Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN TN. S DENGAN DIAGNOSA FRAKTUR FEMUR


DI IGD RSUD JOMBANG

DEPARTEMEN
KEPERAWATAN GADAR/KRITIS

Disusun Oleh:
IDA DWIYANTI (183210019)

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
INSAN CENDEKIA MEDIKA
JOMBANG
2022
A. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, retak atau patahnya tulang yang
utuh, yang biasanya disebabkan oleh trauma/rudapaksa atau tenaga fisik yang
ditentukan jenis dan luasnya trauma (Lukman & Ningsih, 2012). Menurut
Smeltzer (2018), fraktur adalah gangguan komplet atau tak-komplet pada
kontinuitas struktur tulang dan didefinisikan sesuai jenis keluasannya (Smeltzer,
2018).
Fraktur femur merupakan hilangnya kontinuitas pada tulang femur atau paha,
fraktur femur terbagi dua macam yaitu fraktur femur tebuka dan fraktur femur
tertutup. Fraktur femur terbuka merupakan hilangnya kontinuitas tulang paha
disertai kerusakan jaringan lunak seperti otot, kulit, jaringan syaraf, dan pembuluh
darah yang dapat disebabkan oleh trauma langsung pada paha. Fraktur femur
tertutup atau patah tulang paha tertutup merupakan hilangnya kontinnuitas tulang
paha tanpa disertai kerusakan jaringan kulit (Muttaqin, 2008).
Fraktur femur adalah diskontinuitas dari femoral shaft yang bisa terjadi akibat
trauma secara langsung (kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian), dan
biasanya lebih banyak dialami laki-laki dewasa (Desiartama, 2017).
B. Etiologi
Fraktur disebabkan oleh pukulan langsung, gaya remuk, gerakan punter
mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem. Umumnya fraktur disebabkan oleh
trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang. Pada orang tua,
perempuan lebih sering mengalami fraktur daripada laki-laki yang berhubungan
dengan meningkatnya insiden osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon
pada menopause (Lukman & Ningsih, 2012).
Fraktur femur dapat terjadi mulai dari proksimal sampai distal. Untuk
mematahkan batang femur pada orang dewasa, diperlukan gaya yang besar.
Kebanyakan fraktur ini terjadi pada pra muda yang mengalami kecelakaan
bermotor atau jatuh dari ketinggian. Biasanya, klien ini mengalami trauma
multipel. Pada fraktur femur ini klien mengalami syok hipovolemik karena
kehilanagan banyak darah maupun syok neurogenik karena nyeri yang sangat heba
(muttaqn, 2008).

Penyebab fraktur femur menurut (Wahid, 2013) antara lain :


1. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis
patah melintang atau miring.
2. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh
dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang
paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat
berupa pemuntiran, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya,
dan penarikan.
C. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh, namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas
untuk menahan tekanan. Tetapi apabila tekanan eksternal datang lebih besar
daripada tekanan yang diserap tulang, maka terjadilah trauma tulang yang dapat
mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang.
Fraktur atau gangguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma
gangguan adanya gaya dalam tubuh, yaitu stress, gangguan fisik, gangguan
metabolik, patologik. Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik yang
terbuka maupun yang tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan
pendarahan, maka volume darah menurun. COP menurun maka terjadilah
perubahan perfusi jaringan. Hematoma akan mengeksudasi plasma dan poliferasi
menjadi edema lokal maka penumpukan di dalam tubuh. Fraktur terbuka atau
tertutup akan mengenai serabut saraf yang dapat menimbulkan gangguan rasa
nyaman nyeri. Selain itu dapat mengenai tulang dan dapat terjadi neurovaskuler
yang menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik terganggu. Disamping itu
fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi
infeksi terkontaminasi dengan udara luar dan kerusakan jaringan lunak akan
mengakibatkan kerusakan integritas kulit.
Jejas yang ditimbulkan karena adanya fraktur menyebabkan rupturnya
pembuluh darah sekitar yang dapat menyebabkan terjadinya pendarahan. Respon
dini terhadap kehilangan darah adalah kompensasi tubuh, sebagai contoh
vaskonstriksi progresif dari kulit, otot dan sirkulasi viseral. Karena adanya cedera,
respon terhadap berkurangnya volume darah yang akut adalah peningkatan detak
jantung sebagai usaha untuk menjaga output jantung, pelepasan katekolamin-
katekolamin endogen meningkatkan tahanan pembuluh perifer. Hal ini akan
meningkatkan tekanan darah diastolic dan mengurangi tekanan nadi (pulse
pressure), tetapi hanya sedikit membantu peningkatan perfusi organ. Hormon-
hormon lain yang bersifat vasoaktif juga dilepaskan kedalam sirkulasi sewaktu
terjadinya syhok, termasuk histamin, bradikinin beta-endorpin dan sejumlah besar
prostanoid dan sitokinin-sitokinin lain. Substansi ini berdampak besar pada mikro
sirkulasi dan permeabilitas pembuluh darah.
Pada syok perdarahan yang masih disini, mekanisme kompensasi sedikit
mengatur pengembalian darah (venous return) dengan cara kontraksi volume darah
didalam sistem venasistemik. Cara yang paling efektif untuk memulihkan kardiak
pada tingkat seluler, sel dengan perfusi dan oksigenasi tidak adekuat tidak
mendapat substrat esensial yang sangat diperlukan untuk metabolisme airobik
normal dan produksi energi. Pada keadaan awal terjadi konpensasi dengan
berpindah ke etabolisme anaerobik, hal mana mengakibatkan pembentukan asam
laktat dan berkembangnya asidosis metabolik bila syoknya berkepanjangan dan
penyampaian substrat untuk pembentukan ATP (adenosin triphosphat) tidak
memadai, maka membran sel tidak dapat lagi mempertahankan integritasnya dan
gradientnya elektrik normal hilang. Pembengkakan retikulum endokplasmik
merupakan tanda ultra struktural pertama dari hipoksia seluler setelah itu tidak
lama lagi akan di ikuti cedera mitokondrial. Lisosom pecah dan melepaskan enzim
yang mencernakan struktur intra-seluler. Bila proses ini berjalan terus, terjadilah
pembengkakan sel. Juga terjadi penumpukan kalsium intra-seluler. Bila proses ini
berjalan terus, terjadilah cidera seluler yang progresif, penambahan edema
jaringan dan kematian sel. Proses ini memperberat dampak kehilangan darah dan
hipoperfusi. Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat
patah dan kedalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut. Jaringan lunak juga
biasanya mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat setelah
fraktur. Ditempat patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai
jala-jala untuk melakukan aktifitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru
imatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direbsorbsi dan sel-sel tulang baru
mengalami remodeling membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluhuh darah
atau penekanan tersebut saraf yang berkaitan dengan pembengkakan yang tidak
ditangani dapatmenurunkan asupan darah ekstremitas dan mengakibatkan
kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan dapat mengakibatkan
peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dapat berakibat anoksia jaringan
yang mengakibat kan rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot (wijaya,
2013).
D. WO

Trauma langsung Trauma tidak langsung Kondisi patologis

Fraktur Gangguan mobilitas


fisik
Diskontinuitas tulang Pergeseran fragmen Nyeri akut
tulang Gangguan fungsi
ekstremitas
Perubahan jaringan Kerusakan frakmen Tindakan pembedahan
sekitar tulang

