Anda di halaman 1dari 25

Program Studi Ilmu Keperawatan A Tahun 2015

KONSEP DASAR PENYAKIT

A. Definisi
- Purpura Henoch-Schö nlein merupakan penyakit autoimun (IgA mediated) berupa
hipersensitivitas vaskulitis, paling sering ditemukan pada anak-anak. Merupakan
sindrom klinis kelainan inflamasi vaskulitis generalisata pembuluh darah kecil pada
kulit, sendi, saluran cerna, dan ginjal, yang ditandai dengan lesi kulit spesifik berupa
purpura nontrombositopenik, artritis, artralgia, nyeri abdomen atau perdarahan
saluran cerna, dan kadang-kadang disertai nefritis atau hematuria (Yuly, 2012).
- Penyakit purpura Henoch-Schonlein (PHS) merupakan vaskulitis pembuluh darah
kecil yang pertama kali dideskripsikan oleh William dan Heberden pada tahun 1801.
Lucas Schonlein pada tahun 1832 menggambarkan kelainan berupa purpura dan
atralgia, kemudian Eduard Henoch pada tahun 1874 menemukan hubungannya
dengan gejala gastrointestinal dan sistem genitourinary. Purpura Henoch-Schonlein
juga dikenal dengan purpura anafilaktoid, adalah suatu vaskulitis pada pembuluh
darah kecil yang sering ditemukan dengan komplikasi kulit dan sistemik
(Setiabudiawan dkk, 2011).
- Purpura Henoch Schonlein adalah kelainan inflamasi yang ditandai oleh vaskulitis
generalisata pada pembuluh darah kecil di kulit, saluran cerna, ginjal, sendi, dan
meskipun jarang dapat di paru dan sususan saraf pusat. Purpura Henoch-Schonlein
merupakan vaskulitis yang paling sering ditemui pada anak-anak/etiologinya belum
diketahui, diperkirakan beberapa faktor berperan, yaitu genetic, lingkungan, dan
diperkirakan reaksi autoimun yang diperantarai Imunoglobulin A; kompleks antigen
antibodi terdeposit di seluruh tubuh dan menjadi pencetus vaskulitis nekrotikans
(SMF Ilmu Anak FK Unud/RSUP Sanglah).
Program Studi Ilmu Keperawatan A Tahun 2015

B. Epidemiologi
Rata-rata 14 kasus per 100.000 anak usia sekolah; prevalensi tertinggi pada
usia 2-11 tahun (75%); 27% kasus ditemukan pada dewasa, jarang ditemukan pada
bayi. Lebih banyak pada anak laki-laki daripada anak perempuan (rasio 2 :1)
Umumnya merupakan benign self-limited disorder; < 5% kasus menjadi kronis;
hanya < 1 % kasus berkembang menjadi gagal ginjal (Yuly, 2012). Manifestasi
saluran cerna serta ginjal menjadi salah satu penyebab keluhan penting dan
komplikasi jangka panjang pada Purpura Henoch Schonlein (PHS). Komplikasi
saluran cerna seperti perdarahan masif, perforasi usus, dan intususepsi intestinal
juga telah dilaporkan. Sangat jarang yang melaporkan kejadian perforasi gaster
sebagai komplikasi pada PHS (Setiabudiawan dkk, 2011).

C. Etiologi dan Faktor Risiko


Sampai saat ini masih belum diketahui pasti; Imunoglobulin A (IgA) diduga
berperan penting, ditandai dengan peningkatan konsentrasi IgA serum, kompleks
imun, dan deposit IgA pada dinding pembuluh darah dan mesangium ginjal (Yuly,
2012). Etiologi didukung oleh adanya faktor risiko yang terdapat hubungan infeksi
virus, obat-obatan, pemberian vaksinasi, dan obat-obatan dengan penyakit PHS
(SMF Anak RSUP Sanglah). Beberapa kondisi yang diduga berperan:
 Setelah infeksi Streptococcus grup A (20- 50%), Mycoplasma, virus Epstein Barr,
virus Herpes Simplex, Parvovirus B19, Coxsackievirus, Adenovirus, measles,
mumps.
 Vaksinasi (varicella, rubella, Hepatitis B)
 Lingkungan: alergen makanan, obat-obatan, pestisida, paparan terhadap dingin,
gigitan serangga.

D. Manifestasi Klinis
Tanda khas purpura ini adalah makula eritematosa, papul urtikaria, papul
pruritik, dan plak. Papul ini mudah diraba. Umumnya muncul di bagian tubuh
bawah seperti tungkai bawah, pantat, perut bagian bawah. Pada anak kurang dari 2
tahun lesi juga dapat ditemukan di ekstremitas atas, kepala, tubuh. Lesi umumnya
Program Studi Ilmu Keperawatan A Tahun 2015

