0%(1)0% menganggap dokumen ini bermanfaat (1 suara)
437 tayangan27 halaman
Laporan pendahuluan pasien TN. S dengan diagnosis post amputasi di RSUD Jombang membahas:
(1) pengertian amputasi sebagai pemotongan sebagian atau seluruh anggota tubuh, (2) penyebab amputasi seperti penyakit pembuluh darah dan diabetes, serta (3) manifestasi klinis pasca amputasi seperti nyeri dan gangguan citra tubuh.
Laporan pendahuluan pasien TN. S dengan diagnosis post amputasi di RSUD Jombang membahas:
(1) pengertian amputasi sebagai pemotongan sebagian atau seluruh anggota tubuh, (2) penyebab amputasi seperti penyakit pembuluh darah dan diabetes, serta (3) manifestasi klinis pasca amputasi seperti nyeri dan gangguan citra tubuh.
Laporan pendahuluan pasien TN. S dengan diagnosis post amputasi di RSUD Jombang membahas:
(1) pengertian amputasi sebagai pemotongan sebagian atau seluruh anggota tubuh, (2) penyebab amputasi seperti penyakit pembuluh darah dan diabetes, serta (3) manifestasi klinis pasca amputasi seperti nyeri dan gangguan citra tubuh.
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INSAN CENDEKIA MEDIKA JOMBANG 2022 A. Pengertian Amputasi berasal dari kata “amputare” yang kurang lebih diartikan “pancung”. Bararah dan Jauhar (2012) menyatakan bahwa “amputasi adapat diartikan sebagai tindakan memisahkan bagian tubuh sebagian atau seluruh bagian ekstremitas. Tindakan ini merupakan tindakan yang dilakukan dalam kondisi pilihan terakhir manakala masalah organ yang terjadi pada ekstremitas sudah tidak mungkin dapat diperbaiki dengan menggunakan teknik lain, atau manakala kondisi organ dapat membahayakan keselamatan tubuh klien secara utuh atau merusak organtubuh yang lain seperti timbulnya komplikasi infeks”. Adapun pengertian amputasi menurut LeMone (2011) Amputasi adalah pemotongan sebagian atau seluruh dari anggota ekstremitas. Amputasi merupakan tidakan dari proses yang akut, seperti kejadian kecelakaan atau kondisi yang kronik, misalnya penyakit pembuluh perifer, diabetes mellitus. Hal yang sama diungkapkan juga oleh Lukman dan Ningsih (2009), amputasi adalah pengangkatan/pemotongan/pembuangan sebagian anggota tubuh/gerak yang disebabkan oleh adanya trauma, gangguan peredaran darah, osteomeilitis, dan kanker tulang melalui proses pembedahan. B. Etiologi Menurut LeMone (2016), Penyebab amputasi adalah kelainan ekstermitas yang disebabkan oleh penyakit DM, gangren, cidera, dan tumor ganas. Tindakan amputasi dapat dilakukan pada kondisi : a. Fraktur multipel organ tubuh yang tidak mungkin dapat diperbaiki . b. Kehancuran jaringan kulit yang tidak mungkin diperbaiki. c. Gangguan vaskuler atau sirkulasi pada ekstermitas yang berat. d. Infeksi yang berat atau beresiko tinggi menyebar ke aggota tubuh lainnya. e. Adanya tumor pada organ yang tidak mungkin diterapi secara konservatif. f. Deformitas organ. C. Patofisiologi Penyakit pembuluh darah perifer merupakan pemnyebab terbesar dari amputasi anggota gerak bagian bawah. Biasanya penyebab dari penyakit pembuluh darah perifer adalah hipertensi, diabetes, hiperlipidemia. Penderita neuropati perifer terutama klien dengan diabetes melitus mempunyai resiko untuk amputasi. Pada neuropati perifer biasanya kehilangan sensor untuk merasakan adanya luka dan infeksi. Tidak terawatnya luka dapat infeksi dapat menyebabkan terjadinya gangren dan membutuhkan tindakan amputasi. Insiden amputasi paling tinggi terjadi pada laki-laki usia muda. Biasanya amputasi di indikasikan karena kecelakaan kendaraan terutama motor, atau kecelakaan penggunaan mesin saat bekerja. Kejadian ini juga dapat terjadi pada orang dewasa namun presentasinya lebih sedikit dibanding dengan kalangan muda. Amputasi di indikasikan bagi klien dengan gangguan aliran darah baik akut maupun kronis. Pada situasi trauma akut, dimana anggota tubuhnya terputus sebagian atau seluruhnya akan mengalami kematian jaringan. Walaupun replantasi jari, bagian tubuh yang kecil, atau seluruh anggota tubuh sukses. Pada proses penyakit kronik,sirkulasi mengalami gangguan sehingga terjadi kebocoran protein pada intersisium sehingga terjadi edema. Edema menambah resiko terjadinya cedera dan penurunan sirkulasi. Ulkus yang ada menjadi berkembang karena terinfeksi yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan yang membuat bakteri mudah berkembangbiak. Infeksi yang terus bertumbuh membahayakan sirkulasi selanjutnya dan akhirnya memicu gangren, dan dibutuhkan tindakan amputasi (LeMone, 2011). Selain dari data diatas, penyebab atau faktor predisposisi terjadinya amputasi diantaranya ialah terjadinya fraktur multiple organ tubuh yang yangt tidak mungkin dapat diperbaiki, kehancuran jaringan kuli yang tidak mungkin diperbaiki, gangguan vaskuler/sirkulasi pada ekstremitas yang berat, infeksi yang berat atau berisiko tinggi menyebar ke anggota tubuh lainnya, ada tumor pada organ yang tidak mungkin diterapi secara konservatif, deformitas organ (Bararah dan Jauhar, 2013). Berdasarkan pelaksanaannya amputasi dibedakan menjadi amputasi selektif/terencana diamana amputasi ini dilakukan pada penyakit yang terdiagnosis dan mendapat penangan yang terus menerus, biasanya dilakukan sebagai salah satu tindakan terakhir, sedangkan amputasi akibat trauma tidak direncanakan. Amputasi darurat merupakan tindakan yang memerlukan kerja yang cepat, seperti pada trauma multiple dan kerusakan/kehilangan kulit yang luas. Menurut jenisnya amputasi dibagi menjadi dua macam, yaitu amputasi jenis terbuka dan tertutup. Amputasi terbuka dilakukan pada kondisi infeksi yang berat dimana pemotongan tulang dan otot pada tingkat yang sama sedangkan amputasi tertutup dilakukan dalam kondisi yang lebih memungkinkan dimana dibuat skaif kulit untuk menutup luka yang dibuat dengan memotong kurang lebih 5 centimeter dibawah potongan otot dan tulang. Amputasi dilakukan pada titik paling distal yang masih dapat mencapai penyembuhan dengan baik. Tempat amputasi ditentukan berdasarkan dua faktor peredaran darah pada bagian itu dan kegunaan fungsional (sesuai kebutuhan protesis). Amputasi jari kaki dan sebagian kaki hanya menimbulkan perubahan minor dalam gaya jalan dan keseimbangan. Amputasi syme (memodifikasi amputasi disartikulasi pergelangan kaki) dilakukan paling sering pada trauma kaki ekstensif dan menghasilkan ekstremitas yang bebas nyeri dan kuat dan dapat menahan beban berat badan penuh. Amputasi dibawah lutut lebih disukai dibanding amputasi diatas lutut karena pentingnya sendi lutut dan kebutuhan energi untutk berjalan. Dengan mempertahankan lutut bagi lansia antara ia bisa berjalan dengan alat bantu dan atau bisa duduk di kursi roda. Diartikulasi sendi lutut paling berhasil pada klien muda, aktif yang masih mampu mengembangkan kontrol yang tepat sebanyak mungkin panjangnya, otot dibentuk dan distabilkan, dan disupervisi pinggul dapat dicegah untuk potensi supervise maksimal. Bila dilakukan amputasi disartikulasikan sendi pinggul kebanyakan orang akan tergantung pada kursi roda untuk mobilisasinya. Amputasi ekstremitas atas dilakukan dengan mempertahankan panjang fungsional maksimal. Protesis segera diukur dengan fungsinya bisa maksimal (Bararah dan Jauhar, 2013). Perdarahan infeksi, dan kerusakan integritas kulit merupakan komplikasi amputasi. Perdarahan dapat terjadi akibat pemotongan pembuluh darah besar dan dapat menjadi massif. Infeksi dapat terjadi pada semua pembedahan, dengan perdaran darah yang buruk atau adanya kontaminasi serta dapat terjadi kerusakan kulit akibat penyembuhan luka yang buruk dan iritasi penggunaan prosthesis (Lukman dan Ningsih, 2009). D. Pathway E. Manifestasi Klinis Menurut LeMone (2016), manifestasi klinis yang data ditemukan pada pasien dengan post operasi amputasi antara lain: 1. Nyeri akut 2. Keterbatasan fisik 3. Pantom syndrome 4. Pasien mengeluhkan adanya perasaan tidak nyaman 5. Adanya gangguan citra tubuh, mudah marah, cepat tersinggung, pasien cenderung berdiam diri. F. Jenis Amputasi Menurut Adawiyah (2011), berdasarkan pelaksanaan amputasi, dibedakan menjadi : a. Amputasi selektif/terencana Amputasi jenis ini dilakukan pada penyakit yang terdiagnosis dan mendapat penanganan yang baik serta terpantau secara terus-menerus. Amputasi dilakukan sebagai salah satu tindakan alternatif terakhir b. Amputasi akibat trauma Merupakan amputasi yang terjadi sebagai akibat trauma dan tidak direncanakan.Kegiatan tim kesehatan adalah memperbaiki kondisi lokasi amputasi sertamemperbaiki kondisi umum klien. c. Amputasi darurat Kegiatan amputasi dilakukan secara darurat