Anda di halaman 1dari 36

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN

TRAUMA FRAKTUR

Oleh:
Ns. SHELFI D.R PUTRI S., M.Kep

PRODI S1 KEPERAWATAN
STIKES BAHRUL ULUM JOMBANG
2020
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Fraktur Cruris (Tibia dan Fibula)

2.1.1 Definisi
Fraktur merupakan istilah dari hilangnya kontinuitas tulang, tulang

rawan, baik yang bersifat total maupun sebagian. Fraktur adalah patah

tulang yang disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut

tenaga fisik, keadaan tulang itu sendiri, serta jaringan lunak disekitar

tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi lengkap atau tidak

lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan

pada fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang (Nur

Arif, 2016).

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya

disebabkan oleh rudapaksa dan tekanan eksternal yang datang lebih besar

dari yang dapat diserap oleh tulang (Yasmara, et al, 2016).

Fraktur merupakan suatu patahan dan remukan baik tulang rawan

maupun tulang keras yang dimana dapat disebabkan karena faktor

lingkungan maupun pola aktivitas yang terlalu berlebihan, mengakibatkan

penderita mengalami kecacatan dan kesulitan dalam melakukan aktivitas

serta dapat merasakan rasa nyeri pada saat pre dan post oprasi yang sangat

hebat sesuai dengan skala nyeri setiap individualnya.

2.1.2 Etiologi
Etiologi dari fraktur menurut Nur Arif, (2016) sebagai berikut:

1) Fraktur troumatik

(1) Trauma langsung benturan pada tulang secara langsung dan

mengakibatkan terjadi fraktur di tempat itu.

(2) Truma tidak langsung: titik tumpu benturan dengan terjadinya

fraktur berjauhan.
2) Fraktur patologis

Terjadi pada tulang yang disebabkan karena adanya kelainan atau

penyakit yang menyebabkan kelemahan pada tulang (infeksi, tumor,

kelainan bawaan).

3) Fraktur stress

Terjadi karena adanya stress yang kecil dan berulang- ulang pada

daerah tulang yang menopang berat badan. Fraktur stress jarang sekali

ditemukan pada anggota gerak atas.

4) Degenerasi: Terjadi kemunduran patologis dari jaringan itu sendiri/ usia

lanjut.

5) Spontan: Terjadi karena tarikan otot yang sangat kuat seperti olah raga.

2.1.3 Klasifikasi klinis


Nur Arif, (2016) sebagai berikut:Fraktur terbuka (compoun fraktur,

bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Karena

adanya perlukaan di kulit. Fraktur terbuka memiliki macam derajat yaitu:

(1) Derajat I

(1) Luka <1 cm, (2) Kerusakan jaringan, (3) luka sedikit, tidak ada

tanda luka remuk, (4) Fraktur sederhana, transversal, atau

komunitif ringan, dan (5) Kontaminasi minimal.

(2) Derajat II

(1) Laserasi > 1 cm, (2) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/

avulsi, dan (3) Fraktur kominutif sedang.

(3) Derajat III

Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit,

otot, dan neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi.

1) Fraktur tertutup (simple fraktur), bila tidak terdapat hubungan antar

fragment tulang dengan dunia luar.

2) Fraktur dengan komplikasi: misal malunion, delayed, union, non union,

infeksi tulang.
2.1.4 Patofisiologi
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup

bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.

Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang

dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit. Sewaktu tulang patah

perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke dalam jaringan

lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami

kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-

sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan

aliran darah ketempat tersebut aktivitas osteoblast terangsang dan

terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus. Bekuan fibrin diabsorbsi

dan sel- sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang

sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf yang

berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan

asupan darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf perifer.

Bila tidak terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan

tekanan jaringan, oklusidarah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan

rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini di namakan

sindrom compartment (Brunner dan Suddarth, 2002).

Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak

seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur

tertutup. Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak seperti

tendon, otot, ligament dan pembuluh darah. Pasien yang harus imobilisasi

setelah patah tulang akan menderita komplikasi antara lain: nyeri, iritasi

kulit karena penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang perawatan diri

dapat terjadi bila sebagian tubuh di imobilisasi, mengakibatkan

berkurangnya kemampuan perawatan diri (Carpenito, 2007). Reduksi

terbuka dan fiksasi interna fragmen-fragmen tulang dipertahankan dengan

pen, sekrup, plat, paku. Namun pembedaan meningkatkan kemungkinan


terjadinya infeksi. Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada

jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya tidak mengalami cedera

mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan selama tindakan

operasi (Price dan Wilson,2006).


