Anda di halaman 1dari 3

Resensi Drama Monolog “Oh”

Judul Teater : OH

Lokasi : Teater Kecil ISI Surakarta (Dalam Channel Youtube: Apict cnm)

Durasi : 1.23.31 (Ditayangkan Live pada 28 Februari 2018)

Monolog berjudul “Oh” ini merupakan pementasan dari Teater Mandiri garapan
Putu Wijaya yang merangkap sebagai pemimpin Teater Mandiri. Teater yang sudah
berumur 46 tahun tersebut beranggotakan seniman hingga orang awam dengan semboyan
“Bertolak Dari Yang Ada”, yang bermakna membelajarkan setiap orang untuk bekerja
dengan apa saja yang tersedia untuk dioptimalkan dengan kreativitas, sehingga dalam
kondisi apapun tidak ada yang tidak bisa dikerjakan dan dicapai. Secara keseluruhan,
naskah Putu Wijaya “Oh” ini menceritakan permasalahan tentang situasi politik yang sedang
terjadi di Indonesia. Bahwa seorang pengacara muda yang sedang berusaha memenangkan
kasusnya justru membuat dirinya merasa ragu apakah yang dilakukannya benar. Kasus ini
dapat kita jumpai di kota-kota besar, seperti Jakarta. Banyak sekali pengacara yang ingin
memenangkan kasusnya, tanpa melihat apakah yang dibelanya benar karena dua orang yang
berseteru tentu ada yang benar dan salah. Jika salah satu pengacara berada pada pihak yang
benar, berarti satu pengacara lainnya di pihak yang salah. Hal tersebut akhirnya dihadirkan
dalam sebuah karya sastra drama oleh Putu Wijaya sehingga persoalan hukum di pengadilan
yang ia ceritakan kepada pengacara tua (Ayahnya) membatasi ideologi tokoh dalam
menentukan nasib ceritanya.

Prestasi yang diraih Putu Wijaya dan Teater Mandiri diantaranya tiga Piala Citra kategori
Penulisan Skenario dan tiga kali memenangkan Lomba Penulisan Lakon DKJ. Bahkan
Putu Wijaya pun pernah diundang untuk memberikan lokakarya sutradara di Italia pada
2007 dan pernah pentas di LaMaMa pada 1997. Berdurasi kurang dari satu jam, Monolog
“Oh” berinti tentang paradoks antara keinginan orang tua yang rindu pada anaknya dan
ambisi seorang anak muda yang pintar namun angkuh yang mengutamakan kariernya.
Selain Putu Wijaya selaku sutradara, Monolog “Oh” juga melibatkan Taksu Wijaya dan
Dewi Putu Wijaya.

Penokohan (Pemeranan)

Secara keseluruhan, naskah Putu Wijaya “Oh” ini menceritakan permasalahan tentang
situasi politik yang sedang terjadi di Indonesia. Bahwa seorang pengacara muda yang sedang
berusaha memenangkan kasusnya justru membuat dirinya merasa ragu apakah yang
dilakukannya benar. Kasus ini dapat kita jumpai di kota-kota besar, seperti Jakarta. Banyak
sekali pengacara yang ingin memenangkan kasusnya, tanpa melihat apakah yang dibelanya
benar karena dua orang yang berseteru tentu ada yang benar dan salah. Jika salah satu
pengacara berada pada pihak yang benar, berarti satu pengacara lainnya di pihak yang salah.
Hal tersebut akhirnya dihadirkan dalam sebuah karya sastra drama oleh Putu Wijaya sehingga
persoalan hukum di pengadilan yang ia ceritakan kepada pengacara tua (Ayahnya) membatasi
ideologi tokoh dalam menentukan nasib ceritanya.
Taksu Wijaya (Pengacara muda) mampu memproduksi monolog yang indah,
menggunakan gaya bahasa yang indah, dan lancar dalam berbicara terhadap persoalan yang
terjadi. Ia bisa menyampaikan peristiwa yang dialami, peristiwa yang disaksikan,
kejengkelan, dan kemarahan dengan stabil. Selain itu, tokoh-tokoh dalam pertunjukan ini
juga sudah menguasai olah tubuh, olah rasa, dan olah jiwa, seperti keenam ajaran milik
Boleslavky.

