Disusun oleh :
Nama: Idra Gunawan
Nim: ES.201015
Pendahuluan
lmu ekonomi adalah ilmu yang mempelajari bagaimana manusia
memenuhi kebutuhan hidupnya yang ketersediaannya atau kemampuan orang
mendapatkannya terbatas. Ilmu ekonomi regional atau ilmu ekonomi wilayah
adalah suatu cabang dari ilmu ekonomi yang dalam pembahasannya memasukkan
unsur perbedaan potensi satu wilayah dengan wilayah lain. Sebetulnya sangat sulit
meletakkan posisi ilmu ekonomi regional dalam kaitannya dengan ilmu lain,
terutama dengan geografi ekonomi (economic geography). Geografi ekonomi
adalah ilmu yang mempelajari keberadaan suatu kegiatan di suatu lokasi, dan
bagaimana wilayah di sekitarnya bereaksi atas kegiatan tersebut. Geografi
ekonomi mempelajari gejala-gejala dari suatu kegiatan yang bersangkut-paut
dengan tempat atau lokasi sehingga ditemukan prinsip-prinsip penggunaan ruang
yang berlaku umum. Prinsip-prinsip ini dapat dipakai dalam membuat kebijakan
pengaturan penggunaan ruang wilayah yang efektif dan efisien berdasarkan tujuan
umum yang hendak dicapai.
Perbedaan ilmu ekonomi regional dengan geografi ekonomi adalah bahwa
geografi ekonomi membahas kegiatan secara individual, yaitu mempelajari
dampak satu atau sekelompok kegiatan di satu lokasi terhadap kegiatan lain di
lokasi lain atau bagaimana kinerja kegiatan di suatu lokasi itu sebagai akibat dekat
atau jauhnya lokasi itu dari lokasi kegiatan lain. Ilmu ekonomi regional tidak
membahas satu kegiatan, tetapi menganalisis suatu wilayah atau bagian wilayah
secara keseluruhan atau melihat berbagai wilayah dengan potensinya yang
beragam dan bagaimana mengatur suatu kebijakan yang dapat mempercepat
pertumbuhan ekonomi seluruh wilayah. Baik geografi ekonomi maupun ilmu
ekonomi regional mengenal dan mempergunakan beberapa istilah yang sama,
misalnya wilayah nodal, wilayah homogen, kota dan wilayah belakangnya, tetapi
dengan pendekatan yang berbeda. Ilmu ekonomi regional mulai masuk ke
Indonesia pada tahun 1970- an, di mana pemerintah mulai menyadari bahwa
kebijakan ekonomi tidak dapat dibuat seragam untuk semua daerah karena kondisi
dan potensi daerah satu berbeda dengan daerah lainnya.
Setelah mempelajari bab ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan hal-
hal berikut.
1. Definisi dan cakupan ilmu ekonomi regional, serta perbedaannya dengan
cabang ilmu ekonomi yang lain.
2. Manfaat dan tujuan mempelajari ilmu ekonomi regional.
3. Perbedaan dan keterkaitan ilmu ekonomi regional dengan cabang ilmu
ekonomi yang lain.
4. Konsep dan pengertian wilayah (region) dalam ilmu ekonomi regional
A. Ilmu Ekonomi Regional Sebagai Ilmu Yang Berdiri Sendiri
1
Ilmu ekonomi regional adalah cabang ilmu yang relatif baru sehingga
banyak yang mempertanyakan apakah ilmu ekonomi regional dapat dipandang
sebagai suatu cabang ilmu yang berdiri sendiri, seperti halnya cabang ilmu
ekonomi moneter, ekonomi internasional, ekonomi pertanian, dan sebagainya.
Agar suatu cabang ilmu dapat berdiri sendiri maka cabang ilmu tersebut harus
memiliki kekhususan, yaitu suatu yang tidak dibahas dalam cabang-cabang ilmu
yang lain. Selain itu, harus juga memiliki prinsipprinsip yang utuh dan mampu
memberikan solusi yang lengkap untuk bidang tertentu yang dicakupnya.
Walaupun perkembangan ilmu ekonomi telah sedemikian pesatnya, tetapi
ada beberapa pertanyaan penting yang belum dapat dijawab oleh para ahli
ekonomi. Pada umumnya para ekonom secara implisit beranggapan bahwa
prinsip-prinsip ekonomi yang telah digariskan akan berlaku umum di seluruh
tempat, baik di kota atau di desa, di daerah yang telah maju ataupun di daerah
yang terbelakang. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa kondisi tiap-tiap
daerah tersebut tidak sama, ketersediaan prasarana tidak sama, keterampilan
tenaga kerja tidak sama, kepadatan penduduk berbeda atau harga tanah jauh
berbeda. Dengan demikian, berbagai kegiatan ekonomi yang cocok di suatu
daerah belum tentu cocok di daerah lain. Misalnya, penentuan produksi yang
optimum akan berbeda di berbagai tempat, tergantung pada kondisi ekonomi di
sekitarnya. Jadi, hukum ekonomi yang telah lazim apabila diterapkan dengan
memasukkan unsur tempat atau region, akan memunculkan beberapa masalah
yang harus dijawab dengan teori khusus yang tidak tercakup dalam teori ekonomi
tradisional. Untuk menjawab pertanyaan inilah muncul ilmu ekonomi regional,
yaitu cabang ilmu ekonomi yang memasukkan unsur lokasi ke dalam ilmu
ekonomi tradisional
2
3. Terciptanya price stability (stabilitas harga) untuk menciptakan rasa aman
atau tenteram dalam perasaan masyarakat. Harga yang tidak stabil
membuat masyarakat merasa was-was, misalnya apakah harta atau
simpanan yang diperoleh dengan kerja keras, nilainya riil atau bermanfaat
di kemudian hari.
