Disusun Oleh:
2015
1
LAPORAN PENDAHULUAN
FRAKTUR MAKSILA
A. DEFINISI
Fraktur:
adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya
(Smeltzer S.C & Bare B.G, 2006)
setiap retak atau patah pada tulang yang utuh (Reeves C.J, Roux G & Lockhart R,
2006).
Fraktur maxilla dapat disebabkan oleh trauma atau karena proses patologis.
1) Traumatic fracture
Fraktur yangdisebabkan oleh pukulan
pada:
a. perkelahian
b. kecelakaan
c. tembakan
2) Pathologic fracture
Fraktur yang disebabkan oleh keadaan patologis dimana tulang dalam keadaan
sakit, tulang tipis atau lemah, sehingga bila ada trauma ringan seperti berbicara,
makan dan mengunyah dapat terjadi fraktur.
Terjadi karena :
a) Penyakit tulang setempat
Kista
Tumor tulang jinak atau ganas
Keadaan dimana resorpsi tulang sangat besar sekali sehingga dengan atau
tanpa trauma dapat terjadi fraktur, misalnya pada osteomielitis
b) Penyakit umum yang mengenai tulang sehingga tulang mudah patah.
Osteomalacia
Osteoporosis
Atrofi tulang secara umum
2
B. ETIOLOGI
Facial trauma pada daerah urban disebabkan oleh perkelahian, kecelakaan kendaraan
bermotor, dan kecelakaan industry. Penyebab lain yang penting meliputi, trauma
penetrasi (luka pisau atau luka tembak), domestic violence, dan kekerasan pada anak dan
orang tua. Os nasal, mandibula, dan zygoma, merupakan tulang yang paling sering
mengalami frakturselama perkelahian.
C. PATOFISIOLOGI
Berikut ini masing – masing penyebab fraktur pada maxilla facial trauma :
Fraktur os frontal : Disebabkan oleh pukulan yang keras pada bagian dahi.
Mencangkup Tabula anterior dan tabula posterior sinus frontalis. Apabila tabula
posterior mengalami fraktur, diperkirakan akan menyebabka luka pada dura mater
(meninges). Selain itu sering juga terjadi kerusakan duktus naso frontal
Fraktur dinding bawah / lantai orbita : cidera pada lantai orbita dapat terjadi
sebagai fraktur yang sendiri, namun dapat juga menyebabkan fraktur dinding
medial. Adanya fraktur tersebut menyebabkan adanya peningkatan tekanan pada
intraorbita yang dapat merusak aspek terlemah dari dinding orbit, yaitu dinding
medial dan lantai. AKibatnya herniasi dari struktur yang terdapat didalam orbita ke
dalam sinus maxillary dapat terjadi dan insidensi yang tinggi pada cidera mata,
namun bulbus oculi jarang sapai rupture.
Fraktur nasal : disebabkan oleh gaya yang ditransmisikan oleh trauma langsung
Fraktur nasoethmoidal : perluasan dari tulang nasal hingg tulang etmoid dan dapat
mnyebabka kerusakan canthus medial mata, apparatus lacrimal ata ductus
nasofronta lis. Dapat juga menyebabkan laserasi pada lamina cribrosa os frontal
Fraktur arcus zygomaticus : disebabkan karena pukulan langsung pada arcus
zygomaticus dapat mnyebabkan fraktur pada sutura zygomaticotemporal
Fraktur kompleks zygomaticomaxilla : fraktur ini disebabkan oleh trauma
langsung. Garis fraktur meluas melalui sutura zygomaticotemporal,
zygomaticofrontal, zygomaticomaxlla dan artikulasi dengan ala magna os
sphenoid. Garis fraktur biasanya meluas hingga foramen intraorbita dan lantai
orbita. Cidera ocular yang bersamaan juga sering terjadi
Fraktur maxilla : Diklasifikasikan menjadi Le Fort I, II atau III
3
Fraktur Le Fort I merupakan fraktur maxilla horizontal yang menyilangi
aspek inferior maxilla dan memisahkan procesus alveolar yang mengandung
gigi maxilla dan palatum durum dari bagian lain maxilla. Fraktur meluas
melalui 1/3 bawah septum dan mecangkup sinus maxilla medial dan lateral
meluas ke os alatum dal pterigoid
Fraktur Le Fort II merupakan fraktur pyramidal yang dimulai dari os
nasal dan meluas melalui os etmoid dan os lacrimal, turun kebawah melalui
sutura zygomaticofacial, berlanjut ke posterior dan lateral melalui maxilla,
dibawah zygomaticus dan kedalam pterigoid
Fraktur Le Fort III atau disebut juga craniofacial dysjunction
merupakan terpisahnya semua tulang muka dari basis crania dengan fraktus
simultan zygoma, maxilla, dan os nasal. Garis fraktur meluas ke posterolateral
melaui os etmoid, orbits, dan sutura pterygomaxilla samapi kedalam fossa
sphenopalatina.
