Anda di halaman 1dari 24

EKONOMI REGIONAL DAN PERKOTAAN

Dosen pengampu : Petrio Ronaldi, M.M

Disusun oleh :
Nama: Idra Gunawan
Nim: ES.201015

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
STIE SYARI’AH AL-MUJADDID
TANJUNG JABUNG TIMUR
2022/2023
Dasar Ilmu Ekonomi Regional

Pendahuluan
lmu ekonomi adalah ilmu yang mempelajari bagaimana manusia
memenuhi kebutuhan hidupnya yang ketersediaannya atau kemampuan orang
mendapatkannya terbatas. Ilmu ekonomi regional atau ilmu ekonomi wilayah
adalah suatu cabang dari ilmu ekonomi yang dalam pembahasannya memasukkan
unsur perbedaan potensi satu wilayah dengan wilayah lain. Sebetulnya sangat sulit
meletakkan posisi ilmu ekonomi regional dalam kaitannya dengan ilmu lain,
terutama dengan geografi ekonomi (economic geography). Geografi ekonomi
adalah ilmu yang mempelajari keberadaan suatu kegiatan di suatu lokasi, dan
bagaimana wilayah di sekitarnya bereaksi atas kegiatan tersebut. Geografi
ekonomi mempelajari gejala-gejala dari suatu kegiatan yang bersangkut-paut
dengan tempat atau lokasi sehingga ditemukan prinsip-prinsip penggunaan ruang
yang berlaku umum. Prinsip-prinsip ini dapat dipakai dalam membuat kebijakan
pengaturan penggunaan ruang wilayah yang efektif dan efisien berdasarkan tujuan
umum yang hendak dicapai.
Perbedaan ilmu ekonomi regional dengan geografi ekonomi adalah bahwa
geografi ekonomi membahas kegiatan secara individual, yaitu mempelajari
dampak satu atau sekelompok kegiatan di satu lokasi terhadap kegiatan lain di
lokasi lain atau bagaimana kinerja kegiatan di suatu lokasi itu sebagai akibat dekat
atau jauhnya lokasi itu dari lokasi kegiatan lain. Ilmu ekonomi regional tidak
membahas satu kegiatan, tetapi menganalisis suatu wilayah atau bagian wilayah
secara keseluruhan atau melihat berbagai wilayah dengan potensinya yang
beragam dan bagaimana mengatur suatu kebijakan yang dapat mempercepat
pertumbuhan ekonomi seluruh wilayah. Baik geografi ekonomi maupun ilmu
ekonomi regional mengenal dan mempergunakan beberapa istilah yang sama,
misalnya wilayah nodal, wilayah homogen, kota dan wilayah belakangnya, tetapi
dengan pendekatan yang berbeda. Ilmu ekonomi regional mulai masuk ke
Indonesia pada tahun 1970- an, di mana pemerintah mulai menyadari bahwa
kebijakan ekonomi tidak dapat dibuat seragam untuk semua daerah karena kondisi
dan potensi daerah satu berbeda dengan daerah lainnya.
Setelah mempelajari bab ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan hal-
hal berikut.
1. Definisi dan cakupan ilmu ekonomi regional, serta perbedaannya dengan
cabang ilmu ekonomi yang lain.
2. Manfaat dan tujuan mempelajari ilmu ekonomi regional.
3. Perbedaan dan keterkaitan ilmu ekonomi regional dengan cabang ilmu
ekonomi yang lain.
4. Konsep dan pengertian wilayah (region) dalam ilmu ekonomi regional
A. Ilmu Ekonomi Regional Sebagai Ilmu Yang Berdiri Sendiri

1
Ilmu ekonomi regional adalah cabang ilmu yang relatif baru sehingga
banyak yang mempertanyakan apakah ilmu ekonomi regional dapat dipandang
sebagai suatu cabang ilmu yang berdiri sendiri, seperti halnya cabang ilmu
ekonomi moneter, ekonomi internasional, ekonomi pertanian, dan sebagainya.
Agar suatu cabang ilmu dapat berdiri sendiri maka cabang ilmu tersebut harus
memiliki kekhususan, yaitu suatu yang tidak dibahas dalam cabang-cabang ilmu
yang lain. Selain itu, harus juga memiliki prinsipprinsip yang utuh dan mampu
memberikan solusi yang lengkap untuk bidang tertentu yang dicakupnya.
Walaupun perkembangan ilmu ekonomi telah sedemikian pesatnya, tetapi
ada beberapa pertanyaan penting yang belum dapat dijawab oleh para ahli
ekonomi. Pada umumnya para ekonom secara implisit beranggapan bahwa
prinsip-prinsip ekonomi yang telah digariskan akan berlaku umum di seluruh
tempat, baik di kota atau di desa, di daerah yang telah maju ataupun di daerah
yang terbelakang. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa kondisi tiap-tiap
daerah tersebut tidak sama, ketersediaan prasarana tidak sama, keterampilan
tenaga kerja tidak sama, kepadatan penduduk berbeda atau harga tanah jauh
berbeda. Dengan demikian, berbagai kegiatan ekonomi yang cocok di suatu
daerah belum tentu cocok di daerah lain. Misalnya, penentuan produksi yang
optimum akan berbeda di berbagai tempat, tergantung pada kondisi ekonomi di
sekitarnya. Jadi, hukum ekonomi yang telah lazim apabila diterapkan dengan
memasukkan unsur tempat atau region, akan memunculkan beberapa masalah
yang harus dijawab dengan teori khusus yang tidak tercakup dalam teori ekonomi
tradisional. Untuk menjawab pertanyaan inilah muncul ilmu ekonomi regional,
yaitu cabang ilmu ekonomi yang memasukkan unsur lokasi ke dalam ilmu
ekonomi tradisional

B. Tujuan Ilmu Ekonomi Regional


Tujuan (goals) ilmu ekonomi regional sebenarnya tidak berbeda jauh
dengan tujuan ilmu ekonomi pada umumnya. Ferguson (1965) mengatakan bahwa
tujuan utama kebijakan ekonomi adalah (1) full employment, (2) economic
growth, dan (3) price stability. Uraian atas masing-masing tujuan tersebut dapat
dikemukakan sebagai berikut.
1. Menciptakan full employment atau setidak-tidaknya tingkat pengangguran
yang rendah menjadi pokok pemerintahan pusat maupun daerah. Dalam
kehidupan masyarakat, pekerjaan bukan saja berfungsi sebagai sumber
pendapatan, tetapi sekaligus juga memberikan harga diri atau status bagi
yang bekerja.
2. Adanya economic growth (pertumbuhan ekonomi) karena selain
menyediakan lapangan kerja bagi angkatan kerja baru juga diharapkan
dapat memperbaiki kehidupan manusia atau meningkatkan pendapatan.
Tanpa perubahan, manusia merasa jenuh atau bahkan merasa tertinggal.

2
3. Terciptanya price stability (stabilitas harga) untuk menciptakan rasa aman
atau tenteram dalam perasaan masyarakat. Harga yang tidak stabil
membuat masyarakat merasa was-was, misalnya apakah harta atau
simpanan yang diperoleh dengan kerja keras, nilainya riil atau bermanfaat
di kemudian hari.