3
Walaupun ilmu ekonomi regional bertujuan untuk menjawab pertanyaan
“di bagian wilayah mana suatu kegiatan direncanakan atau diprioritaskan?” tetapi
dalam banyak hal ilmu ekonomi regional tidak mampu menjawab pertanyaan
tersebut tanpa bekerja sama dengan disiplin ilmu lain. Misalnya dalam
menentukan pengembangan komoditi pertanian, seorang ahli ekonomi regional
harus bekerja sama dengan ahli pertanian, setidaknya untuk mengetahui kondisi
kesesuaian lahan dengan komoditi yang ingin dikembangkan. Hal ini juga berlaku
dalam penentuan berbagai kebijakan dalam suatu wilayah.
Dalam pembentukan region atau wilayah maka cukup banyak disiplin ilmu
yang berperan dalam topik yang dipilih untuk wilayah tersebut. Misalnya, dalam
membicarakan pembangunan daerah A, harus dibicarakan unsur bidang ilmu
ekonomi, potensi wilayah, sosial, politik, sistem prasarana, dan lingkungan hidup.
Potensi wilayah itu sendiri dapat dikategorikan atas sumber daya alam, sumber
daya buatan, dan sumber daya manusia. Dengan demikian, patut dipertanyakan di
mana peran ilmu ekonomi regional. Ilmu ekonomi regional dapat berperan dalam
penentuan kebijakan awal, misalnya sektor mana yang dianggap strategis,
memiliki daya dorong dan daya tarik yang besar, pada subwilayah mana selama
ini komoditi tersebut memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage),
dan lain-lain. Ilmu ekonomi regional dapat menyarankan komoditi atau kegiatan
apa yang perlu dijadikan unggulan dan di subwilayah mana komoditi itu dapat
dikembangkan. Akan tetapi, apabila sudah dalam penentuan lokasi konkret (site),
ilmu ekonomi regional harus bekerja sama dengan disiplin lain. Dengan demikian,
ilmu ekonomi regional sendiri bukan ilmu yang cukup lengkap untuk membahas
pembangunan suatu daerah apabila sampai pada implementasi secara fisik di
lapangan. Dibutuhkan disiplin ilmu lain untuk menunjang kelengkapan analisis.
4
KEBIJAKAN PEMBANGUNAN WILAYAH BERKELANJUTAN DI
PROVINSI JAMBI MELALUI PENDEKATAN MODEL FLAG
Abstrak
5
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tujuan pembangunan berkelanjutan telah menjadi komitmen bersama baik pada
tingkat nasional maupun pada tingkat daerah. Capaian keberlanjutan
pembangunan wilayah tentu saja bukan sekedar masalah trade off antara tujuan
ekonomi dan lingkungan. Kompleksitas issue dan masalah pembangunan menjadi
tantangan dalam pencapaian pembangunan berkelanjutan. Issue pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dengan segala kontroversinya, kesenjangan sosial, dan
masalah kerusakan lingkungan menimbulkan biaya yang harus dibayar dari risiko
pembangunan.
Dari sisi aspek ekonomi, meski selama ini Indonesia masih mengalami
pertumbuhan ekonomi yang positif di antara 4-5 persen dan dari sisi sosial, Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada pada kisaran 60-70, yakni
dalam kategori sedang dibanding negara-negara ASEAN lainnya seperti
Malaysia dan Singapura yang sudah masuk kategori tinggi. Meski dalam capaian
IPM Indonesia mencapai kategori sedang, tidak demikian halnya jika ditinjau dari
sisi aspek lingkungan. Hasil analisis dari Bank Dunia menunjukkan bahwa
pembangunan Indonesia yang tidak berkelanjutan akan menimbulkaan biaya
sosial dan lingkungan yang berkisar antara 0,2 persen sampai 7 persen terhadap
pendapatan nasional bruto (Fauzi, 2014). Demikian juga data yang disampaikan
pada hasil Status Lingkungan Hidup Indonesia tahun 2014, menyatakan bahwa
pembangunan di Indonesia telah mengakibatkan kesenjangan sosial dengan
meningkatnya angka koefisien gini dan bencana lingkungan. Pada tahun 2002
misalnya, bencana banjir di Indonesia hanya terjadi 52 banjir setahun, sementara
pada tahun 2013 telah terjadi lebih dari 1700 banjir dalam setahun (KLH,
2014).