kemudian menjadi berwarna keunguan. Setelah timbul ruam, gejala lain timbul
dalam rerata 4 hari (1–19 hari). Adapun manifestasi klinis penyakit sebagai berikut:
 Dapat dimulai dengan gejala prodromal demam, nyeri kepala, dan anoreksia.
Pada 1/2 - 2/3 kasus pada anak ditandai dengan infeksi saluran napas atas yang
muncul 1-3 minggu sebelumnya berupa demam ringan dan nyeri kepala.
 Kemudian muncul lesi kulit, nyeri perut, edema perifer, muntah, dan atau tanpa
disertai arthritis.
 Kelainan kulit ditemukan pada 95-100% kasus, 50%nya merupakan keluhan
penderita saat datang berobat; berupa macular rash simetris terutama di kulit
yang sering terkena tekanan yaitu bagian belakang kaki, bokong, dan lengan sisi
ulna. Dalam 24 jam makula berubah menjadi lesi purpura, mula-mula berwarna
merah, lambat laun berubah menjadi ungu, kemudian coklat kekuning-kuningan
lalu menghilang; dapat timbul kembali kelainan kulit baru. Kelainan kulit dapat
pula ditemukan di wajah dan tubuh, dapat berupa lesi petekie dan ekimotik,
dapat disertai rasa gatal (pruritic rash). Erupsi kulit akan berlangsung selama 3
minggu. Adanya kelainan kulit yang persisten sampai 2-3 bulan biasanya
berhubungan dengan nefropati atau penyakit ginjal berat. Bula hemoragik
disertai edema jaringan subkutan merupakan gambaran yang tidak umum pada
PHS dan sering terlewatkan, karena hanya terjadi <2% kasus anak.
 Gejala saluran cerna dialami oleh 35-85% kasus; biasanya timbul sesudah
kelainan kulit (1-4 minggu sesudah onset). Nyeri perut dapat berupa kolik
abdomen di periumbilikal, disertai mual dan muntah (85%). Pada 2-3% kasus
dapat ditemukan intususepsi ileoilial atau ileokolonal. Diare berdarah dapat
menyertai pruritic rash.
 Artralgia dan artritis ditemukan pada 68-75% kasus dan 25% nya merupakan
keluhan penderita saat datang berobat. Timbul mendahului kelainan kulit (1-2
hari); terutama mengenai lutut dan pergelangan kaki, dapat pula mengenai
pergelangan tangan, siku, dan persendian jari tangan. Sendi-sendi bengkak dan
nyeri, bersifat sementara dan tidak menimbulkan deformitas yang menetap.
 Keterlibatan ginjal ditemukan pada 30-50% kasus dan dapat menetap hingga 6
bulan kemudian. Gejala yang muncul adalah hematuria ringan, protenuria,
Program Studi Ilmu Keperawatan A Tahun 2015

oliguria, hingga gagal ginjal Kelainan ginjal ditemukan pada 50% kasus anak
yang lebih besar dan 25 % ditemukan pada anak usia < 2 tahun; < 1 %
berkembang menjadi gagal ginjal. Biasanya terjadi setelah 3 bulan onset penyakit
atau 1 bulan setelah onset ruam kulit. Mungkin ditemukan hematuri dengan
proteinuri derajat ringan sampai berat; dapat terjadi sindrom nefrotik. Risiko
nefritis meningkat pada usia onset di atas 7 tahun, lesi purpura menetap, keluhan
abdomen yang berat dan penurunan faktor XIII. Jarang terjadi oliguri dan
hipertensi.
 Pada 20-50% kasus ditemukan angioedema wajah (kelopak mata, bibir) dan
ekstremitas (punggung tangan dan kaki).
 Kelainan skrotum menyerupai testicular torsion; edema skrotum dapat terjadi
pada awal penyakit (2-35%). Kelainan susunan saraf pusat dan paru-paru jarang
terjadi.

E. Penegakan Diagnosis
Kriteria American College of Rheumatology 1990 (Yuly, 2012) yaitu bila memenuhi
minimal 2 dari 4 gejala:
1. Palpable purpura nontrombositopenia
2. Onset gejala pertama < 20 tahun
3. Bowel angina
4. Pada biopsi ditemukan granulosit pada dinding arteriol atau venula

Kriteria European League Against Rheumatism (EULAR) 2006 dan Pediatric


Rheumatology Society (PreS) 2006:
1. Palpable purpura harus ada
2. Diikuti minimal satu gejala berikut: nyeri perut difus, deposisi IgA yang
predominan (pada biopsi kulit)
3. Artritis akut dan,
4. Kelainan ginjal (hematuria dan atau proteinuria)
Program Studi Ilmu Keperawatan A Tahun 2015

Tambahan untuk penegakan diagnosis dari SMF Anak RSUP Sanglah, dari keempat
gejala di atas juga tidak ditemukan adanya kelainan hematologi.

F. Komplikasi
1. Komplikasi Gastrointestinal
Komplikasi PHS pada saluran gastrointestinal bervariasi 3,9% - 22,4%.
Intususepsi merupakan komplikasi yang paling sering memerlukan pembedahan,
terjadi pada 0,7–13,6% pasien. Komplikasi tersebut jarang terjadi pada anak usia
kurang dari 3 tahun dan dewasa. Gejala klinis menunjukkan obstruksi intestinal,
kadang-kadang teraba masa abdomen. Lokasi terjadinya insusepsi adalah pada ileo-
ileal (51%), ileo-kolon (39%), dan jarang pada jejunojenunal (7%). Predominasi
keterlibatan usus halus pada PHS disebabkan proses patologis perdarahan
intramural dan edema pada daerah usus, sedangkan pada intususepsi idiopatik
terjadi pada 80%–90% d ileokolon. Hal tersebut disebabkan karena hyperplasia
jaringan limfoid pada ileum distal terjadi pada anak usia <2 tahun, oleh karena itu
penemuan intususepsi pada anak usia lebih dari 2 tahun patut mencurigai PHS
sebagai etiologinya. Perforasi pada umumnya terjadi di daerah ileum disertai
dengan intususepsi terutama pemberian steroid, dan terjadi pada minggu kedua
pengobatan. Salah satu kelompok peneliti mengemukakan bahwa pemberian steroid
dapat merupakan predisposisi perforasi dan dapat menghilangkan gejala inflamasi,
terjadi perbaikan klinis sementara sebelum pada pemeriksaan abdomen mengalami
perburukan. Komplikasi PHS lainnya pada saluran cerna meliputi obstruksi dan
pembentukan striktur pada duodenum dan ileum, manifestasi lambat yang
kemungkinan disebabkan oleh iskemik. Selain itu dijumpai pula gejala protein
loosing enteropathy, cholecystisis acalculous acute yang ditandai penebalan dinding
kandung empedu, hidrops kandung empedu.
Sembilan persen PHS juga dapat menunjukkan gejala nyeri pada kuadran
atas kanan, hepatomegali, mual yang berhubungan dengan peningkatan enzim hati,
ileitis terminalis, pembengkakan skrotum bilateral akut, hematom pada dinding
abdomen, dan pancreatitis akut. Penemuan-penemuan ini mengalami perbaikan
setelah pemberian kortikosteroid selama 3–7 hari. Pemberian inhibitor sekresi
Program Studi Ilmu Keperawatan A Tahun 2015

asam lambung juga bermanfaat pada keterlibatan saluran cerna. Pemberian


kortikosteroid sedari awal direkomendasikan untuk mencegah untuk komplikasi
gastrointestinal walaupun telah diberikan steroid, risiko komplikasi pada saluran
cerna masih tetap ada.