C. Manfaat Ilmu Ekonomi Regional


Manfaat ilmu ekonomi regional dapat dibagi dua, yaitu manfaat makro dan
manfaat mikro. Manfaat makro berkaitan dengan bagaimana pemerintah pusat
dapat menggunakannya untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi
keseluruhan wilayah. Manfaat mikro, yaitu bagaimana ilmu ekonomi regional
dapat membantu perencana wilayah menghemat waktu dan biaya dalam proses
menentukan lokasi suatu kegiatan atau proyek
Contoh manfaat makro dapat dilihat dari sudut pemerintah pusat dalam
melihat potensi masing-masing wilayah yang berbeda-beda. Masing-masing
wilayah memiliki keunggulan komparatif yang berbeda dan bisa dimanfaatkan
untuk menetapkan skala prioritas yang berbeda untuk masingmasing wilayah. Jika
dilihat dari besaran tingkat pendapatan maka masingmasing wilayah memiliki
tingkat pendapatan yang berbeda. Wilayah dengan tingkat pendapatan yang
rendah memiliki MPC (marginal propensity to consume) yang tinggi. Hal ini
dapat digunakan untuk meningkatkan efek pengganda (multiplier effect) dari
pengeluaran pemerintah pusat. Contoh manfaat mikro dapat diuraikan sebagai
berikut. Ilmu ekonomi regional membantu perencana wilayah dalam menentukan
di bagian wilayah mana suatu kegiatan atau proyek sebaiknya dilaksanakan, tetapi
tidak sampai menunjuk ke lokasi konkret dari proyek tersebut. Dengan demikian,
muncul pertanyaan apa manfaat ilmu ekonomi regional karena tidak mampu
langsung menunjuk lokasi. Seorang perencana wilayah menghadapi wilayah yang
begitu luas, apabila ingin langsung mendapat jawaban di mana site-nya, ia harus
melakukan survei terhadap keseluruhan wilayah. Hal ini membutuhkan waktu dan
biaya yang sangat besar. Ilmu ekonomi regional memiliki alat analisis yang bisa
menunjuk kepada bagian wilayah mana kegiatan seperti itu memiliki keunggulan
komparatif. Dengan demikian, bagian wilayah yang perlu disurvei secara rinci
dipersempit untuk menghemat waktu dan biaya. Analisis ilmu ekonomi regional
membutuhkan biaya yang relatif murah karena dalam banyak hal cukup
menggunakan data sekunder. Oleh karena itu, ilmu ekonomi regional dapat
membantu perencana wilayah untuk menghemat waktu dan biaya dalam proses
memilih lokasi.

D. Keterkaitan Dengan Cabang Ilmu Lain

3
Walaupun ilmu ekonomi regional bertujuan untuk menjawab pertanyaan
“di bagian wilayah mana suatu kegiatan direncanakan atau diprioritaskan?” tetapi
dalam banyak hal ilmu ekonomi regional tidak mampu menjawab pertanyaan
tersebut tanpa bekerja sama dengan disiplin ilmu lain. Misalnya dalam
menentukan pengembangan komoditi pertanian, seorang ahli ekonomi regional
harus bekerja sama dengan ahli pertanian, setidaknya untuk mengetahui kondisi
kesesuaian lahan dengan komoditi yang ingin dikembangkan. Hal ini juga berlaku
dalam penentuan berbagai kebijakan dalam suatu wilayah.
Dalam pembentukan region atau wilayah maka cukup banyak disiplin ilmu
yang berperan dalam topik yang dipilih untuk wilayah tersebut. Misalnya, dalam
membicarakan pembangunan daerah A, harus dibicarakan unsur bidang ilmu
ekonomi, potensi wilayah, sosial, politik, sistem prasarana, dan lingkungan hidup.
Potensi wilayah itu sendiri dapat dikategorikan atas sumber daya alam, sumber
daya buatan, dan sumber daya manusia. Dengan demikian, patut dipertanyakan di
mana peran ilmu ekonomi regional. Ilmu ekonomi regional dapat berperan dalam
penentuan kebijakan awal, misalnya sektor mana yang dianggap strategis,
memiliki daya dorong dan daya tarik yang besar, pada subwilayah mana selama
ini komoditi tersebut memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage),
dan lain-lain. Ilmu ekonomi regional dapat menyarankan komoditi atau kegiatan
apa yang perlu dijadikan unggulan dan di subwilayah mana komoditi itu dapat
dikembangkan. Akan tetapi, apabila sudah dalam penentuan lokasi konkret (site),
ilmu ekonomi regional harus bekerja sama dengan disiplin lain. Dengan demikian,
ilmu ekonomi regional sendiri bukan ilmu yang cukup lengkap untuk membahas
pembangunan suatu daerah apabila sampai pada implementasi secara fisik di
lapangan. Dibutuhkan disiplin ilmu lain untuk menunjang kelengkapan analisis.

E. Sejarah Perkembangan Regional Science


Di masa lalu terdapat teori-teori yang dapat dikategorikan sebagai bagian
dari ekonomi regional yang tertuang secara berserakan pada berbagai tulisan,
antara lain model lokasi berbagai jenis usaha dari Von Thunen (1826), model
lokasi dari Weber (1929), teori central places dari Christaller (1933), dan teori
lokasi ekonomi dari Losch (1939). Di antara keempat teori tersebut, hanya teori
Weber yang hanya dikenal dalam studi ekonomi. Setelah itu walaupun ada
berbagai teori lain yang bermunculan, tidak menjadi perhatian bagi para ahli
ekonomi dan lebih menjadi perhatian bagi ahli geografi ekonomi. Para pemikir
ekonomi regional baru menemukan momentumnya kembali setelah diterbitkannya
disertasi Walter Isard (1956). Dalam kurun tenggang waktu yang kosong, karya
ilmiah yang berkaitan dengan ekonomi regional dituangkan dalam jurnal, majalah
ilmiah atau tulisan lepas lainnya sehingga tidak menjadi perhatian dan bahkan
sering tidak berada dalam daftar referensi perpustakaan

4
KEBIJAKAN PEMBANGUNAN WILAYAH BERKELANJUTAN DI
PROVINSI JAMBI MELALUI PENDEKATAN MODEL FLAG

Abstrak

Pembangunan berkelanjutan telah menjadi suatu keniscayaan agenda


pembangunan, baik pada tatanan nasional maupun regional. Capaian
indikator pembangunan berkelanjutan yang meliputi tiga pilar, yaitu ekonomi,
sosial, dan lingkungan sangat penting untuk dilakukan, karena pembangunan
dengan pola business as usual akan menimbulkan biaya sosial dan lingkungan
yang cukup mahal. Namun demikian, pengukuran keberlanjutan sering
terkendala dengan kompleksitas indikator keberlanjutan itu sendiri. Tulisan ini
bertujuan untuk mengevaluasi pembangunan berkelanjutan pada tingkat regional
di Provinsi Jambi dengan menggunakan metode multi-criteria analysis melalui
pendekatan model FLAG. Tingkat keberlanjutan pembangunan daerah akan
dianalisis dengan menentukan Critical Threshold Value (CTV) dari
pembangunan, yang ditetapkan oleh tujuan kebijakan atau kendala eksogen.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Data
primer menyangkut nilai CTV diperoleh melalui Focus Group Discussion,
sementara data sekunder terkait dengan indikator ekonomi, sosial, dan
lingkungan diperoleh dari berbagai sumber. Data aktual capaian pembangunan di
Provinsi Jambi digunakan sebagai informasi untuk mengetahui bagaimana
pembangunan berkelanjutan di Provinsi Jambi saat ini. Tingkat keberlanjutan
pembangunan akan ditunjukkan oleh warna bendera, di mana bendera hijau
menunjukkan pembangunan yang berkelanjutan, sedangkan bendera kuning,
merah, dan hitam menunjukkan pembangunan yang tidak berkelanjutan. Hasil
analisis dengan FLAG menunjukkan bahwa skenario pembangunan eksisting
cenderung menghasilkan bendera merah dan kuning dengan melewati batas
ambang kritis. Strategi pembangunan baru berbasis sumber daya lokal dan
ekonomi nonekstraktif diperlukan untuk menghasilkan pembangunan yang lebih
berkelanjutan.