oleh tim kesehatan. Biasanya merupakan tindakan yang memerlukan kerja yang cepat seperti pada trauma dengan patah tulang multiple dan kerusakan/kehilangan kulit yang luas. G. Metode Pelaksanaan Amputasi Amputasi dilakukan dengan 2 metode yaitu : 1. Metode terbuka (guillotine amputasi) Metode ini digunakan pada klien dengan infeksi yang mengemban. Bentuknyabenar-benar terbuka dan dipasang drainage agar luka bersih, dan luka dapat ditutup setelah tidak terinfeksi, dan dilakukan pada kondisi infeksi yang berat dimana pemotongan pada tulang dan otot pada tingkat yang sama. 2. Metode tertutup Pada metode ini kulit tepi ditarik pada atas ujung tulang dan dijahit pada daerah yang diamputasi. Dilakukan dalam kondisi yang lebih memungkinkan dimana dibuat skaif kulit untuk menutup luka yang dibuat dengan memotong kurang lebih 5 sentimeter dibawah potongan otot dan tulang. Setelah dilakukan tindakan pemotongan, maka kegiatan selanjutnya meliputi perawatan luka operasi/mencegah terjadinya infeksi, menjaga kekuatan otot/mencegah kontraktur, mempertahankan intaks jaringan, dan persiapan untuk penggunaan protese (mungkin). Berdasarkan pada gambaran prosedur tindakan pada klien yang mengalami amputasi maka perawat memberikan asuhan keperawatan pada klien sesuai dengan kompetensinya. H. Batas dan Tingkatan Amputasi Tingkatan amputasi ditentukan oleh luas dan jenis penyakit. 1. Pada cedera, ditentukan oleh peredaran darah yang adekuat. 2. Pada tumor, ditentukan oleh daerah bebas tumor dan bebas resiko kekambuhan lokal. 3. Pada penyakit pembuluh darah, ditentukan oleh vaskularisasi sisa ekstremitas dan daya sembuh luka puntung. a. Ekstremitas atas Amputasi pada ekstremitas atas dapat mengenai tangan kanan atau kiri. Hal ini berkaitan dengan aktivitas sehari-hari seperti makan, minum, mandi, berpakaian dan aktivitas yang lainnya yang melibatkan tangan. b. Ekstremitas bawah Amputasi pada ekstremitas ini dapat mengenai semua atau sebagian dari jari- jari kaki yang menimbulkan seminimal mungkin kemampuannya. Adapun amputasi yang sering terjadi pada ekstremitas ini dibagi menjadi dua letak amputasi yaitu : a. Amputasi dibawah lutut (below knee amputation). Ada 2 metode pada amputasi jenis ini yaitu amputasi pada nonischemic limb dan inschemic limb. Hal ini dibedakan erhubungan dengan cara menutup flap yang berbeda. Pada amputasi jenis ini dikenal tension myodesis dan myoplasty. Tension myodesis adala mengikatkan group otot tuang dengan tulang, sedangkan myoplasty adalah menjahitkan otot dengan jaringan lunak pada sisi yang lain yaitu pada otot atau fasia sebelahnya. Cara ini berguan untuk menstabilkan stump dan sangat ditekankan untuk penderita yang masih aktif dan masih muda. b. Amputasi diatas lutut (above knee amputation) Amputasi ini memegang angka penyembuhan tertinggi pada pasien dengan penyakit vaskuler perifer. Amputasi jenis ini merupakan terbanyak kedua stelah amputasi bawah lutut. Pada amputasi jenis ini persendian lutut hilang, maka harus dipikirkan yang terbaik yang dapat menyangga berat badan. Prosthesis yang konvensional membutuhkan jarak 9-10 cm dari distal stump sehingga bisa berfungsi seperti sendi lutut. Amputasi tulang setinggi 5 cm atau kurang dari distal trochanter minor akan mempunyai fungsi dan kekuatan penggunaan postesis sama dengan hip disarticulation. 4. Nekrosis Pada keadaan nekrosis biasanya dilakukan dulu terapi konservatif, bila tidak berhasil dilakukan reamputasi dengan level yang lebih tinggi. 5. Kontraktur Kontraktur sendi dapat dicegah dengan mengatur letak stump amputasi serta melakukan latihan sedini mungkin. Terjadinya kontraktur sendi karena sendi terlalu lama diistirahatkan atau tidak di gerakkan 6. Neuroma ada ekstremitas atas, tidak dipakai batas amputasi tertentu, sedangkan pada ekstremitas bawah lazim dipakai “ Batas Amputasi Klasik” Penilaian batas amputasi : 1. Jari dan kaki Pada amputasi jari tangan dan kaki penting untuk mempertahankan falanx dasar. Amputasi transmetatarsal memberi puntung yang baik. Amputasi di sendi tarso- metatarsus lisfranc mengakibatkan per ekuinus dengan pembebanan berlebih pada kulit ujung puntung yang sukar ditanggulangi. 2. Proksimal sendi pergelangan kaki Amputasi transmaleolar baik sekali bila kulit tumit utuh dan sehat sehingga dapat menutup ujung puntung. 