2. Komplikasi Renal
Manifestasi renal berupa nefritis purpura Henoch- Schonlein (NPHS) pada
umumnya terjadi 1–3 bulan pertama setelah timbul ruam. Jauhola dkk.menemukan
bahwa nefritis dapat terjadi lebih awal (rerata 14 hari). Sebuah tinjauan sistematik
terhadap 1.133 kasus PHS menerangkan manifestasi klinis NPHS terjadi pada 34%
kasus (rentang 15–62%). Gejala hematuria dan atau proteinuria ditemukan pada
79% kasus dan 21% menderita sindrom nefrotik atau nefritik. Proteinuria masif
saat onset merupakan penanda penyakit yang progresif. Hasil penelitian Garcia
dkk17 menemukan 14% subjek menderita hipertensi. Fungsi ginjal pada sebagian
besar anak NPHS masih dalam batas normal. Manifestasi gagal ginjal terminal (GGT)
dapat terjadi pada 0–3%penderita NPHS (Setiabudiawan dkk, 2011).

G. Diagnosis Banding
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC); endokarditis; pankreatitis;
meningitis dan ensefalitis pada anak; torsi testis; purpura trombositopenik (ITP-
Idiopatik Trombositopenia Purpura).

H. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis Purpura Henoch-Schö nlein berdasarkan gejala klinis, tidak ada
pemeriksaan laboratorium yang spesifik.
 Pemeriksaan darah tepi lengkap dapat menunjukkan leukositosis dengan
eosinofilia dan pergeseran hitung jenis ke kiri; Trombositosis dijumpai pada
67% pasien atau jumlah trombosit normal/ cenderung meningkat, hal ini
yang membedakan HSP dengan ITP (Idiopathic Thrombocytopenic Purpura).
Laju endap darah dapat meningkat.
Program Studi Ilmu Keperawatan A Tahun 2015

 Kadar ureum dan kreatinin dapat meningkat, menunjukkan kelainan fungsi


ginjal atau dehidrasi. Pada 10-20% penderita ditemukan hematuria atau
proteinuria.
 Pemeriksaan Doppler atau radionuclide testicular scan menunjukkan aliran
darah normal atau meningkat, hal ini yang membedakan HSP dengan torsi
testis.
 Pada biopsi lesi kulit ditemukan vaskulitis leukositoklastik.
 Imunofluoresensi menunjukkan adanya deposit IgA dan komplemen di
dinding pembuluh darah.
 Disamping itu, seharusnya mengingat keluhan nyeri perut sebagai
manifestasi kelainan gastrointestinal, banyak penulis yang berpendapat
bahwa ultrasonografi (USG) merupakan pemeriksaan abdomen awal dan
dapat mendeteksi komplikasi yang memerlukan tindakan bedah.
Ultrasonografi dapat mendeteksi penebalan dinding usus yang asimetris,
pelebaran, hipomotilitas, sama halnya dengan adanya koleksi cairan
intraabdomen dan intususepsi.
 Evolusi gejala penyakit juga dapat diikuti secara noninvasif, sedangkan
pemeriksaan endoskopi ditandai dengan lesi mukosa yang dapat terjadi di
manapun sepanjang saluran cerna. Mukosa berwarna kemerahan, petekia
yang berbentuk seperti cincin, dan erosi perdarahan diindikasikan pada
kasus hematemesis, melena, dan nyeri epigastrium. Laporan beberapa
peneliti dari Taiwan memperlihatkan lesi mukosa terlihat pada 6 dari 9
kasus gastrointestinal. Penemuan yang paling sering adalah duodenitis
erosive haemorrhagic. Gambaran tersebut dianggap sebagai gambaran tipikal
PHS walaupun bukan tanda patognomonik, sedangkan peneliti lain
menemukan gastritis erosive haemorrhagic dengan bercak eritem pada 20%
kasus.
 Biopsi usus merupakan teknik diagnostic yang dapat dipercaya, pengambilan
spesimen dari lesi awal yang paling menunjukkan gambaran positif adalah
leucocylastik vasculitis (LCV). Biopsi usus 64% menunjukkan deposit IgA
pada 64% kasus PHS apabila dibandingkan dengan 10% penyakit
Program Studi Ilmu Keperawatan A Tahun 2015

gastrointestinal lainnya. Komplemen C3 juga ditemukan pada dinding


pembuluh darah. Vaskulitis dapat juga ditemukan pada pembuluh darah
submukosa usus, walaupun biopsy pada daerah ini meningkatkan
kemungkinan terjadinya perforasi. Penemuan pada biopsi superfisial
bervariasi mulai dari peradangan nonspesifik inflamasi, edema, perdarahan,
dan pelebaran pembuluh darah yang umumnya disebabkan vaskulitis yang
menginduksi iskemia mukosa (Setiabudiawan dkk, 2011).
 Pemeriksaan histopatologi merupakan pemeriksaan penting karena
dihubungkan dengan terapi. Indikasi pemeriksaan histopatologi pada kasus
adalah, (1) hematuria, hipertensi, oligouria, dan gagal ginjal, (2) sindrom
nefrotik yang menetap (>15 hari), dan (3) proteinuria persisten.

