Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

CLOSE FRAKTUR INTERTROCHANTER

OLEH :

Ni Nengah Ayu Sudiantari

17.321.2697

A11-A

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA


BALI

2019
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Definisi Fraktur
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih
besar dari yang diabsorbsinya. Patah tulang terbuka atau disebut juga
opened fracture adalah keadaan patah tulang yang terjadi dengan adanya
hubungan antara jaringan tulang yang patah tersebut dengan lingkungan
eksternal dari kulit. Fraktur femur atau patah tulang paha adalah rusaknya
kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat disebabkan oleh trauma
langsung, kelelahan otot, dan kondisi tertentu, seperti degenerasi tulang
atau osteoporosis (Arif. M, Asuhan keperawatan klien gangguan sistem
musculoskeletal, hal 203). Fraktur tertutup adalah bila tidak ada
hubungan patah tulang dengan dunia luar.Fraktur terbuka adalah fragmen
tulang meluas melewati otot dan kulit, dimana potensial untuk terjadi
infeksi (Sjamsuhidajat, 1999). Definisi fraktur intertrochanter femur
adalah terputusnya kontinuitas tulang pada area di antara trochanter
mayor dan trochanter minor yang bersifat ekstrakapsular (Apley, 1995).

2. Etiologi/Penyebab
a) Trauma
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan otot yang tiba-tiba
dan berlebihan.
- Trauma langsung: dapat berupa pemukulan, penghancuran,
penekukan, pemuntiran, atau penarikan, benturan pada tulang dan
mengakibatkan fraktur pada tempat tersebut. Bila terkena
kekuatan langsung, tulang dapat patah pada tempat yang terkena;
jaringan lunak juga pasti rusak
- Trauma tidak langsung : Bila terkena kekuatan tak langsung,
tulang dapat mengalami fraktur pada tempat yang jauh dari tempat
yang terkena kekuatan itu, kerusakan jaringan lunak di tempat
fraktur mungkin tidak ada.
b) Kompresi
Retak dapat terjadi pada tulang, sama halnya seperti pada logam dan
benda lain, akibat tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering
ditemukan pada tibia atau fibula atau metatarsal, terutama pada atlet,
penari, dan calon tentara yang jalan berbaris dalam jarak jauh.
- Compresion force: klien yang melompat dari tempat ketinggian
dapat mengakibatkan fraktur kompresi tulang belakang.
- Muscle (otot): akibat injuri/sakit terjadi regangan otot yang kuat
sehingga dapa menyebabkan fraktur (misal; elektrik shock dan
tetani).
c) Patologik
Fraktur dapat terjadi karena tekanan yang normal apabila tulang itu
lemah (misalnya oleh tumor) atau apabila tulang itu sangat rapuh
(misalnya pada penyakit paget). Proses penyakit: kanker dan riketsia.
d) Secara spontan, dimana disebabkan oleh stress atau tegangan atau
tekanan pada tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit polio
dan orang yang bertugas di bidang kemiliteran.

3. Patofisiologi Terjadinya Penyakit


Fraktur gangguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma gangguan
adanya gaya dalam tubuh, yaitu stress, gangguan fisik, gangguan
metabolic, patologik. Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik
yang terbuka ataupun tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan
mengakibatkan pendarahan, maka volume darah menurun. COP menurun
maka terjadi perubahan perfusi jaringan. Hematoma akan mengeksedusi
plasma dan poliferasi menjadi edem local maka penumpukan di dalam
tubuh. Fraktur terbuka atau tertutup akan mengenai serabut saraf yang
dapat menimbulkan gangguan rasa nyaman nyeri.
Selain itu dapat mengenai tulang dan dapat terjadi neurovaskuler yang
menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik terganggu. Disamping
itu fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang kemungkinan
dapat terjadi infeksi terkontaminasi dengan udara luar dan kerusakan
jaringan lunak akan mengakibatkan kerusakan integritas kulit. Pada
umumnya pada pasien fraktur terbuka maupun tertutup akan dilakukan
immobilitas yang bertujuan untuk mempertahankan fragmen yang telah
dihubungkan tetap pada tempatnya sampai sembuh (Sylvia, 2006: 1182).
Pathway

Fraktur

Hemiartoplasty bipolar

Preoperatif Intraoperatif Postoperatif

Ansietas Bedah Anastesi


Anastesi Bedah

Puasa
Terputusnya Pemasangan
GA Efek anestesi
kontiunitas drain
R. jaringan
Ketidakseimbangan
Nyeri R.
volume cairan Otak Paru-paru
Imobilisasi Jantung akut Perdarahan

Hambatan
mobilitas fisik Kesadaran
Penurunan
Kelemahan tubuh
curah
R. cidera jantung
Defisit
perawatan diri Ketidakefektifan
bersihan jalan
R. Cidera nafas

Insisi

Terpapar suhu Resiko Terbuka


lingkungan Perdarahan

Post de entri
Hipotermi

Resiko
Infeksi
4. Klasifikasi
Ada 2 tipe fraktur femur, yaitu :
a) Fraktur intrakapsuler
- Terjadi didalam tulang sendi, panggul dan kapsula
- Melalui kepala femur
- Hanya dibawah kepala femur
- Melalui leher dari femur
b) Fraktur ekstrakapsuler
- Terjadi diluar sendi dan kapsul, melalui trochanter femur yang
lebih besar atau yang lebih kecil atau pada daerah intertrochanter.
- Terjadi dibagian distal menuju leher femur tetapi tidak lebih dari 2
inci dibawah trochanter kecil.