Pergeseran fragmen Spasme otot Tekanan sumsum Pemasangan traksi,


tulang tulang lebih tinggi pen, kawat scrup, dan
siko syok Peningkatan tekanan dari kapiler plat
povolemik kapiler
Deformitas Penyembuhan tulang
Melepaskan
Gangguan fungsi Pelepasan histamin (delayed union,
katekolamin
ekstremitas nonunion, malunion)
Protein plasma hilang
Metabolisme asam
Gangguan mobilitas Ansietas
Edema lemak
fisik
Penekanan pembuluh Bergabung dengan Adanya peningkatan Luka insisi
darah trombosit leukosit
Laserasi kulit
Nyeri akut
Emboli
Ketidakefektifan Risiko infeksi
Kerusakan integritas kulit
perfusi jaringan Penyumbatan Kerusakan
Risiko infeksi
perifer pembuluh darah integritas kulit
E. Klasifikasi Fraktur Femur
1. Fraktur intrakapsuler femur/ fraktur collum femoris
Fraktur collum femoris adalah fraktur yang terjadi di sebelah
proksimal linea intertrichanterica pada daerah intrakapsular sendi
panggul (Hoppenfeld dan Murthy, 2011).
2. Fraktur subtrochanter
Fraktur subtrochanter merupakan fraktur yang terjadi antara
trochanter minor dan di dekat sepertiga proksimal corpus femur.
Fraktur dapat meluas ke proksimal sampai daerah intertrochanter.
Fraktur ini dapat disebabkan oleh trauma berenergi tinggi pada pasien
muda atau perluasan fraktur intertrochanter kearah distal pada pasien
manula (Hoppenfeld dan Murthy, 2011).
3. Fraktur intertrochanter femur
Fraktur intertrochanter adalah fraktur yang terjadi diantara
trochanter major dan minor sepanjang linea intertrichanterica, diluar
kapsul sendi. Trauma berenergi tinggi dapat menyebabkan fraktur tipe
ini pada pasien muda. Pada keadaan ini, fraktur introchanter biasanya
menyertai fraktur compus (shaft) femoralis (Hoppenfeld dan Murthy,
2011).
4. Fraktur corpus femoris / fraktur batang femur
Fraktur corpus femoris adalah fraktur diafisis femur yang tidak
melibatkan daerah artikular atau metafisis. Fraktur ini sering
berhubungan dengan trauma jaringan lunak yang berat dan pada saat
yang bersamaan terjadi luka terbuka (Hoppenfeld dan Murthy, 2011).
Batang femur didefinisikan sebagai bagian yang memanjang dari
trokanter hingga kondil. Sebagian besar fraktur batang femur disebabkan
oleh kecelakaan lalu lintas atau trauma industri, khususnya kecelakaan
yang melibatkan kecepatan tinggi atau kekuatan besar (Kneale & Peter,
2011).
5. Fraktur suprakondilar femur
Fraktur femur suprakondilar melibatkan aspek distal atau metafisis
femur. Daerah ini mencakup 8 sampai 15 cm bagian distal femur.
Fraktur ini sering melibatkan permukaan sendi. Pada pasien berusia
muda, fraktur ini biasanya disebabkan oleh trauma berenergi tinggi
seperti tertabrak mobil (Hoppenfeld dan Murthy, 2011). Fraktur
suprakondilar femur lebih jarang dibandingkan fraktur batang femur
(Kneale & Peter, 2011).
F. Manifestasi Klinis
Menurut Wahid (2013) ada beberapa manifestasi klinis fraktur femur :
a. Deformitas Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah
dari tempatnya perubahan keseimbangan dan kontur terjadi seperti:
 Rotasi pemendekan tulang
 Penekanan tulang
b. Bengkak muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam
jaringan yang berdekatan dengan fraktur
c. Pada tulang traumatik dan cedera jaringan lunak biasanya disertai nyeri.
Setelah terjadi patah tulang terjadi spasme otot yang menambah rasa nyeri.
Pada fraktur stress, nyeri biasanya timbul pada saat aktifitas dan hilang pada
saat istirahat. Fraktur patologis mungkin tidak disertai nyeri.
d. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya syaraf atau
pendarahan)
e. Pergerakan abnormal biasanya kreapitas dapat ditemukan pergerakan
persendian lutut yang sulit digerakaan di bagian distal cidera.
G. Komplikasi
Komplikasi Awal :
1. Syok
Syok hipovolemik atau traumatik, akibat perdarahan (baik kehilangan
darah eksterna maupun interna) dan kehilangan cairan ekstra sel ke
jaringan yang rusak (Smeltzer, 2015).
2. Sindrom emboli lemak
Pada saat terjadi fraktur, globula lemak dapat masuk kedalam darah
karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau
karena katekolamin yang dilepaskan oleh reaksi stress pasien akan
memobilisasi asam lemak dan memudahkan terjadinya globula lemak
dalam aliran darah. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit
membentuk emboli, yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil
yang memasok otak, paru, ginjal, dan organ lain. Awitan gejalanya yang
sangat cepat dapat terjadi dari beberapa jam sampai satu minggu setelah
cedera, namun paling sering terjadi dalam 24 sampai 72 jam (Smeltzer,
2015).
3. Sindrom kompartemen
Sindrom kompartemen merupakan masalah yang terjadi saat perfusi
jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk jaringan, bisa
disebabkan karena penurunan kompartemen otot (karena fasia yang
membungkus otot terlalu ketat atau gips atau balutan yang menjerat) atau
peningkatan isi kompartemen otot (karena edema atau
perdarahan) (Smeltzer, 2015).
Komplikasi Lambat :
1. Penyatuan terlambat atau tidak ada penyatuan
Penyatuan terlambat terjadi bila penyembuhan tidak terjadi dengan
kecepatan normal. Penyatuan terlambat mungkin berhubungan dengan
infeksi sistemik dan distraksi (tarikan jauh) fragmen tulang.
2. Nekrosis avaskuler tulang
Nekrosis avaskuler terjadi bila tulang kehilangan asupan darah dan
mati. Tulang yang mati mengalami kolaps atau diabsorpsi dan diganti