Dengan demikian pembangunan yang lebih berkelanjutan dengan
mempertimbangkan aspek sosial dan lingkungan, selain tujuan ekonomi adalah
suatu keniscayaan. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, concern
pembangunan dengan ukuran-ukuran keberlanjutan melalui dimensi sosial,
ekonomi, dan lingkungan bukan hanya merupakan concern nasional.Perhatian
utama pembangunan berkelanjutan telah pula bergeser dari fokus global dan
nasional ke fokus regional (Nijkamp and Vreeker, 2000). Menurut Nijkamp dan
Vreeker (2000), pergeseran ke arah regional ini antara lain karena daerah
memiliki demarkasi yang jelas serta derajat homogenitas tertentu sehingga analisis
empiris yang lebih operasional dapat dilakukan. Oleh karenanya analisis yang
berkaitan dengan pengukuran keberlanjutan, baik yang terkait dengan pendekatan
6
dan ukuran-ukuran yang digunakan sudah menjadi suatu keharusan. Tulisan ini
menyajikan analisis keberlanjutan pembangunan wilayah dengan didasarkan pada
skenario pembangunan yang telah disepakati melalui dialog multi-pihak dengan
pendekatan indikator Critical Threshold Value (CTV).
Melihat argumentasi di atas, maka penelitian yang mengakomodasikan dimensi
pembangunan berkelanjutan pada level regional sejatinya menjadi keharusan bagi
setiap provinsi di Indonesia. Demikian juga halnya dengan Provinsi Jambi, di
mana kondisi geografis provinsi yang memiliki empat taman nasional harus
mengalami trade off antara menjaga lingkungan kawasan dengan memicu
pertumbuhan ekonomi yang positif sesuai dengan target-target pembangunan yang
telah dicanangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD). Meski dalam RPJMPD telah disepakati target-target capaian
pertumbuhan yang ambisius, pencapaian target ini tidaklah mudah karena selain
ada kendala yang harus dilalui, baik dari sisi finansial, sumber daya manusia,
dan sumber daya lainnya, Orientasi pembangunan yang cenderung growth
oriented pada akhirnya akan menafikan batasan- batasan kemampuan alam
dan lingkungan dalam mendukung capaian tersebut.
Sebagai provinsi yang memiliki wilayah konservasi yang cukup luas, capaian
pembangunan berkelanjutan di Jambi memiliki tantangan tersendiri. Meski dalam
perencanaan pembangunan daerah di Jambi secara umum telah disinggung
aspek keberlanjutan dan secara khusus Jambi telah mengeluarkan dokumen
Strategi dan Rencana Aksi REDD+ sejak tahun 2013 di mana aspek-aspek
pembangunan berkelanjutan melalui penurunan emisi, namun demikian capaian
program ini belum terlihat dengan nyata. Capaian pertumbuhan ekonomi yang
tinggi di Jambi masih terkendala dengan berbagai aspek sosial dan lingkungan,
sementara masalah lingkungan seperti kebakaran hutan dan lahan, konversi lahan
untuk perkebunan, masih menjadi isu utama lingkungan yang belum
terintegrasikan dalam pembangunan di Jambi. Dengan demikian sangatlah
penting untuk mengevaluasi aspek keberlanjutan pembangunan di Jambi baik
dalam konteks situasi eksisting maupun untuk pengembangan skenario
pembangunan ke depan.
B. Permasalahan
Pembangunan berkelanjutan menyangkut aspek multi-dimensi dari sisi
ekonomi, sosial, dan lingkungan dengan masing-masing ukuran atau indikator
yang berbeda. Sehingga diperlukan unifikasi kriteria, definisi, dan pengukuran
untuk berhasilnya implementasi pembangunan berkelanjutan (Poveda and Lipsett,
2011). Menindaklanjuti hal tersebut, selama tiga dasa warsa terakhir telah
banyak upaya yang dilakukan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Namun demikian sifat multi-dimensi dari keberlanjutan tersebut memerlukan
7
pertimbangan yang simultan dari berbagai aspek yang mewakili ukuran-ukuran
atau indikator keberlanjutan (Shmelev and Labajos, 2009, Cinelli, et al., 2014).
Kompleksitas pengukuran tersebut akan dihadapi pula oleh pengambil kebijakan
pada tingkat daerah. Implementasi pembangunan berkelanjutan sering bersifat
abstrak dan sulit diukur, di sisi lain, capaian pembangunan berkelanjutan
menjadikan suatu keniscayaan bagi pembangunan wilayah yang berkelanjutan
(Giaoutzi and Nijkamp, 1993, Nijkamp and Vreeker, 2000). Pada tatanan
daerah, karakteristik wilayah seperti ketersediaan sumber daya alam, kapasitas
sumber daya manusia, dan modal sosial sering tidak menunjang satu sama lain
dalam mencapai tujuan pembangunan daerah.
Disisi lain pembangunan daerah yang berkelanjutan secara nasional telah menjadi
amanah UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang.