I. Tata Laksana
Pada dasarnya tidak ada pengobatan spesifik untuk HSP. Untuk mengurangi
nyeri dapat diberikan golongan NSAIDs seperti ibuprofen atau parasetamol 10
mg/kgBB. Jika terjadi edema dilakukan elevasi tungkai. Beri diet lunak selama
terdapat keluhan perut seperti muntah dan nyeri perut. Pertimbangkan pemberian
kortikosteroid pada kondisi sangat berat seperti sindrom nefrotik menetap, edema
berat, perdarahan saluran cerna, nyeri abdomen berat, keterlibatan susunan saraf
pusat dan paru, badan kresen pada >50% glomerulus. Lama pemberian berbeda-
beda, Faedda menggunakan metilprednisolon 250-750 mg/hari/iv selama 3-7 hari
dikombinasikan dengan siklofosfamid 100-200 mg/hari untuk fase akut HSP yang
berat; dilanjutkan dengan prednison oral 100-200 mg selang sehari dan
siklofosfamid 100-200 mg/hari selama 30-75 hari sebelum siklofosfamid dihentikan
langsung dan tapering off steroid hingga 6 bulan. Penderita dengan nyeri perut
hebat, perdarahan saluran cerna atau penurunan fungsi ginjal, memerlukan
perawatan di rumah sakit.
Tata laksana umum PHS bersifat suportif karena sekitar 94% penderita
dapat mengalami perbaikan spontan, perhatian utama ditujukan untuk hidrasi yang
adekuat, keseimbangan elektrolit, status nutrisi, dan mengurangi rasa nyeri. Tata
laksana yang bersifat khusus di antaranya adalah pada PHS dengan manifestasi
Program Studi Ilmu Keperawatan A Tahun 2015

ginjal dan gastrointestinal bertujuan untuk mengurangi proteinuria, progresivitas


kerusakan ginjal dan mengurangi gejala. Walaupun sampai sekarang tidak terdapat
consensus mengenai indikasi penggunaan kortikosteroid pada PHS, banyak
pengalaman yang belum dibuktikan menyatakan bahwa nyeri perut merupakan
alasan paling sering kortikosteroid diberikan. Efikasi kortikosteroid untuk
mencegah komplikasi berat atau relaps masih bersifat kontroversial.

J. Prognosis
Prognosis baik pada sebagian besar kasus, sembuh pada 94% kasus anak-
anak dan 89% kasus dewasa (beberapa kasus memerlukan terapi tambahan).
Rekurensi dapat terjadi pada 10-20% kasus, umumnya pada anak yang lebih besar
dan dewasa; < 5% penderita berkembang menjadi HSP kronis. Keluhan nyeri perut
pada sebagian besar penderita biasanya sembuh spontan dalam 72 jam.
Prognosis buruk berdasarkan kriteria PHS terjadi pada usia lebih dari 8
tahun, relaps sering, kadar kreatinin yang tinggi pada saat onset, proteinuria >1
gram/hari, hematuria dan anemia saat didiagnosis, hipertensi, glomerulonefritis
membranoproliferatif, demam, purpura di atas pinggang, purpura yang menetap,
peningkatan LED, peningkatan IgA dengan IgM yang berkurang pada saat diagnosis,
dan kadar faktor XIII rendah. Namun selama ini, prognosis umumnya baik tetapi bila
manifestasi awalnya berupa kelainan ginjal yang berat maka perlu dilakukan
pemantauan fungsi ginjal setiap 6 bulan hingga 2 tahun pascasakit. Kekambuhan
terjadi dalam 6 minggu-7 tahun sesudah penyakit inisial. Oleh karena itu, pasien
dianjurkan untuk follow up rutin.

K. Pathway
(terlampir)
Program Studi Ilmu Keperawatan A Tahun 2015

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN
a. Kebutuhan dasar:
Pengkajian yang bisa dilakukan pada pasien dengan Henoch-Schonlein Purpura
dengan klasifikasi Doengoes (2000) adalah:
1) AKTIVITAS/ISTIRAHAT
Gejala:
Klien mengeluh nyeri kepala, nyeru sendi, nyeri abdomen, kelelahan,
kelemahan atau malaise umum. Kehilangan produktifitas dan penurunan
toleransi latihan.
Tanda:
- Adanya edema tungkai, penurunan kekuatan, jalan lamban dan tanda lain
yang menunjukkan kelelahan.
- Artralgia dan arthritis terutama mengenai lutut dan pergelangan kaki,
dapat pula mengenai pergelangan tangan, siku, dan persendian jari
tangan. Sendi-sendi bengkak dan nyeri, bersifat sementara
- Klien tampak meringis, memegangi area nyeri (abdomen
periumbilikus/epigastrik).

2) SIRKULASI
Gejala:
- Kelainan kulit dapat dapat disertai rasa gatal (pruritic rash).
Tanda:
- berupa macular rash simetris terutama di kulit yang sering terkena
tekanan yaitu bagian belakang kaki, bokong, dan lengan sisi ulna. Dalam
24 jam makula berubah menjadi lesi purpura, mula-mula berwarna
merah, lambat laun berubah menjadi ungu, kemudian coklat kekuning-
kuningan lalu menghilang; dapat timbul kembali kelainan kulit baru.
Program Studi Ilmu Keperawatan A Tahun 2015

3) ELIMINASI
Gejala:
- Nyeri perut dapat berupa kolik abdomen di periumbilikal, disertai mual
dan muntah
Tanda:
- Perubahan karakteristik urine dan atau feses. Riwayat Obstruksi usus,
contoh intususepsi
- Perubahan karakteristik urin yang muncul adalah hematuria ringan,
protenuria, oliguria, hingga gagal ginjal (peningkatan ureum kreatinin).
- Adanya darah dalam feses.

