Anda di halaman 1dari 30

JOURNAL READING

Vision-related quality of life and psychosocial well-being of patients with episcleritis and
scleritis: a neglected essence

Disusun Oleh:
Nadya Tasya Islami
1102017164

Pembimbing:
Mayor Ckm (K) dr Leidina Rachmadian, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


RS TK II MOH RIDWAN MAUREKSA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 10 JULI - 12 AGUSTUS 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan  karunia- Nya penulis
dapat menyelesaikan kajian jurnal yang berjudul  “Vision-related quality of life and psychosocial
well-being of patients with episcleritis and scleritis: a neglected essence”. Kajian jurnal ini
disusun untuk memenuhi syarat mengikuti  ujian kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit
Mata. 

Penyusunan referat ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan berbagai  pihak. Untuk
itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada kepada Mayor Ckm (K) dr Leidina Rachmadian,
Sp. M atas bimbingannya selama penulis menyelesaikan  kajian jurnal ini. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada teman  sejawat atas dukungan yang telah diberikan. 

Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kata sempurna.  Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan  demi perbaikan materi penulisan dan
menambah wawasan penulis. 

Semoga ini dapat berguna bagi kita semua, khususnya pembaca dan rekan rekan sejawat. 

Jakarta, 17 Juli 2023

Penulis
BAB I 
KAJIAN JURNAL

Abstrak

Latar Belakang: Untuk menilai perubahan kualitas hidup terkait penglihatan dan kesejahteraan
psikososial pasien dengan episkleritis dan pasien skleritis sebelum dan sesudah perawatan.
Hasil : Studi prospektif satu setengah tahun ini dilakukan di antara 76 mata dari 71 pasien baru
episkleritis dan skleritis. Kuesioner terstruktur digunakan untuk menilai visual dan menganalisis
perubahan ukuran efek. Rasio laki-perempuan adalah 1:1,536. Episkleritis terlihat pada 41 kasus
(57,7%) sedangkan skleritis terlihat pada 30 kasus (42,3%). Pasien dengan episkleritis
mengalami peningkatan yang signifikan secara statistik pada skor fungsi umum (GF) (p <0,05)
menggunakan uji-t berpasangan. Ukuran efek menunjukkan peningkatan sedang (sekitar 0,5).
Sedangkan tidak ada perubahan yang signifikan secara statistik pada skor dampak psikososial
(PI), gejala visual (VS), dan skor total (p <0,05) menggunakan uji-t berpasangan. Ukuran efek
menunjukkan tidak ada peningkatan untuk PI dan skor total dan peningkatan kecil untuk skor
VS. Pasien dengan skleritis mengalami peningkatan yang signifikan secara statistik dalam skor
fungsi umum (GF), skor gejala visual (VS) dan skor total (p <0,05) menggunakan uji-t
berpasangan. Ukuran efek menunjukkan peningkatan sedang (sekitar 0,5) untuk skor fungsi
umum (GF) dan skor total. Namun, ukuran efek hanya menunjukkan peningkatan kecil (sekitar
0,2) untuk skor dampak psikososial (PI).
Kesimpulan: Penglihatan Terkait Kualitas Hidup pasien dengan skleritis menunjukkan
perbaikan yang signifikan setelah pengobatan tidak seperti episkleritis menunjukkan skleritis
lebih mempengaruhi kesejahteraan psikososial.
Kata Kunci : Kortikosteroid, Episkleritis, Kualitas hidup, Skleritis, Fungsi visual
LATAR BELAKANG
Peradangan scleral terlihat pada 1 dari setiap 6000 pasien baru. Di Nepal, prevalensi
skleritis tercatat sebesar 0,03%. Meskipun, kurang umum, konsekuensi dari diagnosis yang salah
atau pengobatan yang tidak tepat tidak hanya menyebabkan kebutaan tetapi juga dapat
berdampak penting pada kesejahteraan umum dan psikososial. Oleh karena itu penting bahwa
semua dokter mata menyadari apa yang merupakan penyakit serius yang membutuhkan
perawatan mendesak, dan apa yang dapat dibiarkan dengan aman tanpa perawatan sama sekali.
Hal ini relatif mudah bila inflamasi mengenai sklera anterior tetapi jauh lebih sulit bila
melibatkan segmen posterior.
Episkleritis adalah peradangan episklera ringan dan tidak mengancam penglihatan yang dapat
kambuh dalam interval yang tidak teratur selama bertahun-tahun. Sangat penting untuk
mengenali sifatnya yang jinak dan tidak menyebabkan komplikasi yang mengancam penglihatan,
dengan mengobati episode episkleritis secara berlebihan seperti katarak dan glaukoma yang
diinduksi steroid.
Skleritis terutama menyebabkan kehilangan penglihatan melalui komplikasinya atau
komplikasi terkait pengobatan karena kronisitasnya dan kekambuhan berulang. Komplikasi
segmen anterior skleritis anterior meliputi keratitis, uveitis, katarak, glaukoma, dan edema
makula sistoid dapat terjadi pada pasien dengan uveitis yang berhubungan dengan skleritis
anterior. Skleritis posterior dikaitkan dengan komplikasi yang lebih mengancam penglihatan
seperti ablasi retina serosa, edema diskus optik, efusi koroid, edema makula, dan vaskulitis
retina.
Karena kekambuhan yang sering dan perjalanan kronis, terutama untuk skleritis, ini
terkait dengan stres yang signifikan, bahkan selama fase tidak aktif. Ini bahkan dapat
memengaruhi aktivitas sehari-hari dan yang berhubungan dengan pekerjaan yang pada akhirnya
dapat menyebabkan kecemasan dan depresi. Hal ini dapat mendorong penurunan kualitas hidup
terkait visual (VR-QOL).
Kualitas hidup (QOL) didefinisikan oleh World Health Organization (WHO) sebagai
"persepsi individu tentang posisi mereka dalam kehidupan dalam konteks budaya dan sistem
nilai di mana mereka hidup dan dalam kaitannya dengan tujuan, harapan, standar, dan
keprihatinan” [3]. Di sini, dalam konteks kami, QOL yang berhubungan dengan penglihatan dan
yang berhubungan dengan kesehatan adalah relevan. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengevaluasi perubahan fungsi penglihatan pada kasus episkleritis dan skleritis
sebelum dan sesudah pengobatan. Studi ini adalah yang pertama dari jenisnya dari Nepal, di
mana pentingnya telah diberikan untuk mengidentifikasi perubahan fungsi visual dan dampaknya
terhadap aktivitas hidup sehari-hari, dievaluasi pada penyakit mata.