2.1.5 Pathway Teori
Trauma Langsung Trauma Tidak Langsung Kondisi Patologis

Fraktur

Diskontinuitas tulang Pergeseran fregmen tulang Nyeri Akut

Perubahan Jaringan sekitar Kerusakan fregmen tulang

Pergeseran fregmen tulang Spasme Otot Tekanan Sum-sum


tulang lebih tinggi
dari kapiler

Deformitas Tekanan kapiler

Melepaskan
katekolamin
Pelepasan histamin
Ggn fungsi ekstremitas

Metabolisme
Protein plasma hilang asam lemak
Hambatan Mobilitas Fisik

Edema Bergabung
Deformitas dengan trombosit

Penekanan pembuluh
darah Emboli

Putus vena /arteri Kerusakan Integritas Menyumbat


Kulit pembuluh darah

Kehilangan Volume
Perdarahan
cairan Ketidak efektifan
perfusi jaringan
perifer

Resiko syok (Hipovolemik)

Bagan 2.1 Pathway Teori

(Amin Huda Nuraif & Hardhi Kusuma, 2016)


2.1.6 Pathway Post Op Fraktur

Post Operasi Trauma Fraktur Cruris

Luka Insisi

Pasien bertanya- Syaraf di daerah Pendarahan Pasien Pasien


tanya tentang fraktur terputus post operasi, terpasang terpasang
perawatan pasca akral dingin, drain, IVFD gips
operasi, pasien konjungtiva
Impuls nyeri
mengatakan pucat, mukosa Port the entry
dikirim melalui Mengatakan
kurang mengerti bibir kering, mikroorganisme
serabut saraf tidak bisa
dengan perawatan turgor kulit kedalam tubuh
perifer menggerakkan
pasca operasi tidak elastis
tangannya,
Resiko ADL pasien
Stimulus nyeri dibantu
Kekurangan Infeksi
Kurang mencapai
korteks serebral Volume
Pengetahuan Cairan
Kerusakan
mobilitas fisik
Pasien meringis,
pasien mengeluh
nyeri, terdapat
nyeri tekan

Nyeri Akut

Bagan 2.2 Pathway Post Op Trauma Fraktur


(Baradero,dkk, 2019; Potter & Perry, 2016; Smeltzer & Bare, 2001; Sjamsuhidajat
& Wim de Jong, 2005)

2.1.7 Manifestasi Klinis


1) Tidak dapat menggunakan anggota gerak.

2) Nyeri pembengkakan.

3) Terdapat trauma (Kecelakaan Lalu lintas, jatuh dari ketinggian atau

jatuh di kamar mandi pada orang tua, penganiyayaan, tertimpa benda

berat, kecelakaan trauma olahraga).

4) Gangguan fungsi anggota gerak.


5) Deformitas tulang.

6) Kelainan anggota gerak.

7) Krepitasi atau datang dengan gejala-gejala lain.

2.1.8 Penatalaksanaan
Menurut Muttaqin (2008) Asikin (2016) konsep dasar yang harus di

pertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu: rekognisi, reduksi,

retensi, dan rehabilitasi.

1) Rekognisi (Pengenalan)

Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk

menentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh: pada tempat

fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk

yang nyata dapat menentukan diskontinuitas integritas rangka.

2) Reduksi (manipulasi/ reposisi)

Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen-

fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak

asalnya. Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali

seperti semula secara optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan

reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka. Reduksi terbuka

diindikasikan jika reduksi tertutup gagal atau tidak memuaskan.

Reduction external fixation (oref) merupakan alatexternal yang

digunakan itu mempertahankan dalam posisinya sampai penyembuhan

tulang yang solid seperti pen, kawat, skrupdan plat.

Reduction interna fixation (orif) yaitu dengan pembedahan terbuka

akan mengimobilisasi fraktur yang berfungsi pembedahan untuk


memasukkan skrup/pen kedalam fraktur yang berfungsi untuk

memfiksasi bagian-bagian tulang yang fraktur secara bersamaan.

Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah jaringan

lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan

perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin

sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan (Mansjoer,

2002).

3) Retensi (Immobilisasi)

Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga

kembali seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi,

fragmen tulang harus diimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi

kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat

dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasieksterna

meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, danteknik gips,

atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di gunakan untuk fiksasi

intrerna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi

fraktur. Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan diluar kulit untuk

menstabilisasikan fragmen tulang dengan memasukkan dua atau tiga

pin metal perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal dan

distal dari tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain

dengan menggunakan eksternal bars. Teknik ini terutama atau

kebanyakan digunakan untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi juga dapat

dilakukan pada tulang femur, humerusdan pelvis (Mansjoer, 2009).


4) Rehabilitasi

Rehabilitasi Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal

mungkin untuk menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan

memungkinkan, harus segera dimulai melakukan latihan-latihan untuk

mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi (Mansjoer,

2009).

2.1.9 Komplikasi
Komplikasi fraktur menurut Asikin (2016) yaitu:

1) Komplikasi awal fraktur antara lain: kerusakan vascular, sindrom

kompartemen, Fat embolism Syndrome, Infeksi, Avaskular Nekrosis,

Syok

(1) Kerusakan Vaskular

Pecahnya arteri karena trauma di tandai dengan nadi tidakteraba,

CRT menurun, sianosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan

ekstremitas teraba dingin yang disebabkan oleh tindakan

emergency splinting, perubahan posisi pada bagian yang sakit,

tindakan reduksi dan pembedahan.

(2) Sindrom kompartemen

Sindrom kompartemen merupakan komplikasi serius yang terjadi

karena otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah terjebak dalam

jaringan parut. Kondisi ini disebabkan oleh edema atau perdarahan

yang menekan otot, saraf dan pembuluh darah. Selain itu juga
disebabkan oleh adanya tekanan dari luar misalnya bidai dan

pembebatan yang terlalu kuat.