4) MAKANAN/CAIRAN
Gejala:
- Pada awal gejala/prodromal terdapat anoreksia/kehilangan nafsu makan
dan rasa mual
Tanda:
- dapat ditemukan angioedema wajah (kelopak mata, bibir) dan
ekstremitas (punggung tangan dan kaki).
- edema ekstremitas bawah.

5) NYERI/KENYAMANAN
Gejala:
- Klien dapat mengeluh gatal pada area petekie/purpura
- Klien dapat mengeluh nyeri abdomen
- Klien dapat mengeluh nyeri kepala
Tanda:
- Klien tampak memegangi area yang sakit
- Terdapat peningkatan nadi, nafas
- Klien tampak meringis
- Klien tampak menggaruk kulit
Program Studi Ilmu Keperawatan A Tahun 2015

6) PERNAPASAN
Gejala:
- klien dapat mengeluh sesak
Tanda:
- Berisiko adanya asidosis metabolic sehingga dikompensasi dengan
alkalosis respiratorik
- Dapat terjadi perubahan hasil AGD
- Dapat terjadi hiperkapnea
- Dapat terjadi penggunaan otot bantu nafas, retraksi dada, pernafasan
cuping hidung.
-
7) KEAMANAN
Gejala: -
Tanda:
- berisiko infeksi
- berisiko jatuh akibat kelemahan

8) SEKSUALITAS
Tanda:
- Adanya edema pada testis/torsio testis

2. ANALISIS DATA
Data Subjektif:
Program Studi Ilmu Keperawatan A Tahun 2015

- klien mengeluh penurunan nafsu makan,


- klien mengatakan adanya rasa haus,
- klien mengeluh nyeri pada sendi dan nyeri kepala,
- klien mengeluh mual dan muntah,
- klien mengeluh kemerahan (petekie/purpura/bula) di kulit,
- klien mengatakan badannya terasa panas atau demam,
- klien dan keluarga bertanya-tanya tentang penyakit,
- keluarga mengatakan tidak tahu penanganan dan pencegahan HSP

Data Objektif:
- membran mukosa kering,
- penurunan turgor kulit,
- produksi urine menurun/hematuria/oliguria
- HR > 100 x/menit,
- TD < 120/80 mmHg,
- suhu > 37,50 C, ,
- tubuh klien teraba hangat,
- penurunan BB ≥ 20 % ,
- penurunan kadar albumin serum (< 3,5 gr/dl),
- klien tampak kurus,
- klien tampak lemah,
- klien tidak menghabiskan 1 porsi makanannya,
- kekuatan otot klien menurun.
Program Studi Ilmu Keperawatan A Tahun 2015

3. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pengendapan antigen antibodi di
pembuluh darah ditandai dengan munculnya petekie, kemerahan, purpura pada
kulit.
2) Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan vaskulitis pembuluh darah ditandai
dengan penurunan haluaran urin, peningkatan serum kreatinin

3) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan hipermetabolisme dan


peningkatan permeabilitas kapiler ditandai dengan membran mukosa kering, HCT
meningkat (> 45%), penurunan turgor kulit, produksi urine menurun, HR > 100
x/menit, TD < 120/80 mmHg, suhu > 37,50 C, adanya rasa haus
4) Hipertermia berhubungan dengan peningkatan metabolisme tubuh ditandai dengan
suhu tubuh meningkat > 37,5oC, nadi di atas batas normal (Normal: 60-100 x/mnt),
RR di atas batas normal (Normal 16-20 x/mnt), tubuh klien teraba hangat.
5) PK. Perdarahan
6) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis ditandai dengan klien tampak
meringis dan memegangi bagian tubuh yang sakit, agitasi, gangguan pola tidur, skala
nyeri 1 – 10, peningkatan nadi dan RR (Nadi > 100 x/mnt dan RR > 20 x/mnt).
7) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
factor biologis gangguan system gastrointestinal ditandai dengan penurunan BB ≥
20 % , penurunan kadar albumin serum (< 3,5 gr/dl), klien tampak kurus, klien
mengeluh mual, klien tampak lemah, klien tidak menghabiskan 1 porsi makanannya,
kekuatan otot klien menurun.
8) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya paparan informasi mengenai
HSP ditandai dengan klien dan keluarga bertanya-tanya tentang penyakit, keluarga
mengatakan tidak tahu penanganan dan pencegahan HSP.
Program Studi Ilmu Keperawatan A Tahun 2015

4. RENCANA KEPERAWATAN

a. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pengendapan antigen antibodi di


pembuluh darah ditandai dengan munculnya petekie, kemerahan, purpura pada kulit.

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x24 jam, kerusakan integritas kulit
dapat teratasi dengan kriteria hasil:

NOC : Tissue integrity: Skin & Mucous Membranes

- Tidak terdapat lesi pada kulit (4-mild)


- Tidak terdapat kemerahan/petekie (4-mild)
- Kelembapan dan elastisitas kulit normal (5-not compromised)
- Integritas kulit utuh (5-not compromised)

Intervensi

NIC: Skin Surveillance

1) Inspeksi kondisi kulit (perubahan warna, turgor, adanya edema, dan


vaskularisasi)
Rasional: Mengetahui kerusakan/gangguan integritas pada kulit
2) Monitor area kulit yang mengalami kemerahan
Rasional:Mengevaluasi adanya kerusakan integritas kulit
3) Monitor adanya infeksi
Rasional:Mencegah adanya infeksi sekunder
4) Monitor warna kulit dan suhu kulit
Rasional:Mengetahui adaya kelainan pada kulit
5) Catat dan evaluasi perkembangan integritas kulit
Rasional:Mengetahui progress terapi
6) Ajarkan klien untuk mencegah menggaruk dengan kuku
Rasional:Mencegah adanya iritasi pada kulit yang dapat menyebabkan infeksi
7) Instruksikan keluarga untuk melaporkan kepada perawat apabila terdapat
tanda kerusakan integritas kulit (adanya lesi, luka, rash)
Program Studi Ilmu Keperawatan A Tahun 2015

