Oleh:
Residen Pembimbing:
Supervisor Pembimbing:
MANADO
2023
LEMBAR PENGESAHAN
Oleh:
Mengetahui,
Residen Pembimbing
Supervisor Pembimbing
ii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN..............................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................iii
PENDAHULUAN.............................................................................................1
LAPORAN KASUS..........................................................................................4
PEMBAHASAN...............................................................................................10
KESIMPULAN.................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................17
LAMPIRAN.....................................................................................................19
iii
PENDAHULUAN
Berikut ini akan dilaporkan kasus seorang pasien dengan Evans syndrome.
Kelainan hematologi yang jarang dijumpai dan ulasan pendekatan terapi terbaru
mendasari dibuatnya laporan kasus ini.
iv
LAPORAN KASUS
dengan keluhan utama demam sejak 4 hari SMRS. Pasien demam menggigil,
demam meningkat saat sore malam hari dan menurun kembali saat pagi hari.
Pasien juga mengaku mata mulai kuning sejak 4 hari yang lalu. Pasien juga mual
dan muntah sejak 4 hari yang lalu, muntah cairan dan makanan sekitar 3x/hari.
Pasien juga batuk kering sejak 2 hari yangl alu, riwayat batuk darah disangkal
oleh pasien. Pasien memiliki keluhan lemah badan dan sesak nafas bila
beraktifitas. Pasien juga memiliki keluhan gusi berdarah, namun keluhan mimisan
dan ruam kulit disangkal. Penurunan berat badan dan keringat malam disangkal
oleh pasien. Pasien BAK dalam batas normal, berwarnak uning kernih, BAK
sekitar 1200cc /24jam. BAB dalam batas normal. Riwayat BAB hitam, darah
jantung disangkal oleh pasien. Riwayat bepergian disangkal oleh pasien. Pasien
N: 130 x/m
RR: 18 x/m
v
S 36.7
Thorax :
Pulmo:
Cor :
Abdomen :
Inspeksi : datar
hepatosplenomegali -
vi
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil, Leukosit 20.2 (10*3)
Trombosit 8 (10*3)/uL, MCHC 81.8 g/dL, MCV 137.5 fL, MCH 112.5 pg, SGOT
(AST) 75 U/L, SGPT 56/UL, Retikulosit 40.0%, Bilirubin Total 4.80 mg/dL,
Bilirubin Direct 1.4 mg/dL, Malaria NEGATIF. Pada pasien juga dilakukan
pemeriksaan Coomb Test dengan hasil +3 dan Indirect Coomb Test NEGATIF.
vii
FOLLOW UP PASIEN
09 Juni 2023
O Ku sedang, Kes : CM
N: 110 x/m
RR: 20x/m
S: 36.7
Pemeriksaan fisik :
Thorax :
Pulmo:
Perkusi : sonor
Cor :
viii
jantung kanan ICS 4 linea parasternalis dextra
Abdomen :
Inspeksi : datar
Hipokalemia
Saran cek Profil bilirubin, GGT, ALP, Comb Test, Blood smear
Cek DDR
10 Juni 2023
O Ku sedang, Kes : CM
TD: 119/62
ix
N:130 x/m
RR:16 x/m
S: 37.1
Kep : CA +, SI +
Thorax :
Perkusi : batas jantung kanan ICS IV linea parasternal dekstra, kiri ICS V
gallop (-)
Pulmo:
Perkusi : sonor
Abdomen:
Inspeksi : datar
x
Palpasi : nyeri tekan -, murphy -, hepatomegali -, organomegali -
Hb 5.8
Ht 12.6
Leu 17.100
Tromb 11.000
Hb 4.1
Ht 8
Tromb 18.000
MCV 128
MCH 65.9
MCHC 51.4
HBsAg neg
SGOT/SGPT 63/54
Leu 19.000
Lab (8/5/23) :
Leu 20.200
xi
Hb 3.6
Ht 4.4
Tromb 8.000
MCV 137.5
MCH 112.5
MCHC 81.8
Leukosit 21.3
Eritrosit 0.20
Hemoglobin 3.0
Hematokrit 2.8
