Penggunaan Obat Rasional
Penggunaan Obat Rasional
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan yang maha esa, atas izin dan
karunianya Makalah Penggunaan Obat Rasional dapat diselesaikan.
Upaya peningkatan Penggunaan Obat Rasiobal (POR) dalam rangka meningkatkan
mutu pelayanan kesehatan telah dilakukan melalui berbagai strategi meliputi regulasi,
manajenal, dan edukasi. Penggunaan obat yang rasional melibatkan berbagai pemangku
kepentingan yang terdiri atas pemerintah, tenaga kesehatan dan masyarakat.
Mudah-mudahn makalah yang di singkat ini dapat bermanfaat bagi kita semua
sehingga upaya mutu pelayanan kesehatan melalui penggunaan obat yang rasional dapat
berhasil.
PENULIS
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan bagi masyarakat harus dilakukan
dalam berbagai bidang pelayanan, termasuk bidang pelayanan kefarmasian. Pelayanan
kefarmasian merupakan bagian integrasi dalam pelayanan kesehatan yang ditunjuk untuk
pencapaian penggunaan obat secara rasional, keamanan, efikasi dan efisien penggunaan
obat dalam rangka meninkatkan kualitas hidp pasien. Dengan demikian penggunaan obat
rasional merupakan salah satu indicator untuk mengukur mutu pelayanan kesehatan dan
menjadi salah satu tujuan dari kebijakan obat nasional.
Penggunaan obat dapat dikatakan rasional bila pengobatannya tepat diagnosis,
tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis, tepat cara pemberian, tepat pemberian informasi,
tepat tindak lanjut dan waspada efek samping.
Penggunaan obat yang berbasis bukti dengan biaya yang efesien merupakan
factor utama yang harus dilakukan. Keberhasilan upaya peningkatan penggunaan obat
rasional tidak terlepas dari peran tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan
kesehatan langsung kepada masyarakat disetiap fasilitas pelayanan kesehatan maupun
praktek perorangan untuk itu diperlukan kerjasama dari semua perangkat kepentingan
yang terkait, baik penulis resep (Prescriber), maupun penyedia obat (Dilperles), serta
pengambilan keputusan disemua tingkat pelayanan, termasuk upaya peningkatan kualitas
tenaga kesehatan.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini :
1. Kebijakan penggunaan obat.
2. Program penggunaan obat rasional.
3. Penggunaan obat rasional dalam praktek.
4. Indikator penggunaan obat rasional.
5. Faktor yang mempengaruhi terjadinya penggunaan obat yang tidak rasional.
6. Dampak ketidakrasionalan penggunaan obat.
2
C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini :
1. Dapat memenuhi syarat penggunaan obat dikatakan rasional
2. Dapat mengetahui faktor yang mempengaruhi terjadinya penggunaan obat tidak
rasional.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Pengertian
Kebijakan penggunaan obat rasional merupakan salah satu upaya untuk
memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu. Kebijakan ini dimaksudkan untuk
menjamin keamanan, efektifitas serta biaya yang terjangkau dari suatu pengobatan yang
diberikan kepada masyarakat di fasilitas pelayanan kesehatan maupun pada pengobatan
sendiri.
Pengobatan obat dikatakan rasional bila pasien menerima obat yang sesuai
dengan kebutuhannya. Untuk periode waktu yang adekuat dan dengan harga yang paling
murah untuk pasien dan masyarakat.
a. Penggunaan Obat Rasional
Penggunaan obat dikatakan rasional bila pasein menerima obat yang sesuai
dengan kebutuhan klines untuk perioede waktu yang adekuat dengan biaya yang
terendah bagi pasien dan masyarakat.
b. Tenaga Kefarmasian
Tenaga Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian
yang terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian .
c. Pelayanan Kefarmasian
Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung
jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi, dengan maksud
mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.
d. Obat Esensial
Obat Esensial adalah obat terpilih yang paling dibutuhkan untuk pelayanan
kesehatan, mencakup upaya diagnosis, profilaksis, terapi dan rehabilitasi yang
diupayakan tersedia pada unit pelayanan kesehatan sesuai dengan fungsi dan
tingkatnya.
e. Tenaga Kesehatan
Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan dan memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di
bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan.
4
f. Pelayanan Informasi Obat
Pelayanan Informasi Obat adalah kegiatan penyediaan dan pemberian
informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, komprehis, terkini oleh
apoteker kepada pasien, masyarakat maupun pihak yang memerlukan di rumah sakit.
g. Puskesmas
Puskesmas adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu
wilayah kerja.
h. Indikator
Indikator adalah parameter yang digunakan sebagai ukuran untuk menentukan
keberhasilan/capaian kinerja atau program.