Sedangkan klasifikasi untuk intertrochanter adalah berdasarkan stabilitas


dari pola fraktur, yaitu fraktur stabil (pola fraktur oblik standar) dan
fraktur tidak stabil (pola fraktur oblik reverse).

Gambar 3. Klasifikasi fraktur femur


- Fraktur intertrochanter
Pada fracture ini, garis fracture melintang dari trochanter mayor ke
trochanter minor. Tidak seperti fracture intracapsular, salah satu tipe
fracture extracapsular ini dapat menyatu dengan lebih baik. Resiko
untuk terjadinya komplikasi non-union dan nekrosis avaskular sangat
kecil jika dibandingkan dengan resiko pada fractureintracapsular.
Fracture dapat terjadi akibat trauma langsung pada trochanter mayor
atau akibat trauma tidak langsung yang menyebabkan twisting pada
daerah tersebut.
Berdasarkan klasifikasi Kyle (1994), fracture intertrochanteric dapat
dibagi menjadi 4 tipe menurut kestabilan fragmen-fragmen tulangnya.
Fracture dikatakan tidak stabil jika:
- Hubungan antarfragmen tulang kurang baik.
- Terjadi force yang berlangsung terus menerus yang menyebabkan
displaced tulang menjadi semakin parah.
- Fracture disertai atau disebabkan oleh adanya osteoporosis.

Gambar Klasifikasi Kyle Untuk Fracture Intertrochanteric.


Gambar Klasifikasi Evan Untuk Fracture Intertrochanteric.

- Menurut lokasi fraktur


Colles’ fraktur : jarak bagian distal fraktur ±1 cm dari permukaan
sendi.
Articular fraktur : meliputi permukaan sendi.
Extracapsular : fraktur dekat sendi tetapi tidak termasuk ke dalam
kapsul sendi.
Intracapsular : fraktur didalam kapsul sendi.
Apiphyseal : fraktur terjadi kerusakan pada pusat ossifikasi.

5. Manifestasi Klinis
a) Nyeri hebat di tempat fraktur
b) Tak mampu menggerakkan ekstremitas bawah
c) Rotasi luar dari kaki lebih pendek
d) Diikuti tanda gejala fraktur secara umum, seperti : fungsi berubah,
bengkak, kripitasi, sepsis pada fraktur terbuka, deformitas.

6. Komplikasi
a) Komplikasi awal
- Shock Hipovolemik/traumatic
Fraktur (ekstrimitas, vertebra, pelvis, femur) → perdarahan &
kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak → shock
hipovolemi, Lepuh dan luka akibat gips
- Emboli lemak, Cedera saraf, Cedera visceral
- Tromboemboli vena
Berhubungan dengan penurunan aktivitas/kontraksi otot/bedrest,
Otot dan tendon robek
- Infeksi
Fraktur terbuka: tulang kontaminasi infeksi sehingga perlu
monitor tanda infeksi dan terapi antibiotik.
Sendi : Hemartrosis dan infeksi, Cedera ligament, Algodistrofi
- Cedera vaskular (termasuk sindroma kompartemen)

b) Komplikasi lambat
- Tulang
1) Nekrosis avaskular : Karena suplai darah menurun sehingga
menurunkan fungsi tulang
2) Delayed union : Proses penyembuhan fraktur sangat lambat
dari yang diharapkan biasanya lebih dari 4 bulan. Proses ini
berhubungan dengan proses infeksi. Distraksi/tarikan bagian
fragmen tulang.
3) Non union : Proses penyembuhan gagal meskipun sudah diberi
pengobatan. Hal ini disebabkan oleh fibrous union atau
pseudoarthrosis.
4) Mal-union : Proses penyembuhan terjadi tetapi tidak
memuaskan (ada perubahan bentuk)
- Jaringan lunak
1) Ulkus dekubitus
2) Miositis osifikans
3) Tendinitis dan rupture tendon • Tekanan dan terjepitnya saraf
4) Kontraktur volkmann
- Sendi
1) Ketidakstabilan
2) Kekakuan
3) Algodistrofi

Pasien dengan fraktur intertrochanter femur mempunyai resiko menderita


penyakit tromboemboli dan mempunyai resiko kematian, sama halnya
pada fraktur colum femur. Selain itu resiko osteonekrosis dan non-union
minimal, karena suplai darah yang baik pada regiofemur.

7. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
a) Pemeriksaan Laboratorium
1) Alkalin fosfat
2) Kalsium serum dan fosfor serum
3) Enzim otot seperti kreatinin kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-
5), Asparat Amino Transferase (AST)

b) Pemeriksaan Radiologi
1) Sinar rontgen (X-ray)
Pemeriksaan standar untuk trauma pada lutut adalah foto X-ray
dengan posisi anteroposterior (AP), lateral, dan dua oblik. Foto X-
ray digunakan untuk mengidentifikasi garis fraktur dan pergeseran
yang terjadi tetapi tingkat kominusi atau depresi dataran mungkin
tidak terlihat jelas. Foto tekanan (dibawah anestesi) kadang-
kadang bermanfaat untuk menilai tingkat ketidakstabilan sendi.
Bila kondilus lateral remuk, ligamen medial utuh, tetapi bila
kondilus medial remuk, ligamen lateral biasanya robek.

2) CT Scan
CT-Scan digunakan untuk mengidentifikasi adanya pergeseran
dari fraktur tibia plateau. CT-Scan potongan sagital meningkatkan
akurasi diagnosis dari fraktur tibia plateau dan diindikasikan pada
kasus dengan depresi artikular.

3) Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Magnetic Resonance Imaging (MRI) digunakan untuk
mengevaluasi trauma ataupun sebagai alternatif dari CT-Scan atau
arthroscopy. MRI dapat mengevaluasi tulang serta komponen
jaringan lunak dari lokasi trauma. Namun, tidak ada indikasi yang
jelas untuk penggunaan MRI pada fraktur tibia plateau.

4) Elektromiografi
Terdapat kerusakan kondukasi saraf yang diakibatkan fraktur.

5) Arthroscopi
Didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma
yang berlebihan.

6) Indium imaging
Pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi.

c) Pemeriksaan lainnya
1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan tes sensitivitas
2) Biopsy tulang dan otot diindikasikan bila terjadi infeksi

8. Penatalaksanaan
Menurut Price, Sylvia Anderson, alih bahasa Peter Anugerah,
(1994:1187), empat konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada
waktu menangani fraktur :
a) Rekognisi, menangani diagnosis pada tempat kejadian kecelakaan dan
kemudian dibawa ke rumah sakit.
b) Reduksi, reposisi fragmen-fragmen fraktur semirip mungkin dengan
keadaan letak normal, usaha-usaha tindakan manipulasi fragmen-
fragmen tulang yang patah sedapat mungkin untuk kembali seperti
letak asalnya.
c) Retensi, menyatakan metoda-metoda yang dilaksanakan untuk
menahan fragmen-fragmen tersebut selama penyembuhan.
d) Rehabilitasi, dimulai segera setelah dan sesudah dilakukan bersamaan
pengobatan fraktur, untuk menghindari atropi otot dan kontraktur
sendi.

Penatalaksanaan klien dengan fraktur dapat dilakukan dengan cara :


a) Traksi
Yaitu penggunaan kekuatan penarikan pada bagian tubuh dengan
memberikan beban yang cukup untuk penarikan otot guna
meminimalkan spasme otot, mengurangi dan mempertahankan
kesejajaran tubuh, untuk memobilisasi fraktur dan mengurangi
deformitas.
b) Fiksasi interna
Yaitu stabilisasi tulang yang patah yang telah direduksi dengan skrup,
plate, paku dan pin logam dalam pembedahan yang dilaksanakan
dengan teknik aseptik.
c) Reduksi terbuka
Yaitu melakukan kesejajaran tulang yang patah setelah terlebih dahulu
dilakukan fiksasi dan pemanjangan tulang yang patah.
d) Gips
Adalah fiksasi eksterna yang sering dipakai terbuat dari plester ovaria,
fiber dan plastik.

1) Rekognisi: menyangkut diagnosa fraktur pada tempat kejadian


kecelakaan dan kemudian dirumah sakit.
a. Riwayat kecelakaan
b. Parah tidaknya luka
c. Diskripsi kejadian oleh pasien
d. Menentukan kemungkinan tulang yang patah
e. Krepitus
2) Reduksi: reposisi fragmen fraktur sedekat mungkin dengan letak
normalnya. Reduksi terbagi menjadi dua yaitu:
a. Reduksi tertutup: untuk mensejajarkan tulang secara manual
dengan traksi atau gips
b. Reduksi terbuka: dengan metode insisi dibuat dan diluruskan
melalui pembedahan, biasanyamelalui internal fiksasi dengan alat
misalnya; pin, plat yang langsung kedalam medula tulang.
c. Retensi: menyatakan metode-metode yang dilaksanakan untuk
mempertahankan fragmen-fragmen tersebut selama penyembuhan
(gips/traksi)
d. Rehabilitasi: langsung dimulai segera dan sudah dilaksanakan
bersamaan dengan pengobatanfraktur karena sering kali pengaruh
cedera dan program pengobatan hasilnya kurang
sempurna(latihan gerak dengan kruck).
3) Tindakan Pembedahan
- Orif (open reduction and internal fixation)
a. Insisi dilakukan pada tempat yang mengalami cedera dan
diteruskan sepanjang bidanganatomik menuju tempat yang
mengalami fraktur
b. Fraktur diperiksa dan diteliti
c. Fragmen yang telah mati dilakukan irigasi dari luka
d. Fraktur direposisi agar mendapatkan posisi yang normal
kembali
e. Sasudah reduksi fragmen-fragmen tulang dipertahankan
dengan alat ortopedik berupa; pin,sekrup, plate, dan paku

Keuntungan:

a. Reduksi akurat
b. Stabilitas reduksi tinggi
c. Pemeriksaan struktur neurovaskuler
d. Berkurangnya kebutuhan alat imobilisasi eksternal
e. Penyatuan sendi yang berdekatan dengan tulang yang patah
menjadi lebih cepat f. Rawat inap lebih singkat
f. Dapat lebih cepat kembali ke pola kehidupan normal

Kerugian :

a. Kemungkinan terjadi infeksi


b. Osteomielitis

- Eksternal fiksasi
Metode alternatif manajemen fraktur dengan fiksasi eksternal,
biasanya pada ekstrimitas dan tidak untuk fraktur lama Post
eksternal fiksasi, dianjurkan penggunaan gips. Setelah reduksi,
dilakukan insisi perkutan untuk implantasi pen ke tulang Lubang
kecil dibuat dari pen metal melewati tulang dan dikuatkan pennya.
Perawatan 1-2 kali sehari secara khusus, antara lain:
a. Observasi letak pen dan area
b. Observasi kemerahan, basah dan rembes
c. Observasi status neurovaskuler distal fraktur
d. Fiksasi eksternal Fiksasi Internal Pembidaian

