Disusun oleh:
TOHIDIN SAEFUL AJI
2011040130
Disusun oleh :
TOHIDIN SAEFUL
AJI 2011040130
B. Klasifikasi Fraktur
E. Patofisiologi
Fraktur dapat disebabkan oleh trauma langsung, trauma tidak
langsung, dan kondisi patofisiologis. Fraktur mengakibatkan
diskontinuitas tulang dan pergeseran tulang. Diskontinuitas tulang
menyebabakan perubahan jaringan sekitar dan kerusakan jaringan. Pada
perubahan jaringan sekitar mengakibatkan pergeseran fragmen tulang,
laterasi kulit, dan spasme otot. Pada pergeseran fragmen tulang terjadi
deformitas mengakibatkan gangguan fungsi maka terjadi masalah
keperawatan hambatan mobilitas fisik. Pada laterasi kulit menyebabkan
kerusakan integritas kulit. Pada spasme otot menyebabkan putus
vena/arteri menjadikan perdarahan kemudian menjadi syok hipovolemik
mengakibatkan kekurangan cairan dalam tubuh (hipovolemia). Pada
spasme otot juga menyebabkan tekanan kapiler meningkat lalu terjadi
pelepasan histamin dan hilangnya protein plasma mengakibatkan edema
sehingga terjadinya penekanan pembuluh darah sehingga perfusi jaringan
menurun, mengakibatkan gangguan perfusi jaringan. Diskontinuitas tulang
juga menyebabkan kerusakan fragen tulang dan terjadi penekanan sesama
tulang lebih tinggi dari kapiler lalu muncul reaksi stres pada klien.
Kemudian melepaskan katekolamin, memobilisasai asam lemak, dan
bergabung dengan trombosit, maka terjadilah emboli dan menyumbat
pembuluh darah yang mengakibatkan gangguan perfusi jaringan. Dan pada
saat pergeseran fragmen tulang muncul rasa nyeri.
F. Pathway
Fraktur
Bergabung
dengan trombosit
Menyumbat Emboli
Perfusi perifer tidak efektif pembuluh
darah
G. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan diagnostik menurut Muttaqin, (2008):
1. Foto Rontgen
Sinar-X menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, erosi, dan
perubahan hubungan tulang. Sinar-X multipel diperlukan untuk
mengkaji secara paripurna struktur yang sedang diperiksa. Sinar-X
tekstur tulang menunjukkan adanya pelebaran, penyempitan, dan tanda
iregularitas. Sinar-X sendi dapat menunjukkan adanya cairan,
iregularitas, penyempitan, dan perubahan struktur sendi.
2. CT Scan (Computed Tomography)
Menunjukkan rincian bidang tertentu tulang yang terkena dan
dapat memperlihatkan tumor jaringan lunak atau cedera ligamen dan
tendon. CT Scan digunakan untuk mengidentifikasi lokasi dan
panjangnya patah tulang di daerah yang sulit dievaluasi, seperti
asetabulum. Pemeriksaan dilakukan dapat dengan atau tanpa kontras
dan berlangsung sekitar satu jam.
3. Angiografi
Suatu bahan kontras radiopaq diinjeksikan ke dalam arteri
tertentu, dan diambil foto sinar-X serial sistem arteri yang dipasok oleh
arteri tersebut. Pemeriksaan ini sangat bermanfaat untuk mengkaji
perfusi arteri dan dapat digunakan untuk tingkat amputasi yang
dilakukan. Perawatan yang dilakukan setelah prosedur ini adalah klien
dibiarkan berbaring selama 12 jam sampai 24 jam untuk mencegah
perdarahan pada tempat penusukan arteri. Pantau tanda vital tempat
penusukan untuk melihat adanya pembengkakan, perdarahan, dan
hematoma, dna mengkaji apakah sirkulasi ekstremitas bagian distal
adekuat.
4. Artografi
Penyuntikan bahan radiopaq atau udara ke dalam rongga sendi
untuk melihat struktur jaringan lunak dan kontur sendi. Sendi
diposisikan
dalam kisaran pergerakannya sambil dilakukan serial sinar-X.
Pemeriksaan ini sangat berguna untuk mengidentifikasi adanya robekan
akut atau kronik kapsul sendi atau ligamen penyangga lutut, bahu,
tumit, pinggul, dan pergelangan tangan. Bila terdapat robekan, bahan
kontras akan merembes keluar dari sendi dan akan terlihat pada sinar-X.
Setelah dilakukan pemeriksaan ini, sendi diimobilisasi selama 12 jam
sampai 24 jam dan diberi balut tekan elastis.
5. Artrosentesis (aspirasi sendi)
Dilakukan untuk memperoleh cairan sinovial untuk keperluan
pemeriksaan atau menghilangkan nyeri akibat efusi. Normalnya, cairan
sinovial jernih, pucat berwarna seperti jerami, dan volumenya sedikit.
Cairan tersebut kemudian diperiksa secara makroskopis mengenai
volume, warna, kejernihan, dan adanya bekuan musin. Secara
mikroskopis untuk memeriksa jumlah, mengidentifikasi sel, melakukan
pewarnaan Gram, dan mengetahui elemen penyusunnya. Pemeriksaan ini
sangat berguna untuk mendiagnosis artritis reumatoid dan atrofi
inflamasi lainnya dan dapat memperlihatkan adanya hemartrosis
(perdarahan di dalam rongga sendi), yang menyebabkan trauma atau
kecenderungan perdarahan.
6. Artroskopi
Merupakan prosedur endoskopis yang memungkinkan pandangan
langsung ke dalam sendi. Pemeriksaan ini dilakukan di kamar operasi
dalam kondisi steril dan perlu dilakukan injeksi anastesi lokal ataupun
anastesi umum.
7. Biopsi
Dilakukan untuk menentukan struktur dan komposisi tulang oot,
dan sinovial guna membantu menentukan penyakit tertentu. Tempat
biopsi harus dipantau mengenai adanya edema, perdarahan, dan nyeri.
Setelah melakukan prosedur ini mungkin perlu dikompres es untuk
mengontrol edema dan perdarahan dan pasien diberi analgesik untuk
mengurangi rasa tidak nyaman.
8. Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan darah dan urine klien dapat memberi informasi
mengenai masalah muskuloskeletal primer atau komplikasi yang terjadi
seperti infeksi, sebagai dasar acuan untuk pemberian terapi. Pemeriksaan
darah lengkap meliputi kadar hemoglobin, biasanya lebih rendah bila terjadi
perdarahan karena trauma dan hitung sel darah putih. Pemeriksaan kimia
darah memberi data mengenai berbagai macam kondisi muskuloskeletal.
Kadar kalsium serum berubah pada osteomalasia, fungsi paratiroid, penyakit
paget, tumor tulang metastasis, dan pada imobilisasi lama.
H. Penatalaksanaan
1. Menurut Muttaqin, (2008) prinsip penatalaksanaan fraktur 4 (R) adalah :
a. Recognition (diagnosis dan penilaian fraktur)
Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur
dengan anamnesis, pemeriksaan klinik, dan radiologis. Pada awal
pengobatan perlu diperhatikan; lokalisasi fraktur, bentuk fraktur,
menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan dan menghindari
komplikasi yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengobatan.
b. Reduction (restorasi fragmen fraktur sehingga posisi yang paling
optimal didapatkan)
Reduksi fraktur apabila perlu. Pada fraktur intra-artikular
diperlukan reduksi anatomis, sedapat mungkin mengembalikan
fungsi normal, dan mencegah komplikasi, seperti kekakuan,
deformitas, serta perubahan osteoartritis di kemudian hari.
c. Retention (imobilisasi fraktur)
Secara umum, teknik penatalaksanaan yang digunakan adalah
mengistirahatkan tulang yang mengalami fraktur dengan tujuan
penyatuan yang lebih cepat antara kedua fragmen tulang yang
mengalami fraktur.
d. Rehabilitation (mengembalikan aktivitas fungsional semaksimal
mungkin) Program rehabilitasi dilakukan dengan mengoptimalkan
seluruh keadaan klien pada fungsinya agar aktivitas dapat
dilakukan kembali. Misalnya, pada klien pasca amputasi, program
rehabilitasi yang dijalankan adalah bagaimana klien dapat
melanjutkan hidup dan melakukan aktivasi dengan
memaksimalkan organ lain yang tidak mengalami masalah.
2. Penatalaksanaan konservatif
a. Proteksi (tanpa reduksi atau imobilisasi). Proteksi fraktur terutama
untuk mencegah trauma lebih lanjut dengan cara memberikan
mitela pada anggota gerak atas atau tongkat pada anggota gerak
bawah.
b. Imobilisasi dengan bidai eksterna. Imobilisasi pada fraktur dengan
bidai eksterna hanya memberikan sedikit imobilisasi. Biasanya
menggunakan gips atau dengan bermacam-macam bidai dari
plastik atau metal.
I. Fokus
pengkajian
Pengkajian
1. Pengkajian primer:
a. Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan
sekret akibat kelemahan reflek batuk
b. Breathing
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya
pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar
ronchi /aspirasi
c. Circulation
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap
lanjut, takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia,
kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap
lanjut
2. Pengkajian sekunder
a. Aktivitas/istirahat
1) Kehilangan fungsi pada bagian yangterkena
2) Keterbatasan mobilitas
b. Sirkulasi
1) Hipertensi (kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas)
2) Hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah)
3) Tachikardi
4) Penurunan nadi pada bagiian distal yang cidera
5) Cailary refil melambat
6) Pucat pada bagian yang terkena
7) Masa hematoma pada sisi cedera
c. Neurosensori
1) Kesemutan
2) Deformitas, krepitasi, pemendekan
3) Kelemahan
d. Kenyamanan
1) Nyeri tiba-tiba saat cidera
2) Spasme/ kram otot
e. Keamanan
1) Laserasi kulit
2) Perdarahan
3) Perubahan warna
4) Pembengkakan lokal
J. Diagnosa keperawatan yang mungkin
muncul
1. Nyeri akut (D.0077) b.d. agen cidera fisik
2. Hipovolemia (D.0023) b.d kehilangan cairan aktif
3. Perfusi perifer tidak efektif (D.0009) b.d penurunan aliran
arteri/atau vena
4. Gangguan integritas kulit/jaringan (D.0129) b.d. faktor mekanis
(penekanan pada tonjolan tulang)
5. Gangguan mobilitas fisik (D.0054) b.d. gangguan muskuloskeletal
K. Intervensi
No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Nama/TTD
Keperawatan
1. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Nyeri (I.08238) Tohid
(D.0077) b.d. agen selama 1 x24 jam diharapkan, masalah O:
nyeri akut dengan kriteria hasil : - Identifikasi lokasi,
cidera fisik
Tingkat Nyeri (L.08066) karakteristik, durasi, frekuensi,
Indikator A T kualitas, intensitas
- Keluhan nyeri 1 5 - Identifikasi skala nyeri
- Meringis 1 5 - Identifikasi respons nyeri non
- Pola napas 1 5 verbal
- Tekanan darah 1 5
T:
- Berikan teknik
Keterangan:
A: Awal nonfarmakologis untuk
T: Tujuan mengurangi nyeri
1: Meningkat E:
2: Cukup meningkat - Ajarkan teknik relaksasi
3: Sedang untuk mengurangi nyeri
4: Cukup menurun K:
5: Menurun - Kolaborasi pemberian analgetik
No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Nama/TTD
Keperawatan
2. Hipovolemia Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Hipovolemia (I.03116) Tohid
(D.0023) b.d selama 1x24 jam diharapkan cairan O:
adekuat dengan kriteria hasil : - Periksa tanda dan gejala
kehilangan cairan Status Cairan (L.03028)
hipovolemia (mis. Frekuensi
aktif Indikator A T nadi meningkat, nadi terasa
- Kekuatan nadi 1 5 lemah, kering, volume carian
- Frekuensi nadi 1 5 menurun, hematokrit meningkat,
- Tekanan darah 1 5 haus, lemah)
- Membran 1 5 - Monitor intake dan output
mukosa cairan
- Kadar Hb 1 5 T:
- Kadar Ht 1 5 - Berikan posisi
modified trendelenburg
Keterangan: - Berikan asuhan cairan oral
A: Awal E:
T: Tujuan - Anjurkan memperbanyak
1: Meningkat asupan cairan oral
2: Cukup meningkat K:
3: Sedang - Kolaborasi pemberian cairan
4: Cukup menurun IV (mis/ NaCl, RL)
5: Menurun
No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Nama/TTD
Keperawatan
3. Perfusi perifer tidak Setelah dilakukan tindakan keperawatan Perawatan sirkulasi (I.02079) Tohid
efektif (D.0009) b.d selama 1x24 jam diharapkan perfusi O:
perifer efektif dengan kriteria hasil : - Periksa sirkulasi perifer (mis.
penurunan aliran Perfusi Perifer (L.02011)
Nadi perifer, edema, pengisian
arteri/atau vena Indikator A T kapiler, warna, suhu)
- Denyut nadi 1 5 - Monitor pans, kemerahan,
perifer nyeri, atau bengkak pada
- Warna kulit pucat 1 5
ekstermitas
- Edema perifer 1 5
- Kelemahan otot 1 5 T:
- Hindari pemasangan infus atau
Keterangan: pengambilan darah di area
A: Awal keterbatasan perfusi
T: Tujuan - Hindari pengukuran tekanan
1: Meningkat darah pada ekstermitas dengan
2: Cukup meningkat keterbatasan perfusi
3: Sedang - Lakukan pencegahan infeksi
4: Cukup menurun - Lakukan hidrasi
5: Menurun E:
- Anjurkan berhenti merokok
- Informasikan tanda dan
gejala darurat yang harus
dilaporkan (mis. Rasa sakit
yang tidak
No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Nama/TTD
Keperawatan
hilang saat istirahat, luka tidak
sembuh, hilang rasa
4. Gangguan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Perawatan Luka (I.14564) Tohid
integritas selama 1x24 jam diharapkan integritas O:
kulit/jaringan membaik dengan kriteria - Monitor karakteristik luka (mis.
kulit/jaringan hasil : Drainase, warna, ukuran bau)
(D.0129) b.d. faktor Integritas kulit/jaringan (L.02011) T:
mekanis Indikator A T - Lepaskan balutan dan
- Kerusakan 1 5 plester secara perlahan
(penekanan pada
jaringan 1 5 - Bersihkan dengan cairan NaCl
tonjolan tulang) - Kerusakan kulit 1 5 - Bersihkan jaringan nekrotik
- Nyeri 1 5
- Pasang balutan luka yang sesuai
- Pendarahan 1 5
- Pertahankan teknik steril
Keterangan: saat melakukan perawatan
A: Awal E:
T: Tujuan - Anjurkan mengkonsumsi
1: Meningkat makanan tinggi kalori
2: Cukup meningkat dan protein
3: Sedang K:
4: Cukup menurun - Kolaborasi pemberian
5: Menurun antibiotik, jika perlu
No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Nama/TTD
Keperawatan
5. Gangguan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Dukungan Mobilitas (I.05173) Tohid
mobilitas fisik selama 1x24 jam diharapkan mobilitas O:
fisik meningkat dengan kriteria hasil : - Identifikasi adanya nyeri
(D.0054) b.d. Mobilitas Fisik (L.05042)
atau keluhan fisik lainnya
gangguan Indikator A T - Identifikasi toleransi
muskuloskeletal - Pergerakan 1 5 fisik melakukan
ekstermitas 1 5 pergerakan
- Kekuatan otot 1 5
- Monitor kondisi umum
- Rentang gerak 1 5
selama melakukan pergerakan
Keterangan: T:
A: Awal - Fasilitasi aktivitas mobilisasi
T: Tujuan dengan alat bantu
1: Menurun - Fasilitasi melakukan
2: Cukup menurun pergerakan, jika
3: Sedang perlu
4: Cukup meningkat - Libatkan keluarga untuk
5: Meningkat membantu oasien dalam
meningkatkan pergerakan
E:
- Ajarkan mobilitas
sederhana yang harus
dilakukan
K:
- Kolaborasi pemberian analgetik
DAFTAR PUSTAKA
C. Asuhan Keperawatan
- Diagnosa Keperawatan
Diagnosa
No Data Fokus Pathways
Keperawatan
1 Ds: Pasien mengatakan Risiko perfusi Invasi bakteri ke otak
sakit kepala berat, ± 1 hari jaringan serebral
sebelum masuk rumah tidak efektif
sakit pasien melaporkan (D.0017) b.d Infeksi/septikemia
nyeri meningkat/semakin cedera kepala jaringan otak
berat dan muntah
proyektil. ± 3 hari
sebelum masuk rumah Proses supurasi dari
sakit kedua telinga nyeri, meningen
keluar cairan bening
Penurunan kesadaran
Risiko jatuh
- Rencana Keperawatan
Diagnosa
Tgl/Waktu SLKI SIKI
Keperawatan
21/12/20 Risiko perfusi Setelah dilakukan Manajemen
15.30 jaringan tindakan keperawatan Peningkatan Tekanan
cerebral tidak selama 1x24 jam Intrakarnial (I.06194)
efektif diharapkan perfusi O:
(D.0017) b.d jaringan cerebral efektif - Identifikasi
cedera kepala dengan kriteria hasil: penyebab
Perfusi Serebral peningkatan TIK
(L.02014) - Monitor
tanda/gelaja
peningkatan TIK (
tekanan darah
meningkat,
tekanan nadi
melebar,
bradikardi, pola
nafas ireguler,
Indikator A T
- Tingkat 1 5
kesadaran
1 5
- Tekanan 1 5
intrakarnial
- Sakit
kepala
kesadaran
Keterangan : menurun)
A: Awal - Monitor MAP
T: Tujuan - Monitor intake dan
1: Memburuk output cairan
2: Cukup Memburuk T:
3: Sedang - Berikan posisi
4: Cukup Membaik semi fowler
5: Membaik - Hindari pemberian
cairan hipotonik
- Pertahankan suhu
tubuh normal
- Cegah terjadinya
kejang
K:
- Kolaborasi
pemberian sedasi
dan anti konsulsan,
jika perlu
- Kolaborasi
pemberian diuretik
osmosis, jika perlu
- Implementasi & Evaluasi
Tgl/Waktu Implementasi & Respon Evaluasi Paraf
21/12/2020 - Mengidentifikasi penyebab peningkatan TIK : S: Tohid
15.50 melakukan pemindaian rontgen, CT-Scan - Pasien mengatakan nyeri kepala berkurang,
Ds:- muntah proyektil berkurang
Do: pasien tampak tenang O:
- Memonitor tanda/gelaja peningkatan TIK - Nyeri kepala berkurang skala 6
Ds: Pasien mengatakan nyeri kepala - KU: lemah
Do: Kesadaran menurun (Delirium), GCS: 7 - Kesadaran somnolen
(E2M3V2), TD : 148/85 mmHg, N: 90 x/menit, - GCS : 10 (E3M4V3)
RR: - CRT<2 detik
12 x/menit, S: 37.8oC, - Terpasang infus RL 10 tpm
- Memonitor MAP - TD: 148/85 mmHg, N= 90 x/menit, RR=
Ds: - 12x/menit, S=37.8oC
Do: Pulse pressure 60 mmHg, MAP 100 mmHg A: Masalah perfusi jaringan cerebral tidak
- Monitor status pernafasan efektif belum teratasi
Ds: Pasien mengatakan tidak sesak Indikator A T Ak
Do: RR: 12x/menit, irama reguler, perkusi sonor, - Tingkat kesadaran 1 5 3
terdengar vesikuler - Tekanan intrakarnial 1 5 2
- Memberikan posisi semi fowler - Sakit kepala 1 5 2
Ds: pasien mengatakan lebih nyaman
Do: pasien terlihat lebih tenang dan nyaman,posisi
pasien semi fowler P: Lanjutkan intervensi
- Mempertahankan suhu tubuh normal dengan - Monitor KU & TTV
termogulasi: pemberian cairan IV RL 10 tpm - Monitor tanda/gelaja peningkatan TIK
Ds: Pasien mengatakan badannya terasa panas - Monitor intake dan output cairan
Do: Terpasang infus RL 10 tpm - Infus RL 10 tpm
- Mengkolaborasi pemberian anti konsulsan, diuretik
osmosis, antibiotik
Ds: - - Terapi lanjut : Injeksi citicolin 2x1 gr, injeksi
Do: Memberikan terapi via IV : injeksi citicolin mecobalamin 1x0.5 mg, injeksi ranitidin
2x1 gr, injeksi mecobalamin 1x0.5 mg, injeksi 2x50 mg, injeksi manitol 4x125 cc, injeksi
ranitidin 1x50 mg, injeksi manitol 1x125 cc, cefotaxim 4x 2 gr
injeksi
cefotaxim 1x 2 gr
KASUS B2 (Flail Chest)
Tuan S (45 tahun) dirawat di ruang Anggrek di RS karena kecelakaan kerja.
Rekan kerja yang membawanya ke rumah sakit mengatakan dada pasien
terhantam besi. Dari pemeriksaan TTV didapat N:120 kali/menit, TD:
150/110mmHg, RR: 26 kali/menit dan Suhu 36oC. Pasien tampak pucat, dan pada
bagian dada sebelah kanan tampak seperti cambukan. Pasien mengatakan nyeri
hebat pada bagian yang sakit, nyeri bertambah saat pasien dipindah posisikan,
berbicara dan bernafas. Nyeri berkurang saat pasien menahan nafas skala nyeri 9.
Wajah. Pasien terlihat menyeringai menahan sakit. Tampak odema dan memar
pada daerah yang sakit.Terdapat retraksi intercoste saat bernafas, adanya nyeri
sentuh dan akral dingin. Pasien mengatakan mengalami kesulitan bernafas dan
gelisah dengan keadaannya. Terlihat Pasien terpasang infus, katater dan towl clip
traction. Dari hasil rontgen didapat terlihat 2 segman patahan pada coste kanan
mulai coste 2-5.