5
c. Pemerintah dan sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab untuk menjamin
agar pasien mendapat pengobatan yang rasional.
d. Pemerintah melaksanakan pembinaan dan pengawasan dalam penggunaan obat yang
rasional.
e. Masyarakat berhak mendapatkan informasi yang benar, lengkap dan tidak
menyesatkan. Pemerintah memperdayakan masyarakat untuk terlibat dalam
pengambilan keputusan pengobatan.
6
3. Memperkuat cara pengukuran cara pengukuran indikator POR untuk National
Assessment of Rational Use of Medicine (RUM).
4. Memperbaiki kualitas dan memperluas jangkauan promosi/Komunikasi Informasi
dan Edukasi (KIE) kepada masyarakat.
c. Manfaat :
1. Menggerakkan dan mendorong POR di semua fasilitasn kesehatan (Puskesmas
dan Rumah Sakit).
2. Peningkatan kualitas tenaga kesehatan dalam rangka menerapkan prinsip-prinsip
POR.
3. Peningkatan POR menjadi terarah, tersistematis, terkoordinir dan
berkesinambungan melalui strategi edukasi.
4. Memperbanyak tim Pembina dan penggerak POR dengan kemampuan yang
setara.
5. Memperkuat pengukuran indikator untuk mendapatkan Assessment POR secara
nasional.
6. Memperluas promosi / KIE kepada masyarakat.
7
Perguruan Tinggi
8
No Anamnesis Diagnosis Teraapi
I Diare disertai darah dan lender Amoebiasis Metronidazol
serta gejala tenesmus + Oralit
II Diare tanpa disertai gejala tenesmus Diare Akut non Oralit
tanpa lender dan darah Spesifiik
Pada contoh I,
Bila pemeriksa tidak jeli untuk menanyakan adanya darahdalam feses, maka
dapat saja diagnosis yang dibuat menjadi kolera. Untuk yang terakhir ini obat yang
di perlukan adalah tetrasiklin. Akibatnya penderita Amoebiasis diatas terpaksa
mendapat tetrasiklin yang sama sekali bukan antibiotik pilihan untuk amoebiasis.
(Dika diagnosis tidak tepat maka terapi pasti tidak tepat)
b. Tepat Indikasi Penyakit
Setiap obat memiliki Spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik, misalnya di
indikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian obat ini hanya
dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi bakteri.
Contoh :
Memberikan terapi simvastatin tanpa melakukan pemerikasaan kadar
kolesterol (LDL), dikatakan tidak rasional.
c. Tepat Pemilihan Obat
Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis
ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus memiliki efek
terapi sesuai dengan spectrum penyakit dan selalu waspada terhadap kemungkinan
pasien alergi terhadap obat-obat tertentu.
Contoh :
Pemberian Siprofloksasin untuk mengatasi ISPA pada anak, gejala deman
terjadi pada hamper semua kasus infeksi dan inflamasi. Untuk sebagian besar
demam, pemberian parasetamol lebih dianjurkan, karena disamping efek antipiretik,
obat ini relative paling aman dibandingkan dengan antipiretik yang lain. Pembeian
antiinflamasi non steroid (Misalnya Ibuprofen) hanya dianjurkan untuk demam yang
terjadi akibat proses peradangan atau inflamasi.
9
d. Tepat Dosis
Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek terapi
obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan rentang
terapi yang sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek samping. Sebaliknya dosis
yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi yang diharapkan.
Contoh :
Pemberian Kaptopril dengan dosis terendah pada pasien hipertensi yang
sudah terbiasa mendapatkan dosis 3 x 25 mg.
e. Tepat Cara Pemberian
Obat antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula dengan
pemberian tablet sulfaferrosus seharusnya tidak boleh diberikan susu.
f. Tepat Interval Waktu Pemberian
Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis,
agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian obat per hari
(Misalnya 4 kali sehar), semakin rendah tingkat ketaatan minum obat. Obat yang
harus diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum dengan
interval setiap 8 jam.
g. Tepat lama Pemberian
Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing-masing. Untuk
tuberculosis dan kusta, lama pemberian paling lama adalah 6 bulan. Lama
pemberian kliramfenikol pada deman tifoid adalah 10-14 hari. Pemberian obat yang
terlalu singkat atau berlalu lama dari seharusnya akan berpengaruh terhadap hasil
pengobatan.
h. Waspada Terhadap Efek Samping
Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak
diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, karena itu muka
merah setelah pemberian atropine bukan alergi, tetapi efek samping sehubungan
vasodilatasi pembuluh darah di wajah.