dengan tulang baru (Smeltzer, 2015).
3. Reaksi terhadap alat fiksasi interna
Alat fiksasi interna biasanya diambil setelah penyatuan tulang telah
terjadi, namun pada kebanyakan pasien alat tersebut tidak diangkat
sampai menimbulkan gejala. Masalah yang dapat terjadi meliputi
kegagalan mekanis (pemasangan dan stabilisasi yang tidak memadai),
kegagalan material (alat yang cacat atau rusak), berkaratnya alat, respon
alergi terhadap campuran logam yang dipergunakan (Smeltzer, 2015).
H. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan
sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan
kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan
lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada
indikasi untuk memperlihatkan patologi yang dicari karena adanya super posisi.
Hal yang harus dibaca pada X-ray:
a) bayangan jarinagan lunak
b) tips tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau
juga rotasi.
c) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
d) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi. Selain foto polos X-ray (plane X-
ray) mungkin perlu teknik khususnya seperti:
a) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain
tertutup yang sulit difisualisasi. Pada kasusu ini ditemukan kerusakan struktur
yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga
mengalaminya.
b) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah
diruang tulang vetebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
c) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda
paksa.
d) Computed Tomografi-schanning: menggambarkan potongan secara transfersal
dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak (Wahid, 2013).
2) Pemeriksaan laboratorium
a) Kalsium serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahapan penyembuhan
tulang.
b) Alkalin fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan
osteoblastik dalam membentuk tulang.
c) Enzim otot seperti kreatinin kinase, laktat dehydrogenase (LDH-5), aspartat
Amino transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan
tulang (Wahid, 2013).
3) Pemeriksaan lain-lain
a) Pemeriksaan mikroorganisme kultur testsensitivitas: Didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
b) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan
diatas tapi lebih di indikasikan bila terjdi infeksi.
c) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang dikibatkan faktor.
d) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma
yang berlebihan.
e) Indium imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
f) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur (wahid, 2013).
I. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Menurut (Wijaya dan mariza putri, 2013). Proses dalam keperawatan adalah
penerapan pemecahan masalah keperawatan secara ilmiah yang digunakan
untuk mengidentivikasi masalah, merencanakan secara sistematis, dan
melaksanakannya dengan cara mengevaluasi hasil tindakan keperawatan yang
telah dilaksanakan.
Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan,
untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien
sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. (wahid,
2013).
a. Pengumpulan data
1) Identitas Pasien
Meliputi nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama, bahasa yang digunakan,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, nomor
register, tanggal dan jam masuk rumah sakit (MRS), dan diagnostik medis
(muttaqin, 2008).
2) Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada fraktur femur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut bisa kronik tergantung lamanya serangan. Untuk memperoleh
pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri pasien digunakan:
a) provoking incident: apakah ada peristiwa yang menjadi faktor presipitasi
nyeri.
b) Quality of pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan
klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
c) Region: Radiation, relief, apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi
d) Severity (scale) of pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan sakala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari (wahid, 2013).
3) Riwayat kesehatan sekarang
Kaji kronologi terjadinya trauma, yang menyebabkan patah tulang paha,
pertolongan apa yang telah didapatkan, dan dan apakah sudah berobat ke dukun
patah. Dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan, perawat dapat
mengetahui luka yang lain (muttaqin, 2008).
4) Riwayat kesehatan dahulu
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit kelainan formasi
tulang atau biasanya disebut paget dan ini mengganggu proses daur ulang
tulang yang normal di dalam tubuh sehingga menyebabkan fraktur patologis
sehingga tulang sulit menyambung. Selain itu, klien diabetes dengan luka di
kaki sangat beresiko mengalami osteomielitis akut dan kronis dan penyakit
diabetes menghambat proses penyembuhan tulang (muttaqin, 2008).
5) Riwayat kesehatan keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit yang tulang merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis
yang terjadi pada beberapa keturunan dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik (muttaqqin, 2008).
6) Pola fungsi kesehatan
Menurut (Wahid, 2013) sebagai berikut :
 Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Biasanya partisipan akan mengalami perubahan atau gangguan pada
