Anda di halaman 1dari 33

PRESENTASI KASUS BEDAH ANAK

Judul : Cholestasis Jaundice ec Atresia Bilier type 2B


Oleh : dr. Galih dr. Yodya, dr. Samuel, dr. Dipo, dr.Fitri, dr. Yuvina, dr. Wirda,
dr. Fatmadina, dr. Fatina, dr. Arditia,
Rotasi : Digestif
Pembimbing : Bustanul Arifin, Sp. BA., Subsp.U.A(K)
Hari/Tanggal : Selasa, 18 April 2023

I. Identitas
Nama : Hasbi Al Adzfar
No. Medrek : 0002115967 - 23030844
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Tgl Lahir : 10-12-2022
Usia : 4 bulan
BB : 3,3 kg
Alamat : Bojongloa, Kasomalang, Subang

II. Anamnesa
Pasien bayi Laki-Laki usia 2 bulan dikeluhkan badan dan mata kuning oleh kedua orang tuanya.
Keluhan terlihat sejak anak lahir, awalnya hanya terlihat pada bagian mata kemudian meluas ke
seluruh tubuh dan tampak lebih jelas saat anak berusia 1 minggu. Sejak lahir dikatakan orang tua
BAB anak berwarna pucat dan BAK pekat seperti teh. Keluhan disertai dengan berat badan sulit
naik sejak lahir. Keluhan disertai dengan perut yang nampak membesar sejak 2 minggu terakhir
disertai pusar yang nampak lebih menonjol terutama saat pasien menangis. Keluhan tidak disertai
riwayat demam.
Pasien lahir dari ibu P1A0, cukup bulan, lahir pervaginam ditolong bidan. Saat lahir pasien
langsung menangis, tidak ada riwayat kebiruan dan sesak. Pasien lahir dengan berat badan 2.600
gram. Selama kehamilan ibu rajin control ke bidan setiap bulan dan mengonsumsi vitamin yang
diberikan bidan.
Pada usia 2 minggu karena anak tampak bertambah kuning, orang tua membawa anak ke dokter
spesialis anak, dilakukan pemeriksaan laboratorium, dikatakan kemungkinan kuning berasal dari
kelainan pada saluran empedu dan disarankan untuk berobat ke dokter spesialis bedah anak. Pada
saat itu orang tua masih berunding untuk tindakan yang akan dilakukan selanjutnya.
Pada saat usia 2 bulan karena keluhan tidak membaik dan pasien mengalami sesak nafas, pasien
dibawa ke RSUD Subang, pasien dirawat dan diberikan infus, antibiotik, dilakukan cek
laboratorium dan foto polos dada, dikatakan menderita radang paru-paru dan kelainan di saluran
empedu sehingga dirujuk ke bagian IKA RSHS dan dikonsulkan ke Bedah Anak pada hari
perawatan ke 5.

1
2

III. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan Fisik (23-02-2023)
Kesadaran: Compos Mentis
HR: 130 x/menit
RR: 54 x/menit
T: 36,8°C
SpO2 : 89-90% room air  99% dengan NK 1 lpm
Kepala : Ubun ubun besar datar, air mata ada, konjungtiva tidak anemis, sklera
ikterik +/+, mukosa bibir dan mulut lembab
Thoraks : Bentuk dan gerak dada simetris, retraksi subcostal +/+
Paru : suara napas vesikuler kanan = kiri, ronkhi +/+, tidak ada wheezing,
crackles +/+
Jantung : bunyi jantung regular, tidak ada murmur
Abdomen :
I : cembung, ikterik, darm steifung -, darm contour -, venektasi -
A: bising usus normal
P : lembut, hepar lien tidak teraba
P : timpani
Ekstremitas :
Akral hangat, edema -/-, crt <2 detik

Gambar 1. Foto klinis abdomen, tampak cembung


3

b. Pemeriksaan Laboratorium
4

Pemeriksaan TORCH
Anti Toxoplasma IgG : 0.70 non reaktif
Anti Toxoplasma Igm : 0.06 non reaktif
Anti Rubella IgG : 4.40 negatif
Anti Rubella IgM : 0.10 non reaktif
Anti CMV IgG :128.9 non reaktif
Anti CMV IgM : 2.7 reaktif
5

c. Pemeriksaan Foto polos thorax (18-02-2023)

Gambar 2. Foto polos thorax


Kesan : Bronkopneumonia bilateral.Tidak tampak kardiomegali.

d. Pemeriksaan USG Hepatobilier (22-02-2023)


6
7

Gambar 3. Ultrasound Hepatobilier 2 fase


Kesan : Hepar Ukuran tidak membesar, pada pemeriksaan Color Doppler tidak
didapatkan hepatic subcapsular flow. Tidak tampak adanya triangular cord sign. Nilai
contractility index kandung empedu 74.3%.

d. Pemeriksaan Sidik Sistem Hepatobilier (01-03-2023)

Gambar 4. Foto Sidik Sistem Hepatobilier


Kesimpulan : Gambaran demikian sugestif untuk suatu atresia bilier

e. Riwayat Operasi
Operasi pertama pada tanggal 17 Maret 2023 Telah dilakukan Laparotomi
Intraoperative Cholangiography + Kasai procedure + Liver Core needle biopsy, dengan
operator: dr. Galih (supervisi)

Ditemukan DO Sebagai Berikut :


• Cairan peritoneum jernih
• Ditemukan hepar berwarna gelap permukaan tidak rata  dilakukan biopsy hepar
• Ditemukan gallbladder 3x1x0,5cm  dilakukan aspirasi  ditemukan white bile
• Dilakukan intraoperative cholangiography  kontras tidak mengisi common bile duct
• Ditemukan common bile duct
• Dilakukan Roux en Y hepaticojejunostomy Panjang gastric limb 20cm distal
ligamentum treizt dan Panjang hepatic limb 40cm
8

Gambar 5. Ditemukan hepar berwarna gelap, tepi tidak rata

Gambar 6. Gallblader Gambar 7. White Bile


9

Gambar 8. Kontras mengisi gallbladder, tetapi tidak mengisi cystic duct

Gambar 9. Vena Porta Gambar 10. Porta Hepatica


10

Gambar 11. Jahitan posterior portoenterostomy

Gambar 12. Anastomosis anterior portoenterostomy. Gambar 13. Anastomosis


Jejunojejunostomy
11

Gambar 14. Test Kebocoran

Gambar 15. Ditemukan gallbladder ukuran 3x1x0,5 cm Gambar 16. Core


Biopsy
12

Gambar 17. Post Operatif

Pada tanggal 24-03-2023, pasien mengalami burst abdomen.

