Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN PENDAHULUAN

OPEN FRAKTUR TIBIA

OLEH :
MIA AMALIA
18.20.2926

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


UNIVERSITAS CAHAYA BANGSA
TAHUN 2020-2021
LEMBAR PENGESAHAN

OLEH :
MIA AMALIA
18.20.2926

Mengetahui,

Preseptor Akademik Preseptor Klinik

(,S.Kep.,Ns.,MM) (, S.Kep.,Ns)
LAPORAN PENDAHULUAN
OPEN FRAKTUR TIBIA

A. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontiunitas tulang, retak atau patahnya
tulang yang utuh, yang biasanya di sebabkan oleh trauma/rudapaksa atau
tenaga fisik yang di tentukan jenis dan luas trauma (Lukman 2007).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan
dan atau tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer,
2010). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya (Brunner & Suddath, 2012).
Open fraktur / Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat
hubungan antara fragemen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukan di kulit.
Fraktur tibia adalah terjadinya trauma, akibat pukulan langsung
jatuh dengan kaki dalam posisi fleksi atau gerakan memuntir yang
keras ( Brunner and suddart, 2000)

B. Anatomi dan Fisiologis


1. Anatomi
Tibia merupakan kerangka utama tungkai bawah dan terletak medial
dari fibula atau tulang betis, tibia adalah tulang pipa dengan sebuah
batang dan dua ujung (Pearce, 2011).
2. Fisiologi
Tibia merupakan kerangka yang utama dari tungkai bawah dan
terletak medial dari fibula atau tulang betis, tibia adalah tulang pipa
dengan sebuah batang dan dua ujung yaitu : Ujung atas yang
merupakan permukaan dua dataran permukaan persendian femur dan
sendi lutut. Ujung bawah yang membuat sendi dengan tiga tulang,
yaitu femur fibula dan talus.
Menurut Long, B.C, fungsi tulang secara umum yaitu :
1. Menahan jaringan tubuh dan memberi bentuk kepada kerangka
tubuh.
2. Melindungi organ-organ tubuh (contoh : tengkorak melindungi
otak)
3. Untuk pergerakan (otot melekat kepada tulang untuk berkontraksi
dan bergerak).
4. Merupakan gudang untuk menyimpan mineral (contoh kalsium
dan posfor)
5. Hematopoiesis (tempat pembuatan sel darah merah dalam sum-
sum tulang).

C. Etiologi
Fraktur disebabkan oleh (Muttaqin, 2008) :
a. Trauma langsung
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang. Hal
tersebut dapat mengakibatkan terjadinya fraktur pada daerah tekanan.
Fraktur yang terjadi biasanya bersifat komuniti dan jaringan lunak ikut
mengalami kerusakan.
b. Trauma tidak langsung
Apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah
fraktur, trauma tersebut disebut trauma tidak langsung. Misalnya jatuh
dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur pada klavikula.
Pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap utuh.
Faktor resiko terjadinya fraktur meliputi (Kowalak, 2011) :
1. Kejadian terjatuh
2. Kecelakaan kendaraan bermotor
3. Olahraga
4. Pemakaian obat yang mengganggu kemampuan penilaian atau
mobilitas
5. Usia muda (immaturasi tulang)
6. Tumor tulang
7. Penyakit metabolik (hiper/hipoparatioridisme)
8. Obat-obat yang menyebabkan osteoporosis iatrogenik seperti
preparat steroid.

D. Patofisiologi
Fraktur dapat terjadi karena trauma / rudapaksa sehingga dapat
menimbulkan luka terbuka dan tertutup. Fraktur luka terbuka
memudahkan mikroorganisme masuk kedalam luka tersebut dan akan
mengakibatkan terjadinya infeksi.
Pada fraktur dapat mengakibatkan terputusnya kontinuitas jaringan
sendi, tulang bahkan kulit pada fraktur terbuka sehingga merangsang
nociseptor sekitar untuk mengeluarkan histamin, bradikinin dan
prostatglandin yang akan merangsang serabut A-delta untuk
menghantarkan rangsangan nyeri ke sum-sum tulang belakang, kemudian
dihantarkan oleh serabut-serabut saraf aferen yang masuk ke spinal melalu
“dorsal root” dan sinaps pada dorsal horn. Impuls-impuls nyeri
menyeberangi sum-sum belakang pada interneuron-interneuron dan
bersambung dengan jalur spinal asendens, yaitu spinothalamic tract (STT)
dan spinoreticuler tract (SRT). STT merupakan sistem yang diskriminatif
dan membawa informasi mengenai sifat dan lokasi dari stimulus kepada
thalamus kemudian ke korteks untuk diinterpretasikan sebagai nyeri.
Nyeri bisa merangsang susunan syaraf otonom mengaktifasi
norepinephrin, sarap msimpatis terangsang untuk mengaktifasi RAS di
hipothalamus mengaktifkan kerja organ tubuh sehingga REM menurun
menyebabkan gangguan tidur.
Akibat nyeri menimbulkan keterbatasan gerak (imobilisasi)
disebabkan nyeri bertambah bila digerakkan dan nyeri juga menyebabkan
enggan untuk bergerak termasuk toiletening, menyebabkan penumpukan
faeses dalam colon. Colon mereabsorpsi cairan faeses sehingga faeses
menjadi kering dan keras dan timbul konstipasi.
Imobilisasi sendiri mengakibatkan berbagai masalah, salah satunya
dekubitus, yaitu luka pada kulit akibat penekanan yang terlalu lama pada
daerah bone promenence.
Perubahan struktur yang terjadi pada tubuh dan perasaan ancaman
akan integritas stubuh, merupakan stressor psikologis yang bisa
menyebabkan kecemasan.
Terputusnya kontinuitas jaringan sendi atau tulang dapat
mengakibatkan cedera neuro vaskuler sehingga mengakibatkan oedema
juga mengakibatkan perubahan pada membran alveolar (kapiler) sehingga
terjadi pembesaran paru kemudian terjadi kerusakan pada pertukaran gas,
sehingga timbul sesak nafas sebagai kompensasi tubuh untk memenuhi
kebutuhan oksigen.
E. Pathway

Usia kekuatan benturan jenis dan kelenturan tulang penyakit (Osteoporosis/tumor)

Fraktur tertutup

Terputusnya kontinuitas jaringan tulang

Merangsang
Nyeri sat digerakkan nociceptor
sekitar untuk
mengeluarka
Hambatan mobilitas fisik
histamin,
bradikinin,
Tirah baring
prostaglandi