Pada tingkat daerah pembangunan berkelanjutan juga telah menjadi amanah
RPJMD yang diatur dengan Permendagri No. 54 Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2008 tentang Tahapan,
Tatacara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana
Pembangunan Daerah. Aspek regulasi tersebut mengedepankan pentingnya
pembangunan berkelanjutan di setiap daerah. Selain itu, Jambi sedang
melalui proses transisi pemerintah dari periode tahun 2010-2015 ke periode
tahun 2016-2021, sehingga diperlukan agenda pembangunan Jambi yang lebih
berkelanjutan di masa mendatang. Agenda ini juga harus lebih realistis dan
didasarkan pada kepentingan stakeholder dengan indikator pembangunan
berkelanjutan yang lebih komprehensif.
Berdasarkan argumentasi di atas, ada masalah utama dalam pembangunan ini
yang memerlukan jawaban penelitian, yaitu pertama, bagaimana capaian-
capaian pembangunan berkelanjutan tersebut diukur secara komprehensif melalui
dimensi ekonomi, sosial,dan lingkungan. Kedua, bagaimana skenario
pembangunan berkelanjutan yang terbaik bisa diukur melalui ukuran yang relatif
mudah namun bermakna, dan ketiga bagaimana arahan pembangunan
berkelanjutan yang terbaik pada tingkat regional untuk mencapai pembangunan
yang berkelanjutan.
C. Tujuan
1. mengevaluasi pembangunan daerah Provinsi Jambi berdasarkan
indikator pembangunan yang lebih komprehensif,
2. mengembangkan skenario-skenario pembangunan berkelanjutan yang
didasarkan pada kepentingan stakeholder dan derajat keberlanjutan,
dan
3. mengembangkan model kebijakan pembangunan berkelanjutan sebagai
implikasi dari tujuan 1 dan 2.
8
PEMBAHASAN
Provinsi Jambi dengan luas wilayah 53.435 km2 dan jumlah penduduk 3.317.034
jiwa, hingga tahun 2015 ini masih bertumpu pada sektor primer sebagai
penggerak utama pertumbuhan ekonominya. Letak Provinsi Jambi di tengah Pulau
Sumatera, berbatasan dengan Provinsi Riau di utara, Provinsi Sumatera
Selatan di selatan, Provinsi Sumatera Barat dan Bengkulu di barat, dan Laut
Cina Selatan di Timur. Di samping itu, Provinsi Jambi juga terletak pada posisi
strategis lainnya, karena terhubung langsung dengan kawasan pertumbuhan
ekonomi IMS-GT (Indonesia, Malaysia, dan Singapura sebagai growth triangle).
Letak geografis tersebut sangat menguntungkan jika arah dan kebijakan
pembangunan Provinsi Jambi mendukung dalam meningkatkan daya saing daerah
dalam konteks ekonomi. Potensi alam Provinsi Jambi yang memiliki tutupan
hutan seluas 4.882.741 ha (Dishut Provinsi Jambi, 2014), menjadikan Jambi
sebagai salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki kawasan
konservasi. Ada empat kawasan konservasi di Provinsi Jambi, yaitu Taman
Nasional Kerinci Seblat, Taman Nasional Berbak, Taman Nasional Bukit
Dua Belas, dan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Sebagian lahan di Provinsi
Jambi juga di dominasi oleh perkebunan kelapa sawit dan karet. Di samping itu,
Jambi juga memiliki potensi tambang, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas
bumi. Hal ini tentu saja menjadi dilema, satu sisi kekayaan alam Provinsi
Jambi dapat dijadikan mesin pertumbuhan (engine of growth), namun di sisi lain
harus memerhatikan kaidah pembangunan yang berkelanjutan. Arah kebijakan
pembangunan Provinsi Jambi yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka
Panjang (RPJP) tahun 2005-2025, saat ini telah mengakhiri Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Provinsi Jambi tahap ke II (tahun 2010-
2015). RPJMD ini fokus pada (1) mewujudkan daerah yang memiliki
keunggulan kompetitif, (2) mewujudkan masyarakat beriman, bertaqwa, dan
berbudaya, (3) mewujudkan masyarakat demokratis dan berbudaya hukum, (4)
mewujudkan kondisi yang aman, tentram, dan tertib, (5) mewujudkan
pembangunan yang merata dan berkeadilan, dan (6) mewujudkan pembangunan
yang berkelanjutan.
Meski agenda pembangunan Provinsi Jambi tersebut memiliki tujuan yang
mulia dilihat dari berbagai agenda, namun demikian pencapaian tujuan
tersebut tidak semudah yang dibayangkan. Tujuan pembangunan yang terlalu
optimis tanpa melihat kendala yang ada akan menghasilkan agenda pembangunan
9
yang myopic, artinya cenderung berfikir jangka pendek. Sementara itu, salah
satu ciri dalam perencanaan pembangunan wilayah maupun pembangunan
daerah adalah adanya aspek ketidakpastian risiko yang dihadapi untuk mencapai
tujuan pembangunan tersebut.