F. Asuhan Keperawatan
- Diagnosa Keperawatan
Diagnosa
No Data Fokus Pathways
Keperawatan
1 Ds : Pasien mengatakan Pola nafas tidak Trauma kompresi
kesulitan bernapas efektif (D.0005) anteroposterior dari
Do: b.d deformitas rongga thoraks
- Pasien terlihat pucat tulang dada
- Pasien terlihat gelisah akibat trauma
- SPO2 : 94% Lengkung iga akan lebih
- Pernafasan cuping melengkung lagi ke arah
hidung berkurang lateral
- Terlihat retraksi
intercoste
- Pernafasan dangkal, Flail Chest
irama reguler
- Terpasang towl clip
traction
- GCS : 15 (E4M65) Gangguan pergerakan
- TD: 150/100 mmHg, dinding dada
N= 110x/menit, RR=
26x/menit, S=36.5oC
Gerakan nafas
paradoksal
O2 menurun, CO2
meningkat
Sesak nafas
Do:
- Wajah pasien terlihat Gerakan fragmen costa
menyeringai menahan patah menimbulkan
sakit gesekan antara ujung
- Tampak odema dan fragmen dengan jaringan
memar pada daerah sekitar
yang sakit
- Terdapat retraksi
intercoste saat bernafas Stimulasi saraf
- Adanya nyeri sentuh
- GCS : 15 (E4M65)
- TD: 150/100 mmHg, Nyeri akut
N= 110x/menit, RR=
26x/menit, S=36.5oC
- Rencana Keperawatan
Diagnosa
Tgl/Waktu SLKI SIKI
Keperawatan
22/12/20 Pola nafas Setelah dilakukan Pemantauan respirasi
14.00 tidak efektif tindakan keperawatan (I.01014)
(D.0005) b.d selama 1x24 jam O:
deformitas diharapkan pola nafas - Monitor frekuensi, irama,
tulang dada efektif dengan kriteria kedalaman, dan upaya
akibat trauma hasil: nafas
Pola nafas (L.01004) - Monitor pola napas
Indikator A T (takipnea)
- Frekuensi 1 5 T:
nafas - Atur interval pemantauan
- Kedalaman 1 5 respirasi sesuai kondisi
nafas pasien
- Penggunaan 1 5 - Dokumentasikan hasil
otot bantu pemantauan
E:
- Jelaskan tujuan dan
Keterangan : prosedur pemantauan
A: Awal
T: Tujuan Dukungan ventilasi
1: Meningkat (I.01002):
2: Cukup Meningkat O:
3: Sedang - Monitor status respirasi
4: Cukup Menurun dan oksigenasi
5: Menurun T:
- Berikan posisi semi-
fowler
- Berikan oksigenasi sesuai
kebutuhan
- Respirasi sesuai kondisi
pasien
- Fasilitasi mengubah
posisi senyaman mungkin
E:
- Ajarkan teknik relaksasi
nafas dalam
K:
- Kolaborasi pemberian
terapi oksigen
Pemberian analgesik
(I.08243)
- Pemberian analgesik
sesuai instruksi dari
dokter
- Implementasi & Evaluasi
Tgl/Waktu Implementasi & Respon Evaluasi Paraf
21/12/2020 - Mengatur interval pemantauan respirasi S: Tohid
09.30 sesuai kondisi pasien - Pasien mengatakan lebih nyaman, kesulitan
Ds: - bernapas berkurang, gelisah berkurang
Do: pemantauan setiap 20 menit O:
- Menjelaskan tujuan dan prosedur - Pasien terlihat lebih nyaman
pemantauan - Sesak berkurang
Ds: pasien dan rekan kerja pasien - Pernafasan cuping hidung berkurang
mengatakan memahami tujuan dari - Terlihat retraksi intercoste
prosedur pemantauan pernafasan. - Pernafasan dangkal, irama reguler
Do: rekan kerja pasien dapat menjelaskan - Posisi semi fowler
tujuan dari pemantauan pernafasan adalah - Terpasang towl clip traction
agar perubahan kondisi pasien selalu - Terpasang Okseigen dengan Non
terpantau Rebreathing mask ( 10 lpm)
- Memonitor frekuensi, irama, kedalaman, - Kesadaran compos mentis
dan upaya napas setiap 20 menit - GCS : 15 (E4M65)
Ds: pasien mengatakan kesulitan bernapas - TD: 150/100 mmHg, N= 110x/menit, RR=
Do: RR 26x/menit, irama ireguler, 26x/menit, S=36.5oC
pernafasan dangkal, ada pernafasan cuping A: Masalah pola nafas tidak efektif belum
hidung, ada retraksi intercoste, terpasang teratasi
towl clip traction Indikator A T Ak
- Memonitor pola - Frekuensi 1 5 2
napas Ds: - nafas
Do: pernafasan takipnea - Kedalaman 1 5 2
- Memonitor hasil x-ray thorak nafas
Ds: - - Penggunaan 1 5 3
Do: Terlihat 2 segman patahan pada coste otot bantu
kanan mulai coste 2-5
- Memonitor KU dan TTV
Ds: pasien mengatakan gelisah dan khawatir
Do: TD 150/100, nadi 110x/mnt, suhu P: Lanjutkan intervensi
36,3⁰C, akral hangat - Monitor KU dan TTV
- Menempatkan pasien pada posisi semi - Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman,
fowler usaha napas) setiap 20 menit
Ds: pasien mengatakan lebih nyaman - Pertahankan towl clip reraction
Do: klien telah pada posisi semi - Kolaborasi pemberian analgesik
fowler
- Memberikan oksigen dengan menggunakan
Non Rebreathing Mask dengan dosis 10
liter Ds : pasien mengatakan lebih nyaman,
sesak agak berkurang, klien mengeluh
masih nyeri Do: Pasien terpasang
rebreathing mask,
tampak lebih tenang dari sebelumnya
KASUS A2 (Pneumonia)
Pasien datang ke RSMS Purwokerto dengan keluhan sesak napas sejak 2 hari
yang lalu, batuk berdahak susah dikeluarkan dan demam sejak 3 hari yang lalu.
Pasien tidak bisa tidur, kedua kaki bengkak, lemas, nyeri ulu hati dan mual. TTV :
TD 169/97 mmHg, N: 116x/m, RR : 30x/menit, Suhu: 36,5oC, pasien tidak sedang
mengkonsumsi obat apapun, pasien mengatakan makan terakhir jam 10.10 dengan
3 suap nasi padang, pasien mengatakan tidak memiliki riwayat alergi obat dan
makanan. Akral hangat, CRT<3 detik, TD: 169/97 mmHg, N: 116x/menit, S:
36.5oC, GCS: 15 (E4M6V5), pupil merespon cahaya, bentuk bulat simetris, respon
pupil baik. Terapi yang diberikan oksigen 5L, expektoran 3x1.
RESUME KEPERAWATAN GAWAT DARURAT KE-3
Nama Mahasiswa : Tohidin Saeful Aji Nama Pasien : Tn.K
NIM : 2011040130 Umur : 32 tahun
Hari/Tanggal : Rabu, 23 Desember 2020 Dx Medis : Pneumonia
III. PENGKAJIAN
G. Primary Surver
Airway
- Look Ada obstruksi , tampak sesak, batuk berdahak,
cuping hidung (+), sekret tampak kental ,
menggunakan otot nafas tambahan,
- Listen Tidak terdengar ronkhi
- Feel Terasa hembusan nafas
Breathing
- Look Dada simetris, terlihat retraksi dinding dada, tidak ada
jejas, tidak ada lesi, irama napas ireguler, frekuensi
nafas=30x/menit
- Listen Terdengar suara ronkhi
- Feel Terasa hembusan nafas, tidak ada krepitasi, tidak ada
massa, tidak ada benjolan, pergerakkan dada tidak
sama
Circulatian
- Look Tidak ada denyut jantung tambahan di ICS 4 dan 5,
tidak ada sianosis, CRT<3 detik, SpO2 94%, S=36.5
o
C , tidak ada pendarahan, kelembaban kulit cukup,
- Listen turgor kulit normal
- Feel Terdengar s1=s2 reguler, TD=169/97 mmHg
Irama nadi ireguler, frekuensi nadi 116x/menit, akral
hangat
Disability kesadaran penuh (Composmentis)
GCS: 15
E4: Buka mata spontan
M6: sesuai perintah
V5: Orientasi baik
Pupil:Pupil isokhor, bentuk pupil bulat, reflek cahaya
(+) , diameter pupil 2 mm, respon pupil baik
Ekstermitas: sensorik (+), motorik (+)
Kekuatan otot : 5/5
5/5
Eksposure Tidak bisa tidur, kedua kaki bengkak, lemas, nyeri ulu
hati dan mual
I. Asuhan Keperawatan
- Diagnosa Keperawatan
Diagnosa
No Data Fokus Pathway
Keperawatan
1 Ds : Pasien mengatakan Bersihan jalan Bakteri
keluhan sesak napas nafas tidak
sejak efektif (D.0001)
2 hari yang lalu, batuk b.d sekresi yang Saluran nafas bagian
berdahak susah tertahan bawah
dikeluarkan dan demam
sejak 3 hari yang lalu
Do: bronchiolus
- Batuk berdahak
- Cuping hidung (+)
- Terdengar bunyi nafas alveolus
ronkhi
- Perkusi redup di lobus
reaksi radang pada
inferior dextra
bronkus dan alveolus
- Cuping hidung
berkurang
- Penggunaan otot bantu peningkatan produksi
napas sekret
- Irama nafas ireguler
- Dahak kental, berwarna
hijau kekuningan, tidak
ada darah, sekresi akumulasi sekret
dahak sedikit
- KU: baik
obstruksi jalan nafas
- Kesadaran compos
mentis
- GCS : 15 (E4M65) bersihan jalan nafas tidak
- TD: 140/80 mmHg, N= efektif
98x/menit, RR=
o
24x/menit, S=36.5 C
2 Ds: Risiko defisit Bakteri
- Pasien mengatakan nutrisi (D.0032)
lemas, nyeri ulu hati dan b.d mual
mual Saluran nafas bagian
- Pasien makanan terakhir bawah
jam 10.10 WIB dengan 3
suap nasi padang
bronchiolus
Do:
- Pasien terlihat lemas
- BB: 52kg, TB : 165 cm, alveolus
IMT: 19.1 kg/m2
- Pasien terlihat mual
- Riwayat magh reaksi radang pada
- Perut kembung bronkus dan alveolus
- Perkusi : timpani
peningkatan produksi
sekret
akumulasi sekret
rangsangan batuk
distensi abdomen
mual
Risiko defisit nutrisi
- Rencana Keperawatan
Diagnosa
Tgl/Waktu SLKI SIKI
Keperawatan
22/12/20 Bersihan Setelah dilakukan Manajemen Jalan Napas
13.00 jalan napas tindakan keperawatan (I.01011)
tidak efektif selama 1x24 jam O:
b.d sekresi diharapkan bersihan - Monitor pola napas
yang jalan nafas efektif (frekuensi, kedalaman,
tertahan dengan kriteria hasil: usaha napas)
Bersihan jalan nafas - Monitor bunyi napas
(L.01001) tambahan ( ronkhi)
Indikator A T - Monitor sputum
- Batuk 5 1 (jumlah, warna, aroma)
efektif T:
- Produksi 1 5 - Posisikan pasien
sputum semifowler/fowler
- Dispnea 1 5 - Berikan minum hangat
- Lakukan penghisapan
lendir kurang dari 15
Keterangan : detik
A: Awal - Berikan oksigen, jika
T: Tujuan perlu
1: Meningkat E:
2: Cukup Meningkat - Ajarkan teknik batuk
3: Sedang efektif
4: Cukup Menurun K:
5: Menurun - Kolaborasi pemberian
ekspektoran
- Implementasi & Evaluasi
Tgl/Waktu Implementasi & Respon Evaluasi Paraf
23/12/2020 - Memonitor pola napas (frekuensi, kedalaman, S: Tohid
13.00 usaha napas) - Pasien mengatakan sesak
Ds: mengeluh masih sesak berkurang dan batuk berdahak
Do: RR 25x/mnt, irama ireguler, pernafasan O:
dangkal, nafas cuping hidung - Sesak berkurang
- Memonitor bunyi napas tambahan - Batuk berdahak
Ds: pasien mengatakan batuk berdahak - Terdengar bunyi nafas ronkhi
Do: Terdengar suara ronkhi - Perkusi redup di lobus inferior
- Memposisikan pasien dextra
semifowler Ds:- - Cuping hidung berkurang
Do: klien telah pada posisi semi fowler - Penggunaan otot bantu napas
Memberikan terapi oksigen dengan rebreathing berkurang
mask : 5 lpm - Terpasang nasal kanul dengan
Ds: klien mengatakan lebih nyaman sesak agak oksigen 5 lpm
berkurang - Irama nafas reguler
Do: klien terpasang rebreathing mask, tampak - Dahak kental, berwarna hijau
- Memonitor sputum kekuningan, tidak ada darah,
Ds: pasien mengatakan dahak yang dikeluarkan sekresi dahak sedikit
berwarna kuning kehijauan - KU: baik
Do: jumlah dahak yang keluar kental dengan - Kesadaran compos mentis
jumlah 1 ml, berwarna kuning kehijauan, berbau - GCS : 15 (E4M65)
khas lebih tenang dari sebelumnya - TD: 140/80 mmHg, N= 98x/menit,
- Menganjurkan dan memberikan air hangat sebelum RR= 24x/menit, S=36.5oC
melakukan batuk efektif A: Masalah bersihan jalan napas
- Mengajarkan teknik batuk efektif belum teratasi
Ds: klien mengatakan paham cara batuk efektif
Do: klien dapat mempraktekan batuk efektif Indikator A T Ak
- Memberikan oksigen 5 lpm - Batuk efektif 1 5 3
- Mengkolaborasi pemberian ekspektoran - Produksi
Ds: - sputum 1 5 2
Do: Memberikan obat ventolin 3x1 - Dispnea
1 5 3
P: Lanjutkan intervensi
- Monitor TTV
- Monitor pola napas (frekuensi,
kedalaman, usaha napas)
- Monitor bunyi napas tambahan (
ronkhi)
- Monitor sputum (jumlah, warna,
aroma)
- Lakukan penghisapan lendir
kurang dari 15 detik
- Berikan obat ventolin 3x1
LAPORAN PENDAHULUAN DAN RESUME MINGGU KE-2
KEPERAWATAN GAWAR DARURAT
Disusun oleh :
TOHIDIN SAEFUL AJI
2011040130
B. Etiologi
Penyebab keracunan makanan adalah kuman Clostridium
botulinum yang hidup dengan kedap udara (anaerobik), yaitu di tempat-
tempat yang tidak ada udaranya (Junaidi, 2011). Keracunan makanan
dapat disebabkan oleh pencemaran bahan-bahan kimia beracun,
kontaminasi zat-zat kimia, mikroba, bakteri, virus dan jamur yang masuk
ke dalam tubuh manusia (Suarjana, 2013).
Keracunan dapat terjadi karena berbagai macam penyebab yang
mengandung bahan berbahaya dan potensial dapat menjadi racun.
Penyebab-penyebab tersebut antara lain:
1. Makanan
Proses pembusukan merupakan proses awal dari akibat aktivitas
mikroorganisme yang mempengaruhi langsung kepada nilai bahan
makanan tersebut untuk kepentingan manusia. Selain itu, keracunan
bahan makanan dapat juga disebabkan oleh bahan makanannya sendiri
yang beracun, terkontaminasi oleh protozoa, parasit, bakteri yang
patogen dan juga bahan kimia yang bersifat racun.
Di Indonesia ada beberapa jenis makanan yang sering mengakibatkan
keracunan, antara lain:
a. Keracunan botolinum
Clostridium botolinum adalah kuman yang hidup secara
anaerobik, yaitu di tempat-tempat yang tidak ada udaranya.
Kuman ini mampu melindungi dirinya dari suhu yang agak tinggi
dengan jalan membentuk spora. Karena cara hidupnya yang
demikian itu, kuman ini banyak dijumpai pada makanan kaleng
yang diolah secara kurang sempurna.
Gejala keracunan botolinum muncul secara mendadak, 18-
36 jam sesudah memakan makanan yang tercemar. Gejala itu
berupa lemah badan yang kemudian disusul dengan penglihatan
yang kabur dan ganda. Kelumpuhan saraf mata itu diikuti oleh
kelumpuhan saraf-saraf otak lainnya, sehingga penderita
mengalami kesulitan berbicara dan susah menelan.Pengobatan
hanya dapat diberikan di rumah sakit dengan penyuntikan serum
antitoksin yang khas untuk botulinum. Oleh karena itu dalam hal
ini yang penting ialah pencegahan.
Pencegahan: sebelum dihidangkan, makanan kaleng dibuka
dan kemudian direbus bersama kalengnya di dalam air sampai
mendidih.
b. Keracunan jamur
Gejala muncul dalam jarak bebarapa menit sampai 2 jam
sesudah makan jamur yang beracun (Amanita sp). Gejala tersebut
berupa sakit perut yang hebat, muntah, mencret, haus, berkeringat
banyak, kekacauan mental, pingsan.
c. Keracunan jengkol
Keracunan jengkol terjadi karena terbentuknya kristal asam
jengkol dalam saluran kencing. Ada beberapa hal yang diduga
mempengaruhi timbulnya keracunan, yaitu: jumlah yang dimakan,
cara penghidangan dan makanan penyerta lainnya.
Gejala klinisnya seperti: sakit pinggang yang disertai
dengan sakit perut, nyeri sewaktu kencing, dan kristal-kristal asam
jengkol yang berwarna putih nampak keluar bersama air kencing,
kadang- kadang disertai darah.
d. Keracunan ikan laut
Beberapa jenis ikan laut dapat menyebabkan keracunan.
Diduga racun tersebut terbawa dari ganggang yang dimakan oleh
ikan itu. Gejala-gejala keracunan berbagai binatang laut tersebut
muncul kira-kira 20 menit sesudah memakannya.Gejala itu
berupa: mual, muntah, kesemutan di sekitar mulut, lemah badan
dan susah bernafas..
2. Baygon
Baygon adalah insektisida kelas karbamat, yaitu insektisida yang
berada dalam golongan propuxur. Penanganan keracunan Baygon dan
golongan propuxur lainnya adalah sama. Contoh golongan karbamat
lain adalah carbaryl (sevin), pirimicarb (rapid, aphox), timethacarb
(landrin) dan lainnya.
Gejala keracunan sangat mudah dikenali yaitu diare,
inkontinensia urin, miosis, fasikulasi otot, cemas dan kejang. Miosis,
salvias, lakrimasi, bronkospasme, keram otot perut, muntah,
hiperperistaltik dan letargi biasanya terlihat sejak awal. Kematian
biasanya karena depresi pernafasan.
a. Efek muskarinik (parasimpatik) berupa: miosis (pinpoint),
Hipersalivasi, lakrimasi, Hipersekresi bronchial, Bronkospasme,
Hiperperistaltik : mual, muntah, diare, kram perut., Inkontinensia
urin, Pandangan kabur, Bradikardi
b. Efek nikotinik berupa: fasikulasi otot, kejang, kelumahan otot,
paralysis, ataksia, takikardi (hipertensi).
c. Efek SSP berupa: sakit kepala, bicara ngawur, bingung, kejang,
koma, dan depresi pernafasan.
d. Efek pada kardiovaskular bergantung pada reseptor mana yang
lebih dominan.
3. Bahan Kimia
Keracunan bahan kimia biasanya melibatkan bahan-bahan
kimia biasa seperti bahan kimia rumah, produk pertanian, produk
tumbuhan atau produk industri. Beberapa jenis bahan kimia yang
harus diperhatikan karena berbahaya adalah:
Bahan Penjelasan Potensi Bahaya Kesehatan
Kimia
AgNO3 Senyawa ini beracun Dapat menyebabkan luka bakar
dan korosif. dan kulit melepuh. Gas/uapnya
Simpanlah dalam juga menebabkan hal yang
botol berwarna dan sama.
ruang yang gelap serta
jauhkan dari bahan-
bahan yang mudah
terbakar.
HCl Senyawa ini beracun Dapat menyebabkan luka bakar
dan bersifat korosif dan kulit melepuh. Gas/uapnya
terutama dengan juga menebabkan hal yang
kepekatan tinggi. sama.
H2S Senyawa ini mudah Menghirup bahan ini dapat
terbakar dan beracun menyebabkan pingsan,
gangguan pernafasan, bahkan
kematian.
H2SO4 Senyawa ini sangat Jangan menghirup uap asam
korosif, higroskopis, sulfat pekat karena dapat
bersifat membakar menyebabkan kerusakan paru-
bahan organik dan paru, kontak dengan kulit
dapat merusak menyebabkan dermatitis,
jaringan tubuh sedangkan kontak dengan mata
Gunakan ruang asam menyebabkan kebutaan.
untuk proses
pengenceran dan
hidupkan kipas
penghisapnya.
NaOH Senyawa ini bersifat Dapat merusak jaringan tubuh.
higroskopis dan
menyerap gas CO2.
NH3 Senyawa ini Menghirup senyawa ini pada
mempunyai bau yang konsentrasi tinggi dapat
khas. menyebabkan pembengkakan
saluran pernafasan dan sesak
nafas. Terkena amonia pada
konsentrasi 0.5% (v/v) selama
30 menit dapat menyebabkan
kebutaan.
HCN Senyawa ini sangat Hindarkan kontak dengan kulit.
beracun. Jangan menghirup gas ini
karena dapat menyebabkan
pingsan dan kematian.
HF Gas/uap maupun Dapat menyebabkan iritasi
larutannya sangat kulit, mata, dan saluran
beracun. pernafasan.
HNO3 Senyawa ini bersifat Dapat menyebabkan luka
korosif. bakar, menghirup uapnya dapat
menyebabkan kematian.
4. Asidosis metabolic
Disebabkan oleh:
a. Peningkatan produksi asam atau mengkonsumsi makanan atau
zatyang dapat dikonversi menjadi asam
b. Hilangnya bikarbonat
c. Akumulasi Asam laktat terjadi karena tidak tersedianya cukup
oksigen untuk melakukan metabolism karbohidrat.
d. Kelainan metabolic
D. Patofisiologi
Makanan yang kita konsumsi dalam keseharian bermacam-
macam, baik ragam jenis makanan itu. Makanan yang sehat dapat
dikatakan makanan yang layak untuk tubuh dan tidak menyebabkan
sakit, baik seketika maupun mendatang. Dalam mengkonsumsi makanan
perlu diperhatikan tentang kebersihan makanan, kesehatan, serta zat gizi
yang terkandung didalam makanan tersebut. Hendaknya kita harus pandai
dalam memilih makanan yang akan dkonsumsi supaya makanan tersebut
bebas dari zat-zat yang dapat memasuki tubuh seperti toksik atau racun.
Makanan yang telah terkontaminasi toksik atau zat racun
sampai dilambung akan mengadakan perlawanan diri terhadap benda atau
zat asing yang masuk kedalam lambung dengan gejala mual,lalu
lambung akan berusaha membuang zat tersebut dengan cara
memuntahkannya. Karena seringnya muntah maka tubuh akan
mengalami dehidrasi akibat banyaknya cairan tubuh yang keluar
bersama dengan muntahan. Karena dehodrasi yang tinggi
maka lama kelamaan akan lemas dan banyak
mengeluarkan keringat dingin.
Banyaknya cairan yang keluar, terjadinya dehidrasi keluarnya
keringat dingin akan merangsang kelenjar hipofisisanterior untuk
mempertahankan homeostatis tubuh dengan terjadinya rasa haus.
Apabila rasa haus tidak segera diatasi maka dehidrasi berat tidak dapat
dihindari, bahkan dapat menyebabkan pingsan sampai kematian.
E. Pathway
Gg.sistem
Saraf otonom
Hipovolemia Odema laring Saluran pencernaan
Gangguan
Integritas
Obstruksi kulit
Mual, muntah
saluran pernafasan Dan diare
Nyeri kepala
Pusat
Dan otot
pernafasan
Bersihan
jalan nafas Defisit cairan
tidak efektif dan elektrolit
Nafas cepat
Nyeri Akut
& dangkal
Pola nafas
tidak
efektif
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang bermanfaat dalam diagnosis
toksikologi adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium biasanya dilakukan tes darah,
tes urin, tes kondisi tinja, dan pemeriksaan parasit. Tes-tes ini
bertujuan untuk mengetahui jenis organisme penyebab terjadinya
keracunan. Pemeriksaan laboratorium sederhana dapat dilakukan di
layanan kesehatan primer yang memiliki fasilitas, misalnya:
pemeriksaan mikroskopis feses untuk keberadaan telur cacing dan
parasit; pewarnaan Gram, KOH dan metilenblue Loeffler untuk
membantu membedakan antara penyakit invasif dan non-invasif
(PMK No. 5 Tahun 2014).
2. Gas Darah Arteri
Hipoventilasi akan menyebabkan peningkatan PCO2
(hiperkapnia). PO2 dapat rendah dengan aspirasi pneumonia atau obat-
obat yang menginduksi edema paru. Oksigenisasi jaringan yang
kurang akibat hipoksia,hipotensi, atau keracunan sianida akan
menghasilkan asidosis metabolik. PO2 hanya mengukur oksigen
yang larut dalam plasma dan bukan merupakan total oksigen dalam
darah. karena itu pada keracunan karbon monoksida mungkin PO2
tampak normal meskipun ada defisiensi oksihemoelobin yang nyata
dalam darah.