Nyeri
dihantarka
melalui
Serabut A-
delta dan

Cedera vaskuler, pembentukan Penekanan yang terlalu lama Tirah baring yang cukup Sumsum
trombus ↓ lama tulang
↓ Sirkulasi darah terganggu ↓ belakang
Oedema ↓ Bising usus menurun ↓
↓ Pemenuhan nutrisi dan O2 ke ↓ Serabut sar
perubahan aliran darah jaringan menurun Retensi faeces dalam aferen
↓ colon ↓
Ischemia ↓ Spinal mela
Cairan faeces sinap pada
direabsorpsi oleh colon dorsal roo
Perubahan membran Alveolar Nekrosis jaringan ↓ dan sinap pa
(kapiler) ↓ faeces kering dorsal horn
↓ Kontak dengan dunia luar ↓ ↓
Konstipasi Spinal
Ketidak efektifan perfusi assenden
jaringan perifer Resiko infeksi (STT/SRT

Thalamus

Kortek Sere

Timbul nyer
Gangguan pola tidur

Nyeri akut Merangsang RAS di


REM Menururn
Hipothalamus
F. Klasifikasi
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang
praktis, dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
a. Berdasarkan sifat fraktur.
2) Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih
(karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
3) Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit.
b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.
1) Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang
atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2) Fraktrur Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang
tulang seperti:
- Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
- Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks
dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
- Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks
lainnya yang terjadi pada tulang panjang.

G. Manifestasi Klinis
Menurut Kowalak (2011) Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri,
hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstermitas, krepitus,
pembengkakan lokal, dan perubahan warna.
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang dirancang untum meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian yang tak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa) bukannya
tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan
atau tungkai menyebabkan deformitas (terliahat maupun teraba)
ekstermitas yang bisa diketahui dengan membandingkan ekstermitas
yang normal. Ekstermitas tak dapat berfungsi dengan baik karena
fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat
melekatnya otot.
c. Pada fraktur tulang panjang, terjadi pemendekan tulang yang
sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan bawah
tempat fraktur. Fragmen sering saling melengkapi satu sama lain
sampai 2,5-5cm (1-2 inchi).
d. Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya. Uji kreptus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan
yang lebih berat.
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagi
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa
baru terjadi setelah beberapa jam atau cedera.

H. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan dengan menggunakan teknik inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi terhadap berbagai sistem tubuh.
1) Keadaan Umum
Klien yang mengalami immobilisasi perlu dilihat dalam hal
penampilan, postur tubuh, kesadaran, gaya berjalan, kelemahan,
kebersihan dirinya dan berat badannya.
2) Sistem Pernafasan
Bentuk hidung, ada atau tidaknya sekret, PCH (Pernafasan Cuping
Hidung), kesimetrisan dada dan pernafasan, suara nafas dan frekwensi
nafas. Pengaturan pergerakan pernafasan akan mengakibatkan adanya
retraksi dada akibat kehilangan koordinasi otot. Ekspansi dada menjadi
terbatas karena posisi berbaring akibatnya ventilas paru menurun
sehingga dapat menimbulkan atelektasis. Akumulasi sekret pada
saluran pernafasan mengakibatkan terjadinya penurunan efisiensi
siliaris yang dapat menyebabkan pembersihan jalan nafas yang tidak
efektif. Kelemahan pada otot pernafasan akan menimbulkan
mekanisme batuk tidak efektif.
3) Sistem Kardiovaskuler
Warna konjungtiva pada fraktur, terutama fraktur terbuka akan terlihat
pucat dikarenakan banyaknya perdarahan yang keluar dari luka, terjadi
peningkatan denyut nadi karena pengaruh metabolik, endokrin dan
mekanisme keadaaan yang menghasilkan adrenergik sereta selain itu
peningkatan denyut jantung dapat diakibatkan pada klien immobilisasi.
Orthostatik hipotensi biasa terjadi pada klien immobilisasi karena
kemampuan sistem syaraf otonom untuk mengatur jumlah darah
kurang. Rasa pusing saat bangun bahkan dapat terjadi pingsan, terdapat
kelemahan otot. Ada tidaknya peningkatan JVP (Jugular Vena
Pressure), bunyi jantung serta pengukuran tekanan darah. Pada daerah
perifer ada tidaknya oedema dan warna pucat atau sianosis.
4) Sistem Pencernaan
Keadaan mulut, gigi, bibir, lidah, kemampuan menelan, peristaltik usus
dan nafsu makan. Pada klien fraktur dan dislokasi biasanya
diindikasikan untuk mengurangi pergerakan (immobilisasi) terutama
pada daerah yang mengalami dislokasi hal ini dapat mengakibatkan
klien mengalami konstipasi.
5) Sistem Genitourinaria
Ada tidaknya pembengkakan dan nyeri daerah pinggang, palpasi
vesika urinaria untuk mengetahui penuh atau tidaknya, kaji alat
genitourinaria bagian luar ada tidaknya benjolan, lancar tidaknya pada
saat klien miksi serta warna urine. Pada klien fraktur dan dislokasi
biasanya untuk sementara waktu jangan dulu turun dari tempat tidur,
dimana hal ini dapat mengakibatkan klien harus BAK ditempat tidur
memaskai pispot sehingga hal ini menambah terjadinya susah BAK
karena klien tidak terbiasa dengan hal tersebut.

6) Sistem Muskuloskeletal
Derajat Range Of Motion pergerakan sendi dari kepala sampai anggota
gerak bawah, ketidaknyamanan atau nyeri ketika bergerak, toleransi
klien waktu bergerak dan observasi adanya luka pada otot akibat
fraktur terbuka, tonus otot dan kekuatan otot. Pada klien fraktur dan
dislokasi dikaji ada tidaknya penurunan kekuatan, masa otot dan atropi
pada otot. Selain itu dapat juga ditemukan kontraktur dan kekakuan
pada persendian.
7) Sistem Integumen
Keadaan kulit, rambut dan kuku. Pemeriksaan kulit meliputi tekstur,
kelembaban, turgor, warna dan fungsi perabaan. Pada klien fraktur dan
dislokasi yang immobilisasi dapat terjadi iskemik dan nekrosis pada
jaringan yang tertekan, hal ini dikarenakan aliran darah terhambat
sehingga penyediaan nutrisi dan oksigen menurun.
8) Sistem Persyarafan
Mengkaji fungsi serebral, fungsi syaraf cranial, fungsi sensorik dan
motorik sertsa fungsi refleks.