Dalam model pembangunan yang konvensional, ketidakpastian dan risiko ini
diwakili oleh asumsi-asumsi yang dibuat pada proses perencanaan. Asumsi ini
tentu memiliki risiko yang berimplikasi pada beban finansial dan sumber
daya lainnya. Dengan demikian, mengakhiri periode akhir Jambi “Emas” tahun
2015 tersebut diperlukan instrumen evaluasi yang mampu mengakomodasi risiko
asumsi-asumsi tersebut. Selain itu diperlukan pula pengembangan agenda
pembangunan dengan mengembangkan skenario-skenario pembangunan yang
didasarkan pada keinginan pemangku kepentingan. Hasil dari FGD yang telah
dilaksanakan pada bulan April 2015 di Provinsi Jambi, memformulasi tiga
alternatif kebijakan pembangunan untuk mendampingi kebijakan pembangunan
saat ini (business as usual), yaitu kebijakan PDS, MSD, dan ENE, serta capaian
pembangunan saat ini yang diwakili oleh kebijakan business as usual dianalisis
tingkat keberlanjutannya untuk mengetahui alternatif yang terbaik menuju
pembangunan Jambi yang lebih inklusif.
Hasil analisis dengan model FLAG menunjukkan adanya “ongkos” pembangunan
dari kondisi saat ini (business as usual) yang terindikasi dari banyaknya
sebaran FLAG kuning, merah bahkan hitam pada setiap dimensi
keberlanjutan. Dengan demikian, target-target capaian pembangunan ekonomi
saat ini yang ditargetkan mencapai 8,2 persen per tahun akan menyebabkan
ekstraksi sumber daya alam yang cukup intensif dan dapat menyebabkan
terlampauinya daya dukung lingkungan. Target pertumbuhan tersebut
memang cenderung melemah.
Sehubungan dengan berakhirnya program pembangunan Jambi “Emas” pada
tahun 2015 yang lalu, maka model FLAG ini menawarkan skenario
pembangunan alternatif, baik yang menitikberatkan pada peningkatan daya saing,
pemanfaatan sumber daya lokal, maupun yang berbasis nonekstraktif. Hasil
analisis model FLAG menyimpulkan bahwa pola pembangunan di Jambi harus
lebih diarahkan paling tidak pada dua hal utama yakni meningkatkan pemanfaatan
sumber daya lokal dan pengembangan serta pemanfaatan sumber daya alam yang
berbasis nonekstraktif, seperti pemanfaatan jasa lingkungan, keanekaragaman
hayati, ekowisata, dan sejenisnya. Kedua skenario kebijakan pembangunan
tersebut saat ini sebenarnya cukup urgen, mengingat dua hal. Pertama, posisi
Jambi yang memiliki kawasan konservasi namun belum dimanfaatkan secara
optimal. Kedua, telah terbukti banyaknya ongkos pembangunan akibat
kegiatan ekstraktif seperti bencana asap yang pada tahun 2015 lalu sangat
masif. Hasil analisis FLAG menunjukkan bahwa capaian pembangunan
10
akan lebih berlanjut jika menggunakan skenario Mengelola Sumber Daya
Lokal (MSDL) dan Ekonomi nonekstraktif (ENE), di mana FLAG green
menunjukkan tidak dikhawatirkan terjadinya kelebihan daya dukung lingkungan.
Dengan melihat hasil analisis tersebut, maka pemerintah Provinsi Jambi harus
menyiapkan berbagai instrumen kebijakan yang mendukung pengembangan
skenario ENE dan MSDL, misalnya melalui instrumen regulasi, pemberian
insentif bagi pelaku usaha mikro maupun menengah, serta infrastruktur hijau
yang mendukung percepatan pembangunan namun tidak merusak
lingkungan. Instrumen kebijakan lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah
sosialisasi dan peningkatan penyadaran masyarakat akan pentingnya
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam melalui kegiatan
nonekstraktif, seperti ekowisata, pengembangan produk-produk jasa lingkungan,
dan keanekaragaman hayati.
Pembangunan Jambi yang lebih berkelanjutan dan tidak bersifat myopic (hanya
berfikir untuk saat ini) dapat diarahkan pada sektor yang dibingkai dalam model
“Jamrud” (Jambi Regional Sustainable Development). Model ini mengarahkan
pembangunan Provinsi Jambi yang lebih berkelanjutan dengan pertumbuhan
ekonomi yang inklusif dan pembangunan yang rendah karbon.
11
Strategi Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UMKM)
di Kota Jambi
Abstrak
12
PENDAHULUAN
13
UMKM di Kota Jambi menjadi 10.868 unit usaha, namun persentasenya tetap
sebesar 3,16 persen. Jumlah tenaga kerja yang terserap oleh UMKM pada tahun
2016 sebanyak 32.452 orang atau sebesar 3,00 persen dari total tenaga kerja.
Kenaikan jumlah unit usaha dan tenaga kerja secara absolut tersebut terkait
dengan berbagai pelatihan peningkatan kualitas, manajemen, kinerja dan fasilitasi
kemitraan yang dibangun oleh pemerintah Kota Jambi (Renstra Diskop UMKM
2013-2018). Berdasarkan data jumlah unit usaha dan tenaga kerja tersebut, maka
UMKM di Kota Jambi mempunyai kontribusi yang penting dan strategis dalam
perekonomian daerah.