Kata kunci: pembangunan wilayah berkelanjutan, FLAG, critical threshold value

5
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tujuan pembangunan berkelanjutan telah menjadi komitmen bersama baik pada
tingkat nasional maupun pada tingkat daerah. Capaian keberlanjutan
pembangunan wilayah tentu saja bukan sekedar masalah trade off antara tujuan
ekonomi dan lingkungan. Kompleksitas issue dan masalah pembangunan menjadi
tantangan dalam pencapaian pembangunan berkelanjutan. Issue pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dengan segala kontroversinya, kesenjangan sosial, dan
masalah kerusakan lingkungan menimbulkan biaya yang harus dibayar dari risiko
pembangunan.
Dari sisi aspek ekonomi, meski selama ini Indonesia masih mengalami
pertumbuhan ekonomi yang positif di antara 4-5 persen dan dari sisi sosial, Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada pada kisaran 60-70, yakni
dalam kategori sedang dibanding negara-negara ASEAN lainnya seperti
Malaysia dan Singapura yang sudah masuk kategori tinggi. Meski dalam capaian
IPM Indonesia mencapai kategori sedang, tidak demikian halnya jika ditinjau dari
sisi aspek lingkungan. Hasil analisis dari Bank Dunia menunjukkan bahwa
pembangunan Indonesia yang tidak berkelanjutan akan menimbulkaan biaya
sosial dan lingkungan yang berkisar antara 0,2 persen sampai 7 persen terhadap
pendapatan nasional bruto (Fauzi, 2014). Demikian juga data yang disampaikan
pada hasil Status Lingkungan Hidup Indonesia tahun 2014, menyatakan bahwa
pembangunan di Indonesia telah mengakibatkan kesenjangan sosial dengan
meningkatnya angka koefisien gini dan bencana lingkungan. Pada tahun 2002
misalnya, bencana banjir di Indonesia hanya terjadi 52 banjir setahun, sementara
pada tahun 2013 telah terjadi lebih dari 1700 banjir dalam setahun (KLH,
2014).
Dengan demikian pembangunan yang lebih berkelanjutan dengan
mempertimbangkan aspek sosial dan lingkungan, selain tujuan ekonomi adalah
suatu keniscayaan. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, concern
pembangunan dengan ukuran-ukuran keberlanjutan melalui dimensi sosial,
ekonomi, dan lingkungan bukan hanya merupakan concern nasional.Perhatian
utama pembangunan berkelanjutan telah pula bergeser dari fokus global dan
nasional ke fokus regional (Nijkamp and Vreeker, 2000). Menurut Nijkamp dan
Vreeker (2000), pergeseran ke arah regional ini antara lain karena daerah
memiliki demarkasi yang jelas serta derajat homogenitas tertentu sehingga analisis
empiris yang lebih operasional dapat dilakukan. Oleh karenanya analisis yang
berkaitan dengan pengukuran keberlanjutan, baik yang terkait dengan pendekatan

6
dan ukuran-ukuran yang digunakan sudah menjadi suatu keharusan. Tulisan ini
menyajikan analisis keberlanjutan pembangunan wilayah dengan didasarkan pada
skenario pembangunan yang telah disepakati melalui dialog multi-pihak dengan
pendekatan indikator Critical Threshold Value (CTV).
Melihat argumentasi di atas, maka penelitian yang mengakomodasikan dimensi
pembangunan berkelanjutan pada level regional sejatinya menjadi keharusan bagi
setiap provinsi di Indonesia. Demikian juga halnya dengan Provinsi Jambi, di
mana kondisi geografis provinsi yang memiliki empat taman nasional harus
mengalami trade off antara menjaga lingkungan kawasan dengan memicu
pertumbuhan ekonomi yang positif sesuai dengan target-target pembangunan yang
telah dicanangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD). Meski dalam RPJMPD telah disepakati target-target capaian
pertumbuhan yang ambisius, pencapaian target ini tidaklah mudah karena selain
ada kendala yang harus dilalui, baik dari sisi finansial, sumber daya manusia,
dan sumber daya lainnya, Orientasi pembangunan yang cenderung growth
oriented pada akhirnya akan menafikan batasan- batasan kemampuan alam
dan lingkungan dalam mendukung capaian tersebut.
Sebagai provinsi yang memiliki wilayah konservasi yang cukup luas, capaian
pembangunan berkelanjutan di Jambi memiliki tantangan tersendiri. Meski dalam
perencanaan pembangunan daerah di Jambi secara umum telah disinggung
aspek keberlanjutan dan secara khusus Jambi telah mengeluarkan dokumen
Strategi dan Rencana Aksi REDD+ sejak tahun 2013 di mana aspek-aspek
pembangunan berkelanjutan melalui penurunan emisi, namun demikian capaian
program ini belum terlihat dengan nyata. Capaian pertumbuhan ekonomi yang
tinggi di Jambi masih terkendala dengan berbagai aspek sosial dan lingkungan,
sementara masalah lingkungan seperti kebakaran hutan dan lahan, konversi lahan
untuk perkebunan, masih menjadi isu utama lingkungan yang belum
terintegrasikan dalam pembangunan di Jambi. Dengan demikian sangatlah
penting untuk mengevaluasi aspek keberlanjutan pembangunan di Jambi baik
dalam konteks situasi eksisting maupun untuk pengembangan skenario
pembangunan ke depan.

B. Permasalahan
Pembangunan berkelanjutan menyangkut aspek multi-dimensi dari sisi
ekonomi, sosial, dan lingkungan dengan masing-masing ukuran atau indikator
yang berbeda. Sehingga diperlukan unifikasi kriteria, definisi, dan pengukuran
untuk berhasilnya implementasi pembangunan berkelanjutan (Poveda and Lipsett,
2011). Menindaklanjuti hal tersebut, selama tiga dasa warsa terakhir telah
banyak upaya yang dilakukan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Namun demikian sifat multi-dimensi dari keberlanjutan tersebut memerlukan

7
pertimbangan yang simultan dari berbagai aspek yang mewakili ukuran-ukuran
atau indikator keberlanjutan (Shmelev and Labajos, 2009, Cinelli, et al., 2014).
Kompleksitas pengukuran tersebut akan dihadapi pula oleh pengambil kebijakan
pada tingkat daerah. Implementasi pembangunan berkelanjutan sering bersifat
abstrak dan sulit diukur, di sisi lain, capaian pembangunan berkelanjutan
menjadikan suatu keniscayaan bagi pembangunan wilayah yang berkelanjutan
(Giaoutzi and Nijkamp, 1993, Nijkamp and Vreeker, 2000). Pada tatanan
daerah, karakteristik wilayah seperti ketersediaan sumber daya alam, kapasitas
sumber daya manusia, dan modal sosial sering tidak menunjang satu sama lain
dalam mencapai tujuan pembangunan daerah.
Disisi lain pembangunan daerah yang berkelanjutan secara nasional telah menjadi
amanah UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang.
Pada tingkat daerah pembangunan berkelanjutan juga telah menjadi amanah
RPJMD yang diatur dengan Permendagri No. 54 Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2008 tentang Tahapan,
Tatacara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana
Pembangunan Daerah. Aspek regulasi tersebut mengedepankan pentingnya
pembangunan berkelanjutan di setiap daerah. Selain itu, Jambi sedang
melalui proses transisi pemerintah dari periode tahun 2010-2015 ke periode
tahun 2016-2021, sehingga diperlukan agenda pembangunan Jambi yang lebih
berkelanjutan di masa mendatang. Agenda ini juga harus lebih realistis dan
didasarkan pada kepentingan stakeholder dengan indikator pembangunan
berkelanjutan yang lebih komprehensif.
Berdasarkan argumentasi di atas, ada masalah utama dalam pembangunan ini
yang memerlukan jawaban penelitian, yaitu pertama, bagaimana capaian-
capaian pembangunan berkelanjutan tersebut diukur secara komprehensif melalui
dimensi ekonomi, sosial,dan lingkungan. Kedua, bagaimana skenario
pembangunan berkelanjutan yang terbaik bisa diukur melalui ukuran yang relatif
mudah namun bermakna, dan ketiga bagaimana arahan pembangunan
berkelanjutan yang terbaik pada tingkat regional untuk mencapai pembangunan
yang berkelanjutan.