S : Tampak usus dari luka operasi, demam tidak ada, muntah tidak ada, bab ada 2x warna
pucat.
 
O : Kes : Compos mentis
HR: 120x/m, S: 36,7 C, RR: 24x/ menit,
SpO2 : 99% NK 0,5 lpm
Abdomen :
I : datar
A: Bising usus normal
P: lembut
P: tympani
Luka operasi: tampak luka dehisens dengan dasar usus
drain: 20cc/24 jam serous
Uo : 2,4 cc/kgbb/jam

A:
Burst Abdomen pada pasien Post laparotomi + intraoperative cholangiography + kasai
procedure+core needle liver biopsy POD 11 ai atresia bilier tipe 2B

P:
Puasa
IVFD RL 11,25cc/jam
Aminosteril 6% 1,25cc/jam
Inj cefotaxim 3x150 mg iv
Inj paracetamol 3x60 mg iv
inj metronidazole 3x22,5 mg iv
GV/ hari
Rencana primaray suture
13

Gambar 18. Foto klinis pasien saat burst abdomen pertama

Gambar 19. Foto klinis pasien post primary suture

Pada tanggal 28-03-2023 terjadi burst abdomen yang kedua, dan dilakukan repair
burst abdomen pertama

Operasi kedua pada Tanggal 28-03-2023 dilakukan dilakukan Repair Burst Abdomen
dengan operator : dr. Galih
Ditemukan Temuan Intraoperatif :
- Ditemukan wound dehisens pada sisi medial luka operasi sebelumnya dari lapisan
kutis hingga peritoneum dengan bowel eksposure (usus halus)
- Ditemukan dinding luka operasi rapuh
- Ditemukan hepar, permukaan tidak licin berwarna kecoklatan
- Ditemukan adhesi grade 2 di antara loop usus dengan peritoneum  adhesiolisis
- Anastomosis portoenterostomy, jejunojejunostomy  sulit diidentifikasi
14

- Dilakukan debridement luka dan repair dinding abdomen

Gambar 20. Dasar usus

Gambar 21. Post refreshing


15

Gambar 22. Post Operatif

Pada tanggal 04-04-2023 terjadi burst abdomen ketiga dan direncanakan untuak repair burst
abdomen CITO
S : Tampak usus dari luka operasi, demam tidak ada, muntah tidak ada, bab ada 2x warna S :
Luka operasi terbuka dengan dasar usus, demam tidak ada, muntah tidak ada, bab 1x
kekuningan
 
O : Kes : Composmentis
HR: 114x/m, S: 36,7 C, RR: 24x/ menit, SpO2 : 99% room air
Abdomen :
I : datar
A: Bising usus normal
P: lembut
P: tympani
Luka operasi: tampak wound dehiscence, jahitan tidak intak, rembesan +, perdarahan aktif +

Lab 01-04-2023
Hb/Ht/L/Tr: 19.3/57.2/13.260/246.000
Albumin: 4.5
Na/K: 134/4.5
A:
Burst Abdomen pada pasien Post Repair Burst Abdomen POD 9 a.i Burst Abdomen ec
Wound Dehiscence pada pasien Post laparotomi + intraoperative cholangiography + kasai
procedure+core needle liver biopsy POD 20 ai atresia bilier tipe 2B
P:
Puasa- NGT dekompresi
16

IVFD TPN 11.25 cc / Jam


Aminosteril 1,25 cc
Paracetamol 3x60 mg IV
Ceftriaxone 2x150 mg IV
Omeprazole 1x10mg IV
Observasi tanda vital
Rencana repair burst abdomen CITO

Gambar 23. Foto klinis pasien saat terjadi burst abdomen ketiga

f. Diagnosis
Burst Abdomen pada pasien Post Repair Burst Abdomen a.i Burst Abdomen ec Wound
Dehiscence pada pasien Post laparotomi + intraoperative cholangiography + kasai
procedure+core needle liver biopsy ai atresia bilier tipe 2B

g. Manajemen:
-Kebutuhan cairan anak gizi buruk 130cc/kgBB/hari ~ 390ml/hari
-Kebutuhan kalori anak gizi buruk 100 kkal/kgBB/hari ~ 300 kkal/hari terdiri dari F75
30 ml setiap 2 jam PS
-Cefotaxime 150 mg tiap 8 jam IV (H1)
-Paracetamol 30 mg tiap 4-6 jam IV bila S>38’C
-UDCA 3x10 mg PO
-Curcuma 1x ½ cth PO
17