3. Tungkai bawah Panjang puntung tungkai bawah paling baik antara 12 dan 18 cm dari sendi lutut,tergantung keadaan setempat, usia penderita dan tinggi badan. Bila jarak dari sendi lutut kurang dari 5 cm, protesis mustahil dapat dikendalikan eksartikulasi lutut menghasilkan puntung yang baik sekali. Amputasi ini dapat dilakukan pada penderita geriatrik. 5. Tungkai atas Puntung tungkai atas sebaiknya tidak kurang dari 10cm dibawah sendi panggul,karena bisa menyebabkan kontraktur fleksi-abduksi-eksorotasi. Puntung juga tidak boleh kurang dari 10 cm diatas sendi lutut karena ujung puntung sepanjang ini sukar dibebani. Eksartikulasi dapat menahan pembebanan. 6. Sendi panggul dan hemipelvektomi Eksartikulasi sendi panggul kadang dilakukan pada tumor ganas. Protesis akan lebih sukar dipasang. Protesis untuk hemipelvektomi tersedia, tetapi memerlukan kemauan dan motivasi kuat dari penderita. 7. Tangan Amputasi parsial jari atau tangan harus sehemat mungkin setiap jari dengan sensitibilitas kulit dan lingkup gerak utuh berguna sekali sebab dapat digunakan untuk fungsi menggenggam atau fungi oposisi ibu jari. 8. Pergelangan tangan Dipertahankan fungsi pronasi dan supinasinya. Tangan mioelektrik maupun kosmetik dapat dipakai tanpa kesulitan. 9. Lengan bawah Batas amputasi di pertengahan lengan bawah paling baik untuk memasang protesis. Puntung harus sekurang-kurangnya distal insersi M. Biseps dan M. Brakhialis untuk fleksi siku. 10. Siku dan lengan atas Ekssartikulasi siku mempunyai keuntungan karena protesis dapat dipasang tanpa fiksasi sekitar bahu. Pada amputasi di diafisis humerus, protesis harus dipertahankan dengan ikatan dan fiksasi pada bahu. Eksartikulasi bahu dan amputasi intertorakoskapular , yang merupakan amputasi termausk gelang bahu, ditangani dengan protesis yang biasanya hanya merupakan protesis kosmetik I. Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan Radiologi yaitu: - Radiologi (ST- Scan) - X-ray - Kultur jaringan - Biopsy - Laboratorium Tindakan pengkajian dilakukan juga dengan penilaian secara laboratorik atau melalui pemeriksaan penunjang lain secara rutin dilakukan pada klien yang akan dioperasi yang meliputi penilaian terhadap fungsi paru, fungsi ginjal, fungsi hepar dan fungsi jantung. - Pemeriksaan pasca amputasi Sistem Respirasi Mengkaji kemampuan suplai oksigen dengan menilai adanya sianosis, riwayat gangguan nafas. J. Penatalaksanaan Tujuan utama pembedahan adalah mencapai penyembuhan luka amputasi, menghasilkan sisa tungkai (puntung) yang tidak nyeri tekan dengan kulit yang untuk menggunakan prostesis. Lansia mungkin mengalami keterlambatan penyembuhan,karena nutrisi yang buruk dan masalah kesehatan lain. Percepatan penyembuhan dapat dilakukan dengan penanganan yang lembut terhadap sisa tungkai, pengontrolan edema sisa tungkai dengan balutan kompres lunak atau rigid, dan menggunakan teknik aseptic dalam perawatan luka untuk menghindari infeksi. 1. Balutan Rigid Tertutup Digunakan untuk mendapatkan kompresi yang merata, menyangga jaringan lunak dan mengontrol nyeri, serta mencegah kontraktur. Segera setelah pembedahan balutan gips rigid dipasang dan dilengkapi tempat memasang ekstensi prosthesis sementara (pylon) dan kaki buatan.Pasang kaus kaki steril pada sisi steril, dan bantalan dipasang pada daerah peka tekanan. Sisa tungkai (puntung) kemudian dibalut dengan gips elastisyang ketika mengeras akan memberikan tekanan yang merata. Gips diganti sekitar 10-14 hari. Bila terjadi peningkatan suhu tubuh, nyeri berat atau gips mulai longgar harus segera diganti. 2. Balutan Lunak Balutan lunak dengan atau tanpa kompresi dapat digunakan bila diperlukan inspeksi berkala sisa tungkai (puntung) sesuai kebutuhan. Bidai imobilisasi dapat dibalutkan pada balutan. 3. Amputasi Bertahap Dilakukan bila ada gangrene atau infeksi. Pertama-tama dilakukan amputasi guillotine untuk mengangkat semua jaringan nekrosis dan sepsis. Luka didebridemen dan dibiarkan mongering. Sepsis ditangani dengan antibiotik. Dalam beberapa hari, bila infeksi telah terkontrol dank lien telah stabil, dilakukan amputasi definitive dengan penutupan kulit. 