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan tahap yang
paling menentukan bagi tahap berikutnya. Kegiatan dalam pengkajian
adalah pengumpulan data (Rahmah, Nikmatur dan Saiful walid. 2009;
24).
a) Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan proses yang berisikan status kesehatan
klien dengan menggunakan teknik anamnesis (autoanamnesa dan
aloanamnesa) dan observasi.
1) Biodata Klien
a. Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin perlu
dikaji karena biasanya laki-laki lebih rentan terhadap
terjadinya fraktur akibat kecelakaan bermotor, pendidikan,
pekerjaan, agama, suku/bangsa, tanggal masuk rumah sakit,
tanggal pengkajian, diagnosa medis, nomor medrek dan
alamat.
b. Identitas penanggung jawab meliputi : nama, umur, pekerjaan,
agama, pendidikan, suku/bangsa, alamat, hubungan dengan
klien.
2) Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
Keluhan utama adalah alasan klien masuk rumah sakit yang
dirasakan saat dilakukan pengkajian yang ditulis dengan
singkat dan jelas, dua atau tiga kata yang merupakan keluhan
yang membuat klien meminta bantuan pelayanan kesehatan.
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Merupakan penjelasan dari permulaan klien merasakan
keluhan sampai dengan dibawa ke rumah sakit dan
pengembangan dari keluhan utama dengan menggunakan
PQRST.
P (Provokative/Palliative), apa yang menyebabkan gejala
bertambah berat dan apa yang dapat mengurangi gejala.
Q (Quality/Quantity), bagaimana gejala dirasakan klien dan
sejauh mana gejala dirasakan.
R (Region/Radiation) dimana gejala dirasakan ? apakah
menyebar? apa yang dilakukan untuk mengurangi atau
menghilangkan gejala tersebut ?
S (Saferity/Scale), seberapa tingkat keparahan gejala
dirasakan? Pada skala berapa?
T (Timing), berapa lama gejala dirasakan ? kapan tepatnya
gejala mulai dirasakan, apakah ada perbedaan intensitas gejala
misalnya meningkat di malam hari
c. Riwayat Kesehatan Dahulu
Tanyakan mengenai masalah-masalah seperti adanya riwayat
trauma, riwayat penyakit tulang seperti osteoporosis,
osteomalacia, osteomielitis, gout ataupun penyakit
metabolisme yang berhubungan dengan tulang seperti diabetes
mellitus (lapar terus-menerus, haus dan kencing terus–
menerus), gangguan tiroid dan paratiroid.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Hal yang perlu dikaji adalah apakah dalam keluartga klien
terdapat penyakit keturunan ataupun penyakit menular dan
penyakit-penyakit yang karena lingkungan yang kurang sehat
yang berdampak negatif pada kesehatan anggota keluarga
termasuk klien.
3) Pemeriksaan Fisik
Dilakukan dengan menggunakan teknik inspeksi, palpasi, perkusi
dan auskultasi terhadap berbagai sistem tubuh.
a. Keadaan Umum
Klien yang mengalami immobilisasi perlu dilihat dalam hal
penampilan, postur tubuh, kesadaran, gaya berjalan,
kelemahan, kebersihan dirinya dan berat badannya.
b. Sistem Pernafasan
Bentuk hidung, ada atau tidaknya sekret, PCH (Pernafasan
Cuping Hidung), kesimetrisan dada dan pernafasan, suara
nafas dan frekwensi nafas. Pengaturan pergerakan pernafasan
akan mengakibatkan adanya retraksi dada akibat kehilangan
koordinasi otot. Ekspansi dada menjadi terbatas karena posisi
berbaring akibatnya ventilas paru menurun sehingga dapat
menimbulkan atelektasis. Akumulasi sekret pada saluran
pernafasan mengakibatkan terjadinya penurunan efisiensi
siliaris yang dapat menyebabkan pembersihan jalan nafas yang
tidak efektif. Kelemahan pada otot pernafasan akan
menimbulkan mekanisme batuk tidak efektif.
c. Sistem Kardiovaskuler
Warna konjungtiva pada fraktur, terutama fraktur terbuka akan
terlihat pucat dikarenakan banyaknya perdarahan yang keluar
dari luka, terjadi peningkatan denyut nadi karena pengaruh
metabolik, endokrin dan mekanisme keadaaan yang
menghasilkan adrenergik sereta selain itu peningkatan denyut
jantung dapat diakibatkan pada klien immobilisasi. Orthostatik
hipotensi biasa terjadi pada klien immobilisasi karena
kemampuan sistem syaraf otonom untuk mengatur jumlah
darah kurang. Rasa pusing saat bangun bahkan dapat terjadi
pingsan, terdapat kelemahan otot. Ada tidaknya peningkatan
JVP (Jugular Vena Pressure), bunyi jantung serta pengukuran
tekanan darah. Pada daerah perifer ada tidaknya oedema dan
warna pucat atau sianosis.
d. Sistem Pencernaan
Keadaan mulut, gigi, bibir, lidah, kemampuan menelan,
peristaltik usus dan nafsu makan. Pada klien fraktur dan
dislokasi biasanya diindikasikan untuk mengurangi pergerakan
(immobilisasi) terutama pada daerah yang mengalami
dislokasi hal ini dapat mengakibatkan klien mengalami
konstipasi.
e. Sistem Genitourinaria
Ada tidaknya pembengkakan dan nyeri daerah pinggang,
palpasi vesika urinaria untuk mengetahui penuh atau tidaknya,
kaji alat genitourinaria bagian luar ada tidaknya benjolan,
lancar tidaknya pada saat klien miksi serta warna urine. Pada
klien fraktur dan dislokasi biasanya untuk sementara waktu
jangan dulu turun dari tempat tidur, dimana hal ini dapat
mengakibatkan klien harus BAK ditempat tidur memaskai
pispot sehingga hal ini menambah terjadinya susah BAK
karena klien tidak terbiasa dengan hal tersebut.
f. Sistem Muskuloskeletal
Derajat Range Of Motion pergerakan sendi dari kepala sampai
anggota gerak bawah, ketidaknyamanan atau nyeri ketika
bergerak, toleransi klien waktu bergerak dan observasi adanya
luka pada otot akibat fraktur terbuka, tonus otot dan kekuatan
otot. Pada klien fraktur dan dislokasi dikaji ada tidaknya
penurunan kekuatan, masa otot dan atropi pada otot. Selain itu
dapat juga ditemukan kontraktur dan kekakuan pada
persendian.
g. Sistem Integumen
Keadaan kulit, rambut dan kuku. Pemeriksaan kulit meliputi
tekstur, kelembaban, turgor, warna dan fungsi perabaan. Pada
klien fraktur dan dislokasi yang immobilisasi dapat terjadi
iskemik dan nekrosis pada jaringan yang tertekan, hal ini
dikarenakan aliran darah terhambat sehingga penyediaan
nutrisi dan oksigen menurun.
h. Sistem Persyarafan
Mengkaji fungsi serebral, fungsi syaraf cranial, fungsi sensorik
dan motorik sertsa fungsi refleks.
4) Pola Aktivitas Sehari-hari
a. Pola Nutrisi
Kebiasaan makan klien sehari-hari dan kebiasaan makan-
makanan yang mengandung kalsium yang sangat berpengaruh
dalam proses penyembuhan tulang dan kebiasaan minum klien
sehari-hari, meliputi frekwensi, jenis, jumlah dan masalah
yang dirasakan.
b. Pola Eliminasi
Kebiasaan BAB dan BAK klien, apakah berpengaruh terhadap
perubahan sistem tubuhnya yang disebabkan oleh fraktur.
c. Pola Istirahat Tidur
Kebiasaan klien tidur sehari-hari, apakah terjadi perubahan
setelah mengalani fraktur.
d. Personal Hygiene
Kebiasaan mandi, cuci rambut, gosok gigi dan memotong
kuku perlu dkaji sebelum klien sakit dan setelah klien dirawat
dirumah sakit.
e. Pola Aktivitas
Sejauh mana klien mampu beraktivitas dengan kondisinya saat
ini dan kebiasaan klien berolah raga sewaktu masih sehat
5) Aspek Psiko Sosial Spiritual
a. Data Psikologis
Pengkajian psikologis yang dilakukan pada klien dengan
fraktur pada dasarnya sama dengan pengkajian psikososial
dengan gangguan sistem lain yaitu mengenai konsep diri
(gambaran diri, ideal diri, harga diri, peran diri dan identitas
diri). Pada klien fraktur adanya perubahan yang kurang wajar
dalam status emosional, perubahan tingkah laku dan pola
koping yang tidak efektif.
b. Data sosial
Pada data sosial yang dikaji adalah hubungan klien dengan
keluarga dan hubungan klien dengan petugas pelayanan
kesehatan.
c. Data Spiritual
Perlu dikaji agama dan kepribadiannya, keyakinan dan
harapan yang merupakan aspek penting untuk penyembuhan
penyakitnya.
6) Data Penunjang
Menurut Doengoes et. al (2002:762), pemeriksaaan diagnostik
yang biasa dilakukan pada pasien dengan fraktur:
a. Pemeriksaan rontgen
Menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma.
b. Computed Tomography (CT-SCAN).
Memperlihatkan fraktur dan dislokasi, dapat digunakan untuk
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak dan untuk
mengetahui lokasi dan panjangnya patah tulang didaerah yang
sulit dievaluasi.
c. Arteriogram
Dilakukan bila dicurigai terdapat kerusakan vaskuler.
d. Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan darah lengkap meliputi kadar haemoglobin yang
biasanya lebih rendah karena perdarahan akibat trauma.
Hematokrit mungkin meningkat atau menurun (perdarahan
bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh dari trauma
multiple). Kreatinin (trauma otot meningkatkan beban
kreatinin untuk klirens ginjal). Profil koagulasi (perubahan
dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi multipel atau
cedera hati).