IV. Pembahasan
IV.1. Preoperatif
Pada kasus ini, pasien dengan riwayat lahir cukup bulan dikeluhkan mata dan badan
kuning yang terlihat sejak lahir, memberat pada usia 1 minggu, dan tidak hilang pada usia
lebih dari 2 minggu menandakan adanya hiperbilirubinemia patologis. Hiperbilirubinemia
pada neonatus merupakan masalah yang sering terjadi.1 Kondisi ini dapat kita bedakan
menjadi patologis dan fisiologis. Hiperbilirubinemia dikatakan patologis apabila:1
- kuning terlihat pada usia 24 jam pertama kehidupan
- kadar bilirubin total serum berdasarkan normogram di atas persentil 95
- kadar bilirubin meningkat >0,2 mg/dL/jam atau > 5 mg/dL/hari
- kadar bilirubin tekonjugasi > 1,5-2,0 mg/dL atau >20% dari total bilirubin serum
- jaundis menetap setelah anak berusia 2 minggu pada anak yang lahir cukup bulan.
Bilirubin merupakan hasil akhir dari katabolisme heme yang berasal dari hasil
pemecahan hemoglobin pada sel darah merah di system retikuloendotelial. Bilirubin yang
bersirkulasi di dalam darah sebagian besar terikat pada albumin serum (tidak terkonjugasi)
sebelum dilakukan pengambilan oleh liver untuk di konjugasi. 1,2 Di dalam hepatosel, bilirubin
dikonjugasikan dengan protein intraselular, dirubah menjadi bentuk yang dapat diekskresikan
dan larut air.1,2 Bilirubin yang terkonjugasi kemudian di ekskresi ke dalam urin dan sebagian
besar menjadi asam empedu yang di ekskresikan ke usus. Bilirubin terkonjugasi kemudian
dimetabolisme oleh bakteri di saluran cerna menjadi urobilin/sterkobilin dan diekskresikan di
feses (dan urin). 1,2
Kondisi hiperbilirubinemia dapat dikategorikan menjadi hiperbilirubinemi yang
terkonjugasi dan tidak terkonjugasi. Hiperbilirubinemia yang terkonjugasi hampir seluruhnya
merupakan kondisi yang patologis.1
18

Gambar 21: Normogram klasifikasi risiko kadar serum bilirubin pada bayi baru lahir dengan
usia kehamilan ≥ 36 minggu dengan berat badan ≥ 2.000 gram atau usia kehamilan ≥ 35
minggu dengan berat lahir ≥ 2.500 gram berdasarkan nilai serum bilirubin terhadap jam.
Dikutip dari: Gomella et al1

Hiperbilirubinemia terkonjugasi ditandai dengan adanya buang air besar berwarna


pucat (akolis) dan buang air kecil yang berwarna cokelat pekat. Hal ini sesuai dengan
gambaran klinis pada pasien ini. Kondisi ini berhubungan dengan adanya gangguan pada
ekskresi bilirubin terkonjugasi. Penyebabnya bisa terjadi karena masalah intrahepatal atau
ekstrahepatal.1,3 Dugaan ini diperkuat dengan adanya hasil laboratorium berupa bilirubin total
14,47 mg/dL ( > 5mg/dL) disertai dengan peningkatan kadar bilirubin direk / terkonjugasi
10,0 mg/dL (>20%).
Secara klinis kolestasis didefinisikan sebagai akumulasi dari zat-zat yang diekskresi
ke dalam empedu (antara lain bilirubin, asam empedu dan kolesterol) di dalam darah dan
jaringan tubuh. Secara patologi anatomi, kolestasis adalah terdapatnya timbunan trombus
empedu pada sel hati dan sistem bilier. Kolestasis pada bayi biasanya terjadi pada usia tiga
bulan pertama kehidupan.8
Berdasarkan penyebab yang tersering kolestasis dibedakan atas:9
 Kolestasis ekstrahepatik : atresia bilier, kista duktus koledokus, paucity kandung
empedu, neonatal sclerosing cholang itis, inspissated bile syndrome, batu kandung
empedu, cystic fibrosis, dan Caroli disease
19

 Kolestasis intrahepatic : infeksi virus, gangguan metabolik, kelainan endokrin, bahan


toksik, dan kelainan sistemik Alagille mengemukakan empat kedalam klinis yang
dapat menjadi patokan untuk membedakan kolestasis ekstrahepatik dan intrahepatik.
Moyer menambah satu kriteria lagi yaitu gambaran histopatologi hati.8
Tujuan utama dari evaluasi bayi dengan kolestasis yaitu untuk membedakan kolestasis
intrahepatik dan ekstrahepatik sedini mungkin. Diagnosis dini obstruksi bilier ekstrahepatik
akan meningkatkan keberhasilan terapi. Kolestasis intrahepatik seperti sepsis, galaktosemia,
atau endokrinopati dapat diatasi dengan medikamentosa.7,9
Ikterus pada kolestasis sering disalah diagnosis dengan hiperbilirubinemia yang
disebabkan oleh proses laktasi. Walaupun sekitar 2% dari bayi yang menyusui bisa terjadi
hiperbilirubinemia (indirek: 10-15 mg/dL) tetapi bayi tersebut tampak sehat, aktif dan terjadi
penambahan berat badan. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan apapun selain
ikterus.9,10
Diagnosis kolestasis ditegakkan melalui amannesis yang teliti, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis sering ditemukan penderita ikterus dengan tinja
yang berwarna dempul dan urin yang berwarna gelap seperti air teh.1.3 Ikterus didefinisikan
dengan menguningnya sklera, kulit atau jaringan lain akibat penimbunan bilirubin dalam
tubuh. Ikterus pada bayi yang lebih dari dua minggu dapat normal atau bersifat
patologi.11,13,15,16
Tinja yang berwarna dempul disebabkan oleh adanya obstruksi traktus bilier sehingga
menyebabkan terganggunya aliran empedu yang memasuki usus.9 Urin menjadi lebih gelap
pada kolestasis. Bilirubin yang terkonjugasi diekskresikan ke urin dan menyebabkan
bilirubinemia yang bisa timbul sebelum adanya ikterus.15
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya hepatomegali dengan derajat
kerusakan fungsi hati dan nekrosis hepatoselular yang bervariasi. Sekitar 70-80 % bayi
dengan kolestasis pada evaluasi lebih lanjut mengarah ke diagnosis hepatitis neonatal
idiopatik atau atresia bilier ekstra hepatik.17
20

Pada pasien juga ditemukan adanya peningkatan fungsi hati yang menandakan adanya
proses inflamasi pada hepatoselular ( SGPT: 126u/L) dan peningkatan Gamma GT (1.539
unit per liter) yang merupakan penanda sensitif adanya obstruksi atau inflamasi pada saluran
empedu.1