I. Komplikasi
Brunner dan Suddarth (2012) membagi komplikasi fraktur kedalam empat
macam, antara lain :
1. Syok hipovolemik atau traumatik yang terjadi karena perdarahan dan
kehilangan cairan ekstra sel kejaringan yang rusak.
2. Sindrome emboli lemak (terjadi dalam 24 sampai 72 jam setelah
cedera). Berasal dari sumsum tulang karena perubahan tekanan dalam
tulang yang fraktur mendorong molekul-molekul lemak dari sumsum
tulang masuk ke sistem sirkulasi darah ataupun karena katekolamin
yang dilepaskan oleh reaksi stres.
3. Sindrom Kompartemen terjadi karena perfusi jaringan dalam otot
kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa
diakibatkan karna:
a. Penurunan ukuran kompartemen otot karena fasia yang
membungkus otot terlalu ketat atau gips atau balutan yang terlalu
menjerat
b. Peningkatan isi kompartemen otot karena edema.
4. Tromboemboli, infeksi dan Koagulopati Intravaskuler Desiminata
(KID)

J. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi / luasnya fraktur trauma
2. Scan tulang, tomogram, scan CT / MRI : memperlihatkan fraktur, juga
dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
4. Hitung daerah lengkap : HT mungkin meningkat ( hemokonsentrasi )
atau menurun ( pendarahan sel darah putih adalah respon stress normal
setelah trauma).
5. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klien
ginjal.

K. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul


1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan gangguan
suplai darah
3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas
struktur tulang
4. Resiko infeksi berhungan dengan kerusakan integritas jaringan
5. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri
6. Konstipasi berhubungan dengan keterbatasan aktifitas fisik

Diagnosa NOC NIC


Nyeri akut NOC : Pain Management
berhubungan  Pain Level,  Lakukan pengkajian nyeri secara
dengan agen  pain control, komprehensif termasuk lokasi,
cedera fisik  comfort level karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas
Kriteria Hasil : dan faktor presipitasi
 Mampu mengontrol nyeri (tahu  Observasi reaksi nonverbal dari
penyebab nyeri, mampu ketidaknyamanan
menggunakan tehnik  Gunakan teknik komunikasi terapeutik
nonfarmakologi untuk untuk mengetahui pengalaman nyeri
mengurangi nyeri, mencari pasien
bantuan)  Kaji kultur yang mempengaruhi
Skala : 1 2 3 4 5 respon nyeri
 Melaporkan bahwa nyeri  Evaluasi pengalaman nyeri masa
berkurang dengan lampau
menggunakan manajemen nyeri  Evaluasi bersama pasien dan tim
Skala: 1 2 3 4 5 kesehatan lain tentang ketidakefektifan
 Mampu mengenali nyeri (skala, kontrol nyeri masa lampau
intensitas, frekuensi dan tanda  Bantu pasien dan keluarga untuk
nyeri) mencari dan menemukan dukungan
Skala : 1 2 3 4 5  Kontrol lingkungan yang dapat
 Menyatakan rasa nyaman mempengaruhi nyeri seperti suhu
setelah nyeri berkurang ruangan, pencahayaan dan kebisingan
Skala : 1 2 3 4 5  Kurangi faktor presipitasi nyeri
 Tanda vital dalam rentang  Pilih dan lakukan penanganan nyeri
normal (farmakologi, non farmakologi dan inter
Skala : 1 2 3 4 5 personal)
 Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
menentukan intervensi
 Ajarkan tentang teknik non
farmakologi
 Berikan analgetik untuk mengurangi
nyeri
 Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
 Tingkatkan istirahat
 Kolaborasikan dengan dokter jika ada
keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
 Monitor penerimaan pasien tentang
manajemen nyeri

Analgesic Administration
 Tentukan lokasi, karakteristik,
kualitas, dan derajat nyeri sebelum
pemberian obat
 Cek instruksi dokter tentang jenis
obat, dosis, dan frekuensi
 Cek riwayat alergi
 Pilih analgesik yang diperlukan atau
kombinasi dari analgesik ketika
pemberian lebih dari satu
 Tentukan pilihan analgesik tergantung
tipe dan beratnya nyeri
 Tentukan analgesik pilihan, rute
pemberian, dan dosis optimal
 Pilih rute pemberian secara IV, IM
untuk pengobatan nyeri secara teratur
 Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesik pertama
kali
 Berikan analgesik tepat waktu
terutama saat nyeri hebat
 Evaluasi efektivitas analgesik, tanda
dan gejala (efek samping)

Ketidakefektifa NOC : Peripheral Sensation Management


Circulation status (Manajemen sensasi perifer)
n perfusi  Monitor adanya daerah tertentu yang
Kriteria Hasil :
jaringan perifer mendemonstrasikan status sirkulasi hanya peka terhadap
yang ditandai dengan : panas/dingin/tajam/tumpul
berhubungan  Monitor adanya paretese
 Tekanan
dengan systole dandiastole dalam  Instruksikan keluarga untuk
rentang yang diharapkan mengobservasi kulit jika ada lsi atau
gangguan laserasi
Skala : 1 2 3 4 5
suplai darah  Tidak ada  Gunakan sarun tangan untuk proteksi
ortostatikhipertensi
Skala :1 2 3 4 5
 Tidak ada tnda-
tanda odem
Skala : 1 2 3 4 5
 Lokasi trauma
teraba hangat
Skala : 1 2 3 4 5
 Sensasi raba
positif
 Skala : 1 2 3
4 5

Hambatan NOC : Exercise therapy : ambulation


mobilitas fisik  Mobility Level  Monitoring vital sign sebelm/sesudah
berhubungan Kriteria Hasil : latihan dan lihat respon pasien saat
dengan  Klien meningkat latihan
kerusakan dalam aktivitas fisik  Konsultasikan dengan terapi fisik tentang
integritas Skala : 1 2 3 4 5 rencana ambulasi sesuai dengan
struktur tulang  Mengerti tujuan dari kebutuhan
peningkatan mobilitas  Bantu klien untuk menggunakan tongkat
Skala : 1 2 3 4 5 saat berjalan dan cegah terhadap cedera
 Memverbalisasikan  Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain
perasaan dalam meningkatkan tentang teknik ambulasi
kekuatan dan kemampuan  Kaji kemampuan pasien dalam
berpindah mobilisasi
Skala 1 2 3 4 5  Latih pasien dalam pemenuhan
 Memperagakan kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai
penggunaan alat Bantu untuk kemampuan
mobilisasi (walker)  Dampingi dan Bantu pasien saat
Skala : 1 2 3 4 5 mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan
ADLs ps.
 Berikan alat Bantu jika klien
memerlukan.
 Ajarkan pasien bagaimana merubah
posisi dan berikan bantuan jika
diperlukan