(3) Fat embolism syndrome

Fat embolism syndrome (FES) merupakan komplikasi serius yang

sering kali terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi

karena sel lemak yang dihasilkan sumsum tulang kuning masuk ke

aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah

yang ditandai dengan gangguan pernafasan, takikardia, hipertensi,

takipnea, dan demam.

(4) Infeksi

System pertahanan tubuh akan rusak jika terdapat trauma pada

jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit

(superficial) dan pada lapisan kulit bagian dalam. Kondisi ini

biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka selain itu juga dapat

disebabkan oleh penggunaan bahan lain dalam pembedahan,

misalnya pin dan plat.

(5) Avaskular nekrosis

Avaskular nekrosis (AVN) terjadi karena terganggunya aliran darah

ke tulang yang dapat menyebabkan nekrosis tulang dan diawali

dengan adanya Volkman’s ischemia.

(6) Syok

Syok terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatkan

permeabilitas kapiler yang dapat menyebabkan menurunnya

oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.


2) Komplikasi dalam waktu lama atau lanjut fraktur antara lain:

malunion, delayed union, dan non union.

(1) Malunion

Merupakan penggabungan fregmen tulang dalam posisi yang tidak

memuaskan (angulasi, rotasi, atau pemendekan). Pada malunion

dilakukan pembedahan dan remobilisasi yang baik.

(2) Delayed Union

Merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu

yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Hal ini disebabkan

oleh penurunan suplai darah ke tulang, kerusakan jaringan lunak

yang berat, atau periosteum yang robek.

(3) Nonunion

Merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi

sambungan yang lengkap, kuat dan stabil setelah 6-9 bulan, jika

tidak dilakukan intervensi. Non union ditandai dengan adanya

pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk celah

antar fraktur atau pseudoartrosis.

2.1.10 Pemeriksaan Penunjang


Menurut (Nur Arif, 2015) ada beberapa pemeriksaan penunjang pada

pasien fraktur antara lain:

1) X-ray: menentukan lokasi/ luasnya fraktur.

2) Scan tulang, tomogram, CT- scan/ MRI: memperlihatkan fraktur dan

mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.


3) Arteriogram: dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan

vaskuler.

4) Hitung darah lengkap: hemokosentrasi mungkin meningkat, menurun

pada perdarahan, peningkatan leukosit sebagai respon terhadap

peradangan.

5) Kreatinin: trauma otot meningkatkan beban kretinin untuk klien ginjal,

nilai yang biasanya di temukan pada pasien fraktur 0,8. Kadar normal

kreatinin untuk pria dewasa 0,6-1,2 miligram perdeciliter (mg/dl) dan

0,5-1,1 mg/dl untuk wanita dewasa.

6) Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,

transfusi atau cidera hati.

2.4 Konsep Asuhan Keperawatan Fraktur Cruris

2.4.1 Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses

keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang

masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan

keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada

tahap ini. Tahap ini terbagi atas:

1) Identitas Klien Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama,

bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan,

asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.

2) Keluhan Utama Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur

adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan

lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap

tentang rasa nyeri klien digunakan:

(1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang

menjadi faktor presipitasi nyeri.


(2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau

digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau

menusuk.

(3) Region: radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa

sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.

(4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan

klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan

seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.

(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah

buruk pada malam hari atau siang hari. (Ignatavicius, Donna D,

1995).

3) Riwayat Penyakit Sekarang

Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab

dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana

tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya

penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang

terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan

mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka

kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).

4) Riwayat Penyakit Dahulu

Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab

fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan

menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan

penyakit paget‟s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering

sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka

di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik

dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang


5) Riwayat Penyakit Keluarga

Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang

merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti

diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan,

dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik

(Ignatavicius, Donna D, 1995).

6) Riwayat Psikososial

Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang

dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta

respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam

keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).

7) Pola-Pola Fungsi Kesehatan

(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat

Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya

kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan

kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,

pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti

penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme

kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu

keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau

tidak (Ignatavicius, Donna D,1995).

(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme

Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi

kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit C

dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang.

Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan

penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi

komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutamakalsium atau

protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan


faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada

lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan

mobilitas klien.

(3) Pola Eliminasi

Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola

eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi,

konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi.

Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi,

kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga

dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan Istirahat Semua

klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal

ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu

juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana

lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta

penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 2002).

(4) Pola Aktivitas

Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua

bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien

perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji

adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena

ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur

dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).

(5) Pola Hubungan dan Peran


Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam

masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap

(Ignatavicius, Donna D, 1995).


(6) Pola Persepsi dan Konsep Diri

Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul

ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa

ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan

pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image)

(Ignatavicius, Donna D, 1995).

(7) Pola Sensori dan Kognitif

Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada

bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul

gangguan. begitu jugapada kognitifnya tidak mengalami

gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur

(Ignatavicius, Donna D, 1995).

(8) Pola Reproduksi Seksual

Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa

melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap

dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien.

Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk

jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D,

1995).

(9) Pola Penanggulangan Stress

Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan

dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatanpada diri dan fungsi

tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak

efektif.

(10) Pola Tata Nilai dan Keyakinan

Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan

beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal

ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.


2.4.2 Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata)

untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis).

Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada

kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang

lebih sempit tetapi lebih mendalam.