Pemberian tetrasiklin tidak boleh dilakukan pada anak kurang dari 12 tahun,
karena menimbulkan kelainan pada gigi dan tulang yang sedang tumbuh. Pemberian
CTM untuk pengemudi kendaraan bermotor.
10
i. Tepat Penilaian Kondisi Pasien
Respon individu terhadap efek obat saying beragam. Hal ini lebih jelas
terlihat pada bebarapa jenis obat seperti teofilin dan aminoglikosida. Pada penderita
dengan kelainan ginjal, pemberian aminglikosida sebaiknya dihindarkan, karena
resiko terjadinya nefrotoksisitas pada kelompok ini meningkat secara bermakna.
Beberapa kondisi berikut harus dipertimbangkan sebelum memutuskan
pemberian obat.
- β-bloker (Misalnya Propranolol) hendaknya tidak diberikan pada penderita
hipertensi yang memiliki riwayat asma, karena obat ini memberi efek
bronkhospasme.
- Antiinflimasi Non Steroid (AINS) sebaiknya juga dihindari pada penderita asma,
karena obat golongan ini terbukti dapat mencetuskan serangan asma.
11
IX. Indikator Penggunaan Obat Rasional
Dalam melakukan identifikasi masalah mapun melakukan monitoring dan
evaluasi penggunaan obat rasional, WHO menyusun indikator yang dibagi menjadi
indikator intik dan indikator tambahan sebagai acuan dalam melakukan pengukuran
terhadap capaian keberhasilan upaya dan intervensi dalam peningkatan penggunaan obat
yang rasional dalam pelayanan kesehatan.
a. Indikator Inti :
1. Indikator peresepan
a) Rerata jumlah item dalam tiap resep.
b) Persentase peresepan dengan nama generic.
c) Persentase peresepan dengan antibiotik.
d) Persentase peresepan dengan suntikan.
e) Persentase perepesan yang sesuai dengan daftar obat esensial.
2. Indikator Pelayanan :
a) Rerat waktu konsultasi.
b) Rerata waktu penyerahan obat.
c) Persentase obat yang sesungguhnya diserahkan.
d) Persentase obat yang dilabel secara adekuat.
3. Indikator Fasilitas :
a) Pengetahuan pasien mengenai dosis yang benar.
b) Ketersediaan daftar obat esensial.
c) Ketersediaan key drugs.
b. Indikator Tambahan
Indikator ini dapat diperlukan sebagai tambahan terhadap indikator inti.
Indikator ini tidak kurang pentingnya dibandingkan Indikator inti, namun sering data
yang dipergunakan sulit diperoleh atau interprestasi terhadap data tersebut mungkin
sarat muatan lokal.
1. Persentase pasein yang diterapi tanpa obat.
2. Rerata biaya obat tiap peresepan.
3. Persentase biaya untuk suntikan.
4. Perepasan yang sesuai dengan pedoman pengobatan.
5. Persentase pasien yang puas dengan pelayanan yang diberikan.
6. Persentase fasilitas kesehatan yang mempunyai akses kepada Informasi yang
obyektif.
12
X. Penggunaan obat tidak rasional
Penggunaan obat yang tidak rasional sering dijumpai dalam praktek sehari-hari.
Peresepan obat tanpa indikasi yang jelas, penentuan dosis, cara dan lama pemberian yang
keliru, serta peresepan obata yang mahal merupakan sebagian contoh dari
ketidakrasionalan peresepan. Penggunaan suatu obat dikatakan tidak rasional jika
kemungkinan dampak negative yang diterima oleh pasien lebih besar disbanding
manfaatnya.
a. Ciri-ciri penggunaan obat yang tidak rasional
Penggunaan obat yang tidak rasional dapat dikategorikan sebagai berikut :
1. Peresepan berlebih (Overprescribing)
Yaitu jika memberikan obat yang sebenarnya tidak diperlukan untuk
penyakit yang bersangkutan.
Contoh :
- Pemberian antibiotik untuk pasien dengan ISPA non pneumonia (Umumnya
disebabkan oleh virus).
- Pemberian obat dengan frekwensi pemberian yang lebih sering dari pada
yang seharusnya. Misalnya kotrimoksasol diberikan 3 x sehari, padahal yang
benar adalah tiap 12 jam sekali.
- Jumlah obat yang diberikan lebihndari yang diperlukan untuk pengobatan
penyakit tersebut.