METODE
Sebuah studi berbasis rumah sakit observasional prospektif dilakukan di antara kasus episkleritis
dan skleritis di klinik uveitis BP Koirala Lions Center for Ophthalmic Studies, departemen mata
Institut Kedokteran antara Januari 2015 dan Juni 2016. Sebanyak 71 pasien baru direkrut dari
klinik umum dan uveitis selama 18 bulan dan ditindaklanjuti selama 4 minggu. Semua peserta
menjalani pemeriksaan mata ekstensif dan mengisi kuesioner fungsi penglihatan. Kuesioner
Fungsi Penglihatan India (IND-VFQ), dirancang pada tahun 2005 untuk mensurvei fungsi visual
pada populasi tunanetra dan tunanetra yang tinggal di negara berpenghasilan rendah, diadopsi.
Pengujian IND-VFQ untuk reliabilitas (Cronbach’s alpha >0.70), validitas, dan konsistensi
menunjukkan bahwa IND-VFQ sesuai untuk digunakan dalam penelitian klinis. Kuesioner
diberikan kepada semua pasien sebelum memulai pengobatan, oleh pewawancara (salah satu
peneliti) dan pasien mengulangi kuesioner yang sama, diberikan oleh pewawancara yang sama,
pada minggu ke-4 pengobatan. IND-VFQ, yang terdiri dari 33 item dalam tiga bagian. Bagian
pertama memiliki 21 item untuk fungsi umum, bagian kedua memiliki 5 item untuk dampak
psikososial dan bagian ketiga terdiri dari 7 item untuk gejala visual. Item di bagian fungsi umum
dibahas mobilitas, kinerja rumah tangga, aktivitas ekonomi, dan aktivitas hidup sehari-hari.
Skala psikososial memiliki item tentang kesejahteraan sosial, keluarga, dan pribadi. Gejala visual
memiliki skala untuk item, seperti penglihatan, fotofobia, dan silau. Skala respons empat poin
menilai gejala visual dan dampak psikososial dari 1 (skor terbaik) hingga 4 (skor terburuk).
Pertanyaan fungsi umum memiliki skala 5 poin, dari 1 (skor terbaik) hingga 5 (skor terburuk).
Untuk setiap skala, skor gabungan dihitung sebagai total kumulatif dari tanggapan individu yang
dinyatakan sebagai persentase dari skor maksimum yang mungkin dan kemudian diubah,
sehingga 100 mewakili skor terbaik (tidak ada kesulitan dengan salah satu item dalam skala itu)
dan 0 skor terburuk (kesulitan maksimum dalam skala itu). Tanggapan pasien untuk setiap
pertanyaan diubah menjadi skala "0 hingga 100" menggunakan algoritme penilaian standar dan
keseragaman untuk perhitungan hasil dipertahankan di antara skor poin gejala visual, dampak
psikososial, dan dampak fungsi umum.
Setiap pasien menjalani evaluasi oftalmik lengkap dan penyelidikan yang diperlukan
dilakukan, temuan dicatat, dan pengobatan diberikan sesuai indikasi klinis. Data sosiodemografi
juga dikumpulkan.
Data dimasukkan ke dalam SPSS Statistics versi 20. Nilai p <0,05 dianggap signifikan
secara statistik. Paired t-test dan analisis Effect size (ES) dilakukan dengan membandingkan skor
pra dan pasca perawatan untuk mengetahui perbedaan VR-QOL setelah pengobatan episkleritis
dan skleritis. ES didefinisikan sebagai perubahan rata-rata skor VFQ saat follow-up, dibagi
dengan standar deviasi (SD) pada awal. ES mencerminkan besarnya perubahan VFQ sebagai
respons terhadap pengobatan yang dimulai pada awal. Cohen mendefinisikan ES 0,2 sebagai
perubahan kecil, 0,5 sebagai perubahan sedang, dan ≥ 0,8 sebagai perubahan besar. Persetujuan
dari komite etik dewan peninjau kelembagaan diperoleh dan kepatuhan terhadap prinsip
Deklarasi Helsinki dipertahankan. Persetujuan tertulis diperoleh dari peserta sebelum
pemeriksaan mata dan pemberian kuesioner.

HASIL
Dari total 71 pasien yang terdaftar (skleritis + episkleritis), hampir 2/3 pasien (60,6%) adalah
perempuan. Jadi rasio laki-laki dan perempuan adalah 1:1,53. Diantaranya, 57,7% (41 kasus)
mengalami episkleritis sedangkan sisanya 42,3% (30 kasus) mengalami skleritis. Pada kelompok
episkleritis rerata usia pasien adalah 33,88 ± 11,63 tahun, dengan usia termuda 16 tahun dan usia
tertua 55 tahun. Di antara kelompok skleritis, usia rata-rata pasien adalah 36,77 ± 10,35 tahun.
Kasus termuda berusia 23 tahun dan tertua berusia 63 tahun. Keterlibatan unilateral terlihat pada
38 pasien (92,7%) dengan episkleritis dan 28 pasien (93,3%) dengan skleritis.
Di antara 41 pasien episkleritis, episkleritis sektoral terlihat pada 24 kasus (58,5%),
sedangkan episkleritis nodular terlihat pada 14 kasus (34,2%), diikuti oleh episkleritis difus pada
3 kasus (7,3%) (Gbr. 1).
Di antara 30 kasus skleritis, terdapat 29 kasus (97%) skleritis anterior dan hanya 1 kasus (3%)
skleritis posterior. Skleritis sektoral terlihat pada 13 kasus (43,3%), sedangkan skleritis nodular
terlihat pada 10 kasus (33,3%), diikuti oleh skleritis difus pada 6 kasus (20,0%) seperti yang
ditunjukkan pada Gambar. 2. Namun, tidak ada kasus skleritis nekrotikan terisolasi terlihat
dalam durasi periode penelitian kami.

Fungsi visual dinilai pada pasien episkleritis dan skleritis pada presentasi dan pada
minggu ke-4 pengobatan dalam hal fungsi umum (GF), dampak psikososial (PI), dan gejala
visual (VS). Ketiga parameter menunjukkan peningkatan yang signifikan secara statistik (p
<0,0001) dalam fungsi visual setelah perawatan. Ukuran efek menunjukkan perubahan pada
semua skala (sekitar 0,5).
Pasien dengan episkleritis mengalami peningkatan yang signifikan secara statistik pada
skor fungsi umum (GF) (p <0,05) menggunakan uji-t berpasangan. Ukuran efek menunjukkan
peningkatan sedang (sekitar 0,5). Sedangkan tidak ada perubahan yang signifikan secara statistik
dalam penilaian dampak psikososial (PI), gejala visual (VS) dan skor total (p <0,05)
menggunakan uji-t berpasangan. Ukuran efek menunjukkan tidak ada peningkatan untuk PI dan
skor total dan peningkatan kecil untuk skor VS (Tabel 1).
Pasien dengan skleritis mengalami peningkatan yang signifikan secara statistik dalam
skor fungsi umum (GF), skor gejala visual (VS) dan skor total (p <0,05) menggunakan uji-t
berpasangan. Ukuran efek menunjukkan peningkatan sedang (sekitar 0,5) untuk skor fungsi
umum (GF) dan skor total. Namun, ukuran efek hanya menunjukkan peningkatan kecil (sekitar
0,2) untuk skor dampak psikososial (PI). Rinciannya ditunjukkan pada Tabel 2.

DISKUSI
Episkleritis dan skleritis mempengaruhi individu dalam banyak cara. Sedangkan gejala klinis
yang
pasien menderita selalu dilayani, kesejahteraan umum mereka dan dampak psikologis yang
disebabkan oleh entitas penyakit sering diabaikan. Namun dampak ini sama pentingnya untuk
dicatat dan dianalisis untuk penilaian lengkap kesejahteraan pasien.
Ukuran klinis penglihatan yang banyak digunakan memberikan informasi mengenai
proses penyakit tetapi mereka mungkin tidak menangkap semua aspek penting dari fungsi visual
dari perspektif pasien dan efek pengobatan pada orang secara keseluruhan. Penelitian lain
tentang penilaian fungsi penglihatan telah menunjukkan masalah dengan mengenali
individu/wajah (baik jarak dekat maupun jarak), dengan mobilitas (berjalan/berlari, mengemudi,
menggunakan transportasi umum), membaca, dan masalah sensitivitas terkait cahaya, seperti
silau dan kesulitan berkendara di malam hari [8, 9]. Persepsi penglihatan pada berbagai penyakit
sekarang digunakan dalam uji klinis untuk mengevaluasi kemanjuran intervensi medis atau
bedah.
Di sini, untuk pertama kalinya di Nepal, kualitas hidup terkait penglihatan dinilai pada
pasien episkleritis dan skleritis Nepal dalam hal fungsi umum (GF), dampak psikososial (PI) dan
gejala visual (VS). Dan kami menemukan bahwa pasien dengan episkleritis mengalami
peningkatan skor GF yang signifikan secara statistik (p <0,05) menggunakan uji-t berpasangan.
Ukuran efek menunjukkan peningkatan sedang (sekitar 0,5). Sedangkan secara statistik tidak ada
perubahan yang signifikan pada skor PI, skor VS dan skor total (p <0,05) menggunakan uji-t
berpasangan. Ukuran efek menunjukkan tidak ada peningkatan untuk PI dan skor total dan
peningkatan kecil untuk skor VS.
Pasien dengan skleritis mengalami peningkatan yang signifikan pada skor GF, skor VS
dan skor total (p <0,05). Ukuran efek menunjukkan peningkatan sedang (sekitar 0,5) untuk skor
GF dan skor total. Namun, ukuran efek hanya menunjukkan peningkatan kecil (sekitar 0,2) untuk
skor PI. Meskipun skor PI menunjukkan peningkatan setelah pengobatan tetapi perubahannya
tidak signifikan secara statistik (p > 0,05). Hal ini mungkin terkait dengan ketakutan pasien akan
kekambuhan di masa depan dan perbaikan bertahap selama pengobatan.
Hoeksema dan Los et al. melaporkan skor yang lebih rendah pada fungsi sosial khusus
penglihatan, kesehatan mental khusus penglihatan, kesulitan peran khusus penglihatan, dan
khusus penglihatan ketergantungan pada pasien yang menjalani pengobatan untuk uveitis atau
terkait komplikasi mata. Ini berarti pasien ini lebih stres dan kecewa dengan penglihatan mereka
dan mereka membutuhkan lebih banyak bantuan mengingat persepsi visual mereka.
Arvind V et al. pada tahun 2008 mereka melaporkan peningkatan yang signifikan dalam
VR-QOL (Vision-Related Quality of life) di semua skala setelah pengobatan untuk uveitis (p
<0,001). Studi serupa lainnya oleh Gamal et al. pada tahun 2016 dalam pengaturan yang sama
menyimpulkan pasien uveitis anterior dan uveitis posterior memiliki peningkatan yang signifikan
(p ≤ 0,001) di semua 3 skala tetapi panuveitis dan uveitis menengah memiliki peningkatan yang
signifikan (p <0,05) hanya dalam 2 skala. Ukuran efek menunjukkan perubahan kecil hingga
besar di ketiga skala. Namun, tidak ada literatur masa lalu yang tersedia berdasarkan perubahan
fungsi visual dan kualitas hidup di antara kasus episkleritis dan skleritis di Nepal.
Niemeyer et al. disimpulkan menggunakan skor IND-VFQ, rata-rata, selama masa studi 6
bulan (p = 0,0001). Mereka mengamati penurunan skor ringkasan komponen mental (p = 0,04)
dan penurunan subskala vitalitas (p = 0,001), sedangkan skor ringkasan komponen fisik SF-36
tidak berbeda secara signifikan selama uji coba. Meskipun pengobatan uveitis berhubungan
dengan penglihatan yang lebih baik dan kepuasan pribadi terkait penglihatan, kesehatan fisik
yang dilaporkan pasien tidak menunjukkan perubahan selama setengah tahun pengobatan,
dengan penurunan kesehatan psikologis.
Sugar et al. melakukan penelitian longitudinal serupa yang membandingkan individu
dengan uveitis non-infeksius yang diobati dengan implan fluosinolon asetonid dengan mereka
yang diobati dengan kortikosteroid sistemik. Pasien pada kedua kelompok perlakuan
menunjukkan perbaikan komparatif pada skor NEI-VFQ-25 setelah 3 tahun masa tindak lanjut.
Orang-orang dengan ketajaman visual dan bidang visual terburuk pada awalnya diamati terkait
dengan skor NEI-VFQ-25 yang lebih rendah untuk kedua kategori pengobatan.
Kempen et al. telah mengevaluasi risiko bersama dengan kualitas hasil hidup terkait
dengan implan fluosinolon asetonid versus terapi sistemik dengan kortikosteroid dan
imunosupresi dalam kasus panuveitis menengah, posterior dan. Ini secara keseluruhan adalah
bagian dari uji coba Multicenter Uveitis Steroid Treatment (MUST) dan Studi tindak lanjut [14].
Langkah-langkah QOL mandiri pada awalnya mendukung pasien yang dirawat dengan implan.
Seiring berjalannya waktu, ukuran QOL untuk kedua kelompok dinilai dan dipersempit menjadi
skor yang menguntungkan.
Kaleemunnisha et al. melaporkan ukuran efek yang lebih besar bersama dengan
perbaikan yang signifikan secara statistik dalam skor komposit, pada tindak lanjut, (p = 0,004;
ukuran efek = 1,03). Mereka mengamati peningkatan skor QOL yang sesuai dengan pengurangan
peradangan dan peningkatan ketajaman visual, dengan inisiasi imunosupresif.
Studi semacam itu tentang pengukuran kuantitatif dampak penyakit dan pengobatan
menggunakan kualitas hidup terkait penglihatan belum dilakukan pada pasien episkleritis dan
skleritis. Ketajaman visual umumnya tidak terpengaruh pada episkleritis dan skleritis tipikal,
tetapi mungkin terpengaruh ketika berhubungan dengan keratitis, uveitis serta skleritis posterior
dengan edema makula atau ablasi retina eksudatif. Masalah psikologis muncul sebagai
kekhawatiran dengan kemerahan lama yang mungkin terkait atau tidak dengan rasa sakit dan
ketakutan akan kekambuhan berulang.
Kualitas Hidup Terkait Penglihatan pasien dengan skleritis menunjukkan peningkatan
yang signifikan setelah pengobatan tidak seperti episkleritis yang menunjukkan skleritis lebih
mempengaruhi kesejahteraan psikososial.

KESIMPULAN
Kesimpulannya, tujuan universal perawatan mata adalah untuk meningkatkan QOL orang
tunanetra. Studi ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa resolusi episkleritis dan skleritis setelah
pengobatan mengembalikan efek buruk terkait pada kualitas hidup dalam hal fungsi umum,
dampak psikososial dan fungsi visual. Dengan demikian, penilaian fungsi visual pada episkleritis
dan, lebih luas lagi, pada kasus skleritis sebelum dan sesudah pengobatan dapat dianggap sebagai
instrumen penting untuk mengevaluasi manfaat pengobatan yang diharapkan. Diagnosis dini dan
pengobatan episkleritis dan skleritis yang cepat tidak hanya penting untuk penglihatan tetapi juga
untuk meningkatkan kualitas hidup terkait penglihatan.

KETERBATASAN
Keterbatasan utama dari penelitian ini adalah periode waktu tindak lanjut dari pasien. Perlu
waktu lebih lama untuk mengevaluasi hasil lengkap dan komplikasi jangka panjang lain dari
episkleritis dan skleritis lebih penting yang pada gilirannya mempengaruhi kualitas hidup
mereka.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Sklera
1.1. Anatomi Sklera
Sklera yang juga dikenal sebagai bagian putih bola mata, merupakan kelanjutan
dari kornea. Sklera berwarna putih buram dan tidak tembus cahaya, kecuali di bagian
depan bersifat transparan yang disebut kornea. Sklera merupakan dinding bola mata
yang paling keras dengan jaringan pengikat yang tebal, yang tersusun oleh serat kolagen,
jaringan fibrosa dan proteoglikan dengan berbagai ukuran. Pada anak-anak, sklera lebih
tipis dan menunjukkan sejumlah pigmen, yang tampak sebagai warna biru. Sedangkan
pada dewasa karena terdapatnya deposit lemak, sklera tampak sebagai garis kuning.

Gambar 1. Anatomi Mata

Sklera dimulai dari limbus, dimana berlanjut dengan kornea dan berakhir pada
kanalis optikus yang berlanjut dengan dura. Enam otot ekstraokular disisipkan ke
dalam sklera. Jaringan sklera menerima rangsangan sensoris dari nervus siliaris
posterior. Sklera merupakan organ tanpa vaskularisasi, menerima rangsangan tersebut
dari jaringan pembuluh darah yang berdekatan. Pleksus koroidalis terdapat di bawah
sklera dan pleksus episkleral di atasnya. Episklera mempunyai dua cabang, yang
pertama pada permukaan dimana pembuluh darah tersusun melingkar, dan yang
satunya lagi yang lebih di dalam, terdapat pembuluh darah yang melekat pada sklera.

Sklera membentuk 5/6 bagian dari pembungkus jaringan pengikat pada bola
mata posterior. Sklera kemudian dilanjutkan oleh duramater dan kornea, untuk
menentukan bentuk bola mata, penahan terhadap tekanan dari luar dan menyediakan
kebutuhan bagi penempatan otot-otot ekstra okular. Sklera ditembus oleh banyak saraf
dan pembuluh darah yang melewati foramen skleralis posterior. Pada cakram optikus,
2/3 bagian sklera berlanjut menjadi sarung dural, sedangkan 1/3 lainnya berlanjut
dengan beberapa jaringan koroidalis yang membentuk suatu penampang yakni lamina
kribrosa yang melewati nervus optikus yang keluar melalui serat optikus atau fasikulus.
Kedalaman sklera bervariasi mulai dari 1 mm pada kutub posterior hingga 0,3 mm
pada penyisipan muskulus rektus atau akuator.

Sklera mempunyai 2 lubang utama yaitu:

1. Foramen sklerasis anterior, yang berdekatan dengan kornea dan merupakan


tempat meletaknya kornea pada sklera.
2. Foramen sklerasis posterior atau kanalis sklerasis, merupakan pintu keluar
nervus optikus. Pada foramen ini terdapat lamina kribosa yang terdiri dari
sejumlah membran seperti saringan yang tersusun transversal melintas
foramen sklerasis posterior. Serabut saraf optikus lewat lubang ini untuk
menuju ke otak.
Gambar 2. Struktur Sklera

Secara histologis, sklera terdiri dari banyak pita padat yang sejajar dan berkas-
berkas jaringan fibrosa yang teranyam, yang masing-masing mempunyai tebal 10-16 µm
dan lebar 100-140 µm, yakni episklera, stroma, lamina fuska dan endotelium. Struktur
histologis sklera sangat mirip dengan struktur kornea.

Gambar 3. Histologi Sklera

2. Skleritis

2.1 Definisi

Skleritis merupakan inflamasi ocular yang cukup berat yang terjadi pada sklera,
bagian yang melindungi mata. Skleritis dapat dikategorikan sebagai anterior dengan difus,
nodular, atau tipe necrotizing. Skleritis menyebabkan perubahan mata yang dapat dilihat
secara signifikan. Presentasi dapat terjadi unilateral maupun bilateral.
2.2 Epidemiologi

Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menjelaskan bahwa terdapat 10.500


kasus skleritis tiap tahunnya, dengan estimasi 4 – 6 kasus per 100.000 manusia. Skleritis
paling sering terjadi pada usia pertengahan, antara 47 tahun sampai 60 tahun. Skleritis
lebih sering terjadi pada wanita dengan angka kejadian 60 – 74% lebih banyak
dibandingkan laki laki. Sedikit penelitian yang mengatakan skleritis dapat terjadi pada anak
anak, namun ada beberapa kasus dimana skleritis terjadi pada pasien dengan juvenile
idiopathic arthritis.

2.3 Etiologi

Skleritis diperkirakan berhubungan dengan beberapa kondisi sistemik diantaranya adalah :

1. Autoimmune collagen disorders, terutama rheumatoid arthritis, yang paling


sering terjadi bersama dengan skleritis. 5% dari seluruh kasus skleritis
berhubungan erat dengan penyakit jaringan ikat. Sekitar 0.5% dari pasien
skleritis juga menunjukkan hasil serologi positive rheumatoif arthritis.
Penyakit kolagen lainnya yaitu wegener’s granulomatosis, polyarteritis
nodosa, systemic lupus erythematosus, dan ankylosing spondylitis.
2. Metabolic disorders seperti gout dan tirotoksikosis berkaitan dengan kejadian
skleritis

3. Infeksi seperti herpes zoster optalmikus, stafilokokus kronis, dan infeksi


streptokokus dipercaya berperan dalam terjadinya skleritis.
4. Granulomatous diseases seperti tuberkulosis, sifilis, sarcoidosis, dan leprosy
juga dapat menyebabkan skleritis.
5. Kondisi lain seperti radiasi, luka kimia, dan rosasea juga dianggap
berpengaruh terhadap kejadian skleritis meskipun belum dapat dibuktikan.
6. Surgically induced scleritis dapat terjadi akibat operasi yang dilakukan pada
mata. Hal ini terjadi 6 bulan post operasi.
7. Idiopatik

2.4 Patofisologi
Skleritis adalah peradangan primer pada sklera, yang biasanya (sekitar 50 persen
kasus) berhubungan dengan penyakit sistemik. Penyakit tersering yang menyebabkan
skleritis antara lain adalah rheumatoid arthritis, ankylosing spondylitis, systemic lupus
erythematosus, polyarteritis nodosa, Wegener's granulomatosis, herpes zoster virus,
gout dan sifilis.

Karena sklera terdiri dari jaringan ikat dan serat kolagen, skleritis adalah gejala
utama dari gangguan vaskular kolagen pada 15% dari kasus. Gangguan regulasi
autoimun pada pasien yang memiliki predisposisi genetik dapat menjadi penyebab
terjadinya skleritis. Faktor pencetus dapat berupa organisme menular, bahan endogen,
atau trauma. Proses peradangan dapat disebabkan oleh kompleks imun yang
mengakibatkan kerusakan vaskular (hipersensitivitas tipe III) ataupun respon
granulomatosa kronik (hipersensitivitas tipe IV).
Hipersensitivitas tipe III dimediasi oleh kompleks imun yang terdiri dari antibody
IgG dengan antigen. Hipersensitivitas tipe III terbagi menjadi reaksi lokal (reaksi Arthus)
dan reaksi sistemik. Reaksi lokal dapat diperagakan dengan menginjeksi secara subkutan
larutan antigen kepada penjamu yang memiliki titer IgG yang signifikan. Karena
FcgammaRIII adalah reseptor dengan daya ikat rendah dan juga karena ambang batas
aktivasi melalui reseptor ini lebih tinggi dari pada untuk reseptor IgE, reaksi
hipersensitivitas lebih lama dibandingkan dengan tipe I, secara umum memakan waktu
maksimal 4 – 8 jam dan bersifat lebih menyeluruh. Reaksi sistemik terjadi dengan
adanya antigen dalam sirkulasi yang mengakibatkan pembentukan kompleks antigen –
antibodi yang dapat larut dalam sirkulasi. Patologi utama dikarenakan deposisi kompleks
yang ditingkatkan oleh peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh
pengaktivasian dari sel mast melalui FcgammaRIII. Kompleks imun yang terdeposisi
menyebabkan netrofil mengeluarkan isi granul dan membuat kerusakan pada endotelium
dan membran basement sekitarnya. Kompleks tersebut dapat terdisposisi pada bermacam
– macam lokasi seperti kulit, ginjal, atau sendi. Contoh paling sering dari
hipersensitivitas tipe III adalah komplikasi post – infeksi seperti arthritis dan
glomerulonefritis.
Hipersensitivitas tipe IV adalah satu – satunya reaksi hipersensitivitas yang
disebabkan oleh sel T spesifik – antigen. Tipe hipersensitivitas ini disebut juga
hipersensitivitas tipe lambat. Hipersensitivitas tipe lambat terjadi saat sel jaringan
dendritik telah mengangkat antigen lalu memprosesnya dan menunjukkan pecahan
peptida yang sesuai berikatan dengan MHC kelas II, kemudian mengalami kontak
dengan sell TH1 yang berada dalam jaringan. Aktivasi dari sel T tersebut, membuatnya
memproduksi sitokin seperti kemokin untuk makrofag, sel T lainnya, dan juga kepada
netrofil. Konsekuensi dari hal ini adalah adanya infiltrasi seluler yang mana sel
mononuklear (sel T dan makrofag) cenderung mendominasi. Reaksi maksimal memakan
waktu 48 – 72 jam. Contoh klasik dari hipersensitivitas tipe lambat adalah tuberkulosis.
Contoh yang paling sering adalah hipersensitivitas kontak yang diakibatkan dari
pemaparan seorang individu dengan garam metal atau bahan kimia reaktif.

Jaringan imun yang terbentuk dapat mengakibatkan kerusakan sklera, yaitu


deposisi kompleks imun di kapiler episklera, sklera dan venul poskapiler (peradangan
mikroangiopati). Tidak seperti episkleritis, peradangan pada skleritis dapat menyebar
pada bagian anterior atau bagian posterior mata.

2.5 Klasifikasi

Tabel 1. Klasifikasi skleritis

Anterior non-necrotizing scleritis dibagi menjadi 2 yaitu tipe diffuse dan nodular.
Untuk tipe diffuse biasa terjadi pada wanita dan muncul pada dekade kelima. Gejala
yang biasa muncul yaitu kemerahan pada mata yang progresif dan beberapa hari
kemudian mata menjadi nyeri yang dapat menjallar sampai ke wajah. Kejadian ini dapat
membangunkan pasien di pagi hari dan keluhan akan berkurang di siang hari. Tipe
diffuse biasa tidak memberikan respon yang baik terhadap terapi analgesi. Tanda yang
dapat muncul yaitu dapat ditemukan adanya kongesi vaskular dan dilatasi yang
mengakibatkan edema. Kemerahan yang timbul juga bersifak merata pada seluruh sklera.
Keluhan lain yaitu dapat terjadi kemosis, pembengkakan kelopak mata, uveitis anterior,
dan meningkatnya tekanan intraokular. Proses penyembuhan biasa memakan waktu yang
lama untuk benar benar tuntas karena biasanya penyakit ini dapat rekurensi sampai
dengan 6 tahun.

Pada skleritis non-necrotizing tipe nodular insidensinya sama dengan tipe difuse
namun biasanya pada tipe ini pasien memiliki riwayat penyakit herpes zoster optalmikus
sebelumnya. Gejala yang ditimbulkan yaitu nyeri yang timbul secara mendadak disertai
kemerahan pada mata, selain itu yang khas pada tipe ini adalah dapat ditemukan nodul
pada sklera. Tanda yang dapat ditemukan yaitu adanya nodul sklera baik satu ataupun
banyak dan biasanya tumbuh di daerah intrapalperba mendekati limbus. Proses
penyembuhan sama dengan tipe difusa. Sekitar lebih dari 10% pada pasien dengan tipe
ini berlanjut menjadi tipe necrotizing.
Tipe anterior necrotizing skleritis merupakan bentuk agresif dari skleritis. Onset
pada penyakit ini biasa diatar usia 60 tahun. Kondisi ini bilateral pada 60% pasien dan
apabila tidak segera ditangani dapat mengakibatkan morbiditas yang berujung pada
kebutaan. Gejala yang timbul biasanya adalah nyeri yang sangat hebat dan persisten dan
menjalar ke sekitar wajah, hal ini dapat mengganggu aktifitas pasien seperti tidur
maupun lainnya. Tanda yang dapat ditemukan yaitu adanya injeksi yang menyebar
sampai ke limbus. Selanjutnya dapat ditemuka sklera, episklera, konjungtifa, dan kornea
bentuknya menjadi tidak rata dan terjadi edema.
Tipe skleritis posterior merupakan kondisi yang dapat mengakibatkan kebutaan
apabila telat mendiagnosa. Perubahan yang diakibatkan oleh inflamasi pada posterior dan
anterior hampir mirip. Onset pada penyakit ini terjadi pada usia 40 tahun. Gejala yang
dapat ditemukan yaitu adanya nyeri dan juga fotofobia. Tanda yang ditemukan yaitu
penyakit ini terjadi pada bilateral pada. Dapat pula ditemukan adanya choroidal fold dan
exudative retinal detachment (gambar 5)
Gambar 5. Choroidal folds

Dapat pula ditemukan adanya efusi uvea (gambar 6). Edema pada diskus dapat
terjadi sehingga mengakibatkan penurunan penglihatan dan apabila hal ini tidak
ditangani dapat berujung kepada hilangnya penglihatan. Keluhan lain yang dapat muncul
yaitu nyeri saat menggerakkan bola mata, hal ini disebabkan karena myositis.

Gambar 6. Efusi uvea

2.6 Diagnosis

Pada saat anamnesis perlu ditanyakan keluhan utama pasien, perjalanan penyakit,
riwayat penyakit dahulu termasuk riwayat infeksi, trauma ataupun riwayat
pembedahan juga perlu pemeriksaan dari semua sistem pada tubuh. Gejala-gejala dapat
meliputi rasa nyeri, mata berair, fotofobia, spasme, dan penurunan ketajaman
penglihatan. Tanda primernya adalah mata merah. Nyeri adalah gejala yang paling
sering dan merupakan indikator terjadinya inflamasi yang aktif.. Nyeri timbul dari
stimulasi langsung dan peregangan ujung saraf akibat adanya inflamasi. Karakteristik
nyeri pada skleritis yaitu nyeri terasa berat, nyeri tajam menyebar ke dahi, alis, rahang
dan sinus, pasien terbangun sepanjang malam, kambuh akibat sentuhan. Nyeri dapat
hilang sementara dengan penggunaan obat analgetik. Mata berair atau fotofobia pada
skleritis tanpa disertai sekret mukopurulen. Penurunan ketajaman penglihatan biasa
disebabkan oleh perluasan dari skleritis ke struktur yang berdekatan yaitu dapat
berkembang menjadi keratitis, uveitis, glaucoma, katarak dan fundus yang abnormal.