L. Penatalaksanaan
Menurut Price (2009), empat konsep dasar yang harus dipertimbangkan
pada waktu menangani fraktur :
1. Rekognisi, menangani diagnosis pada tempat kejadian kecelakaan dan
kemudian dibawa ke rumah sakit.
2. Reduksi, reposisi fragmen-fragmen fraktur semirip mungkin dengan
keadaan letak normal, usaha-usaha tindakan manipulasi fragmen-
fragmen tulang yang patah sedapat mungkin untuk kembali seperti
letak asalnya.
3. Retensi, menyatakan metoda-metoda yang dilaksanakan untuk
menahan fragmen-fragmen tersebut selama penyembuhan.
4. Rehabilitasi, dimulai segera setelah dan sesudah dilakukan bersamaan
pengobatan fraktur, untuk menghindari atropi otot dan kontraktur
sendi.

Penatalaksanaan klien dengan fraktur dapat dilakukan dengan cara :


1. Traksi Yaitu penggunaan kekuatan penarikan pada bagian tubuh
dengan memberikan beban yang cukup untuk penarikan otot guna
meminimalkan spasme otot, mengurangi dan mempertahankan
kesejajaran tubuh, untuk memobilisasi fraktur dan mengurangi
deformitas.
2. Fiksasi interna Yaitu stabilisasi tulang yang patah yang telah direduksi
dengan skrup, plate, paku dan pin logam dalam pembedahan yang
dilaksanakan dengan teknik aseptik.
3. Reduksi terbuka Yaitu melakukan kesejajaran tulang yang patah
setelah terlebih dahulu dilakukan fiksasi dan pemanjangan tulang yang
patah.
4. Gips Adalah fiksasi eksterna yang sering dipakai terbuat dari plester
ovaria, fiber dan plastik.
DAFTAR PUSTAKA

Kozier, B., & Erb, G. (2009). Buku Ajar Praktek Keperawatan Klinis Edisi 5.
Jakarta :Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Kowlak. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC
Mansjoer, A. (2010). Kapita Selekta Kedokteran ed. 4. Jakarta : Media
Aesculapius.
Muttaqin, A. (2010). Asuhan Kperaawatan Klien Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta :EGC
Potter, A.,& Perry, AG. (2009). Buku Ajar Fundamental Keperawatan : konsep,
proses dan praktik, Edisi 4, Volume 2, Monica E et all (penerjemah), 2006.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Price, SA.,& Wilson, LM. (2012). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit Edisi 6, Volume 2, Petter A (penerjemah), 2006. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Pearce, E. (2011). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : Gramedia.
Smeltzer, C.S., & Bare, G.B. (2012). Buku Ajar Keperawatan Medical – Bedah
Brunner & Suddart Edisi 8 Volume 2, Penerbit Buku Kedokteran ( EGC ) :
Jakarta.
Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan, Edisi III.
Jakarta : EGC

ASUHAN KEPERAWATAN
OPEN FRAKTUR TIBIA
OLEH :
MIA AMALIA
18.20.2926

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


UNIVERSITAS CAHAYA BANGSA
TAHUN 2020-2021

LEMBAR PENGESAHAN
OLEH :
MIA AMALIA
18.20.2926

Mengetahui,

Preseptor Akademik Preseptor Klinik

(,S.Kep.,Ns.,MM) (, S.Kep.,Ns)

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN
A. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no.
register, tanggal MRS, diagnosa medis.
B. Identitas penanggung jawab
Meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, agama, pendidikan,
suku/bangsa, alamat, hubungan dengan klien.
C. Riwayat Penyakit
1) Keluhan Utama
Keluhan utama adalah alasan klien masuk rumah sakit yang dirasakan
saat dilakukan pengkajian yang ditulis dengan singkat dan jelas, dua
atau tiga kata yang merupakan keluhan yang membuat klien meminta
bantuan pelayanan kesehatan. Pada umumnya keluhan utama pada
kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik
tergantung dan lamanya serangan.
2) Riwayat Penyakit Sekarang
Merupakan penjelasan dari permulaan klien merasakan keluhan sampai
dengan dibawa ke rumah sakit dan pengembangan dari keluhan utama
dengan menggunakan PQRST.
P (Provokative/Palliative), apa yang menyebabkan gejala bertambah
berat dan apa yang dapat mengurangi gejala.
Q (Quality/Quantity), bagaimana gejala dirasakan klien dan sejauh
mana gejala dirasakan.
R (Region/Radiation) dimana gejala dirasakan ? apakah menyebar? apa
yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan gejala tersebut ?
S (Saferity/Scale), seberapa tingkat keparahan gejala dirasakan? Pada
skala berapa?
T (Timing), berapa lama gejala dirasakan ? kapan tepatnya gejala mulai
dirasakan, apakah ada perbedaan intensitas gejala misalnya meningkat
di malam hari.
3) Riwayat Penyakit Dahulu
Tanyakan mengenai masalah-masalah seperti adanya riwayat trauma,
riwayat penyakit tulang seperti osteoporosis, osteomalacia,
osteomielitis, gout ataupun penyakit metabolisme yang berhubungan
dengan tulang seperti diabetes mellitus (lapar terus-menerus, haus dan
kencing terus–menerus), gangguan tiroid dan paratiroid.
4) Riwayat Penyakit Keluarga
Hal yang perlu dikaji adalah apakah dalam keluarga klien terdapat
penyakit keturunan ataupun penyakit menular dan penyakit-penyakit
yang karena lingkungan yang kurang sehat yang berdampak negatif
pada kesehatan anggota keluarga termasuk klien.

D. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan dengan menggunakan teknik inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi terhadap berbagai sistem tubuh.
9) Keadaan Umum
Klien yang mengalami immobilisasi perlu dilihat dalam hal
penampilan, postur tubuh, kesadaran, gaya berjalan, kelemahan,
kebersihan dirinya dan berat badannya.
10) Sistem Pernafasan
Bentuk hidung, ada atau tidaknya sekret, PCH (Pernafasan Cuping
Hidung), kesimetrisan dada dan pernafasan, suara nafas dan
frekwensi nafas. Pengaturan pergerakan pernafasan akan
mengakibatkan adanya retraksi dada akibat kehilangan koordinasi
otot. Ekspansi dada menjadi terbatas karena posisi berbaring
akibatnya ventilas paru menurun sehingga dapat menimbulkan
atelektasis. Akumulasi sekret pada saluran pernafasan
mengakibatkan terjadinya penurunan efisiensi siliaris yang dapat
menyebabkan pembersihan jalan nafas yang tidak efektif.
Kelemahan pada otot pernafasan akan menimbulkan mekanisme
batuk tidak efektif.
11) Sistem Kardiovaskuler
Warna konjungtiva pada fraktur, terutama fraktur terbuka akan
terlihat pucat dikarenakan banyaknya perdarahan yang keluar dari
luka, terjadi peningkatan denyut nadi karena pengaruh metabolik,
endokrin dan mekanisme keadaaan yang menghasilkan adrenergik
sereta selain itu peningkatan denyut jantung dapat diakibatkan pada
klien immobilisasi. Orthostatik hipotensi biasa terjadi pada klien
immobilisasi karena kemampuan sistem syaraf otonom untuk
mengatur jumlah darah kurang. Rasa pusing saat bangun bahkan
dapat terjadi pingsan, terdapat kelemahan otot. Ada tidaknya
peningkatan JVP (Jugular Vena Pressure), bunyi jantung serta
pengukuran tekanan darah. Pada daerah perifer ada tidaknya oedema
dan warna pucat atau sianosis.
12) Sistem Pencernaan
Keadaan mulut, gigi, bibir, lidah, kemampuan menelan, peristaltik
usus dan nafsu makan. Pada klien fraktur dan dislokasi biasanya
diindikasikan untuk mengurangi pergerakan (immobilisasi) terutama
pada daerah yang mengalami dislokasi hal ini dapat mengakibatkan
klien mengalami konstipasi.
13) Sistem Genitourinaria
Ada tidaknya pembengkakan dan nyeri daerah pinggang, palpasi
vesika urinaria untuk mengetahui penuh atau tidaknya, kaji alat
genitourinaria bagian luar ada tidaknya benjolan, lancar tidaknya
pada saat klien miksi serta warna urine. Pada klien fraktur dan
dislokasi biasanya untuk sementara waktu jangan dulu turun dari
tempat tidur, dimana hal ini dapat mengakibatkan klien harus BAK
ditempat tidur memaskai pispot sehingga hal ini menambah
terjadinya susah BAK karena klien tidak terbiasa dengan hal
tersebut.

14) Sistem Muskuloskeletal


Derajat Range Of Motion pergerakan sendi dari kepala sampai
anggota gerak bawah, ketidaknyamanan atau nyeri ketika bergerak,
toleransi klien waktu bergerak dan observasi adanya luka pada otot
akibat fraktur terbuka, tonus otot dan kekuatan otot. Pada klien
fraktur dan dislokasi dikaji ada tidaknya penurunan kekuatan, masa
otot dan atropi pada otot. Selain itu dapat juga ditemukan kontraktur
dan kekakuan pada persendian.
15) Sistem Integumen
Keadaan kulit, rambut dan kuku. Pemeriksaan kulit meliputi tekstur,
kelembaban, turgor, warna dan fungsi perabaan. Pada klien fraktur
dan dislokasi yang immobilisasi dapat terjadi iskemik dan nekrosis
pada jaringan yang tertekan, hal ini dikarenakan aliran darah
terhambat sehingga penyediaan nutrisi dan oksigen menurun.
16) Sistem Persyarafan
Mengkaji fungsi serebral, fungsi syaraf cranial, fungsi sensorik dan
motorik sertsa fungsi refleks.

E. Pola Aktivitas Sehari-hari


1) Pola Nutrisi
Kebiasaan makan klien sehari-hari dan kebiasaan makan-makanan
yang mengandung kalsium yang sangat berpengaruh dalam proses
penyembuhan tulang dan kebiasaan minum klien sehari-hari,
meliputi frekwensi, jenis, jumlah dan masalah yang dirasakan.
2) Pola Eliminasi
Kebiasaan BAB dan BAK klien, apakah berpengaruh terhadap
perubahan sistem tubuhnya yang disebabkan oleh fraktur.
3) Pola Istirahat Tidur
Kebiasaan klien tidur sehari-hari, apakah terjadi perubahan setelah
mengalami fraktur.

4) Personal Hygiene
Kebiasaan mandi, cuci rambut, gosok gigi dan memotong kuku perlu
dikaji sebelum klien sakit dan setelah klien dirawat dirumah sakit.
5) Pola Aktivitas
Sejauh mana klien mampu beraktivitas dengan kondisinya saat ini
dan kebiasaan klien berolah raga sewaktu masih sehat.

F. Aspek Psiko Sosial Spiritual


1) Data Psikologis
Pengkajian psikologis yang dilakukan pada klien dengan fraktur
pada dasarnya sama dengan pengkajian psikososial dengan
gangguan sistem lain yaitu mengenai konsep diri (gambaran diri,
ideal diri, harga diri, peran diri dan identitas diri). Pada klien fraktur
adanya perubahan yang kurang wajar dalam status emosional,
perubahan tingkah laku dan pola koping yang tidak efektif.
2) Data sosial
Pada data sosial yang dikaji adalah hubungan klien dengan keluarga
dan hubungan klien dengan petugas pelayanan kesehatan.
3) Data Spiritual
Perlu dikaji agama dan kepribadiannya, keyakinan dan harapan yang
merupakan aspek penting untuk penyembuhan penyakitnya.

G. Data Penunjang
Pemeriksaaan diagnostik yang biasa dilakukan pada pasien dengan
fraktur:
1) Pemeriksaan rontgen
Menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma.
2) Computed Tomography (CT-SCAN).
Memperlihatkan fraktur dan dislokasi, dapat digunakan untuk
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak dan untuk mengetahui
lokasi dan panjangnya patah tulang didaerah yang sulit dievaluasi.
3) Arteriogram
Dilakukan bila dicurigai terdapat kerusakan vaskuler.
4) Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan darah lengkap meliputi kadar haemoglobin yang
biasanya lebih rendah karena perdarahan akibat trauma. Hematokrit
mungkin meningkat atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi
fraktur atau organ jauh dari trauma multiple). Kreatinin (trauma otot
meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal). Profil koagulasi
(perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi multipel
atau cedera hati).