b) Analisa Data
Data yang sudah dikumpulkan kemudian dikelompokkan berdasarkan
masalahnya kemudian dianalisa dengan menggunakan tabel yang
terdiri dari nomer, data yang terdiri dari data subjektif dan objektif,
etiologi dan masalah, sehingga menghasilkan suatu kesimpulan
berupa masalah keperawatan yang nantinya akan menjadi diagnosa
keperawatan.

2. Diagnosis K eperawatan yang Muncul


Doenges et.al (2000; 762-775) merumuskan delapan diagnosa
keperawatan, Brunner dan Suddarth (2002; 2363) merumuskan tiga
diagnosa keperawatan yang dapat terjadi pada fraktur tertutup dan
Engram, Barbara (1999; 268-271) merumuskan lima diagnosa
keperawatan pada klien dengan fraktur. Dari tiga pendapat tersebut dapat
di simpulkan bahwa diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada
gangguan sistem muskuloskeletal dengan fraktur adalah:

Pre operatif
1. Risiko kekurangan volume cairan d.d adanya faktor risiko puasa
sebelum pembedahan
2. Ansietas b.d ketakutan keberhasilan dan keselamatan pembedahan
3. Risiko ciddera b.d kelemahan tubuh
4. Hambatan mobilitas fisik b.d terputusnya kontinuitas jaringan
5. Defisit perawatan diri b.d kelemahan tubuh