- Pemberian obat berlebihan memberi resiko lebih besar untuk timbulnya efek
yang tidak diinginkan seperti :
Interaksi
Efek Samping
Intoksikasi
2. Peresepan Kurang (Underprescribing)
Yaitu jika pemberian obat kurang dari seharusnya diperlukan, baik dalam
hal dosis, jumlah maupun lama pemberian. Tidak diresepkannya obat yang
diperlukan untuk penyakit yang diderita juga termasuk dalam kategori ini.
Contoh :
- Pemberian antibiotic selam 3 hari untuk ISPA pneumonia.
- Tidak memberikan oralit pada anak yang jelas menderita diare.
- Memberikan tablet Zn selama 3 hari pada balita yang diare, padahal
seharusnya 10 hari.
13
- Pemberian amiksilin sirup kering hanya 1 botol padahal seharusnya 2 botol.
3. Peresepan majemuk (Polifarmasi)
Yaitu jika memberikan beberapa obat untuk satu indikasi penyakit yang
sama. Dalam kelompok ini juga termasuk pemberian lebih dari satu obat untuk
penyakit yang diketahui dapat disebuhkan dengan satu jenis obat.
Contoh :
Pemberian puyer pada anak dengan batuk pilek berisi :
- Amoksilin
- Parasetamol
- Bliseril guaiakolat
- Deksametason
- CTM
- Dan luminal
4. Peresepan Salah (Inccorect Prescribing)
Mencakup pemberian obat untuk indikasi yang keliru, untuk kondisi yang
sebenarnya merupakan kontraindikasi pemberian obat, memberikan
kemungkinan resiko efek samping yang lebih besar, pemberian informasi yang
keliru mengenai obat yang diberikan kepada pasien dan sebagainya.
Contoh :
- Pemberian antibiotic golongan kuinolon (Misalnya siproflokasasin &
ofloksasin) untuk anak.
- Meresepkan asam mefenamat untuk demam bukannya parasetamol yang
lebih aman.
Dalam kenyataannya masih banyak lagi praktek penggunaan obat yang tidak
rasional yang terjadi dalam praktek sehari-hari dan umumnya tidak didasari oleh
para klinis. Hal ini mengingat bahwa hamper setiap klinisi selalu mengatakan bahwa
pengobatan adalah seni, oleh sebab itu dokter berhak menentukan jenis obat yang
paling sesuai untuk pasiennya. Hal ini bukannya keliru, tetapi jika tidak dilandasi
dengan alas an ilmiah yang dapat diterima akan menjurus ke pemakaian obat yang
tidak rasional.
b. Contoh lain ketidakrasionalan penggunaan obat dalam praktek sehari-hari :
1. Pemberian obat untuk penderita yang tidak memerlukan terapi obat,
Contoh :
14
Pemberian roboransia untuk merangsang nafsu makan pada anak padahal
intervensi gizi jauh lebih bermanfaat.
2. Penggunaan obat yang tidak sesuai dengan indikasi penyakit
Contoh :
Pemberian injeksi vitamin B12 untuk keluhan pegal linu.
3. Penggunaan obat yang tidak sesuai dengan aturan
Contoh :
Frekuensi pemberian amiksisilin 3 x sehari, padahal yang benar adalah diberika
1 x kaplet tiap 8 jam.
4. Penggunaan obata yang memiliki potensi toksisitas lebih besar, sementara obat
lain dengan manfaat yang sama tetapi jauh lebih aman tersedia.
Contoh :
Pemberian metilprednisolon atau dekasametadon untuk mengatasi sakit
tenggorok atau sakit menelan padahal tersedia ibuprofen yang jelas lebih aman
dan bermanfaat.
5. Penggunaan obat yang harganya mahal, sementara obat sejenis dengan mutu
yang sama dan harga lebih murah tersedia/
Contoh :
Kecenderungan untuk meresepkan obat bermerak yang relatif mahal padahal
obat generic dengan manfaat dan keamanan yang sama dan harga lebih murah
tersedia.
6. Penggunaan obat yang belum terbukti secara ilmiah manfaat dan keamannya.
Contoh :
Terlalu cepat meresepkan obat-obat baru sebaiknya dihindari karena umumnya
belum teruji manfaat dan keamanan jangka panjangnya, yang justru dapat
merugikan pasien.
7. Penggunaan obat yang jelas-jelas akan mempengaruhi kebiasaan atau persepsi
yang keliru dari masyarakat terhadap hasil pengobatan.
Contoh :
Kebiasaan pemberian injeksi roborantia pada pasien dewasa yang selanjutnya
akan mendorong penderita tersebut untuk selalu minta diinjeksi jika dating
dengan keluhan yang sama.
