiologi dan dilakukan
secara terus-menerus sampai tujuan yang telah ditentukan berhasil. Sedangkan evaluasi sumatif
dilakukan setelah akhir tindakan keperawatan secara paripurna, berorientasi pada masalah
keperawatan, menjelaskan keberhasikan/ketidak berhasilan, rekaputasi dan kesimpulan status
kesehatan klien sesuai dengan kerangka waktu yang ditetapkan.
DAFTAR PUSTAKA
3.Smeltzer, Suzanne C. Bare Brenda G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Suddarth, Edisi 8. Jakarta : EGC
4.Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan, Edisi III. Jakarta : EGC.