3. Uji Fungsi Ginjal
Beberapa toksin mempunyai efek nefrotoksik; dalam kasus
lain, gagal ginjal merupakan akibat syok, koagulasi intravaskular yang
menyebar (disseminated irrtravascular coagulation, DTC), atau
mioglohinuria. Tingkat kadar nitrogen urea darah dan kreatinin harus
diukur dan dilakukan urinalisis.
4. Osmolalitas Serum
Perhitungan osmolalitas serum terutama bergantung pada
natrium serum, glukosa serum serta nitrogen urea darah.
5. Elektrokardiogram
Pelebaran lama kompleks QRS yang lebih besar dari 0,1 detik
adalah khas untuk takar lajak antidepresan trisiktik dan kuinidin.
6. CT-Scan
Fotopolos abdomen mungkin berguna, karena beberapa tablet,
khususnya besi dan kalium, dapat berbentuk radiopaque. Foto toraks
dapat menunjukkan pneumonia aspirasi, pneumonia hidrokarbon,
atau edema paru. Bila dicurigai adanya trauma kapitis, dianjurkan
untuk pemeriksaan CT-scan.
G. Penatalaksanaan
Pertolongan pertama keracunan makanan yang dapat dilakukan
adalah dengan mengupayakan penderita untuk memuntahkan makanan
yang telah dikonsumsi penderita. Cara yang bisa dilakukan untuk
merangsang muntahan adalah dengan memberikan minuman susu. Selain
itu, cara yang bisa dilakukan adalah dengan meminum segelas air yang
telah dicampur dengan satu sendok teh garam dan berikan minuman teh
pekat (Junaidi, 2011).
Menurut Noriko (2013) tanaman teh memiliki potensi sebagaian
bakteria karena mengandung bioaktif yaitu senyawa tanin. Tanin adalah
senyawa fenolik yang terkandung dalam berbagai jenis tumbuhan
hijau dengan kadar yang berbeda-beda. Manfaat tanin selain antibakteria
adalah sebagai antiseptik dan mempunyai sifat sebagai agent pengkelat
logam karena adanya pengaruh fenolik. Pengaruh fenolik bisa memberikan
antioksidan bagi tubuh.
Hardisman (2014) menyatakan pertolongan pertama keracunan
makanan adalah dengan minum air putih yang banyak, pemberian
larutan air yang telah dicampur dengan garam. Pertolongan pertama
yang bisa dilakukan adalah dengan mengganti cairan dan elektrolit yang
hilang akibat muntah atau diare. Menghindari terjadinya dehidrasi pada
korban segera berikan air minum dan larutan elektrolit yang banyak
untuk korban (Sentra informasi keracunan nasional & Badan
pemeriksaan Makanan dan obat SIKERNAS & BPOM, 2013).
Menurut Bahri, Sigit, dkk. (2012) cairan elektrolit dapat diperoleh
dari air kelapa. Air kelapa murni tanpa tambahan gula sedikit
menginduksi urinisasi, sedangkan air kelapa yang ditambah dengan gula
banyak menginduksi urinisasi. Penyebab banyaknya menginduksi urinisasi
adalah karena konsentrasi gula yang tinggi, sehingga absobsi air menjadi
lambat dan urinisasi meningkat.
Penatalaksanaan umum kedaruratan keracunan antara lain:
1. Penatalaksanaan Kegawatan
Walaupun tidak dijumpai adanya kegawatan,setiap kasus
keracunan harus diperlakukan seperti keadaan kegawatan yang
mengancam nyawa. Penilaian terhadap tanda-tanda vital seperti jalan
napas, sirkulasi, dan penurunan kesadaran harus dilakukan secara
cepat.
2. Resusitasi
Setelah jalan nafas dibebaskan dan dibersihkan, periksa
pernafasan dan nadi. Berikan cairan intravena, oksigen, hisap lendir
dalam saluran pernafasan, hindari obat-obatan depresan saluran nafas,
kalau perlu respirator pada kegagalan nafas berat. Hindari pernafasan
buatan dari mulut kemulut, sebab racun organo fhosfat akan meracuni
lewat mulut penolong.Pernafasan buatan hanya dilakukan dengan
meniup face mask atau menggunakan alat bag–valve–mask.
3. Pemberian cairan intravena untuk pasien penurunan kesadaran
Penderita keracunan makanan yang parah dan mengalami
dehidrasi harus mendapatkan perawatan lanjutan. Dokter biasanya
akan memberikan cairan melalui intravena atau infus. Cairan ini
bisa menggantikan cairan tubuh yang hilang serta menjaga agar tubuh
tidak terlalu lemah. Jika dokter memberikan obat-obatan maka bisa
dilakukan secara langsung lewat cairan infus.
4. Pemberian norit/zat karbon aktif
Menurut para ahli makanan dan dokter, pertolongan pertama
yang bisa kita lakukan adalah dengan memberikan karbon aktif
atau arang aktif ke korban. Di pasaran, ada arang aktif yang dijual.
Salah satu yang terkenal norit.
Tablet berwarna hitam ini punya sifat arang aktif yang mampu
menyerap apapun yang ada di sekitarnya, termasuk racun. Semakin
banyak yang dimakan, semakin banyak racun yang diserap. Hanya
saja, norit cuma menyerap racun yang masih di saluran pencernaan
dan belum ikut beredar dalam darah.
Meskipun norit mampu menyerap banyak racun, norit
nyatanya juga menyerap zat gizi dan vitamin yang terdapat pada
makanan. Oleh karena itu, saat menenggak norit, korban juga harus
terus diberikan minum air putih untuk menggantikan zat yang ikut
terserap norit. AC diberikan dalam dosis 50 gram pada orang
dewasa dan 1 g/kg (maksimal 50 gram) pada anak-anak.
Kontraindikasi pemberian norit adalah sebagai berikut:
a. Wanita yang merencanakan kehamilan, wanita hamil, wanita
menyusui, anak-anak, serta lansia dianjurkan untuk
berkonsultasi kepada dokter sebelum mengonsumsi jenis obat
ini.
b. Penderita yang mengalami pendarahan, penyumbatan, atau
memiliki lubang pada sistem pencernaan.
c. Penderita yang sedang mengalami dehidrasi.
d. Penderita yang baru melalui prosedur operasi.
e. Penderita yang sedang berada pada kondisi tidak sadar atau
penurunan kesadaran.
f. Penderita dengan proses pencernaan yang lambat.
g. Penderita yang sedang mengonsumsi obat-obatan lain di saat
yang bersamaan.
h. Penderita yang memiliki alergi terhadap jenis obat-obatan ini atau
pada pengawet dan pewarna makanan serta hewan.
Bila norit tak tersedia, kita bisa menggantikannya dengan susu.
Susu memiliki kelebihan mengikat racun yang ada dalam tubuh
agar tak beredar dalam tubuh. Susu juga bisa merangsang muntah
sehingga makanan beracun bisa ikut keluar.
5. Bilas Lambung
Bilas lambung atau gastric lavage, pada penderita yang
kesadarannya menurun, atau pada penderita yang tidak kooperatif.
Hasil paling efektif bila bilas lambung dikerjakan dalam 4 jam
setelah keracunan. Pada koma derajat sedang hingga berat
tindakan bilas lambung sebaiknya dikerjakan dengan bantuan
pemasangan pipa endotrakeal berbalon untuk mencegah aspirasi
pneumonia.
6. Pemberian antidot/penawar
Tidak semua racun ada penawarnya sehingga prinsip utama
adalah mengatasi keadaan sesuai dengan masalah. Atropin sulfat
(SA) bekerja dengan menghambat efek akumulasi Akh pada tempat
penumpukan.
a. Mula-mula diberikan bolus IV 1 -2,5 mg.
b. Dilanjutkan dengan 0,5–1 mg setiap 5 -10 -15 menit sampai
timbul gejala-gejala atropinisasi (muka merah,mulut
kering,takikardi,midriasis,febris dan psikosis).
c. Kemudian interval diperpanjang setiap 15-30-60 menit
selanjutnya setiap 2-4-6-8 dan 12 jam.
d. Pemberian SA dihentikan minimal setelah 2 x 24 jam.
Penghentian yang mendadak dapat menimbulkan rebound effect
berupa edema paru dan kegagalan pernafasan akut yang sering
fatal.
7. Pemberian antibiotik
Untuk beberapa kasus keracunan makanan yang disebabkan
oleh bakteri maka perlu dibantu dengan obat antibiotik. Obat ini harus
diberikan oleh dokter yang merawat. Biasanya penderita yang
terlihat parah seperti diare dan muntah akut harus menerima obat
antibiotik ini. Selain itu penderita juga harus mendapatkan cairan
pengganti lewat infus. Beberapa jenis obat harus diberikan sesuai
dengan penyebabnya, berikut beberapa terapi yang sering diberikan
oleh dokter:
a. Ciprofloxacin (Cipro)
b. Norfloksasin (Noroxin)
c. Trimetoprim / sulfametoksazol
d. Doxycycline
e. Rifaximin (Xifaxan, RedActiv, Flonorm)
8. Penilaian Klinis
Upaya yang paling penting adalah anamnese atau
aloanamnesis yang rinci. Beberapa pegangan anamnesis yang
penting dalam upaya mengatasi keracunan,ialah:
a. Kumpulkan informasi selengkapnya tentang seluruh
obat yang digunakan, termasuk yang sering dipakai
b. Kumpulkan informasi dari anggota keluarga,teman dan petugas
tentang obat yang digunakan.
c. Tanyakan dan simpan sisa obat dan muntahan yang masih
ada untuk pemeriksaan toksikologi
d. Tanyakan riwayat alergi obat atau syok anafilaktik
Pada pemeriksaan fisik diupayakan untuk menemukan
tanda/kelainan fungsi autonom yaitu pemeriksaan tekanan
darah,nadi,ukuran pupil,keringat,air liur, dan aktivitas peristaltik usus.
9. Terapi suportif, konsultasi, dan rehabilitasi
Terapi suportif, konsultasi dan rehabilitasi medik harus dilihat
secara holistik dan efektif dalam biaya. Jangan berikan sirup ipecac
atau melakukan apa saja untuk memancing muntah. Kelompok ahli,
termasuk American Association of Poison Control Centers dan
American Academy of Pediatrics, tidak lagi mendukung
penggunaan ipecac pada anak-anak atau orang dewasa yang telah
menelan pil atau zat berpotensi beracun lainnya. Tidak ada bukti
baik yang membuktikan efektivitas penggunaan sirup tersebut
dan dampaknya seringkali lebih berbahaya. Penatalaksanaan
keperawatan pasien keracunan meliputi:
a. Penatalaksanaan syok bila terjadi.
b. Pantaulah tanda vital secara berkala.
c. Pantau keseimbangan cairan dan elektrolit.
d. Bantu mendapatkan spesimen darah, urine, isi lambung dan
muntah.
e. Pantau dan atasi komplikasi seperti hipotensidan kejang.
f. Bila pasien merasa mual dan ingin muntah, anjurkan untuk
memiringkan kepalanya ke samping.
g. Kompres hangat pada perut. Hal ini akan meringankan kejang
dan nyeri di perut dan kecenderungan untuk muntah.
H. Fokus Pengkajian
1. Survei Primer
Penatalaksanaan awal pasien koma, kejang, atau perubahan
keadaan mental lainnya harus mengikuti cara pendekatan yang
sama tanpa memandang jenis racun penyebab. Usaha untuk
membuat diagnosis toksikologi khusus hanya memperlambat
penggunaan tindakan suportif yang merupakan bentuk dasar “ABCD”
pada pengobatan keracunan.
Pertama, saluran napas (A) harus dibersihkan dan muntah
atau beberapa gangguan lain dan, bila diperlukan, suatu alat yang
mengalirkan napas melalui oral atau dengan memasukkan pipa
endotrakea. Pada kebanyakan pasien, penempatan pada posisi
sederhana dalam posisi dekubitus lateral cukup untuk
menggerakkan lidah yang kaku (flaccid) keluar dan saluran napas.
Pernapasan (B) yang adekuat harus diuji dengan mengobservasi
dan mengukur gas darah arteri. Pada pasien dengan insufisiensi
pernapasan harus dilakukan intubasi dan ventilasi mekanik. Sirkulasi
(C) yang cukup harus diuji dengan mengukur denyut nadi, tekanan
darah, urin yang keluar, dan evaluasi perfusi perifer. Alat untuk
intravena harus dipasang dan darah diambil untuk penentuan serum
glukosa dan untuk pemeriksaan rutin lainnya.
Pada waktu ini, setiap pasien dengan keadaan mental yang
berubah harus diberi larutan dekstrosa pekat (D). Orang dewasa
diberikan larutan dekstrosa sebanyak 25 g (50 mL larutan dekstrosa
50% secara intravena). Dekstrosa ini harus diberikan secara rutin,
karena pasien koma akibat hipoglikemia yang dengan cepat dan
ireversibel akan kehilangan sel-sel otak. Pasien hipoglikemia
mungkin tampak sebagai pasien keracunan, dan tidak ada metode
yang cepat dan dapat dipercaya untuk membedakannya dan pasien
keracunan. Pada umumnya pemberian glukosa tidak berbahaya
sementara menunggu hasil pemeriksaan gula darah. Pada waktu
ini, pasien alkoholik atau malnutrisi juga harus diberi 100 mg
tiamin intramuskular untuk mencegah timbulnya sindrom Wernicke.
Antagonis narkotik nalokson (Narcan) dapat diberikan dengan
dosis 0,4-2 mg intravena. Nalokson akan memulihkan pernapasan
dan depresi sistem saraf pusat akibat semua jenis obat narkotika. Ada
manfaatnya untuk mengingat bahwa obat-obat ini menimbulkan
kematian terutama akibat depresi pernapasan; karena itu, bila
bantuan pernapasan dan pembebasan saluran pernapasan telah
diberikan, nalokson mungkin tidak diperlukan lagi. Antagonis
benzodiazepin flumazenil bermanfaat pada pasien dengan
kecurigaan takar lajak benzodiazepin, tetapi tidak boleh digunakan
bila terdapat riwayat kejang atau takar lajak antidepresan trisiklik,
dan obat ini tidak boleh digunakan sebagai pengganti
penatalaksanaan saluran napas secara hati-hati.
Penatalaksanaan keracunan memerlukan suatu pengetahuan
tentang bagaimana mengobati hipoventilasi, koma, syok, kejang,
dan psikosis. Pertimbangan toksikokinetik yang mendetil titik banyak
artinya bila fungsi-fungsi vital tidak dipertahankan. Hipoventilasi
dan koma memerlukan perhatian khusus pada penatalaksanaan
saluran napas. Gas darah arteri harus sering diperiksa, dan aspirasi isi
lambung harus dicegah. Penatalaksanaan cairan dan elektrolit
mungkin kompleks. Monitoring berat badan,tekanan vena sentral,
tekanan yang mendesak kapiler paru, dan gas darah arteri diperlukan
untuk memastikan pemberian cairan mencukupi tetapi tidak
berlebihan. Dengan tindakan suportif yang tepat untuk koma, syok,
kejang, dan agitasi, umumnya memberikan harapan hidup bagi pasien
keracunan.
2. Survei Sekunder
Setelah dilakukan intervensi awal yang esensial, dapat
dimulai evaluasi yang terinci untuk membuat diagnosis spesifik.
Hal ini meliputi pengumpulan riwayat yang ada dan melakukan
pemeriksaan fisik singkat yang berorientasi pada toksikologi.
Penyebab koma lainnya atau kejang seperti trauma pada kepala,
meningitis, atau kelainan metabolisme harus dicari dan diobati.
a. Riwayat: Pernyataan dengan mulut tentang jumlah dan jenis
obat yang ditelan dalam kedaruratan toksik mungkin tidak
dapat dipercayai. Bahkan anggota keluarga, polisi, dan pemadam
kebakaran atau personil paramedis harus ditanyai tintuk
menggambarkan lingkungan di mana kedaruratan toksik
ditemukan dan semua alat suntik, botol-botol kosong, produk
rumah tangga, atau obat-obat bebas di sekitar pasien yang
kemungkinan dapat meracuni pasien harus dibawa ke ruang gawat
darurat.
b. Pemeriksaan Fisik: Pemeriksaan yang cepat harus dilakukan
dengan penekanan pada daerah yang paling mungkin
memberikan petunjuk ke arah diagnosis toksikologi. Hal ini
termasuk tanda-tanda vital, mata dan mulut, kulit, abdomen, dan
sistem saraf.
1) Tanda-tanda vital. Evaluasi dengan teliti tanda-tanda vital
(tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, dan suhu tubuh)
merupakan hal yang esensial dalam kedaruratan
toksikologi. Hipertensi dan takikardia adalah khas pada obat-
obat amfetamin, kokain, fensiklidin, nikotin, dan
antimuskarinik. Hipotensi dan bradikardia, merupakan
gambaran karakteristik dan takar lajak narkotika,kionidin,
sedatif-hipnotik dan beta bloker. Takikardia dan hipotensi
sering terjadi dengan antidepresan trisiklik, fenotiazin, dan
teofihin. Pernapasan yang cepat adalah khas pada
amfetamin dan simpatomimetik lainnya, salisilat, karbon
monoksida dan toksin lain yang menghasilkan asidosis
metabolik. Hipertermia dapat disebabkan karena obat-obat
simpatomimetik, antimuskarinik. salisilat dan obat-obat yang
menimbulkan kejang atau kekakuan otot. Hipotermia dapat
disebabkan oleh takar lajak yang berat dengan obat narkotik,
fenotiazin, dan obat sedatif, terutama jika disertai dengan
pemaparan pada lingkungan yang dingin atau infus intravena
pada suhu kamar.
2) Mata. Mata merupakan sumber informasi toksikologi
yang berharga. Konstriksi pupil (miosis) adalah khas utituk
keracunan narkotika, klonidin, fenotiazin, insektisida
organofosfat dan penghambat kolinesterase lainnya, serta
koma yang dalam akibat obat sedatif. Dilatasi pupil
(midriasis) umumnya terdapat pada amfetamin, kokain, LSD,
atropin, dan obat antirnuskarinik lain. Nistagmus riorizontal
dicirikan pada keracunan dengan fenitoin, alkohol,
barbiturat, dan obat seclatit lain. Adanya nistagmus
horizontal dan vertikal memberi kesan yang kuat
keracunan fensiklidin. Ptosis dan oftalmoplegia
merupakan gambaran karakteristik dari botulinum.
3) Mulut. Mulut dapat memperlihatkan tanda-tanda luka bakar
akibat zat-zat korosif. atau jelaga dan inhalasi asap. Bau
yang khas dan alkohol, pelarut hidrokarbon. Paraldehid atau
amonia mungkin perlu dicatat. Keracunan dengan sianida
dapat dikenali oleh beberapa pemeiriksa sebagai bau seperti
bitter almonds. Arsen dan organofosfat telah dilaporkan
menghasilkan bau seperti bau bawang putih.
4) Kulit. Kulit sering tampak merah, panas, dan kering
pada keracunan dengan atropin dan antimuskarinik lain.
Keringat yang berlebihan ditemukan pada keracunan
dengan organofosfat, nikotin, dan obat-obat simpatomimetik.
Sianosis dapat disebabkan oleh hipoksemia atau
methemoglohinemia. Ikterus dapat memberi kesan adanya
nekrosis hati akibat keracunan asetaminofen atau jamur A
manila phailoides.
5) Abdomen. Pemeriksaan abdomen dapat menunjukkan ileus,
yang khas pada keracunan dengan antimuskarinik, narkotik,
dan obat sedatif. Bunyi usus yang hiperaktif, kram perut,
dan diare adalah urnum terjadi pada keracunan dengan
organofosfat, besi, arsen, teofihin, dan A.phalloides.
6) Sistem saraf. Pemeriksaan neurologik yang teliti adalah
esensial. Kejang fokal atau defisit motorik lebih
menggambarkan lesi struktural (seperti perdarahan
intrakranial akibat trauma) daripada ensefalopati toksik atau
metabolik. Nistagmus, disartria, dan ataksia adalah khas
pada keracunan fenitoin, alkohol, barbiturat, dan keracunan
sedatif lainnya. Kekakuan dan hiperaktivitas otot umum
ditemukan pada metakualon, haloperidol, fensiklidin (PCP),
dan
obat-obat simpatomimetik. Kejang sering disehabkan oleh
takar lajak antidepresan trisiktik, teotilin, isoniazid, dan
fenotiazin. Koma ringan tanpa refleks dan bahkan EEG
isoelektrik mungkin terlihat pada koma yang dalam karena
obat narkotika dan sedatif-hipnotik, dan mungkin menyerupai
kematian otak.
c. Pemeriksaan diagnostik
1) Pemeriksaan laboratorium. Laboratorium rutin (darah,
urin, feses, lengkap)tidak banyak membantu.
2) Pemeriksaan darah lengkap, kreatinin serum (N: 0,5-1,5
mg/dl), elektrolit serum (termasuk kalsium (N: 9-11 mg/dl).
3) Foto thorax kalau ada kecurigaan udema paru.
4) Pemeriksaan EKG. Pemeriksaan ini juga perlu dilakukan
pada kasus keracunan karena sering diikuti terjadinya
gangguan irama jantung yang berupa sinus takikardi,
sinus bradikardi, takikardi supraventrikuler, takikardi
ventrikuler, fibrilasi ventrikuler, asistol, disosiasi
elektromekanik. Beberapa faktor predosposisi timbulnya
aritmia pada keracunan adalah keracunan obat
kardiotoksik, hipoksia, nyeri dan ansietas, hiperkarbia,
gangguan elektrolit darah, hipovolemia, dan penyakit dasar
jantung iskemik.
5: Menurun K:
Do:
Defisit glikogen dalam
- Pasien terlihat lemas hepar
- Wajah terlihat pucat
- Konjungtiva anemis Penurunan energi
- Akral dingin
- Kesadaran delirium Ketidakstabilan kadar
glukosa dalam darah
- GCS : 10 (E3M4V3)
- CRT<2 detik
- GD: 66 g/dL
- TD: 150/70 mmHg, N=
101x/menit, RR=
26x/menit, S=36oC
- Riwayat diabetes
melitus
2 Ds : pasien mengatakan Pola nafas tidak Riwayat DM
sedikit sesak efektif (D.0005)
Do: b.d depresi pusat Penurunan plasma
glukosa
- Napas cuping hidung pernafasan
(+)
Penurunan konsentrasi
- Irama nafas reguler insulin
- Suara nafas vesikuler
- Nafas cepat dan Peningkatan konsentrasi
dangakal glucagon dan epineprin
- SPO2 : 94%
- TD: 150/70 mmHg, N= Respon neuroendoktrin
101x/menit, RR=
26x/menit, S=36oC Timbul gejala neurologi
(penurunan kesadaran)
Depresan pusat
pernafasan
P: Lanjutkan intervensi
– Monitor KU & TTV
– Monitor tanda dan gejala hipoglikemia
– Monitor kadar gula darah satu jam setelah
pemberian dextrose 10% dan 40%
– Ajarkan keluarga pengelolaan hipoglikemia
– Terapi lanjut : infus dextrose 10% 20 tpm,
D 40% 20 mg via IV, oksigen dengan
nasal
kanul 4 lpm
KASUS D4 (PPOK)
Tn C , 40 tahun pasien ppok pasien datang ke IGD mengeluh sesak nafas sejak 2
hari yang lalu batuk berdahak, tidak nafsu makan riwayat sesak nafas dan sering
berulang pasien tidak bisa mengeluarkan dahaknya tidak terdapat sumbatan jalan
nafas, napas cuping hidung (+), tidak terpasang alat bantu (OPA/NPA), terasa
hembusan nafas, penggunaan otot nafas tambahan, tidak terdengar suara gurgling,
snoring, dan stridor. Batuk berdahak, ronki (+) RR; 28 x/m, SpO2 : 94%, nafas
cepat dan dangkal, irama ireguler, ada retraksi dinding dada, pergerakkan dada
sama, perkusi redup di lobus inferior dextra, tidak ada krepitasi, tidak ada massa,
tidak ada benjolan, tidak ada lesi, tidak ada jejas. Pasien mengatakan memiliki
riwayat asma, tidak memiliki alergi obat dan makanan, pasien makan terakhir jam
08.30. TD: 130/90, N; 102 x/m, Suhu 36oC, akral hangat hasil pengkajian ke GCS
= E4M5V6, composmentis, kekuatan otot 5/5/5/5, Pupil:Pupil isokhor, bentuk
pupil bulat, reflek cahaya (+) , diameter pupil 2 mm, respon pupil baik,
ekstermitas: sensorik (+), motorik (+), terapinya diberikan. Terapi yang telah
diberikan oksigen NK 4 LPM, infus RL 20 TPM injeksi ceftriaxone 2x1 gram,
injeksi ranitidin 2x ampul methylprednisolone 2 x 62,5 mg dan combivent respule
8 jam.