Sehubungan dengan kontribusi UMKM tersebut, maka pemberdayaan
dan pengembangan UMKM menjadi hal yang perlu dilakukan secara
berkesinambungan. Bagaimanakah strategi pengembangan UMKM di Kota Jambi
yang seharusnya dilakukan? Jawaban dari pertanyaan tersebut menjadi fokus
penelitian ini. Untuk menjawab, perlu ditelusuri terlebih dahulu berbagai
masalah yang dihadapi oleh UMKM di Kota Jambi. Demikian pula perlu
dilihat strategi survival yang telah dilakukan oleh UMKM agar tetap mampu
bertahan menjalankan usahanya.
Jaka Sriyana (2010) mencatat bahwa usaha kecil dan menengah (UKM)
mempunyai peranan penting dalam perekonomian lokal daerah. Hal ini
ditunjukkan dengan kemampuan UKM dalam menggerakkan aktivitas ekonomi
regional dan penyediaan lapangan kerja di Kabupaten Bantul. Namun, UKM
masih menghadapi berbagai masalah mendasar, yaitu masalah kualitas produk,
pemasaran dan sustainability usaha. Diperlukan berbagai kebijakan terobosan
untuk memotong mata rantai masalah yang dihadapi UKM, khususnya untuk
mengatasi beberapa hal yang menjadi hambatan dalam bidang pengembangan
produk dan pemasaran. Adapun regulasi dari pemerintah yang diperlukan untuk
memberikan peluang berkembangnya UKM meliputi perbaikan sarana dan
prasarana, akses perbankan dan perbaikan iklim ekonomi yang lebih baik untuk
mendukung dan meningkatkan daya saing mereka serta untuk meningkatkan
pangsa pasar.
Edy Suandi Hamid dan Y. Sri Susilo (2011) menggali berbagai informasi
yang berkaitan dengan UMKM dalam rangka memberi rekomendasi
pengambilan kebijakan pengembangannya di Provinsi DIY. Permasalahan yang
diperoleh diantaranya yaitu kesulitan dalam memperluas pangsa pasar, terbatasnya
ketersediaan sumber dana untuk pengembangan usaha, kurangnya kemampuan
SDM dalam melakukan inovasi serta keterbatasan teknologi, kelemahan dalam
membeli bahan baku serta peralatan produksi, kondisi ekonomi dan
infrastruktur yang buruk
Adapun Profil dan Pengembangan UMKM di Provinsi Jambi, oleh Haryadi
(2009) telah dilakukan Kajian Pemanfaatan Bantuan Pemerintah Untuk
14
Pengembangan UMKM. Besar sampel mencakup 32 unit usaha yang mencakup
industri pengolahan makanan, industri kerajinan kulit, industri Kerajinan batik,
dan industri kerajinan lainnya. Metode pengumpulan data dilakukan dengan
survei lapangan, wawancara mendalam, dan focus group discussion (FGD).
Permasalahan yang dihadapi industri kecil antar kelompok industri
mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaan yang menonjol adalah
kenaikan harga produksi yang memaksa mereka menaikkan harga jual produk.
Masalah yang lain adalah menurunnya tingkat produksi dan employment.
Selain itu, yang membuat UMKM tidak bisa bertahan saat terjadinya krisis
ekonomi dan menurunnya pendapatan masyarakat menurut Haryadi (2009)
adalah:
Pertama, sebagian besar usaha kecil menghasilkan barang-barang konsumsi
(consumer goods), khususnya yang tidak tahan lama (non-durable consumer
goods). Kelompok barang ini dicirikan oleh keanjalan permintaan terhadap
perubahan pendapatan (income elasticity of demand) yang relatif rendah. Artinya,
seandainya terjadi peningkatan pendapatan masyarakat, permintaan atas
kelompok barang ini tak akan meningkat banyak; sebaliknya, jika
pendapatan masyarakat merosot-sebagai akibat dari krisis maka permintaan tak
akan banyak berkurang.
Kedua, mayoritas usaha kecil lebih mengandalkan pada non-banking financing
dalam aspek pendanaan usaha. Hal ini terjadi karena akses usaha kecil pada
fasilitas perbankan sangat terbatas. Oleh karena itu, meski perannya dalam
penyerapan tenaga kerja cukup besar, namun kontribusinya terhadap ekspor
nasional hanya sekitar 14 persen.
Ketiga, pada umumnya usaha kecil memiliki modal yang terbatas. Di lain
pihak, mengingat struktur pasar yang dihadapi UMKM mengarah pada
persaingan sempurna (banyak produsen dan banyak konsumen), tingkat
persaingan sangatlah ketat. Akibatnya, yang bangkrut atau keluar dari arena usaha
relatif banyak, namun pemain baru yang masuk pun cukup banyak pula. Sehingga
pada saat krisis ekonomi terjadi, jumlah UMKM tidak mengalami penurunan yang
signifikan.
Keempat, terbentuknya usaha-usaha kecil baru, terutama di sektor informal,
sebagai akibat dari banyaknya pemutusan hubungan kerja di sektor formal karena
krisis ekonomi yang berkepanjangan.