C. Tujuan
1. mengevaluasi pembangunan daerah Provinsi Jambi berdasarkan
indikator pembangunan yang lebih komprehensif,
2. mengembangkan skenario-skenario pembangunan berkelanjutan yang
didasarkan pada kepentingan stakeholder dan derajat keberlanjutan,
dan
3. mengembangkan model kebijakan pembangunan berkelanjutan sebagai
implikasi dari tujuan 1 dan 2.

8
PEMBAHASAN

Provinsi Jambi dengan luas wilayah 53.435 km2 dan jumlah penduduk 3.317.034
jiwa, hingga tahun 2015 ini masih bertumpu pada sektor primer sebagai
penggerak utama pertumbuhan ekonominya. Letak Provinsi Jambi di tengah Pulau
Sumatera, berbatasan dengan Provinsi Riau di utara, Provinsi Sumatera
Selatan di selatan, Provinsi Sumatera Barat dan Bengkulu di barat, dan Laut
Cina Selatan di Timur. Di samping itu, Provinsi Jambi juga terletak pada posisi
strategis lainnya, karena terhubung langsung dengan kawasan pertumbuhan
ekonomi IMS-GT (Indonesia, Malaysia, dan Singapura sebagai growth triangle).
Letak geografis tersebut sangat menguntungkan jika arah dan kebijakan
pembangunan Provinsi Jambi mendukung dalam meningkatkan daya saing daerah
dalam konteks ekonomi. Potensi alam Provinsi Jambi yang memiliki tutupan
hutan seluas 4.882.741 ha (Dishut Provinsi Jambi, 2014), menjadikan Jambi
sebagai salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki kawasan
konservasi. Ada empat kawasan konservasi di Provinsi Jambi, yaitu Taman
Nasional Kerinci Seblat, Taman Nasional Berbak, Taman Nasional Bukit
Dua Belas, dan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Sebagian lahan di Provinsi
Jambi juga di dominasi oleh perkebunan kelapa sawit dan karet. Di samping itu,
Jambi juga memiliki potensi tambang, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas
bumi. Hal ini tentu saja menjadi dilema, satu sisi kekayaan alam Provinsi
Jambi dapat dijadikan mesin pertumbuhan (engine of growth), namun di sisi lain
harus memerhatikan kaidah pembangunan yang berkelanjutan. Arah kebijakan
pembangunan Provinsi Jambi yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka
Panjang (RPJP) tahun 2005-2025, saat ini telah mengakhiri Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Provinsi Jambi tahap ke II (tahun 2010-
2015). RPJMD ini fokus pada (1) mewujudkan daerah yang memiliki
keunggulan kompetitif, (2) mewujudkan masyarakat beriman, bertaqwa, dan
berbudaya, (3) mewujudkan masyarakat demokratis dan berbudaya hukum, (4)
mewujudkan kondisi yang aman, tentram, dan tertib, (5) mewujudkan
pembangunan yang merata dan berkeadilan, dan (6) mewujudkan pembangunan
yang berkelanjutan.
Meski agenda pembangunan Provinsi Jambi tersebut memiliki tujuan yang
mulia dilihat dari berbagai agenda, namun demikian pencapaian tujuan
tersebut tidak semudah yang dibayangkan. Tujuan pembangunan yang terlalu
optimis tanpa melihat kendala yang ada akan menghasilkan agenda pembangunan

9
yang myopic, artinya cenderung berfikir jangka pendek. Sementara itu, salah
satu ciri dalam perencanaan pembangunan wilayah maupun pembangunan
daerah adalah adanya aspek ketidakpastian risiko yang dihadapi untuk mencapai
tujuan pembangunan tersebut.
Dalam model pembangunan yang konvensional, ketidakpastian dan risiko ini
diwakili oleh asumsi-asumsi yang dibuat pada proses perencanaan. Asumsi ini
tentu memiliki risiko yang berimplikasi pada beban finansial dan sumber
daya lainnya. Dengan demikian, mengakhiri periode akhir Jambi “Emas” tahun
2015 tersebut diperlukan instrumen evaluasi yang mampu mengakomodasi risiko
asumsi-asumsi tersebut. Selain itu diperlukan pula pengembangan agenda
pembangunan dengan mengembangkan skenario-skenario pembangunan yang
didasarkan pada keinginan pemangku kepentingan. Hasil dari FGD yang telah
dilaksanakan pada bulan April 2015 di Provinsi Jambi, memformulasi tiga
alternatif kebijakan pembangunan untuk mendampingi kebijakan pembangunan
saat ini (business as usual), yaitu kebijakan PDS, MSD, dan ENE, serta capaian
pembangunan saat ini yang diwakili oleh kebijakan business as usual dianalisis
tingkat keberlanjutannya untuk mengetahui alternatif yang terbaik menuju
pembangunan Jambi yang lebih inklusif.
Hasil analisis dengan model FLAG menunjukkan adanya “ongkos” pembangunan
dari kondisi saat ini (business as usual) yang terindikasi dari banyaknya
sebaran FLAG kuning, merah bahkan hitam pada setiap dimensi
keberlanjutan. Dengan demikian, target-target capaian pembangunan ekonomi
saat ini yang ditargetkan mencapai 8,2 persen per tahun akan menyebabkan
ekstraksi sumber daya alam yang cukup intensif dan dapat menyebabkan
terlampauinya daya dukung lingkungan. Target pertumbuhan tersebut
memang cenderung melemah.
Sehubungan dengan berakhirnya program pembangunan Jambi “Emas” pada
tahun 2015 yang lalu, maka model FLAG ini menawarkan skenario
pembangunan alternatif, baik yang menitikberatkan pada peningkatan daya saing,
pemanfaatan sumber daya lokal, maupun yang berbasis nonekstraktif. Hasil
analisis model FLAG menyimpulkan bahwa pola pembangunan di Jambi harus
lebih diarahkan paling tidak pada dua hal utama yakni meningkatkan pemanfaatan
sumber daya lokal dan pengembangan serta pemanfaatan sumber daya alam yang
berbasis nonekstraktif, seperti pemanfaatan jasa lingkungan, keanekaragaman
hayati, ekowisata, dan sejenisnya. Kedua skenario kebijakan pembangunan
tersebut saat ini sebenarnya cukup urgen, mengingat dua hal. Pertama, posisi
Jambi yang memiliki kawasan konservasi namun belum dimanfaatkan secara
optimal. Kedua, telah terbukti banyaknya ongkos pembangunan akibat
kegiatan ekstraktif seperti bencana asap yang pada tahun 2015 lalu sangat
masif. Hasil analisis FLAG menunjukkan bahwa capaian pembangunan

10
akan lebih berlanjut jika menggunakan skenario Mengelola Sumber Daya
Lokal (MSDL) dan Ekonomi nonekstraktif (ENE), di mana FLAG green
menunjukkan tidak dikhawatirkan terjadinya kelebihan daya dukung lingkungan.
Dengan melihat hasil analisis tersebut, maka pemerintah Provinsi Jambi harus
menyiapkan berbagai instrumen kebijakan yang mendukung pengembangan
skenario ENE dan MSDL, misalnya melalui instrumen regulasi, pemberian
insentif bagi pelaku usaha mikro maupun menengah, serta infrastruktur hijau
yang mendukung percepatan pembangunan namun tidak merusak
lingkungan. Instrumen kebijakan lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah
sosialisasi dan peningkatan penyadaran masyarakat akan pentingnya
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam melalui kegiatan
nonekstraktif, seperti ekowisata, pengembangan produk-produk jasa lingkungan,
dan keanekaragaman hayati.
Pembangunan Jambi yang lebih berkelanjutan dan tidak bersifat myopic (hanya
berfikir untuk saat ini) dapat diarahkan pada sektor yang dibingkai dalam model
“Jamrud” (Jambi Regional Sustainable Development). Model ini mengarahkan
pembangunan Provinsi Jambi yang lebih berkelanjutan dengan pertumbuhan
ekonomi yang inklusif dan pembangunan yang rendah karbon.

11
Strategi Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UMKM)
di Kota Jambi

Abstrak

Penelitian ini bertujuan menyusun strategi yang operasional dan tepat


untuk mengembangkan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Kota
Jambi. Profil UMKM juga perlu dikenali dan dianalisis. Penelitian ini
menggunakan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari survei
lapangan, sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai sumber
publikasi. Metode analisis yang digunakan adalah pendekatan deskriptif.
Berkaitan dengan berbagai masalah yang dihadapi oleh UMKM, ada
beberapa strategi untuk mengatasinya. Pengembangan UMKM tidak hanya oleh
UMKM saja, tetapi juga harus didukung semua stakeholder. Dukungan
diharapkan datang dari asosiasi bisnis, perguruan tinggi, dan instansi terkait
di kabupaten/kota di Jambi. Kebijakan pemerintah juga diperlukan untuk
mendorong pengembangan UMKM. Pengembangan UMKM di Jambi
merupakan percepatan transformasi UMKM dari fase formasi menuju fase
stabilisasi.

Kata kunci: strategi pengembangan, UMKM, stakeholder, industri kecil

12
PENDAHULUAN

Pembangunan ekonomi juga merupakan usaha-usaha untuk meningkatkan taraf


hidup suatu bangsa yang sering kali diukur dengan tinggi rendahnya pendapatan
riil per kapita. Pembangunan ekonomi dapat memberikan kepada masyarakat
kemampuan yang lebih besar untuk menguasai alam sekitarnya dan
mempertinggi tingkat kebebasannya dalam mengadakan suatu tindakan
tertentu. Pembangunan ekonomi tak dapat lepas dari pertumbuhan
ekonomi (economic growth). Pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan
ekonomi dan pertumbuhan ekonomi memperlancar proses pembangunan
ekonomi. Oleh karena itu pembangunan ekonomi harus dilaksanakan (Irawan dan
Suparmoko, 2001).
Pada tahun 2013, kontribusi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)
terhadap pendapatan devisa nasional melalui ekspor nonmigas mengalami
peningkatan sebesar Rp 208.067.00 triliun atau 11,00 persen dari total
nilai ekspor nonmigas nasional (www.bps.go.id).
Selanjutnya pada tahun 2013, produk domestik bruto (PDB) nasional atas
harga konstan tahun 2000 sebesar Rp 145.194,4 triliun, kontribusi UMKM
sebesar Rp 85.458,5 triliun atau 5,89 persen dari total PDB. Kemudian pada
tahun 2013, UMKM mampu menyerap tenaga kerja sebesar 6.873.09 orang atau
6,20 persen dari total penyerapan tenaga kerja yang ada. Jumlah ini meningkat
sebesar 6,03 persen atau 6.486.573 orang dibandingkan tahun 2012
(www.depkop. go.id).
Pembangunan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) tidak hanya ditujukan
untuk mengurangi masalah kemiskinan atau penyerapan tenaga kerja. Lebih dari
itu, pembangunan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) diharapkan
mampu memperluas basis ekonomi dan dapat memberikan kontribusi yang
signifikan dalam meningkatkan perekonomian Kota Jambi menuju “Pusat
Perdagangan dan Jasa” (Renstra Diskop UMKM 2013-2018).
Berdasarkan data tahun 2013, jumlah UMKM di Kota Jambi sebanyak 10.024 unit
atau sebesar 2,56 persen dari total unit usaha yang ada di wilayah tersebut
(Renstra Diskop UMKM 2013-2018). Jumlah tenaga kerja yang diserap oleh
UMKM sebanyak 28.898 orang atau sebesar 2,5 persen dari total tenaga kerja
yang diserap oleh unit usaha di Kota Jambi. Selanjutnya pada tahun 2016, jumlah

13
UMKM di Kota Jambi menjadi 10.868 unit usaha, namun persentasenya tetap
sebesar 3,16 persen. Jumlah tenaga kerja yang terserap oleh UMKM pada tahun
2016 sebanyak 32.452 orang atau sebesar 3,00 persen dari total tenaga kerja.
Kenaikan jumlah unit usaha dan tenaga kerja secara absolut tersebut terkait
dengan berbagai pelatihan peningkatan kualitas, manajemen, kinerja dan fasilitasi
kemitraan yang dibangun oleh pemerintah Kota Jambi (Renstra Diskop UMKM
2013-2018). Berdasarkan data jumlah unit usaha dan tenaga kerja tersebut, maka
UMKM di Kota Jambi mempunyai kontribusi yang penting dan strategis dalam
perekonomian daerah.
Sehubungan dengan kontribusi UMKM tersebut, maka pemberdayaan
dan pengembangan UMKM menjadi hal yang perlu dilakukan secara
berkesinambungan. Bagaimanakah strategi pengembangan UMKM di Kota Jambi
yang seharusnya dilakukan? Jawaban dari pertanyaan tersebut menjadi fokus
penelitian ini. Untuk menjawab, perlu ditelusuri terlebih dahulu berbagai
masalah yang dihadapi oleh UMKM di Kota Jambi. Demikian pula perlu
dilihat strategi survival yang telah dilakukan oleh UMKM agar tetap mampu
bertahan menjalankan usahanya.
Jaka Sriyana (2010) mencatat bahwa usaha kecil dan menengah (UKM)
mempunyai peranan penting dalam perekonomian lokal daerah. Hal ini
ditunjukkan dengan kemampuan UKM dalam menggerakkan aktivitas ekonomi
regional dan penyediaan lapangan kerja di Kabupaten Bantul. Namun, UKM
masih menghadapi berbagai masalah mendasar, yaitu masalah kualitas produk,
pemasaran dan sustainability usaha. Diperlukan berbagai kebijakan terobosan
untuk memotong mata rantai masalah yang dihadapi UKM, khususnya untuk
mengatasi beberapa hal yang menjadi hambatan dalam bidang pengembangan
produk dan pemasaran. Adapun regulasi dari pemerintah yang diperlukan untuk
memberikan peluang berkembangnya UKM meliputi perbaikan sarana dan
prasarana, akses perbankan dan perbaikan iklim ekonomi yang lebih baik untuk
mendukung dan meningkatkan daya saing mereka serta untuk meningkatkan
pangsa pasar.
Edy Suandi Hamid dan Y. Sri Susilo (2011) menggali berbagai informasi
yang berkaitan dengan UMKM dalam rangka memberi rekomendasi
pengambilan kebijakan pengembangannya di Provinsi DIY. Permasalahan yang
diperoleh diantaranya yaitu kesulitan dalam memperluas pangsa pasar, terbatasnya
ketersediaan sumber dana untuk pengembangan usaha, kurangnya kemampuan
SDM dalam melakukan inovasi serta keterbatasan teknologi, kelemahan dalam
membeli bahan baku serta peralatan produksi, kondisi ekonomi dan
infrastruktur yang buruk
Adapun Profil dan Pengembangan UMKM di Provinsi Jambi, oleh Haryadi
(2009) telah dilakukan Kajian Pemanfaatan Bantuan Pemerintah Untuk

14
Pengembangan UMKM. Besar sampel mencakup 32 unit usaha yang mencakup
industri pengolahan makanan, industri kerajinan kulit, industri Kerajinan batik,
dan industri kerajinan lainnya. Metode pengumpulan data dilakukan dengan
survei lapangan, wawancara mendalam, dan focus group discussion (FGD).
Permasalahan yang dihadapi industri kecil antar kelompok industri
mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaan yang menonjol adalah
kenaikan harga produksi yang memaksa mereka menaikkan harga jual produk.
Masalah yang lain adalah menurunnya tingkat produksi dan employment.
Selain itu, yang membuat UMKM tidak bisa bertahan saat terjadinya krisis
ekonomi dan menurunnya pendapatan masyarakat menurut Haryadi (2009)
adalah:
Pertama, sebagian besar usaha kecil menghasilkan barang-barang konsumsi
(consumer goods), khususnya yang tidak tahan lama (non-durable consumer
goods). Kelompok barang ini dicirikan oleh keanjalan permintaan terhadap
perubahan pendapatan (income elasticity of demand) yang relatif rendah. Artinya,
seandainya terjadi peningkatan pendapatan masyarakat, permintaan atas
kelompok barang ini tak akan meningkat banyak; sebaliknya, jika
pendapatan masyarakat merosot-sebagai akibat dari krisis maka permintaan tak
akan banyak berkurang.
Kedua, mayoritas usaha kecil lebih mengandalkan pada non-banking financing
dalam aspek pendanaan usaha. Hal ini terjadi karena akses usaha kecil pada
fasilitas perbankan sangat terbatas. Oleh karena itu, meski perannya dalam
penyerapan tenaga kerja cukup besar, namun kontribusinya terhadap ekspor
nasional hanya sekitar 14 persen.
Ketiga, pada umumnya usaha kecil memiliki modal yang terbatas. Di lain
pihak, mengingat struktur pasar yang dihadapi UMKM mengarah pada
persaingan sempurna (banyak produsen dan banyak konsumen), tingkat
persaingan sangatlah ketat. Akibatnya, yang bangkrut atau keluar dari arena usaha
relatif banyak, namun pemain baru yang masuk pun cukup banyak pula. Sehingga
pada saat krisis ekonomi terjadi, jumlah UMKM tidak mengalami penurunan yang
signifikan.
Keempat, terbentuknya usaha-usaha kecil baru, terutama di sektor informal,
sebagai akibat dari banyaknya pemutusan hubungan kerja di sektor formal karena
krisis ekonomi yang berkepanjangan.
Dalam hal perbedaan, masalah yang dihadapi UMKM me nurut Sri Susilo dan
Sutarta (2004) tergantung dari jenis dan karaketristik industri kecil. Ada yang
menyatakan masalah pokok yang dihadapi adalah kemampuan bersaing di
pasar, pemasaran produk, dan ketersediaan tenaga kerja terampil. Dalam hal
dinamika usaha, persamaan di antara mereka terutama dalam diversifikasi produk.
Pengusaha industri kecil melakukan diversifikasi dari sisi bahan baku dan hasil

15
produksi. Perbedaan dinamika usaha terjadi dalam hal diversifikasi usaha.
Pengusaha industri kecil melakukan diversifikasi usaha yang berbeda sama sekali
dengan usaha sebelumnya, namun juga ada yang melakukan diversifikasi usaha
yang terkait dengan usaha sebelumnya.

METODE PENELITIAN

Studi ini merupakan penelitian lapangan (field research) yang bertujuan


untuk menggali berbagai informasi berkaitan dengan UMKM dalam
rangka memberikan rekomendasi pengambilan kebijakan pengembangannya.
Berbagai hal berkaitan lokasi, metode sampling, tahapan kerja, dan metode
analisis dijelaskan sebagai berikut.

Jenis dan Sumber Data


Jenis data yang dibutuhkan dalam studi ini berdasarkan sumbernya adalah data:
(1) primer; dan (2) sekunder. Data primer biasanya diperoleh dengan survei
lapangan yang menggunakan semua metode pengumpulan data orisinal
(Hanke dan Reitsch, 1998). Selanjutnya data primer dapat didefinisikan sebagai
data yang dikumpulkan dari sumber- sumber asli (Kuncoro, 2009). Dalam riset ini
data primer dikumpulkan hasil wawancara dengan pengusaha/pengrajin industri
kecil dan berbagai pihakyang telah dipilih menjadi sampel atau responden.
Pengertian data sekunder adalah data yang telah dikumpulkan oleh lembaga
pengumpul data dan dipublikasikan kepada masyarakat (Hanke dan Reitsch,
1998).
Secara singkat dapat dikatakan bahwa data sekunder adalah data yang telah
dikumpulkan oleh pihak lain (Kuncoro, 2009). Dalam riset ini data sekunder
diperoleh dari instansi atau dinas terkait di lingkungan Pemerintah Kota Jambi.

Metode Analisis
Analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan deskriptif.
Analisis deskriptif memberikan gambaran pola-pola yang konsisten dalam data,
sehingga hasilnya dapat dipelajari dan ditafsirkan secara singkat dan penuh makna
(Kuncoro, 2009). Dalam analisis deskriptif, dilakukan interprestasi atas data dan
hubungan yang ada dalam penelitian tersebut. Di samping itu juga dilakukan
komparasi antara hasil penelitian dengan hasil-hasil penelitian terkait dan
dilakukan korelasi antara hasil-hasil penelitian tersebut dengan teori atau konsep
yang relevan (Singarimbun dan Effendi, 1989). Selanjutnya analisis secara
deskriptif dapat juga dilakukan dengan teknik statistik yang relatif

16
sederhana, seperti misalnya menggunakan tabel, grafik, dan ukuran tendensi
sentral yaitu nilai rata-rata, nilai tengah, dan modus (Kountur, 2003). Dengan
mengacu pada pengertian analisis deskriptif tersebut maka sekalipun metode
analisis yang digunakan dalam riset ini relatif sederhana, namun dapat
memberikan informasi yang memadai sesuai dengan tujuan penelitian.

PEMBAHASAN.

Bidang Usaha Utama Perusahaan


Deksripsi UMKM menurut lapangan usahanya, sesuai dengan klasifikasi
yang dikeluarkan oleh Diskop dan UKM Kota Jambi pada tahun 2009 dapat
dibagi dalam kelompok industri pertanian, industri nonpertanian, kerajinan, dan
aneka usaha
Dari berbagai kelompok tersebut, maka UMKM di Kota Jambi terbanyak
beroperasi pada bidang usaha industri pada komoditas yang berkaitan dengan
produk ekonomi kreatif, baik industry makanan maupun kerajinan (Handicraft).
Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh berbagai hal, yaitu ketersediaan bahan baku,
ketersediaan SDM yang sesuai serta skala usaha yang cocok bagi pasar lokal dan
regional. Predikat Kota Jambi sebagai kota Adipura dan tujuan pariwisata
masyarakat, baik regional maupun global memiliki peran besar bagi
berkembangnya UMKM yang bergerak pada bidang kerajinan.

Masalah UMKM Kota Jambi


Untuk menentukan strategi pengembangan UMKM di Kota Jambi secara tepat,
maka atas dasar hasil survei dapat diketahui berbagai masalah yang dihadapi oleh
pelaku UMKM. Berbagai masalah tersebut dapat diklasifikasikan dalam dua
aspek, yaitu aspek internal yang dihadapi dalam UMKM, dan aspek eksternal
yang berasal dari luar UMKM. Deskripsi ringkas hasil survei tentang kedua
aspek tersebut dipaparkan pada Tabel 2. Temuan ini sejalan dengan hasil studi
yang dilakukan oleh Haryadi (2009) di Provinsi Jambi maupun Sri Susilo dan
Sutarta (2004), Sri Susilo (2007), Sri Susilo et.al., (2008), dan Tarigan dan Sri
Susilo (2008) yang juga melakukan research study pada UMKM di Provinsi
DIY.

Rekomendasi Strategi pengembangan UMKM Kota Jambi


1. Kemudahan Akses Permodalan

17
Pola pemberdayaan UKM melalui aspek permodalan ini adalah: (1) bagaimana
pemberian bantuan modal ini tidak menimbulkan ketergantungan; (2)
bagaimana pemecahan aspek modal ini dilakukan melalui penciptaan sistem yang
kondusif baru usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah untuk mendapatkan
akses di lembaga keuangan; (3) bagaimana skema penggunaan atau kebijakan
pengalokasian modal ini tidak terjebak pada perekonomian subsisten. Inti
pemberdayaan adalah kemandirian masyarakat. Pemberian hibah modal
kepada masyarakat, selain kurang mendidik masyarakat untuk
bertanggungjawab kepada dirinya sendiri, juga akan dapat mendistorsi pasar uang.
Oleh sebab itu, cara yang cukup elegan dalam memfasilitasi pemecahan masalah
permodalan untuk usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah, adalah
dengan menjamin kredit mereka di lembaga kuangan yang ada, dan atau memberi
subsidi bunga atas pinjaman mereka di lembaga keuangan. Cara ini selain
mendidik mereka untuk bertanggung jawab terhadap pengembalian kredit, juga
dapat menjadi wahana bagi mereka untuk terbiasa bekerjasama dengan
lembaga keuangan yang ada, serta membuktikan kepada lembaga keuangan
bahwa tidak ada alasan untuk diskriminatif dalam pemberian pinjaman.

2. Bantuan Pembangunan Fasilitas Infrastruktur


Hal penting lain dalam pengembangan UMKM adalah bagaimana proses
pemasaran dari produksi dapat berjalan dengan lancar, yaitu tersedianya
prasarana pemasaran dan atau transportasi dari lokasi produksi ke pasar, akan
mengurangi rantai pemasaran dan pada akhirnya akan meningkatkan penerimaan
pengusaha UMKM.

3. Pengembangan Skala Usaha


Pengembangan ini melalui pemberdayaan kelompok lokal pada wilayah usaha
yang sama. Pembentukan ini diyakini mampu membentuk kelompok secara
kerjasama guna mengembangkan usaha bersama dalam strategi pemberdayaan
ekonomi dan juga akses permodalan secara terorganisir.

4. Pengembangan Jaringan Usaha, Pemasaran dan Kemitraan Usaha


Jaringan usaha ini dapat dilakukan dengan berbagai macam pola jaringan
misalnya dalam bentuk jaringan sub kontrak maupun pengembangan kluster.
Pola-pola jaringan semacam ini sudah terbentuk akan tetapi dalam
realiatasnya masih belum berjalan optimal. Pola jaringan usaha melalui sub
kontrak dapat dijadikan sebagai alternatif bagi eksistensi UKM di Indonesia.
Meskipun sayangnya banyak industri kecil yang justru tidak memiliki jaringan
sub kontrak dan keterkaitan dengan perusahaan- perusahaan besar sehingga
eksistensinya pun menjadi sangat rentan.

18
Sedangkan pola pengembangan jaringan melalui pendekatan kluster, diharapkan
menghasilkan produk oleh produsen yang berada di dalam klaster bisnis
sehingga mempunyai peluang untuk menjadi produk yang mempunyai
keunggulan kompetitif dan dapat bersaing di pasar global. Upaya
pengembangan jaringan pemasaran dapat dilakukan dengan berbagai macam
strategi misalnya kontak dengan berbagai pusat-pusat informasi bisnis, asosiasi-
asosiasi dagang baik di dalam maupun di luar negeri, pendirian dan pembentukan
pusat-pusat data bisnis UKM serta pengembangan situs-situs UKM di seluruh
kantor perwakilan pemerintah di luar negeri.
Penguatan ekonomi rakyat melalui pemberdayaan UKM, tidak berarti
mengalienasi pengusaha besar atau kelompok ekonomi kuat. Karena
pemberdayaan memang bukan menegasikan yang lain, tetapi give power to
everybody. Pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi adalah penguatan
bersama, dimana yang besar hanya akan berkembang kalau ada yang kecil dan
menengah, dan yang kecil akan berkembang kalau ada yang besar dan menengah.
Karena masing-masing pihak dapat menjadi mitra bagi pihak lain guna
membangun kekuatan daya saing bersama.

5. Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM)


Peningkatan kualitas SDM dilakukan melalui berbagai cara seperti pendidikan dan
pelatihan, seminar dan lokakarya, on the job training, pemagangan dan kerja sama
usaha. Selain itu, juga perlu diberi kesempatan untuk menerapkan hasil pelatihan
di lapangan untuk mempraktekkan teori melalui pengembangan kemitraan rintisan
(Hafsah, 2004). Selain itu, salah satu bentuk pengembangan sumber daya manusia
di sektor UKM adalah Pendampingan. Pendampingan dilakukan dalam rangka
memfasilitasi proses belajar atau refleksi dan menjadi mediator untuk penguatan
kemitraan baik antara usaha mikro, usaha kecil, maupun usaha menengah dengan
usaha besar.

6. Peningkatan Akses Tekonologi


Perlu memotivasi berbagai lembaga penelitian teknologi yang lebih berorientasi
untuk peningkatan teknologi sesuai kebutuhan UMKM, pengembangan pusat
inovasi desain sesuai dengan kebutuhan pasar, pengembangan pusat
penyuluhan dan difusi teknologi yang lebih tersebar ke lokasi-lokasi Usaha Kecil
Menengah dan peningkatan kerjasama antara asosiasi-asosiasi UMKM dengan
perguruan Tinggi atau pusat-pusat penelitian untuk pengembangan teknologi
UMKM.

7. Mewujudkan Iklim Bisnis yang Lebih Kondusif

19
Mewujudkan iklim bisnis yang lebih kondusif dengan melakukan reformasi dan
deregulasi perijinan bagi UMKM merupakan salah satu strategi yang tepat
untuk mengembangkan UMKM. Dalam hal ini perlu ada upaya untuk
memfasilitasi terselenggaranya lingkungan usaha yang efisien secara ekonomi,
sehat dalam persaingan dan non diskriminatif bagi keberlangsungan dan
peningkatan kinerja UKM. Selain itu perlu ada tindakan untuk melakukan
penghapusan berbagai pungutan yang tidak tepat, keterpaduan kebijakan lintas
sektoral, serta pengawasan dan pembelaan terhadap praktek-praktek
persaingan usahah yang tidak sehat dan didukung penyempurnaan perundang-
undangan serta pengembangan kelembagaan.