4
5
D. PATHWAY
Tekanan/kekerasan
langsung/stress berulang
1. Reaksi Inflamasi
Pergeseran tulang Kerusakan fragmen Pengeluaran bradikinin
tulang,cedera jar.lunak dan berikatan dengan
deformitas nociceptor
Pembuluh darah terputus
hambatan
Ekstremitas tdk dpt Pengeluaran mediator
mobilisasi Perdarahan
berfungsi dgn baik kimia (histamin)
7
Gejala klinik
Extra oral :
o Luka pada bibir atas yang dalam dan luas. Luka laserasi pada bibir sering disertai
perdarahan, kadang-kadang terdapat patahan gigi dalam bibir yang luka tersebut.
o Bibir bengkak dan edematus
o Echymosis dan hematoma pada muka
Intra oral :
o Luka laserasi pada gingiva daerah fraktur dan sering disertai perdarahan.
o Adanya subluxatio pada gigi sehingga gigi tersebut bergerak, kadang-kadang
berpindah tempat.
o Adanya alvulatio gigi, kadang-kadang disertai tulang alveolusnya
o Fraktur corona gigi dengan atau tanpa terbukanya kamar pulpa
2) Le Fort I:
Pada fraktur ini, garis fraktur berada di antara dasar dari sinus maxillaris dan dasar
dari orbita. Pada Le Fort I ini seluruh processus alveolaris rahang atas, palatum
durum, septum nasalis terlepas dari dasarnya sehingga seluruh tulang rahang dapat
digerakkan ke segala arah. Karena tulang-tulang ini diikat oleh jaringan lunak saja,
maka terlihat seperti tulang rahang tersebut mengapung (floating fracture). Fraktur
dapat terjadi unilateral atau bilateral. Suatu tambahan fraktur pada palatal dapat
terjadi, dimana terlihat sebagai suatu garis echymosis.
Geiala klinik
Extra oral :
o
Pembengkakan pada muka disertai vulnus laceratum
o Deformitas pada muka, muka terlihat asimetris
o Hematoma atau echymosis pada daerah yang terkena fraktur, kadang-kadang
terdapat infraorbital echymosis dan subconjunctival echymosis
8
o Penderita tidak dapat menutup mulut karena gigi posterior rahang atas dan rahang
bawah telah kontak lebih dulu.
Intra oral
o Echymosis pacta mucobucal rahang atas
o Vulnus laceratum, pembengkakan gingiva, kadang-kadang disertai goyangnya
gigi dan lepasnya gigi.
o Perdarahan yang berasal dari gingiva yang luka atau gigi yang luka, gigi fraktur
atau lepas.
o Open bite maloklusi sehingga penderita sukar mengunyah
3) Le Fort II :
Garis fraktur meliputi tulang maxillaris, nasalis, lacrimalis, ethmoid, sphenoid dan
sering tulang vomer dan septum nasalis terkena juga.
Gejala klinik
Extra oral :
o Pembengkakan hebat pada muka dan hidung, pada daerah tersebut terasa sakit.
o Dari samping muka terlihat rata karena adanya deformitas hidung.
o Bilateral circum echymosis, subconjunctival echymosis.
o Perdarahan dari hi dung yang disertai cairan cerebrospinal.