Intra operatif

1. Risiko cidera b.d adanya faktor risiko penurunan kesadaran, terpapar


dengan instrument bedah
2. Penurunan curah jantung b.d efek anastesi terhadap jantung
3. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d efek anastesi terhadap paru-
paru
4. Hipotermi b.d terpapar suhu lingkungan
5. Risiko perdarahan d.d adanya faktor risiko insisi
6. Risiko infeksi d.d adanya faktor risiko port de entri saat insisi

Post operatif

1. Nyeri akut b.d penurun efek anastesi


2. Risiko perdarahan d.d adanya faktor risiko pemasangan drainage
3. Rencana Tindakan dan Rasionalisasi
Pre operatif

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


Keperawatan
1. Risiko kekurangan NOC NIC
volume cairan Electrolit and acid base Fluid Management
ditandai dengan balance Fluid balance
adanya faktor risiko 1. Monitor hasil Hb yang sesuai
Hydration dengan retensi cairan (BUN,
puasa sebelum
pembedahan Setelah dilakukan tindakan Hmt, Osmolalitas, urin)
keperawatan selama (….) Pasien 2. Monitor indikasi
tidak mengalami nyeri, dengan retensi/kelebihan cairan
kriteria hasil: (cracles, CVP, edema,
1. Terbebas dari edema, efusi, distensu vena, asites)
dan anaskara
3. Kolaborasi pemberian
2. Bunyi nafas bersih, tidak ada
dyspnea/ortopneu diuretic
3. Terbebas dari distensi vena 4. Batasi masukan cairan pada
jugularis, reflek hepatojugular keadaan hiponatremi
(+) Fluid Monitoring
4. Memelihara tekanan vena
1. Tentukan riwayat jumlah dan
sentral, tekanan kapiler paru,
tipe intake cairan dan
output jantung dan vitalsign
eliminasi
dalam batas normal
2. Tentukan kemungkinan
5. Terbebas dari kelelahan,
faktor risiko dari
kecemasan, dan kebingungan
ketidakseimbangan cairan
(hipertermia, terapi diuretic,
kelainan renal, gagal jantung,
diaphoresis,
disfungsi hati, dll)
3. Monitor berat badan
4. Monitor serum, osmolalitas,
dan elektrolit urine
5. Monitor tekanan darah
orthostatic dan perubahan
irama jantung
6. Monitor tanda dan gejala
edema
2. Ansietas b.d ketakutan NOC : Anxiety Reduction
keberhasilan dan 1. Kontrol kecemasan (penurunan kecemasan)
keselamatan
pembedahan 2. Koping 1. Gunakan pendekatan yang
menenangkan
Setelah dilakukan asuhan selama 2. Nyatakan dengan jelas
harapan terhadap pelaku
(…) jam klien kecemasan pasien
teratasi dengan kriteria hasil: 3. Jelaskan semua prosedur
dan apa yang dirasakan
1. Klien mampu
selama prosedur
mengidentifikasi dan
4. Temani pasien untuk
mengungkapkan gejala
memberikan keamanan dan
cemas
mengurangi takut
2. Vital sign dalam 5. Berikan informasi faktual
batas normal mengenai diagnosis,
3. Postur tubuh, ekspresi wajah, tindakan prognosis
bahasa tubuh dan tingkat
6. Libatkan keluarga
aktivitas menunjukkan
untuk mendampingi klien
berkurangnya kecemasan
7. Instruksikan pada pasien
untuk menggunakan tehnik
relaksasi
8. Dengarkan dengan penuh
perhatian
9. Identifikasi tingkat
kecemasan
10. Bantu pasien mengenal
situasi yang menimbulkan
kecemasan
11. Dorong pasien untuk
mengungkapkan perasaan,
ketakutan, persepsi
12. Kelola pemberian obat anti
cemas
3. Risiko cidera ditandai NOC NIC
dengan adanya faktor Risk Kontrol Environment management
risiko penurunan
kesadaran, terpapar Setelah dilakukan asuhan 1. Sediakan lingkungan yang
dengan instrumen keperawatan selama (….) jam aman untuk pasien
bedah diharapkan pasien terbebas dari 2. Identifikasi kebutuhan
cedera dengan kriteria hasil: keamanan pasien
1. Klien terbebas dari cedera 3. Menghindarkan lingkungan
2. Klien mampu menjelaskan yang berbahaya
cara mencegah cedera 4. Memasang side rail tempat
tidur
3. Klien mampu menjelaskan
5. Menyediakan tempat tidur
faktor resiko dari
yang nyaman
lingkungan /perilaku personal
6. Menempatkan saklar lampu
4. Mampu memodifikasi gaya
ditempat yang mudah
hidup mncegah injury
dijangkau
Menggunakan fasilitas yang ada
7. Membatasi pengunjung
8. Menganjurkan keluarga
menemani pasien
9. Mengontrol lingkungan dari
kebisingan
10. Memindahkan barang-barang
yang membahayakan
4 Hambatan mobilitas NOC: NIC
fisik b.d terputusnya - Self care: ADLs Exercise therapy: ambulation
kontinuitas jaringan
- Transfer performance 1. Ajarkan pasien bagaimana
Setelah dilakukan tindakan merubah posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan
keperawatan diharapkan tidak
terjadi hambatan mobilitas 2. Dampingi dan bantu pasien
fisik dengan kriteria hasil: saat mobilisasi dan bantu
1. Klien meningkat penuhi kebutuhan ADLs
pasien
dalam
3. Monitoring vital sign
aktifitas fisik sebelum/sesudah latihan dan
2. Mengerti tujuan dari lihat respon pasien
peningkatan mobilitas 4. Konsultasikan dengan terapi
3. Memverbalisasikan perasaan fisik tentang rencana
dalam meningkatkan mabulasi sesuai dengan
kekuatan dan kemampuan kebutuhan
berpindah