Gambar 22: pendekatan diagnosis untuk bayi dengan jaundis konjugata


Diambil dari davenport, Mark 6

Pada kolestasis terdapat akumulasi zat - zat yang tidak bisa diekskresikan karena
oklusi atau obstruksi dari sistem bilier, yang ditandai dengan meningkatnya alkali fosfatase,
γGT dan bilirubin direk.7,9,15
Kolestasis jaundis mengenai sekitar 1 dari 2.500 bayi. 4 Penyebab tersering kolestasis
jaundis pada bulan pertama kehidupan adalah atresia bilier dan hepatitis neonatal. 4,5 Penyebab
lainnya adalah defisiensi Alpha-1 antitripsin (pada 5-15% kasus), batu saluran empedu atau
kista koledokus, kelainan metabolik seperti tyrosinemia, galaktosemia, hipotiroidisme,
kelainan pada metabolisme asam empedu, sindroma alagil, dan infeksi.4,5 Pasien dengan
kolestasis jaundis yang disebabkan oleh sepsis bakterialis, galaktosemia, hipopituitari, atau
batu saluran empedu biasanya membuat anak tampak sakit berat.4
Penyebab tersering dari kolestasis dibagi atas kolestasis ekstrahepatik (obstruktif) dan
kolestasis intrahepatik. Penyebab tersering kolestasis ektrahepatik ialah atresia bilier.
Terjadinya atresia bilier diakibatkan oleh karena proses inflamasi berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga terjadi hambatan
aliran empedu. Jadi, atresia bilier adalah tertutupnya atau kecilnya lumen pada sebagian atau
21

keseluruhan traktus bilier ekstrahepatik yang menyebabkan terjadinya hambatan aliran


empedu. Akibatnya di dalam hati dan darah terjadi penumpukan garam empedu dan
peningkatan bilirubin direk. 7,11,16
Etiologi atresia bilier masih belum diketahui dengan pasti. Sebagian ahli menyatakan
bahwa faktor genetik ikut berperan, yang dikaitkan dengan adanya kelainan kromosom
trisomy 17, 18 dan 21; serta terdapatnya anomali organ pada 30% kasus atresia bilier. Namun
sebagian besar penulis berpendapat bahwa atresia bilier diakibatkan oleh proses inflamasi
yang merusak duktus bilier, bisa oleh karena infeksi atau iskemi.7,9, 18-21
Pada umumnya atresia bilier memberikan gejala pada saat postnatal yang disebabkan
oleh obliterasi sistem bilier ekstrahepatik. Pada kasus tertentu dapat ditemukan anomali
kongenital yang biasanya disertai dengan atresia duodenal, malrotasi, sistem vaskular yang
abnormal, dan polisplenia. Bayi dengan atresia bilier tidak menunjukkan gejala pada saat
lahir sampai usia 3-6 minggu, dimana telah terjadi peningkatan bilirubin direk.9,12
Kombinasi pemeriksaan sonografi hepatobiliar, scintigraphy dan biopsi hati dapat
membedakan antara hepatitis neonatal dan atresia bilier ekstrahepatik sebanyak 90% kasus.
Jika dengan ketiga pemeriksaan ini diagnosis belum dapat ditegakkan, maka tindakan operatif
cholangiography perlu dilakukan untuk membedakan kedua kelainan tersebut.9-10 Dewasa ini
telah dikembangkan pemeriksaan MR cholangiogram untuk membedakan kasus kolestasis. 11,
19, 23,24

Hasil USG abdomen pada pasien ini, tidak tampak tanda-tanda atresia bilier. Dimana
Hepar ukurannya tidak membesar lk. 7.40 cm (N 0-3 bulan : 4.0-9.0 cm), sudut tajam,
permukaan rata, tekstur parenkim homogen, kapsul tidak menebal, tidak tampak massa
solid/kistik. Vena porta tidak melebar, vena hepatika tidak melebar. Tidak tampak koleksi
cairan di sekitar hepar. Pada pemeriksaan Color Doppler tidak didapatkan hepatic
subcapsular flow. Tidak tampak adanya triangular cord sign. Tidak mengarah ke tanda –
tanda sirosis hepatis dan adanya ascites. Serta gambaran kandung empedu masih dalam batas
normal, tidak ada penebalan dari dinding kandung empedu, Duktus biliaris intrahepatal dan
ekstrahepatal tidak melebar. Volume kandung empedu Fase 1 (Puasa) : 0.39 ml dan Fase 2
(Post prandial) : 0.10 ml, dengan contractility index kandung empedu 74.3%.
22

Gambar 23. Ukuran Gallbladder Pada Umur 6 Minggu – 12 Bulan

Dari pemeriksaan scintigraphy yang dilakukan yaitu diisopropyl iminodiacetic acid


(DISIDA). Tidak tampak penangkapan radioaktivitas pada kandung empedu dan intestinal
sampai 24 jam pasca penyuntikan radiofarmaka. Didapatkan kesimpulan sugestif untuk suatu
atresia bilier.
Selanjutnya telah dilakukan tindakan operatif dimana ditemukan gallbladder
3x1x0,5cm  dilakukan aspirasi  ditemukan white bile. Dan dilakukan intraoperative
cholangiography  kontras mengisi gallbladder, namun tidak mengisi common bile duct.
Sugestif suatu atresia bilier.
Hal ini sesuai dengan temuan dari hasil biopsy hepar dimana didapatkan kesimpulan
adanya suatu cholecystitis kronik non spesifik dan atresia bilier.
Tatalaksana yang tepat diperlukan pada penderita kolestasis yaitu untuk mencegah
terjadinya kerusakan hati yang lebih lanjut. Tumbuh kembang dapat dioptimalisasikan
dengan memperbaiki aliran bahan-bahan yang diekskresikan hati ke dalam usus dan
melindungi hati dari zat toksis. Pada penderita ini selain pemberian nutrisi yang baik, juga
diberikan vitamin yang larut dalam lemak, karena pada penderita kolestasis terjadi defisiensi
vitamin tersebut. Dosis oral vitamin A 10.000 - 15.000 IU. Untuk dosis vitamin D2 3-5
μg/kgBB/hari sedangkan vitamin D 50-400 IU/hari. Dosis oral vitamin E untuk kolestasis
yaitu 50-400 IU/hari. Vitamin K dapat diberikan secara intravena, subkutan atau per oral
dengan dosis 2,5-5 mg/hari.7, 9, 24-27
Pada pasien ini, telah diperhitungkan untuk pemberian Kebutuhan cairan anak gizi
buruk 130cc/kgBB/hari ~ 390ml/hari dan Kebutuhan kalori untuk anak gizi buruk 100
kkal/kgBB/hari ~ 300 kkal/hari terdiri dari F75 30 ml setiap 2 jam. Namun tidak disertai
dengan pemberian vitamin yang larut dalam lemak yaitu A, D, E dan K. Hanya diberikan
UDCA 3x10 mg PO dan Curcuma 1x ½ cth PO. Sehingga kerusakan hepar mungkin tetap
berlanjut.
Saat ini atresia bilier dianggap sebagai sebagai respon fenotipik umum duktus biliaris
dan hati ter-hadap berbagai keadaan prenatal dan perinatal yang berakibat terganggunya
23