Intra oral
o Mulut sukar dibuka dan rahang bawah sulit digerakkan ke depan
o Adanya maloklusi open bite sehingga penderita sukar mengunyah.
o Palatum mole sering jatuh ke belakang sehingga dorsum lidah tertekan sehingga
timbul kesukaran bernafas.
o Terdapatnya kelainan gigi berupa fraktur, avultio,luxatio.
9
o Pada palpasi, seluruh bagian rahang atas dapat digerakkan, pada bagian hidung
terasa adanya step atau bagian yang tajam dan terasa sakit.
4) Le Fort III
Fraktur ini membentuk garis fraktur yang meliputi tulang-tulang nasalis, maxillaris,
orbita, ethmoid, sphenoid dan zygomaticus arch. Sepertiga bagian tengah muka
terdesak ke belakang sehingga terlihat muka rata yang disebut "Dish Shape Face".
Displacement ini selalu disebabkan karena tarikan ke arah belakang dari
M.pterygoideus dimana otot ini melekat pda sayap terbesar tulang sphenoid dan
tuberositas maxillary.
Geiala klinik
Extra oral :
o Pembengkakan hebat pada muka dan hidung
o Perdarahan pada palatum, pharinx, sinus maxillaris, hidung dan telinga.
o Terdapat bilateral circum echymosis dan subconjunctival echymosis.
o Pergerakan bola mata terbatas dan terdapat kelainan N.opticus dan saraf
motoris dari mata yang menyebabkan diplopia, kebutaan dan paralisis bola
mata yang temporer.
o Deformitas hidung sehingga mata terlihat rata.
o Adanya cerebrospinal rhinorrhoea dan umumnya bercampur darah
o paralisis N.Fasialis yang sifatnya temporer atau permanen yang menyebabkan
Bell’s Palsy.
Intra oral :
o Mulut terbuka lebih lebar karena keadaan open bite yang berat.
10
o Rahang atas dapat lebih mudah digerakkan
o Perdarahan pada palatum dan pharynx.
o Pernafasan tersumbat karena tertekan oleh dorsum lidah.
Fraktur ini biasanya unilateral, sering bersifat multiple dan communited, tetapi
karena adanya otot zygomatic dan jaringan pelindung yang tebal, jarang bersifat
compound. Displacement terjadi karena trauma, bukan karena tarikan otot.
Trauma/pukulan biasanya mendorong bagian-bagian yang patah ke dalam.
Geiala klinik
o Penderita mengeluh sukar membuka rahang, merasa ada sesuatu yang menahan,
waktu membuka mulut ke depan condyle seperti tertahan.
o Bila cedera sudah beberapa hari dan pembengkakan hilang, terlihat adanya
depresi yang nyata sekeliling lengkung dengan lebar 1 atau 2 jari yang dapat
diraba.
o Pembengkakan periobital, echymosis.
o Palpasi lunak
o Rasa nyeri
11
o Epistaksis, perdarahan hidung disebabkan karena cedera, tersobeknya selaput
lendir antral oleh depresi fraktur zygomatic dengan perdarahan lebih lanjut ke
antrum melalui ostium maxilla ke rongga hidung.
o Rasa baal di bawah mata, rasa terbakar dan paraesthesia
o Perdarahan di daerah konjungtiva
o Gangguan penglihatan diplopia, kabur.
G. PEMERIKSAAAN RADIOLOGI
Pemeriksaan radiologi digunakan untuk menunjang diagnosa. Untuk menegakkan
diagnosa yang tepat sebaiknya digunakan beberapa posisi pengambilan foto, karena
tulang muka kedudukannya sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan kita untuk
melihatnya dari satu posisi saja.
Pemeriksaan Ro Foto untuk fraktur maxilla antara lain :
1. PA position
2. Waters position
3. Lateral position
4. Occipito Mental Projection
5. Zygomaticus
6. Panoramic
7. Occlusal view dari maxilla
8. Intra oral dental
H. PENATALAKSANAAN
Perawatan Fraktur
Perawatan fraktur ditujukan pada penempatan ujung tulang yang fraktur pada
hubungan yang benar sehingga ujung tulang tersebut bersentuhan dan dipertahankan
pada posisi tersebut sampai penyembuhan terjadi.
12
tertutup, bila garis fraktur simpe1, posisi cukup baik dan terjadinya fraktur masih
baruReduksi yang dilakukan pada fraktur dengan cara manipulasi. Cara ini
dilakukan pada fraktur yang masih baru dan mudah dikembalikan pada tempat
semula.
Caranya :
Kita raba permukaan tulang yang patah melalui intra dan ekstra oral, lalu kita
perhatikan oklusinya. Setelah kawat fiksasi dipasang, baru reduksi dikerjakan yaitu
dengan manipulasi bagian-bagian tulang yang patah itu sampai kedudukannya
seperti semula.
2. Reduksi dengan tarikan
Yang paling sering dipakai yaitu intermaxillary traction yaitu penarikan rahang
bawah dan rahang atas. Cara ini dilakukan bila displacement sukar dimanipulasi
pada tempat-tempat yang diinginkan yang mungkin oleh karena adanya spasmus
otot dan fraktur yang sudah lama sehingga terjadi malunion yang sukar
dikembalikan ke keadaan semula.
3. Open reduction (dengan cara operasi)
Cara ini dipakai jika reduksi tertutup tidak dapat dikerjakan, lebih sering dikerjakan
untuk fiksasi dari pada untuk reduksi fraktur.
13
2) Direct Dental Fixation
Immobilisasi dari fragmen-fragmen dengan menggunakan splint bar atau wire di
antara dua atau lebih gigi pada daerah fraktur.
Wiring merupakan cara yang paling mudah. Tekniknya : Mengelilingi dua gigi yang
berdekatan kemudian menuju garis fraktur dengan sepotong kawat dengan
mengikatnya kuat-kuat. Cara ini kurang stabil dan tidak dapat diper-
tanggungjawabkan sehingga jarang dipakai.
3) Indirect Skletal Fixation
Yang termasuk cara ini :
Denture atau gurting splint dengan head bandage
Circumferential wiring
External fixation
15
perlu diperkuat dengan circumferential wiring pada 3/3 dan dihubungkan
dengan head cap melalui transbuccal check wire.
- Head cap dapat diganti dengan haloframe yang mempunyai fungsi sarna
dengan head cap tetapi jauh lebih stabile Frame ditempatkan di sekitar cranium
dengan 4 buah paku.
Supraorbital pins adalah pilihan lain dari head cap. Dua buah pin di tempatkan
pada supraorbital ridge kanan dan kiri. Kedua pin ini dihubungkan dengan
sebuah bar yang melengkung. Bar ini kemudian dihubungkan dengan perantaraan
suatu connecting bar lurus dengan extension rod dari alat-alat fiksasi pada
rahang.
2) Immobilisasi dalam jaringan. Jenis ini apat berupa
a. Fiksasi langsung dengan transosseus wiring pada garis fraktur
b. Teknik suspensi dari kawat (internal wire suspension technique)
Teknik fiksasi ini tidak memerlukan alat-alat yang mahal atau fasilitas
laboratorium yang mutakhir. Teknik ini dapat diterima dengan baik oleh
penderita karena peralatan fiksasi tidak tampak dari luar sehingga penderita
dapat meninggalkan RS lebih cepat. Pada teknik ini maksila ditahan dengan
kawat pada bagian tulang muka yang tidak mengalami cedera yang berada di a
tas garis fraktur. Kawa t suspensi ini dihubungkan dengan kawat fiksasi/arch bar
pada mandibula. Untuk memperkuat arch bar mandibula terhadap tarikan kawat
suspensi, dianjurkan pemakaian circumferential wiring pada 3/3. Dengan
demikian maksila terj epi t di antara mandibula dan bagian tulang muka yang
stabil.
Teknik suspensi dengan kawat ini dapat berupa:
a) Circumzygomatic
Kawat penggantung/penahan melalui atau meliputi arcus zygomaticus
b) Zygomatic-mandibula
Kawat melalui lubang pada tulang zygoma
c) Inferior orbital border-mandibula
Kawat melalui lubang pada lower orbital rim
d) Fronto-mandibular
Kawat melalui lubang pada zygomatic processus pada tulang frontal
16
e) Pyriform fossa mandibular
Kawat me1alui lubang pada fossa pyriformis. Ini hanya untuk perawatan Le
Fort I dan sangat kurang stabil.
f) Nasal septum-mandibular
Fiksasi ini sangat tidak stabil
Pada beberapa keadaan, suspensi langsung terhadap maksila dapat dilakukan
yaitu apabila artikulasi gigi geligi yang tepat tidak mutlak diperlukan ,
misalnya pada :
Salah satu rahang tidak bergigi
Immobilisasi mandibula tidak diperlukan
Suatu keadaan dimana immobilisasi mandibula merupakan
kontraindikasi, misalnya pada obstruksi nasal yang berat.
Lamanya fiksasi
Yang dimaksud dengan sembuh yaitu tidak terdapatnya mobilitas pada daerah
fraktur bila dilakukan manipulasi dengan tangan.
- RA (maksila) 4 minggu
- RB (mandibula) 5-9 minggu
- Fracture condyle 2 minggu
Mengingat cepatnya penyembuhan fraktur dipengaruhi banyak faktor, misalnya
hebatnya fraktur, keadaan umum penderita, gizi penderita, ketrampilan operator
dan berbagai faktor lokal, maka sebelum dilakukan pembukaan alat-alat fiksasi,
diperlukan suatu pengamatan lebih dulu terhadap penyembuhan fraktur
tersebut.
17
Alat penyedot dan alat pemotong kawat harus selalu tersedia bilamana diperlukan.
Seharusnya seorang perawat yang berpengalaman mengawasi di sisi pasien sampai
pasien sadar betul.
B) Antibiotika dan analgetik
Pemberian antibiotik sangat perlu sekali bagi setiap fraktur rahang, apalagi setelah
dilakukan tindakan reposisi dan fiksasi. Pemberian dalam bentuk kapsul atau tablet
adalah sulit karena adanya IMF.
Obat dalam bentuk cairan lebih baik bagi penderi ta. Pemberian secara
parenteralpum dapat dilakukan.
Bila fiksasi baik analgetik biasanya tidak mutlak diberikan.
C) Pemberian makanan
Makanan umumnya dalam bentuk cairan atau setengah cairan.
Makan dapat diberikan melalui celah yang ada antara gigi atau pada fossa
retromolar.
D) Kebersihan mulut
Pembersihan gigi dan kawat fiksasi adalah sangat penting untuk mengurangi
terjadinya infeksi.
E)Pemberian vitamin A, D, B compleks, mineral Ca, fosfat.
2. Diagnosa Keperawatan
19
a. Nyeri akut yang berhubungan dengan pergerakan fragmen tulang, kompresi saraf,
cedera neuromuscular, trauma jaringan, dan reflex spasme otot sekunder.
b. Risiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan adanya perdarahan
c. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, akan menjalani operasi, status
ekonomi, dan perubahan fungsi peran.
3. Rencana Keperawatan
a. Dx: Nyeri akut yang berhubungan dengan pergerakan fragmen tulang, kompresi
saraf, cedera neuromuscular, trauma jaringan, dan reflex spasme otot sekunder.
Tujuan: nyeri berkurang, hilang, atau teratasi
Kriteria hasil: secara subjektif, klien melaporkan nyeri berkurang atau dapat
diatasi, mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau mengurangi nyeri.
Klien tidak gelisah. Skalanyeri 0-1 atau teratasi.
Intervensi:
1) Kaji nyeri denganskala 0-4.
R: nyeri merupakan respon subjektif yang dapat dikaji dengan menggunakan
skala nyeri. Klien melaporkan nyeri biasanya di atas tingkat cidera.
2) Atur posisi imobilisasi pada lengan atas.
R: imobilisasi yang adekuat dapat mengurangi pergerakan fragmen tulang yang
menjadi unsure utama penyebab nyeri pada lengan atas.
3) Bantu klien dalam mengidentifikasi factor pencetus.
R: nyeri dipengaruhi oleh kecemasan, ketegangan, suhu, distensi kandung
kemih, dan berbaring lama.
4) Jelaskan dan bantu klien terkait dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi
dan noninvasife.