15
XI. Dampak Ketidakrasionalan Penggunaan Obat
Dampak negatif penggunaan obat yang tidak rasional sangat beragam dan
bervariasi tergantung dari jenis ketidakrasionalan penggunaannya. Dampak negatif ini
dapat hanya dialami oleh pasien yaitu berupa efek samping, dan biaya yang mahal,
maupun oleh populasi yang lebih luas berupa resistensi kuman terhadap antibiotik
tertentu dan mutu pelayanan pengobatan secara umum.
Secara ringkas dampak negatif ketidakrasionalan penggunaan obat dapat
meliputi:
Dampak pada mutu pengobatan dan pelayanan.
Dampak terhadap biaya pengobatan.
Dampak terhadap kemungkinan efeksamping dan efek lain yang tidak diharapkan.
Dampak terhadap mutu ketersidiaan obat.
Dampak psikososial.
1. Dampak pada mutu pengobatan dan pelayanan
Dampak penggunaan obat yang tidak rasional adalah peningkatan angka
mordibitas dan mortalitas penyakit. Sebagai contoh, penderita diare akut non
spesifik umumnya mendapatkan antibiotika dan injeksi, sementara pemberian oralit
(yang lebih dianjurkan) umumnya kurang banyak dilakukan. Padahal diketahui
bahwa risiko terjadinya dehidrasi pada anak yang diare dapat membahayakan
keselamatan jiwa anak yang bersangkutan.
Hal yang sama juga terjadi pada penderita ISPA non pneumonia pada anak
yang umumnya mendapatkan antibiotika yang sebenarnya tidak diperlukan.
Sebaliknya pada anak yang jelas menderita pneumonia justru tidak mendapatkan
terapi yang adekuat. Dengan demikian tidaklah mengherankan apabila hingga saat
ini angka kematian bayi dan balita akibat ISPA dan diare masih cukup tinggi di
Indonesia.
2. Dampak terhadap biaya pengobatan
Penggunaan obat tanpa indikasi yang jelas, atau pemberian obat untuk keadaan
yang sama sekali tidak memerlukan terapi obat, jelas merupakan pemborosan dan
sangat membebani pasien. Di sini termasuk pula peresepan obat yang mahal,
padahal alternatif obat yang lain dengan manfaat dan keamanan sama dengan harga
lebih terjangkau telah tersedia.
16
Peresepan antibiotika bukannya keliru, tetapi memprioritaskan pemberiannya
untuk penyakit-penyakit yang memang memerlukannya (yang jelas terbukti sebagai
infeksi bakteri) akan sangat berarti dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas
penyakit infeksi. Oleh sebab itu jika pemberiannya sangat selektif, maka
pemborosan anggaran dapat dicegah dan dapat direalokasikan untuk penyakit atau
intervensi lain yang lebih prioritas. Dengan demikian mutu pelayanan kesehatan
dapat dijamin.
3. Dampak terhadap kemungkinan efek samping dan efek lain yang tidak diharapkan
Dampak lain dari ketidakrasionalan penggunaan obat adalah meningkatkan
risiko terjadinya efek samping serta efek lain yang tidak diharapkan, baik untuk
pasien maupun masyarakat.
Beberapa data berikut mewakili dampak negatif yang terjadi akibat
penggunaan obat yang tidak rasional:
- Risiko terjadinya penularan penyakit (misalnya hepatitis & HIV) meningkat
pada penularan injeksi yang tidak lege artis, (misalnya 1 jarum suntik digunakan
untuk lebih dari satu pasien).
- Kebiasaan memberikan obat dalam bentuk injeksi akan meningkatkan risiko
terjadinya syok anafilaksis.
- Risiko terjadinya efek samping obat meningkat secara konsisten dengan makin
banyaknya jenis obat yang diberikan kepada pasien. Keadaan ini semakin nyata
pada usia lanjut. Pada kelompok umur ini kejadian efek samping dialami oleh 1
di antara 6 penderita usia lanjut yang dirawat di rumah sakit.
- Terjadinya resistensi kuman terhadap antiobiotika merupakan salah satu akibat
dari pemakaian antibiotika yang berlebih (overprescribing), kurang
(underprescribing), maupun pemberian pada kondisi yang bukan merupakan
indikasi (misalnya infeksi yang disebabkan oleh virus).