Trombosit 5
MCHC 107.1
MCV 140.0
MCH 150.0
Retikulosit 40.0
Malaria Negatif
xii
P Advis Hematologi :
Saran untuk transfusi PRC washed 230 cc/24 jam target Hb >8
g/dL
> 50.000
penanganan pasien
11 Juni 2023
O Ku sedang, Kes : CM
TD: 108/73
N:110 x/m
RR:20 x/m
S: 37.0
Kep : CA +, SI +
Thorax :
xiii
Perkusi : batas jantung kanan ICS IV linea parasternal dekstra, kiri ICS V
Pulmo:
Perkusi : sonor
Abdomen:
Inspeksi : datar
Hb 5.8
Ht 12.6
Leu 17.100
Tromb 11.000
xiv
Hb 4.1
Ht 8
Tromb 18.000
MCV 128
MCH 65.9
MCHC 51.4
HBsAg neg
SGOT/SGPT 63/54
Leu 19.000
Lab (8/5/23) :
Leu 20.200
Hb 3.6
Ht 4.4
Tromb 8.000
MCV 137.5
MCH 112.5
MCHC 81.8
Leukosit 21.3
Eritrosit 0.20
Hemoglobin 3.0
Hematokrit 2.8
xv
Trombosit 5
MCHC 107.1
MCV 140.0
MCH 150.0
Retikulosit 40.0
Malaria Negatif
p Advis Hematologi :
Saran untuk transfusi PRC washed 230 cc/24 jam target Hb >8
g/dL
> 50.000
penanganan pasien
xvi
PEMBAHASAN
Evans syndrome (ES) dikemukakan pertama kali pada tahun 1951 oleh
Evans dkk. Kelainan ini ditandai oleh adanya kombinasi ITP dan AIHA dan/ atau
immune neutropenia tanpa penyebab yang jelas. ES dapat diklasifikasikan
menjadi kelainan primer (idiopatik) atau sekunder (berhubungan dengan penyakit
lain). Sekitar 50% ES disebabkan oleh penyakit sekunder, antara lain LES, lupus
inkomplit, sindroma antifosfolipid primer, sindroma Sjogren’s, penyakit
immunodefisiensi, defisiensi IgA, dan kelainan limfoproliferatif (1,2).
Manifestasi klinis ES terdiri dari tanda dan gejala AIHA maupun ITP.
Gambaran klinis anemia hemolitik pada ES umumnya berupa pucat, letargi,
ikterik, dan gagal jantung pada kasus yang berat; dan trombositopenia : petekie,
purpura, perdarahan mukokutan (menorrhagia, hematuria dan perdarahan saluran
xvii
cerna). Pada suatu survei nasional oleh Mathew dkk (1997), trombositopenia
merupakan presentasi klinis pada 76% pasien ES, dan anemia ditemukan pada
67% pasien (7). Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai limfadenopati,
hepatomegali dan/ atau splenomegali (1,4,8).
xviii
AIHA merupakan kelainan yang jarang dijumpai. Pada penelitian berbasis
populasi terakhir, didapatlan insidensi 0.8/100,000/tahun, namun prevalensi dapat
mencapai 17/100,000. AIHA primer (idiopatik) jarang terjadi dibanding AIHA
sekunder. Kasus sekunder umumnya lebih menantang karena bukan hanya AIHA
namun penyakit dasar perlu juga didiagnosis dan diterapi (11).
Dua kriteria diperlukan dalam diagnosis AIHA, yaitu gambaran klinis atau
laboratorium terjadinya hemolisis dan bukti serologi adanya autoantibodi. Tes
antiglobulin (tes Coombs) direk merupakan standar pemeriksaan klinis dalam
menegakkan diagnosis anemia hemolitik imun. Serum antiglobulin ditambahkan
pada sel darah merah pasien yang telah dicuci; aglutinasi menunjukkan adanya
immunoglobulin atau komplemen yang terikat pada sel darah merah (Gambar 5)
(11,12).
xix
Tes antiglobulin direk yang positif dapat menunjukkan satu dari tiga pola
deposisi protein pada permukaan eritrosit: (1) immunoglobulin (Ig) saja, (2) Ig
dan komplemen (umumnya C3 atau C4), atau (3) komplemen saja. Tes ini
menunjukkan hasil sensitivitas hingga 98%. Hasil negatif palsu dapat terjadi jika
titer antibodi sangat rendah atau jika autoantibodi adalah golongan IgA atau IgM.