Rasional:Agar dapat segera diberikan medikasi untuk mencegah infeksi

b. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan vaskulitis pembuluh darah ditandai


dengan penurunan haluaran urin, peningkatan serum kreatinin

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama … x 24 jam, eleminasi urin klien


normal dengan kriteria hasil:

NOC Label: Urinary Elemination


- Pola eleminasi klien teratur (skala 5)
- Jumlah urin dalam rentang normal; 1-2 ml/kgBB/hari ( skala 5)
- Tidak nyeri saat berkemih (skala 5)
- Tidak mengalami nokturia ( skala 5)
- Tidak mengalami hematuria

NOC Label: Kidney Function

- Blood Urea Nitrogen dalam rentang normal (15-40 mg/dl)( skala 5)


- Serum Kreatinin dalam rentang normal (0,5-1,5 mg/dl)( skala 5)
Program Studi Ilmu Keperawatan A Tahun 2015

Intervensi

NIC Label: Urinary elimination management

1. Monitor eleminasi urin termasuk frequensi, konsistensi, odor, volume, dan warna jika
diperlukan
2. Monitor tanda dan gejala dari retensi urinari
3. Identifikasi factor kontribusi yang menyebabkan episode retensi urin/penurunan
haluaran urin
4. Catat waktu kehilangan eleminasi urin jika diperlukan
5. Instruksikan klien dan keluarga mencatat urinary output jika diperlukan
6. Catat waktu berkemih

NIC : Fluid Management

7. Pantau input dan output yang sesuai


8. Pantau status hidrasi klien
9. Pantau tanda-tanda vital
10. Pantau makanan / cairan yang masuk dan menghitung asupan kalori harian
yang sesuai

NIC: Fluid Monitoring

11. Kaji history dari cairan yang dibutuhkan dan elimination habits
12. Monitor serum dan urine elektrolit jika dibutuhkan
13. Monitor serum dan level osmolalitas urine
14. Monitor warna, kualitas, dan specific gravity urine
Program Studi Ilmu Keperawatan A Tahun 2015

b. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan hipermetabolisme dan


peningkatan permeabilitas kapiler ditandai dengan membran mukosa kering,
penurunan turgor kulit, produksi urine menurun, HR > 100 x/menit, TD < 120/80
mmHg, suhu > 37,50 C, adanya rasa haus

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan intake cairan


klien terpenuhi dengan criteria hasil:
Fluid Balance
- Intake dan output 24 jam seimbang (5 = not compromised)
- Turgor kulit elastis (5 = not compromised)
- Membran mukosa lembab (5 = not compromised)
- RR 16-20 x/menit (5 = not compromised)
- TD 110-130/80-90 mm Hg (5 = not compromised)
- HCT 40-45% (5 = not compromised)

Intervensi
Fluid Management
1) Lakukan pemantauan intake dan output 24 jam
Rasional: pemantauan intake dan output diperlukan untuk menilai keseimbangan
cairan klien
2) Pantau status hidrasi, meliputi membrane mukosa, turgor kulit, kelemahan
Rasional: pemantauan turgor kulit dan membrane mukosa diperlukan untuk
menilai keseimbangan cairan klien. Turgor kulit menurun, kelemahan, membrane
mukosa kering merupakan tanda-tanda dehidrasi.
3) Pantau tanda-tanda vital klien
Rasional: pemantauan nadi, suhu, dan tekanan darah dapat menunjukkan status
hidrasi klien
Program Studi Ilmu Keperawatan A Tahun 2015

4) Anjurkan klien untuk meningkatkan intake cairan per oral


Rasional: meningkatkan intake cairan per oral diperlukan dalam memenuhi
asupan cairan klien
5) Berikan cairan intra vena sesuai indikasi
Rasional: pemberian terapi cairan intravena diperlukan untuk mengganti
kehilangan cairan dan mempertahankan intake cairan yang adekuat
6) Pantau hasil pemeriksaan laboratorium untuk melihat nilai hematokrit darah
Rasional: peningkatan nilai hematokrit menunjukkan adanya hemokonsentrasi
akibat kekurangan volume cairan.

c. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan metabolisme tubuh ditandai


dengan suhu tubuh meningkat > 37,5oC, nadi di atas batas normal (Normal: 60-
100 x/mnt), RR di atas batas normal (Normal 16-20 x/mnt), tubuh klien teraba
hangat
Thermoregulation
 Tidak terjadi peningkatan suhu tubuh > 37,5 0 C ( 5 = None )
 Tidak terjadi perubahan warna kulit ( memerah ), ( 5 = None )
 Nadi tidak teraba lemah ( 5 = None )
Intervensi :
Fever Treatment
1. Pantau temperatur, perubahan warna kulit secara teratur.
Rasional : mengetahui tingkat perubahan suhu tubuh klien secara teratur.
2. Pantau hasil laboratorium seperti WBC, hemoglobin, hematokrit.
Rasional : memantau penyebab hipertermi karena infeksi dan beratnya infeksi.
3. Pantau intake output cairan yang masuk ke tubuh.
Rasional : memantau seberapa banyak cairan yang hilang akibat peningkatan
suhu.
4. Menganjurkan klien untuk meningkatkan hidrasi cairan peroral.
Rasional : peningkatan hidrasi cairan peroral dapat membantu untuk
menurunkan suhu tubuh/hipertermi.
Program Studi Ilmu Keperawatan A Tahun 2015