2. Analisa Data
Data yang sudah dikumpulkan kemudian dikelompokkan berdasarkan
masalahnya kemudian dianalisa dengan menggunakan tabel yang terdiri dari
nomer, data yang terdiri dari data subjektif dan objektif, etiologi dan masalah,
sehingga menghasilkan suatu kesimpulan berupa masalah keperawatan yang
nantinya akan menjadi diagnosa keperawatan.

3. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik

b. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan gangguan


suplai darah

c. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur


tulang

d. Resiko infeksi berhungan dengan kerusakan integritas jaringan

e. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri

f. Konstipasi berhubungan dengan keterbatasan aktifitas fisik

Rencana Asuhan Keperawatan


Diagnosa NOC NIC
Nyeri akut NOC : Pain Management
berhubungan  Pain Level,  Lakukan pengkajian nyeri secara
dengan agen  pain control, komprehensif termasuk lokasi,
cedera fisik  comfort level karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas
Kriteria Hasil : dan faktor presipitasi
 Mampu mengontrol nyeri (tahu  Observasi reaksi nonverbal dari
penyebab nyeri, mampu ketidaknyamanan
menggunakan tehnik  Gunakan teknik komunikasi terapeutik
nonfarmakologi untuk untuk mengetahui pengalaman nyeri
mengurangi nyeri, mencari pasien
bantuan)  Kaji kultur yang mempengaruhi
Skala : 1 2 3 4 5 respon nyeri
 Melaporkan bahwa nyeri  Evaluasi pengalaman nyeri masa
berkurang dengan lampau
menggunakan manajemen nyeri  Evaluasi bersama pasien dan tim
Skala: 1 2 3 4 5 kesehatan lain tentang ketidakefektifan
 Mampu mengenali nyeri (skala, kontrol nyeri masa lampau
intensitas, frekuensi dan tanda  Bantu pasien dan keluarga untuk
nyeri) mencari dan menemukan dukungan
Skala : 1 2 3 4 5  Kontrol lingkungan yang dapat
 Menyatakan rasa nyaman mempengaruhi nyeri seperti suhu
setelah nyeri berkurang ruangan, pencahayaan dan kebisingan
Skala : 1 2 3 4 5  Kurangi faktor presipitasi nyeri
 Tanda vital dalam rentang  Pilih dan lakukan penanganan nyeri
normal (farmakologi, non farmakologi dan inter
Skala : 1 2 3 4 5 personal)
 Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
menentukan intervensi
 Ajarkan tentang teknik non
farmakologi
 Berikan analgetik untuk mengurangi
nyeri
 Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
 Tingkatkan istirahat
 Kolaborasikan dengan dokter jika ada
keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
 Monitor penerimaan pasien tentang
manajemen nyeri

Analgesic Administration
 Tentukan lokasi, karakteristik,
kualitas, dan derajat nyeri sebelum
pemberian obat
 Cek instruksi dokter tentang jenis
obat, dosis, dan frekuensi
 Cek riwayat alergi
 Pilih analgesik yang diperlukan atau
kombinasi dari analgesik ketika
pemberian lebih dari satu
 Tentukan pilihan analgesik tergantung
tipe dan beratnya nyeri
 Tentukan analgesik pilihan, rute
pemberian, dan dosis optimal
 Pilih rute pemberian secara IV, IM
untuk pengobatan nyeri secara teratur
 Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesik pertama
kali
 Berikan analgesik tepat waktu
terutama saat nyeri hebat
 Evaluasi efektivitas analgesik, tanda
dan gejala (efek samping)

Ketidakefektifa NOC : Peripheral Sensation Management


Circulation status (Manajemen sensasi perifer)
n perfusi  Monitor adanya daerah tertentu yang
Kriteria Hasil :
jaringan perifer mendemonstrasikan status sirkulasi hanya peka terhadap
yang ditandai dengan : panas/dingin/tajam/tumpul
berhubungan  Monitor adanya paretese
 Tekanan
dengan systole dandiastole dalam  Instruksikan keluarga untuk
rentang yang diharapkan mengobservasi kulit jika ada lsi atau
gangguan laserasi
Skala : 1 2 3 4 5
suplai darah  Tidak ada  Gunakan sarun tangan untuk proteksi
ortostatikhipertensi
Skala :1 2 3 4 5
 Tidak ada tnda-
tanda odem
Skala : 1 2 3 4 5
 Lokasi trauma
teraba hangat
Skala : 1 2 3 4 5
 Sensasi raba
positif
 Skala : 1 2 3
4 5

Hambatan NOC : Exercise therapy : ambulation


mobilitas fisik  Mobility Level  Monitoring vital sign sebelm/sesudah
berhubungan Kriteria Hasil : latihan dan lihat respon pasien saat
dengan  Klien meningkat latihan
kerusakan dalam aktivitas fisik  Konsultasikan dengan terapi fisik tentang
integritas Skala : 1 2 3 4 5 rencana ambulasi sesuai dengan
struktur tulang  Mengerti tujuan dari kebutuhan
peningkatan mobilitas  Bantu klien untuk menggunakan tongkat
Skala : 1 2 3 4 5 saat berjalan dan cegah terhadap cedera
 Memverbalisasikan  Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain
perasaan dalam meningkatkan tentang teknik ambulasi
kekuatan dan kemampuan  Kaji kemampuan pasien dalam
berpindah mobilisasi
Skala 1 2 3 4 5  Latih pasien dalam pemenuhan
 Memperagakan kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai
penggunaan alat Bantu untuk kemampuan
mobilisasi (walker)  Dampingi dan Bantu pasien saat
Skala : 1 2 3 4 5 mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan
ADLs ps.
 Berikan alat Bantu jika klien
memerlukan.
 Ajarkan pasien bagaimana merubah
posisi dan berikan bantuan jika
diperlukan
ANALISA SINTESA TINDAKAN KEPERAWATAN/LOG BOOK
OPEN FRAKTUR TIBIA

OLEH :
MIA AMALIA
18.20.2926

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


UNIVERSITAS CAHAYA BANGSA
TAHUN 2020-2021
LEMBAR PENGESAHAN

OLEH :
MIA AMALIA
18.20.2926

Mengetahui,

Preseptor Akademik Preseptor Klinik

(,S.Kep.,Ns.,MM) (, S.Kep.,Ns)
ANALISA SINTESA TINDAKAN KEPERAWATAN/LOG BOOK

1. Tindakan keperawatan yang dilakukan:


Perawatan Luka Kotor
2. Nama klien : Tn. E
3. Diagnosa medis : Open Fraktur Tibia
4. Diagnosa keperawatan:
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik
b. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan gangguan
suplai darah
5. Justifikasi tindakan
Luka kotor atau luka terinfeksi adalah luka dimana organisme yang
menyebabkan infeksi pascaoperatif. Perawatan luka bersih merupakan
prosedur perawatan yang dilakukam pada luka kotor termasuk mengganti
balutan. Melakukan perawatan luka kotor tindakan untuk mencegah
timbulnya infeksi serta meningkatkan kenyamanan klien.