Secara umum, titer antibodi pada tes Coombs berkorelasi positif dengan jumlah
molekul IgG atau C3 yang terikat pada sel darah merah dan juga derajat
hemolisis. Tes komplementer terdiri dari pencampuran plasma pasien dengan sel
darah merah normal untuk menentukan adanya antibodi bebas dalam plasma (tes
antiglobulin indirek) (11).
xx
(1) studi menunjukkan bahwa pasien yang hitung trombositnya antara 100 dan
150 x 109/L hanya memiliki 6.9% kemungkinan untuk terjadi hitung trombosit
yang persisten di bawah 100 x 109/L dalam follow-up 10 tahun, (2) nilai normal
hitung trombosit pada etnis non-Kaukasia dapat mencapai 100 hingga 150 x
109/L, dan (3) nilai ambang 100 x 109/L sering ditemukan pada trombositopenia
fisiologis yang ringan terkait kehamilan. ITP dapat terjadi primer atau
berhubungan dengan kelainan lain (sekunder). Kelainan sekunder antara lain
penyakit autoimun, infeksi viral, dan obat-obatan. Diagnosis ITP dibuat dengan
menyingkirkan penyebab trombositopenia lainnya. Tes antibodi antitrombosit
dengan hasil negatif tidak menyingkirkan diagnosis ITP (13,14). Pui dkk (1980)
hanya mendapatkan antibodi antitrombosit pada dua dari enam pasien yang
diperiksa (4). Pada penelitian yang dilakukan Michel dkk (2009) pada 34 pasien
ES, hanya 24 (70%) pasien yang memiliki antibodi antitrombosit (2).
xxi
adalah immunoglobulin intravena (IVIG) (Gambar 6). Dosis IVIG yang
disarankan umumnya adalah 0-4 mg/kg/hari selama 4 hari dengan dosis dapat
mencapai 5 mg/kg untuk meningkatkan respon terapi pada AIHA (4,18). IVIG
bersama-sama dengan metilprednisolon (1 mg/kg/hari) menimbulkan remisi pada
AIHA dan hasil tes antiglobulin direk menjadi negatif (4,18).
panjang yang signifikan. Terapi lini kedua diawali dengan pemberian siklosporin,
yang kemudian akan dilanjutkan dengan pemberian MMF (Gambar 6) (4,19).
xxii
Pendekatan terapi terbaru menggunakan antibodi monoklonal terhadap ES
yang refrakter terhadap penggunaan kortikosteroid dan agen imunosupresif.
Rituximab merupakan antibodi anti-CD20 yang pada awalnya dikembangkan
untuk tatalaksana keganasan klonal sel B seperti limfoma non-Hodgkin dan
leukemia limfositik kronik (LLK) (20). Karena sel yang menghasilkan antibodi
adalah sel B CD20+, rituximab juga telah terbukti efektif sebagai terapi terhadap
kelainan autoimun dimana sel B memiliki peran patogenik seperti ITP, AIHA, dan
ES (21). Rituximab memiliki keunggulan dibanding modalitas terapi ES lainnya
karena terapi ini spesifik terhadap sel B yang memproduksi antibodi dan
menunjukkan profil toksisitas yang lebih aman (21). Stasi dkk (2001)
mempostulatkan dua mekanisme bagaimana rituximab bekerja pada pasien ITP:
(1) respon awal dimediasi oleh opsonisasi sel B yang menghalangi reseptor Fc
pada sistem retikuloendotelial dan (2) respon lambat dimediasi oleh berkurangnya
produksi antibodi antitrombosit (22). Inhibisi destruksi trombosit yang
diselubungi antibodi merupakan patomekanisme utama dalam terapi ITP.
xxiii
ES umumnya ditandai dengan episode relaps dan remisi yang berulang
baik ITP maupun AIHA. Pada sebagian pasien, remisi jangka panjang hanya
dapat dicapai dengan transplantasi sel punca. Pada follow-up jangka panjang,
sebagian besar peneliti menggambarkan sering relapsnya episode ITP
dibandingkan dengan AIHA. Prognosis komponen AIHA pada umumnya baik,
dengan mortalitas berada pada angka nol. Penyebab mortalitas tertinggi pada ES
umumnya terkait dengan perdarahan atau sepsis (4).
KESIMPULAN
xxiv
DAFTAR PUSTAKA
2011.
Bourne RR, Stevens GA, White RA, Smith JL, Flaxman SR, Price H et al.
3. Cho N, et al. International Diabetes Federation (IDF). IDF Diabetes Atlas 8th
4. Depkes RI. 2014. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.
Jakarta. https://www.diabetes.org/diabetes/complications
2017.
Medan; 2003.
272-8
xxv
10. American Heart Association. Understand Your Risk for Diabetes, 2019. AHA;
American.
Bulletin. 2013;105:213-30.
xxvi
LAMPIRAN
xxvii