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan sklera bisa terlihat merah kebiruan atau
keunguan yang difus. Setelah serangan yang berat dari inflamasi sklera, daerah penipisan
sklera dan translusen juga dapat muncul dan juga terlihat uvea yang gelap. Area hitam,
abu-abu dan coklat yang dikelilingi oleh inflamasi yang aktif yang mengindikasikan
adanya proses nekrotik. Jika jaringan nekrosis berlanjut, area pada sklera bisa menjadi
avaskular yang menghasilkan sekuester putih di tengah yang dikelilingi lingkaran coklat
kehitaman. Proses pengelupasan bisa diganti secara bertahap dengan jaringan granulasi
meninggalkan uvea yang kosong atau lapisan tipis dari konjungtiva.
Pada pemeriksaan slitlamp skleritis, terjadi bendungan yang masif di jaringan
dalam episklera dengan beberapa bendungan pada jaringan superfisial episklera. Pada
tepi anterior dan posterior cahaya slit lamp bergeser ke depan karena episklera dan sklera
edema. Pada skleritis dengan pemakaian fenilefrin hanya terlihat jaringan superfisial
episklera yang pucat tanpa efek yang signifikan pada jaringan dalam episklera.

2.7 Diagnosis Banding


Episkleritis
Episkleritis adalah reaksi radang jaringan ikat vaskular yang terletak antara
konjungtiva dan permukaan sklera. Episkleritis dapat merupakan suatu reaksi toksik,
alergik, bagian dari infeksi, serta dapat juga terjadi secara spontan dan idiopatik.
Episkleritis umumnya mengenai satu mata, terutama pada wanita usia pertengahan
dengan riwayat penyakit reumatik. Episkleritis sering tampak seperti skleritis. Namun,
pada episkleritis proses peradangan dan eritema hanya terjadi pada episklera, yaitu
perbatasan antara sklera dan konjungtiva. Episkleritis mempunyai onset yang lebih akut
dan gejala yang lebih ringan dibandingkan dengan skleritis. Selain itu episkleritis tidak
menimbulkan turunnya tajam penglihatan.

Gambar 7. Episkleritis

Keluhan pasien episkleritis berupa mata kering, rasa nyeri ringan, dan rasa
mengganjal. Terdapat pula konjungtiva yang kemotik. Bentuk radang pada episkleritis
mempunyai gambaran benjolan setempat dengan batas tegas dan warna merah ungu di
bawah konjungtiva. Bila benjolan ini ditekan dengan kapas atau ditekan pada kelopak di
atas benjolan, maka akan timbul rasa sakit yang dapat menjalar ke sekitar mata. Terlihat
mata merah satu sektor yang disebabkan melebarnya pembuluh darah di bawah
konjungtiva. Pembuluh darah episklera ini dapat mengecil bila diberi fenilefrin 2,5%
topikal. Sedangkan pada skleritis, melebarnya pembuluh darah sklera tidak dapat
mengecil bila diberi fenilefrin 2,5% topikal.
Diagnosis banding lainnya selain episkleritis adalah konjungtifitis alergi, herpes
zostes oftalmikus, rosasea ocular, uveitis anterior, karsinoma sel skuamosa pada
konjungtiva maupun pada palpebral.

Gambar 8. Pelebaran pembuluh darah sklera yang tidak mengecil dengan pemberian
fenilefrin 2,5% topikal.
Gambar 9. Pelebaran pembuluh darah episklera yang mengecil dengan pemberian fenilefrin
2,5% topikal.

2.8 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium berguna untuk dapat identifikasi penyakit sistemik penyerta


atau untuk menentukan apakah terjadi reaksi imunologis. Pemeriksaan yang dianjurkan
antara lain adalah :
1. TLC, DLC, dan ESR
2. Level serum dari komplemen (C3), kompleks imun, faktor rheumatoid, antibody
antinuclear, dan sel LE
3. VDRL dan TPHA untuk sifilis
4. Kadar asam urat untuk gout
5. Analisa urin
6. Tes Mantoux
7. Pemeriksaan rontgen toraks

2.9 Komplikasi

Komplikasi yang dapat timbul diantaranya adalah:

1. Acute infiltrative stromal keratitis


2. Sclerosing keratitis, dikarakteristik sebagai penipisan dan opasitas dari kornea
tempat terjadinya skleritis
3. Peripheral ulcerative keratitis, dikarakteristik sebagai ulserasi progresif dan
dapat mengakibatkan kerusakan permanen pada mata. Penyakit ini dapat terjadi
pada skleritis necrotizing
4. Uveitis
5. Glaukoma merupakan penyebab tersering dari kehilangan penglihatan
6. Perforasi sklera sangat jarang terjadi

2.10 Tatalaksana

Terapi skleritis disesuaikan dengan penyebabnya. Terapi awal skleritis adalah obat
anti inflamasi non-steroid sistemik. Obat pilihan adalah indometasin 100 mg perhari atau
ibuprofen 300 mg perhari. Pada sebagian besar kasus, nyeri cepat mereda diikuti oleh
pengurangan peradangan. Apabila tidak timbul respon dalam 1-2 minggu atau segera
setelah tampak penyumbatan vaskular harus segera dimulai terapi steroid sistemik dosis
tinggi. Steroid ini biasanya diberikan peroral yaitu prednison 80 mg perhari yang
ditirunkan dengan cepat dalam 2 minggu sampai dosis pemeliharaan sekitar 10 mg
perhari. Kadangkala, penyakit yang berat mengharuskan terapi intravena berdenyut
dengan metil prednisolon 1 g setiap minggu.
Obat-obat imunosupresif lain juga dapat digunakan. Siklofosfamid sangat
bermanfaat apabila terdapat banyak kompleks imun dalam darah. Tetapi steroid topikal
saja tidak bermanfaat tetapi dapat dapat menjadi terapi tambahan untuk terapi sistemik.
Apabila dapat diidentifikasi adanya infeksi, harus diberikan terapi spesifik. Peran terapi
steroid sistemik kemudian akan ditentukan oleh sifat proses penyakitnya, yakni apakah
penyakitnya merupakan suatu respon hipersensitif atau efek dari invasi langsung
mikroba.
Tindakan bedah jarang dilakukan kecuali untuk memperbaiki perforasi sklera atau
kornea. Tindakan ini kemungkinan besar diperlukan apabila terjadi kerusakan hebat
akibat invasi langsung mikroba, atau pada granulomatosis Wegener atau poliarteritis
nodosa yang disertai penyulit perforasi kornea. Penipisan sklera pada skleritis yang
semata-mata akibat peradangan jarang menimbulkan perforasi kecuali apabila juga
terdapat galukoma atau terjadi trauma langsung terutama pada usaha mengambil sediaan
biopsi. Tandur sklera pernah digunakan sebagai tindakan profilaktik dalam terapi
skleritis, tetapi tandur semacam itu tidak jarang mencair kecuali apabila juga disertai
pemberian kemoterapi.
Skleromalasia perforans tidak terpengaruh oleh terapi kecuali apabila terapi
diberikan pada stadium paling dini penyakit. Karena pada stadium ini jarang timbul
gejala, sebagian besar kasus tidak diobati sampai timbul penyulit.
BAB III
KESIMPULAN
Skleritis adalah peradangan pada lapisan sklera yang ditandai dengan adanya infiltrasi
seluler, kerusakan kolagen, dan perubahan vaskuler. Skleritis merupakan penyakit yang jarang
terjadi. Skleritis biasanya terjadi bersama dengan penyakit sistemik, yaitu penyakit autoimun
dan infeksi, namun bisa juga terjadi secara idiopatik. Adapun gejala-gejala umum yang biasa
terjadi pada skleritis yaitu rasa nyeri berat yang dapat menyebar ke dahi, alis, dan dagu. Selain
itu terdapat pula mata merah berair, fotofobia, dan penurunan tajam penglihatan.