6. Prinsip-prinsip tindakan dan rasional:


a. Tahap Pra Interaksi
1) Melakukan verifikasi program terapi
2) Mencuci tangan
3) Menempatkan alat di dekat pasien dengan benar
b. Tahan Orientasi
1) Memberikan salam dan menyapa nama pasien
2) Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada keluarga/klien
3) Menanyakan kesiapan klien sebelum kegiatan dilakukan
c. Tahap Kerja
1) Menjaga privacy
2) Mengatur posisi klien sehingga luka dapat terlihat jelas
3) Membuka peralatan
4) Memakai sarung tangan bersih
5) Letakkan pengalas di bawah area luka
6) Membasahi plester dengan alcohol dan buka menggunakan pinset
7) Membuka balutan lapis luar
8) Membersihkan sekitar luka dan bekas plester
9) Membuka balutan lapis dalam
10) Mengkaji keadaan luka (lokasi, tipe, jumlah jahitan atau bau dari luka)
11) Melepas sarung tangan bersih, kemudian memakai sarung tangan steril
12) Bersihkan luka dengan larutan NaCL, mulai dari pusat luka kearah
keluar secara perlahan
13) Menekan tepi luka (sepanjang luka) untuk mengeluarkan pus
14) Melakukan debridement
15) Setelah dibersihkan, irigasi/bathing or shower luka dengan cairan NaCL
16) Berikan obat topical bila diperlukan, dan tutup dengan kassa lembab,
kemudian dengan kassa kering
17) Memasang plester atau verband
18) Merapikan klien
d. Tahap Terminasi
1) Melakukan evaluasi tindakan
2) Bereskan alat
3) Berpamitan dengan klien
4) Cuci tangan
5) Mencatat kegiatan dalam lembar catatan perawatan

7. Bahaya-bahaya yang mungkin terjadi akibaat tindakan tersebut dan


cara pencegahnnya :
a. Pengangkatan balutan dan pemasangan kembali dapat menyebabkan klien
merasakan nyeri
Pencegahan : Harus lebih hati-hati dalam melakukan tindakan, apabila
balutan terasa lengket pada luka, usahakan olesi larutan NaCL terlebih
dahulu
b. Apabila alat dressing tidak bersih dan tidak steril maka dapat menyebabkan
infeksi pada luka
Pencegahan : Perawat harus mencuci tangan sebelum melakukan tindakan
serta menjaga kebersihan dan kesterilan alat-alat yang akan digunakan.

8. Tujuan tindakan tersebut dilakukan


 Membantu menyembuhkan luka
 Mencegah infeksi dari masuknya mikroorganisme padaa kulit
 Mengurangi nyeri
 Meningkatkan proses penyembuhan luka

9. Hasil yang didapat dan maknanya :


 Menjaga kebersihan luka
 Berkurangnya infeksi pada luka
 Memberikan rasa nyaman

10. Identifikasi tindakan keperawatan lainnya yang dapat dilakukan untuk


mengatasi masalah/ diagnosa tersebut. (mandiri dan kolaborasi):
a. Mandiri
Observasi tanda tanda meluasnya infeksi
c. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian terapi farmakologi
 Kolaborasi melakukan tindakan perawatan luka kotor
JURNAL DAN ANALISA JURNAL
PENGARUH TERAPI LATIHAN PADA POST OPERASI PEMASANGAN
ILIZAROV PADA FRAKTUR TIBIA

DISUSUN OLEH :
MIA AMALIA
18.20.2926

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


UNIVERSITAS CAHAYA BANGSA
TAHUN 2020/2021
LEMBAR PENGESAHAN

JURNAL DAN ANALISA JURNAL


PENGARUH TERAPI LATIHAN PADA POST OPERASI PEMASANGAN
ILIZAROV PADA FRAKTUR TIBIA

DISUSUN OLEH :

MIA AMALIA
18.20.2926

Mengetahui,

Preseptor Akademik Preseptor Klinik

(, S.Kep.,Ns.,M.MKes) (,S.Kep.,Ns)
ANALISA JURNAL

1. Judul Jurnal
Pengaruh Terapi Latihan Pada Post Operasi Pemasangan Ilizarov Pada
Fraktur Tibia
2. Latar Belakang Masalah
Studi pendahuluan selama 2 minggu di RSO Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta,
didapatkan data bahwa fraktur menjadi diagnosa sepuluh besar penyakit
periode 1 Januari 2012 sampai 30 September 2013. Penggunaan fiksasi
eksternal periode Juli-Oktober 2013, sebanyak 34 pasien (rata-rata 8 pasien
per bulan), dengan pembagian penggunaan OREF sebanyak 28 pasien dan
penggunaan Ilizarovfixator sebanyak 6 pasien. Penelitian ini dilakukan di
Rumah Sakit Orthopedi Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta pada bulan April
2017 dengan mengambil sampel sebanyak 8 partisipan dengan metode quasi
eksperimen dengan jenis pretest-posttest. Intervensi yang diberikan pada
penelitian ini menggunakan terapi latihan.
3. Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian ini untyk mengetahui pengaruh terapi latihan pada post
operasi pemasangan ilizarov pada fraktur tibia
4. Metodelogi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Orthopedi Prof. Dr. R. Soeharso
Surakarta pada bulan April 2017 dengan mengambil sampel sebanyak 8
partisipan dengan metode quasi eksperimen dengan jenis pretestposttest.
Intervensi yang diberikan pada penelitian ini menggunakan terapi latihan.
5. Hasil Penelitian
Uji normalitas menggunakan saphiro wilk tes dengan nilai sig. VAS sebelum
terapi sebesar 0.925, nilai sig. VAS sesudah terapi sebesar 0.563, nilai sig.
indeks Barthel sebelum terapi sebesar 0.407 dan nilai sig. indeks Barthel
sesudah terapi sebesar 0.245. Dengan demikin Ho diterima dan Ha ditolak
maka distribusi data pada tabel tersebut normal. Uji hipotesis pada penelitian
ini menggunakan paired sample t test dengan hasil sig 2 tailed sebesar 0,000.
Dengan demikian maka terjadi penurunan derajat nyeri yang signifikan pada
partisipan. Uji hipotesis untuk indeks Barthel. Mendapatkan hasil sig 2 tailed
sebesar 0,000. Dengan demikian maka terjadi peningkatan kemampuan
aktivitas fungsional yang signifikan pada partisipan.
6. Kesimpulan
Hasil penelitian diperoleh bahwa penggunaan terapi latihan pada partisipan
efektif dalam menurunkan derajat nyeri dan meningkatkan kemampuan
aktivitas fungsional pasien.
7. Analisis PICOT
Ada /
Metode Keterangan
Tidak Ada
Studi pendahuluan selama 2 minggu di RSO
Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta, didapatkan
data bahwa fraktur menjadi diagnosa
sepuluh besar penyakit periode 1 Januari
2012 sampai 30 September 2013.
Penggunaan fiksasi eksternal periode
P (Problem) : Ada
JuliOktober 2013, sebanyak 34 pasien (rata-
rata 8 pasien per bulan), dengan pembagian
penggunaan OREF sebanyak 28 pasien dan
penggunaan Ilizarovfixator sebanyak 6
pasien (Prasetyo, 2014).