5 Defisit perawatan diri NOC NIC


b.d kelemahan tubuh Self care deficit hygiene Self care assistance
Self care status 1. Identifikasi kebutuhan klien
Setelah dilakukan tindakan 2. Ajarkan pasien untuk
keperawatan diharapkan defisist melakukan kebutuhan
perawatan diri tidak terjadi 3. Bantu pasien
dengan kriteria hasil: melakukan aktifitas
1. Mampu melakukan aktifitas 4. Sediakan privasi selama
fisik mandiri atau dengan melakukan aktifitas
alat bantu
5. Fasilitasi pasien sesuai
aktifitas yang akan dilakukan
6. Dekatkan barang di sekitar
pasien
7. Monitor tanda-tanda
vital klien
Intraoperatif
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan

1. Risiko cidera ditandai NOC : NIC :


dengan adanya faktor Risk Kontrol Environment management
risiko penurunan
kesadaran, terpapar Setelah dilakukan asuhan 1. Sediakan lingkungan yang
dengan instrument keperawatan selama (….) jam aman untuk pasien
bedah diharapkan pasien terbebas dari 2. Identifikasi kebutuhan
cedera dengan kriteria hasil: keamanan pasien
1. Klien terbebas dari cedera 3. Menghindarkan lingkungan
2. Klien mampu menjelaskan yang berbahaya
cara mencegah cedera 4. Memasang side rail tempat
3. Klien mampu menjelaskan tidur
faktor resiko dari
5. Menyediakan tempat tiur
lingkungan /perilaku
yang nyaman
personal
6. Menempatkan saklar lampu
4. Mampu memodifikasi gaya diitempat yang mudah
hidup mncegah injuri dijangkau
5. Menggunakan fasilitas yang 7. Membatasi pengunjung
ada
8. Menganjurkan keluarga
menemani pasien
9. Mengontrol lingkungan dari
kebisingan
10. Memindahkan barang
barang yang
membahayakan
2. Penurunan curah NOC : NIC :
jantung b.d efek Vital Signs Vital Signs Monitoring
anastesi terhadap
jantung Status 1. Monitor tekanan darah, nadi,
Setelah dilakukan asuhan suhu, dan RR.
keperawatan selama (….) jam 2. Catat adanya fluktuasi
diharapkan vital sign normal tekanan darah.
dengan kriteria hasil: 3. Monitor tekanan darah saat
1. Temperatur tubuh dalam batas pasien berbaring, duduk,
normal (36,5-37,5oC) atau berdiri, sebelum dan
sesudah perubahan posisi.
2. Frekuensi jantung apikal
4. Auskultasi tekanan darah
dalam batas normal (60-100
pada kedua lengan dan
x/menit)
bandingkan.
3. RR dalam batas normal (12-
5. Monitor tekanan darah, nadi,
20 x/menit) RR, sebelum, selama, dan
4. Tekanan darah sistolik (TDS) setelah aktivitas.
dalam batas normal (<120 6. Monitor kualitas dari nadi.
mmHg) 7. Monitor adanya pulsus
5. Tekanan darah diastolik paradoksus.
(TDD) dalam batas normal 8. Monitor adanya pulsus
(<80 mmHg) alterans.
9. Monitor jumlah dan irama
jantung.
10. Monitor bunyi jantung.
11. Monitor frekuensi dan irama
pernapasan.
12. Monitor suara paru-paru.
13. Monitor pola pernapasan
abnormal.
14. Monitor suhu, warna, dan
kelembaban kulit.
15. Monitor sianosis perifer.
16. Monitor adanya cushing
triad (tekanan nadi yang
melebar, bradikardi,
peningkatan sistolik)
17. Identifikasi penyebab dari
perubahan vital sign.
3. Ketidakefektifan NOC : NIC :
bersihan jalan nafas Respiratory status : Airway Airway Management
b.d efek anastesi
terhadap paru-paru Patency 1. Buka jalan nafas
Setelah dilakukan tindakan menggunakan head tilt chin
keperawatan selama (…). jam lift atau jaw thrust bila perlu
diharapkan mampu 2. Posisikan pasien untuk
mempertahankan kebersihan memaksimalkan ventilasi
jalan nafas dengan kriteria: 3. Identifikasi pasien perlunya
1. Pernafasan dalam batas pemasangan alat jalan nafas
normal buatan (NPA, OPA, ETT,
2. Irama pernafasan teratur Ventilator)
4. Bersihkan secret dengan
3. Kedalaman pernafasan normal suction bila diperlukan
4. Tidak ada akumulasi sputum 5. Auskultasi suara nafas, catat
adanya suara tambahan
6. Kolaborasi pemberian
oksigen
7. Monitor RR dan status
oksigenasi
4. Hipotermi b.d b.d NOC : NIC :
terpapar suhu
lingkungan Thermoregulation Temperatur regulation

Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor TD,Nadi, dan RR


keperawatan selama (….),
2. Monitor warna dan suhu
didapatkan kriteria hasil :
kulit
1. Suhu tubuh meningkat
3. Monitor tanda dan gejala
2. Suhu tubuh dalam rentang hipotermi
normal 4. Tingkatkan intake cairan dan
3. Nadi dan RR dalam rentang nutrisi
normal 5. Sesuaikan suhu lingkungan
dengan kebutuhan pasien
6. Gunakan matras penghangat,
handuk hangat, dan suhu
lingkungan yang hangat
untuk meningkatkan suhu
tubuh
7. Berikan antipiretik jika perlu