4. Dampak terhadap mutu ketersediaan obat
Sebagian besar dokter masih cenderung meresepkan antibiotika untuk keluhan
batuk dan pilek. Akibatnya kebutuhan antibiotika menjadi sangat tinggi, padahal
diketahui bahwa sebagian besar batuk pilek disebabkan oleh virus sehingga
antibiotika tidak diperlukan. Dari praktek pengobatan tersebut tidaklah
mengherankan apabila yang umumnya dikeluhkan oleh Puskesmas adalah tidak
cukupnya ketersediaan antibiotik. Akibatnya jika suatu saat ditemukan pasien yang
benar-benar menderita infeksi bakteri, antibiotik yang dibutuhkan sudah tidak
17
tersedia lagi. Yang terjadi selanjutnya adalah pasien terpaksa diberikan antibotik lain
yang bukan pilihan utama obat pilihan (drug of choice) dari infeksi tersebut.
Di sini terdapat 2 masalah utama:
Pertama, seolah-olah mutu ketersediaan obat sangat jauh dari memadai. Padahal
yang terjadi adalah antibiotik telah dibagi rata ke semua pasien yang sebenarnya
tidak memerlukan.
Kedua, dengan mengganti jenis antibiotik akan berdampak pada tidak sembuhnya
pasien (karena antibiotik yang diberikan mungkin tidak memiliki spektrum
antibakteri untuk penyakit tersebut, misalnya pneumonia diberi metronidazol). Atau
penyakit menjadi lebih parah dan pasien kemudian meninggal.
Ketidakrasionalan pemberian obat oleh dokter juga sering memberi pengaruh
buruk bagi pasien maupun masyarakat. Pengaruh buruk ini dapat berupa
ketergantungan terhadap intervensi obat maupun persepsi yang keliru terhadap
pengobatan. Beberapa contoh berikut mungkin banyak dijumpai dalam praktek
sehari-hari:
- Kebiasaan dokter atau petugas kesehatan untuk memberikan injeksi kepada
pasien.
Jika tujuannya adalah untuk memuaskan pasien, maka hal ini harus dikaji ulang
secara mandalam karena pemberian obat per injeksi selalu memberikan risiko
yang lebih besar dibandingkan per oral. Risiko ini semakin besar apabila cara
pemberian obat per injeksi tidak lege artis (misalnya menggunakan satu jarum
untuk beberapa/banyak pasien). Dampak berikutnya adalah tertanamnya
keyakinan pada masyarakat bahwa injeksi adalah bentuk pengobatan yang paling
baik, karena selalu dianjurkan atau ditawarkan oleh dokter atau petugas.
XII.Upaya dan Intervensi Untuk Mengatasi Masalah Penggunaan Obat Yang Tidak
Rasional
Dalam pokok bahasan ini akan dibicarakan berbagai upaya perbaikan dan
intervensi yang dapat dilakukan untuk mengatasi ketidakrasionalan tersebut, baik
ditingkat provider yaitu peresep (presciber) dan penyerah obat (Tenaga Kefarmasian)
dan pasien/masyarakat (consumer) hingga sistem kebijakan obat nasional.
Secara garis besar upaya perbaikan dan intervensi ini dapat dikelompokkan dalam
beberapa hal:
18
1. Upaya pendidikan (educational strategis)
Upaya pendidikan dapat mencakup pendidikan selama masa kuliah (pre
service) maupun sesudah menjalankan praktek keprofesian (post service). Upaya
tersebut mutlak harus diikuti dengan pendidikan kepada pasien/masyarakat secara
simultan.
Upaya peningkatan mutu calon dokter selama dalam masa pendidikan dapat
dilakukan dengan pendekatan berdasar masalah (problem-based approach),
memperbaiki isi (content) maupun metode pengajaran (teaching method) agar lebih
diarahkan pada pengobatan yang rasional. Pengalaman selama ini menunjukkan
bahwa pendidikan farmakologi lebih banyak berorientasi pada aspek obat, bukannya
penerapan pengobatan pada kondisi-kondisi tertentu (terapi), sehingga tidak jarang
muncul kesenjangan antara pengetahuan tentang obat dengan pelaksanaan
pengobatan dalam klinik. Salah satu upaya pendidikan pre service ini antara lain
dengan membiasakan mahasiswa memecahkan masalah klinik dalam bentuk
pembahasan kasus. Upaya pendidikan yang lebih mendasar adalah dengan
menambahkan Kurikulum Farmakologi Klinik ke dalam Kurikulum Fakultas
Kedokteran.
Pendidikan post service antara lain dapat berupa:
1. Pendidikan berkelanjutan (continuing medical education).
2. Informasi pengobatan (academic-based detailing).
3. Seminar dan ceramah-ceramah penyegaran serta bulletin/terbitan-terbitan
mengenai obat dan terapi.
Hal ini selain dimaksudkan untuk memelihara pengetahuan dan keterampilan
mengenai terapi yang mutakhir, juga untuk meluruskan informasi obat yang
sebagian besar berasal dari industry farmasi, agar tidak “bias” terhadap jenis/produk-
produk tertentu.