Dalam hal perbedaan, masalah yang dihadapi UMKM me nurut Sri Susilo dan
Sutarta (2004) tergantung dari jenis dan karaketristik industri kecil. Ada yang
menyatakan masalah pokok yang dihadapi adalah kemampuan bersaing di
pasar, pemasaran produk, dan ketersediaan tenaga kerja terampil. Dalam hal
dinamika usaha, persamaan di antara mereka terutama dalam diversifikasi produk.
Pengusaha industri kecil melakukan diversifikasi dari sisi bahan baku dan hasil
15
produksi. Perbedaan dinamika usaha terjadi dalam hal diversifikasi usaha.
Pengusaha industri kecil melakukan diversifikasi usaha yang berbeda sama sekali
dengan usaha sebelumnya, namun juga ada yang melakukan diversifikasi usaha
yang terkait dengan usaha sebelumnya.
METODE PENELITIAN
Metode Analisis
Analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan deskriptif.
Analisis deskriptif memberikan gambaran pola-pola yang konsisten dalam data,
sehingga hasilnya dapat dipelajari dan ditafsirkan secara singkat dan penuh makna
(Kuncoro, 2009). Dalam analisis deskriptif, dilakukan interprestasi atas data dan
hubungan yang ada dalam penelitian tersebut. Di samping itu juga dilakukan
komparasi antara hasil penelitian dengan hasil-hasil penelitian terkait dan
dilakukan korelasi antara hasil-hasil penelitian tersebut dengan teori atau konsep
yang relevan (Singarimbun dan Effendi, 1989). Selanjutnya analisis secara
deskriptif dapat juga dilakukan dengan teknik statistik yang relatif
16
sederhana, seperti misalnya menggunakan tabel, grafik, dan ukuran tendensi
sentral yaitu nilai rata-rata, nilai tengah, dan modus (Kountur, 2003). Dengan
mengacu pada pengertian analisis deskriptif tersebut maka sekalipun metode
analisis yang digunakan dalam riset ini relatif sederhana, namun dapat
memberikan informasi yang memadai sesuai dengan tujuan penelitian.
PEMBAHASAN.
17
Pola pemberdayaan UKM melalui aspek permodalan ini adalah: (1) bagaimana
pemberian bantuan modal ini tidak menimbulkan ketergantungan; (2)
bagaimana pemecahan aspek modal ini dilakukan melalui penciptaan sistem yang
kondusif baru usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah untuk mendapatkan
akses di lembaga keuangan; (3) bagaimana skema penggunaan atau kebijakan
pengalokasian modal ini tidak terjebak pada perekonomian subsisten. Inti
pemberdayaan adalah kemandirian masyarakat. Pemberian hibah modal
kepada masyarakat, selain kurang mendidik masyarakat untuk
bertanggungjawab kepada dirinya sendiri, juga akan dapat mendistorsi pasar uang.
Oleh sebab itu, cara yang cukup elegan dalam memfasilitasi pemecahan masalah
permodalan untuk usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah, adalah
dengan menjamin kredit mereka di lembaga kuangan yang ada, dan atau memberi
subsidi bunga atas pinjaman mereka di lembaga keuangan. Cara ini selain
mendidik mereka untuk bertanggung jawab terhadap pengembalian kredit, juga
dapat menjadi wahana bagi mereka untuk terbiasa bekerjasama dengan
lembaga keuangan yang ada, serta membuktikan kepada lembaga keuangan
bahwa tidak ada alasan untuk diskriminatif dalam pemberian pinjaman.
18
Sedangkan pola pengembangan jaringan melalui pendekatan kluster, diharapkan
menghasilkan produk oleh produsen yang berada di dalam klaster bisnis
sehingga mempunyai peluang untuk menjadi produk yang mempunyai
keunggulan kompetitif dan dapat bersaing di pasar global. Upaya
pengembangan jaringan pemasaran dapat dilakukan dengan berbagai macam
strategi misalnya kontak dengan berbagai pusat-pusat informasi bisnis, asosiasi-
asosiasi dagang baik di dalam maupun di luar negeri, pendirian dan pembentukan
pusat-pusat data bisnis UKM serta pengembangan situs-situs UKM di seluruh
kantor perwakilan pemerintah di luar negeri.
Penguatan ekonomi rakyat melalui pemberdayaan UKM, tidak berarti
mengalienasi pengusaha besar atau kelompok ekonomi kuat. Karena
pemberdayaan memang bukan menegasikan yang lain, tetapi give power to
everybody. Pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi adalah penguatan
bersama, dimana yang besar hanya akan berkembang kalau ada yang kecil dan
menengah, dan yang kecil akan berkembang kalau ada yang besar dan menengah.
Karena masing-masing pihak dapat menjadi mitra bagi pihak lain guna
membangun kekuatan daya saing bersama.
19
Mewujudkan iklim bisnis yang lebih kondusif dengan melakukan reformasi dan
deregulasi perijinan bagi UMKM merupakan salah satu strategi yang tepat
untuk mengembangkan UMKM. Dalam hal ini perlu ada upaya untuk
memfasilitasi terselenggaranya lingkungan usaha yang efisien secara ekonomi,
sehat dalam persaingan dan non diskriminatif bagi keberlangsungan dan
peningkatan kinerja UKM. Selain itu perlu ada tindakan untuk melakukan
penghapusan berbagai pungutan yang tidak tepat, keterpaduan kebijakan lintas
sektoral, serta pengawasan dan pembelaan terhadap praktek-praktek
persaingan usahah yang tidak sehat dan didukung penyempurnaan perundang-
undangan serta pengembangan kelembagaan.