4. Prostesis Sementara kadang diberikan pada hari pertama pascabedah, sehingga latihan segera dapat dimulai. Keuntungan menggunakan prostesis sementara adalah membiasakan klien menggunakan prosthesis sedini mungkin. Kadang prosthesis darurat baru diberikan setelah satu minggu luka menyembuh tanpa penyulit. Pada amputasi karena pembuluh darah, prosthesis sementara diberikan setelah empat minggu. Prostesis bertujuan untuk mengganti bagian ekstremitas yang hilang. Artinya defek system musculoskeletal harus diatasi, termasuk defek faal. Pada ekstremitas bawah, tujuan prosthesis ini sebagian besar dapat dicapai. Sebaliknya untuk ekstremitas atas, tujuan itu sulit dicapai, bahkan dengan tangan mioelektrik canggih yang bekerja atas sinyal mioelektrik dari otot biseps dan triseps. K. Proses Perawatan Luka Perawatan luka mencakup pembersihan luka dan debridemen, pengolesan preparat antibiotik topikal serta pembalutan. Kasa yang dibuat dari bahan biogik, biosintetik, dan sintetik dapat digunakan. 1. Pembersihan luka Pembersihan luka harus dilakukan secara berkala untuk mengcegah terjadinya infeksi dan kelainan yang lain yang bisa diakibatkan oleh perawatan luka yang kurang tepat. Luka dapat dibersihak menggunkan larutan NaCl atau betadine sebagia antisepti luar. 2. Terapi antibiotik topikal Terapi ini digunakan untuk mencegah timbulnya invasi mikroorganisme yang akan memeprberat dari kondisi klien 3. Penggantian balutan 4. Balutan basah Balutan basah biasanya dilakukan untuk lesi inflamasi yang akut dan mengeluarkan sekret. Kompres tersebut bisa steril ataupun nonsteril menurut keadaannnya. Komprees basah akan: a. Mengurangi inflamasi dengan menimbulkan konstriksi pada pembuluh darah (sehingga menguarangi vasodilatasi dan aliran darah setempat pada daerah inflamasi); b. Membersihkan kulit dari eksudat, kusta dll; c. Mempertahankan drainase pada daerah yang terinfeksi; d. Meningkatkan proses kesembuhan dengan memfasilitasi gerakan bebas ael-sel epidermis lewat kulit yang sakit sehingga terbentuk jaringan granulasi yang baru. Kompres basah umunya mengandung air ledenga yang bersih atau larutan salin dengan suhu kamar. Meskipun sebagian kompres basah harus ditutupi untuk mencegah evaporasi, kebanyakan kompres ini dibiarkan terbuka terhadap udara.kompres terbuka memerlukan penggantian yang sering karena evaporasi berlangsung dengan cepat. Kompres tertutup lebih jarang diganti. Namun demikian, bahaya selalu ada karena bentuk kompres ii bukan hanya melunakkan tetapi juga dapat menimbulkan maserasi pada kulit yang ditutupi. Kompres basah hingga kering dilakukan untuk menghilangkan eksudat. Kasa dibiarkan pada tempatnya sanapai kasa tersebut mengering. 5. Balutan oklusif Balutan oklusif dapt dibuat atau diproduksi secara komersila dari potongan kain penutup atau kasa yang steril atau nonsteril. Kasa dipakai untuk menutupi obat topikal yang dioleskan pada kulit yang luka. Daerah lesi dibuat kedap udara dengan memekai lembaran plastik yang tipis. Lembaran plastik tersebut tipis dan mudah beradaptasi dengan tubuh serta permukaan kulit. Plester bedah dari plastik ynag mengandung kortikosteroid pada lapisan perekat dapat dipotong menjadi ukuran tertentu dan dapat ditempelkan di bagian luka. Umunya plastik pembalut ini tidak boleh digunakan lebih dari 12 jam. Untuk memesang kasa di rumah, klien harus mendapatkan intruksi : a. Mencuci daerah yang sakit, kemudian mengeringkannya; b. Mengoleskan obat pada lesi ketika kulit tersebut berada dalam keadaan basah c. Menutupu dengan lembaran plastik; d. Menutupi dengan pembalut elastik, kasa tau plester kertas agar bagian tepi tersegel. Kasa harus dilepas setelah 12 jam dari setipa 24 jam untuk mencegah penipisan kulit, striae (guratan mirip sabuk), talangiektasia dan maserasi. 6. Terapi intralesi Terapi intralesi terdiri atas penyuntikan suspensi obat yang steril ke dalam atau tepat di bawah lesi. Meskipun terapi ini mungkin memberikan efek antiinflamasi, atrifi lokal dapat terjadi bila obat tersebu dimasukkan ke dalam jaringan subkutan. L. Komplikasi Menurut Lukman dan Ningsih (2013), komplikasi amputasi meliputi perdarahan, infeksi, dan kerusakan kulit. Karena ada pembuluh darah besar dipotong, dapat terjadi perdarahan massif. Infeksi merupakan infeksi pada semua pembedahan dengan peredaran darah buruk atau kontaminasi luka setelah amputasi traumatika, resiko infeksi meningkat. Penyembuhan luka yang buruh dan iritasi akibat prostesis dapat menyebabkan kerusakan kulit. M. Konsep Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu sistematis dan pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien (Setiadi 2012). Pokok utama pengkajian, meliputi : a. Pengumpulan Data 1) Identitas Klien Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, suku/bangsa, pendidikan pekerjaan, status perkawinan, tanggal masuk Rumah Sakit, tanggal pengkajian, No. Medrec, diagnosa medis dan alamat. 2) Identitas Penanggung Jawab Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, hubungan keluarga dengan klien dan alamat. b. Riwayat Kesehatan 1) Keluhan utama saat masuk Rumah Sakit Keluhan yang dirasakan pada pasien dengan post amputasi meliputi adanya adanya nyeri pada luka post operasi. 2) Keluhan utama saat di kaji Merupakan sumber data yang subjektif tentang status kesehatan pasien yang memberikan gambaran tentang masalah kesehatan aktual maupun potensial. Riwayat merupakan kondisi klien. Penuntun pengkajian fisik yang berkaitan infromasi tentang keadaan fisiologis, psikologis, budaya dan psikososial untuk membantu pasien dalam mengutarakan masalah-masalah atau keluhan secara lengkap, maka perawat dianjurkan menggunkan analisa simptom PQRST. Riwayat penyakit sekarang pada klien dengan post amputasi berisi tentang kapan terjadinya nyeri timbul, penyebab terjadinya nyeri timbul, serta upaya yang telah dilakukan penderita untuk mengatasinya. 3) Riwayat kesehatan dahulu Mengkaji penyakit yang ada hubungannya dengan penyakit yang sekarang. Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji apakah sebelumnya klien pernah mengalami pembedahan. Adanya riwayat penyakit DM atau penyakit-penyakit lain yang ada kaitannya dengan difisiensi insulin misalnya penyakit pankreas. 4) Riwayat kesehatan keluarga Mengkaji penyakit yang ada dalam keluarga apakah ada yang menderita penyakit serupa dengan klien dan penyakit menular lain serta penyakit keturunan. Riwayat kesehatan pada klien dengan post amputasi terlihat dari genogram keluarga biasanya terdapat salah satu anggota keluarga yang juga menderita DM atau penyakit keturunan yang dapat menyebabkan terjadinya defisiensi insulin misalnya penyakit hipertensi, dan penyakit jantung. 5) Pola Aktivitas Sehari-hari Pengkajian pola aktivitas sehari-hari meliputi : a) Nutrisi Nutrisi meliputi : frekuensi makan, jenis makanan, porsi makan, frekuensi minum serta jenis minuman, porsi dan berapa gelas/hari. Pada klien dengan ulkus diabetikumakan ditemukan polidipsi (peningkatan jumlah minum), polifagia (peningkatan jumlah makan). b) Eliminasi BAB Frekuensi, konsistensi, warna, bau, dan masalah. Pada klien dengan ulkus diabetikum biasanya terjadi peningkatan pola BAK atau disebut poliuria. c) Istirahat Tidur Lamanya tidur, tidur siang, masalah, dan jam tidur. Pada klien post op biasanya gangguan pola tidur dikarenakan nyeri pada luka post op. d) Personal Hygiene Personal hygiene : frekuensi mandi, gosok gigi, keramas dan gunting kuku. Pada klien post op biasanya gangguan personal hygiene dikarenakan intoleransi aktivitas akibat nyeri post op. e) Aktifitas meliputi Rutinitas sehari-hari dan olahraga. Pada klien dengan post op tergantung berapa besar derajat luka operasi akan ditemukan adanya keterbatasan dalam melakukan aktivitas. f) Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik meliputi : (1) Keadaan umum meliputi : kesadaran, tanda-tanda vital, berat badan, dan nilai GCS (Glasgow Coma Scale). (2) Pemeriksaan tanda tanda vital meliputi : tekanan darah, respirasi, nadi dan suhu. Pada pasien post operasi biasanya kemungkinan mengalami peningkatan tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu. g) Pemeriksaan fisik persistem (1) Sistem Pernafasan Kaji batuk, sesak, dispnea, nyeri dada, penyempitan saluran nafas, ada sekret atau tidak. Kaji jumlah frekuensi nafas dalam satu menit ketika keadaan istirahat. Kaji kebiasan merokok, meminum alkohol, dll. Inspeksi bentuk hidung, kebersihan hidung, ada sekret atau tidak, palpasi adanya nyeri tekan atau tidak pada sinus, auskultasi suara nafas normal, ada suara nafas tambahan atau tidak. Inspeksi posisi trachea simetris atau tidak, inspeksi bentuk dada, ada jejas atau tidak di dada, pergerakan dinding dada, palpasi ada nyeri atau tidak. Pada pasien dengan post amputasi mudah terjadi infeksi. (2) Sistem kardiovaskuler Kaji ada pembengkakan daerah palpebra atau tidak, reflek pupil. Pengisian kapiler biasanya normal, dikaji pula keadaan konjungtiva, adanya sianosis, inspeksi dan palpasi adanya ictus cordis, ada nyeri atau tidak, ada jejjas atau tidak dan auskultasi bunyi jantung ics 2 letak aktup aorta, ics 5-6 letak katup tricuspidalis. Perhatikan adanya edema atau tidak didaerah ekstremitas bawah. (3) Sistem pencernaan Pada klien dengan diabetes melitus post amputasi terdapat polifagia (banyak makan), polidifsi (banyak minum), mual, muntah, diare, konstipasi, dehidrase, perubahan berat badan, peningkatan lingkar abdomen, dan obesitas. (4) Sistem perkemihan Pada klien dengan post amputasi ditemukan adanya poliuria (banyak kencing), retensio urine, inkontinensia urine, rasa panas atau sakit saat berkemih. (5) Sistem endokrin Inspeksi bentuk leher simetris atau tidak, terdapat pembesaran kelenjar tyroid, terdapat distensi JVP (jugularis vena pleasure) atau tidak. Auskulltasi pada leher terdapat bunyi bruit atau tidak. Ada riwayat diabetes mellitus atau tidak dan hasil gula darah sewaktu normal atau lebih dari normal >126 mg/dl. (6) Sistem persarafan Sistem persarafan yang perlu dikaji dalah fungsi serebral, fungsi saraf kranial, fungsi sensorik dan motorik. Saraf kranial tediri dari nervus olvactorius, opticus, okulomootorius, coclearis, abdusen, trigeminus, facialis, vestibuler, glosofaringeus, vagus, asesorius, hipoglosus. Pada klien dengan ulkus diabetikum ditemukan penurunan sensoris, parasthesia, anasthesia, letargi, mengantuk, reflek lambat, kacau mental, disorientasi. (7) Sistem Integumen Kaji bentuk kepala, warna kulit, keadaan rambut, kulit kepala bersih atau tidak. Kaji kelembaban kulit dan turgor kulit. Akan tampak adanya luka operasi post op amptuasi di eksteremitas karena insisi bedah disertai kemerahan. Turgor kulit akan membaik seiring dengan peningkatan intake oral. (8) Sistem muskuloskeletal Secara umum, klien dapat mengalami kelemahan karena tirah baring post operasi dan kekauan. Kekakuan otot berangsur membaik seiring dengan peningkatan toleransi aktifitas dan adanya luka post op di ekstremitas. (9) Sistem penglihatan Kaji bentuk mata simetris atau tidak, terdapat lesi, odema atau tidak, konjungtiva anemis atau tidak, sklera ikterik atau tidak,reflek pupil terhadap cahaya positif atau tidak, kaji lapang pandang dan ketajaman penglihatan. Pada klien dengan diabetes melitus post amputasi dikaji apakah penglihatan kabur/ ganda, diplopia, lensa mata keruh. (10) Sistem pendengaran, wicara dan THT ( telinga, hidung, tenggorokan) Kaji bentuk telinga, kebersihan telinga, sreumen dan tekstur telinga, kaji fungsi pendengaran klien. Kaji bentuk trachea, posis trachea dna terdapat benjolan atau tidak. 6) Data Psikososial a) Status Emosi Pengendalian emosi mood yang dominan, mood yang dirasakan saat ini, pengarruh atas pembicaraan orang lain, dan kesetabilan emosi. b) Konsep Diri Bagaimana klien melihat dirinya setelah di amputasi, apa yang disukai dari dirinya, bagaimana orang lain menilai dirinya, klien dapat mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan. c) Gaya Komunikasi Cara klien bicara, cara memberi informasi, penolakan untuk berespon, komunikasi non verbal, kecocokan bahasa verbal dan nonverbal. d) Pola Interaksi Kepada siapa klien menceritakan tentang dirinya, hal yang meenyebabkan klien merespon pembicaraan, kecocokan ucapan dan prilaku, anggaran terhadap orang lain, hubungan dengan lawan jenis. e) Pola Koping Apa yang dilakukan klien dalam mengatasi masalah, kepada siapa klien mengadukan masalah. f) Data Spiritual Data yang harus dikaji meliputi arti kehidupan yang penting dalam kehidupan klien, keyakinan tentang penyakit dan kesembuhan, hubungan kepercayaan dengan Tuhan, ketaatan menjalanka ritual agama, keyakinan bantuan Tuhan dalam proses kesembuhan yang diyakini tentang kehidupan dan kematian. g) Data Penunjang Pemeriksaan laboratorium, darah yaitu Hemoglobin, leukosit, trombosit, hematokrit, AGD. Pada klien dengan diabetes melitus post amputasi biasanya terdapat pemeriksaan darah dimana terjadi peningkatan kadar gula darah, pemeriksaan urin. h) Program dan rencana pengobatan Terapi yang diberikan diidentifikasi mulai dari nama obat, dosis, waktu dan cara pemberian 2. Diagnosa Keperawatan 1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik terkait luka amputasi pasca pembedahan 2. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan persepsi diri terkait prosedur bedah (kehilangan anggota badan) 3. Resiko perlambatan pemulihan pasca bedah berhubungan dengan respon emosional pasca bedah 4. Resiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan kulit yang terluka 3. Intervensi Keperawatan 4. Implementasi Implementasi adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kegiatan dalam pelaksanaan meliputi penguimpulan data berkelanjutan, mengobservasirespon klien selama dan sesudah pelaksanaan tindakan, serta menilai data yang baru. Implementasi menurut teori adalah mengidentifikasi bidang bantuan situasi yang membutuhkan tambahan beragam dan mengimplementasikan intervensi keperawatan dengan praktik terdiri atas keterampilan kognitif, interpersonal dan psikomotor (teknis). Dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien pada batu kandung kemih, pada prinsipnya adalah menganjurkan klien untuk banyak minum, mengobservasi tanda-tanda vital, mengawasi pemasukan dan pengeluaran cairan, mengajarkan teknik relaksasi untuk mengatasi nyeri, memberikan obat dan memantau hasil pemeriksaan darah lengkap sesuai program serta melibatkan keluarga dalam setiap tindakan yang dilakukan. Mendokumentasikan semua tindakan keperawatan yang dilakukan ke dalam catatan keperawatan secara lengkap yaitu ; jam, tgl, jenis tindakan, respon klien dan nama lengkap perawat yang melakukan tindakan keperawatan. 5. Evaluasi Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan keadaan pasien dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Merupakan tahap akhir dalam proses dalam keperawatan,dimana perawat mampu menilai apakah tujuan dapat tercapai atau tidak mencakup SOAP. SOAP adalah yang bersifat sederhana, jelas,logis,dan tertulis. Metode 4 langkah yang dinamakan SOAP ini dipakai untuk mendokumentasikan asuhan keperawatan pasien dalam cacatan kemajuan. • S (subjectif) : Data subjectif berisi data dari pasien melalui anamnesis (wawancara) yang merupakan ungkapan langsung. • O (objectif) : Data objectif data yang tampak dari obsevasi melalui pemeriksaan fisik. • A (assesment) : Analisis dan interprestasi berdasarkan data yang terkumpul kemudian dibuat kesimpulan yang meliputi diagnosis, antisipasi diagnosis tau masalah pontesial, serta tidakna dilakukan tindakn segera. • P (plan) : Perencanaan merupakan rencana dari tindakan yang akan diberikan termasuk asuhan mandiri, kolaborasi, diagnosis atau laboratorium, serta konseling untuk tidak lanjut. DAFTAR PUSTAKA
Adawiyah, R. (2011). Laporan Pendahuluan Amputasi. Progam Studi Ilmu Keperawatan
Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah: Jakarta Bararah, T dan Jauhar, M. (2013). Asuhan Keperawatan Panduan Lengkap Menjadi Perawat Profesional. Jakarta: Prestasi Pustakaraya LeMone, Burke, & Bauldoff. (2016). Keperawatan Medikal Bedah, Alih bahasa. Jakarta: ECG Lukman dan Ningsih. (2013). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika Black, J. M., Hawks, J. H. 2005. Medical Surgical Nursing Clinical Management fo Positive Outcames ed.7. Winslad: Elseiver Saunders Shiel, W. C., Stoppler, M. C., Lee, D., Mathur, R. and Marks, J. W. 2010. Kamus Kedokteran Webster’s New World. Dialih bahasakan olehParamita. Jakarta: PT Indeks Kozier, B., Erb, G., Berman, A. and Shirlee J. Snyder. 2010. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep Proses & Praktik ed.7 vol. 1. Dialih bahasakan oleh Pamilih E K, dkk. Jakarta: EGC Lewis, S. L., Heitkemper, M. M., Dirksen, S. R., Obrien, P. G., Bucher, L. 2007. Medical Surgical Nursing Assesment and management of Clinical Problems. Marrickville: Elseiver Mosby Murwani, A. 2011. Perawatan Pasien Penyakit Dalam. Yogyakarta: Gosyen Publishing Muttaqin, A. 2012. Buku Saku Gangguan Muskuloskeletal Aplikasi pada Praktek Klinik Keperawatan. Jakarta: EGC Yuwono, H. S. 2010. Ilmu Bedah Vaskular Sains dan Pengalaman Praktis. Bandung: Refika Aditama