1) Gambaran Umum

Perlu menyebutkan:

(1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatatadalah tanda-

tanda, seperti:

1. Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah,

komposmentis tergantung pada keadaan klien.

2. Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang,

berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.

3. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik

fungsi maupun bentuk.

(2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin

1. Kepala

Untuk melihat ada tidakya gangguan yaitu, normo cephalik,

simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.

1. Leher

Untuk melihat ada tidakya gangguan yaitu simetris, tidak ada

penonjolan, reflek menelan ada.

2. Wajah

Untuk melihat mimik wajah terlihat menahan sakit atau tidak,

tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk, tidak ada lesi,

simetris atau tidak, ada atau tidaknya oedema.

3. Mata

Untuk melihat tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak


anemis (karena tidak terjadi perdarahan).

4. Telinga

Untuk mengetahui tes bisik atau weber masih dalam keadaan

normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.

5. Hidung

Untuk melihst Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping

hidung.

6. Mulut dan Faring

Untuk mengetahui ada pembesaran tonsil atau tidak, gusi tidak

terjadi perdarahan, mukosa mulut pucat atau tidak.

7. Thoraks

Untuk melihat ada atau tidaknya pergerakan otot intercostae,

gerakan dada simetris.

8. Paru

1) Inspeksi Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya

tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan

dengan paru.

2) Palpasi Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba

sama.

3) Perkusi Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara

tambahan lainnya.

4) Auskultasi Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau

suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.

9. Jantung

1) Inspeksi melihat ada tidak tampak iktus jantung.

2) Palpasi Nadi meningkat, iktus tidak teraba.

3) Auskultasi Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.

10. Abdomen

1) Inspeksi Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.


2) Palpasi Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar

tidak teraba.

3) Perkusi Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.

4) Auskultasi Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.

11. Inguinal-Genetalia-Anus

Untuk melihat tidak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe,

tak ada kesulitan BAB.

13. Sistem muskuloskeletal

Pada Ekstremitas yang mengalami post operasi terjadi nyeri,

bengkak atau oedem serta kesulitan dalam menggerakkan

ekstremitas, arna kulit pucat

14. Sistem Integumen

Untuk melihat terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma

terdapat peningkatan atau tidak, bengkak, oedema, nyeri tekan.

15. Sistem Pencernaan

Pasien post operasi cruris akan mengalami efek anastesi akan

menimbulkan penurunan peristaltik usus dan resiko paralisis

usus dengan distensi otot-otot abdomen dari timbulnya gejala

obstruksi gastrointestinal. Efek anastesi juga mempengaruhi

kemampuan pengosongan lambung.

16. Sistem Perkemihan

Pada post operasi fraktur cruris secara umum efek anastesi

juga mempengaruhi terhambatnya jaras eferen dan eferen

terhadap kontrol miksi, sehingga berimplikasi pada masalah

gangguan pemenuhan eliminasi urine


17. Sistem Endokrin

Pada pasien post operasi akan mengalami hhipoglikemia

karena efek anastesi menyebabkan asupan karbohidratt tidak

adekuat

18. Sistem Imonologi

Bila tejadi gangguan imunologi pasien mengalami mual dan

muntah

2) Keadaan Lokal

Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagiandistal

terutama mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler

5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan).

Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:

(1) Look (inspeksi)

Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:

1. Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan

seperti bekas operasi).

2. Cape au lait spot (birth mark).

3. Fistulae.

4. Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau

hyperpigmentasi.

5. Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang

tidak biasa (abnormal).

6. Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas).

7. Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa).


(2) Feel (palpasi)

Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita

diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya

ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah,

baik pemeriksa maupun klien. Yang perlu dicatat adalah:

1. Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban

kulit. Capillary refill time Normal 3 – 5.

2. Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau

oedema terutama disekitar persendian.

3. Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3

proksimal, tengah, atau distal). Otot: tonus pada waktu

relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan

atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status

neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu

dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan

terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan

ukurannya.

(3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)

Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan

dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat

keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu,

agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya.

Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah

pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran


metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak

(mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif

dan pasif (Reksoprodjo, Soelarto, 1995).

2.4.3 Pemeriksaan Diagnostik


1) Pemeriksaan Radiologi

Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah

“pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan

gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka

diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan

tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk

memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi.

Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi

kegunaan pemeriksaanpenunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan

permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:

(1) Bayangan jaringan lunak.

(2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau

biomekanik atau juga rotasi.

(3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.

(4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.

Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik

khususnya seperti:

1. Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi

struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus


ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana

tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga

mengalaminya.

2. Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan

pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami

kerusakan akibat trauma.

3. Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang

rusak karena ruda paksa.

4. Computed Tomografi Scanning: menggambarkan potongan

secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu

struktur tulang yang rusak.

(5) Pemeriksaan Laboratorium

1. Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap

penyembuhan tulang.

2. Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan

menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.

3. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase

(LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang

meningkat pada tahap penyembuhan tulang.

(6) Pemeriksaan lain-lain

1. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas:

didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.


2. Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama

dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi

infeksi.

3. Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang

diakibatkan fraktur.

4. Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek

karena trauma yang berlebihan.

5. Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya

infeksi pada tulang.

6. MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

(Ignatavicius, Donna D, 1995).