DAFTAR PUSTAKA
JURNAL I
Adisasmita, H. Rahardjo. (2005). Dasar-dasar Ekonomi Wilayah. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Budiharsono, Sugeng. (2001). Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir Dan
Lautan. Jakarta: Pradnya Paramita.
Glasson, John. (1977). Pengantar Perencanaan Regional, Publikasi Program
Perencanaan Nasional FEUI-Bappenas. Jakarta: LP Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.
Richardson, Harry W. (2001). Dasar-dasar Ilmu Ekonomi Regional, Edisi Revisi.
Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
Sjafrizal. (1985). Teori Ekonomi Regional: Konsep dan Perkembangan, dalam
Memelihara Momentum Pembangunan, Hendra Asmara. Jakarta:
Penerbit Gramedia
Tarigan, Robinson. (2003). Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: Bumi
Aksara
JURNAL II
20
Giaoutzi, M. and Nijkamp, P. (1993). Decision support model for regional
sustainable development. UK: Avebury.
Malthus, T. R. (1798). An essay on the principle of population. J . Johnson,
London, UK. (reprinted in 1998 by Electronic Scholarly Publishing
Project. www. esp.org.
Meadows, D. H., Meadows, D. L., Randers, J., and Behrens III, W. W.
(1972). The limit to growth. New York: Universe Book.
World Commision on Sustainable Development (WCED). 1987. Our
Common Future. New York: Oxford University Press.
Amekudzi, A., Khayesi, M., and Khisty, C. J. (2015). Sustainable development
footprint: A framework for assessing sustainable development risk and
opportunities in time and space. International Journal of Sustainable
Development, 18(1/2), 9-40.
Antunes, P., Santos, R., Videina, N., Colaco, F., Szanto, R., Dobos, E. R.,
Kovacs, S., and Vari, A. (2012). Approaches to integration in
sustainability assessment technologis. Report for EC 7 th
Framework Project. European Union.
Cinelli M, Coles SR, Kirwan K. 2014. Analysis of the potentials of multi
criteria decision analysis methods to conduct sustainability
assessment. Ecological Indikators, Vo. 46, 138-148.
Dasgupta, P. S. and Heal, G. M. (1974). The optimal deplation of exhaustible
resources. review of economic studies, symposium on the economics of
exhaustible resources. Edinbugh, Scotland.
Fauzi, A. dan Oxtavianus, A. (2014). The measurement of sustainable development
in Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan, 15(1), 68-83.
Nijkamp, P. (1999). Environmental security and sustainability in natural
resource management, in S Lonergan (ed.), Environmental Change.
Adaptation and Security (Kluwer, Dordrecht).
Shmelev, S. E. and Labajos, B. R. (2009). Dynamic multidimensional
assessment of sustainability at the macro level: The case of Austrian.
Ecological Economic, 68, 2.560-2.573.
Solow, R. M. (1974). Intergenerational equity and exhaustible resources.
Review of Economic Studies, Symposium on the Economics
of Exhaustible Resources. Edinbugh, Scotland.
Stiglitz, J. E. (1974). Growth with exhaustible resources, efficient and
optimal growth paths. Review of Economic Studies, Symposium on the
Economics of Exhaustible Resources. Edinbugh, Scotland.
21
JURNAL III
22
Sri Susilo, Y., Krisnadewara, P.D., dan Soeroso, A. 2008. Masalah dan Kinerja
Industri kecil Pascagempa: Kasus di Kabupaten Klaten (Jateng) dan
Kabupaten Bantul (DIY), Jurnal Akuntansi Bisnis dan Manajemen, Vol.
15 No. 2, Agustus 2008, hal. 271-280.
Tarigan, Y.P., dan Sri Susilo, Y. 2008. Masalah dan Kinerja Industri Kecil
Pascagempa: Kasus pada Industri Kerajinan Perak Kotagede
Yogyakarta, Jurnal Riset Ekonomi dan Manajemen, Vol. 8 No. 2, Mei
2008, hal. 188-199.
Todaro., M. P, (2000), Economic Development, Sevent Edition, Massachusetts
UU No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
Sumber Digital
Kates, R. W., Parris, T. M., Leiserowitz, A. A. (2005). What is
sustainable development? goals, indicators, values, and practice.
Issue Environment Science and Policy for Sustaibnable Development, 47
(3), 8-21. Diperoleh tanggal 8 Desember 2015, dari
hhtp.//www.heldref.org/ env.php.
Kementerian Lingkungan Hidup. (2014). Status lingkungan hidup
Indonesia 2014. Diperoleh tanggal 2 Mei 2015 dari
www.indonesia. go.id/../266-kementerian-lingkungan-hidup. html.
The World Café Community Foundation. (2015). A quick reference guide for
hosting world café. http://www.theworldcafe.com.
23