Skleritis dapat digolongkan menjadi skleritis anterior dan skleritis posterior. Sekitar
94% kasus skleritis merupakan skleritis anterior dan sisanya adalah skleritis posterior. Skleritis
anterior sendiri dapat dibagi lagi menjadi 4 macam yaitu diffuse anterior scleritis, nodular
anterior scleritis, necrotizing scleritis with inflammation, dan necrotizing scleritis without
inflammation (scleromalacia perforans). Untuk mendiagnosa skleritis diperlukan adanya
anamnesis, pemeriksaan fisik dan oftalmologi, serta pemeriksaan penunjang.

Skleritis dapat didiagnosa banding dengan episkleritis. Namun kedua penyakit ini dapat
dibedakan melalui lokasi terjadinya peradangan. Pada episkleritis, proses peradangan hanya
terlokalisir di daerah episklera, yaitu perbatasan antara sklera dan konjungtiva. Sedangkan
pada skleritis proses peradangan dapat meluas ke seluruh bagian sklera. Selain itu, rasa nyeri
yang berat pada skleritis dapat dibedakan dari rasa nyeri ringan yang terjadi pada episkleritis
yang lebih sering dideskripsikan pasien sebagai sensasi benda asing di dalam mata.

Tatalaksana skleritis membutuhkan pengobatan sistemik. Obat-obatan yang biasa


dipakai yaitu NSAIDs, kortikosteroid, agen imunosupresan, dan imunomodulator. Apabila
terdapat penyakit penyerta, harus dikonsultasikan ke bagian terkait. Komplikasi yang dapat
terjadi pada penyakit skleritis yaitu edema makular, perforasi sklera, glaukoma, uveitis,
katarak, dan keratitis. Prognosis skleritis seringkali tergantung pada penyakit sistemik yang
menyertainya. Necrotizing scleritis dapat menyebabkan hilangnya penglihatan secara
permanen.
DAFTAR PUSTAKA

1. Riordan-Eva, Paul, John P.Whitcher. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology.


USA: Mc.GrawHill; 2008.
2. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2010.
3. Khurana A K. Comprehensive Ophthalmology 4th ed. India: New Age International
Limited Publishers; 2007
4. Bowling B. Kanski’s Clinical Ophtalmology : A Systematic Approach 8th ed : Elsevier
; 2016
5. Lagina A. Ramphul K. Scleritis. StatPearls Publishing; 2018
6. Augburger J J. Azar D T. Bakri S J. Ophthalmology 5th ed: Elservier; 2019
Tipe diffuse Tipe nodular Tipe anterior Tipe skleritis
Necrotizing skleritis posterior
Biasa terjadi pada wanita Pada tipe ini biasanya Merupakan bentuk Merupakan kondisi
pasien memiliki agresif dari skleritis. yang dapat
riwayat penyakit mengakibatkan
herpes zoster kebutaan
optalmikus.
Gejala kemerahan pada Gejala yaitu nyeri Onset pada penyakit ini Onset pada penyakit
mata yang progresif dan yang timbul secara biasa diatar usia 60 tahun. ini terjadi pada usia
beberapa hari kemudian mendadak disertai 40 tahun.
mata menjadi nyeri, dapat kemerahan pada mata,
menjallar sampai ke khas pada tipe ini
wajah. dapat ditemukan
nodul pada sklera.
Keluhan biasa pada pagi Tanda yang dapat Kondisi ini bilateral pada Gejala yang dapat
hari dan berkurang pada ditemukan yaitu 60% pasien jika tidak ditemukan yaitu
siang hari. adanya nodul sklera segera ditangani dapat adanya nyeri dan
baik satu ataupun mengakibatkan juga fotofobia.
banyak dan biasanya morbiditas yang berujung
tumbuh di daerah pada kebutaan.
intrapalperba
mendekati limbus.
Tipe diffuse biasa tidak Sekitar lebih dari 10% Gejala yang timbul Tanda yang
memberikan respon yang pada pasien dengan biasanya adalah nyeri ditemukan yaitu
baik terhadap terapi tipe ini berlanjut yang sangat hebat dan penyakit ini terjadi
analgesi. menjadi tipe persisten dan menjalar ke pada bilateral pada.
necrotizing. sekitar wajah, dapat
mengganggu aktifitas
pasien seperti tidur
maupun lainnya.

Tanda yang dapat muncul Tanda yang dapat Dapat pula


yaitu dapat ditemukan ditemukan yaitu adanya ditemukan adanya
adanya kongesi vaskular injeksi yang menyebar choroidal fold,
dan dilatasi yang sampai ke limbus. exudative retinal
mengakibatkan edema. detachment dan
Kemerahan yang timbul efusi uvea.
juga bersifat merata pada
seluruh sklera.

Keluhan lain yaitu dapat Selanjutnya dapat


terjadi kemosis, ditemuka sklera,
pembengkakan kelopak episklera, konjungtifa,
mata, uveitis anterior, dan dan kornea bentuknya
meningkatnya tekanan menjadi tidak rata dan
intraokular. terjadi edema.

Anda mungkin juga menyukai