Misalnya, Taksu Wijaya bisa menjadi seorang anak yang berprofesi sebagai
pengacara muda. Ia membawakan actingnya dengan tubuh yang sangat terlatih, peka, dan
enak ditonton. Suara yang dihasilkannya juga bervariasi, mulai dari bergetar, musikal, hingga
tinggi-rendah, dan memiliki napas yang panjang. Pemikirannya juga kritis terhadap
persoalan-persoalan politik di Indonesia yang disampaikannya melalui monolog. Tak hanya
terlatih, Taksu Wijaya juga memainkan imajinasi, terlihat ia benar-benar bisa merasakan
cerita yang dibawanya dan seolah-olah peristiwa itu ia pernah alami sendiri. Perasaan yang
dibawanya juga bisa dikontrol dengan baik saat ia menangis bersedih kepada ayahnya untuk
menceritakan keluh kesahnya, saat ia tertawa senang karena kasusnya menang atas kerja
kerasnya sendiri, dan saat dirinya dikuasai oleh emosi melawan para pemberontak. Kemauan
Taksu Wijaya sangat keras sehingga dia selalu ingin mendapatkan jawaban-jawaban atas
pertanyaan-pertanyannya yang dibuat sendiri tentang kasus politik yang terjadi di negeri ini.
Di akhir pementasan, Taksu juga terlihat menghasilkan gerak-gerak estetis dengan menari di
belakang kain berwarna putih.

Kemudian aktor Putu Wijaya mampu menunjukkan perasaan yang kuat terhadap
anaknya meskipun ia hanya bisa mendengarkan di atas kursi roda sesuai dengan pesan yang
ingin disampaikan dalam naskahnya. Seorang pengacara tua ini juga bisa mengekspresikan
emosinya setelah mengetahui bahwa anaknya dibunuh oleh pemberontak dan telah menjadi
mayat. Ia menghampiri mayat anaknya itu dan hanya bisa mengungkapkan kesedihannya itu
dengan berteriak seolah “Anakku-anakku”, menangis, bahkan kecewa dengan tatapan rasa
bersalah dan kepasrahannya. Putu Wijaya juga menampilkan kreatifitasnya dalam mengarang
cerita karena ia menggunakan kain atau sarung yang dipakai suster menutupi kakinya untuk
menyingkirkan puing-puing kekacauan bekas perkelahian anaknya dengan pemberontak.
Wataknya merupakan seseorang yang tegas dan penyayang.

Lalu terdapat suster yang merawat pengacara tua. Suster dalam pementasan ini
memiliki watak yang tegas karena ia berulang kali terlihat mengambil rokok yang berada
dalam genggaman pengacara muda dengan ekspresi emosi saat Taksu Wijaya berusaha
menyembunyikannya. Di sisi lain, ia juga terlihat seorang suster yang rajin. Terlihat dari
penampilannya saat menemani pengacara tua dengan duduk di kursi sambil membaca Koran.
Suster ini tak berkata apa-apa. Ia hanya mengikuti irama yang kadang nadanya tinggi saat
menghadapi Taksu Wijaya dan kadangkala nadanya rendah, saat ia mengurusi pengacara tua
itu.

Terakhir, para pemberontak yang kehadirannya selalu ditandai dengan suara meledak
dan tegang. Demikian pula selama pertunjukan berlangsung, suasananya tidak monoton
karena menggunakan bunyi irama yang berubah-ubah. Para pemberontak ini tentu memiliki
watak yang angkuh, kasar, dan pengecut. Pemberontak ini juga menunjukkan emosinya
terhadap pengacara muda dengan berkelahi, menculik, menyiksa hingga membunuhnya.
Gerakan badannya saat melakukan itu semua terlihat sangat kuat.

Kelebihan:
Pertunjukan ini memiliki kelebihan pada gaya naskah yang ditulis oleh Putu Wijaya
yang mengisahkan tentang permasalahan politik di Indonesia dengan cara penyampaian
Taksu Wijaya yang berambisius, tetapi gayanya santai. Monolognya sangat indah dan lancar
sehingga penonton dapat memahami jalan ceritanya.

Kekurangan:

Dalam penataan lampunya kurang maksimal karena penonton mendapati ketika


sebuah adegan pengacara muda dengan suster berdialog, sorot lampunya tidak diarahkan ke
sana, melainkan tetap tersorot pada pengacara tua yang duduk di atas kursi roda.

Terkait soal kelebihan dan kekurangannya, namun drama ini banyak disukai oleh
banyak kalangan, khususnya kritikus sastra. Dari pemeranan drama ini sendiri mengajak kita
untuk saling bekerja sama dalam keluarga. Pemainnya merupakan sebuah keluarga, mulai
dari ayah, ibu, dan anak yang berhasil memerankan tokoh utamanya dengan sangat baik
sesuai arahan dan motivasi ayahnya ketika latihan bersama. Dari kisah cerita yang diangkat
mengajarkan kita untuk bersabar dalam menjalani setiap kebingungan yang kita rasa soal
kehidupan politik yang ada di Indonesia dan melawannya dengan berjalan pada kebenaran.
Pesan yang berusaha ingin disampaikan dalam pertunjukan ini bahwa apabila kita menjadi
seseorang yang mengerti tentang hukum, maka lakukan apa yang dapat membela kebenaran
dan melawan kesalahan agar kehidupan di negeri ini menjadi damai.

Anda mungkin juga menyukai