pertumbuhan dan maturasi biliary tree yang terjadi pada masa tertentu (prenatal sampai usia
3 bulan). Secara umum faktor yang meng-ganggu pertumbuhan duktus bilier adalah infeksi
virus, faktor genetik, kelainan autoimun, defek vaskuler dan defek morfogenesis . Dari
berbagai penelitian mengenai kemungkinan virus penyebab atresia bilier hanya reovirus dan
rotavirus saja yang dianggap dapat menyebabkan terjadinya atresia bilier

Gambar 24. Klasifikasi Atresia Bilier Berdasarkan French

Dikenal 2 bentuk atresia bilier, tipe embrional/fetal dan tipe perinatal/acquired. Tipe
embrional dijumpai pada 20% dari seluruh kasus atresia bilier, sering muncul bersama
anomali kongenital lain seperti polisplenia, vena porta preduodenum, situs inversus dan juga
malrotasi usus. Ikterus dan feses akolik sudah timbul pada 3 minggu pertama kehidupan,dan
intraoperatif sering tidak dijumpai bile duct remnants . Se-dangkan pada tipe perinatal yang
dijumpai pada 80% dari seluruh kasus atresia bilier, ikterus dan feses akolik baru muncul
pada minggu ke-2 sampai minggu ke-4 kehidupan. Umumnya intra operatif dijumpai bile
duct remnant. Atresia biliaris secara perlahan – lahan hepar akan mengalami cirrhosis yang
kemudian dapat terjadi splenomegaly. Malabsorpsi lemak dan vitamin yang erikat lemak
dapat menyebabkan anemia, malnutrisi, dan gangguan perkembangan dan pertumbuhan.
Pemeriksaan penunjang rutin untuk menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan darah
tepi lengkap dan gambaran darah tepi, feses rutin, aspirasi cairan duodenum, USG
hepatobilier (gambaran “triangular cord” sign), skintigrafi hepatobilier, MRCP / ERCP, dan
biopsi hati perkutan. Hepatic portoenterostomy (prosedur Kasai) merupakan terapi standar
pada atresia biliaris. Beberapa hari sebelum operasi, penderita di injeksi vitamin K
intramuscular 1-2 mg/kgBB. Salah satu faktor yang menentukan angka harapan hidup 10
tahun adalah usia saat penderita dioperasi. Dibagi 4 kelompok yaitu kelompok usia yang
24

dioperasi < 60 hari (68%), kelompok usia 61-69 hari (39%), kelompok usia 71-90 hari (33%),
dan kelompok usia > 91 hari (15%)

IV.2. Intraoperative
Prosedur Kasai diciptakan untuk meringankan obstruksi dan jaundice pada pasien dengan
atresia bilier. Duktus yang terobliterasi akan direseksi dan Roux-en-Y jejunum dianastomosis
dengan lempeng porta agar terjadi drainase empedu. Keluhan jaundice pada Dua pertiga
pasien yang menjalani portoenterostomi tampak berkurang. Walaupun sudah dilakukan
prosedur Kasai yang baik, sekitar sepertiga pasien masih membutuhkan transplantasi hepar
akibat cholestasis dan sirosis yang progresif.40 Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Kasai,
komplikasi jangka panjang setelah dilakukan prosedur ini salah satunya adalah hipertensi
porta. Hipertensi porta dapat diminimalisir dengan usia koreksi yang muda.41
Berdasarkan studi metaanalisis didapatkan bahwa prosedur kasai yang dilakukan pada
usia 3-6 bulan menunjukkan hasil yang baik pada jaundice clearance rate. Jika dibandingkan
pasien dengan usia 90 hari atau lebih muda menunjukkan hasil jaundice clearance rate yang
lebih baik dibandingkan pada pasien di atas 90 hari. Native liver survival rate pada pasien 60
hari atau lebih muda secara signifikan lebih baik dibandingkan pada pasien di usia 61 – 90
hari.42 Selama prosedur Kasai pada pasien ini, tidak ada masalah di intraoperative. Balance
cairan baik, dan kontrrol perdarahan baik.