Adapun sarana pendidikan yang dapat digunakan untuk intervensi antara lain:
- Media cetak: bulletin, pedoman pengobatan.
- Pendidikan tatap muka (face to face education): kuliah penyegaran, seminar.
- Media elektronik: radio, televisi, video.
- Media lain.
2. Upaya manajerial (managerial strategies)
Upaya lain yang dapat dilakukan untuk memperbaiki praktek penggunaan obat
yang tidak rasional adalah dari segi manajerial, yang umumnya meliputi:
19
a. Pengendalian kecukupan obat.
Melalui sistem informasi manajemen obat. Dengan sistem ini setiap penggunaan
dan permintaan obat oleh unit pelayanan kesehatan dapat terpantau, sehingga
kecukupan obat dapat dikendalikan dengan baik. LPLPO merupakan sistem
informasi manajemen obat yang saat ini digunakan di Puskesmas-Puskesmas di
Indonesia.
b. Perbaikan sistem suplai.
Melalui penerapan konsep obat esensial nasional. Disini mengandung arti bahwa
di tingkat pelayanan kesehatan tertentu hanya tersedia obat yang paling
dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat dan tersedia setiap saat dengan harga
yang terjangkau. Untuk Rumah Sakit, konsep obat esensial ini diaplikasika
dalam bentuk Formularium Rumah Sakit.
c. Pembatasan sistem peresepan dan dispensing obat.
Untuk itu perlu disediakan buku pedoman pengobatan di masing-masing pusat
pelayanan kesehatan, formulir-formulir resep dengan jumlah R/ yang terbatas,
dan sebagainya.
d. Pembentukan dan pemberdayaan Komite Farmasi dan Terapi (KFT) di Rumah-
rumah Sakit.
Komite Farmasi dan Terapi mempunyai tugas dan fungsi untuk
meningkatkan/menerapkan Penggunaan Obat secara Rasional di Rumah Sakit.
e. Informasi Harga.
Akan memberikan dampak sadar biaya bagi provider serta pasien/masyarakat.
f. Pengaturan pembiayaan.
Bentuk pengaturan ini dapat merupakan pembiayaan berbasis kapitasi dan cost-
sharing.
3. Upaya informasi
Upaya informasi secara ringkas dapat di bagi menjadi dua. Yaitu :
a. Intervensi informasi bagi provider, yaitu dokter sebagai peresep (Prescriber) dan
apoteker/asisten apoteker sebagai tenaga kefarmasian.
b. Intervensi informasi bagi pasien/masyarakat.
20
dipelihara dengan cara menyeleksi secara ketat sumber informasi yang handal, tidak
memihak/seimbang dan bebas dari pengaruh promosi industry farmasi.
21
4. Intervensi regulasi (Regulatory Strategies)
Intervensi regulasi umumnya paling mudah ditaati, mengingat sifatnya yang
mengikat secara formal serta memiliki kekuatan hukum. Dengan cara ini setiap
penyimpangan terhadap pelaksanaanya akan mempunyai akibat hukum. Namun
demikian, pendekatan ini sering dirasa kaku dan dianggap membatasi kebebasan
profesi. Padahal jika kita simak, misalnya konsep obat esensial, maka kesan
membatasi kebebasan tersebut tidaklah benar. Di Negara maju pun sistem
pengendalian kebutuhan obat melalui regulasi juga dilakukan. Hal ini antara lain
didasarkan pada kenyataan bahwa biaya obat secara nasional merupakan komponen
terbesar dari anggaran pelayanan kesehatan.
Strategi regulasi dilakukan dalam bentuk kewajiban registrasi obat bagi obat
jadi yang beredar, peraturan keharusan peresepan generik dan lain-lain.
a. Daftar obat esensial nasional (DOEN)
DOEN adalah buku yang memuat daftar obat esensial (Obat esensial adalah
obat terpilih yang paling dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan, mencakup upaya
diagnosis, profilaksis, terapi dan rehabilitasi) yang diupayakan terseida di fasilitas
kesehatan sesuai dengan fungsinya dan tingkatnya.
Peran dan fungsi daftar obat esensial nasional.
Agar sistem pelayanan kesehatan berfungsi dengan baik, obat esensial harus
selalu tersedia dalam jenis dan jumlah yang memadai, bentuk sediaan yang tepat,
mutu terjamin, informasi yang memadai dan dengan harga yang terjangkau.
Karena itu pemerintah telah menetapkan bahwa DOEN tidak hanya dijadikan
sebagai acuan dalam proses pengobatan dasar tetapi juga sebagai panduan dalam
proses pengadaan obat di sarana pelayanan kesehatan dasar.