personal hygine, misalnya kebiasaan mandi terganggu karena geraknya
terbatas, rasa tidak nyaman, ganti pakaian, BAB dan BAK memerlukan
bantuan oranglain, merasa takut akan mengalami kecacatan dan merasa
cemas dalam menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulang karena kurangnya pengetahuan.
 Pada pasien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vitamin C dan lainya
untuk membantu proses penyembuhan tulang dan biasanya pada
partisipan yang mengalami fraktur bisa mengalami penurunan nafsu
makan bisa juga tidak ada perubahan.
 Pola eliminasi
Untuk kasus fraktur femur biasanya tidak ada gangguan pada eliminasi,
tetapi walaupun begitu perlu juga kaji frekuensi, konsitensi, warna serta
bau fases pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri
dikaji frekuensi kepekatanya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola
ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
 Pola istrahat dan tidur
Semua pasien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal
ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur pasien. Selain itu juga
pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
 Pola aktivitas
Biasanya pada pasien fraktur femur timbulnya nyeri, keterbatasan gerak,
maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan
klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji
adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada
bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerrjaan
yang lain.
 Pola hubungan dan peran
Pasien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat.
Karna klien harus menjalani rawat inap.
 Pola presepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakuatan akan
kecacatan akan frakturnya, rasa cemas, rasa ketidak mampuan untuk
melkukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya
yang salah.
 Pola sensori dan kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedangkan pada indera yang lain tidak timbul gangguan. Begitu
juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga,
timbul rasa nyeri akibat fraktur.
 Pola reproduksi seksual
Dampak pada pasien fraktur femur yaitu, pasien tidak bisa melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan
gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu perlu
dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama
perkawinannya.
 Pola penanggulangan stress
Pada pasien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya.
Mekanisame koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
 Pola tata nilai dan kepercayaan
Untuk pasien fraktur femur tidak dapat melaksanakan kebutuhan
beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa
disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.
b. Pemeriksaan fisik
Menurut (wahid, 2013) pemeriksaan fisik dibagi menjadi dua, yaitu
pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum
dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan
total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan
daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
1) Gambaran umum
Perlu menyebutkan:
a) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat merupakan tanda-tanda,
seperti:
(1) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.
(2) Kesakitan, keadaan penyakit : akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada
kasus fraktur biasanya akut.
(3) Tanda-tanda vital tidak normal
b) Secara sistemik
(1) Sistem integument
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema,
nyeri tekan.
(2) Kepala
Biasanya diikuti atau tergantung pada gangguan kepala.
(3) Leher
Biasanya tidak ada pembesaran kelenjar tiroid atau
getah bening
(4) Muka
Biasanya wajah tampak pucat, dan meringis
(5) Mata
Biasanya konjungtiva anemis atau sklera tidak ikterik
(6) Telinga
Biasanya simetris kiri dan kanan dan tidak ada masalah pada pendengaran.
(7) Hidung
Biasanya simetris kiri dan kanan dan tidak ada pernafasan cuping hidung
(8) Mulut
Biasanya mukosa bibir kering, pucat, sianosis
(9) Thoraks
 Inspeksi
Biasanya pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada
riwayat penyakit pasien yang berhubungan dengan paru.
 Palpasi
Biasanya pergerakan sama atau simetris, fermitus teraba sama.
 Perkusi
Biasanya suara ketok sonor, tak ada redup atau suara tambahan lainya.
 Auskultasi
Biasanya suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan
lainnya seperti stridor dan ronchi.
(10) Jantung
 Inspeksi
Biasanya tidak tampak iktus kordis
 Palpasi
Biasanya iktus kordis tidak teraba
Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(11) Abdomen
 Inspeksi
Biasanya bentuk datar, simetris tidak ada hernia.
 Palpasi
Biasanya tugor baik, hepar tidak teraba
 Perkusi
Biasanya suara thympani
 Auskultasi
Biasanya bising usus normal ± 20 kali/menit
(12) Ekstremitas atas
Biasanya akral teraba dingin, CRT < 2 detik, turgou kulit baik, pergerakan baik
(13) Ekstremitas bawah
Biasanya akral teraba dingin, CRT > 2 detik, turgor kulit jelek, pergerakan tidak
simteris, terdapat lesi dan edema.
2) Gambaran local
Harus diperhatikan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai
status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler 5 P yaitu Pain, palor,
parestesia, pulse, pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskukuluskletal
adalah:
a) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(1) Jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi
(2) penampakan kurang lebih besar uang logam. Diameternya bisa sampai 5cm
yang di dalamnya berisi bintik-bintik hitam. Cape au lait itu bisa berbentuk
seperti oval dan di dalamnya bewarna coklat. Ada juga berbentuk daun dan
warna coklatnya lebih coklat dari kulit, di dalamnya juga terbentuk bintik-bintik
dan warnanya jauh lebih coklat lagi. Tanda ini biasanya ditemukan di badan,
pantat, dan kaki.
(3) Fistulae warna kemrahan atau kebiruan (livide) atau hipergigmentasi.
(4) Benjolan pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa
(abnormal).
(5) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas).
(6) Posisi jalan
b) Feel ( palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari
posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan
memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah :
(1) Perubahan suhu di sekitar trauma (hangat) kelembaban kult. Capillary refill
time Normal 2 detik.
(2) Apabila ada pembekakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama
disekitar persendian.
(3) Nyeri tekan( tendernes), krepitasi, catat letak kelainan
(1/3 proksimal, tengah, atau distal).
Otot : Tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi, benjolan yang terdapat
dipermukaan atu melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status
neurevaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu di deskripsikan
permukaannya, konsistensinya, pergerakantehadap dasar atau permukaannya,
nyeri atau tidak, dan ukurannya.
(4) Move ( pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel , kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada
pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi
keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi di catat dengan ukuran
derajat, dari tiap rah pergerakan mulai dari titik O (posisi netral) atau dalam
ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak
(mobilitas) atau tidak.Pergerakan yang di lihat adalah gerakan aktif dan pasif
(Wahid, 2013).
c. Pemeriksaan diagnostik
1) pemeriksaan radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi
keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP
atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan
(khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan patologi yang dicari karena adanya
super posisi. Hal yang harus dibaca pada X-ray:
a) bayangan jarinagan lunak
b) tips tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau
juga rotasi.
c) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
d) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi. Selain foto polos X-ray (plane X-
ray) mungkin perlu teknik khususnya seperti:
a) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain
tertutup yang sulit difisualisasi. Pada kasusu ini ditemukan kerusakan struktur
yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga
mengalaminya.
b) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh
darah diruang tulang vetebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
c) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda
paksa.
d) Computed Tomografi-schanning: menggambarkan potongan secara
transfersal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak
(Wahid, 2013).
2) Pemeriksaan laboratorium
a) Kalsium serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahapan penyembuhan
tulang.
b) Alkalin fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan
osteoblastik dalam membentuk tulang.
c) Enzim otot seperti kreatinin kinase, laktat dehidrogenase (LDH-5), aspartat
Amino transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan
tulang (Wahid, 2013).
3) Pemeriksaan lain-lain
a) Pemeriksaan mikroorganisme kultur testsensitivitas: Didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
b) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih di indikasikan bila terjdi infeksi.
c) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang dikibatkan faktor.
d) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma
yang berlebihan.
e) Indium imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang.
f) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur (wahid, 2013).
2. Diagnose Keperawatan
Diagnose keperawatan merupakan kesimpulan atas pengkajian yang
dilakukan terhadap pasien, diagnosis keperawatan ini adalah maslah
keperawatan pasien sebagai akibat atau respon pasien terhadap pemyakit
yang dialami. Diagnosa keperawatan ini dapat ditegakkan dalam 3
kategoori/jenis: actual, potensial/resiko, resiko tinggi (Purwanto,2016).
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik
2) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
muskuloskeletal
3)Defisit perawatan diri : mandi berhubungan dengan gangguan
muskuloskeletal
4) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan sirkulasi
5) Resiko infeksi
6) Ansietas berhubungan dengan ancaman pada status terkini
7)Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang sumber
pengetahuan.
3. Intervensi
Intervensi merupakan tahapan selanjutnya dalam asuhan keperawatan
setelah tahapan pengkajian dan diagnosis keperawatan. Dalam
merencanakan tindakan sangat tergantung pada diagnosis yang diangkat,
kondisi pasien dan sarana prasarana rumah sakit tempat pasien tersebut
dirawat (Purwanto, 2016).

Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi

Nyeri akut berhubungan Tujuan : nyeri dapat 1. Lakukan pendekatan pada


dengan agen injury fisik berkurang atau hilang. klien dan keluarga
Kriteria Hasil : 2. Kaji tingkat intensitas dan
• Nyeri berkurang atau frekwensi nyeri
hilang 3. Jelaskan pada klien
• Klien tampak tenang. penyebab dari nyeri
• pasien 4. Observasi tanda-tanda vital.
mengungkapkan 5. Melakukankolaborasi
mampu untuk dengan tim medis dalam
melakukan beberapa pemberian analgesic
aktivitas tanpa
dibantu.
• Koordinasi otot,
tulang dan anggota
gerak lainya baik
Kerusakan integritas kulit Setelah dilakukan asuhan 1. Kaji kulit dan identifikasi
berhubungan dengan keperawatan Mencapai pada tahap perkembangan
trauma penyembuhan luka pada luka.
waktu yang sesuai. 2. Kaji lokasi, ukuran, warna,
Kriteria Hasil : bau, serta jumlah dan tipe
cairan luka.

 tidak ada tanda 3. Pantau peningkatan suhu


tanda infeksi tubuh.
 seperti pus. 4. Berikan perawatan luka
luka bersih tidak dengan tehnik aseptik. Balut
lembab dan tidak kotor. luka dengan kasa kering dan
Tanda-tanda vital dalam steril, gunakan plester
batas normal atau dapat kertas.
ditoleransi. 5. Jika pemulihan tidak terjadi
kolaborasi tindakan
lanjutan, misalnya
debridement.
6. Setelah debridement, ganti
balutan sesuai kebutuhan.
7. Kolaborasi pemberian
antibiotik sesuai indikasi.
Hambatan mobilitas fisik Setelah dilakukan 1. Kaji kebutuhan akan
berhubungan dengan asuhan pelayanan kesehatan dan
nyeri, kelemahan keperawatan kebutuhan akan peralatan.
Tujuan : pasien 2. Tentukan tingkat motivasi
akan pasien dalam melakukan
menunjukkan aktivitas.
tingkat mobilitas 3. Ajarkan dan pantau pasien
optimal. dalam hal penggunaan alat
Kriteria hasil : bantu.
• penampilan yang 4. Ajarkan dan dukung pasien
seimbang. dalam latihan ROM aktif
• melakukan dan pasif.
pergerakkan dan Kolaborasi dengan ahli
perpindahan. terapi fisik atau okupasi.
• mempertahankan
mobilitas optimal
yang dapat di
toleransi.