4.3. Post operatif


1. Burst Abdomen
Burst abdomen salah satu komplikasi paska operasi abdomen dengan insidensi 0.4-1.2%
dengan mortalitas 45%.43 Faktor-faktor yang mempengaruhi luka operasi dibagi menjadi local
dan sistemik44:
Lokal :
Kontaminasi luka
Sekitar 10-27.5% pasien dengan wound dehiscence memiliki infeksi luka operasi.
Semakin dalam infeksi yang terkena semakin tinggi risiko untuk terjadinya burst
abdomen. 45
Bakteri dapat mempengaruhi proses penyembuhan luka dan menyebabkan gangguan
sintesis kolagen yang akan mengurangi kekuatan jaringan.
Sistemik :
1. Usia pasien
25

Usia dibawah 1 tahun disertai dengan penyembuhan luka yang kurang optimal, dan
memiliki risiko terjadinya infeksi pada luka operasi yang akan berisiko menjadi
dehisens.45
2. Penyakit komorbid
Pasien dengan penyakit sistemik seperti diabetes, gangguan pembuluh darah, atau
pasien dengan gangguan fungsi organ dapat mempengaruhi proses penyembuhan
luka. 44
3. Peningkatan tekanan intraabdomen
Pasien paska operasi kolorektal biasanya terdapat ileus paralitik dan menyebabkan
perut menjadi kembung, selain itu pasien yang mendapat ventilasi mekanik juga dapat
meningkatkan tekanan intraabdomen. Peningkatan tekanan intrabdomen dapat
membuat perut menjadi tegang dan berisiko menjadi dehisens. 45
4. Nutrisi
Nutrisi sangat berpengaruh dalam proses penyembuhan luka. Pasien dengan
malnutrisi memiliki defisiensi vitamin, mineral dan protein yang berperan dalam
penyembuhan luka. Gangguan dalam proses penyembuhan luka dapat meningkatkan
risiko terjadinya dehisens pada luka.46
5. Hipoalbuminemia
Albumin mewakili 50% dari total protein plasma, yang berfungsi untuk
mempertahankan tekanan onkotik intravascular sehingga dapat mencegah ekstravasasi
cairan kedalam jaringan interstitial. Albumin disintesis oleh hepar, dimana apparatus
golgi merubah proalbumin menjadi albumin yang kemudian disekresi oleh hepatosit.
Produksi albumin dapat dihambat oleh mediator proinflamasi seperti interleukin-6
(IL-6), Interleukin-1(IL-1) dan Tumor Necrosing Factor (TNF). 47 Pada pasien ini
didapatkan kerusakan jaringan hepar yang mempengaruhi produksi albumin.
6. Jaundice dan BAB acholis
BAB yang berpigmen dapat terjadi langsung atau dalam 10-14 hari pasca hepatic
portoenterostomy. Pasien dengan inflamasi pada hepar yang sedang berlangsung akan
menyebabkan scarring pada hepar dan pasien akan tetap ikterik disertai BAB yang
pucat meskipun telah dilakukan portoenterostomy, dan harus dilakukan transplantasi
hepar.48
7. Hipoglikemia refrakter
Hipoglikemia merupakan salah satu dari trias of death pada bayi dan anak-anak.
Pasien dengan sepsis berisiko terjadinya hipoglikemia yang disebabkan kurangnya
26

hormon cortisol dan adrenalin, serta gangguan pada metabolisme glukosa. Mekanisme
kegagalan gluconeogenesis pada hepar dan peningkatan konsumsi glukosa pada
jaringan perifer juga menyebabkan hipoglikemia pada pasien dengan penyakit kritis.49

Gambar 25. Pengaruh nutrisi dalam fase penyembuhan luka4

8. Melena
Melena terjadi karena adanya perdarahan saluran cerna bagian atas yang bercampur
dengan asam lambung. Pada pasien ini perdarahan dapat terjadi karena adanya stress
ulcer dimana pasien juga dalam kondisi kritis disertai dengan pemanjangan faktor
koagulasi yang dapat disebabkan karena ada kegagalan fungsi hepar.

9. Cholangitis dan sepsis


Atresia bilier pada 1 -2 tahun kehidupan, bila tidak ditangani cepat dapat
mengakibatkan sirosis hepatis, hipertensia porta, end-stage liver disease (ESLD) dan
liver failure.8 Cholangitis merupakan komplikasi yang paling umum terjadi pada
pasien atresia bilier yang telah dilakukan operasi Kasai. Hal ini ditandai dengan
adanya gejala seperti demam, BAB acholis, nyeri perut dengan atau tanpa jaundice.51
27

Patogenesis terjadinya cholangitis sampai saat ini masih belum jelas, namun
diyakini adanya infeksi bakteri dari saluran enteric, volume dari aliran bile yang tidak
mencukupi, dan obstruksi parsial sistem bilier merupakan faktor penyebab terjadinya
cholangitis pada pasien post prosedur Kasai. Disebutkan juga pasien yang telah
menjalani prosedur Kasai, ada beberapa faktor yang dapat memfasilitasi penyebaran
bakteri seperti obstructive jaundice, dilatasi biliary tree dan habitat bakteri di
anastomosis bilioenteric dan kondisi kesehatan yang menurun.44 Hal ini berdampak
pada hasil laboratorium yang menunjukan adanya leukositosis, perburukan fungsi
liver dan hipoalbuminemia.51
DAFTAR PUSTAKA

1. Altman RP, Butchmiler TR. The Jaundiced Infant : Atresia Biliary. Dalam Grosfeld
JL, O’Neill JA, Fonkalsrud EW, Coran AG Pediatric Surgery. 6th ed. Mosby Elsevier.
2006. pg 1603-1617
2. Nakayama DK. Biliary atresia and liver transplantation. Dalam O’Neill JA, Grosfeld
JL, Fonkalsrud EW, Coran AG, Caldamore AA. Principles of Pediatric Surgery. 2nd
ed. Mosby. 2003 pg 437-450
3. Miyano T. Biliary tract disorders and portal hypertension. Dalam Ashcraft, Holcomb
KW, Murphy GW, Patrick J. Pediatric Sugery. 4th ed. Elsevier Saunders. 2005. pg
586-608
4. Dillon PW, Tracy Jr. TF. Biliary Atresia. Dalam Oldham KT, Colombani PM, Foglia
RP, Skinner MA. Principles and Practice of Pediatric Surgery, 4th ed. Lippincott
Williams & Wilkins 2005. pg 1475-1493
5. Ohi R, Nio M. Biliary Atresia. Dalam P. Puri, M. Holwarth. Pediatric Surgery. 2006.
pg 457-370
6. Ziegler MM, Azizkhan RG, Weber TR. Biliary atresia and choledochal cyst. Dalam
Operative Pediat-ric Surgery. McGraw-Hill. 2003. p. 775-788
7. Altman RP, Butchmiler TR. The Jaundiced Infant : Atresia Biliary. Dalam Grosfeld
JL, O’Neill JA, Fonkalsrud EW, Coran AG Pediatric Surgery. 6th ed. Mosby Elsevier.
2006. pg 1603-1617
8. Nakayama DK. Biliary atresia and liver transplantation. Dalam O’Neill JA, Grosfeld
JL, Fonkalsrud EW, Coran AG, Caldamore AA. Principles of Pediatric Surgery. 2nd
ed. Mosby. 2003 pg 437-450
9. Miyano T. Biliary tract disorders and portal hypertension. Dalam Ashcraft, Holcomb
KW, Murphy GW, Patrick J. Pediatric Sugery. 4th ed. Elsevier Saunders. 2005. pg
586-608
10. Dillon PW, Tracy Jr. TF. Biliary Atresia. Dalam Oldham KT, Colombani PM, Foglia
RP, Skinner MA. Principles and Practice of Pediatric Surgery, 4th ed. Lippincott
Williams & Wilkins 2005. pg 1475-1493
11. Ohi R, Nio M. Biliary Atresia. Dalam P. Puri, M. Holwarth. Pediatric Surgery. 2006.
pg 457-370
12. Ziegler MM, Azizkhan RG, Weber TR. Biliary atresia and choledochal cyst. Dalam
Operative Pediat-ric Surgery. McGraw-Hill. 2003. p. 775-788
13. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Tuttle DJ. Neonatology: management,
procedures, on-call problems, diseases, and drugs.McGraw-Hill Education Medical
New York, NY;2013. hlm. 891-915.
14. Itoh S, Okada H, Koyano K, Nakamura S, Konishi Y, Iwase T, et al. Fetal and
neonatal bilirubin metabolism. Frontiers in Pediatrics. 2022;10.
15. Coran AG, Caldamone A, Adzick NS, Krummel TM, Laberge J-M, Shamberger R.
Pediatric surgery E-book.Elsevier Health Sciences;2012. hlm. 1321-1330.
16. Moyer V, Freese DK, Whitington PF, Olson AD, Brewer F, Colletti RB, et al.
Guideline for the evaluation of cholestatic jaundice in infants: recommendations of
the North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and
Nutrition. Journal of pediatric gastroenterology and nutrition. 2004;39(2):115-28.
17. Fawaz R, Baumann U, Ekong U, Fischler B, Hadzic N, Mack CL, et al. Guideline for
the evaluation of cholestatic jaundice in infants: joint recommendations of the North
American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition and the
European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition. Journal
of pediatric gastroenterology and nutrition. 2017;64(1):154-68.
18. Hartley JL, Davenport M, Kelly DA. Biliary atresia. The Lancet.
2009;374(9702):1704-13.
19. Hasan HA, Balistneri W. Neonatal cholestasis. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE,
Jenson HB, Stanton BF, editors. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 18.
Philadelphia: Saunders Elsevier, 2007; p.1668-72.
20. Arief S. Deteksi dini kolestasis neonatal. Dalam: Continuing education Ilmu
Kesehatan Anak. Surabaya: FK UNAIR –RSU DR Soetomo-IDAI Cabang Jawa
Timur, Juni 1994; p.233-40.
21. Mews C, Sinatra F. Cholestasis in infancy. Pediatr Rev. 1994;15:233-40.
22. Colon AR. Biliary atresia. In Colon AR, editor. Textbook of Pediatric Hepatology
(Second Edition). Year Book Medical Publisher.Inc, 1990; p.182-95.
23. Metremeli C, So N, Chu W, Lam W. Magnetic resonance cholangiography in
children. Br J Radiol. 2004;45:1059-63.
24. Sokol RJ, Mack C. Etiopathogenesis of biliar atresia. Semin Liver Dis. 2001;22:517-
524.
25. Davies Y, Wliam B. Liver transplantation in the neonate and young infant. Neo
Review. 2001;2:223-27.
26. Robert M, Daniel A, Stephen P. Hernia and varicocel. Pediatr Surg Int. 2000;9:75-8.
29
27. Agata I, Balisteri W. Evaluation of liver disease in the pediatric patient. Pediatr Rev.
1999;20:376-85.
28. isgaard LDA. 10 week old infant who has jaundice. Pediatr Rev. 2001;22:408- 12.
29. Suchy FJ. Neonatal Cholestasis. Pediatr Rev. 2004;24:388-96.
30. Tarr P, Haas JC. Biliary atresia, Cytomegalovirus and age at referal. Pediatrics.
1996;97:828-31.
31. Jaw TS,Kuo YT,Gin MR. Cholangiography in the evaluation of neonatal cholestasis.
Pediatr Radiol. 1999;22: 249-54.
32. Weinberger E, Blumhagen J. Gallbladder contraction in biliary atresia. Am J
Radiol.1987;23:401-2.
33. Abramson O, Rosenthal P. Current status of pediatric liver transplantation. Clin Liver
Dis. 2000;4:533-52.
34. Stehel EK, Sänchez PJ. Cytomegalovirus infection in the fetus and neonate. Neo
Reviews. 2005;4:38-45.
35. Cox KL, Berquist WE, Castillo RO. Pediatric liver transplantation: indication,timing
and medical complication. J Gastroenterol Hepatol. 1999;41:61-6.
36. Fischler B, Papadogiannakis N, Nemeth A. A etilogical factors in neonatal
cholestasis. Acta Paediatr. 2001;90:88-92.
37. Pratt A, Garcia M, Kerner J. Nutritional management of neonatal and infant liver
disease. Neo Reviews. 2001;2:215-22.
38. Dinler G, Kocak N. Ursodeoxycholic acid therapy in children with cholestatic liver
disease. Turk J Pediatr. 1999;41:91-8.
39. Poddar U, Bhattacharya A, Thapa B. Ursodeoxycholic acid - augmented hepatobiliary
scintigraphy in the evaluation of neonatal jaundice. J Nucl Med. 2004;45(9):1488-91.
40. Garcia AV, Cowles RA, Kato T, Hardy MA. Morio Kasai: a remarkable impact
beyond the Kasai procedure. J Pediatr Surg. 2012 May;47(5):1023-7.
41. Kasai M, Okamoto A, Ohi R, et al. Changes of portal vein pressure and intrahepatic
blood vessels after surgery for biliary atresia. J Pediatr Surg. 1981;16:152–159.
42. Yang C, Ke M, Zhou Y, Xu H, Diao M, Li L. Impact of early Kasai portoenterostomy
on short-term outcomes of biliary atresia: A systematic review and meta-analysis.
Front Surg. 2022 Sep 1;9:924506.
43. Elsherbeny M. Postoperative abdominal wound dehiscence in children: How to
manage it? J Abdom Wall Reconstr. 2018; 1: 1003.