Proses dalam pemilihan obat esensial merupakan hal yang sangat krusial.
Daftar obat esensial yang ditentukan sepihak tidak akan mencerminkan
kebutuhan nyata dan tidak diterima oleh tenaga kesehatan. Oleh karena itu proses
pemilihan harus memperhatikan adanya konsultasi, transparansi, kriteria
pemilihan yang jelas, serta dilakukan melalui penelaahan ilmiah yang mendalam.
Setiap 2 tahun sekali DOEN akan direvisi untuk menjaga agar daftar obat
esensial nasional tidak tertinggal dari perkembangan dunia kedokteran dan
pengobatan.
22
Penyebaran DOEN tidak hanya dilakukan dalam bentuk cetak namun juga
dapat di download di website Kementerian Kesehatan RI yaitu
www.binfar.depkes.go.id atau www.depkes.go.id
b. Formularium obat
Formularium obat adalah buku yang memuat daftar obat terpilih yang
paling dibutuhkan dan harus tersedia di RS dan fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya.
Peran dan fungsi formularium obat.
Salah satu tahap penting dalam proses pengobatan adalah seleksi obat.
Dalam tahap ini seorang praktisi medik harus menetapkan jenis obat yang benar
diperlukan bagi pasien. Obat yang diresepkan haruslah yang paling efficacious
dan aman bagi pasein. Sayangnya proses pengambilan keputusan untuk memilih
obat ini acap kali tidak didasarkan pada bukti-bukti ilmiah yang terkini dan valid.
Gencarnya promosi obat oleh duta-duta farmasi menjadi salah satu faktor penentu
proses pengambilan keputusan ini, meskipun dalam kenyataanya tidak semua
obat yang dapat diandalkan.
Ilustrasi berikut mungkin dapat mewakili masalah penggunaan obat yang
demikian beragam, cenderung berlebihan, dan perlu kearifan untuk melakukan
koreksi. Laju kecepatan pengembangan antibiotik, di satu sisi memang
bermanfaat untuk mengatasi masalah resistensi terhadap terhadap antibiotik
pendahulunya. Namun di sisi lain percepatan ini ternyata juga menjadi bencana
bagi upaya penanganan penyakit infeksi 17-20 kecepatan pengembangan
sefalosporin dari generasi I hingga IV menjadi salah satu bukti bahwa selain
menguntungkan dari segi spectrum antibakteri, pengembangan itu juga ternyata
dipicu oleh cepatnya resistensi terjadi beberapa saat setelah sefalosporin generasi
sebelumnya diperkenalkan.
Bentuk ketidakrasionalan penggunaan antibiotik sebetulnya cukup beragam,
mulai dari ketidaktepatan dalam pemilihan jenis antibiotic hingga cara dan lama
pemberiannya. Kebiasaan memberikan antibiotic dengan dosis yang tidak tepat
(Umumnya “Under Dose”), frekuensi pemberian yang keliru, atau waktu
pemberian terlalu singkat atau terlalu lama selain mengurangi : Efficacy”nya
sebagai pembunuh mikroba juga menimbulkan masalah resistensi yang cukup
serius.
23
Di pelayanan kesehatan seperti misalnya rumah sakit, masalah ini dapat
diatasi dengan adanya formularium. Formularium merupakan komplikasi sediaan
obat yang digunakan sebagai acuan untuk penulisan resep oleh dokter di suatu
unit pelayanan kesehatan. Bagi praktisi medik, formularium ini membantu dalam
proses pemilihan obat yang rasional. Dengan formularium ini maka obat yang
digunakan adalah obat yang benar-benar diperlukan sehingga menghindari
pemberosan biaya atas pembelanjaan obat-obat yang tidak diperlukan. Dalam
seleksi obat ini, juga mengandung arti memilih Drug Of Choice saja, sedangkan
obat yang tidak dibutuhkan tidak harus disediakan, apalagi jika tidak didukung
oleh bukti-bukti ilmiah yang menyakinkan. Melalui formularium yangbaik maka
sebenarnya rumah sakit secara tidak langsung telah memberikan jaminan bahwa
hanya obat yang memiliki bukti efikasi dan keamanan yang terbiklah yang akan
tersedia. Sedangkan obat yang manfaatnya meragukan tidak perlu disediakn.
Sistem ini tentu akan meanikkan kepercayaan pasien kepada praktisi medic
karena mengerti bahwa obat yang diresepkan merupakan obat pilihan yang telah
mengalami pengkajian mendalam dalam hal manfaat, mutu dan keamannya.
24