2.4.4 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon

seseorang individu, keluarga, komunitas terhadap munculnya masalah

kesehatan potensial atau aktual dalam proses kehidupan. Diagnosa

keperawatan menjadi dasar bagi pemilihan intervensi keperawatan guna

mencapai hasil yang akuntabilitas yang dimiliki oleh seorang tenaga medis

yaitu perawat Menurut (Nur Arif, 2015). Diagnosa keperawatan yang

muncul pada penderita penyakit fraktur cruris sesuai dengan patofisiologi

meliputi:

1) Pre Operasi

(1) Nyeri akut berhubungan dengan fraktur tulang, kerusakan jaringan

tulang, spasme otot, edema, kerusakan jaringan lunak.


(2) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri atau ketidak

nyamanan, kerusakan musculoskeletal, terapi pembatasan aktivitas

dan penururnan kekuatn atau tahanan.

(3) Resiko tinggi kerusakan intergritas kulit jaringan berhubungan

dengan imobilisasi, penururnan sirkulasi fraktur terbuka.

(4) Resiko infeksi berhubungan dengan ketidak nyamanan pertahanan

primer, kerusakan kulit, trauma jaringan dan peningkatan paparan

lingkungan.

(5) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan adanya nyeri dan

peradangan.

(6) Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang prosedur

dan tindakan operasi.

2) Post Operasi

(1) Nyeri akut berhubungan dengan prosedur pembedahan.

(2) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan prosedur pembedahan,

alat imobilitas(bidai, traksi, gips).

(3) Kerusakan Integritas kulit berhubungan dengan luka operasi.

(4) Resiko infeksi berhubungan dengan trauma, imunitas tubuh primer

menurun, prosedur invasive (pemasangan traksi)

2.4.5 Intervensi
Perencanaan keperawatan adalah perencanaan yang secara

legaldapat diprogramkan oleh seorang staf keperawatan guna untuk

menangani, mencegah, dan memantau diagnosa keperawatan yang


diprogramkan. Perencanaan keperawatan dari diagnosa yang muncul

mengenai penyakit fraktur (Nur Arif, 2015) meliputi:

Table 2.1 Intervensi Keperawatan Fraktur

No Diagnosa keperawatan Intervensi Rasional


(Tujuan dan kriteria hasil)

1. Nyeri akut berhubungan 1. Lakukan pengkajian 1. Untuk mengetahui


dengan prosedur pembedahan. nyeri secara tingkat nyeri pasien
Tujuan:
Setekah dilakukan tindakan komperhensif termasuk 2. Untuk mengetahui
keperawatan selama 3x6 jam lokasi, karakteristik, ketidak nyamanan
nyeri hilang atau terkontrol
Kriteria hasil: durasi, frekuensi, kualitas yang dirasakan oleh
1. Klien mampu mengontrol dan faktor presipitasi pasien dari rasa nyeri
nyeri
2. Ekspresi wajah tidak 2. Observasireaksi 3. Untuk mengalihkan
tegang Nonverbal dari perhatian pasien dari
3. Melaporkan bahwa nyeri
berkurang dengan ketidaknyamanan rasa nyeri
menggunakan manajemen terutama pada mereka 4. Agar pasien mampu
nyeri
4. Mampu mengenali nyeri yang tidak dapat menggunakan teknik
(skala, intensitas, berkomunikasi secara nonfarmakologi
frekuensi dan tanda nyeri)
5. Merasakan rasa nyaman efektif dalam management
setelah nyeri berkurang 3. Gunakan teknik nyeri yang dirasakan
6. Skala nyeri 1-3 (Ringan)
komunikasi trapeautik 5. Untuk mengetahui
untuk mengetahui apakah nyeri yang
pengalaman nyeri dan dirasakan pasien
penerimaan pasien berpengaruh terhadap
terhadap respon nyeri yang lainnya
4. Ajarkan teknik 6. Untuk mengurangi
nonfarmakologi dengan faktor yang dapat
cara latihan nafas dalam memperburuk nyeri
5. Tentukan pengaruh yang dirasakan
pengalaman nyeri pasien.
terhadap kualitas hidup 7. Untuk mengetahui
(Nafsu makan, tidur, apakah terjadi
aktivitas, mood dan pengurangan nyeri
hubungan sosial) atau nyeri yang
6. Evaluasi bersama pasien dirsakan pasien
dan tim kesehatan lain bertambah.
Diagnosa keperawatan
No Intervensi Rasional
(Tujuan dan kriteria hasil)
tentang ketidak efektifan 8. Pemberian healh
control nyeri masa education untuk

lampau mengurangi tingkat

7. Berikan informasi ketidak nyamanan

tentang nyeri termasuk yang dirasakan

penyebab nyeri, berapa pasien

lama nyeri akan hilang, 9. Pemberian analgesik

antisipasi terhadap dapat mengurangi

ketidaknyamanan. nyeri pada pasien

8. Berikan informasi yang 10. Evaluasi intervensi

akurat untuk yang telah dilakukan

meningkatkan terhadap pasien

pengetahuan dan respon


keluarga terhadap
pengalaman nyeri
keluarga terhadap
pengalaman nyeri
9. Monitoring vital sign
(tekanan darah, nadi,
respirasi)
10. Berikan pilihan dan
lakukan penanganan
nyeri secara obat-obatan
(farmakologi), tehnik
relaksasi dan distraksi
2 Gangguan mobilitas fisik 1. Monitoring vital sign 1. Evaluasi intervensi
berhubungan dengan prosedur sebelum atau sesudah yang telah dilakukan
pembedahan, alat latihan dan lihat respon terhadap pasien
imobilitas(bidai, traksi, gips). pasien saat latihan 2. Membantu
Tujuan: 2. Konsultasikan dengan menentukan terapi
Setelah dilakukan tindakan terapi fisik tentang yang sesuai dengan
keperawatan selama 3x12 jam rencana ambulasi sesuai klien
diharapkan klien mampu dengan kebutuhan 3. Untuk menghindari
3. Bantu klien untuk cedera dari mobiliasi
menggunakan tongkat 4. Untuk menambah
saat berjalan dan cegah pengetahuan
terhadap cedera tentang ambulasi
Diagnosa keperawatan
No Intervensi Rasional
(Tujuan dan kriteria hasil)
melaksanakan aktifitas fisik 4. Ajarkan pasien atau 5. Untuk mengetahui
sesuai dengan kemampuanya tenaga kesehatan lain apakah klien mamp
Kriteria Hasil: tentang teknik ambulasi mobilisasi atau
1. Klien meningkat dalam 5. Kaji kemampuan pasien belum.
aktivitas fisik dalam mobilisasi 6. Mengajarkan pasien
2. Mengerti tujuan dari 6. Latih pasien dalam mandiri dalam ADL
peningkatan mobilitas pemenuhan kebutuhan 7. Untuk menghidari
3. Memverbalisasikan ADL secara mandiri cedera saat
perasaan dalam sesuai kemampuan mobilisasi
meningkatkan kekuatan dan 7. Dampingi dan bantu 8. Alat bantu dapat
kemampuan berpindah pasien saat mobilisasi membantu pasien
4. Memperagakan penggunaan dan bantu penuhi dalam ADL
alat bantu untuk mobilisasi kebutuhan ADL. 9. Agar pasien
(walker) 8. Berikan alat bantu jika mampu merubah
pasien memerlukan posisi.
9. Ajarkan pasien bagaimana 10. untuk mencegah
merubah posisi dan terjadinya
berikan bantuan jika komplikasi
diperlukan
10. Mengidentifikasi
kemungkinan penyebab
perubahan tanda-tanda
vital karena latihan
ambulasi.
3. Kerusakan Integritas kulit 1. Anjurkan pasien untuk 1. Untuk menghindari
berhubungan dengan luka menggunakan pakaian adanya gesekan kulit
operasi. yang longgar dan kain yang dapat
2. Hindari kerutan pada menyebabkan
Tujuan :
tempat tidur peradangan
Setelah dilakukan Tindakan
3. Jaga kebersihan kulit agar 2. Menghindari ulkus
keperawatan selama 3x12 jam
tetap bersih dekubitus
diharapkan klien mampu
4. Mobilisasi pasien (rubah 3. Untuk menghindari
melindungi kulit dan
posisi pasien) setiap 2 jam infeksi
mempertahankan
sekali Monitor kulit akan 4. Untuk menghindari
adanya kemerahan ulkus dekubitus
Diagnosa keperawatan
No Intervensi Rasional
(Tujuan dan kriteria hasil)
kelembaban kulit dan 5. Oleskan lotion atau 5. Untuk segera
perawatan alami Kriteria hasil: minyak baby oil pada diberikan tindakan
1. Integritas kulit yang baik daerah yang tertekan yang tepat sehingga
bisa di pertahankan 6. Monitor status nutrisi resiko ulkus
(sensasi, elastisitas, pasien dekubitus dapat
temperature, hidrasi, 7. Memandikan pasien diatasi
pigmentasi) tidak ada luka/ dengan sabun atau air 6. Untuk menghindari
lesi pada kulit. hangat resiko terjadinya
2. Perfusi jaringan baik. 8. Memandikan pasien ulkus dekubitus
menunjukkan pemahaman dengan sabun atau air 7. Nutrisi yang baik
dalam proses perbaikan hangat akan membantu
kulit dan mencegah 9. Monitoring tanda- tanda kesembuhan klien
terjadinya cedera berulang vital lebih cepat
8. Untuk kebersihan
kelembaban kulit
9. Evaluasi intervensi
yang telah dilakukan
terhadap pasien
4. Resiko infeksi berhubungan 1. Bersihkan lingkungan 1. Untuk
dengan trauma, imunitas tubuh setelah di pakai pasien lai menghilangkan
primer menurun, prosedur 2. Monitor tanda dan gejala sarang atau tempat
invasive (pemasangan traksi) infeksi systemic dsn local bakteri yang dapat
Tujuan: 3. Batasi pengunjung bila menyebabkan infeksi
Setelah dilakukan tindakan perlu 2. Mengetahui tanda-
keperawatan 3x12 jam 4. Intruksikan pada tanda infeksi
diharapkan klien mampu pengunjung untuk secaradini
menunjukkan kemampuan mencuci tangan saat 3. Mencegah terjadinya
untuk mencegah infeksi berkunjung dan setelah penyebaran infeksi
Kriteria hasil: Berkunjung meninggalkan 4. Untuk
pasien. mencegahterjadinya
1. Klien bebas dari tanda 5. Cuci tangan setiap, infeksiantar klien
dan gejala infeksi sebelum dan sesudah 5. Untuk mencegah
2. Mendepkripsikan tindakan keperawatan terjadinya infeksi

penularan 6. Instruksikan pasien antar pasien atau


proses
Untuk minum antibiotic antar perawat
penyakit, faktor yang
sesuai resep dokter
Diagnosa keperawatan
No Intervensi Rasional
(Tujuan dan kriteria hasil)
mempengaruhi 6. Antibiotik dapat

penularan serta Membunuh bakteri


ataukuman
penatalaksanaann ya
3. Jumlah leukosit dalam
batas normal
4. Menunjukkan perilaku
hidup sehat

2.4.6 Implementasi
Implementasi atau pelaksanaan adalah realisasi rencana tindakan

untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kegiatan dalam

implementasi juga meliputi pengumpulan data berkelanjutan,

mengobservasi respon klien selama dan sesudah pelaksanaan tindakan dan

menilai data yang baru (Rahmah, Nikmatur dan walid saiful. 2009; 89).

Menurut wilknison (2007; dalam Nurjanah, Intansari. 2010;186)

implementasi yang bisa dilakukan oleh perawat terdiri dari: (melakukan),

delegate (mendelegasikan) dan record (mencatat).

2.4.7 Evaluasi
Rahmah, Nikmatur dan walid Saiful (2009; 94-96) menjelaskan

bahwa evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan

keadaan pasien (hasil yang diamati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang

dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi bertujuan untuk mengakhiri

rencana tindakan keperawatan, memodifikasi rencana tindakan

keperawatan dan meneruskan rencana keperawatan.

Evaluasi terdiri dari evaluasi proses (formatif) dan evaluasi hasil

(sumatif). Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan setiap selesai


tindakan, berorientasi pada etiologi dan dilakukan secara terus- menerus

sampai tujuan yang telah ditentukan berhasil. Sedangkan evaluasi sumatif

dilakukan setelah akhir tindakan keperawatan secara paripurna,

berorientasi pada masalah keperawatan, menjelaskan keberhasikan/ketidak

berhasilan, rekaputasi dan kesimpulan status kesehatan klien sesuai

dengan kerangka waktu yang ditetapkan.

Penentuan keputusan pada tahap evaluasi Kualitas asuhan

keperawatan dapat dievaluasi pada saat proses (formatif) dan dengan

melihat hasilnya (sumatif).

1) Evaluasi Proses

Fokus pada evaluasi proses (formatif) adalah aktivitas dari proses

keperawatan dan hasil kualitas pelayanan asuhan keperawatan.

Evaluasi proses harus dilaksanakan segera setelah perencanaan

keperawatan diimplementasikan untuk membantu menilai efektivitas

intervensi tersebut.

2) Evaluasi Hasil

Fokus evaluasi hasil (sumatif) adalah perubahan perilaku atau

status kesehatan pasien pada akhir asuhan keperawatan. Tipe evaluasi

ini dilaksanakan pada akhir asuahan keperawatan secara paripurna.

Evaluasi hasil bersifat objektif, fleksibel, dan efisein. Metode

pelaksanaan evaluasi hasil terdiri atas closed-chart audit, wawancara

pada pertemuan akhir asuahn keperawatan, dan pertanyaan kepada

pasien dan keluarga.


3) Komponen SOAP/SOAPIER

Untuk memudahkan perawat mengevaluasi atau memantau

perkembangan pasien, yang dimaksut dengan SOAPIER adalah:

(1) S: Data Subyektif

Perawat menulisakan keluhan pasien yang masih dirasakan

setelah dilakukan tindakan kepeawatan.

(2) O: Data Obyektif

Data berdasarkan hasil pengukuran atau observasi perawat secara

langsung pada pasien, dan yang dirasakan pasien setelah

dilakukan tindakan keperawatan.

(3) A: Analisis

Interprestasi dari data subyektif dan data obyektif. Merupakan

suatu masalah atau diagnosis keperawatan masih terjadi.

(4) P: Planning

Perencanaan keperawatan yang akan dilanjutkan, dihentikan,

dimodifikasi, atau ditambahkan dari rencana tindakan

keperawatan yang telah ditentukan sebelumnya.

(5) I: Implementasi

Tindakan keperawatan yang dilakukan sesuai dengan instruksi

yang telah teridentifikasi dalam komponen P (perencanaan).

(6) E: Evaluasi

Respons pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan.


DAFTAR PUSTAKA

Aini, L., & Reskita, R. (2018). Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam terhadap
Penurunan Nyeri pada Pasein Fraktur. Jurnal Kesehatan, 9(2), 262.
https://doi.org/10.26630/jk.v9i2.905{01-02-2020}
Aji, S. B., Armiyati, Y., & Sn, S. A. (2015). Efektifitas Antara Relaksasi
Autogenik Dan Slow Deep Breathing Relaxation Terhadap Penurunan Nyeri
Pada Pasien Post Orif Di Rsud Ambarawa. Jurnal Ilmu Keperawatan Dan
Kebidanan (JIKK), 002.
Aslidar, S.Kep, Ns., M. K. (2016). Teknik Relaksasi Nafas Dalam Pada Pasien
Pasca Operasi Fraktur Cruris Di Rsu.Pusat Haji Adam Malik Medan. Jurnal
Keperawatan Flora, IX(2), 69–8
http://ojs.stikesflora-medan.ac.id/index.php/jkpf/article/view/75.{02-02-
2020}.
Lestari Endah Devi, dkk, (2019). Asuhan Keperawatan Nyeri Akut Pada Pasien
Post Orif (Open Reduction Internal Fixation) Fraktur Cruris Di Rumah Sakit
Umum Daerah Ungaran.
Igiany, P. D. (2018). Perbedaan Nyeri Pada Pasien Pasca Bedah Fraktur
Ekstremitas Sebelum Dan Sesudah Dilakukan Teknik Relaksasi Napas
Dalam. Jurnal Manajemen Informasi Dan Administrasi Kesehatan (J-MIAK,
01(01), 16–21.
Ismonah, dkk, (2015). Pengaruh Slow Deep Breathing Terhadap Intensitas Nyeri
Paien Post ORIF di RS Telogorejo Semarang. Ejournal keperawatan (e-Kp)
Volume 2 nomor 4 2015. Halaman 19-28.
Kristanto, A., & Arofiati, F. (2016). Efektifitas Penggunaan Cold Pack
dibandingkan Relaksasi Nafas Dalam untuk Mengatasi Nyeri Pasca Open
Reduction Internal Fixation (ORIF). Indonesian Journal of Nursing
Practices, 1(1), 68–76. https://doi.org/10.18196/ijnp.1154
RI, K. (2017). Terapi Non Farmakologi dalam Penanganan Diagnosis Nyeri Akut
pada Fraktur : Systematic Review. Terapi Non Farmakologi Dalam
Penanganan Diagnosis Nyeri Akut Pada Fraktur : Systematic Review, 4.
EGC, Jakarta Carpenito lynda juall. 2012. Buku saku diagnosis keperawatan edisi
13. Jakarta : EGC
http://forikes-ejournal.com/ojs-2.4.6/index.php/SF/article/view/476. {03-02-
2020}
Iqbal Wahid, dkk.2015. Buku Ajar Ilmu Keperawatan Dasar. Buku 2, Jakarta
Selatan: Salemba Medika
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta : EGC 137

Nasriati.R dkk, 2017. Kombinasi Edukasi Meningkatkan Adaptasi Nyeri Pasien


Pasca Operasi Fraktur. Muhammadiyah Journal Of Nursing Voume 3
Nomor 1 2016. Halaman 60-68.
https://journal.umy.ac.id/index.php/ijnp/article/view/2221. {02-02-2020}
Novarizki,dkk.2015. Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas dalam Terhadap
Penurunan Tingkat Nyeri pada Pasien Pasca Operasi Fraktur Femur di
Rumah Sakit Karima Utama Surakarta. Ejournal keperawatan (e-Kp)
Volume 3 2015. Halaman 191-199.
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/xmlui/handle/11617/3607. {01-02-2020}

Nur arif. 2016.Asuhan Keperawatan Nanda Nic Noc.Edisi Revisi.Jilid 1. Jogja:


Mediaction

Nurdin Suhartini, dkk.2015. Pengaruh Teknik Relaksasi Terhadap Intensitas


Nyeri Pada Pasien Post Operasi fraktur di ruang Irnina a blue RSUP
PROF Dr. R.D Kandou Manado. Ejournal keperawatan (e-Kp) Volume 1.
Nomor 1 Agustus 2015. Halaman 1-6.
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jkp/article/view/2243. {01-02-2020}

Nursalam. 2014. Manajemen keperawatan aplikasi dalam praktik keperawatan


profesional edisi 4. Jakarta : Salemba Medika.
Potter & Perry, (2010). Landasan Teori Fraktur. Website
:eprints.poltekkes.Jogja.ac.id.2018.
https://www.academia.edu/35382643/Fraktur_radius_ulna_marsi. {02-02-
2020}.
Ramadhani Putri Rianti, dkk.2019. Hubungan Jenis Kecelakaan dengan Tipe
Fraktur pada Fraktur Tulang Panjang Ekstremitas Bawah. Jurnal Integrasi
Kesehatan & Sains Volume 1 Nomor 1 2019. Halaman 32-35.
http://ejournal.unisba.ac.id/index.php/jiks. {03-02-2020}
Relaksasi Nafas Dalam. https://www.kajianpudtaka.com/2016/04/relaksasi-nafas-
dalam.html?m=1. {03-02-2020}

Risnah, dkk.2019. Terapi Non Farmakologi dalam Penanganan Diagnosis Nyeri


Akut pada Fraktur; Systematic Review. Journal Of Islamic Nursing Volume
4 Nomor 2, Desember 2019.Halaman77-86.http://journal.uin-
alauddin.ac.id/index.php/join/article/view/10708. {02-02-2020}

Rivaldy Djamal, dkk.2015. Pengaruh Terapi Terhadap Skala Nyeri pada Pasien
Fraktur di Irina A RSUP Prof.DR. R.D. Kandou Manado. e-journal
keperawatan (eKp) Volume 3 Nomor 2 Oktober 2015. Halaman 1-6.
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jkp/article/download/9596/9174. {03-
02-2020}

Sari Sk Konsep nyeri. http//.repository.unimus.ac.id.{03-02-2020}

Anda mungkin juga menyukai