Intervensi yang dilakukan pada jurnal ini


adalah dengan mengambil sampel sebanyak
8 partisipan dengan metode quasi
eksperimen dengan jenis pretestposttest.
Intervensi yang diberikan pada penelitian ini
menggunakan terapi latihan. Terapi latihan
I (Intervensi) : Ada adalah salah satu modalitas fisioterapi
dengan menggunakan gerak tubuh secara
aktif maupun pasif untuk pemerliharaan dan
perbaikan kekuatan, ketahanan dan
kemampuan kardiovaskuler, mobilitas dan
fleksibilitas, stailitas, rileksasi, koordinasi,
keseimbangan dan kemampuan fungsional.
C (Compare) : Ada Berdasarkan penelitian yang dilakukan
Gudapati, 2017 dengan jurnalnya berjudul
“Ilizarov Ring External Fixator: An
Experience” membuktikan, bahwa tindakan
rehabilitasi termasuk salah satunya
fisioterapi kepada pasien pasca pemasangan
Ilizarov menunjukan perubahan termasuk
peningkatan LGS pada pasien sebesar 80%
keatas untuk bagian knee dan 75% keatas
pada bagian ankle.
Berdasarkan hasil penelitian ini
membuktikan bahwa penggunaan terapi
latihan pada partisipan efektif dalam
menurunkan derajat nyeri dan meningkatkan
kemampuan aktivitas fungsional pasien.
Dengan mengambil sampel sebanyak 8
O (Outcome) : Ada
partisipan dengan metode quasi eksperimen
dengan jenis pretest-posttest membuktikan
bahwa dengan intervensi terapi latihan
efektif dalam menurunkan derajat nyeri dan
meningkatkan kemampuan aktivitas
fungsional pasien.
Penelitian ini berlangsung selama dua
T (Time) : Ada minggu dan dipublikasikan pada tahun 2017.

8. Kelebihan
a. Penulisan jurnal ini teratur dan sesuai dengan kaidah penulisan
pembuatan jurnal
b. Kata yang digunakan dalam jurnal ini bersifat baku sesuai dengan kamu
EYD Bahasa Indonesia
c. Menyajikan abstrak, hasil, kesimpulan dan daftar pustaka
d. Pembahasan dalam penelitian ini mencantumkan hasil penelitian yang
lain untuk mendukung hasil penelitian ini
9. Kekurangan
Kekurangan dalam jurnal penelitian ini tidak ada, karena jurnal ini sudah
memenuhi kaidah penulisan jurnal.

10. Analisis/Justifikasi Kronologis (Keterkaitan Antar Konsep Atau


Variabel Dalam Sebuah Penelitian)
Trauma langsung dan trauma tidak langsung serta kondisi patologis
pada tulang dapat menyebabkan fraktur pada tulang. Fraktur merupakan
diskontinuitas tulang atau pemisahan tulang. Pemisahan tulang ke dalam
beberapa fragmen tulang menyebabkan perubahan pada jaringan sekitar
fraktur meliputi laserasi kulit akibat perlukaan dari fragmen tulang tersebut,
perlukaan jaringan kulit ini memunculkan masalah keperawatan berupa
kerusakan integritas kulit. Perlukaan kulit oleh fragmen tulang dapat
menyebabkan terputusnya pembuluh darah vena dan arteri di area fraktur
sehingga menimbulkan perdarahan. Perdarahan pada vena dan arteri yang
berlangsung dalam jangka waktu tertentu dan cukup lama dapat menimbulkan
penurunan volume darah serta cairan yang mengalir pada pembuluh darah
sehingga akan muncul komplikasi berupa syok hipovolemik jika perdarahan
tidak segera dihentikan.
Perubahan jaringan sekitar akibat fragmen tulang dapat menimbulkan
deformitas pada area fraktur karena pergerakan dari fragmen tulang itu
sendiri. Deformitas pada area ekstremitas maupun bagian tubuh yang lain
menyebabkan seseorang memiliki keterbatasan untuk beraktivitas akibat
perubahan dan gangguan fungsi pada area deformitas tersebut sehingga
muncul masalah keperawatan berupa gangguan mobilitas fisik. Pergeseran
fragmen tulang sendiri memunculkan masalah keperawatan berupa nyeri.

11. Manfaat dan Saran


a. Manfaat : Dengan penggunaan terapi latihan pada partisipan efektif
dalam menurunkan derajat nyeri dan meningkatkan kemampuan aktivitas
fungsional pasien.
b. Saran : Supaya tenaga kesehatan dapat lebih sering melakukan terapi
latihan kepada klien karena efektif dalam menurunkan derajat nyeri dan
meningkatkan kemampuan aktivitas fungsional pasien.

12. Implikasi Keperawatan


Edukasi pemahaman tentang cara penggunaan terapi latihan pada partisipan
efektif dalam menurunkan derajat nyeri dan meningkatkan kemampuan
aktivitas fungsional pasien.

Anda mungkin juga menyukai