Risiko infeksi Setelah dilakukan asuhan 1. Pantau tanda-tanda vital.


berhubungan dengan tidak keperawatan Tujuan : 2. Lakukan perawatan luka
adekuatnya pertahanan infeksi tidak terjadi / dengan teknik aseptik.
tubuh primer, procedure terkontrol. Kriteria hasil : Lakukan perawatan
invasif • tidak ada tanda-tanda terhadap prosedur inpasif
infeksi seperti pus. seperti infus, kateter,
• luka bersih tidak drainase luka, dll.
lembab dan tidak 3. Jika ditemukan tanda
kotor. infeksi kolaborasi untuk
• Tanda-tanda vital pemeriksaan darah, seperti
dalam batas normal
atau dapat ditoleransi Hb dan leukosit.
4. Kolaborasi untuk
pemberian antibiotic
Kurang pengetahuan Setelah dilakukan asuhan 1. Kaji tingkat pengetahuan
tentang penyakit keperawatan Tujuan : klien dan keluarga tentang
berhubungan dengan pasien mengutarakan penyakitnya.
kurang terpaparnya pemahaman tentang 2. Berikan penjelasan pada
informasi tentang penyakit kondisi, efek prosedur klien tentang penyakitnya
dan proses pengobatan. dan kondisinya sekarang.
Kriteria Hasil : 3. Anjurkan klien dan
• melakukan prosedur keluarga untuk
yang diperlukan dan memperhatikan diet
menjelaskan alasan makanan nya..
dari suatu tindakan. 4. Minta klien dan keluarga
• memulai perubahan mengulangi kembali
gaya hidup yang tentang materi yang telah
diperlukan dan ikut diberikan
serta dalam regimen
perawatan.

4. Implementasi
Implementasi keperawatan merupakan langkah berikutnya dalam
proses keperawatan. Semua kegiatan yang digunakan dalam memberikan
asuhan keperawatan pada pasien harus direncankan untuk menunjang
tujuan pengobatan medis, dan memenuhi tujuan rencana keperawatan.
Implementasi rencana asuhan keperawatan berarti perawat
mengarahkan, menolong, mengobservasi dan mendidik semua personil
keperawatan dan pasien, termasuk evaluasi perilaku dan pendidikan,
merupakan supervisi keperawatan yang penting (Hidayah, 2014).
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahapan terakhir dari asuhan keperawatan, dimana
pada tahapan ini mengevaluasi apakah tindakan yang dilakukan sudah
efektif atau belum untuk mengatsi masalah keperawatan pasien atau
dengan kata lain tujuan tersebut tercapai atau tidak. Evaluasi ini sangat
penting karena manakala setelah dievaluasi ternyata tujuan tidak tercapai
sebagian, maka harus reassessment kembali kenapa tujuan tidak tercapai
(Purwanto, 2016) menggunakan metode SOAP (subyektif, obyektif,
planning).
DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3, EGC, Jakarta
Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6, EGC,
Jakarta
Doengoes, Marlylin E, 2000 Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
Evelyn C.Pearce. 2008. Anatomi Fisiologi Untuk Para Medis . jakarta: PT Gramedia
Engram Barbara, 2001. Rencana Asuhan Keperawatan Bedah Volume 2. EGC
Ignatavicius, D. D. 2010. Medical – Surgical Nursing : Clients- Centered
Colaborative Care. Sixth Edition, 1 & 2. Missouri : Saunders Elsevier
Mansjoer (2000) & Muttaqin (2008). Penatalaksanaan keperawatan. Jakarta : EGC
Muttaqin, Arif (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Muskuloskaletal. Jakarta : EGC
Nursalam. 2001. Pendekatan praktis metodologi Riset Keperawatan. Jakarta. Info
Medika
PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Defisit dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI
Price dan Wilson (2006). Patofisiologi Konsep Klinis – Proses Penyakit.
Jakarta :EGC
Price Syalvia, A.2002. Patofisiologi Konsep Klinis-Proses Penyakit. Jakarta : EGC
Smeltzer Suzanne, C. 2002. Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8. Jakarta : EGC
Sjamsuhidajad & Jong (2005). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan
Gangguan Muskuloskaletal. Jakarta : EGC Rasjad , Chairudin, 2007.
Pengantar Ilmu Bedah Orthopedi, Edisi ketiga. Yrsif Watampore, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai