Anda di halaman 1dari 4

RESENSI TEATER MANDIRI MONOLOG “OH” DARI SEGI

NASKAH, PEMERANANAN, DAN ARTISTIK


by : Dini Fitriningtyas
SHARE THIS ARTICLE :  

Judul Teater  : OH

Lokasi             : Teater Kecil ISI Surakarta (Dalam Channel Youtube: Apict cnm)

Durasi             : 1.23.31 (Ditayangkan Live pada 28 Februari 2018)

Tugas:

Make Up: Beni Muhaji Pengurus Panggung dan Lighting: Ari Sumitro Musik:
Ramdani Penulis Naskah & Sutradara: Putu Wijaya

Pemeran:

Taksu Wijaya sebagai Pengacara Muda Putu Wijaya sebagai Pengacara Tua Dewi
Pramunawati sebagai Suster Cahyawati, Agung, dan Ari Sumitro sebagai
Pemberontak

Gaya Naskah

Gaya naskah yang terdapat dalam pertunjukan ini adalah gaya Realis. Dimana kejadian atau
peristiwanya menggunakan cara pandang yang bertolak dari peristiwa keseharian atau  peristiwa di
dunia nyata. Hal ini dapat dilihat dari profesi tokoh yang diambil dalam teater ini, yaitu seorang
Pengacara.

Seorang anak muda ikal berteriak mencurahkan kegelisahan atas kehidupan yang ia rasakan kepada
sang ayah yang sedang duduk lemah di atas kursi roda. Kadang sang anak menendang,
membanting, namun juga mengeluh meminta kasih sayang. Suatu kali, Taksu datang kepada sang
ayah untuk bercerita dan berkeluh kesah akan kehidupan yang ia alami. Bukan sekedar keluhan,
Taksu merasa ia dipermainkan oleh Negara yang ia cintai. Taksu sebagai pengacara idealis yang
mati-matian membela kebenaran, makin hari justru makin merasa kebenaran yang selama ini
dibelaya adalah kesalahan.

Adegan tersebut merupakan bagian dari sinopsis pementasan monolog bertajuk “Oh” karya Putu
Wijaya. Oh merupakan salah satu karya putu yang dikumpulkan dalam buku 100 monolog. Oh
mengisahkan sebuah pergolakan batin dan persepsi atas kehidupan yang dialami seorang pengacara
muda, andal, professional, dan cinta tanah air yang dimainkan oleh Taksu. Bila dilihat dari
permasalahan yang dihadirkan, pertunjukkan ini berisi beragam masalah kompleks dari kehidupan
yang terinspirasi dari berbagai kondisi sosial politik di Indonesia yang terjadi dalam beberapa waktu
terakhir.
Monolog yang disampaikan Taksu Wijaya merupakan monolog sewajarnya sesuai dengan keseharian
tokoh apabila berada di dunia nyata yang berprofesi sebagai pengacara muda (Anak dari mantan
pengacara andal). Si Pengacara tua menyampaikan pesan melalui bahasa isyarat layaknya orang
bisu bahwa anaknya itu memang harus bisa menerima kondisinya saat ini yang dikeluhkesahkan
kepadanya. Apa yang diinginkan mungkin baru akan terjadi nanti, sehingga Taksu Wijaya harus
bersabar. Dari dialog ini juga menggambarkan tentang nasihat-nasihat yang diberikan oleh seorang
ayah terhadap anaknya yang sedang mengalami masalah dalam kehidupannya.

Secara keseluruhan, naskah Putu Wijaya “Oh” ini menceritakan permasalahan tentang situasi politik
yang sedang terjadi di Indonesia. Bahwa seorang pengacara muda yang sedang berusaha
memenangkan kasusnya justru membuat dirinya merasa ragu apakah yang dilakukannya benar.
Kasus ini dapat kita jumpai di kota-kota besar, seperti Jakarta. Banyak sekali pengacara yang ingin
memenangkan kasusnya, tanpa melihat apakah yang dibelanya benar karena dua orang yang
berseteru tentu ada yang benar dan salah. Jika salah satu pengacara berada pada pihak yang benar,
berarti satu pengacara lainnya di pihak yang salah. Hal tersebut akhirnya dihadirkan dalam sebuah
karya sastra drama oleh Putu Wijaya sehingga persoalan hukum di pengadilan yang ia ceritakan
kepada pengacara tua (Ayahnya) membatasi ideologi tokoh dalam menentukan nasib ceritanya.

Pemeranan (Penokohan)

Taksu Wijaya (Pengacara muda) mampu memproduksi monolog yang indah, menggunakan gaya
bahasa yang indah, dan lancar dalam berbicara terhadap persoalan yang terjadi. Ia bisa
menyampaikan peristiwa yang dialami, peristiwa yang disaksikan, kejengkelan, dan kemarahan
dengan stabil. Selain itu, tokoh-tokoh dalam pertunjukan ini juga sudah menguasai olah tubuh, olah
rasa, dan olah jiwa, seperti keenam ajaran milik Boleslavky.

Misalnya, Taksu Wijaya bisa menjadi seorang anak yang berprofesi sebagai pengacara muda. Ia
membawakan actingnya dengan tubuh yang sangat terlatih, peka, dan enak ditonton. Suara yang
dihasilkannya juga bervariasi, mulai dari bergetar, musikal, hingga tinggi-rendah, dan memiliki napas
yang panjang. Pemikirannya juga kritis terhadap persoalan-persoalan politik di Indonesia yang
disampaikannya melalui monolog. Tak hanya terlatih, Taksu Wijaya juga memainkan imajinasi,
terlihat ia benar-benar bisa merasakan cerita yang dibawanya dan seolah-olah peristiwa itu ia pernah
alami sendiri. Perasaan yang dibawanya juga bisa dikontrol dengan baik saat ia menangis bersedih
kepada ayahnya untuk menceritakan keluh kesahnya, saat ia tertawa senang karena kasusnya menang
atas kerja kerasnya sendiri, dan saat dirinya dikuasai oleh emosi melawan para pemberontak.
Kemauan Taksu Wijaya sangat keras sehingga dia selalu ingin mendapatkan jawaban-jawaban atas
pertanyaan-pertanyannya yang dibuat sendiri tentang kasus politik yang terjadi di negeri ini. Di akhir
pementasan, Taksu juga terlihat menghasilkan gerak-gerak estetis dengan menari di belakang kain
berwarna putih.

Kemudian aktor Putu Wijaya mampu menunjukkan perasaan yang kuat terhadap anaknya meskipun
ia hanya bisa mendengarkan di atas kursi roda sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan dalam
naskahnya. Seorang pengacara tua ini juga bisa mengekspresikan emosinya setelah mengetahui
bahwa anaknya dibunuh oleh pemberontak dan telah menjadi mayat. Ia menghampiri mayat anaknya
itu dan hanya bisa mengungkapkan kesedihannya itu dengan berteriak seolah “Anakku-
anakku”, menangis, bahkan kecewa dengan tatapan rasa bersalah dan kepasrahannya. Putu Wijaya
juga menampilkan kreatifitasnya dalam mengarang cerita karena ia menggunakan kain atau sarung
yang dipakai suster menutupi kakinya untuk menyingkirkan puing-puing kekacauan bekas
perkelahian anaknya dengan pemberontak. Wataknya merupakan seseorang yang tegas dan
penyayang.

Lalu terdapat suster yang merawat pengacara tua. Suster dalam pementasan ini memiliki watak yang
tegas karena ia berulang kali terlihat mengambil rokok yang berada dalam genggaman pengacara
muda dengan ekspresi emosi saat Taksu Wijaya berusaha menyembunyikannya. Di sisi lain, ia juga
terlihat seorang suster yang rajin. Terlihat dari penampilannya saat menemani pengacara tua dengan
duduk di kursi sambil membaca Koran. Suster ini tak berkata apa-apa. Ia hanya mengikuti irama
yang kadang nadanya tinggi saat menghadapi Taksu Wijaya dan kadangkala nadanya rendah, saat ia
mengurusi pengacara tua itu.

Terakhir, para pemberontak yang kehadirannya selalu ditandai dengan suara meledak dan tegang.
Demikian pula selama pertunjukan berlangsung,  suasananya tidak monoton karena menggunakan
bunyi irama yang berubah-ubah. Para pemberontak ini tentu memiliki watak yang angkuh, kasar, dan
pengecut. Pemberontak ini juga menunjukkan emosinya terhadap pengacara muda dengan berkelahi,
menculik, menyiksa hingga membunuhnya. Gerakan badannya saat melakukan itu semua terlihat
sangat kuat.

Artistik

Panggung yang digunakan dalam pertunjukan ini adalah Panggung Proskenium atau panggung
Konvensional, yaitu bentuk panggung yang menggunakan batas depan. Panggungnya lebih tinggi dan
jarak antara pemain dan penonton dibatasi. Keadaan pangung seperti ini banyak ditemui pada
panggung-panggung di dalam gedung teater untuk memudahkan aktornya dalam fokus bermain
peran.