5. Lakukan pemberian kompres hangat pada klien, yang difokuskan pada kompres
dahi, lipatan paha, lipatan ketiak serta pada tempat – tempat yang terdapat
pembuluh darah yang besar.
Rasional : kompres hangat dapat meningkatkan vasodilatasi pembuluh darah ,
yang mana mampu memperlancar aliran darah sehingga mampu menurukan
suhu tubuh..
6. Kolaborasi pemberian obat – obatan antipiretik, seperti paracetamol.
Rasional : obat – obatan antipiretik mampu membantu menurunkan suhu tubuh
dengan mempengaruhi hipotalamus dengan berbagai mekanisme kerjanya.

d. PK Perdarahan

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam, perawat dapat


meminimalkan perdarahan dan mencegah komplikasi perdarahan dengan kriteria
hasil:
- TTV dalam batas normal (Suhu : 36,5 – 37,5o C, Nadi: 60-100 x/mnt; RR: 16-20
x/mnt; TD: 120/80 mmHg).
- Nilai Hct dan Hb dalam batas normal (HCT = 40 – 45%; Hb =13-14 gr %)
- Klien tidak mengalami episode perdarahan berulang
Intervensi
1) Awasi adanya tanda – tanda perdarahan seperti ptekie, epistaksis, hematuria,
atau melena.
Rasional : Agar dapat memberikan intervensi yang tepat dan mencegah
komplikasi perdarahan.
2) Lakukan pemantauan terhadap tekanan darah, nadi, dan kesadaran penderita.
Rasional : Tekanan darah, nadi, dan kesadaran bisa menurun akibat terjadi
perdarahan.
3) Pantau hasil lab berhubungan dengan perdarahan seperti HB, HCT, RBC.
Rasional : Mengetahui komponen-komponen darah yang mengalami kelainan,
sehingga dapat diketahui penyebab terjadinya perdarahan.
Program Studi Ilmu Keperawatan A Tahun 2015

4) Kolaborasi dalam pemberian obat-obatan hemostatik seperti vitamin K, 4 x 10


mg/hari.
Rasional : Berguna untuk menanggulangi perdarahan.
5) Kolaborasi dalam pemberian transfusi darah diperlukan.
Rasional : Tranfusi darah diindikasikan bila perdarahan yang terjadi perdarahan
hebat dan menurunkan Hb hingga 8 gr/ dl atau kurang dari itu, untuk mengganti
darah yang hilang dan mempertahankan kadar hemoglobin dalam harga normal.

e. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis ditandai dengan klien
tampak meringis dan memegangi bagian tubuh yang sakit, agitasi, gangguan pola
tidur, skala nyeri 1 – 10, peningkatan nadi dan RR (Nadi > 100 x/mnt dan RR > 20
x/mnt).

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan nyeri


berkurang atau terkontrol, dengan kriteria hasil:
a. Discomfort level (level ketidaknyamanan):
 Klien tidak mengeluh nyeri ( 5 = None )
 Klien tidak merintih kesakitan ( 5 = None )
 Klien tidak gelisah ( 5 = None )
 Wajah klien tampak relaks ( 5 = None )
b. Pain level (level nyeri):
 Klien tidak melaporkan adanya nyeri ( 5 = None )
 Klien tidak merintih ataupun menangis ( 5 = None )
 Klien tidak menunjukkan ekspresi wajah terhadap nyeri ( 5 = None )
 Klien tidak tampak berkeringat dingin ( 5 = None )
 Klien tidak mengalami ketegangan otot ( 5 = None )
 RR dalam batas normal (16-20 kali/menit) ( 5 = Not compromised )
 Nadi dalam batas normal (60-100 kali/menit) ( 5 = Not compromised)
 Tekanan darah dalam batas normal (110-120/80-90 mmHg) ( 5 = Not
compromised)
Program Studi Ilmu Keperawatan A Tahun 2015

c. Pain control (kontrol nyeri):


 Klien dapat mengenali onset nyeri (5 = consistenly demonstrated)
 Klien dapat mendeskripsikan faktor-faktor penyebab nyeri (5 = consistenly
demonstrated)
 Klien dapat mengontrol nyerinya dengan menggunakan teknik manajemen
nyeri non farmakologis (5 = consistenly demonstrated)
 Klien menggunakan analgesik sesuai rekomendasi (5 = consistenly
demonstrated)
 Klien melaporkan nyeri terkontrol (5 = consistenly demonstrated)

Intervensi :
Manajemen nyeri
1) Kaji tanda – tanda nyeri/ lakukan pemeriksaan komprehensip terhadap
nyeri yang pasien rasakan, meliputi : lokasi, karakteristik, onset/lamanya,
frequensi, kualitas, intensitas atau beratnya nyeri dan faktor penyebabnya
Rasional: menentukan intervensi selanjutnya
2) Observasi rasa tidak nyaman pasien secara non verbal
Rasional: dengan mengetahui rasa tidak nyaman klien secara non verbal
maka dapat mengetahui perkembangan nyeri yang dirasakan klien
3) Kaji tanda – tanda vital pasien
Rasional: peningakatan tekanan darah dan denyut nadu menandakan
peningkatan rasa nyeri yang dirasakan
4) Kaji pengalaman masa lalu pasien terhadap nyeri
Rasional : dengan mengetahui pengalaman masa lalu klien terhadap nyeri,
perawat dapat mengetahui mekanisme klien dalam mengurangi nyeri
sehingga dapat digunakan lagi oleh klien dan dapat membantu mengurangi
nyeri yang dialami oleh klien.
5) Kaji pengetahuan pasien tentang nyeri yang dirasakannya
Rasional: memestikan bahwa nyri yang dirasakan klien memeng betul
berasal dari fraktur yang dialamu klien
Program Studi Ilmu Keperawatan A Tahun 2015

6) Lakukan pengkajian dengan pasien hal – hal yang memperberat timbulnya


nyeri
Rasional: mengimbau klien agar menghindari factor pemberat nyeri
7) Lakukan pengendalian lingkungan, agar tetap tenang ( mis: pengaturan
pencahayaan, ruangan, suhu dan kebisingan)
Rasional: lingkungan yang nyaman dan tenang membantu mengurangi nyeri
yang dirasakan klien
8) Bersama pasien kurangi faktor – faktor penyebab nyeri atau yang
meningkatkan rasa nyeri (mis : mobilisasi)
Rasional: memberikan penjelasan pada klien bahwa mobilisasi sekecil
apapun akan menghambat proses penyembuhannya
9) Ajarkan prinsip – prinsip penanganan nyeri secara non famakologis, ( mis :
teknik terapi musik, distraksi, guided imagery, masase dll) yang dilakukan
sebelum, sesudah, selama timbulnya nyeri, sebelum kualitas nyeri semakin
meningkat dan jika mungkin dilakukan
Rasional: memberikan pengalihan saat klien merasakan nyeri sehingga klien
mampu beradapatasi dengan nyerinya

f. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


factor biologis gangguan system gastrointestinal ditandai dengan penurunan BB ≥
20 % , penurunan kadar albumin serum (< 3,5 gr/dl), klien tampak kurus, klien
mengeluh mual, klien tampak lemah, klien tidak menghabiskan 1 porsi
makanannya, klien mengeluh nyeri abdomen ketika memasukan makanan (bowel
angina).

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan nutrisi klien


adekuat dengan kriteria hasil:
Nutritional status
- Intake makanan adekuat ( skala 5 = not compromised)
- HCT normal 40-45% (skala 5 = no deviation from normal range)
- Tonus otot normal ( skala 5 = not compromised)
Program Studi Ilmu Keperawatan A Tahun 2015

Biochemical status
- Albumin meningkat atau normal (3,5-5 gr/dL) (skala 5 = no deviation from
normal range)
Nausea & Vomiting Severity
- Klien tidak mengalami mual (skala 5 = none)
- Klien mengatakan tidak muntah (skala 5 = none)
- Tidak terdapat eskresi saliva yang berlebih (skala 5 = none)

Intervensi
NIC Nutrition monitoring
1) Pantau adanya mual, muntah dan kelemahan pada klien
Rasional: adanya mual, muntah dapat menyebabkan klien anoreksia dan
kelemahan merupakan akibat yang terjadi akibat nutrisi tidak adekuat
2) Pantau turgor kulit klien
Rasional: perubahan turgor kulit merupakan tanda bahwa terjadi kekurangan
nutrisi
3) Pantau hasil pemeriksaan kadar albumin, HCT
Rasional: merupakan tanda biochemical kekurangan nutrisi, normalnya albumin
3,5-5 gr/dL
NIC Nutrition Therapy
4) Pantau status nutrisi klien
Rasional: pengkajian status nutrisi meliputi Indeks massa tubuh dan BB
5) Pantau intake makanan dan minum klien
Rasional: intake makan dan minum perlu dipantau tiap hari untuk memastikan
asupan nutrisi adekuat
6) Kaji makanan yang disukai klien, kaji adanya alergi terhadap makanan
Rasional: mengkaji makanan yang disukai perlu dalam upaya membantu klien
meningkatkan nafsu makan, asalkan tidak bertentangan dengan diet klien.
7) Anjurkan klien untuk tidur dan istirahat yang adekuat
Rasional : Mengurangi respon mual/nausea pada klien.
Program Studi Ilmu Keperawatan A Tahun 2015

5. EVALUASI

1. Intake dan output 24 jam seimbang, turgor kulit elastic, membran mukosa lembab,
RR 16-20 x/menit, TD 110-130/80-90 mm Hg, HCT 40-45%
2. Tidak terjadi peningkatan suhu tubuh > 37,5 0 C, tidak terjadi perubahan warna kulit
( memerah), nadi tidak teraba lemah
3. TTV dalam batas normal (Suhu : 36,5 – 37,5o C, nadi: 60-100 x/mnt; RR: 16-20
x/mnt; TD: 120/80 mmHg), nilai Hct dan Hb dalam batas normal (HCT = 40 – 45%;
Hb =13-14 gr %), klien tidak mengalami episode perdarahan berulang (petekie,
purpura)
4. Klien tidak mengeluh nyeri, klien tidak merintih kesakitan, klien tidak gelisah, wajah
klien tampak relaks, klien\ tidak tampak berkeringat dingin, RR dalam batas normal
(16-20 kali/menit), nadi dalam batas normal (60-100 kali/menit), Tekanan darah
dalam batas normal (110-120/80-90 mmHg), klien dapat mengenali onset nyeri,
Klien dapat mendeskripsikan faktor-faktor penyebab nyeri, klien dapat mengontrol
nyerinya dengan menggunakan teknik manajemen nyeri non farmakologis, Klien
menggunakan analgesik sesuai rekomendasi, klien melaporkan nyeri terkontrol
5. Intake makanan adekuat, HCT normal 40-45% tonus otot normal , albumin
meningkat atau normal (3,5-5 gr/dL), klien tidak mengalami mual, klien
mengatakan tidak muntah, tidak terdapat eskresi saliva yang berlebih
6. Membran mukosa yang lembab, turgor kulit yang elastic, tekanan darah yang
normal(110-130/80-90 mmHg), output urine dengan volume yang adekuat 0,5 – 1
cc/kg BB/jam, rasa haus yang normal dan tidak berlebihan, denyut nadi dan RR
yang normal (Nadi: 60-100 x/mnt, RR 16-20 x/mnt).

Anda mungkin juga menyukai