- Batuk berdahak
- Terdengar bunyi nafas Inflamasi
ronkhi (+)
- Perkusi redup di lobus Sputum meningkat
inferior dextra
- Penggunaan otot bantu
Batuk
napas (+)
- Irama nafas ireguler
Bersihan jalan nafas
- Dahak tidak keluar tidak efektif
- KU: baik
- Kesadaran compos
mentis
- GCS : 15 (E4M65)
- TD: 130/90 mmHg, N=
102x/menit, RR=
28x/menit, S=36oC
2 Ds : pasien mengatakan Pola nafas tidak Pencetus (asma,
bronchitis
sesak nafas efektif (D.0005)
kronis,
Do: emfisema)
b.d depresi pusat
- Nafas cuping hidung
pernafasan
(+) PPOK
- Penggunaan otot Perubahan anatomis
parenkim paru
bantu (+)
- Irama ireguler
Pembesaran alveoli
- Nafas cepat dan
dangkal
Hiperatropi kelenjar
- Retraksi dinding dada mukosa
(+)
- SpO2: 94%
- TD: 130/90 mmHg, Penyempitan salauran
udara secara periodik
N= 102x/menit, RR=
28x/menit, S=36oC
Suplai O2 tidak adekuat
Hipoksia
Sesak
- Rencana Keperawatan
Diagnosa
Tgl/Waktu SLKI SIKI
Keperawatan
29/12/20 Bersihan jalan Setelah dilakukan Manajemen Jalan
13.30 nafas tidak tindakan keperawatan Napas (I.01011)
efektif selama 1x8 jam O:
(D.0001) b.d diharapkan bersihan - Monitor pola
sekresi yang jalan nafas efektif napas (frekuensi,
tertahan dengan kriteria hasil: kedalaman, usaha
Bersihan jalan nafas napas)
(L.01001) - Monitor bunyi
napas tambahan (
ronkhi)
Indikator A T - Monitor sputum
- Batuk 5 1 (jumlah, warna,
efektif aroma)
- Produksi 1 5 T:
sputum - Posisikan pasien
- Dispnea 1 5 semifowler/fowler
- Berikan minum
hangat
- Lakukan
penghisapan lendir
kurang dari 15
detik
- Berikan oksigen,
jika perlu
E:
- Ajarkan teknik
batuk efektif
K:
- Kolaborasi
pemberian
ekspektoran
Keterangan :
A: Awal
T: Tujuan
1: Meningkat
2: Cukup Meningkat
3: Sedang
4: Cukup Menurun
5: Menurun
- Implementasi & Evaluasi
Tgl/Waktu Implementasi & Respon Evaluasi Paraf
29/12/2020 - Memonitor KU & TTV S: Tohid
13.30 Ds: - - Pasien mengatakan sesak berkurang dan
Do: KU: BAIK, TD: 120/70 mmHg, N= 98x/menit, batuk berdahak
RR= 24x/menit, S=36.5oC O:
- Memonitor bunyi napas tambahan - Sesak berkurang
Ds: Pasien mengatakan batuk berdahak - Batuk berdahak
Do: Terdengar suara ronkhi - Dahak belum keluar
- Memposisikan pasien semifowler - Terdengar bunyi nafas ronkhi
Ds: Pasien mengatakan lebih nyaman - Perkusi redup di lobus inferior dextra
Do: Pasien telah pada posisi semi fowler - Cuping hidung berkurang
- Memberikan terapi oksigen dengan nasal kanul 4 - Penggunaan otot bantu napas berkurang
lpm - Terpasang nasal kanul dengan oksigen 4 lpm
Ds: Pasien mengatakan lebih nyaman, sesak - Irama nafas reguler
berkurang - KU: Baik
Do: Pasien terpasang nassal kanul - Kesadaran compos mentis
- Memonitor pola napas (frekuensi, kedalaman, - GCS : 15 (E4M65)
usaha napas)
Ds: mengeluh masih sesak - TD: 120/70 mmHg, N= 98x/menit, RR=
Do: RR 20x/mnt, irama reguler, pernafasan 24x/menit, S=36.5oC
dangkal, nafas cuping hidung A: Masalah bersihan jalan napas belum teratasi
- Memonitor sputum Indikator A T Ak
Ds:Pasien mengatakan dahak belum bisa - Batuk efektif 5 1 3
dikeluarkan - Produksi sputum 1 5 2
Do: Dahak belum keluar - Dispnea 1 5 2
- Menganjurkan dan memberikan air hangat sebelum
melakukan batuk efektif P: Lanjutkan intervensi
- Mengajarkan teknik batuk efektif - Monitor TTV
Ds: klien mengatakan paham cara batuk - Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman,
efektif Do: klien dapat mempraktekan batuk usaha napas)
efektif - Monitor bunyi napas tambahan ( ronkhi)
- Mengkolaborasi pemberian terapi dan ekspektoran - Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
Ds: - - Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15
Do: Memberikan infus RL 20 tpm, injeksi detik
ceftriaxone 2x1 gram, injeksi ranitidin 2x1ampul, - Terapi lanjut : infus RL 20 tpm, injeksi
methylprednisolone 2 x 62,5 mg dan combivent ceftriaxone 2x1 gram, injeksi ranitidin
respule /8 jam
2x1ampul, methylprednisolone 2 x 62,5 mg
dan combivent respule 8 jam
KASUS E2 (Fraktur Femur 1/3 Proksimal Dekstra)
Tn. L usia 27 tahun diantar keluarga ke UGD karena kecelakaan. Mengalami
deformitas kaki kanan, terdapat jejas di paha kanan. Pasien terlihat lemas, sesak,
nyeri pada kaki sebelah kanan skala 9, nyeri terus menerus dan dirasa saat kaki
kanan digerakkan, ada krepitasi, penurunan kesadaran, GCS: E2M3V2, wajah
pucat, mukosa bibir kering, konjungtiva anemis, Hb= 9 g/dL ada sianosis pada
kaki sebelah kanan, S= 35.6oC, SpO2:93%, akral dingin, capilary refill 4 detik.
Frekuensi nadi 130 kali/menit, nadi lemah, irama ireguler, frekuensi nafas 25
kali/menit, irama reguler, cuping hidung (+), tidak ada hambatan jalan nafas,
tekanan darah 60/40 mmHg .Pupil:Pupil isokhor, bentuk pupil bulat, reflek cahaya
(+) , diameter pupil 2 mm, respon pupil baik, ekstermitas: sensorik (+), motorik
(+) panjang kaki asimetris, kekuatan otot : 5/5/5/2. Hasil foto Rontgen close
fraktur femur 1/3 proksimal dekstra. Pasien mengatakan memiliki golongan darah
O, BB=50 kg, TB=164 cm.Terapi yang diberikan infus RL 30 tpm, oksigen
dengan NK 6 lpm, keterolac 3x30 mg,injeksi ranitidin 3 x 50 mg, injeksi cefazolin
3 x 1 gr, injeksi metamizole 3x1 gr.
I. Asuhan Keperawatan
- Diagnosa Keperawatan
Diagnosa
No Data Fokus Pathways
Keperawatan
1 Ds: Pasien mengatakan Hipovolemia Trauma langsung
lemas (D.0023) b.d
Do: kehilangan Fraktur Femur
- Wajah terlihat pucat cairan aktif
- Mukosa bibir sianosis Diskontinuitas tulang
femur
- Hb: 9.2 g/dL
- Deformitas pada kaki
Perubahan jaringan
kanan sekitar
- Terdapat jejas di pada
kanan Laserasi kulit
- Nadi teraba lemah
- Akral dingin Putusnya pembuluh
- Penurunan kesadaran darah,vena/arteri
Trauma langsung
- Kesadaran delirium
- GCS : 7 (E2M3V2)
Pendarahan
- CRT= 4 detik
- TD: 60/40 mmHg, N= Kehilangan volume
cairan
130x/menit, RR=
25x/menit, S=35.6oC
Hipovolemia
Foto Rontgen close
fraktur femur 1/3
proksimal dekstra.
- Riwayat post kll
2 Ds : pasien mengatakan Perfusi perifer Trauma langsung
lemas dan nyeri pada tidak efektif
kaki sebelah kanan (D.0009) b.d Fraktur Femur
Do: penurunan aliran
- Nadi perifer menurun arteri dan vena Diskontinuitas tulang
femur
- Deformitas pada kaki
kanan
Perubahan jaringan
- Terdapat jejas di paha sekitar
kanan
- Nadi teraba lemah Laserasi kulit
- Akral dingin
- CRT= 4 detik Spasme otot
- Wajah pucat
- Konjungtiva anemis Pelepasan histamin
Edema
Penekanan pembuluh
darah
Disusun oleh :
TOHIDIN SAEFUL AJI
2011040130
B. Etiologi
Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan didalam abdomen berupa
inflamasi dan penyulit misalnya perforasi appendisitis, perforasi tukak
lambung, perforasi tifus abdominalis. Ileus obstruktif dan pendarahan oleh
perforasi organ berongga karena trauma abdomen (Barretti, 2009).
Menurut Nanda (2015), penyebab dari peritonitis antara lain:
1. Infeksi bakteri
a. Mikroorgnisme berasal dari penyakit saluran grastointestinal
b. Appendisitis yang meradang dan perforasi
c. Tukak peptik (lambung/duodenum)
d. Tukak thypoid
e. Tukak disentri amuba/colitis
f. Tukak pada tumor
g. Salpingitis
h. Divertikulitis
2. Secara langsung dari luar
a. Operasi yang tidak steril
b. Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida.
Peritonitis yang disertai pembentukan jaringan granulomatosa
respon terhadap benda asing, disebut juga peritonitis
granulomatosa merupakan peritonitis lokal.
3. Saluran hemogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut saluran
pernafasan atas, otitis media, mastoiditis, glomerulor. Penyebab utama
streptokokus atau pneumokokus.
Peritonitis Hipertermia
Kerusakan
integritas
kulit
F. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Yasmara (2017), Pemeriksaan pada peritonitis adalah
sebagai berikut :
1. Laboratorium : Hitung darah lengkap menunjukkan lekositosis (normal:
4500-10000 uL)
2. Rontgen abdomen : menunjukkan distensi gas dan edema pada usus halus
dan usus besar. Dengan perforasi organ visera, ronsen menunjukkan udara
di rongga abdomen
3. Foto thorak : menunjukkan elevasi diagfragma
4. CT Scan : menunjukkan cairan dan inflamasi
5. Parasintesis : menunjukkan sifat eksudat dan menunjukkan uji kultur bakteri
G. Penatalaksanaan
1. Medis
Resusitasi/penggantian cairan dan elektrolit yang hilang
dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai,
dekompresi saluran cerna dan penghisapan nasogastrik dan intestinal,
pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya,
bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan
menghilangkan nyeri (Anonim,2008)
Terapi antibiotik harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis
bakteri dibuat. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang
dicurigai menjadi penyebab. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat
pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama operasi
(Schwartz et al, 2009)
Pembedahan atau laparotomi mungkin dilakukan untuk mencegah
peritonitis. Bila perforasi tidak dicegah, intervensi pembedahan mayor
adalah insisi dan drainase terhadap abses ( Saifuddin, 2008).
2. Keperawatan
a. Pengawasan tanda-tanda vital secara kontinue tiap jam
b. Pemberian terapi intravena
c. Pemeriksaan laboratorium
d. Observasi intake output
e. Diet makan lunak
f. Debridement Post Op Laparotomi
H. Fokus Pengkajian
1. Pengkajian primer:
a. Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan
sekret akibat kelemahan reflek batuk
b. Breathing
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya
pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar
ronchi /aspirasi
c. Circulation
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut,
takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan
membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut
2. Pengkajian sekunder
a. Aktivitas/istirahat
1) Kehilangan fungsi pada bagian yangterkena
2) Keterbatasan mobilitas
b. Sirkulasi
1) Hipertensi (kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas)
2) Hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah)
3) Tachikardi
4) Penurunan nadi pada bagiian distal yang cidera
5) Cailary refil melambat
6) Pucat pada bagian yang terkena
7) Masa hematoma pada sisi cedera
c. Neurosensori
1) Kesemutan
2) Deformitas, krepitasi, pemendekan
3) Kelemahan
d. Kenyamanan
1) Nyeri tiba-tiba saat cidera
2) Spasme/ kram otot
e. Keamanan
1) Laserasi kulit
2) Perdarahan
3) Perubahan warna
4) Pembengkakan lokal
Diagnosa Nama/
No SLKI SIKI
Keperawatan Paraf
1. Hipertermia Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Hipertermia (I.15506) Tohid
(D.0130) b.d selama 1x8 jam diharapkan suhu tubuh O :
proses penyakit dalam rentang normal dengan kriteria - Identifikasi penyebab hipertermia (mis.
(Peritonitis) hasil : dehidrasi, terpapar lingkungan
Termogulasi (L.14134) panas,penggunaan inkubator)
Indikator A T - Monitor suhu
- Menggigil 1 5
- Monitor kadar elektrolit
- Suhu tubuh 1 5
- Monitor haluaran urine
- Suhu kulit 1 5
- Monitor komplikasi akibat hipertemia
T:
Keterangan:
- Sediakan lingkungan yang dingin
A: Awal
T: Tujuan - Longgarkan atau lepas pakaian
1: Meningkat - Basahi dan kipasi permukaan tubuh
2: Cukup meningkat - Berikan cairan oral
3: Sedang - Hindari pemberian antipiretik atau aspirin
4: Cukup menurun
- Berikan oksigen, jika perlu
5: Menurun
E:
- Anjurkan tirah baring
K:
- Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit
intravena
2. Penurunan curah Setelah dilakukan tindakan keperawatan Perawatan Jantung (I.02075) Tohid
jantung (D.0008) selama 1x8 jam diharapkan keadekuatan O :
b.d Perubahan jantung memompa darah meningkat - Identifikasi tanda/gejala primer penurunan
afterload dengan kriteria hasil : curah jantung
Curah Jantung (L.02008) - Identifikasi tanda/gejala sekunder penurunan
Indikator A T curah jantung
- Takikardi 1 5
- Monitor tekanan darah
- CRT 1 5
- Monitor intake dan output cairan
- Kekuatan nadi 1 5
- Monitor saturasi oksigen
perifer
- Monitor keluhan nyeri dada
- Monitor EKG 12 sadapan
Keterangan:
A: Awal T:
T: Tujuan - Berikan posisi semi fowler/fowler
1: Meningkat - Berikan diet jantung yang sesuai
2: Cukup meningkat - Berikan oksigen untuk mempertahankan
3: Sedang
saturasi >94%
4: Cukup menurun
5: Menurun -
E:
- Anjurkan beraktivitas sesuai toleransi
K:
- Kolaborasi pemberian antiaritmia
3 Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Nyeri (I.08238) Tohid
(D.0077) b.d. agen selama 1 x24 jam diharapkan, masalah O :
pencedera biologis nyeri akut dengan kriteria hasil : - Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
Tingkat Nyeri (L.08066) frekuensi, kualitas, intensitas
Indikator A T - Identifikasi skala nyeri
- Keluhan nyeri 1 5
- Identifikasi respons nyeri non verbal
- Meringis 1 5
- Pola napas 1 5 T:
- Tekanan darah 1 5 - Berikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi nyeri
Keterangan: E:
A: Awal - Ajarkan teknik relaksasi untuk mengurangi
T: Tujuan nyeri
1: Meningkat K:
2: Cukup meningkat - Kolaborasi pemberian analgetik
3: Sedang
4: Cukup menurun
5: Menurun
4. Defisit nutrisi Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Nutrisi (I.08238) Tohid
(D.0019) b.d selama 1 x 8 jam diharapkan asupan O :
ketidakmampuan nutrisi membaik dengan kriteria hasil : - Identifikasi status nutrisi
menelan makanan Status nutrisi (L.03030) - Identifikasi perlunya penggunaan selang
Indikator A T nasogastrik
- Porsi yang 1 5 - Monitor asupan makanan
dihabiskan
- Frekuensi 1 5 - Monitor hasil laboratorium
makan T:
- Nafsu makan 1 5 - Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi
- Bising usus 1 5 protein
E:
Keterangan: - Anjurkan posisi duduk, jika mampu
A: Awal K:
T: Tujuan - Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
1: Menurun
2: Cukup menurun menentukan jumlah kalori dan jenis nutrien
3: Sedang yang dibutuhkan
4: Cukup meningkat
5: Meningkat
5. Gangguan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Perawatan Luka (I.14564) Tohid
integritas kulit selama 1 x 8 jam diharapkan integritas O :
(D.0129) b.d kulit meningkat dengan kriteria hasil : - Monitor karakteristik luka (mis. drainase,
tindakan invasif Integritas kulit (L.14125) warna, ukuran, bau)
Indikator A T - Monitor tanda-tanda infeksi
- Kerusakan 1 5 T:
jaringan
- Lepaskan balutan dan plester secara perlahan
- Kerusakan 1 5
lapisan kulit - Bersihkan dengan NaCl
- Pertahanakan teknik steril saat melakukan
Keterangan: perawatan luka
A: Awal - Pasang balutan sesuai jenis luka
T: Tujuan - Ganti balut sesuai jumlah eksudat dan
1: Meningkat
2: Cukup meningkat drainase
3: Sedang E:
4: Cukup menurun - Anjurkan mengkonsumsi makanan tinggi
5: Menurun protein dan kalori
K:
- Kolaborasi pemberian antibiotik
DAFTAR PUSTAKA
Suplai oksigen ke
Miokard menurun
Seluler hipoksia
Suplai oksigen ke
Miokard menurun
Frekuensi nafas
meningkat
Spasme otot
Pelepasan histamin
Edema
Penekanan pembuluh
darah
I. Asuhan Keperawatan
- Diagnosa Keperawatan
Diagnosa
No Data Fokus Pathways
Keperawatan
1 Ds: Pasien mengatakan Defisit nutrisi Invasi kuman ke lapisan
lemas dan kesulitan (D.0019) b.d peritoneum
mengunyah makanan ketidakmampuan
menelan
Do: Proliferasi bakteri
- Wajah terlihat pucat
- Mukosa bibir kering
- Hb: 9.2 g/dL Perionitis
- Kemampuan
mengunyah (-)
- Bising usus (-) Penurunan aktivitas
- BB saat ini 42, fibriinolitik intra-
TB=154 cm, abdomen
IMT=17,71 (Berat
Badan Kurang)
- Hasil lab Albumin: 2,4 Pembentukan eksudat
g/dl (kurang dari fibrinosa atau abses
normal), Hb: 9,2 g/dl pada peritoneum
(kurang dari normal),
Ht : 29 % (kurang dari
normal), Protein total: Gangguan
4,5 g/dl gastrointestinal
- Akral hangat
- Penurunan kesadaran
- Kesadaran delirium Mual, muntah,
- GCS : 7 (E2M3V2) kembung, anoreksia
- CRT=2 detik
- TD: 120/65 mmHg, N=
84x/menit, RR= Defisit nutrisi
o
20x/menit, S=37 C
- Riwayat post
Laparatomi Eksplorasi
e.c. peritonitis (H+3)
2 Ds : pasien mengatakan Gangguan Invasi kuman ke lapisan
terdapat luka operasi integritas peritoneum
Do: jaringan b.d
- Terdapat luka prosedur invasif
kolostomi Proliferasi bakteri
- Terpasang drain pada
sisi kiri dan kanan
abdomen Perionitis
- Riwayat post
Laparatomi Eksplorasi
e.c. peritonitis (H+3) Penurunan aktivitas
fibrinolitik intra-
abdomen
Pembentukan eksudat
fibrinosa atau abses
pada peritoneum
Intervensi bedah
laparotomi
Pascaoperasi
Port de entree
Pascabedah
Gangguan integritas
jaringan kulit
- Rencana Keperawatan
Diagnosa
Tgl/Waktu SLKI SIKI
Keperawatan
06/01/21 Defisit nutrisi Setelah dilakukan Manajemen Nutrisi
13.30 (D.0019) b.d tindakan keperawatan Parenteral (I.06194)
ketidakmampuan selama 1x8 jam O:
menelan diharapkan asupan - Identifikasi
nutrisi adekuat dengan indikasi
kriteria hasil: pemberian nutrisi
Motilitas parenteral
Gastrointestinal (gangguan
(L03023) motilitas usus)
Indikator A T - Monitor asupan
- Serum 1 5 nutrisi
albumin - Monitor terjadinya
- Bising 1 5 komplikasi
usus (mekanik septik,
- Membran 1 5 metabolik)
mukosa - Monitor hasil lab
T:
- Berikan nutrisi
Keterangan : parenteral sesuai
A: Awal indikasi
T: Tujuan - Atur kecepatan
1: Menurun pemberian infus
2: Cukup Menurun dengan tepat
3: Sedang E:
4: Cukup Meningkat - Jelaskan tujuan
5: Meningkat dan prosedur
pemberian nutrisi
parenteral
K:
- Kolaborasi
pemberian nutrisi
parenteral
- Implementasi & Evaluasi
Tgl/Waktu Implementasi & Respon Evaluasi Paraf
06/01/2021 - Mengidentifikasi indikasi pemberian nutrisi S: Tohid
13.30 parenteral - Pasien mengatakan masih
Ds: pasien mengatakan lemas dan kesulitan lemas O:
menguyah makanan - Wajah terlihat pucat
Do: kemampuan menguyah (-), bising usus (-), - Mukosa bibir kering
pasien lemas - Hb: 9.2 g/dL, Albumin: 2,4 g/dl, Hb: 9,2 g/dl,
- Memonitor asupan nutrisi Ht : 29 %, Protein total: 4,5 g/dl
Ds:pasien mengatakan belum makan makanan - Bising usus (-)
apapun - Kemampuan menguyah (-)
Do: pasien terlihat lemas - Akral hangat
- Memonitor hasil - Kesadaran delirium
lab Ds: - - GCS : 10 (E3M4V3)
Do: Albumin: 2,4 g/dl, Hb: 9,2 g/dl, Ht : 29 %, - CRT= 2 detik
Protein total: 4,5 g/dl - TD: 120/70 mmHg, N= 90x/menit, RR=
- Memberikan nutrisi parenteral sesuai 20x/menit, S=37.1oC
indikasi Ds:- A: Masalah defisit nutrisi belum teratasi
Do: Memberikan albumin 20% 50-100 ml 125 tpm Indikator A T Ak
- Mengatur kecepatan pemberian infus dengan tepat - Serum albumin 1 5 2
Ds: - - Bising usus 1 5 2
Do: Pasien terpasang akses IV NaCl 20 tpm
- Membran mukosa 1 5 2
- Menjelaskan tujuan dan prosedur pemberian
nutrisi parenteral
Ds: Keluarga mengatakan paham tujuan pemberian P: Lanjutkan intervensi
albumin - Monitor KU & TTV
Do: Keluarga menyetujui pemberian albumin - Monitor tanda-tanda komplikasi pemberian
- Mengkolaborasikan pemberian nutrisi parenteral albumin
Ds:- - Pertahankan pemberian cairan IV NaCl 20
Do: Memberikan albumin 20% 50-100 ml 125 tpm tpm
- Terapi lanjut : albumin 20% 50-100 125 tpm
- Rujuk ke dokter spesialis penyakit dalam
LAPORAN PENDAHULUAN
KEPERAWATAN KRITIS
MYASTHENIA GRAVIS
Disusun oleh :
TOHIDIN SAEFUL AJI
2011040130
B. Etiologi
Penyebab myasthenia gravis belum dapat dipastikan (Corwin, 2009).
Mungkin kemungkinan dapat diakibatkan oleh adanya antibodi terhadap
reseptor saraf otot dan penggunaan obat-obatan seperti antibiotik (mikroid,
flurokuinolon, aminoglikosida, tetrasiklin, klorokuin, obat anti aritmia
(penyekat-β, penyekat kanal-Ca, kuinidin, lidokain, prokainamid, dan
trimethaptan), difenilhidation, litium, klorpromazin, pelemas otot,
levotrikosin, ACTH, serta penggunaan kortikosteroid intermiten (Dewanto,
2009). Kontraksi otot berulang dan terus menerus juga berakibat pada
kelemahan (Rubenstein, 2007).
C. Tanda dan Gejala
Gejala awal yang dialami pasien MG adalah kelemahan otot yang
dapat bervariasi setiap pasiennya (Vincent, 2011 dalam Barber, 2017). Sekitar
15% pasien MG mengalami ptosis (kelemahan otot kelopak mata) atau
diplopia (penglihatan ganda), sementara manifestasi klinis lainnya seperti
kelemahan umum yang mempengaruhi gerakan wajah, mengunyah, menelan,
dan berbicara. Kesulitan bernafas juga dialami oleh penderita MG apabila
pasien dalam posisi terlentang atau membungkuk (Grob, 2008 dalam Barber,
2017).
Kelemahan otot pernafasan akan mengakibatkan gagal nafas yang
merupakan komplikasi serius pada MG. Sebanyak 15 % – 20 % pasien
dengan MG setidaknya pernah mengalami satu kali myasthenic crisis.
Myasthenic crisis merupakan keadaan darurat medis yang terjadi akibat otot-
otot yang mengontrol pernafasan melemah hingga pasien membutuhkan
ventilator untuk bernafas (Bershad & Suarez, 2008). Keluhan kelemahan pada
pasien MG dengan riwayat krisis akan meningkat sepanjang hari (Komarudin
& Chairani, 2019).
D. Patofisiologi
Miastenia gravis dapat menyebabkan kelemahan otot yang mengontrol
gerakan mata (miastenia gravis okular) atau dapat memengaruhi otot lain
yang berada di seluruh tubuh (miastenia gravis umum). Perkembangan
penyakit bervariasi yang dapat berkembang lambat, dengan atau tanpa remisi,
atau berkembang cepat hingga menyebabkan kematian akibat paralisis otot
pernapasan yang mengarah pada gagal napas.
Penyebab miastenia gravis tidak diketahui, namun berkaitan dengan
kecenderungan anggota keluarga yang mengalami penyakit autoimun.
Kelenjar timus seringkali mengalami hyperplasia, namun pada masa anak-
anak berfungsi normal. Corwin (2008) menyebutkan bahwa kelainan pada
timus dapat mencetuskan atau melanjutkan respons imun.
Asetilkolin (ACh) merupakan neurotransmitter utama pada area tautan
neuromuskular (neuromuscular junction) (Woodward & Mestecky, 2011).
Lebih lanjut dijelaskan ujung serabut saraf mengeluarkan ACh yang akan
berikatan dengan Nicotinyl Acetylcholine Receptor (n-AChR) di membran
otot yang akan menginisiasi terjadinya kontraksi otot. Selanjutnya, sisa ACh
yang tidak berikatan dengan reseptor asetilkolin akan dihancurkan oleh ACh
esterase (AChE) pada synaptic space. Kerusakan sistem saraf perifer yang
terjadi pada miastenia gravis ditandai dengan pembentukan auto-antibodi
yang menyerang reseptor asetilkolin di daerah motor end-plate otot rangka.
Auto-antibodi IgG secara kompetitif berikatan dengan reseptor asetilkolin
(AChR) dan mencegah pengikatan asetilkolin ke reseptor sehingga merusak
reseptor serta mencegah terjadinya kontraksi otot (Corwin, 2008). Pada
sebagian besar kasus, antibodi berikatan dengan Nicotinic Acetylcholine
Receptors (nAChR) maupun struktur lain seperti Muscle Specific Tyrosin
Kinase (MuSK). Ikatan antibodi inilah yang menginisiasi proses imun pada
tubuh yang bertujuan untuk menurunkan jumlah dari nAChR sehingga dapat
menurunkan transmisi pada tautan saraf (Musilek et al., 2012).
Terdapat tiga mekanisme menurunnya fungsi dari AChR diantaranya:
1. Antibodi membuat ikatan dan cross-linking pada AchR sehingga
mempercepat degradasi dari AChR
2. Aktivasi sistem komplemen yang berujung pada kerusakan pada lapisan
post- sinaps.
3. Menghalangi lokasi terjadinya ikatan antara asetilkolin dan reseptornya
(Bufler, 1996 dalam Toyka & Gold, 2007).
AChR dapat ditemukan pada permukaan sel-sel otot dan
terkonsentrasi pada sinaps antara sel-sel saraf dan sel-sel otot. AChR
terbentuk dari lima jenis rantai protein (2αβεδ pada dewasa dan 2δβγδ pada
fetus). Rantai α (alpha) memiliki lokasi tempat ACH berikatan dengan AChR
pada sisi eksternal dan memiliki area immunogenic utama yang dapat dikenali
oleh anti-AChR. Pada kondisi normal, ketika ACh berikatan dengan kedua
rantai tersebut menyebabkan bentuk pada keseluruhan reseptor akan berubah.
Perubahan ini menghasilkan sebuah saluran atau jalan yang merupakan
konfirmasi untuk terjadinya perubahan muatan ion dengan cara perpindahan
ion melintasi
membran, menghasilkan potensial pada endplate, dan menginisiasi terjadinya
kontraksi otot ( elizabeth J. Corwin, 2008).
Toyka dan Gold (2007) juga menyebutkan bahwa timus berperan
dalam menginisiasi respon autoimun terhadap AChR pada miastenia gravis.
Timus berperan dalam proses diferensiasi sel T. Pada kebanyakan kasus
miastenia gravis, ditemukan perubahan struktur dan fungsi dari kelenjar timus
yakni adanya tumor (thymoma) maupun tingginya jumlah sel B dalam tubuh
(follicular hyperplasia). Ricciardi et al. (2016) menegaskan bahwa kondisi
abnormalnya produksi antibodi pada pasien miastenia gravis dapat dipicu
oleh kelainan pada timus seperti hyperplasia (65% kasus), thymoma (10-15%
kasus), dan artrofi (1-2% kasus). Pilosso dan Moran (2013) dalam Berrih-
aknin & Panse (2014) menyebutkan bahwa dari 302 pasien dengan thymoma
55% diantaranya merupakan pasien dengan miastenia gravis dan 39%
diketahui mengalami gangguan autoimun.
E. Pathway
Tinoma
Proses autoimun
Otot
Otot-otot Otot wajah, pernapasan
okular laring, faring
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat diberikan diantaranya timektomi,
asetikolinerase, imunosupresan, plasmaferesis, hingga tindakan operatif
timektomi. Setiap pasien memiliki hasil yang berbeda-beda setelah menjalani
pengobatan dan masa perawatan lalu kembali ke rutinitas sehari-hari. Bisa
jadi hanya sedikit perubahan yang muncul dalam kemampuan mereka atau
bahkan sampai mengalami keterbatasan baik secara fisik, kognitif, maupun
keduanya.
Sampai saat ini belum ada penatalaksanaan yang pasti bagi tiap-tiap
pasien miastenia gravis. Terapi farmakologi yang dapat dikonsumsi oleh
pasien pun terbatas dikarenakan respon alergi yang berbeda-beda untuk
masing- masing individu. Hal ini dipertegas dengan studi kasus pada pasien
miastenia gravis berusia 85 tahun yang mengalami CAP (Community
Acquired Pneumonia) dan penurunan fungsi pernapasan. Pemberian antibiotik
untuk meredakan gejala CAP menjadi faktor pemberat dari miastenia
gravisnya akibat proses alergi (Berkel et al., 2016). Penatalaksanaan pada
miastenia gravis dengan terapi konvensional tidak dapat memberikan hasil
akhir kesembuhan pasien secara menyeluruh sedangkan pemberian
immunosupresan pada pasien juga dapat memberikan efek samping yang
berat (Twork et al., 2010). Kondisi ini membuat pemberian terapi dan
pengawasan penatalaksanaan pada pasien miastenia gravis memerlukan
perhatian dari tenaga kesehatan sebagai provider pemberi asuhan.
Penatalaksanaan pada fase akut difokuskan untuk mengurangi titer
antibodi yang ada pada tubuh dengan dilakukannya plasmaferesis, pemberian
immunoglobulin (IVIg), dan pemberian kortikosteroid (Godoy, Mello,
Masotti, & Napoli, 2013). Salah satu penatalaksanaan yang dapat diberikan
yaitu therapeutic plasma exchange atau yang lebih dikenal dengan
plasmaferesis. Pada kebanyakan kelainan neurologi sepeti miastenia gravis,
cairan pengganti yang dianjurkan adalah albumin 5% (McLeod, 2010;
Winters, 2008 dalam Dyar, 2013). Setelah atau pada saat dilakukan
plasmaferesis, reaksi vasovagal dapat terjadi yang ditandai dengan nyeri,
diaphoresis, hipotensi, dan bradikardi (frekuensi denyut nadi dapat menurun
hingga 30 kali dalam satu menit).
Penatalaksanaan lain yang dapat diberikan pada pasien miastenia
gravis adalah dilakukannya prosedur timektomi. Meta-analisis yang
dilakukan Gronseth dan Barohn (2000) dalam Schneider-gold dan Toyka
(2007) menyatakan bahwa thymectomy yang dilakukan pada pasien miastenia
gravis di bawah usia 45 tahun menunjukan peningkatan prognosis penyakit.
Hasil penelitian tersebut sejalan dengan Twork, Wiesmeth, Klewer, Pöhlau,
dan Kugler (2010) dalam penelitiannya yang menyebutkan bahwa pasien
miastenia gravis yang menjalani timektomi memiliki kualitas hidup yang
lebih baik dibandingkan dengan pasien yang hanya menjalani pengobatan
konservatif. Mendukung penelitian sebelumnya, Jakubíková et al. (2015)
dalam penelitiannya terkait tindakan timektomi pada pasien miastenia gravis
menunjukkan peningkatan yang signifikan pada jumlah sel imun pasien
setelah dilakukannya timektomi yang dikombinasikan dengan pemberian
imunosupresan. Akan tetapi, pemberian imunosupresan dan tindakan
timektomi harus menjadi perhatian tenaga kesehatan dikarenakan dampaknya
yang dapat meningkatkan risiko penyakit dan menurunkan fungsi kesehatan
terutama pada geriatri. Dalam bukunya Corwin (2008) menjabarkan
penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien miastenia gravis, meliputi
peningkatan periode waktu istirahat, antikolinerase untuk memperpanjang
waktu paruh asetilkolin, anti- inflamasi untuk membatasi serangan autoimun,
atropine (penyekat asetilkolin) pada krisis koligernik, bantuan napas pada
kondisi krisis yang menyebabkan gagal napas, plasmaferesis (dialisis darah
dengan pengeluaran IgG), dan timektomi (pengangkatan timus melalui
pembedahan). Penatalaksaan pada pasien miastenia gravis seringkali
dilakukan dengan hasil jangka panjang yang bervariasi.
Pemberian asetilkolinerase pada pasien miastenia gravis merupakan
basic symptomatic treatment yang pemberiannya harus diperhatikan karena
harus dikonsumsi secara teratur dan berkelanjutan (Gilhus & Verschuuren,
2015; Meyer & Levy, 2010; Toyka & Gold, 2007). Toyka dan Gold (2007)
menambahkan bahwa pemberian asetilkolinerase memiliki efek samping
seperti anoreksia, mual dan muntah, bronkhokonstriksi, kongesti pada
konjungtiva, bradikardi, dan hipotensi. Bahan pertimbangan lain yang harus
menjadi perhatian tenaga kesehatan yakni pemberian antikolinerase yang
harus dibatasi hanya untuk meredakan gejala miastenik yang muncul agar
efek samping obat tidak terjadi. Pemberian asetilkolinerase pada dosis tinggi
dapat membahayakan kondisi pasien dan menyebabkan krisis koligernik
(Ricciardi et al., 2016). Pemberian asetilkolinerase pada pasien dengan
prognosis yang buruk dan semakin berkurangnya jumlah AChR tidak akan
efektif dan harus ditunjang dengan metode yang lain, salah satunya yakni
plasmaferesis.
Pemberian plasmaferesis merupakan manajemen akut dan pada
kelemahan otot yang luas. Pada plasmaferesis, plasma pasien akan terpisah
dari darah dan digantikan dengan saline maupun cairan yang lain. Cairan
yang sering digunakan untuk tindakan plasmaferesi pada pasien miastenia
gravis yakni albumin 5%. Plasmaferesis bertujuan untuk menurunkan jumlah
antibodi AChR. Plasmaferesis yang berulang (5 kali dalam waktu 5-10 hari)
dibutuhkan untuk menurunkan titer antibodi dan total IgG. Plasmaferesis
biasanya dilakukan pada kondisi krisis maupun sebelum dilakukan prosedur
pembedahan seperti timektomi maupun prosedur pembedahan lainnya (Dyar,
2013; Nair et al., 2014).
Miastenia gravis seringkali dihubungkan dengan kondisi timoma
sehingga timektomi menjadi salah satu pilihan penatalaksanaan medis bagi
pasien dengan miastenia gravis. Secara klinis timektomi menunjukan
peningkatan kondisi kesehatan dan menurunkan kesempatan terjadinya
komplikasi seperti krisis miastenik bahkan pada beberapa kasus tidak
ditemukan lagi kekambuhan (Hammoumi, Arsalane, Fayc¸al El Oueriachi, &
Kabiri, 2013; Bykov & Smolin., 2015; Ricciardi et al., 2016). Gilhus dan
Verschuuren (2015) menyebutkan bahwa tindakan timektomi harus dilakukan
sedini mungkin namun tidak menjadi kondisi emergency. Sejalan pentingnya
timektomi pada pasien dengan miastenia gravis, Ricciardi et al. (2016) yang
menyebutkan bahwa pada pasien miastenia gravis, prosedur timektomi
universally recommended dengan kata lain prosedur timektomi dianjurkan
bagi semua tipe miastenia gravis khususnya bagi pasien dengan miastenia
gravis positif antibodi AChR. Pada pasien dengan usia yang relatif muda
dengan tidak terbuktinya terdapat timoma, penatalaksanaan timektomi
membuat manifestasi klinis akibat miastenia gravis dapat terkontrol (Cantor,
2010).
Pemberian obat-obatan jenis immunosupresan seringkali tidak dapat
diterima dengan baik oleh pasien miastenia gravis dikarenakan efek samping
obat dalam pemberian yang lama dapat menurunkan kondisi imunitas dari
pasien (Dalakas, 2013). Pengembangan terapi medikasi berdasarkan evidence
based practice pada kasus miastenia gravis masih terus dilakukan dengan cara
clinical trial demi mendapatkan hasil yang maksimal dalam pemberian terapi
(Punga, Kaminski, Richman, & Benatar, 2015).
H. Fokus Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan
suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai
sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan
klien. Adapun yang perlu diperhatikan dalam pengkajian adalah :
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan,
no. register, diagnose medis.
2. Keluhan
3. Riwayat penyakit sekarang
4. Riwayat penyakit dahulu
5. Riwayat penyakit keluarga
6. Pemeriksaan Fisik
a. Sistem Pernapasan
Sesak napas, nyeri dada, batuk-batuk, terdapat retraksi,
klavikula/dada, pengambangan paru tidak simetris, fremitus
menurun dibandingkan dengan sisi yang lain, pada perkusi
ditemukan adanya suara sonor/hipersonor/timpani, hematotrax
(redup) pada asukultasi suara nafas, menurun, bising napas yang
berkurang/menghilang Pekak dengan batas seperti, garis
miring/tidak jelas. Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat.
Gerakan dada tidak sama waktu bernapas.
b. Sistem Kardiovaskuler
Nyeri dada meningkat karena pernapasan dan batuk.
takhikardia, lemah, pucat, hb turun/normal, hipotensi.
c. Sistem Persyarafan
Adanya kelemahan fungsi saraf
d. Sistem Perkemihan
Tidak ada
kelainan.
e. Sistem Pencernaan
Tidak ada
kelainan.
f. Sistem Muskuloskeletal–Integumen
Kemampuan sendi terbatas. Ada luka bekas tusukan benda
tajam. Terdapat kelemahan. Kulit pucat, sianosis, berkeringat,
atau adanya kripitasi sub kutan.
g. Sistem Endokrine
Terjadi peningkatan metabolisme.
h. Sistem Sosial / Interaksi
Tidak ada hambatan.
i. Spiritual
Ansietas, gelisah, bingung, pingsan.
I. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan ventilasi spontan (D.0004) b.d kelemahan otot pernapasan
2. Bersihan jalan napas tidak efektif (D.0001) b.d sekresi yang tertahan
3. Risiko infeksi (D.0142) b.d Prosedur invasif
4. Risiko aspirasi (D.0006) b.d penurunan refleks muntah dan/atau batuk
5. Intoleransi aktivitas (D.0056) ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen
6. Risiko jatuh (D.0143) b.d perubahan fungsi
kognitif/penurunan tingkat kesadaran
J. Rencana Keperawatan
Diagnosa
No SLKI SIKI Nama/Paraf
Keperawatan
1. Gangguan ventilasi Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Jalan Napas (I.01011)
O:
spontan (D.0004) b.d selama 3x24 jam diharapkan ventilasi
- Monitor pola napas (frekuensi,
kelemahan otot adekuat dengan kriteria hasil : kedalaman, usaha napas)
pernapasan Ventilasi Spontan (L.01007) - Monitor bunyi napas tambahan (
ronkhi)
Indikator A T - Monitor sputum (jumlah, warna,
aroma)
PCO2 1 5 T:
PO2 1 5 - Posisikan pasien semifowler/fowler
- Lakukan penghisapan lendir kurang
Takikardi 1 5
dari 15 detik
Keterangan : - Lakukan hiperoksigenasi sebelum
A: Awal penghisapan endotrakeal
- Berikan oksigen, jika
T: Tujuan perlu E:
1: Memburuk - Ajarkan teknik batuk
efektif K:
2: Cukup Memburuk - Kolaborasi pemberian ekspektoran
3: Sedang
4: Cukup Membaik
5: Membaik
Diagnosa
No SLKI SIKI Nama/Paraf
Keperawatan
2. Bersihan jalan napas Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Jalan Napas (I.01011)
tidak efektif (D.0001) selama 3x24 jam diharapkan bersihan jalan O:
- Monitor pola napas (frekuensi,
b.d sekresi yang nafas efektif dengan kriteria hasil: kedalaman, usaha napas)
tertahan Bersihan jalan nafas (L.01001) - Monitor bunyi napas tambahan (
ronkhi)
Indikator A T - Monitor sputum (jumlah, warna,
aroma)
Produksi sputum 1 5 T:
Dispnea 1 5 - Posisikan pasien semifowler/fowler
- Lakukan penghisapan lendir kurang
Pola nafas 1 5 dari 15 detik
Keterangan : - Lakukan hiperoksigenasi sebelum
penghisapan endotrakeal
A: Awal
- Berikan oksigen, jika
T: Tujuan perlu E:
- Ajarkan teknik batuk
1: Meningkat
efektif K:
2: Cukup Meningkat - Kolaborasi pemberian ekspektoran
3: Sedang
4: Cukup Menurun
5: Menurun
Diagnosa
No SLKI SIKI Nama/Paraf
Keperawatan
3. Risiko infeksi Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pencegahan infeksi (I.14539)
(D.0142) b.d Prosedur 3x24 jam risiko infeksi menurun ditandai O:
dengan kriteria hasil: - Monitor tanda dan gejala infeksi
invasif lokal dan sistemik
Tingkat infeksi (L.14137)
Indikator A T T:
Kadar sel darah putih 2 5 - Batasi jumlah pengunjung
- Berikan perawatan kulit pada area
Keterangan: edema
1. Memburuk - Cuci tangan sebelum dan sesudah
2. Cukup memburuk kontak dengan pasien dan
3. Sedang lingkungan pasien
4. Cukup membaik - Pertahankan teknik
5. Membaik aseptik E:
- Ajarkan pasien/keluarga cara cuci
tangan dengan benar
K:
- Kolaborasi pemberian antibiotik, jika
perlu
Diagnosa
No SLKI SIKI Nama/Paraf
Keperawatan
4. Risiko aspirasi Setelah dilakukan tindakan keperawatanPencegahan Aspirasi (I.01011)
O:
(D.0006) b.d selama 3x24 jam diharapkan tingkat
- Monitor tingkat kesadaran, batuk,
penurunan refleks aspirasi menurun dengan kriteria hasil : muntah, dan kemampuan menelan
- Monitor status pernafasan
muntah dan/atau Tingkat Aspirasi (L.01006) - Monitor bunyi napas, terutama
batuk Indikator A T setelah makan/minum
- Periksa kepatenan selang nasogastrik
Tingkat kesadaran 1 5 sebelum memberikan asupan oral
Kemampuan menelan 1 5 T:
- Posisikan pasien semifowler 30
Akumulasi sekret 1 5 menit sebelum memberikan asupan
Keterangan : oral
- Pertahankan kepatenan jalan napas
A: Awal - Pertahankan pengembangan balon
T: Tujuan endotracheal tube (ETT)
- Lakukan penghisapan jalan napas,
1: Menurun jika produksi sekret meningkat
2: Cukup Menurun - Berikan makanan dengan ukuran
kecil atau lunak
3: Sedang E:
4: Cukup Meningkat - Anjurkan makan secara perlahan
5: Meningkat
Diagnosa
No SLKI SIKI Nama/Paraf
Keperawatan
5. Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Energi (I.050178)
O:
(D.0056) selama 3x24 jam diharapkan tingkat
- Identifikasi gangguan fungsi tubuh
ketidakseimbangan aspirasi menurun dengan kriteria hasil : yang mengakibatkan kelelahan
antara suplai dan - Monitor kelelahan fisik dan
Toleransi Aktivitas (L.05047)
emosional
kebutuhan oksigen Indikator A T - Monitor pola tidur
- Monitor lokasi dan
Keluhan lelah 1 5 ketidaknyamanan selama aktivitas
Dispnea saat aktivitas 1 5 T:
- Sediakan lingkungan nyaman dan
Keterangan :
rendah stimulus
A: Awal - Lakukan latihan rentang gerak pasif
T: Tujuan dan/atau aktif
E:
1: Meningkat - Anjurkan tirah
2: Cukup Meningkat baring K:
- Kolaborasikan dengan ahli gizi
3: Sedang tentang cara meningkatkan asupan
4: Cukup Menurun makanan
5: Menurun
Diagnosa
No SLKI SIKI Nama/Paraf
Keperawatan
6. Risiko jatuh (D.0143) Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pencegahan Jatuh (I.14540)
O:
b.d perubahan fungsi selama 3x24 jam diharapkan bersihan jalan
- Identifikasi faktor risiko jatuh
kognitif/penurunan nafas efektif dengan kriteria hasil: - Hitung risiko jatuh dengan skala
Morse Scale
tingkat kesadaran Tingkat Jatuh (L.05046)
T:
Indikator A T - Pasang handrail tempat tidur
- Atur tempat tidur mekanis pada
Jatuh dari tempat tidur 1 5 posisi terendah
Keterangan : E:
- Anjurkan memanggil perawat jika
A: Awal membutuhkab bantuan
T: Tujuan
1: Meningkat
2: Cukup Meningkat
3: Sedang
4: Cukup Menurun
5: Menurun
DAFTAR PUSTAKA
Barber, C. (2017). Diagnosis and management of myasthenia gravis. Nursing
Standart, 31(43), 42–47.
Berkel, M. A. Van, Twilla, J. D., & England, B. S. (2016). emergency
department management of myasthenia gravis patient with
community-acquired pneumonia: does initial antibiotic choice lead to
cure or crisis? Journal of Emergency Medicine, 50(2), 281
285.http://doi.org/10.1016/j.jemermed.2015.04.019
Berrih-aknin, S., & Panse, R. le. (2014). Myasthenia gravis : A comprehensive
review of immune dysregulation and etiological mechanisms. Journal
of Autoimmunity, 52, 90 100. http://doi.org/10.1016/j.jaut.2013.12.011
Corwin, E. J. (2009). Buku saku patofisiologi. Jakarta: EGC, 251-252
Dewanto, Suwono, Riyanto & Turana. (2009). Panduan Praktis Diagnosis &
Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC
Kamarudin, S., & Chairani, L. (2019). Tinjauan Pustaka: Miastenia Gravis.
Syifa'MEDIKA: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, 10(1), 62-70.
Kementerian Kesehatan RI. (2017) Situasi Lupus di Indonesia. Infodatin
McCance, Kathryn L., Huether, Sue E. (2019). Buku Ajar Patofisiologi. 6th ed
Volume 1 by Djoko WahonoSoeatmadji, Retty Ratnawati, Hidayat
Sujuti. SIngapore : Elsevier Mosby. : ISBN Vol 2 978-981-4570- 86-2
Musilek, K., Komloova, M., Holas, O., Horova, A., Zdarova-karasova, J., & Kuca,
K. (2012). myasthenia gravis-current treatment standards and
emerging drugs, a look into myasthenia gravis. ( joseph a Pruitt, Ed.).
National Institute of Neurological Disorders and Stroke. (2019). Myastenia
Gravis Fact Sheet. Retrieved from :
https://www.ninds.nih.gov/disorders/ patient-caregiver-education/fact-
sheets/Myastenia-gravis-fact-sheet. Diakses tanggal 11 Desember
2020
Ricciardi, R., Melfi, F., Maestri, M., Rosa, A. De, Petsa, A., & Mussi, A. (2016).
Endoscopic thymectomy : a neurologist’ s
perspective. Annals of Cardiothoracic Surgery, 5(1), 38–44.
http://doi.org/10.3978/j.issn.2225- 319X.2015.12.02
Rubenstein, David, dkk. 2007. Lecture Notes Kedokteran Klinis. Dialih
bahasakan oleh Annisa Rahmalia. Jakarta : Erlangga
SDKI. (2018). Definisi dan Indikator Diagnostik Edisi 1 Cetakan II. Jakarta :
DPP PPNI
Sigh, S.K., Kumar, V., Kumar, A. (2016). Myasthenia Gravis: Challenges and
Therapeutics Solution. Journal Neurol Neurosci,6 (1)
SIKI. (2018). Definisi dan Tindakan Keperawatan Edisi 1 Cetakan II. Jakarta :
DPP PPNI
SLKI. (2018). Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan Edisi 1 Cetakan II.
Jakarta : DPP PPNI
Toyka, K. V., & Gold, R. (2007). Treatment of myasthenia gravis. Scweizer
Archiv for Neurologie Und Psychiatrie, 309–321.
Twork, S., Wiesmeth, S., Klewer, J., Pöhlau, D., & Kugler, J. (2010). Quality of
life and life circumstances in German myasthenia gravis patients.
Health and Quality of Life Outcomes, 8, 1–10.
Woodward, S., & Mestecky, A. (2011. Nerosciene Nursing Evidence-Based
Practice. Chichester: wiley-blackwell
ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS
PADA Tn.R DENGAN KASUS MYASTHENIA GRAVIS
DI RUANG ICU RSUD PROF.DR. MARGONO
SOEKARJO
Disusun oleh :
TOHIDIN SAEFUL AJI
2011040130
IDENTITAS
1. Nama pasien : Tn.R
2. Umur : 28 thn
3. Alamat : DK. Pamijen Krajan RT 002 RW 001 Pamijen
Bumiayu, Brebes
8. Sistem Endokrin
Hipoglikemia Ya: Tidak: √ , nilai
Hiperglikemia Ya: Tidak: √ , nilai
PENGKAJIAN PSIKOSOSIAL
a. Personal Hygiene
Bersih: √ Kotor: - Bau: -
b. Kebutuhan tidur
Terpenuhi: √ Tidak terpenuhi: - Jam
c. Nilai BMR: 1616,1 kkal
d. Gangguan konsep diri Ya: - Tidak: √
TERAPI
Nama obat Dosis Cara Indikasi
pemberian
Meroponem 3x1gr Injeksi IV Antibiotik
OMZ 1x40 mg Injeksi IV Anti emetik
Methylprednisolone 3x125 mg Injeksi IV Anti inflamasi
Mecobalamin 2x1amp Injeksi IV Neuropati perifer
Prostagmin+SA 3x1 amp Injeksi IV Myasthenia gravis
Midazolam 2-3 mg k/p 2 ml/jam Precedex syr Obat psikotropika
N-epinefrin pump
NAC:bisolvon:ventolin 1:1:1 Nebulizer Ekspektoran
TINDAKAN OPERASI: -
1. Analisa Data dan Perumusan Masalah Keperawatan
Tgl/Jam Data Patofisiologi Dx
Keperawatan
11/01/21 DS: - Myasthenia gravis Gangguan
11.00 DO: ↓ ventilasi
- Keadaan umum lemah Kelemahan otot spontan
- GCS (E3M5VT) pernafasan
- Terpasang alat bantu ↓
pernapasan ventilator Pengembangan
mekanik dada tidak
- Terpasang ETT no. 7.5 sempurna
- Terpasang OPA ↓
- Hasil Pemeriksaan Lab Penurunan
tanggal 11 Januari 2021 kapasitas vital paru
16.39 WIB : ↓
pH= 6.78 (L), Gangguan ventilasi
PCO2=179.1 mmHg spontan
(H), PO2=140.6
mmHg (H),
HCO3=26.2
mmol/L, SaO2=95%
- Interpretasi : Asidosis
respiratorik
- Irama EKG sinus
takikardi
- TD= 150/94 mmHg
N=108x/menit,
RR=22x/menit,
S=36.8oC, SpO2= 98%
11/01/21 DS: - Myasthenia Gravis Bersihan jalan
11.00 DO: ↓ nafas tidak
– Rokhi pada kedua Kelemahan otot efektif
lapang paru pernapasan
– Reflek batuk minimal ↓
– RR=20x/menit Penurunan
– Terpasang alat bantu relaksasi
pernapasan ventilator diafragma
mekanik ↓
– Terpasang ETT no. 7.5 Penumpukan
– Terpasang OPA sekret pada jalan
napas
↓
– Hasil pemeriksaan bersihan jalan
Rontgen AP/PA nafas tidak efektif
Dewasa tanggal 10
Januari 2021 jam 10.50
WIB=
Bronkopneumonia
P: Lanjutkan intervensi:
– Monitor KU dan TTV
– Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas
– Monitor pola napas
– Monitor saturasi oksigen
– Monitor nilai AGD
– Terapi lanjut : Meropenem 3x1 gr, OMZ 1x 40 mg, Methylprednisolone 3x125 mg,
Mecobalamin 2x1 amp, Prostigmin 1 amp+ SA 1 amp: 3x1 amp precedex syr pump: 2
ml/jam, midazolam 2-3 mg, nebulizer dengan NAC+bisolvon+ventolin 1:1:1 4x/hari ,
infus
Nacl 0.9%, Asering, Kalbamin
LAPORAN PENDAHULUAN
KEPERAWATAN KRITIS
TETANUS
Disusun oleh :
TOHIDIN SAEFUL AJI
2011040130
B. Etiologi
Clostradium tetani merupakan hasil berbentuk batang yang bersifat
anaerob, membentuk spora membentuk spora ( tahan panas ), gram positif,
mengeluarkan eksotoksin yang bersifat neurotoksin ( yang efeknya
mengurangi aktivitas kendali SSP ), patogenesis bersimbiosis dengan
mikroorganisme piogenik ( pyogenic) (Batticaca, 2012).
Basil ini banyak ditemukan pada kotoran kuda, usus kuda, dan tanah
yang dipupuk kotoran kuda. Penyakit tetanus banyak terdapat pada luka
dalam, luka tusuk, luka dengan jaringan mati ( corpus alienum) karena
merupakan
kondisi yang baik untuk proliferasi kuman anaerob. Luka dengan infeksi
pogenik dimana bakteri piogenik mengonsumsieksogen pada luka sehingga
suasana menjadi anaerob yang penting bagi tumbuhnya basil tetanus
(Batticaca, 2012).
D. Patofisiologi
Clostridium tetani harus bersimbiosis dengan organisme piogenik.
Basil tetanus tetap berada didaerah luka dan berkembang biak sedangkan
eksotoksinnya beredar mengikuti sirkulasi darah sehnggga terjadi toksemia
(toksemia murni tanpa disertai bakterimia maupun sepsis).
Hipotesis cara kerja toksin, yaitu pertama toksin masuk dan diserap
oleh ujung saraf motorik dan mencapai sel-sel kornu anterior medula spinalis,
melalui axis silinder (kemudian menyebabkan kegiatan motorik seperti
kejang). Kedua toksin diangkut oleh alran darah ke SSP, hal ini dapat
dibuktikan dengan pemberian antitoksin tetanus yang bereaksi dengan baik,
ATS bereaksi pada toksin yang hanya ada didarah.
Tetanus biasanya terjadi setelah tubuh terluka dan kebanyakan luka
tusukan, luka yang terkontaminasi oleh clostridium tetani. Kerusakan jaringan
menyebabkan menurunnya potential oksidasi sehingga menyebabkan
lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan clostridium tetani. Tetanus
disebabkan oleh neurotoksin Yang kuat yaitu tetanospasmin, yangdihasilkan
sebagai protein protoplasmik oleh bentuk vegetatif c. Tetani pada tempat
infeksi terutama ketika terjadi lisis bakteri . tetanospasmin dapat terikat secara
kuat pada gangliosida dan tempat masuknya yang terpenting kedalam syaraf.
Bila jumlah tetanospasmin cukup besar untuk menyebar melalui pembuluh
darah dan limfe diseluruh tubuh, yang terkena lebih dahulu adalah otot
dengan jalur saraf terpendek.
Suntikan tetanospasmin kedalam otak dapat menimbulkan kejang.
Tetanospasmin dapat pula memudahkan kontraksi otot spontan tanpa
potensial aksi pada saraf eferen. Aliran eferen yang tak terkendali akan
menyebabkan proses inflamasi dijaringan otak dan perubahan tingkat
kesadaran. Terdapat trias klinis berupa spasme otot, disfungsi otonomik,
rigiditas. Rigiditas menyebabkan epistotonus dan gangguan respirasi dengan
menurunnya kelenturan dinding dada serta menyebabkan penurunan reflek
batuk sehingga terjadi obstruksi jalan nafas (Batticaca, 2012).
E. Pathway
Tetanus
Trimus
Penurunan Sulit bernapas Suplai O2
Kaku kuduk kemampuan cerebral menurun
Sulit menelan batuk
Sesak napas
Gangguan Penumpukan
Hipoksia berat
Intake nutrisi mobilitas sekret
tidak adekuat fisik Kesadaran
menurun
Pola napas
Defisit nutrisi Bersihan tidak
jalan napas efektif
tidak efektif Perfusi serebral
tidak efektif
F. Pemeriksaan Penunjang
1. EKG : interval CT memanjang karena segmen ST. bentuk takikardia
ventrikuler (torsaderse pointters)
2. Pada tetanus kadar serum 5-6 mg/al atau 1,2-1,5 mmol/L atau lebih
rendah kadar fosfat dalam serum meningkat
3. Sinar X tulang tampak peningkatan denitas foto rontgen pada jarringan
subkutan atau basas ganglia otak menunjukkan klasifikasi (Nurarif &
Kusuma, 2016)
G. Penatalaksanaan
1. Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
a. Imunisasi aktif dengan pemberian DPT, booster dose (untuk balita)
jika terjadi luka lagi, dilakukan booster ulang.
b. Imunisasi pastif, pemberian ATS profilaksis 1500-4500 UI (dapat
bertahan 7-10 hari). Pemberian imunisasi ini sering menyebabkan
syok anafilaksis ehinngga harus dilakukan skin test terlebih dahulu.
Jika pda lokasi skin test tidak terjadi kemerahan, gatal, dan
pembengkakan maka imunisasi dapat diinjeksikan, anak-anak
diberikan setengah dosis (750- 1250 UI). HyperTet 250 UI dan dosis
untuk anak-anak diberikan setengahnya (12,5 UI) bila tidak tahan
ATS.
c. Pencegahan pada luka, toiletisasi (pembersihan luka) memakai
perhidrol (hydrogen peroksida –H2O2), debridemen, bilas dengan
NaCl, dan jahit
d. Injeksi penisilin (terhadap basil anaerob dan simbiosis) (Batticaca,
2012)
2. Pengobatan Tetanus :
Berdasarkan pathogenesis, prinsip terapi ditujukan pada adanya
toksin yang beredr di srikulasi darah dan adanya basil di tempat luka.
Adanya stimulus yang diterima saraf aferen dan adanya serabut motoric
yang menimbulkan spasme dan kejang.
Obat-obatan :
a. Antibiotika
Diberikan parenteral penniciline 1,2 juta unit / hari selama 10 hari,
IM. Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan peicilin dosis
50.000 unit
/ KgBB / 12 jam secara IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif
terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti
tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2
gram dan diberikan dalam dosis terbagi (4 dosis). Antibioika ini hanya
bertujuan membunuh bentuk vegetative dari C. tetani, bukan untuk
toksin yang dihasilkannya.
b. Antitoksin
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Imunoglobulin (TIG)
dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM, tidak
boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung anti
complementary aggregates of globulin, yang mana ini dapat
mencetuskan reaksi alergi yang serius. Bila TIG tidak ada, dianjurkan
untuk menggunakan tetaus antitoksin, yang berawal dari hewan,
dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya adalah : 20.000 U
dari antitoksin intravena, pemberian harus sudah diselesaikan dalam
waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan
secara IM pada daerah pada sebelah luar.
c. Tetanus Toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama, dilakukan bersamaan
dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat
suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan secara IM. Pemberian TT
harus dilakukan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai.
d. Antikonvulsan
Penyebab kematian utama pada tetanus neonatorum adalah kejang
klonik yang hebat, muscular dan laryngeal spasm beserta
komplikasinya. Dengan penggunaan obat-obatan sedasi/muscle
relaxans, diharapkan kejang dapat diatasi (Nurarif & Kusuma, 2016).
H. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan
suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber
data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien. Adapun
yang perlu diperhatikan dalam pengkajian adalah :
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, no.
register, diagnose medis.
2. Keluhan
3. Riwayat penyakit sekarang
4. Riwayat penyakit dahulu
5. Riwayat penyakit keluarga
6. Pemeriksaan Fisik
a. B1 (Breathing
Inspeksi pada klien tidak batuk, tidak mengalami sesak nafas, tidak
menggunakan otot bantu nafas dan frekuensi pernafasan setabil 20
x/menit. Untuk palpasi taktil premitus seimbang kanan dan kiri.
Auskultasi bunyi nafas vesikuler.
b. B2 (Blood)
klien tidak didapati syok hipofolemik. TD klien 160/120 mmHg
dan nadi 82 x/menit.
c. B3 (Brain)
Pada pengkajian tingkat kesadaran klien adalah Compos mentis
(CM). Fungsi serebri klien mengalami pelo pada gaya bicara,
ekspresi wajah tampak kaku dan aktivitas motorik lemah. Pada
pemeriksaan saraf cranial didapat data subyektif dan obyektif
sebagai berikut; saraf I (olfaktorius) tidak ada kelainan, fungsi
penciuman normal. Saraf II (optikus) ketajaman penglihatan
normal, klien mengatakan pandangan tidak kabur. Saraf III
(okulomotorius), IV (troklearis), dan VI (abdusens) klien sudah
tidak mengalami
fotofobia atau sensitif berlebih pada cahaya. Saraf V (trigeminus)
tidak ditemukan mulut ikan (gejala khas tetanus) pada klien, namun
kekakuan rahang masih di rasakan. Saraf VII (fasialis) ekspresi
wajah simetris dan pengecapan normal, klien mengatakan dapat
merasakan diet dari rumah sakit. Saraf VIII (cabang vestibularis
vestibulokoklearis) tidak ditemukan pengurangan dalam
pendengaran. Saraf IX (glosofaringeus) dan X (vagus) kemampuan
menelan kurang baik, kesukaran membuka mulut (trismus) pada
klien masih ada. Saraf XI (asesorius) didapatkan kaku kuduk klien
masih dirasakan, ketegangan otot rahang juga leher. Saraf XII
(hipoglosus) terlihat lidah simetris.
d. B4 (Bladder)
Selama sakit klien buang air kecil (BAK) 5-6 x/sehari dengan
volume ± 2000 cc.
e. B5 (Bowel)
Klien belum BAB sejak dirawat di rumah sakit. Peristaltik usus 7
x/menit. Pemeriksaan palpasi juga didapati kaku pada dinding
perut.
f. B6 (Bone)
Klien masih membutuhkan bantuan keluarga dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari seperti makan, BAK atau merubah posisi
tidur.
I. Diagnosa Keperawatan
1. Perfusi jaringan cerebral tidak efektif (D.0017) b.d peningkatan tekanan
darah
2. Bersihan jalan napas tidak efektif (D.0001) b.d sekresi yang tertahan
3. Pola nafas tidak efektif (D.0005) b.d depresi pusat pernapasan
4. Defisit Nutrisi (D.0019) b.d ketidakmampuan menelan makanan
5. Gangguan mobilitas fisik (D.0054) b.d gangguan neuromuskular
J. Rencana Keperawatan
Diagnosa
No SLKI SIKI Nama/Paraf
Keperawatan
1. Perfusi jaringan Setelah dilakukan tindakan Manajemen Peningkatan Tekanan Tohid
cerebral tidak keperawatan 3x24 jam diharapkan Intrakarnial (I.06194)
efektif (D.0017) b.d Perfusi serebral efektif meningkat O:
peningkatan dengan kriteria hasil: - Identifikasi penyebab peningkatan TIK
tekanan darah Perfusi Serebral (L.02014) - Monitor tanda/gelaja peningkatan TIK (
Indikator Awal Target tekanan darah meningkat, tekanan nadi
Tingkat kesadaran 2 5 melebar, bradikardi, pola nafas ireguler,
Tekanan darah 1 5 kesadaran menurun)
sistolik - Monitor intake dan output
Tekanan darah 1 5 cairan T:
diastolik - Berikan posisi semi fowler
Keterangan: - Hindari pemberian cairan hipotonik
1. Meningkat - Pertahankan suhu tubuh normal
2. Cukup memburuk - Cegah terjadinya
3. Sedang kejang K:
4. Cukup membaik - Kolaborasi pemberian sedasi dan anti
5. Membaik konsulsan, jika perlu
- Kolaborasi pemberian diuretik osmosis,
jika perlu
Diagnosa
No SLKI SIKI Nama/Paraf
Keperawatan
2. Bersihan jalan Setelah dilakukan tindakan Manajemen Jalan Napas (I.01011) Tohid
napas tidak efektif keperawatan selama 3x24 jam O:
(D.0001) b.d diharapkan bersihan jalan nafas - Monitor pola napas (frekuensi,
sekresi yang efektif dengan kriteria hasil: kedalaman, usaha napas)
tertahan Bersihan jalan nafas (L.01001) - Monitor bunyi napas tambahan ( ronkhi)
Indikator A T - Monitor sputum (jumlah, warna,
Produksi sputum 1 5 aroma) T:
Dispnea 1 5 - Posisikan pasien semifowler/fowler
Pola nafas 1 5 - Lakukan penghisapan lendir kurang dari
Keterangan : 15 detik
A: Awal - Lakukan hiperoksigenasi sebelum
T: Tujuan penghisapan endotrakeal
1: Meningkat - Berikan oksigen, jika
2: Cukup Meningkat perlu E:
3: Sedang - Ajarkan teknik batuk
4: Cukup Menurun efektif K:
5: Menurun - Kolaborasi pemberian ekspektoran
No Diagnosa SLKI SIKI Nama/Paraf
Keperawatan
3. Pola nafas tidak Setelah dilakukan tindakan Dukungan ventilasi (I.01002): Tohid
efektif (D.0005) keperawatan selama 3x24 jam O:
b.d depresi diharapkan pola nafas efektif dengan - Monitor status respirasi dan
pusat kriteria hasil: oksigenasi T:
pernapasan Pola nafas (L.01004) - Berikan posisi semi-fowler
Indikator A T - Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan
- Frekuensi nafas 1 5 - Fasilitasi mengubah posisi senyaman
- Kedalaman nafas mungkin
- Penggunaan otot 1 5 E:
bantu - Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam
1 5 K:
- Kolaborasi pemberian terapi oksigen
Keterangan :
A: Awal
T: Tujuan
1: Meningkat
2: Cukup Meningkat
3: Sedang
4: Cukup Menurun
5: Menurun
No Diagnosa SLKI SIKI Nama/Paraf
Keperawatan
4. Defisit Nutrisi Setelah dilakukan tindakan Pemberian Makanan Enteral (I.03026) Tohid
(D.0019) b.d keperawatan selama 3x24 jam O:
ketidakmampuan diharapkan asupan nutrisi adekuat - Periksa posisi NGT dengan memeriksa
menelan makanan dengan kriteria hasil: residu lambung atau mengauskultasi
Status Nutrisi (L.0303) hembusan udara
Indikator A T - Monitor rasa penuh, mual, dan
Berat badan 1 5 muntah T:
IMT 1 5 - Gunakan teknik bersih dalam
Membran mukosa 1 5 pemberian makanan via selang
Keterangan : - Tinggikan kepala tempat tidur 30-45
A: Awal derajat selama pemberian makanan
T: Tujuan - Ukur residu sebelum pemberian
1: Memburuk makanan
2: Cukup Memburuk - Irigasi selang dengan 30 ml air setiap 4-
3: Sedang 6 jam selama pemberian makan dan
4: Cukup Membaik setelah pemberian makanan intermiten
5: Membaik E:
- Jelaskan tujuan dan langkah-langkah
prosedur
K:
- Kolaborasi pemberian jenis dan jumlah
makanan enternal
No Diagnosa SLKI SIKI Nama/Paraf
Keperawatan
5. Gangguan Setelah dilakukan tindakan Dukungan Mobilisasi (I.05173) Tohid
mobilitas fisik keperawatan selama 3x24 jam O:
(D.0054) b.d diharapkan mobilitas fisik meningkat - Identifikasi adanya keluhan nyeri atau
gangguan dengan kriteria hasil: keluhan fisik lainnya
neuromuskular Mobilitas Fisik (L.05042) - Identifikasi toleransi fisik melakukan
Indikator A T pergerakan
Pergerakan ekstermitas 1 5 T:
Kekuatan Otot 1 5 - Fasilitasi melakukan
Rentang Gerak 1 5 pergerakan E:
Keterangan : - Jelaskan tujuan dan prosedur
A: Awal
T: Tujuan
1: Menurun
2: Cukup Menurun
3: Sedang
4: Cukup Meningkat
5: Meningkat
DAFTAR PUSTAKA
Disusun oleh :
TOHIDIN SAEFUL AJI
2011040130
IDENTITAS
1. Nama pasien : Tn.A
2. Umur : 64 thn
3. Alamat : Kalikidang 01/04 Sokaraja
8. Sistem Endokrin
Hipoglikemia Ya: Tidak: √ , nilai
Hiperglikemia Ya: Tidak: √ , nilai
PENGKAJIAN PSIKOSOSIAL
a. Personal Hygiene
Bersih: √ Kotor: - Bau: -
b. Kebutuhan tidur
Terpenuhi: √ Tidak terpenuhi: - Jam: 6 jam/hari
c. Nilai BMR: 2.226,7 kkal (BB=65kg, TB=167 cm)
d. Gangguan konsep diri Ya: - Tidak: √
TERAPI
Nama Obat Dosis Cara Indikasi
Pemberian
Metronidazole 3x500 mg IV Obat antibiotik untuk
mengobati infeksi
Paracetamol 3x1 gr IV Untuk menurunkan demam
Nama Obat Dosis Cara Indikasi
Pemberian
Inj. Ranitidin 2x50 gr IV Untuk mengurangi asam
lambung
Inj. Ketorolac 2x30 mg IV Obat Untuk mengurangi nyeri
DATA FOKUS: pasien terlihat sesak napas, reflek batuk menurun, tidak bisa
mengeluarkan sekret, ronkhi (+), sekret berwarna bening, bau khas, GCS:
E4M6V5, kesadaran composmentis
DATA TAMBAHAN LAIN: Terpasang nassal kanul 4 lpm, rontgen thorak AP:
Pneumonia
TINDAKAN OPERASI: -
1. Analisa Data dan Perumusan Masalah Keperawatan
Tgl/Jam Data Patofisiologi Dx
Keperawatan
18/01/21 DS: Terpapar kuman Bersihan jalan
15.00 – Pasien mengatakan Clostridium T. napas tidak
sesak napas dan ↓ efektif
kesulitan mengeluarkan Eksotoksin
dahak ↓
DO: Pengangkutan
– Pasien terlihat sesak toksin melewati
– Terlihat kesulitan saraf motorik
berbicara ↓
– Terdengar bunyi rokhi Ganglion sumsum
(+) tulang belakang
– Reflek batuk menurun ↓
– RR=21x/menit Kekakuan dan
– Hasil pemeriksaan kejang otot yang
Rontgen Thorak AP khas pada tetanus
Dewasa tanggal 8 ↓
Januari 2021 jam 16.39 Otot pernapasan
WIB=pneumonia dan laring
- TD= 187/89 mmHg ↓
N=112x/menit, Penurunan
RR=24x/menit, kemampuan batuk
S=36.9oC, SpO2= 98% ↓
Penumpukan
sekret
↓
Bersihan jalan
napas tidak efektif
18/01/21 Ds : Pasien mengatakan Terpapar kuman Pola nafas
15.00 sesak napas Clostridium T. tidak efektif
Do: ↓
- Pasien terlihat gelisah Eksotoksin
- SPO2 : 98%
↓
- Pernafasan cuping
hidung (+) Pengangkutan
- Terlihat retraksi toksin melewati
intercoste saraf motorik
- Pernafasan dangkal, ↓
irama ireguler
- TD= 187/89 mmHg Ganglion sumsum
N=112x/menit, tulang belakang
RR=24x/menit, ↓
S=36.9oC, SpO2= 98% Kekakuan dan
kejang otot yang
khas pada tetanus
↓
Otot pernapasan
dan laring
↓
Sulit bernapas
↓
Sesak napas
↓
Pola napas tidak
efektif
18/01/21 DS: Pasien mengatakan Tetanus risiko infeksi
15.00 lemes ↓
DO : Prosedur invasif
– Reflek batuk menurun ↓
– Terdapat sekret yang Port de entree
tertahan mikroorganisme
– Terpasang NGT patogen
– Terpasang Nassal ↓
Kanul Risiko infeksi
– Terpasang kateter urine
– Terdapat luka tusuk
pada punggung kaki
sebelah kiri
– Hasil pemeriksaan Lab.
Tanggal 11 Januari
2021 jam 09.43 WIB
Leukosit : 10820/uL(H)
2. Daftar Diagnosa Keperawatan (Prioritas)
No Diagnosa Keperawatan
1 Bersihan jalan napas tidak efektif (D.0001) b.d sekresi yang tertahan
2 Pola nafas tidak efektif (D.0005) b.d depresi pusat pernapasan
3 Risiko infeksi (D.0142) b.d prosedur invasif
Diagnosa Utama: Bersihan jalan napas tidak efektif (D.0001) b.d sekresi
yang tertahan
P : Lanjutkan intervensi
- Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman,
usaha napas)
- Monitor bunyi napas tambahan (gurgling,
mengi, wheezing, ronchi kering)
- Monitor sputum (jumlah,warna, aroma)
- Posisikan semi fowler atau fowler
- Berikan minum hangat
- Lakukan penghisapan lender kurang dari 15 detik
- Berikan oksigen
- Ajarkan teknik batuk efektif
- Terapi Lanjut : Infus asering 10 tpm,
Diazepam+D5% 20 tpm, metronidazole 3x500,
paracetamol 3x1gr, ranitidine 2x50 mg, ketorolac
2x80 mg, phenitoin 3x 100, levo 1x750, ceftrazidine
3x1 gr, diazepam 2amp, Nebu (NaCl+Combivent)
3x1, MgSo4 2gr/jam, Calos 2x1, Digoxin
1x0,25mg, ambroxol 3x1 sth, Tabas 3x5 cc, NAC
3x20 mg, Zink
1x20 mg.
Selasa, S: Tohid
19/01/21 -
Jam 11.00 WIB O :
Bersihan jalan - Pasien terlihat masih sesak
napas tidak - Terlihat masih gelisah
efektif - Masih terdengar suara bunyi napas ronkhi
(D.0001) b.d - Penggunaan otot bantu (+)
sekresi yang - Terpasang NK dengan flow 5 lpm
tertahan - TD: 126/64 mmHg, N: 76 x/menit,
RR=21x/menit, S=36.8oC, SpO2:100%
A : Masalah bersihan jalan napas tidak efektif belum
teratasi
Indikator A T S
Batuk efektif 5 1 1
Produksi sputum 1 5 1
Dispneu 1 5 2
P : Lanjutkan intervensi
- Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman,
usaha napas)
- Monitor bunyi napas tambahan (gurgling,
mengi, wheezing, ronchi kering)
- Monitor sputum (jumlah,warna, aroma)
- Posisikan semi fowler atau fowler
- Berikan minum hangat
- Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15
detik, jika perlu
- Berikan oksigen
- Ajarkan teknik batuk efektif
- Terapi Lanjut : Infus asering 10 tpm,
Diazepam+D5% 20 tpm, metronidazole 3x500,
paracetamol 3x1gr, ranitidine 2x50 mg, ketorolac
2x80 mg, phenitoin 3x 100, levo 1x750, ceftrazidine
3x1 gr, diazepam 2amp, Nebu (NaCl+Combivent)
3x1, MgSo4 2gr/jam, Calos 2x1, Digoxin
1x0,25mg, ambroxol 3x1 sth, Tabas 3x5 cc, NAC
3x20 mg, Zink
1x20 mg.
Rabu, S : Tohid
20/01/21 -
Jam 11.00 WIB O :
- Pasien terlihat sesak berkurang
Bersihan jalan
- Terlihat gelisah berkurang
napas tidak
- Masih terdengar suara bunyi napas ronkhi
efektif
- Sekresi sekret meningkat
(D.0001) b.d
- Penggunaan otot bantu (+)
sekresi yang
- Terpasang NK dengan flow 5 lpm
tertahan
- TD: 119/69 mmHg, N: 74 x/menit,
RR=20x/menit, S=36.5oC, SpO2:100%
teratasi
Indikator A T S
Batuk efektif 5 1 4
Produksi sputum 1 5 2
Dispneu 2 5 4
P : Lanjutkan intervensi
- Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman,
usaha napas)
- Monitor bunyi napas tambahan (ronchi)
- Monitor sputum (jumlah,warna, aroma)
- Posisikan semi fowler atau fowler
- Berikan minum hangat
- Lakukan penghisapan lender kurang dari 15 detik
- Berikan oksigen
- Ajarkan teknik batuk efektif
- Terapi Lanjut : Infus asering 10 tpm,
Diazepam+D5% 20 tpm, metronidazole 3x500,
paracetamol 3x1gr, ranitidine 2x50 mg, ketorolac
2x80 mg, phenitoin 3x 100, levo 1x750, ceftrazidine
3x1 gr, diazepam 2amp, Nebu (NaCl+Combivent)
3x1, MgSo4 2gr/jam, Calos 2x1, Digoxin
1x0,25mg, ambroxol 3x1 sth, Tabas 3x5 cc, NAC
3x20 mg, Zink
1x20 mg.
ANALISIS JURNAL
COVID-19 RESPIRATORY SUPPORT IN THE EMERGENCY
DEPARTMENT SETTING (BANTUAN PERNAPASAN COVID-
19 DALAM PENGATURAN GAWAT DARURAT)
TOHIDIN SAEFUL
AJI 2011040130
Peneliti Tim Montrief, MD, MPH , Mark Ramzy, DO , Brit Long, MD , Michael
Gottlieb, MD , Dan Hercz, MD
Latar Penyakit Coronavirus 2019 (COVID-19) yang disebabkan oleh virus
belakang corona 2 (SARS-CoV-2) terkait sindrom pernafasan akut telah menjadi
pandemi yang melibatkan jutaan orang dan menyebabkan ratusan ribu
kematian di seluruh dunia. COVID-19 adalah pertama kali dilaporkan di
Wuhan, Cina pada Desember 2019 dan telah menyebar dengan cepat. Pasien
yang datang dengan COVID-19 berisiko tinggi mengalami gagal napas akut
yang memerlukan penanganan jalan napas lanjutan. Secara keseluruhan,
adanya gagal napas hipoksia di antara pasien COVID-19 mendekati 20%.
Data dari China melaporkan bahwa hingga 41% dari semua pasien dengan
COVID-19 membutuhkan terapi oksigen, 4% hingga 13% memerlukan
ventilasi non-invasif (NIV), dan 2,3% hingga 12% memerlukan intubasi dan
ventilasi mekanis. Faktor risiko untuk mengembangkan gagal napas akut
tampaknya termasuk jenis kelamin laki-laki; usia di atas 60 tahun; dan
komorbiditas termasuk diabetes, kanker aktif, dan pasien dengan kondisi
khusus: kelainan imunitas, penyakit autoimun dll.
Petugas kesehatan yang merawat populasi ini berisiko tinggi tertular
SARS-CoV-2 melalui tetesan besar, sekresi pernapasan, dan kontak dengan
permukaan yang terkontaminasi. Manajemen jalan napas berisiko sangat
tinggi karena melibatkan prosedur yang menimbulkan aerosol. Penyedia
layanan darurat harus siap menangani pasien dengan gagal napas akut akibat
SARS-CoV-2. Dalam ulasan ini, kami memberikan gambaran umum
tentang patofisiologi pernapasan yang mendasari SARS-CoV-2, diikuti
dengan
pendekatan manajemen jalan napas untuk suspek atau kontraminasi
menangani pasien dengan COVID-19, dengan tetap menjaga keamanan
petugas kesehatan dan pasien lain.
Tujuan Ulasan naratif ini bertujuan untuk menguraikan patofisiologi pernapasan
Penelitian yang mendasari pasien dengan COVID-19 dan membahas pendekatan
manajemen jalan napas di unit gawat darurat (ED) berdasarkan literatur saat
ini
Metode Tinjauan pustaka dari database PubMed dan Google Cendekia dilakukan
dari 1 Januari 2000 hingga 20 Mei 2020 untuk artikel yang menggunakan
kata kunci ' COVID ' ATAU ' SARS-CoV-2 ' ATAU ' virus corona ' ATAU '
SARS ' DAN ' manajemen jalan nafas ' untuk produksi ulasan naratif ini.
Penulis memasukkan laporan kasus dan seri, studi retrospektif dan
prospektif, tinjauan sistematis dan meta-analisis, pedoman klinis, dan
tinjauan naratif lainnya. Komentar dan surat juga disertakan. Pencarian
literatur dibatasi pada studi yang diterbitkan atau diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris. Pencarian literatur awal mengungkapkan 1555 artikel.
Penulis meninjau semua artikel yang relevan dan memutuskan studi mana
yang akan dimasukkan untuk ditinjau berdasarkan konsensus, dengan fokus
pada artikel yang relevan dengan pengobatan darurat, termasuk pedoman.
Jika tersedia, tinjauan sistematis dan meta-analisis dipilih secara istimewa.
Ini diikuti secara berurutan oleh uji coba terkontrol secara acak, studi
prospektif, studi retrospektif, laporan kasus, dan tinjauan naratif lainnya,
ketika data alternatif tidak tersedia. Sebanyak 75 sumber daya dipilih
untuk dimasukkan dalam
tinjauan ini.
Hasil Pasien yang datang dengan infeksi SARS-CoV-2 berisiko tinggi mengalami
Penelitian kegagalan pernapasan akut yang membutuhkan manajemen jalan nafas. Di
antara pasien yang dirawat di rumah sakit, 10-20% memerlukan perawatan
di unit perawatan intensif, dan 3-10% membutuhkan intubasi dan ventilasi
mekanis. Saat memberikan dukungan pernapasan untuk pasien ini, tindakan
pengendalian infeksi yang tepat, termasuk kepatuhan terhadap kebijakan
alat
pelindung diri, diperlukan untuk mencegah penularan nosokomial ke petugas
layanan kesehatan. Pendekatan terstruktur untuk gagal napas dalam hal ini
pasien termasuk penggunaan oksigen eksogen melalui kanula hidung atau
non-rebreather, serta saluran hidung aliran tinggi titrasi dan ventilasi non-
invasif. Ulasan ini menawarkan beberapa prinsip panduan dan sumber daya
yang dirancang untuk diadaptasi sehubungan dengan kebijakan tempat kerja
lokal untuk pasien yang membutuhkan bantuan pernapasan.
Kesimpulan: Meskipun prinsip-prinsip dasar dari manajemen gagal napas
akut serupa Pasien COVID-19 dan non-COVID-19, terdapat beberapa
perbedaan yang mencolok, termasuk fokus pada keselamatan provider.
Ulasan ini memberikan pendekatan untuk manajemen jalan napas dan
dukungan pernapasan pada pasien dengan COVID-19.
Kelebihan Tinjuan pustaka dalam penelitian ini berasal dari sumber yang terbaru.
Didukung dengan penelitian-penelitian yang berkaitan dengan
variabel yang diteliti pada penelitian ini.
Ulasan ini menawarkan beberapa prinsip panduan dan sumber daya
yang dirancang untuk diadaptasi sehubungan dengan kebijakan tempat
kerja lokal untuk pasien yang membutuhkan bantuan pernapasan.
Jurnal ini dilengkapi gambar alat-alat yang digunakan untuk manajemen
jalan sehingga pembaca lebih mudah dalam memahami isi dari jurnal
tersebut
Kekurangan Penelitian ini merupakan studi naratif sehingga penulis
tidak mengumpulkan data studi individu/populasi.
Abstrak tidak mencantumkan metode penelitian
Kerangka konseptual/teori tidak dicantumkan dalam jurnal.
ANALISIS PICO/PICOT
Judul:
COVID-19 Respiratory Support In The Emergency Department Setting (Bantuan
Pernapasan Covid-19 Dalam Pengaturan Gawat Darurat)
jo u rn al h om epag e: w w w . e l s e v i e r . c o m / l o c a t e / a j e m
a r t i c l e i n f o
a b s t r a c t
Article history:
Received 22 April 2020
Introduction: Severe acute respiratory syndrome-related coronavirus 2 (SARS-CoV-2), which causes the
Received in revised form 26 July 2020 corona- virus disease 2019 (COVID-19), may result in severe complications, multiorgan dysfunction, acute
Accepted 1 August 2020 respiratory failure, and death. SARS-CoV-2 is highly contagious and places healthcare workers at significant
risk, especially during aerosol-generating procedures, including airway management.
Objective: This narrative review outlines the underlying respiratory pathophysiology of patients with COVID-
Keywords: 19 and discusses approaches to airway management in the emergency department (ED) based on current
COVID-19 literature. Discussion: Patients presenting with SARS-CoV-2 infection are at high risk for acute respiratory
SARS-CoV-2 failure requiring airway management. Among hospitalized patients, 10–20% require intensive care unit
Coronavirus
admission, and 3–10% require intubation and mechanical ventilation. While providing respiratory support for
Airway
these patients, proper in- fection control measures, including adherence to personal protective equipment
Emergency medicine
Intensive care policies, are necessary to pre- vent nosocomial transmission to healthcare workers. A structured approach
Intubation to respiratory failure in these patients includes the use of exogenous oxygen via nasal cannula or non-
rebreather, as well as titrated high- flow nasal cannula and non-invasive ventilation. This review offers
several guiding principles and resources de- signed to be adapted in conjunction with local workplace
policies for patients requiring respiratory support.
Conclusions: While the fundamental principles of acute respiratory failure management are similar between
COVID-19 and non-COVID-19 patients, there are some notable differences, including a focus on provider
safety. This review provides an approach to airway management and respiratory support in the patient with
COVID-19.
Published by Elsevier Inc.
1. Introduction
including diabetes, active cancer, and immunocompromising states
[5,8-10].
Coronavirus disease 2019 (COVID-19) caused by severe acute
Healthcare workers (HCWs) caring for this population are at high
respi- ratory syndrome-related coronavirus 2 (SARS-CoV-2) has
risk of contracting SARS-CoV-2 via large droplets, respiratory
become a pandemic involving millions of people and causing
secretions, and contact with contaminated surfaces [11]. Airway
hundreds of thou- sands deaths worldwide [1]. COVID-19 was first
management is particularly high risk because it involves aerosol-
reported within Wuhan, China in December 2019 and has spread
generating procedures [11,12]. Emergency providers must be
rapidly [2]. Patients presenting with COVID-19 are at high risk for
prepared to manage patients with acute respiratory failure due to
acute respiratory failure necessitating advanced airway management
SARS-CoV-2. In this review, we pro- vide an overview of the
[2-4]. Overall, the presence of hypoxic respiratory failure among COVID-
underlying respiratory pathophysiology of SARS-CoV-2, followed by
19 patients approaches 20% [5-7]. Data from China reported that up to
an approach to airway management for suspected or confirmed
41% of all patients with COVID-19 required oxygen therapy, 4% to
patients with COVID-19, while maintaining the safety of HCWs and
13% required noninvasive ventilation (NIV), and 2.3% to 12% other patients.
required intubation and mechanical ventilation [3,5]. Risk factors for
developing acute respiratory failure appear to include male gender;
2. Methods
age over 60 years; and comorbidities
This narrative review outlines the underlying respiratory patho-
physiology and clinical manifestations of COVID-19 in the adult
* Corresponding Author. patient and discusses current approaches to airway management in
E-mail address: Brit.long@yahoo.com (B. Long).
1 the ED. A literature review of PubMed and Google Scholar databases
Present address: 3841 Roger Brooke Dr, Fort Sam Houston, TX 78234, USA.
was per- formed from January 1st, 2000 to May 20th, 2020 for articles
using the
https://doi.org/10.1016/j.ajem.2020.08.001
0735-6757/Published by Elsevier Inc.
T. Montrief, M. Ramzy, B. Long et al. American Journal of Emergency Medicine 38 (2020) 2160–2168
Fig. 1. Oxygen Escalation Strategy. Abbreviations: NC – nasal cannula; LPM – liters per minute; HFNC – high flow nasal cannula; NIPPV – noninvasive positive pressure ventilation; CPAP –
continuous positive airway pressure.
2161
T. Montrief, M. Ramzy, B. Long et al. American Journal of Emergency Medicine 38 (2020) 2160–2168
the WHO states that “HFNC and NIV systems with good interface
including the support parameters, model of the machine, and mask
fitting do not create widespread dispersion of exhaled air and there-
type [19,46]. This risk could be diminished by use of appropriate viral
fore should be associated with [a] low risk of airborne transmission.”
exhalation filters on the NIV and cohorting high-risk patients in an ap-
[15] The risk of respiratory pathogen transmission when using HFNC
propriate airborne isolation room [19]. However, any significant mask
is subject to a variety of factors, including the duration of support,
leak may render filtration of viral pathogens incomplete [4]. Despite
maximal flow rate, patient sneezing or coughing, cannula fit, and pa-
these limitations, NIV may improve patient respiratory status and is a
tient cooperation [20]. Special attention must be paid to the connec-
component of current guidelines [18,19]. NIV should be used in
tions between the oxygen tubing and the nasal cannula [19]. Any
patients with COVID-19 with hypercarbic respiratory failure,
disruption to this connection may lead to dispersal of SARS-CoV-2
refractory hypox- emia despite other therapies (including HFNC), or if
[33]. Some experts have recommended placement of a surgical
HFNC is not available [18].
mask over the HFNC to reduce viral transmission [19,34]. Patients
If utilized for patients with COVID-19, special attention should
on HFNC should be placed under airborne precautions in a negative-
be paid to the use of viral filters, closed circuit systems, adequate
pressure room, if available [15,19].
mask seal, use of helmet systems (if available), appropriate PPE
HFNC provides gas flows between 40 and 60 L/min and may not
use, and appropriate isolation in a negative pressure room [19].
result in aerosolization when compared to a patient on standard
When available, a helmet-based NIV interface may have several ad-
nasal cannula [35]. Many guidelines, including those by Australian
vantages over traditional mask-based NIV, including decreased risk
and New Zealand Intensive Care Society (ANZICS), the WHO, and
of aspiration and environmental contamination [33,47]. In one
the Surviving Sepsis Campaign recommend the use of HFNC in
randomized clinical trial of 83 patients with ARDS, a NIV helmet
COVID-19 patients presenting with acute hypoxemic respiratory fail-
reduced intubation rates and 90-day mortality compared to tradi-
ure unresponsive to conventional oxygen therapy [15,16,18]. Several
tional NIV facemask [48].
groups have developed management strategies utilizing HFNC prefer-
entially over NIV [9,36]. It is prudent to avoid HFNC in patients pre-
senting with severe respiratory distress or failure, thoracoabdominal 3.4. Patient repositioning
asynchrony, increasing vasopressor support, refractory hypoxemia
de- spite other therapies, or a “clinical trajectory that suggests Many clinicians have recommended awake proning or reposi-
mechanical ventilation is inevitable” [4,25,37]. NIV may be more tioning of patients on supplemental oxygen, HFNC, and NIV. Prone
effective for other forms of respiratory failure, such as hypercapnic positioning of the patient may improve respiratory status and oxygen-
respiratory failure or obstructive airway disease [18]. However, HFNC ation, decreasing the need for endotracheal intubation in early ARDS
can increase airway pressures, improve oxygenation, reduce dead [49,50]. While proning or repositioning may improve oxygenation,
space, and reduce a patient's work of breathing and can be utilized in clinicians should be aware that this typically induces a temporary,
patients with COVID-19 [38]. non-sustainable improvement in oxygenation, and patients may re-
quire movement to another position (i.e., left lateral recumbent,
3.3. Non-invasive ventilation right lateral recumbent, sitting upright) to maintain the benefit
associ- ated with this technique [49]. Patient comfort is important
International guidelines on the use of NIV for COVID-19 patients during proning/repositioning, and maternity cushioning devices may
vary, with many guidelines recommending against the routine use of be ben- eficial. Regardless of oxygenation, these patients remain at
NIV due to increased risk of virus aerosolization and unproven utility risk for de- terioration and must be monitored closely.
in patients with ARDS [20]. Notably, the SCCM guidelines on the man-
agement of critically ill patients with COVID-19 recommend “a trial of
NIV with close monitoring and short-interval assessment for worsen- Table 1
ing of respiratory failure” if HFNC is not available and there is no ur- COVID-19 airway pack contents [33]
gent indication for intubation [18]. Current epidemiological forecasts Appropriate PPE for all team members
suggest that the requirements for mechanical ventilation may outpace Induction medications:
the current ventilator capacity of many hospitals if NIV is not High dose succinylcholine or rocuronium at 1.5–2.0 mg/kg
routinely used [18]. Properly dosed induction agent of choice
Post-intubation sedation and analgesia (Bolus and
NIV does have limitations. In previous cohorts of patients with
infusion) Bag valve mask with PEEP valve and pressure
acute respiratory failure due to Influenza A, NIV failed in up to 85% manometer High efficiency particulate air (HEPA) filter
of cases, portending a higher mortality compared to patients treated Video laryngoscope tower with screen
with invasive ventilation [39,40]. In a group of 302 patients with Mid- Video laryngoscope blades (one each of size 3, 4, and
hyperangulated) Subglottic drainage tracheal tube (size 7.0 and 8.0)
dle East Respiratory Syndrome (MERS) across 14 Saudi Arabian
Standard tracheal tube (multiple sizes, including size 7 and 8) and 10 mL syringe
hospi- tals, 92% of patients trialed on NIV failed to substantially Capnography monitoring line
improve, eventually requiring intubation [41]. A relatively similar Packets of water-soluble gel
failure rate was noted in a cohort of patients with COVID-19 lubricant Adult Magill forceps
associated respira- tory failure in China [9]. There is also concern that Blue Portex swivel connector 15
mm Gum elastic bougie
NIV may worsen lung injury due to elevated transpulmonary
Video laryngoscope tracheal intubation stylet (for hyperangulated blades)
pressures and large tidal volumes [42,43]. NIV use in patients with Supraglottic airways (multiple sizes)
excessive respiratory efforts may induce substantial intrathoracic Emergency front of neck airway (FONA) kit:
negative pressures and self- inflicted lung injury [43]. Additionally, Size 10 scalpel
Size 6 cuffed endotracheal
the use of NIV may delay initi- ation of mechanical ventilation until
tube Gum elastic bougie
the patient has no reserve, thereby increasing the risk of (Available outside of room) Bronchoscope tower
inappropriate donning of adequate PPE and transmission to HCWs containing: Single use “slim” (size 3.8) disposable
due to time pressures to establish a defin- itive airway [4]. bronchoscope
Although some centers reported successful management of SARS 4% lidocaine for airway topicalization
pa- Mucosal atomizer
*Note: single-use equipment preferred, when available
tients with NIV, there are documented cases of nosocomial
transmission between patients in the same hospital [44,45]. This risk Abbreviations: PPE – personal protective equipment; mg/kg – milligrams per kilogram; PEEP
of aerosolization and viral transmission is variable, depending on a – positive end-expiratory pressure; HEPA - High-efficiency particulate air; mL – milliliters;
mm – millimeters; FONA – front of neck access.
variety of factors,
2162
T. Montrief, M. Ramzy, B. Long et al. American Journal of Emergency Medicine 38 (2020) 2160–2168
2163
T. Montrief, M. Ramzy, B. Long et al. American Journal of Emergency Medicine 38 (2020) 2160–2168
ratio ≤ 150 mmHg) after a 2 h trial of HFNC or NIV [8]. However, these
push dose vasopressors or a norepinephrine infusion should be
recommendations are expert consensus and lack robust supporting
readily available [56]. Ensure appropriate post-intubation analgesia,
evidence [54]. Some have liberalized their criteria, recommending
sedation, and paralyzing medications are present [56].
that physicians consider intubation in any patient with respiratory
Staff members who are not involved in the procedure should not
distress (respiratory rate > 30 breaths per minute) or SpO 2 less than
be present during any aerosol-generating procedure, including
93% on room air and a PaO 2 to FiO2 ratio less than 300 mmHg [54].
intubation [4]. There should be a clear delineation of roles and
We recommend using a combination of factors in deciding to intubate,
responsibilities on the team. Three personnel are likely sufficient
including progressively increasing oxygenation requirements despite
within the room: an air- way operator, an airway assistant, and a
oxygen escalation therapy, increasing vasopressor support, persistent
healthcare provider to give the medications and monitor the patient
thoracoabdominal asynchrony, increasing work of breathing, increas-
(Fig. 3) [23]. One to two team members should wait outside the room
ing respiratory distress, low ROX index (determined by oxygen satu-
in PPE ready to enter if the primary team requires help or extra
ration as measured by pulse oximetry divided by fraction of inspired
oxygen [FiO2] divided by respiratory rate), hypercarbia, and altered equipment, with an additional team member watching from the
mentation [19,25,36,37,55]. However, this must be balanced with po- outside, ready to summon help rap- idly if needed [23]. A designated
tential resource limitations (availability of ventilators or staff, inten- safety/logistics officer should remain outside the room to observe for
sive care unit capability), clinical trajectory, and individual patient strict adherence to team safety and proper donning and doffing of
wishes [19]. PPE. A single team member may perform more than one role,
depending on how many personnel are available.
The choice of airway operator encompasses consideration of the
3.6. Safety and preparedness
available clinicians' airway expertise, predicted difficulty of
intubation, patient factors, and clinician risk factors for poor
Airway management for patients with suspected or confirmed
outcomes if infected with SARS-CoV-2 [23,56]. While little guidance
COVID-19 shares similarities with techniques in non-COVID-19
exists to risk stratify HCWs who are exposed to potential aerosol-
patients, with some notable exceptions, including an emphasis on
generating procedures, it is prudent to exclude staff who are over the
staff safety throughout the procedure [56]. The increased risk of
age of 60 years; pregnant; immunosuppressed; and those with cardiac
transmission of viral pathogens to HCWs with subsequent attempts
disease, respiratory dis- eases, and recent cancer [5,8,23].
necessitates the use of familiar and reliable airway techniques to
ensure the greatest likelihood of first pass success [23]. Airborne
precautions are indicated during the peri-intubation period, as the 3.7. Intubation technique
highest viral load appears in airway secretions of patients with COVID-
19 [5,57]. Careful preparation and planning at the institutional level The airway strategy, including preoxygenation strategy, primary
addressing appropriate equip- ment, staff preparedness, development plan, rescue plans, and transitions, should be standardized. The basic
of airway packs and endotra- cheal intubation checklists (Table 1 and al- gorithm for intubation is similar to the Difficult Airway Society
Fig. 2), and availability of PPE are essential [23]. This should be (DAS) 2018 guideline for tracheal intubation of the critically ill
augmented and evaluated using fre- quent in-situ simulation [23,58]. patient (Fig. 4a and b) or the Vortex approach (Fig. 4c) [23,67]. There
Several patient, environmental, and team factors affect airway is empha- sis on appropriate equipment selection, with a focus on
man- closed systems to prevent viral transmission [4,23]. Closed suction
agement in the COVID-19 patient. Endotracheal intubation is a high- systems should be used to minimize aerosolization. Apneic
risk procedure, with 10% of critically ill patients developing severe oxygenation should be avoided in these patients. However,
hypox- emia and 2% experiencing cardiac arrest [59,60]. The first preoxygenation may be accomplished with a bag valve mask (BVM)
pass success rate for endotracheal intubation among critically ill and viral exhalation filter [56,68]. The airway operator should ensure
patients is typically less than 80%, with a significant proportion a tight BVM seal with two hands using the “V” grip while applying 10–
requiring two or more at- tempts [59]. These figures are likely to be 15 cm of PEEP (Fig. 5). This BVM is held passively in order to maintain
worse in the critically ill COVID-19 patient due to the use of PPE and PEEP, preventing decruitment and hypoxia [56,62]. To improve mask
the patient's physiological state [23,61]. Patients with COVID-19 may seal and decrease airway operator fatigue, a NIV mask may be used in
experience myocardial injury which can worsen hemodynamic conjunction with a BVM to preoxygenate the patient
instability, lead to multiorgan failure, and reduce oxygen reserve [62].
Moreover, fogging of eyewear when using PPE during intubation
affects up to 80% of providers, which can make intubation attempts
more challenging [23]. Some clinicians have advocated for placement
of a clear drape or box over the patients face to minimize
aerosolization, but this may affect first pass success [63]. One study
evaluating the use of aerosol boxes to protect HCW found re- duced
first pass success, longer time to intubation, and decreased
laryngoscopic grade [64]. PPE may also decrease the clinician's field
of vision, lead to reductions in manual dexterity, and interfere with
team communication [65,66]. Team communication should use clear,
direct language and closed loop communication [23,56]. Cognitive
bandwidth and team communication may benefit from an
endotracheal intubation checklist (Fig. 2).
Institutions should create a mobile endotracheal intubation pack
that is decontaminated after each use (Table 1) [23,56]. This pack
should preferentially contain single-use equipment brought to the
patient's bedside during the procedure [4,23]. Some institutions may Fig. 3. The composition and roles of a COVID-19 airway team. During an intubation
choose to include appropriate PPE for the airway management team. procedure, the discrete functional roles can be described as: (1) airway operator;
(2) drug administrator and observer of patient's clinical state and monitors (drugs &
Additional airway equipment may be stored outside the negative monitor); (3) surgical airway operator and equipment assistant (surgical airway &
pressure room as necessary [4]. All essential medications should be equipment); (4) team member to fetch additional equipment or call for help during
present before the procedure. Rapid sequence induction (RSI) the procedure, and to observe strict adherence to team safety and donning and
medications should be drawn up and labeled. Depending on the doffing of PPE in the peri-procedure period (safety and logistics officer). A single
team member may perform more than one role, depending on how many personnel
patient's hemodynamic status,
are available.
2164
T. Montrief, M. Ramzy, B. Long et al. American Journal of Emergency Medicine 38 (2020) 2160–2168
Fig. 4. Cognitive aids for use when managing unexpected difficulty when intubating a patient with coronavirus disease 2019. (a) Unexpected difficult tracheal intubation. (b) Cannot
intubate, cannot oxygenate. (c) Vortex approach cognitive aid [23,67].
2165
T. Montrief, M. Ramzy, B. Long et al. American Journal of Emergency Medicine 38 (2020) 2160–2168
Fig. 5. A. Two-handed BVM technique with the V-grip hand position. B. The C hand position, which should be avoided during preoxygenation of suspected or confirmed COVID-19 patients.
(Fig. 6). For patients requiring manual ventilation, small tidal volumes RSI is recommended, as inadequate sedation or paralysis can pro-
are recommended [68]. Elevation of the head of the bed and ramping duce coughing during laryngoscopy, generating aerosols [4,56]. A
may be utilized [23]. higher dose of sedative, as well as high-dose neuromuscular blockade
The preferred airway management technique is RSI with the use should be administered during induction [23,56]. Nondepolarizing
of a video laryngoscope (VL) by the most appropriate clinician to muscle relaxants such as rocuronium provide an advantage over
maxi- mize first pass success [18,23,53]. In a systemic review and depolarizing agents due to their extended duration of action, which
meta- analysis of 64 studies, VL reduced the risk of failed pre- vents coughing should attempts at airway management be
intubation with no impact on the rate of first pass success, hypoxia, or prolonged [20]. In order to improve ventilator synchrony and
time to endo- tracheal intubation [69]. If possible, the VL setup should decrease aerosoliza- tion from inadequate sedation, prepare the
include a monitor screen separate from the handle to reduce potential patient's post-intubation an- algesia and sedation before the
exposure to the patient's upper airway secretions. When available, a procedure [56].
standard geometry video laryngoscope should be used in conjunction If the initial intubation is unsuccessful and the patient requires
with a tracheal tube introducer (i.e., bougie), as this has been shown oxy- genation, a second-generation supraglottic airway device can be
to im- prove first pass success when compared to a traditional stylet used to reduce aerosolization risk [22,56,71]. There is no robust
[56,70]. Awake flexible endoscopic intubation should be avoided, as evidence to sug- gest that supraglottic devices are more effective than
the atomized local anesthesia may induce coughing [68]. When possi- BVM in this sce- nario. However, they are easy to place and have
ble, direct laryngoscopy (DL) should be avoided as it places the face of better seal pressure compared to BVM, thus reducing staff exposure
the intubating clinician close to the patient's airway and may increase [20]. If oxygenation can- not be maintained using a BVM or a
the risk of exposure [4,18]. supraglottic device, a cricothyroid- otomy should be performed [56].
The simplified DAS 2018 guidance should be followed (Fig. 4b). We
recommend the scalpel-bougie-tube
Fig. 6. A. Noninvasive ventilation mask preoxygenation setup for suspected or confirmed COVID-19 patients. Note the mask is connected to a viral filter, then end tidal CO2 capnography
monitoring line, a bag valve mask with a PEEP valve on the exhalation port, and finally a wall oxygen source (≥15 L/min).
2166
T. Montrief, M. Ramzy, B. Long et al. American Journal of Emergency Medicine 38 (2020) 2160–2168
2167
T. Montrief, M. Ramzy, B. Long et al. American Journal of Emergency Medicine 38 (2020) 2160–2168
[27] Wang K, Zhao W, Li J, Shu W, Duan J. The experience of high-flow nasal cannula
in hospitalized patients with 2019 novel coronavirus-infected pneumonia in two [52] Tobin MJ. Basing respiratory Management of Coronavirus on physiological
hos- pitals of Chongqing, China. Ann Intensive Care. 2020;10(1):37. princi- ples. Am J Respir Crit Care Med. 2020;201(11):1319–20.
[28] Slessarev M, Cheng J, Ondrejicka M, Arntfield R. Patient self-proning with high- [53] Yao W, Wang T, Jiang B, et al. Emergency tracheal intubation in 202 patients
flow nasal cannula improves oxygenation in COVID-19 pneumonia. Can J Anesth. with COVID-19 in Wuhan, China: lessons learnt and international expert
2020: 1–3. recommenda- tions. Br J Anaesth. 2020;125(1):e28–37.
[29] Leung CCH, Joynt GM, Gomersall CD, et al. Comparison of high-flow nasal [54] Meng L, Qiu H, Wan L, et al. Intubation and ventilation amid the COVID-19 outbreak.
cannula versus oxygen face mask for environmental bacterial contamination in Anesthesiology. 2020;132(6):1317–32.
critically ill pneumonia patients: a randomized controlled crossover trial. J Hosp [55] Roca O, Caralt B, Messika J, et al. An index combining respiratory rate and
Infect. 2019; 101(1):84–7. oxygena- tion to predict outcome of nasal high-flow therapy. Am J Respir Crit Care
[30] Roberts S, Kabaliuk N, Spence C, et al. Nasal high-flow therapy and dispersion of Med. 2019; 199(11):1368–76.
nasal aerosols in an experimental setting. J Crit Care. 2015;30(4). [56] Kovacs G, Sowers N, Campbell S, French J, Atkinson P. Just the facts: airway manage-
[31] Kotoda M, Hishiyama S, Mitsui K, et al. Assessment of the potential for pathogen dis- ment during the COVID-19 pandemic. CJEM. 2020:1–7.
persal during high-flow nasal therapy. J Hosp Infect. 2019;104(4):534–7. [57] Wang W, Xu Y, Gao R, et al. Detection of SARS-CoV-2 in different types of clinical
[32] Montgomery JM, Raboud J, Shigayeva A, et al. Risk factors for SARS transmission specimens. JAMA. 2020;323(18):1843–4.
from patients requiring intubation: a multicentre investigation in Toronto, Canada. [58] Abrahamson SD, Canzian S, Brunet F. Using simulation for training and to
PLoS ONE. 2010;5(5). change protocol during the outbreak of severe acute respiratory syndrome. Crit
[33] Hui DS, Chow BK, Lo T, et al. Exhaled air dispersion during high-flow nasal cannula Care. 2006;10(1):R3.
therapy versus CPAP via different masks. Eur Respir J. 2019;53(4). [59] Nolan JP, Kelly FE. Airway challenges in critical care. Anaesthesia. 2011;66(Suppl.
[34] Jhaveri R, Hui DS, Chow BK, et al. Exhaled air dispersion during coughing with and 2): 81–92.
without wearing a surgical or N95 mask. PLoS ONE. 2012;7(12). [60] Higgs A, McGrath BA, Goddard C, et al. Guidelines for the management of
[35] Mellies U, Goebel C. Optimum insufflation capacity and peak cough flow in tracheal intubation in critically ill adults. Br J Anaesth. 2018;120(2):323–52.
neuro- muscular disorders. Ann Am Thorac Soc. 2014;11(10):1560–8. [61] Yousif S, Machan JT, Alaska Y, Suner S. Airway Management in Disaster Response:
[36] Bouadma L, Lescure F-X, Lucet J-C, Yazdanpanah Y, Timsit J-F. Severe SARS-CoV-2 a manikin study comparing direct and video laryngoscopy for endotracheal
in- fections: practical considerations and management strategy for intensivists. intubation by Prehospital providers in level C personal protective equipment.
Inten- sive Care Med. 2020;46(4):579–82. Prehosp Disaster Med. 2017;32(4):352–6.
[37] Sztrymf B, Messika J, Bertrand F, et al. Beneficial effects of humidified high flow [62] Luo M, Cao S, Wei L, et al. Precautions for intubating patients with COVID-19. Anes-
nasal oxygen in critical care patients: a prospective pilot study. Intensive Care Med. thesiology. 2020. https://doi.org/10.1097/ALN.0000000000003288.
2011; 37(11):1780–6. [63] Canelli R, Connor CW, Gonzalez M, Nozari A, Ortega R. Barrier enclosure during
[38] Lodeserto FJ, Lettich TM, Rezaie SR. High-flow nasal cannula: mechanisms of en- dotracheal intubation. N Engl J Med. 2020;382:1957–8.
action and adult and pediatric indications. Cureus. 2018;10(11):e3639. [64] Begley JL, Lavery KE, Nickson CP, Brewster DJ. The aerosol box for intubation in
[39] Kumar A, Zarychanski R, Pinto R, et al. Critically ill patients with 2009 influenza COVID-19 patients: an in-situ simulation crossover study. Anaesthesia. 2020;75
A (H1N1) infection in Canada. JAMA. 2009;302(17):1872–9. (8):1014–21. https://doi.org/10.1111/anae.15115.
[40] Rodriguez A, Ferri C, Martin-Loeches I, et al. Risk factors for noninvasive ventilation [65] Visentin LM, Bondy SJ, Schwartz B, Morrison LJ. Use of personal protective
failure in critically ill subjects with confirmed influenza infection. Respir Care. 2017; equip- ment during infectious disease outbreak and nonoutbreak conditions: a
62(10):1307–15. survey of emergency medical technicians. CJEM. 2009;11(1):44–56.
[41] Alraddadi BM, Qushmaq I, Al-Hameed FM, et al. Noninvasive ventilation in [66] Daugherty EL, Perl TM, Needham DM, Rubinson L, Bilderback A, Rand CS. The use of
critically ill patients with the Middle East respiratory syndrome. Influenza Other personal protective equipment for control of influenza among critical care
Respi Vi- ruses. 2019;13(4):382–90. clinicians: a survey study. Crit Care Med. 2009;37(4):1210–6.
[42] Beitler JR, Malhotra A, Thompson BT. Ventilator-induced lung injury. Clin Chest [67] Chrimes N. The Vortex approach. http://vortexapproach.org. Published 2016.
Med. 2016;37(4):633–46. Accessed 25 Mar, 2020.
[43] Brochard L, Lefebvre JC, Cordioli RL, Akoumianaki E, Richard JC. Noninvasive [68] Peng PWH, Ho P-L, Hota SS. Outbreak of a new coronavirus: what anaesthetists
ventila- tion for patients with hypoxemic acute respiratory failure. Semin Respir should know. Br J Anaesth. 2020;124(5):497–501. https://doi.org/10.1016/j.bja.
Crit Care Med. 2014;35(4):492–500. 2020.02.008.
[44] Cheung TM, Yam LY, So LK, et al. Effectiveness of noninvasive positive pressure ven- [69] Lewis SR, Butler AR, Parker J, Cook TM, Smith AF. Videolaryngoscopy versus direct
tilation in the treatment of acute respiratory failure in severe acute respiratory syn-
laryngoscopy for adult patients requiring tracheal intubation. Cochrane Database
drome. Chest. 2004;126(3):845–50. Syst Rev. 2016;11:CD011136.
[45] Li Y, Huang X, Yu IT, Wong TW, Qian H. Role of air distribution in SARS transmission
[70] Driver BE, Prekker ME, Klein LR, et al. Effect of use of a Bougie vs endotracheal
during the largest nosocomial outbreak in Hong Kong. Indoor Air. 2005;15(2): 83–
tube and Stylet on first-attempt intubation success among patients with difficult
95.
airways undergoing emergency intubation: a randomized clinical trial. JAMA.
[46] Hui DS, Chow BK, Lo T, et al. Exhaled air dispersion during noninvasive
2018;319(21): 2179–89.
ventilation via helmets and a total facemask. Chest. 2015;147(5):1336–43.
[71] Keller C, Brimacombe J, Kleinsasser A, Brimacombe L. The Laryngeal Mask
[47] Cabrini L, Landoni G, Zangrillo A. Minimise nosocomial spread of 2019-nCoV
Airway ProSeal(TM) as a temporary ventilatory device in grossly and morbidly
when treating acute respiratory failure. Lancet. 2020;395(10225).
obese pa- tients before laryngoscope-guided tracheal intubation. Anesth Analg.
[48] Patel BK, Wolfe KS, Pohlman AS, Hall JB, Kress JP. Effect of noninvasive
2002;94(3): 737–40 ; table of contents.
ventilation delivered by helmet vs face mask on the rate of endotracheal
[72] Tay JK, Khoo ML-C, Loh WS. Surgical considerations for tracheostomy during the
intubation in patients with acute respiratory distress syndrome: a randomized
COVID-19 pandemic. JAMA Otolaryngol Head Neck Surg. 2020. https://doi.org/10.
clinical trial. JAMA. 2016; 315(22):2435–41.
1001/jamaoto.2020.0764.
[49] Ding L, Wang L, Ma W, He H. Efficacy and safety of early prone positioning combined
[73] White SJ. Auscultation without contamination: a solution for stethoscope use
with HFNC or NIV in moderate to severe ARDS: a multi-center prospective
with personal protective equipment. Ann Emerg Med. 2015;65(2):235–6.
cohort study. Crit Care. 2020;24(1):28.
[74] Gottlieb M, Holladay D, Burns KM, Nakitende D, Bailitz J. Ultrasound for airway man-
[50] Munshi L, Del Sorbo L, Adhikari NKJ, et al. Prone position for acute respiratory
agement: an evidence-based review for the emergency clinician. Am J Emerg
dis- tress syndrome. a systematic review and meta-analysis. Ann Am Thorac Soc.
Med. 2019;38(5):1007–13.
2017; 14(Supplement 4):S280–8.
[51] Xie J, Tong Z, Guan X, Du B, Qiu H, Slutsky AS. Critical care crisis and some recom- [75] Gottlieb M, Holladay D, Peksa GD. Ultrasonography for the confirmation of endotra-
mendations during the COVID-19 epidemic in China. Intensive Care Med. 2020;46 cheal tube intubation: a systematic review and meta-analysis. Ann Emerg Med.
(5):837–40. https://doi.org/10.1007/s00134-020-05979-7. 2018;72(6):627–36.
2168