DAFTAR PUSTAKA

JURNAL I
Adisasmita, H. Rahardjo. (2005). Dasar-dasar Ekonomi Wilayah. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Budiharsono, Sugeng. (2001). Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir Dan
Lautan. Jakarta: Pradnya Paramita.
Glasson, John. (1977). Pengantar Perencanaan Regional, Publikasi Program
Perencanaan Nasional FEUI-Bappenas. Jakarta: LP Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.
Richardson, Harry W. (2001). Dasar-dasar Ilmu Ekonomi Regional, Edisi Revisi.
Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
Sjafrizal. (1985). Teori Ekonomi Regional: Konsep dan Perkembangan, dalam
Memelihara Momentum Pembangunan, Hendra Asmara. Jakarta:
Penerbit Gramedia
Tarigan, Robinson. (2003). Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: Bumi
Aksara

JURNAL II

Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jambi. (2014). Profil pengelolaan


tutupan vegetasi Provinsi Jambi: Program menuju Indonesia hijau
2014. Jambi:
Fauzi, A. (2014). Valuasi Ekonomi dan Penilaian Kerusakan Sumber daya
Alam dan lingkungan. Bogor: IPB press.

20
Giaoutzi, M. and Nijkamp, P. (1993). Decision support model for regional
sustainable development. UK: Avebury.
Malthus, T. R. (1798). An essay on the principle of population. J . Johnson,
London, UK. (reprinted in 1998 by Electronic Scholarly Publishing
Project. www. esp.org.
Meadows, D. H., Meadows, D. L., Randers, J., and Behrens III, W. W.
(1972). The limit to growth. New York: Universe Book.
World Commision on Sustainable Development (WCED). 1987. Our
Common Future. New York: Oxford University Press.
Amekudzi, A., Khayesi, M., and Khisty, C. J. (2015). Sustainable development
footprint: A framework for assessing sustainable development risk and
opportunities in time and space. International Journal of Sustainable
Development, 18(1/2), 9-40.
Antunes, P., Santos, R., Videina, N., Colaco, F., Szanto, R., Dobos, E. R.,
Kovacs, S., and Vari, A. (2012). Approaches to integration in
sustainability assessment technologis. Report for EC 7 th
Framework Project. European Union.
Cinelli M, Coles SR, Kirwan K. 2014. Analysis of the potentials of multi
criteria decision analysis methods to conduct sustainability
assessment. Ecological Indikators, Vo. 46, 138-148.
Dasgupta, P. S. and Heal, G. M. (1974). The optimal deplation of exhaustible
resources. review of economic studies, symposium on the economics of
exhaustible resources. Edinbugh, Scotland.
Fauzi, A. dan Oxtavianus, A. (2014). The measurement of sustainable development
in Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan, 15(1), 68-83.
Nijkamp, P. (1999). Environmental security and sustainability in natural
resource management, in S Lonergan (ed.), Environmental Change.
Adaptation and Security (Kluwer, Dordrecht).
Shmelev, S. E. and Labajos, B. R. (2009). Dynamic multidimensional
assessment of sustainability at the macro level: The case of Austrian.
Ecological Economic, 68, 2.560-2.573.
Solow, R. M. (1974). Intergenerational equity and exhaustible resources.
Review of Economic Studies, Symposium on the Economics
of Exhaustible Resources. Edinbugh, Scotland.
Stiglitz, J. E. (1974). Growth with exhaustible resources, efficient and
optimal growth paths. Review of Economic Studies, Symposium on the
Economics of Exhaustible Resources. Edinbugh, Scotland.

21
JURNAL III

DisKop dan UMKM Kota Jambi, (2013), Rencana Stratejik Dinas


Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UMKM Kota Jambi Tahun
2009-2013, Yogyakarta.
Hanke, J.E. and Reitsch, A.G. 1998. Business Forecasting. Sixth Edition.
London: Prentice-Hall International Ltd.
Haryadi. (2009). Profil dan Permasalahan UMKM di Provinsi Jambi.
Disertasi: Kajian Pemanfaatan Bantuan Pemerintah Untuk
Pengembangan UMKM. Jambi: UNJA
Jaka Sriyana. (2010). Strategi Pengmbangan Usaha Kecil dan Menengah
(UKM), Studi Kasus: di Kabupaten Bantul. Dalam Simposium
Nasional 2010: Menuju Purworejo Dinamis dan Kreatif.
Krisnadewara, P.D., dan Sri Susilo, Y. 2006. Permasalahan Industri Kecil
Pascagempa Bumi: Survei pada Beberapa Industri di Kabupaten
Klaten, Jawa Tengah. Kinerja, Vol. 10, No. 2, hal. 162-171.
Kuncoro, M. 2009. Metode Riset untuk Bisnis & Ekonomi: Bagaimana Meneliti
& Menulis Tesis?, Edisi 3, Cetakan 1. Jakarta: Erlangga.
Pickton, D.W., and Wright, S. 1998. What’s SWOT in Strategic Analysis?,
Strategic Change, 7 (1998), pp. 101-109.
Rangkuti, F., (2002), Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis,
Cetakan III, PT. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sekaran, U., and Bougie, R. 2010. Research Method for Business: A
Skill Building Approach,5th Edition. USA: John Wiley and Sons Inc.
Singarimbun, M., dan Effendi, S., (Editor). 1989. Metode Penelitian Survei,
Edisi Revisi, Cetakan 1. Jakarta: LP3ES.
Sri Susilo, Y., dan Sutarta, A.E. 2004. Masalah dan Dinamika Industri Kecil
Pasca Krisis Ekonomi, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9 No. 1,
Juni 2004, hal. 65-78.
Sri Susilo, Y. 2005. Strategi Survival Usaha Mikro-Kecil (Studi Empiris
Pedagang Warung Angkringan di Kota Yogyakarta), Telaah Bisnis,
Vol. 6 No. 2, Desember 2005, 161- 178.
Sri Susilo, Y., dan Krisnadewara, P.D. 2007.Strategi Bertahan Industri Kecil
Pasca gempa Bumi di Yogyakarta, Ekonomi dan Bisnis, Vol. 9 No. 2,
Juni 2007, hal. 127-146.
Sri Susilo, Y. 2007. Masalah dan Dinamika Usaha Kecil: Studi Empiris
Pedagang Klithikan di Alun-alun Selatan Yogyakarta, Jurnal Ekonomi,
Vol. 12 No. 01 Maret 2007, hal. 64- 77.

22
Sri Susilo, Y., Krisnadewara, P.D., dan Soeroso, A. 2008. Masalah dan Kinerja
Industri kecil Pascagempa: Kasus di Kabupaten Klaten (Jateng) dan
Kabupaten Bantul (DIY), Jurnal Akuntansi Bisnis dan Manajemen, Vol.
15 No. 2, Agustus 2008, hal. 271-280.
Tarigan, Y.P., dan Sri Susilo, Y. 2008. Masalah dan Kinerja Industri Kecil
Pascagempa: Kasus pada Industri Kerajinan Perak Kotagede
Yogyakarta, Jurnal Riset Ekonomi dan Manajemen, Vol. 8 No. 2, Mei
2008, hal. 188-199.
Todaro., M. P, (2000), Economic Development, Sevent Edition, Massachusetts
UU No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
Sumber Digital
Kates, R. W., Parris, T. M., Leiserowitz, A. A. (2005). What is
sustainable development? goals, indicators, values, and practice.
Issue Environment Science and Policy for Sustaibnable Development, 47
(3), 8-21. Diperoleh tanggal 8 Desember 2015, dari
hhtp.//www.heldref.org/ env.php.
Kementerian Lingkungan Hidup. (2014). Status lingkungan hidup
Indonesia 2014. Diperoleh tanggal 2 Mei 2015 dari
www.indonesia. go.id/../266-kementerian-lingkungan-hidup. html.
The World Café Community Foundation. (2015). A quick reference guide for
hosting world café. http://www.theworldcafe.com.

23

Anda mungkin juga menyukai