5. Risiko perdarahan NOC NIC


ditandai dengan Bleeding precaution
adanya faktor risiko Blood lose severity
insisi, pemasangan 1. Monitor TD dan parameter
redon drain Setelah diberikan asuhan hemodinamik
keperawatan selama (...) jam 2. Pantau keadaan balutan luka
diharapkan kekurangan volume operasi
cairan dapat teratasi dengan 3. Pantau keluaran darah pada
kriteria hasil: drain yang dipasang

1. Tidak terjadi perdarahan pada


luka yang dioperasi
2. Balutan luka tampak bersih
6. Risiko infeksi ditandai NOC NIC
dengan adanya faktor Immune status Infection Control
risiko port de entri
saat insisi Knowledge : infection control 1. Pertahankan tindakan steril
Risk control selama pemasangan alat
dan/atau tindakan
Kriteria hasil pembedahan Infection
1. Klien bebas dari tanda dan protection
gejala infeksi a. Monitor kerentanan terhadap
infeksi
b. Pertahankan teknik aspesis
pada pasien yang beresiko

Post operatif
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan

1. Nyeri akut b.d NOC NIC


penurunan efek Pain Level Analgesic Administration
anastesi
1. Melaporkan gejala 1. Tentukan lokasi,
nyeri terkontrol. karakteristik, kualitas, dan
2. Melaporkan derajat nyeri sebelum
kenyamanan fisik dan pemberian obat
psikologis. 2. Cek instruksi dokter tentang
3. Mengenali faktor yang jenis obat, dosis, dan
menyebabkan nyeri. frekuensi
4. Melaporkan nyeri terkontrol
(skala nyeri <4 dari rentang 0- 3. Cek riwayat alergi
10) 4. Pilih analgesik
5. Tidak menunjukkan respon yang diperlukan atau
non verbal adanya nyeri kombinasi dari analgesik
6. Menggunakan terapi analgetik ketika pemberian lebih dari
dan non analgetik satu
7. Tanda-tanda vital dalam batas
5. Tentukan pilihan analgesik
normal
tergantung tipe dan
beratnya nyeri
6. Tentukan analgesik
pilihan, rute pemberian,
dan dosis optimal
7. Pilih rute pemberian secara
IV, IM untuk pengobatan
nyeri secara teratur
8. Monitor vital sign sebelum
dan sesudah pemberian
analgesik pertama kali
9. Berikan analgesik tepat
waktu terutama saat nyeri
hebat
10. Evaluasi efektivitas
analgesik, tanda dan gejala
(efek samping)
2. Risiko perdarahan NOC NIC
ditandai dengan Bleeding precaution
adanya faktor Blood lose severity
risiko insisi, 4. Monitor TD dan
pemasangan redon Setelah diberikan asuhan parameter hemodinamik
drain keperawatan selama (...) jam 5. Pantau keadaan balutan
diharapkan kekurangan volume luka operasi
cairan dapat teratasi dengan 6. Pantau keluaran darah
kriteria hasil: pada drain yang dipasang

1. Tidak terjadi perdarahan


pada luka yang dioperasi
2. Balutan luka tampak bersih

4. Implementasi
Implementasi sesuai intervensi yang dibuat.

5. Evaluasi
Evaluasi bertujuan untuk mengakhiri rencana tindakan
keperawatan, memodifikasi rencana tindakan keperawatan dan
meneruskan rencana keperawatan. Evaluasi terdiri dari evaluasi proses
(formatif) dan evaluasi hasil (sumatif). Evaluasi formatif adalah evaluasi
yang dilakukan setiap selesai tindakan, berorientasi pada etiologi dan
dilakukan secara terus-menerus sampai tujuan yang telah ditentukan
berhasil. Sedangkan evaluasi sumatif dilakukan setelah akhir tindakan
keperawatan secara paripurna, berorientasi pada masalah keperawatan,
menjelaskan keberhasikan/ketidak berhasilan, rekaputasi dan kesimpulan
status kesehatan klien sesuai dengan kerangka waktu yang ditetapkan.
DAFTAR PUSTAKA

Black and Hawks. (2005). Medical surgical nursing: clinical management for
positive outcomes. 7th edition. United States: Elsevier

Buku ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskletal, Hal 203-
222. Tahun 2009

Carpenito, L.J. 2000. Diagnosa Keperawatan, Aplikasi pada Praktik Klinis, edisi
6. Jakarta:EGC

Evans, P.J., B.J McGrory. (2001). Fracture of The Proximal Femur. ME:
Orthopaedic Associates of Portland.

Hidayat, A. A. (2002). Pengantar Dokumentasi Proses Keperawatan.Jakarta :


EGC. Jakarta:EGC

Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second


Edition. New Jersey: Upper Saddle River

Mansjoer, Arif (et. al). (2000). Kapita Selekta Kedokteran. (edisi 3).Jakarta :
Media Aesculapius.

Muttaqim, Arif. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta.EGC

NANDA International. (2012). Nursing Diagnosis: Definitions & Classifications


2012-2014.

Potter & Perry. (2005). Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses dan Praktik
Edisi 4 vol 1.
Jakarta: EGC.
Sjamjuhidajat, R., & Jong, W.D. (2004). Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Smeltzer, Suzanne C. (2002).Buku Ajar Keperawataan Medikal Bedah Brunner

Anda mungkin juga menyukai