Setting atau dekorasi yang digunakan berupa ruang tamu di dalam rumah (Dekorasi interior) dengan
perabotnya, yaitu kursi. Adapun perabot pendukungnya antara lain Koran, Buket Bunga, dan alat
rokok. Dekorasinya tampak sederhana, hanya ada satu kursi di tengah panggung tersebut. Tetapi,
Taksu Wijaya mampu menggunakan kursi tersebut dengan baik, sesuai adegan yang dilakukan,
kadang ia berdiri dan duduk di atasnya. Hal itu memperkuat monolog yang difokuskan oleh Taksu
Wijaya terhadap ayahnya yang duduk di atas kursi roda. Dinding gedung sebagai dekorasi dibiarkan
begitu saja dengan tenda yang berwarna hitam. Seperti pada umumnya, pemain keluar masuk lewat
sisi kanan dan kiri panggung.

Tata lampu (Lighting) menggunakan jenis lampu spotlight yang diarahkan pada tokoh tertentu
sehingga di atas panggung hanya terlihat actor yang sedang disorot saja (Apakah satu atau dua aktor
yang terlihat). Pementasan ini juga menggunakan tata suara dengan baik, berupa keyboard untuk
menghasilkan gelegar badai. Artistiknya sangat kreatif karena bisa menghadirkan bunyi ilustrasi,
seperti pada saat Taksu Wijaya memukul dinding, membunuh nyamuk, dan suara-suara gemuruh
pemberontak.

Kostum atau busana yang dikenakan oleh para tokoh meliputi pakaian dasar, seperti sepatu yang
dipakai oleh Taksu Wijaya membantunya untuk bergerak dan cara berjalan yang cepat. Berbeda
dengan sepatu yang digunakan suster membantunya untuk berjalan dengan anggun. Pakaian tubuh
yang digunakan, berupa rok, celana, maupun kemeja yang sesuai dengan usianya. Putu Wijaya
(Pengacara tua) juga menggunakan pakaian kepala, seperti wig berwarna putih dan suster yang
identik dengan sanggulnya. Pemberontaknya memakai pakaian serba hitam lengkap dengan penutup
kepala dan sarung tangan. Sementara Taksu Wijaya menggunakan kostum pelengkap berupa
kacamata yang identik dengan kecerdasannya sebagai pengacara muda. Kostum yang digunakan
merupakan kostum sehari-hari dan digunakan oleh para profesional. Adapun tata rias yang digunakan
oleh Taksu Wijaya tidak terkesan berlebihan karena menunjukkan perannya seperti seorang pria
muda pada umumnya. Sedangkan tata rias jauh terlihat pada diri Putu Wijaya karena ia berperan
sebagai orang tua yang sudah beruban, keriput, dan pucat karena sakit. Tata rias Dewi Pramuwati
sebagai seorang suster terlihat cantik sementara tata rias untuk pemberontak terlihat jahat.

Kelebihan:

Pertunjukan ini memiliki kelebihan pada gaya naskah yang ditulis oleh Putu Wijaya yang
mengisahkan tentang permasalahan politik di Indonesia dengan cara penyampaian Taksu Wijaya
yang berambisius, tetapi gayanya santai. Monolognya sangat indah dan lancar sehingga penonton
dapat memahami jalan ceritanya.

Kekurangan:

Dalam penataan lampunya kurang maksimal karena penonton mendapati ketika sebuah adegan
pengacara muda dengan suster berdialog, sorot lampunya tidak diarahkan ke sana, melainkan tetap
tersorot pada pengacara tua yang duduk di atas kursi roda.

Kesimpulan:

Terkait soal kelebihan dan kekurangannya, namun drama ini banyak disukai oleh banyak kalangan,
khususnya kritikus sastra. Dari pemeranan drama ini sendiri mengajak kita untuk saling bekerja sama
dalam keluarga. Pemainnya merupakan sebuah keluarga, mulai dari ayah, ibu, dan anak yang berhasil
memerankan tokoh utamanya dengan sangat baik sesuai arahan dan motivasi ayahnya ketika latihan
bersama. Dari kisah cerita yang diangkat mengajarkan kita untuk bersabar dalam menjalani setiap
kebingungan yang kita rasa soal kehidupan politik yang ada di Indonesia dan melawannya dengan
berjalan pada kebenaran. Pesan yang berusaha ingin disampaikan dalam pertunjukan ini bahwa
apabila kita menjadi seseorang yang mengerti tentang hukum, maka lakukan apa yang dapat
membela kebenaran dan melawan kesalahan agar kehidupan di negeri ini menjadi damai.

LINK:

https://osc.medcom.id/community/resensi-teater-mandiri-monolog-oh-dari-segi-naskah-pemerananan-
dan-artistik-2121

Anda mungkin juga menyukai