R: pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya
efektif dalam mengurangi nyeri.
5) Ajarkan relaksasi: tenik untuk menurunkan ketegangan otot rangka yang dapat
mengurangi intensitas nyeri. Tingkatkan relaksasi masase.
R:teknik ini akan melancarkan peredaran darah sehingga O2 padajaringan
terpenuhi dan nyeri berkurang.
6) Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.
R: mengalihkan perhatian klien terhadap nyeri ke hal-hal yang menyenakan.
7) Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang
nyaman, misalnya waktu tidur, belakang tubuh klien dipasang bantal kecil.
20
R: istirahat merelaksasi semua jaringan sehingga semua akan meningkatkan
kenyamanan.
8) Tingkatkan pengetahuan tentang sebab-sebab nyeri dan hubungkan dengan
berapa lama nyeri akan berlangsung.
R: pengetahuan tentang sebab-sebab nyeri membantu mengurangi nyeri. Hal ini
dapat membantu meningkatkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
b. Dx: Risiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan adanya port de entrée luka
operasi pada lengan atas.
Tujuan: infeksi tidak terjadi selama perawatan.
Kriteria hasil: klien mengenal factor risiko, mengenal tindakan
pencegahan/mengurangi factor risiko infeksi, dan menunjukan/mendemonstrasikan
teknik-teknik untuk meningkatkan lingkungan yang aman.
Intervensi:
1) Kaji dan monitor luka operasi setiap hari.
R :mendeteksi secara dini gejala-gejala inflamasi yang mungkin timbul secara
sekunder akibat adanya luka pasca operasi.
2) Lakukan perawatan luka secara steril.
R: teknik perawatan luka secara steril dapat mengurangi kontaminasi kuman.
3) Pantau/batasi kunjungan.
R :mengurangi risiko kontak infeksi dari orang lain.
4) Bantu perawatan diri dan keterbatasan aktivitas sesuai toleransi. Bantu program
latihan.
R: menunjukan kemampuan secara umum, kekuatan otot, dan merangsang
pengembalian system imun.
5) Berikan antibiotic sesuai indikasi.
R: satu atau beberapa agens diberikan yang bergantung pada sifat pathogen dan
infeksi yang terjadi.
c. Dx: Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, akan menjalani operasi, status
ekonomi, dan perubahan fungsi peran.
Tujuan: Ansietas hilang atau berkurang.
21
Kriteria hasil: klien mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi penyebab atau
factor yang mempengaruhi, dan menyatakan ansietasnya berkurang.
Intervensi:
1) Kaji tanda verbal dan nonverbal ansietas. Dampingi klien dan lakukan tindakan
bila klien menunjukan perilaku merusak
R: reaksi verbal/nonverbal dapat menunjukan rasa agitasi, marah dan gelisa.
2) Hindari konfrontasi.
R: konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah, menurunkan kerja sama, dan
mungkin memperlambat penyembuhan.
3) Mulai lakukan tindakan untuk mengurangi ansietas. Beri lingkungan yang tenang
dan suasana penuh istirahat.
R: mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu.
4) Tingkatkan control sensasi klien.
R: control sensasi klien (dalam mengurangi ketakutan) denga cara membberikan
informasi tentang keadaan klien, menekankann penghargaan terhadap sumber-
sumber koping (pertahanan diri) yang positif, membantu latihan relaksasi dan
teknik-teknik pengalihan, serta memberikan umpan balik yang positif.
5) Orientasikan klien terhadap tahap-tahap prosedur operasi dan aktivitas yang
diharapkan.
R: orientasi terhadap prosedur operasi dapat mengurangi ansietas.
6) Beri kesempatan klen mengungkapkan ansietasnya
R: dapat menghilangkann ketegangan terhadap kekhawatiran yang tidak
diekspresikan.
7) Berikan privasi kepada klien dengan orang terdekat.
R: memberi waktu untuk mengekspresikan perasaan, menghilangkan ansietas, dan
perillaku adaptasi. Adanya keluarga dan teman-teman yang dipilih klien untuk
melakukan aktivitas pengalihan perhatian akan mengurangi perasaan terisolasi.
22
DAFTAR PUSTAKA
23