30
44. Emeka C.K. Post-Operative Wound Complications Following Abdominal Surgery in
Children: A Single Centre Experience. Arch Clin Exp Surg. 2021.
45. van Ramshorst GH, Salu NE, Bax NM, Hop WC, van Heurn E, Aronson DC, Lange
JF. Risk factors for abdominal wound dehiscence in children: a case-control study.
World J Surg. 2009 Jul;33(7):1509-13. doi: 10.1007/s00268-009-0058-7. PMID:
19418094; PMCID: PMC2691929.
46. MacKay D, Miller AL. Nutritional Support for Wound Healing. Alt Med Rev. 2003.
Vol 8
47. Gounden V, Vashisht R, Jialal I. Hypoalbuminemia. [Updated 2022 Aug 29]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023
48. Cowles RA. The Jaundice Infant: Biliary Atresia. Coran’s Pediatric Surgery. 2012
49. Mitsuyama Y, Shimizu K, Komukai S, Hirayama A, Takegawa R, Ebihara T,
Kitamura T, Ogura H, Shimazu T. Sepsis-associated hypoglycemia on admission is
associated with increased mortality in intensive care unit patients. Acute Med Surg.
2022 Jan 24;9(1):e718. 
50. Gad EH, Kamel Y, Abdel T, Ali H, Sallam AN. Short- and long-term outcomes after
Kasai operation for type III biliary atresia: Twenty years of experience in a single
tertiary Egyptian center-A retrospective cohort study. Annals of Medicine and
Surgery. 2021;Jan 62 (2021) 302–314
51. Luo Y, Zheng S. Current concept about postoperative cholangitis in biliary atresia.
World J Pediatr 2008;4(1):14-19

31
TIME LINE Hasby

Februari 2023 22-02-2023


Orang tua membawa ke Dilakukan pemeriksaan 01-03-2023
dokter spesialis anak dan USG Hepatabilier di RSHS Dilakukan pemeriksaan sidik
10 Desember 2022
ke RSUD Subang Kesan : sistem hepatobilier
Lahir di bidan dengan
kemudian didiagnosis - Nilai contractility index Kesimpulan :
mata tampak kuning
 bronkopneumonia + kandung empedu 74.3%. Gambaran demikian sugestif untuk
dan badan tampak
suspek atresia bilier + - Tidak tampak tanda- suatu atresia bilier
kuning, bab < 24 jam
dehidrasi tanda atresia bilier
meconium

11 Desember 2022 18-02-2023 23-02-2023 17-03-2023


Sejak usia 1 hari bab MRS IGD RSHS Dikonsulkan TS IKA dari Laparotomi + Intraoperative Cholangiography + Kasai
menjadi dempul dan Keluhan : sesak napas disertai ruangan kenanga 1 procedure + Liver Core needle
dibawa ke bidan untuk di batuk, tampak kuning pada DO:
Badan kuning, mata
periksa dan di katakan bagian mata dan badan, bab - Cairan peritoneum jernih
kuning, bab dempul.
dempul - Ditemukan hepar berwarna gelap permukaan
normal
Demam tidak ada. tidak rata  dilakukan biopsy hepar
- Ditemukan gallbladder 3x1x0,5cm 
dilakukan aspirasi  ditemukan white bile
- Dilakukan intraoperative cholangiography 
kontras tidak mengisi common bile duct
- Ditemukan common bile duct
- Dilakukan Roux en Y hepaticojejunostomy
Panjang gastric limb 20cm distal ligamentum
treizt dan Panjang hepatic limb 40cm
 

32
04-04-2023
25-03-2023
KU: Luka operasi terbuka, 09-04-2023
Pasien terdapat luka dehisens, perut
tampak kembung, muntah tidak ada, terlihat usus. Pasien dirawat di PICU
demam tidak ada. Pasien burst Rencana Repair Burst  
abdomen abdomen  

28-03-2023 08-04-2023 12-04-2023


Repair Burst Abdomen Exploratory Laparotomy + Pasien Meninggal
DO: Repair Burst Abdomen + Dengan COD :
- Ditemukan wound dehisens Adhesiolysis • Syok Sepsis
pada sisi medial luka operasi -Luka Dehiscence • Burst abdomen
sebelumnya dari lapisan kutis ditemukan di tengah luka • Atresia bilier tipe 2B2.
hingga peritoneum dengan operasi dengan usus • TTIK ec
bowel eksposure (usus halus) Hypoxic brain injury  
terbuka (usus kecil)
- Ditemukan dinding luka operasi
-Adhesi antara interloop
rapuh
- Ditemukan hepar, permukaan usus kecil ditemukan
tidak licin berwarna kecoklatan -Adhesi antara loop usus
- Ditemukan adhesi grade 2 di kecil dan hati ditemukan
antara loop usus dengan -Jahitan
peritoneum  adhesiolisis Jejunojejunostomy masih
- Anastomosis utuh
portoenterostomy, -Anastomosis
33 jejunojejunostomy  sulit
Portoenterostomi sulit
diidentifikasi diidentifikasi
- Dilakukan debridement luka
dan repair dinding abdomen

Anda mungkin juga menyukai